Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MAKALAH SEJARAH INDONESIA

Nama: M. Pajar Hadika Putra

Kelas: XII IPS 2

SMA NEGERI 3 TEB0


Materi Penjelasan Tentang :

1. Orde Baru
2. Munculnya Latar Belakang Orde Baru
3. Perkembangan Ekonomi, Politik, Sosial Hukum
4. Akhir Dari Orde Baru
5. Pengertian Reformasi
6. Latar Belakang Munculnya Reformasi
7. Perbandingan Politik, Sosial & Ekonomi Masa Pemerintahan
Presiden Soeharto, Bj Habibi, Gusdur, Megawati, SBY, dan Jokowi
8. Akhir Dari Reformasi

1. Orde Baru

Orde Baru (sering kali disingkat Orba) adalah sebutan bagi masa


pemerintahan Presiden Jenderal Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang
merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali dengan
dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.[3] Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998.
Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi
bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela dan pengekangan kebebasan berpendapat.

Orde Baru merupakan salah satu istilah yang cukup familiar bagi kita. Menurut KBBI, kata baru
berarti menggambarkan suatu hal yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan orde berarti sistem
pemerintahan. Secara terminologi, Orde Baru berarti suatu tatanan seluruh perikehidupan rakyat,
bangsa dan negara yang diletakan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 45 secara murni
dan konsekuen. Dari beberapa pendapat tersebut kita simpulkan, bahwa orde baru merupakan sistem
pemerintahan di Indonesia yang menggantikan zaman sebelumnya didasarkan atas koreksi terhadap
berbagai penyimpangan. Lahirnya Orde Baru diawali dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto. Surat berisi instruksi presiden agar
Letjen. Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka
menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara
Republik Indonesia.
2. Munculnya Latar Belakang Orde Baru

Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang relatif
tidak stabil.[4] Bahkan, setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun
1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya persaingan di antara
kelompok-kelompok politik.[4] Keputusan Soekarno untuk mengganti sistem parlemen
dengan Demokrasi Terpimpin memperparah kondisi ini dengan memperuncing persaingan antara
angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia, yang kala itu berniat mempersenjatai diri.
[4]
 Sebelum sempat terlaksana, peristiwa Gerakan 30 September terjadi dan mengakibatkan
diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari Indonesia.[4] Sejak saat itu, kekuasaan Soekarno
perlahan-lahan mulai melemah.[5]

Supersemar dan kebangkitan


Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)

Di kemudian hari, Supersemar diketahui memiliki beberapa versi. Gambar ini merupakan Supersemar
versi Presiden.

Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966, yang
kemudian menjadi dasar legalitasnya.[3] Orde Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan seluruh
kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.[3]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat
itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang
berlangsung.[6] Di tengah-tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat
pasukan yang tidak dikenal.[3] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno
menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. Johannes
Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr Subandrio, dan
Waperdam III Chaerul Saleh.[6] Leimena sendiri menyusul presiden segera setelah sidang berakhir.[6]
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M.
Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto selaku
Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden.[6] Segera setelah mendapat izin,
pada hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan melaporkan kondisi
di ibu kota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa Angkatan Bersenjaya Republik Indonesia,
khususnya Angkatan Darat, dalam kondisi siap siaga.[6] Namun, mereka juga memohon agar Presiden
Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini.[6]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan kepada
Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam
rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan
negara Republik Indonesia.[6] Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh tiga perwira tinggi
ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, Brigadir Jenderal Amir
Machmud, dan Brigadir Jenderal Sabur, Komandan Pasukan Pengawal Presiden Tjakrabirawa.[6] Surat
perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.[6]
Pemberangusan Partai Komunis Indonesia

Soeharto (1949)

Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto mengambil
beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan yang berisi
pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang bernaung dan
berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia.[6] Keputusan ini
kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966
tanggal 12 Maret 1966.[7] Keputusan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya
mendapat sambutan dan dukungan karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura.[7]
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut
dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan
Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.[7] Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang
disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-orang
yang dianggap terlibat Gerakan 30 September.[7] Keanggotaan Partai Komunis Indonesia dalam
MPRS dinyatakan gugur.[7] Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai dengan UUD 1945,
yakni di atas presiden, bukan sebaliknya.[8] Di DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang anggota yang
diberhentikan.[7] Letnan Jenderal Soeharto juga memisahkan jabatan pimpinan DPRGR dengan
jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.[7]

