Anda di halaman 1dari 28

Sistem ketahanan nasional pada masa orde baru dan masa reformasi serta

perbedaan sistem ketahanan indonesia dengan negara lain

1. Bagaimana sistem ketahanan nasional pada masa ORBA dan masa


Reformasi !
- Sistem Pemerintahan Orde Baru

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.
Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno.
Dengan dilantiknya Jenderal Soeharto sebagai presiden yang kedua (1967-1998), Indonesia
memasuki masa Orde Baru.
Orde baru lahir sebagai upaya untuk :
1.Mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
2.Penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
3.Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
4.Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna
mempercepat proses pembangunan bangsa.

Selama pemerintahan Orde Baru, stabilitas politik nasional dapat terjaga. Lamanya
pemerintahan Presiden Soeharto disebabkan oleh beberapa faktor berikut:
1. Presiden Soeharto mampu menjalin kerja sama dengan golongan militer dan cendekiawan.
2. Adanya kebijaksanaan pemerintah untuk memenangkan Golongan Karya (Golkar) dalam
setiap pemilu.
3. Adanya penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai gerakan
budaya yang ditujukan untuk membentuk manusia Pancasila, yang kemudian dikuatkan
dengan ketetapan MPR No II/MPR/1978.

A. LATAR BELAKANG LAHIRNYA ORDE BARU


Latar belakang lahirnya Orde Baru :
1. Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
2. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30
September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung
lama.
3. Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan
upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar
menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.’
4. Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan
besar- besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI
berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.
5. Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung
membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal
dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30
September 1965.
6. Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR
mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi :
- Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
- Pembersihan Kabinet Dwikora
- Penurunan Harga-harga barang.
7. Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet
Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet
tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September
1965.
8. Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili
tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil
dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub).
9. Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang
bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas
Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil langkah
yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit
dikendalikan.
B. KEHIDUPAN POLITIK MASA ORDE BARU
Upaya untuk melaksanakan Orde Baru :
1. Melakukan pembaharuan menuju perubahan seluruh tatanan kehidupan masyarakat
berbangsa dan bernegara.
2. Menyusun kembali kekuatan bangsa menuju stabilitas nasional guna mempercepat proses
pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
3. Menetapkan Demokrasi Pancasila guna melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen.
4. Melaksanakan Pemilu secara teratur serta penataan pada lembaga-lembaga negara.
Pelaksanaan Orde Baru :
-Awalnya kehidupan demokrasi di Indonesia menunjukkan kemajuan.
-Perkembangannya, kehidupan demokrasi di Indonesia tidak berbeda dengan masa
Demokrasi Terpimpin.
-Untuk menjalankan Demokrasi Pancasila maka Indonesia memutuskan untuk
menganut sistem pemerintahan berdasarkan Trias Politika(dimana terdapat tiga
pemisahan kekuasaan di pemerintahan yaitu Eksekutif,Yudikatif, Legislatif) tetapi itupun
tidak diperhatikan/diabaikan.
Langkah yang diambil pemerintah untuk penataan kehidupan Politik :
A.Penataan politik dalam negeri
1. Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah Kabinet AMPERA
dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu untuk
menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan
pembangunan nasional. Program Kabinet AMPERA yang disebut Catur Karya Kabinet
AMPERA adalah sebagai berikut.
1. Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
2. Melaksanakan pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
3. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
4. Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
Selanjutnya setelah sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai presiden untuk
masa jabatan 5 tahun maka dibentuklah kabinet yang baru dengan nama Kabinet
Pembangunan dengan tugasnya yang disebut dengan Pancakrida, yang meliputi :
*Penciptaan stabilitas politik dan ekonomi
*Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap pertama
*Pelaksanaan Pemilihan Umum
*Pengikisan habis sisa-sisa Gerakan 3o September
*Pembersihan aparatur negara di pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI.
2. Pembubaran PKI dan Organisasi masanya
Suharto sebagai pengemban Supersemar guna menjamin keamanan, ketenangan, serta
kestabilan jalannya pemerintahan maka melakukan :
*Pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan dikukuhkannya
Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966..
*Dikeluarkan pula keputusan yang menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang di
Indonesia.
*Pada tanggal 8 Maret 1966 dilakukan pengamanan 15 orang menteri yang dianggap terlibat
Gerakan 30 September 1965. Hal ini disebabkan muncul keraguan bahwa mereka tidak
hendak membantu presiden untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
3. Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti
menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai.
Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas
persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik,
yaitu :
a. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai
Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam)
b.Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba,
IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis).
c.Golongan Karya (Golkar)
4. Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali
yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
dan 1997.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa
demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan
dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).Kenyataannya pemilu
diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu
mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut
sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR.
Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama
enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang,
dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa
catatan.
5. Peran Ganda ABRI
Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi ABRI
yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi
ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan
pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga
MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan
pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator.
6. Pemasyarakatan P4
Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman
untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu gagasan Ekaprasetia Pancakarsa.
Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam sidang umum tahun
1978 mengenai “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal
sebagai P4.
Guna mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4 secara
menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi
Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan
nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan
mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan oleh
pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah pada tahun
1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Penataran
P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari
sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
7. Mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) di Irian Barat dengan disaksikan oleh
wakil PBB pada tanggal 2 Agustus 1969.
B. Penataan politik luar negeri
Di samping membina stabilitas politik dalam negeri, Pemerintah Orde Baru juga mengadakan
perubahan-perubahan dalam politik luar negeri. Berikut ini upaya-upaya pembaharuan dalam
politik luar negeri:
1. Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB
Indonesia kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari komisi
bidang pertahanan keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap pemerintah Indonesia. Pada
tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi anggota
PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab kepentingan nasional
yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini dikarenakan Indonesia sadar bahwa
ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-
1964. Indonesia secara resmi akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28
Desember 1966.
Kembalinya Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah negara Asia bahkan dari pihak
PBB sendiri hal ini ditunjukkan dengan ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua Majelis
Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB
dilanjutkan dengan tindakan pemulihan hubungan dengan sejumlah negara seperti India,
Filipina, Thailand, Australia, dan sejumlah negara lainnya yang sempat remggang akibat
politik konfrontasi Orde Lama.
2. Membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina (RRC)
Sikap politik Indonesia yang membekukan hubungan diplomatik dengan RRC
disebabkan pada masa G 30 S/PKI, RRC membantu PKI dalam melaksanakan kudeta
tersebut. RRC dianggap terlalu mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
3. Normalisasi hubungan dengan beberapa negara
a. Pemulihan hubungan dengan Singapura
Sebelum pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah memulihkan hubungan
dengan Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk Myanmar).
Pemerintah Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap Republik Singapura pada
tanggal 2 Juni 1966 yang disampikan pada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Akhirnya
pemerintah Singapurapun menyampikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan
hubungan diplomatik.
b.Pemulihan hubungan dengan Malaysia
Normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan diadakan perundingan di
Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang menghasilkan perjanjian Bangkok, yang berisi:
*Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil
mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
*Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
*Peresmian persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia oleh Adam Malik dan Tun
Abdul Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11 agustus 1966 dan ditandatangani persetujuan
Jakarta (Jakarta Accord). Hal ini dilanjutkan dengan penempatan perwakilan pemerintahan di
masing-masing Negara.
Peran aktif Indonesia juga ditunjukkan dengan menjadi salah satu negara pelopor
berdirinya ASEAN. Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik bersama menteri luar
negeri/perdana menteri Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand menandatangi
kesepakatan yang disebut Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967. Deklarasi
tersebut menjadi awal berdirinya organisasi ASEAN.

C. KEHIDUPAN EKONOMI MASA ORDE BARU


Pada masa Demokrasi Terpimpin, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh
kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta.
Sehingga, pada permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha
penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi,
penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan
pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang
menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang
lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Oleh karena itu
pemerintah menempuh cara sebagai berikut.
1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
2. Kerja Sama Luar Negeri
3. Pembangunan Nasional
Pelaksanaannya pembangunan nasional dilakukan secara bertahap yaitu:
1) Jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun
2) Jangka pendek mencakup periode 5 tahun (Pelita/Pembangunan Lima Tahun), merupakan
jabaran lebih rinci dari pembangunan jangka panjang sehingga tiap pelita akan selalu saling
berkaitan/berkesinambungan.Selama masa Orde Baru terdapat 6 Pelita, yaitu :
1. Pelita I
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal
pembangunan Orde Baru.Tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya dengan sasaran
dalm bidang Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan
kerja, dan kesejahteraan rohani.
2. Pelita II
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah
tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan
memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi
rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai
60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat
Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.
3. Pelita III
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan
masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi
pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
*Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan
perumahan.
*Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
*Pemerataan pembagian pendapatan
*Pemerataan kesempatan kerja
*Pemerataan kesempatan berusaha
*Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda
dan kaum perempuan
*Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah tanah air
*Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

