Anda di halaman 1dari 9

Latar belakang

Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang relatif
tidak stabil.[4] Bahkan setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun
1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya persaingan di
antara kelompok-kelompok politik.[4] Keputusan Soekarno untuk mengganti sistem parlemen dengan
Demokrasi Terpimpin memperparah kondisi ini dengan memperuncing persaingan antara angkatan
bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia, yang kala itu berniat mempersenjatai diri.[4] Sebelum
sempat terlaksana, peristiwa Gerakan 30 September terjadi dan mengakibatkan
diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari Indonesia.[4] Sejak saat itu, kekuasaan Soekarno
perlahan-lahan mulai melemah. [5]

Supersemar dan kebangkitan Soeharto


Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)

Di kemudian hari, Supersemar diketahui memiliki beberapa versi. Gambar ini merupakan Supersemar versi
Presiden.

Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966,
yang kemudian menjadi dasar legalitasnya. [3] Orde Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan
seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.[3]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat
itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang
berlangsung.[6] Di tengah-tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana
terdapat pasukan yang tidak dikenal.[3] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden
Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr.
Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr Subandrio,
dan Waperdam III Chaerul Saleh.[6] Leimena sendiri menyusul presiden segera setelah sidang
berakhir.[6]
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M.
Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto selaku
Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden. [6] Segera setelah mendapat
izin, pada hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan melaporkan
kondisi di ibu kota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam
kondisi siap siaga.[6] Namun, mereka juga memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan
untuk mengatasi keadaan ini. [6]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan
kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi
keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. [6] Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu
oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf,
Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Sabur, Komandan Pasukan Pengawal
Presiden Cakrabirawa.[6] Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11
Maret 1966 atau Supersemar.[6]

Pemberangusan Partai Komunis Indonesia

Soeharto (1949)

Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto mengambil
beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan yang berisi
pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang bernaung dan
berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia. [6] Keputusan
ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris MPRS
No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966. [7] Keputusan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta
ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena merupakan salah satu realisasi
dari Tritura.[7]
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut
dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan
Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.[7] Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang
disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-
orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September.[7] Keanggotaan Partai Komunis
Indonesia dalam MPRS dinyatakan gugur.[7] Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai
dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya. [8] Di DPRGR sendiri, secara total ada
62 orang anggota yang diberhentikan. [7] Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR
dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri. [7]
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil sebagai
berikut:

 Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan


Supersemar.[9]
 Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara
Tingkat Pusat dan Daerah.[9]
 Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI
Bebas Aktif.[9]
 Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.[9]
 Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang
Bertentangan dengan UUD 1945.[9]
 Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan
Perundang-undangan di Indonesia.[9]
 Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966  tentang Pembubaran Partai Komunis
Indonesia dan Pernyataan Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya sebagai
Organisasi Terlarang di Indonesia. [9]
Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan dinilai
berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran Partai Komunis
Indonesia dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur Partai Komunis Indonesia.[9]
Selain dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia juga dibantai khususnya
di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau Jawa.[10] Pembantaian ini tidak hanya dilakukan oleh
angkatan bersenjata, namun juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai. [10] Selain kader, ribuan
pegawai negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap dan dikelompokkan
berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia.[10] Sebagian diasingkan ke
Pulau Buru, sebuah pulau kecil di wilayah Maluku. [11] Pada tanggal 30 September setiap tahunnya,
pemerintah menayangkan film yang menggambarkan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi
yang keji.[4]

Pembentukan Kabinet Ampera


Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan MPRS No.
XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Ampera. [12] Tugas utama
Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal dengan
nama Dwidarma Kabinet Ampera.[12] Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera
disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:[12]

1. memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;


2. melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam
Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional
sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
4. melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk
dan manifestasinya.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh
Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. [12] Akibatnya, muncul dualisme
kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu. [12]
Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh politik, namun kekuatannya perlahan-lahan dilemahkan.
[5]
 Kalangan militer, khususnya yang mendapatkan pendidikan di negara Barat, keberatan dengan
kebijakan pemerintah Soekarno yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. [5] Mengalirnya
bantuan dana dari Uni Soviet dan Tiongkok pun semakin menambah kekhawatiran bahwa Indonesia
bergerak menjadi negara komunis. [5]
Akhirnya pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak kala itu,
Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto. [12] Penyerahan ini tertuang
dalam Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari
1967.[12] Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang menyatakan
apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi sebagai
pemegang jabatan presiden. [12] Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan keterangan
pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan. [12] Namun,
pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan
tetap konstitusional.[12] Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret
1967 di Jakarta, yang akhirnya secara resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik
Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. [12]

