Anda di halaman 1dari 17

A.

Masa Transisi 1966 - 1967


1. Aksi - Aki Tritura

Latar Belakang Tritura


Yang melatar belakangi terjadinya tritura berkaitan dengan gerakan 30 September dalangnya adalah PKI.
Setelah kejadian gerakan 30 september, banyak ormas-ormas terutama mahasiswa mengadakan
demostran besar-besaran menuntut kepada pemerintah beberapa hal. Tuntutan tersebut biasa di sebut
dengan Tritura (tri tuntutan rakyat). Salah satu tuntutannya adalah pembubaran PKI terkait tragedy 30
september. Tetapi pemerintah tidak mengambil tindakan dengan tegas terhadap PKI. Selain itu ekonomi
semakin memburuk, harga-harga semakin melambung tinggi sehingga menambah keresahan
masyarakat.

Pada tanggal 25 Oktober 1965 terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Selanjutnya
ikuti oleh kesatuan- kesatuan aksi yang lain, misalnya Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI),
Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana
Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI).

Organisasi-orgaisasi tersebut melakukan demonstran besar-besaran. Akan tetapi pemerintah tidak


segera mengambil tindakan. Pada tanggal 10 januari 1966 KAMI san KAPPI melopori kesatuan aksi dalam
Front Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut tiga tuntuta rakyat. Berikut ini adalah tiga tuntutan
rakyat.

Isi Tritura
1. Pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia)
2. Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G 30 S / PKI.
3. Penurunan harga/perbaikan ekonomi.

Tiga tuntutan di atas adalah dasar yang menjadi keresahan masyarakat Indonesia. Selain pembubaran
PKI beserta ormas-ormasnya dan pembersihan cabinet G30 S PKI ada juga tuntutan yaitu mengenai
ekonomi. Masyarakat Indonesia menginginkan perubahan ekonomi terutama pada penurunan harga-
harga kebutuhan pokok.

Akhirnya, Tujuan dari Tri Tuntutan Rakyat dapat terwujud dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret
1966 (Supersemar) yang memerintahkan kepada Mayor Jenderal Suharto untuk membubarkan Partai
Komunis Indonesia dan ormas-ormasnya. Selain itu, Supersemar juga mengamanatkan agar
meningkatkan perekonomian Indonesia sehingga dapat terwujud kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Tujuan Tritura
Seperti sudah di bahas di atas bahwa tujuan utama tritura terletak pada isi tritura itu sendiri. Tujuannya
adalah membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia), membersihkan cabinet dari unsur-unsur G 30 S
PKI, dan menurunkan harga/perbaikan ekonomi. Tiga hal di atas sengat meresahkan masyarakat
Indonesia pada saat itu. Terkait dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang membunuh beberapa tokoh
penting di Indonesia. Hal itu sangat menjadi kejadian sejarah menyedihkan. Penculikan beberapa
anggota dan di bunuh oleh PKI meninggalkan sejarah kelam hingga sekarang.

2. Surat Perintah Sebelas Maret

Latar Belakang Supersemar

Supersemar yang di kenal dengan surat 11 merat tahun 1966. Presiden pertama Indonesia yaitu Ir
Suekarno mengadakan sidang pelantikan kabinet dwikora atau biasa di sebut dengan cabinet 100 mentri.

Tetapi pada saat itu ada yang aneh dan menimbulkan kecurigaan, karena pasukan yang di sebut dengan
pasukan liar terdapat anggota yang terlibat pada peristiwa tragis G 30 S PKI. Berdasarkan laporan
tersebut presiden dan wakil perdana mentri I, Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III, Chaerul Saleh
berangkat ke Bogor.

Kemudian sidang di tutup oleh wakil perdana mentri II, Dr.J Leimena yang menyusul ke istana bogor.
Situasi ini lalu dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto yang pada saat itu menjabat selaku Panglima
Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu.
Mayor Jendral Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit.

Pada saat itu Mayor Jendral Sueharto mengutus 3 orang perwira tinggi angkatan darat menuju istana
bogor untuk menemui Suekarno. Mereka adalah Brigadir Jenderal M. Jusuf, Brigadir Jenderal Amir
Machmud, dan Brigadir Jenderal Basuki Rahmat. Pada malam harinya terjadi pembicaraan antara 3
perwira utusan sueharto dan Presiden Suekarno mengenai situasi yang terjadi. Kemudian 3 perwira
tersebut mengatakan bahwa Mayor Jendral Sueharto akan mengatasi dan mengendalikan situasi dan
keamanan. Sueharto akan diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan
kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jenderal (purn) M. Jusuf, pembicaraan mereka dengan
Presiden Soekarno saat itu berlangsung hingga pukul 20.30 malam.

Akhirnya Presiden Suekarno pun setuju dengan usulan yang di buat dikenal dengan surat sebelas maret
karena di luncurkannya tanggal 11 maret 1966. Surat ini disebut Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) yang di berikan jendral Sueharto selaku panglima angkatan darat untuk memulihkan
situasai dan keamanan. Surat Supersemar tersebut pun tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul
01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar Angkatan Darat, Brigjen Budiono H.

Isi Supersemar

Berikut ini adalah isi surat supersemar:

SURAT PERINTAH
1. Mengingat:

1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik nasional maupun Internasional

1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada
tanggal 8 Maret 1966

2. Menimbang:

2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi.

2.2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI dan Rakjat untuk memelihara
kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala
adjaran-adjarannja

III. Memutuskan/Memerintahkan:

Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT

Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:

Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta
kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan
kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimin Besar revolusi/mandataris M.P.R.S. demi
untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran
Pemimpin Besar Revolusi.

Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain


dengan sebaik-baiknja.

Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkuta-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti
tersebut diatas.

Selesai.

Djakarta, 11 Maret 1966

Tujuan Supersemar

Berikut ini adalah tujuan supersemar antara lain:

1. Untuk mengatasi situasi buruk akibat pemberontakan G-30S PKI


2. Situasi dan kondisi negara tengah kacau dan genting
3. Menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari kehancuran
4. Mengembalikan kewibawaan pemerintah
5. Memberikan perintah dari Suekarno kepada Sueharto selaku panglima angkatan darat.

3. Dualisme Kepimpinan Nasional

Dualisme Kepemimpinan Nasional terjadi pada tahun awal tahun 1966 yang dimana terjadi sebuah krisis
nasional yang dimana terjadi antara Presiden Soekarno yang menjabat sebagai seorang Presiden yang
dimana kehilangan kekuatannya sebagai seorang presiden. Kemudian, ditolaknya sebuah pidato
terhadap pertanggungjawabannya kepada MPRS yang terjadi seanyak dua kali dan juga terhadap
Soeharto yang dimana pada saat itu mendapatkan sebuah surat perintah sebelas maret yang dimana
ketika ia menghentikan G30S PKI memiliki nama yang sangat tinggi dan menjadi semakin populer. Pada
saat itu, dimasa pemerintahan Soekarno sebagai seorang presiden dan Soeharto yang mendapatkan
surat perintah sebelas maret diberikan sebuah mandat oleh MPRS dalam membentuik sebuah kabinet
yang kemudian dikenal dengan sebutan Kabinet Ampera.

Hal yang terjadi kemudian menyebabkan sebuah dualisme kepemimpinan nasional yang dimana pada
saat itu Presiden Soekarno masihlah menjadi seorang Presiden dari Republik Indonesia yang dimana
menjadi ppemimpin pemerintahan dan juga Soeharto yang dimana memiliki mandat unutk melakukan
pelaksanaan terhadap pemerintahan. Hal ini kemudian menyebabkan Presiden Soekarno tidak
melakukan banyak kegiatan yang dimana berhubungan dengan pemerintahan tetapi dilain pihak
Soeharto banyak melakukan kegiatan yang dimana banyak menjalankan kegiatan yang sehubungan
dengan tugas dari keseharian pemerintahan.

Dengan adanya dualisme kepemimpinan nasional ini maka pada akhirnya akan membahayakan bagi
persatuan dan kesatuan bangsa yang dimana menjadi pertentangan terhadap politik yang dimana terjadi
di masyarakat yang kemudian membentuk dua kubu, yaitu Soekarno dan Soeharto.

B. Stabilisasi Politik & Rehabilitasi Ekonomi


1. Stabilisasi Politik & Keamanan sebagai Dasar Pembangunan

Orde Baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi pada
kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah
dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program Kabinet Pembangunan I dikenal
dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:
1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
2. Menyusun dan merencanakan Repelita;
3. Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan
setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;
5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat
maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.

Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif bagi terlaksananya amanah rakyat
melalui TAP MPRS No.IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan pemilihan umum (pemilu), pemerintah Orde
Baru melakukan‘pelemahan’ atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai
berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah. Pelemahan itu dilakukan
antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan kelompok Islam
Fundamentalis (yang sering disebut kaum ekstrimis kanan).

Selain itu, pemerintahan Soeharto juga menciptakan kekuatan politik sipil baru yang dalam
pandangannya lebih mudah dikendalikan. Organisasi itu adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya
(Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar.Berdasarkan Tap MPRS No
IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan segera melakukan pemilu pada tahun 1968. Namun karena
berbagai pertimbangan politik dan keamanan, pemilu baru dapat diselenggarakan pada 1971. Lembaga
Pemilu sebagai pelaksana pemilu dibentuk dan ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Dalam
Negeri, sedangkan peserta pemilu ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.23 tanggal 23 Mei 1970.
Berdasarkan surat keputusan itu, jumlah partai politik (parpol) yang diijinkan ikut serta dalam pemilu
adalah 9 parpol, yaitu: NU, Parmusi, PSII, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Kristen Indonesia,
Partai Khatolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI) ditambah dengan Golkar. Adapun perolehan suara hasil pemilu 1971 adalah sebagai
berikut: Golkar(236 kursi, 62,82%), NU (58 kursi,18,68%), Parmusi (24 kursi (5,56%), PNI (20 kursi,6,93%),
PSII (10 kursi,2,39%), dan Parkindo (10 kursi, 2,39%). (Anhar Gonggong ed, 2005: 150).

Pada akhir tahun 1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan penyederhanaan partai politik
dengan alasan–alasan tertentu, seperti kasus pada masa “demokrasi parlementer”. Pada masa itu,
banyaknya partai dianggap tidak memudahkan pembangunan, justru sebaliknya menambah
permasalahan. Penyebabnya bukan saja karena persaingan antarparpol, melainkan juga persaingan di
dalam tubuh parpol antara para pemimpinnya tidak jarang memicu timbulnya krisis, bahkan perpecahan
yang dinilai bisa mengganggu stabilitas polkam. Atas dasar itu, pemerintah berpendapat perlu adanya
penyederhanaan partai sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi Pancasila. Pada awalnya banyak
parpol yang menolak gagasan itu, yang sedikit banyak dinilai telah menutup aspirasi kebebasan
berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945.