4. Pelita IV
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor
pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan
mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap
perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal
sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
5. Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor
pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan
pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri
memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding
sebelumnya.
6. Pelita VI
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada
pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta
pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor
ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis
moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis
moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan
rezim Orde Baru runtuh.

D. Runtuhnya Orde Baru

Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun
1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis
keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela,
sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat
mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan
oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi
total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat
itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti
akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya
Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang
gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi
reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII
menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang
bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD,
UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum
bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi.
Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J.
Habibie. Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda
akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Akan tetapi dengan Masih
adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa
Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum
berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era
Pasca Orde Baru".
Sebelum kita mengakhiri penjelasan tentang masa orde baru, ada baiknya kita juga
membahas tentnag kelemahan dan kekurangan pada masa orde baru. Adapun kelebihan dan
kekurangannya adalah sebagai berikut :

Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru

 Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan
pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565
 Sukses transmigrasi
 Sukses KB
 Sukses memerangi buta huruf
 Sukses swasembada pangan
 Pengangguran minimum
 Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
 Sukses Gerakan Wajib Belajar
 Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
 Sukses keamanan dalam negeri
 Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
 Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

 Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme


 Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan
antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar
disedot ke pusat
 Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan,
terutama di Aceh dan Papua
 Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh
tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
 Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si
kaya dan si miskin)
 Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
 Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
 Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang
dibredel
 Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius"
 Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
 Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak
Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif
negara pasti hancur.Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk
berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
 Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang
oleh swasta

