Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang relatif
tidak stabil.[4] Bahkan setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun
1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya persaingan di
antara kelompok-kelompok politik.[4] Keputusan Soekarno untuk mengganti sistem parlemen dengan
Demokrasi Terpimpin memperparah kondisi ini dengan memperuncing persaingan antara angkatan
bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia, yang kala itu berniat mempersenjatai diri.[4] Sebelum
sempat terlaksana, peristiwa Gerakan 30 September terjadi dan mengakibatkan
diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari Indonesia.[4] Sejak saat itu, kekuasaan Soekarno
perlahan-lahan mulai melemah. [5]
Di kemudian hari, Supersemar diketahui memiliki beberapa versi. Gambar ini merupakan Supersemar versi
Presiden.
Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966,
yang kemudian menjadi dasar legalitasnya. [3] Orde Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan
seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.[3]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat
itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang
berlangsung.[6] Di tengah-tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana
terdapat pasukan yang tidak dikenal.[3] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden
Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr.
Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr Subandrio,
dan Waperdam III Chaerul Saleh.[6] Leimena sendiri menyusul presiden segera setelah sidang
berakhir.[6]
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M.
Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto selaku
Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden. [6] Segera setelah mendapat
izin, pada hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan melaporkan
kondisi di ibu kota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam
kondisi siap siaga.[6] Namun, mereka juga memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan
untuk mengatasi keadaan ini. [6]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan
kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi
keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. [6] Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu
oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf,
Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Sabur, Komandan Pasukan Pengawal
Presiden Cakrabirawa.[6] Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11
Maret 1966 atau Supersemar.[6]
Soeharto (1949)
Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto mengambil
beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan yang berisi
pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang bernaung dan
berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia. [6] Keputusan
ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris MPRS
No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966. [7] Keputusan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta
ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena merupakan salah satu realisasi
dari Tritura.[7]
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut
dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan
Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.[7] Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang
disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-
orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September.[7] Keanggotaan Partai Komunis
Indonesia dalam MPRS dinyatakan gugur.[7] Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai
dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya. [8] Di DPRGR sendiri, secara total ada
62 orang anggota yang diberhentikan. [7] Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR
dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri. [7]
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil sebagai
berikut:
Kebijakan ekonomi
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang ditinggalkan
oleh pemerintahan sebelumnya.[13] Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh rendahnya pendapatan
perkapita penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS, tingginya inflasi yang mencapai
65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik yang terjadi di akhir pemerintahan
Soekarno[13]
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek
berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan
usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan
sandang.[14] Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat
dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan meningkat. [14]
Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang disebut
sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).[14] Repelita pertama yang mulai
dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan
iklim usaha dan investasi.[14] Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk memenuhi
kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain. [14] Pembangunan antara lain
dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian seperti irigasi, perhubungan, teknologi
pertanian, kebutuhan pembiayaan, dan kredit perbankan. [14] Petani juga dibantu melalui penyediaan
sarana penunjang utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.[14]
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun,
pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat ditekan
menjadi 47,8% pada akhir Repelita I pada tahun 1974. [14] Repelita II (1974-1979) dan Repelita III
(1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan pemerataan
pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang mengolah bahan mentah
menjadi bahan baku.[14] Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai status swasembada beras
dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun
1970-an.[14] Fokus Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (1989-1994), selain berusaha
mempertahankan kemajuan di sektor pertanian, juga mulai bergerak menitikberatkan pada sektor
industri khususnya industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja,
industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri. [15]
Swasembada beras
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan sektor
pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan ekonomi dan
politik.[16] Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai prasarana
pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan bisnis.
[16]
Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga yang diberi
nama Bulog (Badan Urusan Logistik).[16]
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam. [16] Pada tahun 1962,
misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton. [16] Jumlah ini berhasil ditingkatkan tiga kali
lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi beras per jiwa meningkat dari
95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[16] Prestasi ini merupakan sebuah prestasi besar mengingat
Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1970-
an.[16]
Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama
masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. [18]
Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar
memperoleh 74,51% dengan perolehan 325 kursi di DPR.[19] Ini merupakan perolehan suara
terbanyak Golkar dalam pemilu.[20] Adapun PPP memperoleh 89 kursi dan PDI mengalami
kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR. [21]
Kemorosotan perolehan suara PDIP disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala
banteng tersebut.[butuh rujukan] PDI akhirnya pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno
Putri yang sekarang menjadi PDIP. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa
pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan
dengan baik.[butuh rujukan] Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas,
dan rahasia). Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu
kontestan Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971
sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara di MPR dan
DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik
Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR.
Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari
pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan. [butuh rujukan]
Singapura (2,06%), Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%). [27] Pendanaan yang didapatkan ABRI
pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara angkatan bersenjata Singapura
mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%.[27] Selain itu, peralatan dan perlengkapan yang dimiliki
juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar dan 160 tank ringan. [27]