Namun adanya tekanan pemerintah menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan lain.Realisasi
penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui Sidang Umum MPR tahun 1973. Sembilan partai
yang ada berfusi ke dalam dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Empat Partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama/NU, Parmusi, Partai Sarekat Islam
Indonesia/PSII, dan Perti bergabung dalam PPP. Sementara itu lima partai non Islam, yaitu PNI, Partai
Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung dalam PDI. Selain kedua
kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang semula bernama Sekber Golkar. Pengelompokkan
tersebut secara formal berlaku pula di lingkungan DPR dan MPR. (Gonggong dan Asy’arie, ed, 2005).
Pemerintah Orde Baru menghimpun energi semua komponen bangsa kedalam agenda bersama yang
diformulasikan dalam bentuk Trilogi Pembangunan. Suatu rencana kemandirian bangsa yang diletakkan
pada pilar stabilitas, pembangunan di segala bidang dan pemerataan pembangunan beserta hasil-
hasilnya kepada seluruh rakyat.

Trilogi Pembangunan :

1. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.


2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat.

Semua penghalang pembangunan, termasuk segala hal yang dapat memicu munculnya instabilitas
bangsa harus disingkirkan. Itulah kira-kira makna pesan yang terangkum dalam Trilogi Pembangunan,
yaitu terwujudnya stabilitas politik dan keamanan, pembangunan di segala aspek kehidupan dan
pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya.Trilogi Pembangunan itu tidak lain merupakan suatu
rencana bangsa Indonesia yang digelorakan Presiden Soeharto untuk mewujudkan tujuan negara
sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara yang ingin diwujudkan adalah
sebuah pemerintahan yang dapat melindungi segenap bangsa, mampu memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu turut serta melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan negara itu harus dicapai
dengan berdasarkan Pancasila
.
Stabilitas nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Stabilitas Nasional bukan
hanya merupakan prasyarat terselenggaranya pembangunan, akan tetapi merupakan amanat sila kedua
Pancasila untuk terwujudnya “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Kebebasan seseorang dibatasi oleh
kebebasan orang lain dan resultan dari kebebasan masing-masing individu itu berupa pranata kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkeadaban. Oleh karena itu, merupakan kebenaran
universal di manapun jika bentuk-bentuk tindakan yang tidak beradab, dalam aspek apapun tidak dapat
ditoleransi.Dari semua usaha-usaha yang dilakukan oleh Presiden Soeharto pada masa awal
pemerintahannya, semuanya bertujuan untuk menggerakkan jalannya kegiatan pembangunan ekonomi.
Pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan baik jika ada stabilitas politik dan keamanan.

2. Stabilisasi Penyeragaman
Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui cara penyeragaman
ideologis melalui ideologi Pancasila. Dengan alasan Pancasila telah menjadi konsensus nasional,
keseragaman dalam pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan. Gagasan ini disampaikan oleh Presiden
Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974.
Kemudian dalam pidatonya menjelang pembukaan Kongres Nasional Pramuka pada 12 Agustus 1976, di
Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh rakyat agar berikrar pada diri sendiri
mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka Prasetia bagi ikrar tersebut.
Presiden Soeharto mengajukan nama Eka Prasetia Pancakarsa dengan maksud menegaskan bahwa
penyusunan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang teguh,
kuat, konsisten, dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita yaitu (1) takwa kepada Tuhan YME dan
menghargai orang lain yang berlainan agama/kepercayaan; (2) mencintai sesama manusia dengan selalui
ingat kepada orang lain, tidak sewenang-wenang; (3) mencintai tanah air, menempatkan kepentingan
negara diatas kepentingan pribadi;(4) demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah; (5) suka
menolong orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampuan orang lain (Referensi Bahan Penataran
P4 dalam Anhar Gongong ed, 2005: 159).

Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR, Akhirnya, pada 21 Maret 1978 rancangan P4
disahkan menjadi Tap MPR No.II/MPR/1978. Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk komisi
Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan Abdulgani. Sebagai badan pelaksananya
dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksana P4 (BP7) yang berkedudukan di Jakarta. Tugasnya
adalah untuk mengkoordinasi pelaksanaan program penataran P4 yang dilaksanakan pada tingkat
nasional dan regional.

Tujuan penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi Pancasila,
sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk
dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat
terhadap pemerintah Orde Baru. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga
Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat
Indonesia.Pegawai negeri (termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun militer diharuskan mengikuti
penataran P4. Kemudian para pelajar, mulai dari sekolah menengah sampai Perguruan Tinggi, juga
diharuskan mengikuti penataran P4 yang dilakukan pada setiap awal tahun ajaran atau tahun akademik.
Melalui penataran P4 itu, pemerintah juga memberikan penekanan pada masalah “suku”, “agama”, “ras”,
dan “antargolongan”, (Sara). Menurut pemerintah Orde baru, “sara” merupakan masalah yang sensitif di
Indonesia yang sering menjadi penyebab timbulnya konflik atau kerusuhan sosial.

Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan Sara. Secara
tidak langsung masyarakat dipaksa untuk berpikir seragam; dengan kata lain yang lebih halus, harus mau
bersikap toleran dalam arti tidak boleh membicarakan atau menonjolkan perbedaan yang berkaitan
dengan masalah sara. Meskipun demikian, akhirnya konflik yang bermuatan sara itu tetap tidak dapat
dihindari.
Pada tahun 1992 misalnya, terjadi konflik antara kaum muslim dan non muslim di Jakarta (Ricklefs, 2005:
640). Demikian pula halnya dengan P4. Setelah beberapa tahun berjalan, kritik datang dari berbagai
kalangan terhadap pelaksanaan P4. Berdasarkan pengamatan di lapangan banyak peserta penataran
pada umumnya merasa muak terhadap P4. Fakta ini kemudian disampaikan kepada Presiden agar
masalah P4 ditinjau kembali.Setelah P4 menjadi Tap MPR dan dilaksanakan, selanjutnya orsospol yang
diseragamkan dalam arti harus mau menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas partai dan organisasi,
yang dikenal dengan sebutan “asas tunggal”.

Gagasan asas tunggal ini disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan Rapat Pimpinan
ABRI (Rapim ABRI), di Pekanbaru , Riau, tanggal 27 Maret 1980 dan dilontarkan kembali pada acara ulang
tahun Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) di Cijantung, Jakarta 16 April 1980.Gagasan Asas Tunggal
ini pada awalnya menimbulkan reaksi yang cukup keras dari berbagai pemimpin umat Islam dan
beberapa purnawirawan militer ternama.

Meskipun mendapat kritikan dari berbagai kalangan, Presiden Soeharto tetap meneruskan gagasannya
itu dan membawanya ke MPR. Melalui Sidang MPR ‘Asas Tunggal” akhirnya diterima menjadi ketetapan
MPR, yaitu; Tap MPR No.II/1983. Kemudian pada 19 Januri 1985, pemerintah dengan persetujuan DPR,
mengeluarkan Undang-Undang No.3/1985 yang menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar
harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka.

Empat bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
No.8/1985 tentang ormas, yang menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus
mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Sejak saat itu tidak ada lagi orsospol yang
berasaskan lain selain Pancasila, semua sudah seragam.. Demokrasi Pancasila yang mengakui hak hidup
“bhineka tunggal ika”, dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mematikan kebhinekaan,
termasuk memenjarakan atau mencekal tokoh-tokoh pengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru.

3. Penerapan Dwi Fungsi ABRI

Drama pergantian kekuasaan dari Sukarno ke Suharto yang terjadi antara tahun 1965-1967 tidak bisa
dibilang sebagai suatu proses pengalihan yang bersih dari kekerasan. Operasi penumpasan komunisme
pasca G30S bahkan telah diakui sebagai suatu tindakan genosida oleh keputusan majelis Internasional
People’s Tribunal 1965 yang merupakan tanggung jawab negara -walaupun sampai sekarang semua
saran yang diberikan ditolak oleh negara-. Peran ABRI sangatlah besar selama operasi tersebut, dan tidak
bisa dipisahkan dari praktik penerapan Dwifungsi ABRI pada periode kekuasaan Orde Baru.

Gagasan akan Dwifungsi ABRI pertama kali dicetuskan oleh Jenderal Nasution yang awalnya dipraktikkan
di divisi Siliwangi. Menurut Ali Murtopo, ABRI memang sejak pertama kali dibentuk dan selama
perkembangannya tidak hanya menjadi alat pertahanan dan keamanan (hankam) negara, namun juga
alat pengendali politik. Di sinilah bagaimana Dwifungsi ABRI bekerja dengan seakan-akan tanpa
gangguan dan dibenarkan secara mutlak. Data yang dikumpulkan oleh David Jenkins menunjukkan
bahwa pada pertengahan 1970an saja, terdapat 20.000 personel militer yang sebagian besar berasal dari
kesatuan Angkatan Darat yang masuk ke ranah politik, mulai dari menteri sampai duta besar, gubernur,
dan camat, dan bahkan di ranah ekonomi seperti direktur BUMN dan pejabat bank.
Masuknya para serdadu tentara ke dalam ranah di luar hankam tidak hanya menyebabkan berkurangnya
kesempatan masyarakat sipil untuk memiliki karir, namun juga terbukti mendorong maraknya kasus
korupsi di dalam tubuh pemerintahan dan sektor ekonomi yang merugikan rakyat, namun tidak ditindak
secara tegas menurut kerangka hukum. Yang menarik adalah bahwa pemerintah Orde Baru lebih sering
mempropagandakan bahwa ancaman keamanan nasional datangnya dari dalam negeri. Misalnya seperti
kejahatan yang dilakukan preman, dan akar-akar komunisme di lapisan masyarakat, dan hal tersebut
sebenarnya membuka jalan untuk membenarkan praktik Dwifungsi ABRI untuk berkuasa baik di ranah
hankam dan non-hankam. Intinya, barisan militer pada rezim Orde Baru menjadi alat kekuasaan dengan
diterapkannya Dwifungsi ABRI.

Selain kekuatan ABRI yang besar dalam kontrol hankam, mereka juga mendapatkan suatu ‘anugerah’
pembenaran dan kebebasan mutlak untuk melakukan penindasan terhadap masyarakat. Salah satu
contohnya adalah pembenaran atas tindakan kejahatan kemanusiaan pada ratusan ribu masyarakat
Indonesia yang ditangkap, dipenjara, dan bahkan dieksekusi tanpa proses peradilan karena dianggap
berafiliasi dengan komunisme. ABRI dibenarkan untuk semua tindakan tersebut, karena memegang
otoritas hankam yang tidak bisa dipatahkan oleh pihak manapun.