Sistem ketahanan nasional pada masa orde baru dan reformasi

sistem Ketahanan Nasional pada Masa Orde Baru dan Reformasi

Perkembangan Ketahanan Nasional


Dewasa ini istilah ketahanan nasional sudah dikenal diseluruh Indonesia. Dapat dikatakan
bahwa istilah itu telah menjadi milik nasianal. Ketahanan Nasional baru dikenal sejak
permulaan tahun 60 an. Pada saat itu istilah itu belum diberi devenisi tertentu. Disamping itu
belum pula disusun konsepsi yang lengkap menyeluruh tentang ketahanan nasional. Istilah
ketahanan nasional pada waktu itu dipakai dalam rangka pembahasan masalah pembinaan ter
itorial atau masalah pertahanan keamanan pada umumnya.
Walaupun banyak instansi maupun perorangan pada waktu itu menggunakan istilah
ketahanan nasional, namun lembaga yang secara serius dan terus-menerus mempelajari dan
membahas masalah ketahanan nasional adalah lembaga pertahanan nasional atau lemhanas.
Sejak Lemhanas didirikan pada tahun 1965, maka masalah ketahanan nasional selalu
memperoleh perhatian yang besar.
Sejak mulai dengan membahas masalah ketahanan nasional sampai sekarang, telah dihasilkan
tiga konsepsi.Pengertian atau devenisi pertama Lemhanas, yang disebut dalam konsep 1968
adalah sebagai berikut :
Ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan kita dalam menghadapi segala kekuatan
baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung
membahayakan kelangsungan hidup Negara dan bangsa Indonesia.
Pengertian kedua dari Lemhanas yang disebut dalam ketahanan nasional konsepsi tahun 1969
merupakan penyempurnaan dari konspsi pertama yaitu :
Ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan suatu bangsa yang mengandung
kemampuan untuk memperkembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala
ancaman baik yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam yang langsung maupun
tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup Negara Indonesia.
Ketahanan nasional merupakan kodisi dinamis suatu bangsa, berisi keuletan dan
ketangguahan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional,didalam
menghadapi didalam menghadapi dan mengisi segala tantangan, ancaman ,hambatan, serta
gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak
langsung membahayakan integritas,identitas , kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta
perjuangan mengejar perjuangan nasional.
Apabila kita bandingkan dengan yang terdahulu, maka akan tampak perbedaan antara lain
seperti berikut :
a. Perumusan 1972 bersifat universal, dalam arti bahwa rumusan tersebut dapat diterapkan
dinegara-negara lain, terutama di Negara-negara yang sedang berkembang.
b. Tidak lagi diusahakan adanya suatu devenisi, sebagai gantinya dirumuskan apa yang
dimaksud kan dengan istilah ketahanan nasional.
c. Jika dahulu ketahanan nasional di identikkan dengan keuletan dan daya tahan , maka
ketahanan nasional merupakan suatu kondisi dinamis yang berisikan keuletan dan
ketangguhan, yang berarti bahwa kondisi itu dapat berubah.
d. Secara lengkap dicantumkan tantangan, ancaman , hambatan, serta ganguan.
e. Kelangsungan hidup lebih diperinci menjadi integritas, identitas, dan kelangsungan hidup.
Dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia Jendral Suharto di depan siding DPR
tanggal 16 Agustus 1975, dikatakan bahwa ketahanan nsional adalah tingkat keadaan dan
keuletan dan ketangguhan bahwa Indonesia dalam menghimpun dan mengarahkan
kesungguhan kemampuan nasional yang ada sehingga merupakan kekuatan nasional yang
mampu dan sanggup menghadapi setiap ancaman d an tantangan terhadap keutuhanan
maupun kepribadian bangsa dan mempertahankan kehidupan dabn kelangsungan cita-citanya.
Karena keadaan selalu berkembang serta bahaya dan tantangan selalu berubah, maka
ketahanan nasional itu juga harus dikembangkan dan dibina agar memadai dengan
perkembangan keadaan. Karena itu ketahanan nasional itu bersift dinamis, bukan statis.
Ikhtiar untuk mewujudkan ketahanan nasional yang kokoh ini bukanlah hl baru bagi kita.
Tetapiu pembinaan dan peningkatannya sesuai dengan kebutuhan kemampuan dan fasililitas
yang tersedi pula.
Pembinaan ketahanan nasional kita dilakukan dipelgai bidang : ideology , poluitik, ekonomi ,
sosial budaya dan hankam, baik secara serempak maupun menurut prioritas kebutuhan kita.
2. Perwujudan Ketahanan Nasional Indonesia dalan Trigarta
Untuk memberi gambaran umum tentang Indonesia, marilah kita membahasas dahulu dar
segi aspek-aspek alamiah atau Trigatra dengan mulai meninjau :
a. Aspek lokasi dan posisi Geografis Wilayah Indonesia
Jikalau kita melihat letak geografis wilayah Indonesia dalam peta dunia, maka akan nampak
jelas bahwa wilayah Negara tersebut merupakan suatu kepulauan, yang menurut wujud
kedalam, terdiri dari daerah air dengan ribuan pulau-pulau didalamnya. Yang dalam bahasa
asing bisa disebut sebagai suatu archipelago kelvar, kepulauan itu merupakan suatu
archipelago yang terletak antara benua Asia disebelah utara dan benua Australia disebelah
selatan serta samudra Indonesia disebelah barat dan samudra pasifik disebelah timr.
Berhubungan letak geografis antara dua benua dan samudra yang penting itu, maka dikatakan
bahwa Indonesia mempunyai suatu kedudukan geograpis ditengah tengah jalan lalu lintas
silang dunia. Karena kedudukannya yagn strategis itu, dipandang dari tiga segi kesejahtraan
dibidang politik, ekonomi dan sosial budaya Indonesia telah banyak mengalami pertemuan
dengan pengaruh pihak asing (akulturasi).
Menurut catatan Indonesia terdiri dari wilayah lautan dengan 13.667 pulau besar dan kecil,
diperkirakan 3.000 pulau diantaranya yang dialami penduduk.
Luas pulau-pulau diperkirakn 735.000 mil persegi, sedangkn luas perairannya ditaksir 3
sampai 4 kali luas tanah (pulau-pulau).
- Sistem Pemerintahan Masa Reformasi
Negara Indonesia dibentuk dalam kerangka mencapai tujuan nasional Indonesia Merdeka
yakni sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia. Hal tersebut tentunya harus dimaknai bahwa keberhasilan
bangsa Indonesia sebagai suatu negara akan diukur dari seberapa jauh tingkat kemampuan
Pemerintah bersama rakyatnya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, aman, adil
dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengorganisasian seluruh rakyat dan segala
sumber daya yang tersedia amat penting dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dalam hal
pengelolaan organisasi negara inilah, faktor kepemimpinan nasional amat menentukan.

