Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.
Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno.
Dengan dilantiknya Jenderal Soeharto sebagai presiden yang kedua (1967-1998), Indonesia
memasuki masa Orde Baru.
Orde baru lahir sebagai upaya untuk :
1.Mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
2.Penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
3.Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
4.Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna
mempercepat proses pembangunan bangsa.
Selama pemerintahan Orde Baru, stabilitas politik nasional dapat terjaga. Lamanya
pemerintahan Presiden Soeharto disebabkan oleh beberapa faktor berikut:
1. Presiden Soeharto mampu menjalin kerja sama dengan golongan militer dan cendekiawan.
2. Adanya kebijaksanaan pemerintah untuk memenangkan Golongan Karya (Golkar) dalam
setiap pemilu.
3. Adanya penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai gerakan
budaya yang ditujukan untuk membentuk manusia Pancasila, yang kemudian dikuatkan
dengan ketetapan MPR No II/MPR/1978.
4. Pelita IV
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor
pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan
mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap
perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal
sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
5. Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor
pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan
pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri
memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding
sebelumnya.
6. Pelita VI
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada
pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta
pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor
ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis
moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis
moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan
rezim Orde Baru runtuh.
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun
1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis
keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela,
sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat
mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan
oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi
total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat
itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti
akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya
Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang
gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi
reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII
menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang
bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD,
UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum
bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi.
Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J.
Habibie. Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda
akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Akan tetapi dengan Masih
adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa
Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum
berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era
Pasca Orde Baru".
Sebelum kita mengakhiri penjelasan tentang masa orde baru, ada baiknya kita juga
membahas tentnag kelemahan dan kekurangan pada masa orde baru. Adapun kelebihan dan
kekurangannya adalah sebagai berikut :
Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan
pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565
Sukses transmigrasi
Sukses KB
Sukses memerangi buta huruf
Sukses swasembada pangan
Pengangguran minimum
Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
Sukses Gerakan Wajib Belajar
Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
Sukses keamanan dalam negeri
Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Empatbelas tahun hampir tuntas sudah Indonesia menjalani babak baru pasca Orde Baru,
yang kita sebut Orde Reformasi. Perubahan demi perubahan menjadi fenomena bangsa kita
sejak kejatuhan Soeharto hingga memasuki masa tujuh-delapan tahun kepemimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Pada kurun waktu empatbelas tahun itu
sesungguhnya rakyat sudah semestinya dapat menikmati hasil dari perubahan yang menjadi
tuntutan jutaan mahasiswa dan masyarakat di akhir rezim Orde Baru tiga-belasan lalu.
Namun, kenyataan mengindikasikan seakan-akan pemerintah Indonesia belum mampu
membawa rakyatnya kepada kondisi yang diidamkan tersebut. Berbagai kasus yang terjadi
silih berganti di hampir seluruh pelosok tanah air menjadi pertanda bahwa tujuan negara
sebagaimana tercantum dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 belum tercapai,
bahkan seakan tiada akan terwujud.
Irman Gusman mencatat bahwa belakangan ini terdapat berbagai persoalan yang menjadi
menu keseharian rakyat Indonesia, mulai dari masalah makelar kasus, manipulasi pertanahan
dan kisruh agraria di mana-mana, penegakan hukum yang hanya berpihak kepada kelompok
tertentu, hingga penggelapan pajak triliunan rupiah adalah cerita miris yang menghimpit
setiap nurani kita. Masih banyak kisah pilu lainnya yang mendera bangsa ini. Pemandangan
penggusuran paksa, konflik-konflik bernuansa SARA, tawuran antar desa, antar sekolah,
antar kampus, antar komunitas hingga ke persoalan separitisme Organisasi Papua Merdeka,
Republik Maluku Selatan, dan lain-lain, masih menghiasi layar media massa kita hari-hari
ini. Di lain waktu kita juga disugihi informasi tentang hingar-bingarnya pola hidup hedonis-
materialistis dari sebagian masyarakat di tataran elit yang lebih beruntung nasibnya secara
materil dari kebanyakan rakyat di negara ini. Belum lagi jika kita lihat secara vulgar strategi
berpolitik para elit politik bangsa yang hampir seluruhnya menerapkan pola politik uang,
sebuah kehidupan politik yang oleh sebagian pihak menyebutnya sebagai sistem penerapan
demokrasi yang tidak manusiawi. Negeri ini sedang mengalami kerapuhan di segala bidang
yang menjurus kepada perpecahan dan disintegrasi bangsa. (Irman Gusman, 2011).