Sekarang jika kita lihat pada momentum pasca kejatuhan Orde Baru, secara tertulis memang praktik
Dwifungsi ABRI tidak lagi diterapkan, namun kekuatan militer di berbagai daerah masih dianggap suatu
solusi untuk alih-alih menjaga ‘stabilitas dan keamanan negara’. Misalnya masih ada saja serdadu aktif
yang dijadikan bagian dari struktur politik masyarakat sipil seperti RT/RW dan camat. Bahkan dalam
pemberitaan pun, tokoh-tokoh militer yang pernah terkait dengan isu-isu kejahatan kemanusiaan di
masa lalu masih digambarkan sebagai sosok pahlawan yang telah menjaga keutuhan negara. Secara
mental, negara kita masih tidak bisa atau tidak mau jauh-jauh dari keagungan militerisme yang dianggap
gagah dan berjasa, dan hal tersebut tidak lain adalah untuk membentuk pencitraan ABRI atau TNI yang
masih pantas untuk terlibat di dalam ranah non-hankam negara Indonesia dan membenarkan apa yang
telah mereka lakukan di masa lalu.

4. Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru

Kondisi ekonomi yang diwarisi Orde Lama adalah sangat buruk. Sektor produksi barang-barang konsumsi
misalnya hanya berjalan 20% dari kapasitasnya. Demikian pula sektor pertanian dan perkebunan yang
menjadi salah satu tumpuan ekspor juga tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hutang yang
jatuh tempo pada akhir Desember 1965, seluruhnya berjumlah 2,358 Juta dollar AS. Dengan Perincian
negara-negara yang memberikan hutang pada masa Orde Lama adalah blok negara komunis (US $ 1.404
juta), negara Barat (US $ 587 juta), sisanya pada negara-negara Asia dan badan-badan internasional.

Untuk menanggulangi hutang luar negeri pemerintah Orde Baru berupaya melakukan diplomasi dengan
mengirimkan tim negosiasinya ke Paris, Perancis (Paris Club) dan ke London , Inggris (London Club),
untuk merundingkan hutang piutang negara dan swasta. Pemerintah Orde Baru juga mencapai
kesepakatan dengan pemerintah Belanda mengenai pembayaran ganti rugi sebesar 165 juta dollar AS
terhadap beberapa perusahaan mereka yang dinasionalisasi oleh Orde Lama pada tahun 1958. Begitu
pula dengan Inggris telah dicapai suatu kesepakatan untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan
Inggris yang kekayaannya disita oleh pemerintah RI semasa era konfrontasi pada tahun 1965.

Program rehabilitasi ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS No.XXIII/1966 yang
isinya tentang pembaruan kebijakan landasan ekonomi, keuangan, dan pembangunan.Tujuan
dikeluarkan keterapan tersebut adalah untuk mengatasi krisis dan kemerosotan ekonomi yang melanda
negara Indonesia sejak tahun 1955. Berdasarkan ketetapan tersebut, Presiden Suharto mempersiapkan
perekonomian Indonesia sebagai berikut:
1. Mengeluarkan Peraturan 3 Oktober 1966, tentang pokok-pokok regulasi.
2. Mengeluarkan Peraturan 10 Pebruari 1967, tentang harga dan tarif.
3. Peraturan 28 Juli 1967, tentang pajak usaha serta ekspor Indonesia.
4. UU No. 1 Tahun 1967 , tentang Penanaman Modal Asing.
5. UU No. 13 Tahun 1967, tentang Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja ( RAPB).

Upaya diplomasi ekonomi ke negara-negara Barat dan Jepang itu berhasil mengatur penjadwalan
kembali pembayaran hutang negara dan swasta yang jatuh tempo dan mampu meyakinkan negara-
negara tersebut untuk membantu Indonesia. Misalnya dibentuknya lembaga Inter Governmental Group
on Indonesia (IGGI). Proses pembentukan IGGI diawali oleh suatu pertemuan pada bulan Februari 1967,
di Amsterdam. Dalam pertemuan itu disepakati untuk membentuk IGGI dan Belanda ditunjuk sebagai
ketuanya.

Selain mengupayakan masuknya dana bantuan luar negeri, pemerintah Orde Baru juga berupaya
menggalang dana dari dalam negeri yaitu dana masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan oleh
pemerintah bersama–sama Bank Indonesia dan bank-bank milik negara lainnya adalah berupaya agar
masyarakat mau menabung.

Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pada awal Orde Baru mulai menunjukan hasil positif.
Hiperinflasi mulai dapat dikendalikan, dari 650% menjadi 120% (1967), dan 80% (1968), sehingga pada
tahun itu diputuskan bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama akan dimulai pada
tahun berikutnya (1969). Setelah itu pada tahun-tahun berikutnya inflasi terus menurun menjadi 25%
(1969), 12% (1970), dan 10% (bahkan sampai 8.88%) pada tahun 1971.

Indonesia pada awal pemerintahan Orde Baru berhasil mengatasi krisis ekonomi yang diderita. Banyak
modal asing datang, industri berkenbang pesat, dan muncul kesempatan kerja. Indonesia juga menjalin
kerja sama dengan lembaga keuangan dunia, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia
(World Bank).