Kebijakan ekonomi
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang ditinggalkan
oleh pemerintahan sebelumnya.[13] Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh rendahnya pendapatan
perkapita penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS, tingginya inflasi yang mencapai
65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik yang terjadi di akhir pemerintahan
Soekarno[13]
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek
berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan
usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan
sandang.[14] Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat
dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan meningkat. [14]
Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang disebut
sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).[14] Repelita pertama yang mulai
dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan
iklim usaha dan investasi.[14] Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk memenuhi
kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain. [14] Pembangunan antara lain
dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian seperti irigasi, perhubungan, teknologi
pertanian, kebutuhan pembiayaan, dan kredit perbankan. [14] Petani juga dibantu melalui penyediaan
sarana penunjang utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.[14]
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun,
pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat ditekan
menjadi 47,8% pada akhir Repelita I pada tahun 1974. [14] Repelita II (1974-1979) dan Repelita III
(1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan pemerataan
pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang mengolah bahan mentah
menjadi bahan baku.[14] Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai status swasembada beras
dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun
1970-an.[14] Fokus Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (1989-1994), selain berusaha
mempertahankan kemajuan di sektor pertanian, juga mulai bergerak menitikberatkan pada sektor
industri khususnya industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja,
industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri. [15]

Swasembada beras
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan sektor
pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan ekonomi dan
politik.[16] Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai prasarana
pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan bisnis.
[16]
 Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga yang diberi
nama Bulog (Badan Urusan Logistik).[16]
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam. [16] Pada tahun 1962,
misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton. [16] Jumlah ini berhasil ditingkatkan tiga kali
lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi beras per jiwa meningkat dari
95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[16] Prestasi ini merupakan sebuah prestasi besar mengingat
Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1970-
an.[16]

Pemerataan kesejahteraan penduduk


Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan kesejahteraan
penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan pangan, peningkatan gizi, pemerataan
pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar, penyediaan air bersih, dan
pembangunan perumahan sederhana.[16] Strategi ini dilaksanakan secara konsekuen di setiap pelita.
[17]
 Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari angka 60% pada tahun 1970-an ke angka
15% pada tahun 1990-an.[17] Pendapatan perkapita masyarakat juga naik dari yang hanya 70 dolar
per tahun pada tahun 1969, meningkat menjadi 600 dolar per tahun pada tahun 1993. [16]
Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang
tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an menjadi 61 tahun di 1992. [16] Dalam kurun waktu yang sama,
angka kematian bayi juga menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk
setiap 1.000 kelahiran hidup.[16] Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui program
Keluarga Berencana (KB).[16] Selama dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan penduduk mencapai
2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut dapat diturunkan menjadi 2,0% per
tahun.[16]

Penataan Kehidupan Politik


Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Organisasi masanya
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai
pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan: [butuh rujukan]

 Membubarkan Partai Komunis Indonesia pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat


dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
 Menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang di Indonesia
 Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap
terlibat Gerakan 30 September 1965.
Penyederhanaan Partai Politik
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai- partai politik
menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan
pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan sosial politik itu
adalah:[butuh rujukan]

 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari


NU, Parmusi, PSII, dan PERTI
 Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI,
Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upaya menciptakan
stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa pemerintahan
sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi di masa Orde Lama,
karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsi serta pemahaman
Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.

Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama
masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. [18]
Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar
memperoleh 74,51% dengan perolehan 325 kursi di DPR.[19] Ini merupakan perolehan suara
terbanyak Golkar dalam pemilu.[20] Adapun PPP memperoleh 89 kursi dan PDI mengalami
kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR. [21]
Kemorosotan perolehan suara PDIP disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala
banteng tersebut.[butuh rujukan] PDI akhirnya pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno
Putri yang sekarang menjadi PDIP. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa
pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan
dengan baik.[butuh rujukan] Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas,
dan rahasia). Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu
kontestan Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971
sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara di MPR dan
DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik
Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR.
Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari
pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan. [butuh rujukan]

Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI


Menurut Connie Rahakundini Bakrie, Orde Baru menempatkan militer sebagai pemain sentral dalam
perpolitikan melalui doktrin Dwi Fungsi ABRI.[22] Selain menjadi angkatan bersenjata, ABRI juga
memegang fungsi politik, menjadikannya organisasi politik terbesar di negara. Timbulnya pemberian
peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang
tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR mereka
mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu. [butuh rujukan]
Dasar hukum pelaksanaan Dwifungsi ABRI di antaranya yakni Ketetapan MPR, yaitu sejak TAP
MPR(S) No. II Tahun 1969 hingga TAP MPR No. IV Tahun 1978. [23] Selain itu, dasar hukumnya yakni
Undang-Undang (UU) No. 15 dan 16 tahun 1969 yang diperbarui menjadi UU No. 4 dan 5 tahun
1975.[24] Pengukuhan peran ABRI sebagai kekuatan sosial politik ditegaskan  dalam UU No. 20
Tahun 1982.[25] Dalam penjelasan pasalnya disebutkan bahwa prajurit ABRI dalam bidang sosial
politik bertindak selaku dinamisator dan stabilisator. [26] Peran dinamisator sebenarnya telah
diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah
melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah ditahan
Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa dari
perpecahan setelah Gerakan 30 September, yang melahirkankan Orde Baru.
Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri. [27] Banyak perwira, khususnya mereka yang
berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI. [27] Masuknya
pendidikan sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu mempelajari strategi
militer berkurang.[27]
Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. [27] Saat itu,
hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk Polisi yang kala itu masih menjadi bagian dari ABRI.
 Angka ini, yang hanya mencakup 0,15 persen dari total populasi, sangat kecil dibanding
[27]

Singapura (2,06%), Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%). [27] Pendanaan yang didapatkan ABRI
pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara angkatan bersenjata Singapura
mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%.[27] Selain itu, peralatan dan perlengkapan yang dimiliki
juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar dan 160 tank ringan. [27]

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)


Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk
menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya
Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). [butuh rujukan] Untuk
mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen,
maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada
semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk pemahaman yang sama
mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman yang sama terhadap
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan
terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada dukungan
yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.[butuh rujukan] Sehingga sejak tahun 1985 pemerintah
menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi. Semua
bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai
sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila
menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi
lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila,
hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Pancasila dianggap memiliki
kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan. [butuh rujukan]

Penataan Politik Luar Negeri


Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan. MPR
mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada kepentingan nasional, seperti
pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan. [butuh rujukan]

Kembali menjadi anggota PBB


Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah sadar bahwa
banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 1955-1964. [butuh
rujukan]
 Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara Asia lainnya
bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis
Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkan hubungan dengan
sejumlah negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya yang sempat
renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.

Normalisasi Hubungan dengan Negara lain


Pemulihan Hubungan dengan Singapura
Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia
dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.[butuh rujukan] Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah
Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri Lee
Kuan Yew.[butuh rujukan] Lalu pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk
mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Pemulihan Hubungan dengan Malaysia

Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia

Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan di


Bangkok pada 29 Mei - 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian tersebut
adalah: [28]

1. Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah


mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
2. Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
3. Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-
Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul Razak (Malaysia).
Pembekuan Hubungan dengan RRT
Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintah Republik Indonesia membekukan hubungan diplomatik
dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Keputusan tersebut dilakukan karena RRT telah
mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan kepada Gerakan 30
September baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah
terjadinya pemberontakan tersebut.[butuh rujukan] Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan
tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota
Keduataan Besar Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRT juga telah memberikan
perlindungan kepada tokoh-tokoh Gerakan 30 September di luar negeri, serta secara terang-
terangan menyokong bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia. Melalui media massanya RRT
telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Pada 30 Oktober 1967, Pemerintah Indonesia
secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.[butuh rujukan]

Penataan Kehidupan Ekonomi


Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama,
pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:

 Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini


didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966. [butuh rujukan]
 MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan serta
program stabilisasi dan rehabilitasi.
Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi
dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan inflasi
agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik
sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi
berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Wajib siswa membaca buku interaktif halaman 66 s/d 70

Anda mungkin juga menyukai