Badan dan institusi negara bermunculan dibentuk pemerintah yang ditujukan untuk
memperlancar penuntasan masalah dan berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang
dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Komisi Pemberantasan Korupsi misalnya, diadakan sejak
pemerintahan Presiden Megawati Sukarno Putri untuk menangani perkara korupsi yang
dikategorikan sebagai the extra-ordinary crime, yang telah menggurita secara luar biasa di
berbagai lapisan masyarakat kita. Sebagaimana yang diketahui bersama, hingga saat ini KPK
belum mampu menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan elite partai politik, pejabat tinggi
negara, maupun birokrat. Pada tataran yang lebih penting, mendesak, dan amat fundamental
bagi rakyat, yakni menyangkut kehidupan sehari-hari rakyat, terlihat bahwa pemerintah
masih kesulitan mengendalikan kenaikan harga bahan pokok yang semakin hari semakin
membumbung tak terjangkau oleh rakyat kebanyakan. Pangan seakan menjadi barang langka
dan sulit diakses oleh masyarakat. Ketahanan pangan menjadi pertaruhan bagi kelangsungan
hidup rakyat, yang sekaligus juga menjadi salah satu indikator penentu kuat-lemahnya
ketahanan nasional Indonesia.
Dalam doktrin Hankamrata disebutkan apabila salah satu bentuk ancaman atas
kedaulatan wilayah akan memperhitungkan dari ancaman regional atau ancaman
kawasan. Indonesia terletak di kawasan Asia Tenggara yang berdampingan pula
dengan Australia. Dalam hal ini, setidaknya terdapat 5 negara yang berpotensi
menjadi ancaman kedaulatan, yaitu Australia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan
Filipina. Hal ini berdasarkan pada fakta apabila Indonesia masih memiliki masalah
berupa persengketaan perbatasan dengan dengan negara-negara tetangga.
Persengketaan perbatasan akan sangat memungkinkan untuk memicu terjadinya
pergesekan (di perbatasan) yang dapat memicu terjadinya perang.
Dari 8 kekuatan kunci militer suatu negara, kemudian dibuatkan menjadi 8 unsur
yang secara langsung akan berpengaruh terhadap keputusan perang, yaitu:
1. Kekuatan Personil
2. Kekuatan Udara
3. Kekuatan Darat
4. Kekuatan Laut
5. Kekuatan Logistik
6. Kekuatan Sumber Daya Alam
7. Kekuatan Finansial
8. Keunggulan Geografis
Kekuatan udara, laut, dan darat sudah mulai diuraikan, karena akan berperan dalam
pengembilan keputusan dan strategi militer dalam jangka pendek (menjelang
perang). Perbandingan kekuatan militer yang akan diulas berikut ini berdasarkan 8
kekuatan kunci militer yang berperan dalam pengambilan keputusan perang.