5. Kebijakan Pembangunan Orde Baru

Beberapa hal yang menjadi bagian dari kebijakan ekonomi pada masa pemerintahan orde baru yaitu:
1. Repelita

Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun adalah kebijakan orde baru dalam bidang ekonomi
yang dimulai pada tahun 1969 sampai tahun 1994. Upaya pemerintah orde baru untuk meningkatkan
ekonomi secara nasional berhasil dengan menggunakan Repelita, diantaranya terwujudnya swasembada
pangan nasional pada tahun 1984. Repelita dibagi menjadi beberapa tahap Pelita (Pembangunan Lima
Tahun) seperti berikut ini:
 Pelita I yang dimulai pada 1 April 1969 – 31 Maret 1974 untuk meningkatkan taraf hidup rakyat
dan menekankan pembangunan pada bidang pertanian.
 Pelita II dimulai pada 1 April 1974 – 31 Maret 1979 yang dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi sebanyak rata – rata 7 persen setahun.
 Pelita III sejak 1 April 1979 – 31 Maret 1984 yang menekankan tujuan Trilogi Pembangunan.
 Pelita IV sejak 1 April 1984 – 31 Maret 1989 berhasil melaksanakan keluarga berencana dan
swasembada pangan serta perumahan.
 Pelita V dimulai pada 1 April 1989 – 31 Maret 1994 menyasar sektor pertanian dan industri
untuk ekspor.
 Pelita VI yang bertujuan untuk membangun sektor pertanian dan industri ekspor.

2. Trilogi Pembangunan

Selain itu juga adanya wacana pembangunan nasional dalam istilah Trilogi Pembangunan yang dijadikan
landasan penentuan kebijakan politik, ekonomi dan sosial dalam pelaksanaan pembangunan negara. Ada
tiga aspek dalam trilogi pembangunan yaitu:
 Stabilitas ekonomi nasional yang sehat dan dinamis
 Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
 Pemerataan pembangunan serta hasil – hasilnya yang menuju terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat di Indonesia.

3. Pemulihan di Bidang Ekonomi Mulai 1966 – 1973

Tujuan dasar dari kebijakan orde baru adalah pembangunan ekonomi negara dengan bergabung kembali
ke dalam jajaran ekonomi dunia yaitu menjadi anggota IMF (International Monetary Fund), menjadi
anggota PBB kembali dan anggota Bank Dunia pada kurun waktu akhir tahun 1960an. Langkah ini
akhirnya memulai aliran bantuan keuangan dan bantuan asing dari negara Barat dan juga Jepang ke
Indonesia. Kemudian untuk mengatasi hiperinflasi, Soeharto mengandalkan para teknokrat ekonomi
yang sebagian besar dididik di Amerika Serikat untuk membuat rencana guna memulihkan ekonomi.

Pada akhir 1960an penciptaan stabilitas harga dilakukan melalui kebijakan yang melarang pendanaan
domestik dalam bentuk hutang atau pencetakan uang. Juga membebaskan kontrol pasar untuk
memulihkan mekanisme pasar bebas, menerapkan UU Penanaman Modal Asing pada 1967 dan UU
Penanaman Modal Dalam Negeri pada 1968. Penetapan kedua UU ini mengundang investor sehingga
pertumbuhan ekonomi mencapai lebih dari 10% di tahun 1968.
4. Pertumbuhan Ekonomi dan Intevensi Pemerintah (1974 – 1982)

Kebijakan orde baru tetap menjaga pertumbuhan ekonomi tahunan yang cepat diatas angka 5%.
Indonesia saat itu juga mendapat keuntungan secara signifikan dari perdagangan minyak di tahun
1970an sehingga sektor publik mampu berperan besar dalam perekonomian dengan berinvestasi dalam
pembangunan daerah, sosial, infrastruktur dan mendirikan industri dalam skala besar. Namun sebagai
akibat dari rakyat yang merasa diabaikan dari keuntungan ini terjadi sejarah peristiwa Malari pada tahun
1974, yang berawal dari protes terhadap banyaknya pemodal asing di Indonesia. Sejak itu aturan
mengenai investasi asing diperketat dan diganti dengan kebijakan memberi perlakuan khusus terhadap
pribumi.

5. Ekspor dan Deregulasi sejak 1983 – 1996

Hutang luar negeri bertambah dengan jatuhnya harga minyak sejak awal 1980an dan reposisi mata uang
pada tahun 1985 sehingga pemerintah harus melakukan berbagai kebijakan orde baru untuk
memulihkan kondisi makroekonomi. Berbagai tindakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
didorong oleh ekspor, seperti pembebasan bea cukai termasuk impor dan pengulangan devaluasi rupiah.
Selain itu pemerintah juga mengizinkan berbagai pendirian bank swasta baru, kebebasan bank asing
beroperasi di luar Jakarta, yang kemudian justru menjadi masalah yang menambah krisis di Indonesia
pada akhir 1990an, selain dari berbagai penyimpangan pada masa orde baru yang juga menjadi faktor
penyebab runtuhnya orde baru dan akhir masa pemerintahan Orde Baru.
C. Integrasi Timur - Timur

Kolonialisasi Portugis di Timor-Timur terjadi pasca keberhasilan Kerajaan Ternate yang dipimpin oleh
Sultan Baabullah mengusir Portugis dari Maluku. Portugis menduduki wilayah Pulau Timor bagian Timur,
sedangkan Belanda menguasai Pulau Timor bagian barat atas dasar kesepakatan tahun 1915. Timor-
Timur juga sering disebut sebagai Timor Portugis merupakan salah satu provinsi di luar negeri. Pada
masa penjajahan Portugis, Timor-Timur tertutup dari dunia luar. Portugis membentuk polisi rahasia yang
disebut dengan Polisi Internationale Defese do Estado (PIDE).