Empatbelas tahun hampir tuntas sudah Indonesia menjalani babak baru pasca Orde Baru,
yang kita sebut Orde Reformasi. Perubahan demi perubahan menjadi fenomena bangsa kita
sejak kejatuhan Soeharto hingga memasuki masa tujuh-delapan tahun kepemimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Pada kurun waktu empatbelas tahun itu
sesungguhnya rakyat sudah semestinya dapat menikmati hasil dari perubahan yang menjadi
tuntutan jutaan mahasiswa dan masyarakat di akhir rezim Orde Baru tiga-belasan lalu.
Namun, kenyataan mengindikasikan seakan-akan pemerintah Indonesia belum mampu
membawa rakyatnya kepada kondisi yang diidamkan tersebut. Berbagai kasus yang terjadi
silih berganti di hampir seluruh pelosok tanah air menjadi pertanda bahwa tujuan negara
sebagaimana tercantum dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 belum tercapai,
bahkan seakan tiada akan terwujud.

Irman Gusman mencatat bahwa belakangan ini terdapat berbagai persoalan yang menjadi
menu keseharian rakyat Indonesia, mulai dari masalah makelar kasus, manipulasi pertanahan
dan kisruh agraria di mana-mana, penegakan hukum yang hanya berpihak kepada kelompok
tertentu, hingga penggelapan pajak triliunan rupiah adalah cerita miris yang menghimpit
setiap nurani kita. Masih banyak kisah pilu lainnya yang mendera bangsa ini. Pemandangan
penggusuran paksa, konflik-konflik bernuansa SARA, tawuran antar desa, antar sekolah,
antar kampus, antar komunitas hingga ke persoalan separitisme Organisasi Papua Merdeka,
Republik Maluku Selatan, dan lain-lain, masih menghiasi layar media massa kita hari-hari
ini. Di lain waktu kita juga disugihi informasi tentang hingar-bingarnya pola hidup hedonis-
materialistis dari sebagian masyarakat di tataran elit yang lebih beruntung nasibnya secara
materil dari kebanyakan rakyat di negara ini. Belum lagi jika kita lihat secara vulgar strategi
berpolitik para elit politik bangsa yang hampir seluruhnya menerapkan pola politik uang,
sebuah kehidupan politik yang oleh sebagian pihak menyebutnya sebagai sistem penerapan
demokrasi yang tidak manusiawi. Negeri ini sedang mengalami kerapuhan di segala bidang
yang menjurus kepada perpecahan dan disintegrasi bangsa. (Irman Gusman, 2011).

Badan dan institusi negara bermunculan dibentuk pemerintah yang ditujukan untuk
memperlancar penuntasan masalah dan berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang
dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Komisi Pemberantasan Korupsi misalnya, diadakan sejak
pemerintahan Presiden Megawati Sukarno Putri untuk menangani perkara korupsi yang
dikategorikan sebagai the extra-ordinary crime, yang telah menggurita secara luar biasa di
berbagai lapisan masyarakat kita. Sebagaimana yang diketahui bersama, hingga saat ini KPK
belum mampu menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan elite partai politik, pejabat tinggi
negara, maupun birokrat. Pada tataran yang lebih penting, mendesak, dan amat fundamental
bagi rakyat, yakni menyangkut kehidupan sehari-hari rakyat, terlihat bahwa pemerintah
masih kesulitan mengendalikan kenaikan harga bahan pokok yang semakin hari semakin
membumbung tak terjangkau oleh rakyat kebanyakan. Pangan seakan menjadi barang langka
dan sulit diakses oleh masyarakat. Ketahanan pangan menjadi pertaruhan bagi kelangsungan
hidup rakyat, yang sekaligus juga menjadi salah satu indikator penentu kuat-lemahnya
ketahanan nasional Indonesia.