Data kekuatan militer yang dirilis oleh GFP diambil berdasarkan data yang dihimpun
oleh CIA Fact and Statistic. Masih terlalu abstrak untuk dapat diketahui gambaran
kekuatan yang kongkrit, karena hanya berbasis pada pendekatan kuantitatif. Segala
unsur yang membentuk kekuatan militer di suatu negara bukan hanya mengenai
aspek kuantitatifnya, melainkan aspek kualitatif. Misalnya, untuk alat utama sistem
persenjataan (alutsista) atau weapon system saat ini sudah berkembang teknologi
yang masing-masing terbagi ke dalam periode 10-15 tahun (1 generasi). Masalah
lain mengenai keakuratan data misalnya pada kelompok helikopter yang saat ini
sudah terbagi ke dalam beberapa fungsi, seperti helikopter angkut logistik/pasukan
dan helikopter serang. Fakta lain yang tidak bisa diabaikan pula adalah pengalaman
perang di masa lalu yang membentuk cara berpikir dalam membangun strategi
militer di saat yang paling mendesak.
Peluang Indonesia
Berdasarkan data di atas, jika terjadi perang dalam waktu dekat dengan negara
terbesar di tingkat regional, peluang Indonesia bisa dikatakan kecil untuk bisa
bertahan dalam 1 minggu pertama pertempuran. Indonesia memiliki celah yang
paling lebar di bagian perairan laut. Dengan mengandalkan kapal patroli sebanyak
31 unit tidak akan cukup apabila tidak didukung oleh kekuatan udara yang memadai.
Jumlah kapal fregatnya pun hanya ada 6 unit yang mungkin siap untuk diterjunkan
ke dalam pertempuran langsung. Tetapi jumlah kapal fregat tersebut masih jauh di
bawah ideal apabila serangan masuk dari berbagai penjuru perbatasan laut.
Banyaknya kapal pengangkut militer (merchant marine) sebanyak 1.244 unit
(peringkat ketiga) mungkin akan cukup membantu mobilisasi alutsista darat.
Keuntungan Indonesia terletak pada kondisi geografisnya yang terdiri atas banyak
pulau-pulau besar, sedang, dan kecil. Butuh biaya dan sumber daya yang cukup
besar apabila hendak meredam pertempuran dengan Indonesia.
Australia
Australia sebenarnya bukanlah ancaman yang serius, tetapi negara ini dianggap
paling siap untuk melakukan konfrontasi (perang) langsung dengan Indonesia
dibandingkan negara-negara tetangga lainnya. Dilihat dari data kekuatan militer di
atas, jika pun harus berperang dengan Indonesia, Australia tidak mungkin bisa
menguasai seluruh wilayah (pulau), melainkan hanya diprioritaskan untuk
menguasai pulau-pulau strategis seperti Pulau Jawa dan Papua. Untuk itu saja,
Australia akan menghadapi risiko hilangnya sebagian besar pertahanan di dalam
negerinya sendiri. Australia pula tidak akan mengambil risiko dengan mengorbankan
seluruh warganya yang siap tempur (manpower fit for service) untuk terjun dalam
pertempuran dengan Indonesia. Hanya tersedia sekitar 10 juta personil militer saja
tidak akan cukup untuk bisa meredam 129 juta personil militer ataupun tambahan
paramiliter apabila terjadi perang gerilya. Dalam sejarah, Australia belum pernah
berkonfrontasi sendirian dengan Indonesia. Terakhir kali Australia membantu dalam
konfrontasi Indonesia-Malaysia, tetapi itu pun dengan keterlibatan Inggris. Di tahun
1999 lalu, keterlibatan Australia di Timtim (sekarang Timor Leste) itu pun berada
dibalik jubah pasukan perdamaian (UN) yang tentu pula disokong oleh Amerika dan
Inggris. Artinya, jika saja posisinya terancam untuk mengambil keputusan perang
dengan Indonesia, Australia tidak akan sendirian untuk menghadapi Indonesia.
Malaysia
Dalam sejarah, Malaysia belum pernah melakukan pertempuran head to head
dengan Indonesia, tanpa keterlibatan negara lain. Konfrontasi dengan Indonesia di
era Soekarno, Malaysia secara terbuka dibantu oleh Inggris dan Australia. Di atas
kertas, berdasarkan data yang dirilis oleh GFP di atas, Malaysia pun tidak memiliki
superioritas di bidang apapun untuk berperang dengan Indonesia. Malaysia mungkin
hanya unggul dalam beberapa hari pertempuran yang kurang dari seminggu. Untuk
menguasai Indonesia setidaknya akan membutuhkan waktu lebih dari 1 bulan
pertempuran langsung. Persoalan lainnya mengenai masalah kesamaan etnis
Melayu yang secara psikologis akan berpengaruh terhadap jalannya pertempuran.