Perubahan kebijakan terhadap Timor-Timur oleh bangsa Portugis terjadi pasca adanya kudeta militer di
Portugis atas Antonio de Oliveire Salazar oleh Jenderal de Spinola. Kudeta ini dikenal dengan Red
Flower’s Revolution (Revolusi Bunga) atau juga sering disebut Revolusi Anyelir. Pemerintahan di Portugal
beralih dari dictator menjadi demokrasi. Disebut Revolusi Anyelir dikarenakan pada saat itu ditiap-tiap
moncong senjata diberi bunga Anyelir berwarna merah. Revolusi yang terjadi pada tanggal 25 April 1974,
membawa pengaruh yang besar terhadap kebijakan Portugis terhadap negara koloninya. Semua koloni
Portugis diberikan kebebasan untuk berdiri sendiri dan berkembang. Rakyat mendapatkan kesempatan
untuk berpolitik. Muncul adanya dekolonisasi Portugis terhadap Timor-Timur.

Dalam rangka pelaksanaan dekolonisasi, Menteri Seberang Lautan Portugis, 16-19 Oktober 1974 datang
ke Indonesia untuk membicarakan masalah tersebut. Presiden Indonesia, Soeharto, menegaskan
beberapa hal, yaitu:
1. Indonesia tidak memiliki ambisi teritotial
2. Sebagai negara yang memperoleh kemerdekaan dari perjuangan menentang penjajahan, Indonesia
mendukung gagasan Portugis untuk melaksanakan dekolonisasi Timor-Timur.
3. Dekolonisasi berdasarkan prinsip penentuan nasib sendiri
4. Dekolonisasi diharapkan berlangsung dengan aman tertib dan tidak menimbulkan goncangan di
daerah sekitarnya.
5. Apabila rakyat Timor-Timur ingin bergabung dengan Indonesia, maka akan ditanggapi secara positif
selama tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Pembentukan Partai di Timor Timur

Rencana dekolonisasi Portugis ini mendapatkan berbagai tanggapan dari rakyat Timor-Timur. Muncul
berbagai partai politik dengan corak dan tujuan masing-masing. Di Timor-Timur muncul tiga partai politik
besar yang memanfaatkan kebebasan yang diberikan oleh pemerintah Portugal. Ketiga partai politik itu
adalah:
1. Uniao Democratica Timorense (UDT-Persatuan Demokratik Rakyat Timor) didirikan oleh Mario Viegas
Carracalao yang ingin merdeka secara bertahap. UDT terdiri dari pimpinan senior administrasi, pemilik
perkebunan dan pemimpin suku asli. Untuk tahap awal UDT menginginkan Timor-Timur menjadi negara
bagian dari Portugal. Keinginan untuk tetap di bawah Portugis ini dikarenakan Timor-Timur belum dapat
berdiri sendiri atas dasar ekonomi yang masih lemah dan rakyatnya secara pendidikan masih tertinggal.
2. Frente Revoluciondria de Timor Leste Independente (Fretilin-Front Revolusioner Kemerdekaan Timor-
Timur) yang radikal berpaham Komunis dan ingin segera merdeka. Salah satu tokohnya adalah Fransisco
Xapier de Amara. Fretelin cepat menjadi partai politik yang popular dikarenakan berbagai program sosial
yang diperkenalkan kepada rakyat.
3. Associacau Popular Democratica Timurense (Apodeti- Ikatan Demokratik Popular Rakyat Timor) yang
ingin bergabung dengan Indonesia. Salah satu tokohnya adalah Arnaldo dos Ries Araujo yang ingin
bergabung dengan Indonesia. Dasar pertimbangan dari Apodeti untuk menggabungkan diri dengan
Indonesia adalah Timor-Timur terletak dalam satu pulau dengan Indonesia yakni Pulau Timor. Selain itu
persamaan historis, etnis dan budaya juga memiliki kesamaan dengan Indonesia.

Selain itu terdapat dua Partai kecil, yaitu Kota dan Trabalista. Ketiga partai tersebut saling bersaing,
bahkan timbul konfik berupa perang saudara.
Pada awalnya antara UDT dengan Fretelin bekerjasama. Namun dikarenakan adanya ketakutan bahwa
Fretelin akan menjadikan Timor-Timor menjadi komunis, kerjasama tersebut diakhiri. Kemudian terjadi
perang saudara antara UDT dengan Fretelin. Fretelin yang berideologi komunis mendapatkan dukungan
militer dari pemerintah Timor-Timor. Oleh karena itu Fretelin memperoleh kemenangan.

Proklamasi Balibo

Pada tanggal 2 November 1975, Fretelin mengumumkan pembentukan Republik Demokrasi Timor-Timur
dengan Xavier Do Amaral sebagai presidennya. Proklamasi yang dilakukan oleh Fretelin dianggap tidak
sah karena tanpa persetujuan dari partai lainnya. Adanya Proklamasi yang dibacakan oleh Fretelin
membuat UDT bersama Apodeti, Kota dan Trabalista mengeluarkan pengumuman bersama yakni
Proklamasi Balibo. Keempat partai itu pada tanggal 30 November 1975 di kota Balibo mengeluarkan
pernyataan untuk bergabung dengan pemerintahan Republik Indonesia.

Pada tanggal 17 Desember 1975, UDT, Apodeti, KOTA dan Trabalista menyatakan berdirinya
Pemerintahan Sementara Timor-Timur (PSTT) untuk menyelenggarakan tertib pemerintah, administrasi,
hukum dan keamanan. Gubernur PSTT dipilihlah Arnaldo Dos Ries Araujo yang merupakan ketua
Apodeti. Selain itu juga dibentuk DPR Timor-Timur yang diketuai oleh Guielerme Maria Goncalves.
Dengan terbentuknya PSTT dan DPR Timor-Timur tersebut, rakyat Timor-Timur mempunyai hak penuh
untuk memutuskan masa depannya sendiri.