3. Perkembangan Ekonomi, Politik, Sosial & Hukum

Perkembangan Politik Masa Orde Baru

Pasca penumpasan G 30 S/PKI, pemerintah belum sepenuhnya berhasil melakukan penyelesaian


politik terhadap peristiwa tersebut. Hal tersebut membuat situasi politik tidak stabil dan kepercayaan
masyarakat terhadap Presiden Soekarno semakin menurun. Pada saat bersamaan, Indonesia juga
menghadapi situasi ekonomi yang terus memburuk. Situasi tersebut mengakibatkan harga kebutuhan
pokok melambung tinggi. Kondisi ini mendorong para pemuda dan mahasiswa melakukan aksi-aksi
demonstrasi yang menuntut penyelesaian terhadap pelaku G 30 S/PKI dan perbaikan ekonomi.

Pada tanggal 12 Januari 1966 pelajar, mahasiswa, dan masyarakat mengajukan Tiga Tuntutan Rakyat
yang disebut dengan Tritura yang isinya adalah:

1. Bubarkan PKI.
2. Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur Gerakan 30 September.
3. Turunkan harga.

Tuntutan untuk membubarkan PKI ternyata tidak dipenuhi. Untuk mencoba menenangkan rakyat,
Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri.
Perubahan ini tidak memuaskan hati rakyat karena di dalamnya masih ada tokoh-tokoh yang disinyalir
terlibat G 30 S/PKI.

Pada saat pelantikan Kabinet 100 Menteri pada tanggal 24 Februari 1966, para pemuda dan
mahasiswa, berdemonstrasi memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka. Aksi itu dihadang pasukan
Cakrabirawa dan menyebabkan bentrok hingga gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia bernama
Arief Rachman Hakim. Peristiwa berdarah tersebut menyebabkan krisis politik Indonesia semakin
memuncak.

4. Akhir Dari Orde Baru

Setelah rangkaian pelaksanaan Supersemar, pada tanggal 12 Maret 1967 Sidang Istimewa MPRS
menetapkan Letjen Soeharto sebagai pejabat presiden. Kemudian pada tanggal 27 Maret 1968, MPRS
mengukuhkannya sebagai presiden penuh. Dengan dikukuhkannya Letjen Soeharto sebagai presiden,
Indonesia memasuki periode kepemimpinan baru, yakni masa Orde Baru.
Setelah memperoleh kekuasaan sepenuhnya, pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto
melaksanakan penataan stabilitas politik. Menurut Tim Kemdikbud (2017, hlm. 264-265) beberapa
langkah yang dilakukan pemerintah masa orde baru untuk penataan stabilitas politik antara lain adalah
sebagai berikut.

1. Pemulihan Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif

Sebelumnya, pada Masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia seakan malah mengambil kubu pada
negara-negara Timur yang mengusung komunisme. Oleh karena itu, pemulihan gerakan non blok
Indonesia mulai dilakukan pada masa orde baru. Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif
kembali dipulihkan dengan dikeluarkannya sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar
negeri Indonesia, di antaranya Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik
Luar Negeri RI Bebas Aktif.

2. Pemulihan Hubungan dengan Malaysia

Pemulihan politik luar negeri Indonesia juga dilakukan dengan pemulihan hubungan Indonesia dan
Malaysia dengan diadakannya perundingan Bangkok pada 29 Mei hingga 1 Juni 1966 yang
menghasilkan Perjanjian Bangkok. Selanjutnya pada tanggal 11 Agustus 1966 ditandatangani
persetujuan pemulihan hubungan antara Indonesia dan Malaysia di Jakarta. Persetujuan ini
ditandatangani oleh Adam Malik dari Indonesia dan Tun Abdul Razak dari Malaysia.