2. Bandingkan sistem ketahanan nasional Negara Indonesia dengan


Negara lain di dunia !
Salah satu fungsi utama dari keberadaan militer di suatu negara adalah untuk
mengisi peran pertahanan dan menjaga kedaulatan wilayah. Berada tepat di tengah
dua samudera dan dua benua, Indonesia merupakan negara yang sarat akan
ancaman. Berbentuk negara kepulauan terbesar, Indonesia pula merupakan negara
yang sebagian besar celah pertahanannya berada di kawasan lautan.
Bagaimanakah perbandingan kekuatan militer Indonesia dengan negara-negara
tetangga? Berikut ulasan yang diambil dari situs Global Fire Power 2012 untuk
memberikan gambaran perbandingan kekuatan militer di tingkat regional.

Beberapa Indikator Kekuatan Militer


Kekuatan militer (fire power) meliputi segala aspek alat negara dan sumber daya
yang terdapat di suatu negara yang dapat difungsikan dengan segera untuk
keperluan perang. Perangkingan kekuatan militer yang dilakukan oleh Global Fire
Power (GFP) berdasarkan penilaian atas sejumlah indikator kekuatan militer, yaitu:
1. Personil
2. Sistem Persenjataan (Alutsista)
3. Kekuatan Maritim
4. Kekuatan Logistik
5. Sumber Daya Alam
6. Kekuatan Geografis
7. Kekuatan Keuangan (Finansial)
8. Lain-lain (Pendukung)
Masing-masing indikator memiliki beberapa sub indikator yang akan membentuk
kekuatan inti pertempuran. Cukup menarik, kekuatan maritim dipisahkan dari
kekuatan alutsista (poin nomor 2). Hal ini sebenarnya berkaitan dengan latar
belakang politik pertahanan di suatu negara berupa ofensif atau defensif di mana
seluruh permukaan bumi lebih banyak diliputi oleh wilayah perairan. Strategi militer
dan pertahanan nantinya akan mengkombinasikan keseluruhan unsur (indikator)
tersebut untuk menjadi sebuah kekuatan untuk mendukung sikap politik, termasuk
apabila diputuskan untuk menyatakan perang dengan negara lain.

Dalam doktrin Hankamrata disebutkan apabila salah satu bentuk ancaman atas
kedaulatan wilayah akan memperhitungkan dari ancaman regional atau ancaman
kawasan. Indonesia terletak di kawasan Asia Tenggara yang berdampingan pula
dengan Australia. Dalam hal ini, setidaknya terdapat 5 negara yang berpotensi
menjadi ancaman kedaulatan, yaitu Australia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan
Filipina. Hal ini berdasarkan pada fakta apabila Indonesia masih memiliki masalah
berupa persengketaan perbatasan dengan dengan negara-negara tetangga.
Persengketaan perbatasan akan sangat memungkinkan untuk memicu terjadinya
pergesekan (di perbatasan) yang dapat memicu terjadinya perang.
Dari 8 kekuatan kunci militer suatu negara, kemudian dibuatkan menjadi 8 unsur
yang secara langsung akan berpengaruh terhadap keputusan perang, yaitu:

1. Kekuatan Personil
2. Kekuatan Udara
3. Kekuatan Darat
4. Kekuatan Laut
5. Kekuatan Logistik
6. Kekuatan Sumber Daya Alam
7. Kekuatan Finansial
8. Keunggulan Geografis
Kekuatan udara, laut, dan darat sudah mulai diuraikan, karena akan berperan dalam
pengembilan keputusan dan strategi militer dalam jangka pendek (menjelang
perang). Perbandingan kekuatan militer yang akan diulas berikut ini berdasarkan 8
kekuatan kunci militer yang berperan dalam pengambilan keputusan perang.

Kekuatan Personil (Personnel)


Dengan dukungan jumlah penduduk yang paling besar, Indonesia nampaknya cukup
unggul untuk menopang kekuatan personil. Hal ini terlihat di seluruh sub personil
berselisih cukup signifikan dengan negara-negara tetangga. Indonesia masih
memiliki peluang yang cukup besar untuk mewujudkan bentuk perang gerilya,
termasuk pertempuran kota, apabila pertahanan terluar berhasil ditembus dan
dikuasai musuh.