Jika pun harus berperang dengan Indonesia, Malaysia tidak akan sendirian
menghadapi Indonesia. Sekalipun demikian, Malaysia bisa jadi adalah pemicu untuk
masuknya pertempuran besar yang melibatkan banyak negara.
Singapura
Singapura termasuk negara kecil di kawasan Asia Tenggara, tetapi bisa dikatakan
memiliki kekuatan alutsista yang cukup memadai untuk peperangan. Negara yang
terkenal dengan patung singa tersebut memiliki superioritas dalam kekuatan darat
(land army) dan didukung oleh kekuatan finansialnya. Singapura termasuk unggul
dalam teknologi seperti pada kekuatan udara dan laut. Tahun depan, sebanyak 2
skadron F-35 akan memperkuat kekuatan udara Singapura. Sekalipun demikian,
dengan ketersediaan jumlah personil yang paling sedikit, sangat diragukan
seluruhnya sistem persenjataan tersebut akan digunakan untuk menghadapi
Indonesia. Dalam hal ini, besar kemungkinan Singapura yang masuk ke dalam
kelompok persemakmuran Inggris akan dimanfaatkan oleh pihak lain dalam
melakukan pertempuran terbuka dengan Indonesia.
Thailand
Thailand merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang saat ini
masih mengoperasikan kapal induk (aircraft carrier). Sekalipun sudah berusia tua,
tetapi pihak GFP masih mencatat kapal induk tersebut berstatus aktif di mana di
atasnya mengusung jenis penyerang taktis seperti Super Entendart (buatan
Perancis). Thailand sebenarnya tidak memiliki sejarah konflik tertentu dengan
Indonesia, kecuali hanya masalah perbatasan perairan. Tetapi Thailand pernah
bergabung ke dalam pakta pertahanan Asia Tenggara, yaitu SEATO yang
didalamnya berisikan nama-nama negara Asia Tenggara (minus Indonesia) dan
Australia. Saat ini, Thailand bisa dikatakan cukup tergantung atau punya
kepentingan ekonomi dengan Indonesia, terutama untuk memasok bahan baku
industri dan komponen. Indonesia pula adalah pasar bagi industri Thailand,
sehingga tidak tertutup kemungkinan jika di masa mendatang akan beraliansi
kembali dengan pakta pertahanan untuk menghadapi Indonesia.
Filipina
Indonesia sebenarnya masih memiliki beberapa sengketa perbatasan perairan
dengan Filipina. Sekalipun demikian, Filipina lebih banyak mempersoalkan garis
batas perairan dengan China, ketimbang Indonesia. Sejarah Filipina sendiri relatif
cukup baik hubungannya dengan Indonesia, bahkan di masa Soekarno. Di antara
negara-neagra tetangga yang telah disebutkan sebelumnya, Filipina relatif memiliki
ancaman yang sangat kecil dengan Indonesia. Filipina pula sebenarnya turut
bersengketa perbatasan perairan dengan Malaysia yang lokasinya tidak berjauhan
dengan perbatasan perairan Indonesia. Jika melihat data kekuatan militer Filipina
yang dirilis oleh GFP, Filipina termasuk unggul dalam kekuatan personil (setelah
Indonesia). Tetapi negara ini sangat tidak memungkinkan untuk melakukan
konfrontasi terbuka dengan Indonesia. Melihat kondisi perekonomiannya Filipina
saat ini, akan terbuka kemungkinan negara ini mungkin akan berafiliasi dengan
sebuah kekuatan besar untuk menghadapi Indonesia. Seperti kejadian di masa lalu
dengan menjadikan negaranya sebagai basis pangkalan militer.