3. Kembali Menjadi Anggota PBB

Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Keputusan tersebut diambil karena pemerintah menyadari betul banyaknya manfaat yang
diperoleh Indonesia selama menjadi anggota PBB. Kembalinya Indonesia menjadi anggota disambut
baik oleh PBB dan anggota-anggotanya. Hal tersebut ditunjukkan dengan terpilihnya Adam Malik
sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974.

4. Ikut Memprakarsai Pembentukan ASEAN

Berdirinya ASEAN ditandai dengan penandatanganan Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus
1967. Tujuan pembentukan ASEAN adalah untuk meningkatkan kerjasama regional negara-negara di
Asia Tenggara, khususnya di bidang ekonomi dan budaya. Tokoh-tokoh yang menandatangani
Deklarasi Bangkok adalah Adam Malik (Menteri Luar Negeri Indonesia), S. Rajaratnam (Menteri
Luar Negeri Singapura), Tun Abdul Razak (Pejabat Perdana Menteri Malaysia), Thanat Khoman
(Menteri Luar Negeri Thailand), dan Narcisco Ramos (Menteri Luar Negeri Filipina).

5. Penyederhanaan Partai Politik

Pada masa Orde Baru, pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai-partai
politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut didasarkan
pada persamaan program. Tiga partai berdasarkan kekuatan sosial politik itu adalah sebagai berikut.
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti.
2. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba,
IPKI, dan Parkindo.
3. Golongan Karya (Golkar).

5. Pengertian Reformasi

Reformasi merupakan upaya dari pemerintah maupun individu untuk melakukan perubahan
terhadap suatu badan atau lembaga yang berada di suatu lingkungan, dengan melihat
fenomena yang telah terjadi sebelumnya, dan dirasakan tidak memberikan dampak secara
signifikan terhadap perbaikan kesejahteraan anggota melalui sistem pemerintahan maupun
pengorganisasian yang baik. Reformasi bisa dilakukan di semua aspek kehidupan, tanpa
terkecuali di bidang agama, berdasarkan pada dinamika-dinamika kehidupan yang keliru
yang diterapkan selama ini, sehingga membutuhkan perbaikan dan pelurusan tujuan
melalui /visi dan misi yang jelas.

Menurut McGrath, para mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya, secara umum mendekati
Reformasi dengan pola pikir yang hampir sama, mereka bagaikan pelancong-pelancong pada
Abad Pertengahan yang mendekati hutan lebat yang gelap di bagian selatan Jerman. Mereka
bagaikan penjelajah yang berpetualang masuk ke daerah yang baru, tidak pasti apa yang akan
mereka temukan. Bahkan lebih dalam, McGrath mengatakan bahwa para mahasiswa kadang-
kadang tergoda untuk mengabaikan ide-ide dan paham-paham dari Reformasi supaya mereka
dapat memusatkan perhatian pada aspek-aspek sosial dan politik, sehingga konsekuensinya
mereka akan gagal menangkap esensi dari Reformasi sebagai suatu fenomena sejarah dan
gagal memahami mengapa Reformasi merupakan titik rujukan bagi banyak perdebatan di
dalam dunia keagamaan masa kini dan di bidang lain.

Dari pandangan di atas dapat kita cermati, bahwa seharusnya reformasi itu dilakukan dengan
menyeluruh tanpa pandang bulu dan tempat. Siapa saja bisa menjadi pelaku dalam
menjalankan reformasi yang adil dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, sebagai
landasan dalam menjalankan gerakan perubahan pada setiap bangsa yang memiliki jiwa
besar.