Kekuatan Udara (Air Power)


Ada 3 sub kekuatan udara, yaitu total pesawat militer (seluruh jenis pesawat militer),
jumlah helikopter, dan lapangan udara. Berdasarkan banyak pesawat militer,
Thailand terlihat lebih unggul dengan jumlah pesawat militer yang mencapai 913
unit. Thailand pun cukup unggul untuk jumlah helikopter yang paling banyak, yaitu
443 unit. Indonesia bisa dikatakan cukup unggul dengan memiliki lebih banyak
lapangan udara yang berfungsi sebagai pangkalan militer atau dapat difungsikan
menjadi pangkalan militer. Deskrispi mengenai kekuatan udara masih terlalu
abstrak, karena pesawat militer itu sendiri terdiri atas pesawat tempur, pesawat
pembom atau pesawat terpedo, pesawat pengintai, dan pesawat transport. Indikator
yang dituliskan pun masih memungkinkan bias dalam memberikan gambaran
kekuatan udara.

Kekuatan Darat (Land Army)


Ada 10 kunci dalam mengukur/mengetahui (potensi) kekuatan darat dalam suatu
pertempuran. Di dalamnya berisikan keseluruhan bentuk sistem persenjataan darat,
termasuk kendaraan logistik. Keseluruhannya akan sangat dibutuhkan dalam
pertempuran darat yang akan menghadapi musuh darat maupun musuh dari udara.
Uniknya, Singapura yang merupakan negara dengan luas wilayah paling kecil justru
cukup dominan memiliki unsur-unsur kekuatan darat, kecuali untuk kendaraan
logistik (logistical vehicles). Banyaknya kendaraan logistik yang dimiliki Australia
berkaitan dengan fungsi militer Australia yang sering dimanfaatkan untuk pasukan
perdamaian (PBB) dan tidak tertutup kemungkinan difungsingkan untuk keperluan
dukungan operasi ofensif. Indonesia yang memiliki banyak pulau dengan total luas
nomor dua setelah Australia justru terlihat kurang serius memperkuat kekuatan
darat. Lihat saja, sekalipun Malaysia memiliki jumlah tank lebih sedikit dari
Indonesia, tetapi Malaysia memiliki senjata anti tank jauh lebih banyak dan lebih
moderen.

Kekuatan Laut (Naval Power)


Kekuatan laut menjadi kunci atas setiap kemenangan pertempuran yang
menentukan jalannya sejarah. Ada 10 unsur yang membentuk kekuatan laut
menurut versi GFP seperti yang dilihat pada gambar di bawah. Sebagai negara
kepulauan terbesar dengan luas wilayah laut paling besar di Asia Tenggara,
Indonesia nampaknya justru tidak memiliki keunggulan yang signifikan. Jumlah kapal
pengangkut militer (merchant marine) masih di bawah Singapura. Jumlah kapal
militernya (total navy ships) pun masih dibawah Thailand. Indikator di sini memang
masih terlalu abstrak, karena kekuatan kapal selam (submarines) Indonesia
merupakan kapal perang teknologi 1980 yang telah diremajakan. Lain ceritanya
dengan kapal selam milik Malaysia yang dibeli pada tahun 2000an. Filipina bisa
dikatakan cukup unggul dalam patroli laut/perairan dengan dukungan 128 kapal
patroli laut (patrol craft). Australia terlihat lebih unggul untuk melakukan serangan
laut jarak jauh dengan dukungan 12 kapal perang jenis fregat dan 8 kapal
pendaratan amfibi. Sekali lagi, angka-angka di atas masih terlalu abstrak, karena
saat ini sudah ada masuk kapal perang generasi terbaru yagn seharusnya
dipisahkan berdasarkan aspek teknologinya.

Kekuatan Logistik (Logistical)


Kekuatan logistik yang dimasukkan ke dalam daftar berikut ini merupakan segala
bentuk sumber daya yang dengan segera dapat dipersiapkan untuk mendukung
pertempuran langsung. Indonesia bisa dikatakan memiliki keunggulan dalam aspek
kekuatan logistik dengan melihat banyaknya angkatan kerja (labor force) yang paling
tinggi. Panjang akses jalan raya maupun kereta api tidak selalu signifikan ukuran
yang terlihat, karena tergantung dengan luas wilayah dan kondisi pulau atau
kepulauan. Dengan memiliki kekuatan angkatan kerja yang dapat difungsikan
menjadi militer atau paramiliter, setidaknya Indonesia masih akan memiliki kekuatan
untuk melakukan strategi gerilya dan perang perkotaan yang paling sulit, ketika
musuh telah masuk menembus ruang wilayah pertahanan di daratan.