Pemerintah Indonesia yang sedikit condong ke barat kemudian merespon positif dari Proklamasi Balibo
tersebut. Ada rasa ketakutan dimana nanti Fretelin dengan ideologi komunisnya yang akan menganggu
stabilitas Indonesia. Atas keinginan bergabung rakyat Timor Timur dan permintaan bantuan yang
diajukan, pemerintah Indonesia lalu menerapkan “Operasi Seroja” (1975-1977). Operasi militer ini diam-
diam didukung oleh Amerika Serikat, Australia dan negara barat lainnya yang tidak ingin pemerintahan
komunis berdiri di Timor Timur. Pada masa itu Perang Dingin antara AS dengan Uni Sovyet yang komunis
memang tengah berlangsung. Apalagi hal ini didasarkan oleh adanya Teori Domino, bahwa pasca
jatuhnya Vietnam ke komunis akan merembet ke daerah sekitarnya, salah satunya adalah Indonesia.

Pada tanggal 31 Mei 1976 DPR Timor-Timur mengeluarkan petisi yang isinya mendesak pemerintah
Republik Indonesia agar secepatnya menerima dan mengesahkan bersatunya rakyat dan wilayah Timor
Timur ke dalam Negara Republik Indonesia. Menanggapi Petisi tersebut, maka dibentuklah delegasi
Pemerintah Republik Indonesia ke Timor-Timur yang bertugas untuk menyaksikan dan berusaha
mengetahui kenyataan yang sebenarnya tentang kehendak rakyat Timor-Timur. Delegasi dipimpin oleh
Menteri Dalam Negeri Amir Machmud.

Bersamaan dengan operasi-operasi keamanan yang dilakukan, pemerintah Indonesia dengan cepat juga
menjalankan proses pengesahan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia dengan mengeluarkan UU No.
7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dan pembentukan Daerah Tingkat I Timor Timur. Pengesahan ini akhirnya diperkuat melalui Tap
MPR nomor IV/MPR/1978. Timor Timur secara resmi menjadi propinsi ke 27 di wilayah negara kesatuan
Republik Indonesia dengan ibu kota di Dili. Gubernur pertama dari Timor-Timur adalah Arnoldo dos Reis
Araujo dan wakilnya Fransisco Xavier Lopez da Cruz.

Integrasi Timor-Timur ke Indonesia masih menyisakan pro-kontra negara-negara di dunia. Salah satu
negara yang kontra adalah Portugal.

D. Dampak Kebijakan Politik & Ekonomi Masa Orde Baru


Berikut adalah dampak positif yang terjadi di masa Order Baru:

1. Masa pemerintahan yang lama membuat pembangunan menjadi berkesinambungan. Program


pemerintah bernama Pelita atau Pembangunan Lima Tahun, terus menerus menyambung mulai dari
Pelita I hingga Pelita VI sehingga hasilnya bisa dirasakan oleh masyarakat.
2. Pembangunan Lima Tahun selama 32 tahun banyak menitik beratkan pada sektor pertanian mengingat
negara Indonesia adalah negara agraris, hal ini sempat membuahkan hasil manis dimana Indonesia bisa
berswasembada beras.
3. Dampak dari swasembada beras ini adalah makin sejahteranya para petani di desa. Hal ini otomatis
menurunkan angka kemiskinan di Indonesia.
4. Penyebaran Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas di hampir semua wilayah di Indonesia
membuat masyarakat mudah mendapat pelayanan kesehatan.

Berikut adalah dampak negatif yang terjadi di masa Orde Baru:

1. Pemerintah bersifat otoriter sehingga semua kegiatan masyarakat diatur oleh tindakan pemerintah
orde baru dalam politik luar negeri akibatnya masyarakat tidak bisa leluasa dalam berkarya.
2. Pada masa Orde Baru atmosfir politiknya tidak sehat karena hanya ada satu partai lambang kekuasaan
absolut sedangkan yang dua hanya sebagai tambahan saja agar Indonesia disebut sebagai negara
demokrasi. Hal ini berdampak pada gagalnya pendidikan berpolitik pada masa itu.
3. Perwakilan rakyat hanya sebagai lambang saja, karena pada dasarnya hanya untuk melanggengkan
kekuasaan saat itu, dampaknya rakyat Indonesia tidak bisa memilih presiden yang sesuai dengan hati
nuraninya.
4. Di bidang ekonomi, orang-orang tertentu yang berada dilingkungan sekitar para penguasa akan bisa
menikmati kemudahan berbisnis hingga menggurita. Korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela dimana-
mana. Dampaknya orang-orang menghalalkan berbagai cara agar tujuannya tercapai.

TUGAS BAB II
SISTEM & STRUKTUR POLITIK, EKONOMI INDONESIA
PADA MASA ORDE BARU
TAHUN 1966 -1998

Disusun Untuk Memenuhi Tugas : Sejarah Wajib


Guru Mata Pelajaran : Nina Heliana, S.pd., M.M

Disusun oleh:

Rayhan Fathan

Kelas : XII MIPA 2

Sman 5 Kota Cirebon


Jalan Perjuangan Majasem
Telp.0231 480537 Cirebon 45135
Website: https://www.sman5cirebon.sch.id/
Email: @sman5cirebon.sch.id

Anda mungkin juga menyukai