Barnard T. Adney-Risakota, Ph.D, seorang warga Negara Amerika Serikat menyatakan


pendapatnya dalam sebuah artikel yang menyatakan pandangan terbalik antara Reformasi di
Amerika dan upaya Reformasi Di Indonesia;

“Kalau setiap orang punya kebaikan dan kejahatan, setiap sistem juga punya unsur yang baik
dan jelek. Dalam politik yang nyata, tujuan realistis adalah mengurangi yang jelek dan
menguatkan yang baik. Orde Baru bukan neraka yang bisa ditukar dengan surga. Saya agak
malu dengan orang yang menjelekkan Indonesia terus dan memuji-muji negara asal saya,
Amerika Serikat yang seperti surga demokrasi. Menurut pendapat saya, ada banyak unsur
dalam budaya sosial politik Indonesia yang jauh lebih baik dibandingkan dengan AS.
Kelebihan dan kekurangan di Indonesia berbeda dengan kelebihan dan kekurangan di negara
Barat. Kalau sekarang dalam masa susah kekurangan Indonesia lebih menonjol, tidak berarti
jati diri atau nilai sosial budaya politik lebih rendah daripada negara yang disebut ‘maju’.
Besok, kejahatan Barat yang akan menonjol dan kejahatan Indonesia disembunyikan. Masa
reformasi adalah kesempatan luar biasa untuk meninjau kembali kekurangan sosio-politik di
Indonesia dan memperbaikinya. Tetapi jangan meremehkan harga diri Indonesia atau ‘throw
out the baby with the bathwater’. Kesusahan sekarang ini bisa menjadi anugerah Tuhan”.

6. Latar Belakang Munculnya Reformasi

Reformasi adalah sebuah era dalam perpolitikan Indonesia yang terjadi setelah mundurnya Soeharto
sebagai Presiden RI pada 1998. Sebelumnya, Soeharto menjabat sebagai Presiden Indonesia selama
32 tahun, yakni dari 1966 hingga 1998. Latar belakang lahirnya Reformasi ditandai dengan krisis
ekonomi dan politik pada akhir kekuasaan Orde Baru yang terjadi karena maraknya praktik Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan banyaknya beban utang negara yang tidak sanggup dibayar. Selain
itu, kepemimpinan Soeharto yang sangat otoriter menimbulkan ketidakpuasan masyarakat Indonesia.
Ketidakpuasan terhadap Soeharto tersebut kemudian menimbulkan demonstrasi besar-besaran di
seluruh Indonesia, yang melahirkan Reformasi. Berikut ini latar belakang lahirnya Reformasi. Baca
juga: Alasan Soeharto Dapat Memimpin Selama 32 Tahun Krisis ekonomi Krisis ekonomi yang
menyebabkan lahirnya reformasi bermula pada 1997, ketika nilai rupiah mulai anjlok. Puncak
anjloknya nilai rupiah terjadi pada Juli 1998, saat nilai tukar dengan dollar AS mencapai Rp 16.650.
Selain anjloknya nilai rupiah, krisis ekonomi juga dipicu oleh membengkaknya angka utang luar
negeri oleh swasta. Utang luar negeri itulah yang menjadi penyebab merosotnya ekonomi Indonesia.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia kemudian dibantu oleh International Monetary Fund (IMF)
yang memberikan solusi paket reformasi keuangan. Akan tetapi bantuan yang diberikan IMF malah
menjerat Indonesia dan membuat krisis ekonomi semakin berat. Baca juga: Sejarah Terbentuknya
International Monetary Fund (IMF) Kebijakan pembangunan era Orde Baru juga menjadi salah satu
faktor munculnya reformasi. Pasalnya, pemerintah Orde Baru hanya memfokuskan pembangunan di
Pulau Jawa, sementara wilayah lain kurang mendapatkan perhatian. Sehingga, pembangunan hanya
bisa dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia. KKN dan Otoriter Runtuhnya pemerintah
Orde Baru adalah hasil akumulasi dari berbagai macam Krisis, salah satunya adalah Krisis Politik.
Faktor politik yang mendorong terjadinya krisis politik di tanah air menjelang kejatuhan pemerintah
Orde Baru dan menjadi awal masa Reformasi di antaranya adalah kemenangan mutlak Golkar dalam
Pemilihan Umum 1997 yang dinilai tidak wajar. Pemilihan umum (pemilu) selama Orde Baru hanya
digelar sebagai formalitas, di mana pemilihan yang diselenggarakan selalu dimenangkan oleh partai
Golongan Karya atau Golkar. Hal ini karena Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang lancar
dilakukan oleh Soeharto dan kroninya yang terus berkuasa. Kemenangan Golkar di setiap pemilu
disebabkan karena semua elemen pemerintahan diharuskan memilih Golkar. Baca juga: Sejarah
Berdirinya Partai Golkar Selain itu, pemerintah Orde Baru sangat otoriter dan antikritik. Di awal
pemerintahannya, Orde Baru, yang fokus pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, tidak segan
menyingkirkan pendukung lawan politiknya yang dinilai akan mengancam. Gaya tangan besi atau
otoriter, secara perlahan membawa Soeharto mengontrol dan menguasai negara secara
berkesinambungan. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib. Kopkamtib yang sudah ada sejak 1965 ditugaskan
mengurusi penyaringan dan pembersihan aparatur negara melalui Keputusan Pangkopkamtib No.
Kep-010/Kopkam/3/1969 tahun 1969. Kopkamtib mengawasi kinerja birokrasi pemerintah dan bisa
masuk ke masyarakat luas. Kemudian pada 1975, Kopkamtib bertugas menyeleksi calon pegawai
negeri dari keterlibatan G30S.
7. Perbandingan Politik, Sosial & Ekonomi Masa Pemerintahan Presiden
Soeharto, Bj Habibi, Gusdur, Megawati, SBY, dan Jokowi