Opsi perang terbuka hampir tidak mungkin akan terealisasi dengan Indonesia.
Strategi pertempuran moderen saat ini sudah mulai bergeser dari model perang fisik
ke perang politik dan intelijen. Mereka akan cenderung menggunakan kekuatan
politik luar negerinya untuk menguasai pejabat publik, partai politik, akademisi,
institusi jurnalistik, maupun institusi sosial guna mengamankan kepentingan mereka
di Asia Tenggara. Bentuk perang moderen lainnya bisa berupa dengan klaim budaya
seperti yang belum lama ini dilakukan oleh Malaysia. Transisi budaya dan cara
berpikir pun sebenarnya merupakan bentuk perang moderen yang bertujuan untuk
menghilangkan identitas budaya nasional. Masih banyak bentuk perang moderen
yang melibatkan organisasi intelijen internasional untuk masuk ke dalam sistem
politik dan pemerintahan maupun ke dalam sistem sosial dan kemasyarakatan.
Daftar Istilah
Land weapon = persenjataan darat
APC = Armored Personnel Carrier = Kendaraan pengangkut personil
IFV = Infantry Fighting Vehicle = Kendaraan tempur pengangkut personil
Self-Propelled Gun = Semacam howitzer atau kendaraan dengan meriam besar
MLRS = Multiple-Lauch Rocket System = Kendaraanpeluncur roket
http://www.tugaskuliah.info/2010/03/makalah-ketahanan-nasional-pendidikan.html
Dalam rangka mempertahankan stabilitas negara, kita tahu bahwa negara wajib
memiliki sistem pertahanan dan keamanan yang dibentuk melalui beberapa kebijakan yang
diambil pemerintah dan mengikuti situasi yang sedang berlangsung. Sejarah kebijakan
pertahanan di Indonesia terus mengalami perubahan dari masa ke masa. Sebagai contoh, Andi
Widjajanto membagi periodisasi doktrin pertahanan Indonesia ke dalam enam periode yaitu,
periode perang kemerdekaan (1945-1949), RIS (1949-1950), perang internal (1950-1959),
demokrasi terpimpin (1959-1967), Orde Baru (1967-1998), dan Reformasi (1998-2004)
(Widjajanto, n.d.: 1). Dalam beberapa periode tersebut tentu saja RI memiliki kebijakan
pertahanan yang berbeda-beda. Hal tersebut dilakukan guna mencocokan kebutuhan
pertahanan negeri yang situasinya tidak konstan. Kita ambil contoh misalnya, pada periode
perang kemerdekaan yang dibutuhkan Indonesia adalah lebih kepada Badan Penolong
Keluarga Korban Perang dan bukanlah tentara. Seperti BKR, dimana pembentukannya
dimaksudkan untuk menghindari segala tindakan perlawanan militer yang dapat mempersulit
perundingan diplomasi dengan sekutu (Widjajanto, n.d.: 2). Kemudian pada periode RIS,
barulah diperlukan pengembangan konsep pasukan ekspedisi dan operasi gabungan karena
ditemui banyak sekali pemberontakan dalam negeri dan gerakan-gerakan separatis yang
mengancam stabilitas NKRI. Hingga pada tahun 1959 terus dikembangkan konsep Operasi
Militer Gabungan agar semakin mantap dalam menghadapi beragam bentuk gerakan separatis
lainnya.