kebijakan politik dalam dan luar negeri pada masa pemerintahan BJ Habibie memberikan
kemerdekaan kepada Timor Leste, sedangkan pada masa Gus Dur diantaranya adalah mengganti
nama Irian menjadi Papua, sedangkan pada masa Megawati penerapan kebijakan dalam melawan
terorisme, sedangkan pada masa Susilo Bambang Yudhoyono peningkatan kerja sama Internasional,
dan pada masa Jokowi menjadi anggota dewan keamanan tidak tetap di PBB. Sementara di bidang
Ekonomi pada masa pemerintahan BJ Habibie menekan praktik monopoli, sedangkan pada masa Gus
Dur melawan tekanan IMF, sedamgkan pada masa Megawati membentuk KPK, sedangkan pada masa
Susilo Bambang Yudhoyono menerapkan kebijakan untuk melawan korupsi, sedangkan pada masa
Jokowi menerapakan kebijakan percepatan pemulihan ekonomi dan penguatan reformasi. Sementara
di bidang sosial pada masa BJ Habibie diantaranya adalah dihapusnya diskriminasi terhadap Etnis
Tionghoa, sedangkan pada masa Gus Dur menetapkan tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional,
sedangkan pada masa Megawati menerapkan tahun budaya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
pada tahun 2004, sedangkan pada masa Susilo Bambang Yudhoyono berhasil meredam konflik di
daerah-daerah, dan pada masa Jokowi menerapkan program jaminan kesehatan nasional. Untuk lebih
jelasnya, yuk pahami penjelasan di bawah ini. Sejak terjadinya reformasi pada tahun 1998, Indonesia
telah memiliki 5 Presiden, mulai dari era BJ Habibie (1998 - 1999), Abdurrahman Wahid atau Gus
Dur (1999 - 2001), Megawati Soekarno Putri (2001 - 2004) Susilo Bambang Yudhoyono (2004 -
2014), hingga Joko Widodo (2014 - Sekarang). Tentunya ke-lima Presiden ini memiliki kebijakan
masing-masing pada masa pemerintahan-nya.

1. Era Presiden BJ Habibie (1998 - 1999)

A. Bidang Politik Dalam dan Luar Negeri

* Menerapkan Pemilu yang bebas dan demokratis

* Memberikan hak referendum kepada Timor Leste untuk kemerdekaannya

* Menerapkan otonomi daerah

B. Bidang Ekonomi

* Memberikan wewenang kepada Bank Indonesia

* Menekan inflasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat

* Menekan praktik monopoli

C. Bidang Sosial

* Dihapusnya diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa.

* Memberikan kebebasan terhadap Pers

* Lahirnya komnas perempuan

2. Era Presiden Abdurrahman Wahid (1999- 2001)

A. Bidang Politik Dalam dan Luar Negeri

* Memisahkan TNI dengan Polri


* Mengganti nama Irian menjadi Papua

* Menerapkan otonomi daerah

B. Bidang Ekonomi

* Melawan tekanan IMF

* Pertumbuhan ekonomi ke arah yang positif sejak reformasi

* Turunnya angka ketimpangan

C. Bidang Sosial

* Menetapkan tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional

3. Era Presiden Megawati Soekarno Putri

A. Bidang Politik Dalam dan Luar Negeri

* Membangun hubungan diplomasi dengan negara-negara lain

* Menerapkan kebijakan melawan terorisme

* Memberikan peran kepada DPR sebagai penentu kebijakan diplomasi luar negeri

* Menerapkan interkoneksi terhadap wilayah-wilayah Indonesia yang sedang dilanda konflik.

B. Bidang Ekonomi

* Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

* Memperbaiki kinerja Ekspor

* Menerapkan kebijakan privitasi terhadap BUMN

C. Bidang Sosial

* 2004 ditetapkan sebagai tahun budaya di Nanggroe Aceh Darussalam

* Revitalisasi sekolah-sekolah di Indonesia khususnya di daerah-daerah konflik

4. Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004 - 2014)

A. Bidang Politik Dalam dan Luar Negeri

* Terbentuknya kemitraan strategis dengan negara-negara lain

* Tumbuhnya konsep TRUST

* Membawa Indonesia cepat beradaptasi di era Globalisasi

B. Bidang Ekonomi

* Mengurangi subsidi dengan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)

* Menekankan program ekonomi makro

* Membangun infrasturktur massal agar terciptanya lapangan pekerjaan baru

C. Bidang Sosial
* Meredam sejumlah konflik yang terjadi di sejumlah daerah

* Membuat Undang-Undang tentang pornografi dan pornoaksi

5. Era Presiden Joko Widodo (2014 - Sekarang)

A. Bidang Politik Dalam dan Luar Negeri

* Menjadi anggota tidak tetap dalam Dewan Keamanan PBB

* Menjadi perwujudan dari perdamaian dunia

* Menerapkan prinsip politik bebas aktif dan zero enemy

B. Bidang Ekonomi

* Mempercepat pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19

* Mempercepat transformasi ekonomi menuju era digital

* Mendorong reformasi struktural

C. Bidang Sosial

* Penerapan Program Keluarga Harapan (PKH)

* Penerapan Program Jaminan Kesehatan (PJK)

* Penerapan program Kartu Keluarga Sejahtera (KKS)

8. Akhir Dari Reformasi

    Pada tahun 1997, krisis ekonomi yang melanda Thailand, mulai berdampak pada
perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mulai merosot hingga Rp
15.000/dollar. Harga-harga kemudian melambung tinggi, jumlah utang luar negeri mencapai
163 miliar dollar AS lebih, pengangguran dan kemiskinan penduduk meningkat tajam,
banyaknya bank bermasalah, pertumbuhan ekonomi minus 20% – 30%, dan KKN dikalangan
para pejabat Pemerintah menyebabkan krisis kepercayaan dari masyarakat. Kondisi krisis
ekonomi dan krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah ini kemudian mendorong ribuan
mahasiswa turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Tuntutan para mahasiswa adalah sebagai
berikut.
 
1. Pemerintah segera mengatasi krisis ekonomi.
2. Menuntut dilaksanakannya reformasi di segala bidang.
3. Menuntut dilaksanakannya sidang istimewa MPR.
4. Meminta pertanggungjawaban presiden.

 Maksud dan tujuan diadakannya reformasi adalah:


1. Menuntut turunnnya harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak tinggi sejak Juli 1997.
2. Menuntut MPR untuk tidak kembali mencalonkan Soeharto sebagai presiden untuk periode
ketujuh.
3.  Menjelang lengsernya Soeharto, para pejabat melakukan perjanjian simbolik dan beberapa langkah
kebijakan ekonomi guna untuk mencoba mengatasi keadaan dan mempertahankan kekuasaan (buying
time). 

Anda mungkin juga menyukai