Pada masa periode Demokrasi Terpimpin, Ir. Soekarno terus menggunakan doktrin
pertahanan rakyat yang sudah ditetapkan pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan kebijakan
pertahanan negara yang dimiliki oleh Indonesia saat itu bersifat anti-kolonialisme dan anti-
imperialisme. Dan juga disampaikan dalam Tap-MPR 1960 bahwa “pertahanan rakyat
semesta berintikan tentara suka rela dan milisi” (Widjajanto, n.d.: 8). Dari pernyataan
tersebut kita tahu bahwa dalam mempertahankan keutuhan NKRI tidak cukup dengan militer
saja, namun diperlukan juga rasa cinta tanah-air dari warga Indonesia dalam suka dan rela
membela keutuhan NKRI sebagaimana mestinya dan siap dalam situasi apapun. Kemudian,
kebijakan pertahanan pada era Orde Baru mulai mendapat perubahan, yakni diberlakukannya
dwifungsi ABRI. Dalam hal ini, tentara Indonesia memiliki hak dalam ruang lingkup hankam
dan juga politik. Sehingga situasi pemerintahan yang diciptakan cenderung militeris dan
otoriter. Segala bentuk aktivitas yang mengancam stabilitas jalannya pemerintahan serta
negara, walaupun hanya sedikit, segera diberantas oleh pemerintah saat itu juga. Hal itu
kemudian menimbulkan kesan bahwa pemerintahan Orde Baru tidak mengindahkan konsep
demokrasi dan kebebasan masyarakat dalam menyampaikan hak dan aspirasinya. Pada
akhirnya, jalannya pemerintahan yang terlalu membatasi kebebasan beraspirasi masyarakat
tidak bertahan lama. Masyarakat jenuh dengan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan pada
saat itu sehingga masa Orde Baru pun berakhir dan muncul era Reformasi.
Pada era Reformasi, reformasi yang utama kali dilakukan adalah reformasi militer. Dimana
reformasi militer dalam hal ini lebih mengutamakan dimensi politik dariapda dimensi
pertahanan untuk menanggalkan karakter TNI sebagai tentara politik dan usaha untuk
membangun citra TNI sebagai doktrin pertahanan baru (Widjajanto, n.d.: 20). Konsepsi
tentara politik yang berusaha ditanggalkan oleh proses reformasi militer merupakan antitesa
dari konsep Huntington tentang “non-political professional military” (Huntington, 1957
dalam Widjajanto, n.d.: 20). Untuk saat itu, TNI kemudian berkonsentrasi untuk menghapus
citra tentara politiknya dengan mengedepankan beberapa prinsip, berdasarkan birthright
principle dan competence principle (Nordholt, 2002 dalam Koonings dan Kruijt, n. d.). Tahap
pertama, militer Indonesia berkonsentrasi untuk mengedepankan birthright principle dengan
mengidentifikasi sebagai aktor yang berperan penting dalam kemerdekaan dan mendukung
penuh kebijakan pemerintah untuk meredam gerakan-gerakan separatis. Kedua, militer
Indonesia menjelma menjadi penjaga sekaligus penyelamat bangsa. Dan tahap ketiga,
menempatkan militer Indonesia sebagai satu-satunya aktor yang mampu menegakkan
integritas bangsa sekaligus menjadi motor pembangunan nasional. Sehingga dari penjelasan
yang singkat tersebut dapat diketahui bahwa kebijakan-kebijakan pertahanan era reformasi
cenderung lebih klasik dan menempatkan tentara Indonesia ke asalnya dengan tidak
mencampuri urusan politik lagi.
Dalam kaitannya dengan tantangan global yang dihadapi dalam sistem pertahanan Indonesia
sendiri, Djoko Sulistyo (2010) menyatakan bahwa kebijakan pertahanan yang disusun
Indonesia sendiri telah dilandasi oleh sejumlah tantangan yang secara potensial maupun
aktual mampu mengganggu eksistensi kedaulatan negara. Tantangan tersebut antara lain
dapat berupa terorisme, ancaman keamanan lintas negara, isu senjata pemusnah massal,
sengketa perbatasan, keamanan regional dan global, sumberdaya alam di Zona Ekonomi
Eksklusif, degradasi lingkungan, dan kemajuan teknologi dan informasi yang dapat
mengancam pertahanan Negara (Sulistyo, 2010: 2). Sehinngga dapat dikatakan bahwa Buku
Putih Pertahanan sebagai produk strategis tentang Kebijakan Pertahanan Negara telah
memberikan rumusan dalam menangkal berbagai ancaman yang kemudian hadir di
Indonesia. Namun berdasarkan praktek di lapangan, kebijakan strategis tersebut kurang
direalisasikan dalam pelaksanaan sistem pertahanan di Indonesia. Sebagai contoh pada
dasawarsa 1990-an pengadaan Alutsista masih bergantung pada Amerika Serikat serta
kurangnya performa dari TNI sebagai aparatur penjaga keamanan Indonesia baik dalam kasus
terorisme maupun konlfik dengan Malaysia. Konsekuensinya industri strategis perlu diberi
ruang dengan mengembangkan diri sebagai industri yang spesialisasinya menciptakan,
memproduksi, dan memasarkan alat-alat vital untuk kepentingan pertahanan (Sulistyo, 2010:
4).
Revitalisasi industri pertahanan dilakukan juga dengan memperkuat Komite Kebijakan
Indistri Pertahanan (KKIP) dalam rangka peningkatan daya saing dan kapasitas produksi
industri pertahanan, terwujudnya keserasian pengadaan Alutsista dari luar negeri melalui
program ToT (transfer of technoligy), dan joint production dalam pengadaan dan
pengembangan Alutsista TNI (JHW, 2013: 1). Selain itu pemerintah berusaha memberikan
perhatian khususnya terhadap wilayah terluar Indonesia dengan berbagai cara diantaranya
pembangunan pos-pos keamanan di wilayah perbatasan, pemberdayaan dan pengelolaan,
serta perundingan-perundingan mengenai keamanan perbatasan. Dalam kaitannya dengan
meningkatkan kinerja pertahanan negara, Djoko Sulistyo (2010) memberikan rekomendasi
berupa (1) pemerintah harus lebih serius merekrut putra-putri bangsa terbaik yang saat ini
berkarier di industri-industri strategis dan lembaga-lembaga riset di luar negeri agar mau
kembali ke Indonesia (brain gain), (2) Pemerintah perlu mengundang ilmuwan asing, yang
reputasinya tidak diragukan, untuk bekerja di industri-industri strategis, sehingga transfer
ilmu dan teknologi dapat lebih cepat diperoleh, (3) Pemerintah perlu menciptakan payung
hukum yang mengatur sinergi industri strategis, Perguruan Tinggi, dan lembaga-lembaga
Riset yang ada di Indonesia. (4) Pemerintah perlu memprioritaskan industri strategis yang
secara praktis memberi kontribusi pada implementasi konsep Pertahanan dan Keamanan
Nasional, (5) Stabilitas yang merupakan syarat utama dari pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan harus diletakkan dalam konteks kedaulatan negara yang benar-benar
memperoleh jaminan yang kuat dari sudut pertahanan dan keamanan nasional, dan (6) Sesuai
dengan peran industri strategis sebagai unsur vital dan berposisi sebagai lokomotif
perkembangan industri secara luas, maka industri-industri stategis perlu terus
mengembangkan produk-pruduk komersial nonmiliter yang kompetitif secara nasional dan
global.
REFERENSI:
JHW, Edwin. 2013. “Refleksi Penyelenggaraan Pertahanan 2012” diolah dari: Keputusan
Menteri Pertahan Nomor: KEP/20/M/I/2013 tanggal 9Januari 2012, tentang Kebijakan
Pertahanan Negara 2013. [online] dalam http://www.setkab.go.id/artikel-7400-refleksi-
penyelenggaraan-pertahanan-2012.html [diakses pada 11 Juni 2014]
Koonings, Kees dan Dirk Kruijt (Eds.), n. d. Political Armies: The Military and Nation
Building in the Age of Democracy, London: Zed Books. Hlm.136-161.
Sulistyo, Djoko. 2010. “Kebijakan Pertahanan Indonesia dan Revitalisasi Industri Strategis”
dalam Forum Diskusi Center for Strategic and Global Studies (CSGS). Departemen
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.