Kekuatan Sumber Daya Alam (Resources)


Setiap pertempuran akan membutuhkan sumber daya alam (energi), terutama untuk
keperluan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Situasi perang akan menyebabkan
orientasi pemenuhan kebutuhan energi bagi masyarakat sipil akan dialihkan untuk
keperluan militer. Di sinilah salah satu kunci kekuatan dalam pertempuran, yaitu
kekuatan negara dalam menguasai sumber daya alamnya. Australia terlihat memiliki
keunggulan dari aspek penguasaan sumber daya alam. Dengan cadangan minyak
bumi (proven reserves) sebanyak 3,3 miliar barel dan jumlah penduduk sekitar 22
juta jiwa, Australia masih memungkinkan bertahan cukup lama dalam kondisi perang
dengan ketersediaan minyak di dalam negerinya. Sekalipun Indonesia dikatakan
memiliki paling banyak cadangan minyak, tetapi jumlah penduduknya pun cukup
besar, yaitu mencapai di atas 240 juta jiwa dengan konsumsi per hari di atas 1 juta
barel. Data mengenai minyak bumi di sini tidak sepenuhnya valid, tetapi setidaknya
menggambarkan kemampuan bertahan suatu negara dalam kondisi perang.

Kekuatan Finansial (Financial)


Perang ataupun persiapannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, serta
membutuhkan kemampuan pengelolaan keuangan nasional yang memadai. Ada 3
unsur di dalam kekuatan finansial, yaitu anggaran pertahanan (defense budget),
cadangan devisa dan emas (reserve of foreign exchange and gold), dan
kemampuan pembayaran (purchasing power). Unsur yang paling perlu dipehatikan
adalah cadangan devisa dan belanja pertahanan. Dari dua unsur tadi, Singapura
lebih unggul dengan memiliki cadangan devisa maupun belanja pertahanan paling
besar. Ini berarti Singapura memiliki peluang lebih besar untuk mempersiapkan
suatu perang ataupun membiayai peperangan. Indonesia memiliki kemampuan
pembelian paling besar di antara negara-negara yang diperbandingkan di sini. Ini
berarti, dari sisi finansial, Indonesia memiliki peluang yang paling besar untuk
mentransformasikan aset-aset ekonominya dalam membiayai dan mempersiapkan
perang. Sekalipun demikian, kemampuan pembelian membutuhkan waktu dan
mekanisme politik yang tidak semudah mentransfer pembiayaan seperti pada
cadangan devisa dan belanja pertahanan.

Keunggulan Geografis (Geographic)


Salah satu kekuatan militer yang dibutuhkan dalam peperangan adalah keunggulan
geografis. Keunggulan tersebut dapat menjadi celah pertahanan atau sebaliknya
dimanfaatkan menjadi basis pertahanan. Sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia, Indonesia lebih unggul dalam memiliki luas wilayah perairan (waterways) dan
garis pantai (coastline). Auastralia di sini terlihat memiliki luas wilayah daratan paling
besar yang berarti dapat dimanfaatkan pula sebagai matra pertahanan di dalam
negeri. Adapun di sini ada 3 negara yang memiliki kawasan perbatasan daratan
(shared border), yaitu Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Data kekuatan militer yang dirilis oleh GFP diambil berdasarkan data yang dihimpun
oleh CIA Fact and Statistic. Masih terlalu abstrak untuk dapat diketahui gambaran
kekuatan yang kongkrit, karena hanya berbasis pada pendekatan kuantitatif. Segala
unsur yang membentuk kekuatan militer di suatu negara bukan hanya mengenai
aspek kuantitatifnya, melainkan aspek kualitatif. Misalnya, untuk alat utama sistem
persenjataan (alutsista) atau weapon system saat ini sudah berkembang teknologi
yang masing-masing terbagi ke dalam periode 10-15 tahun (1 generasi). Masalah
lain mengenai keakuratan data misalnya pada kelompok helikopter yang saat ini
sudah terbagi ke dalam beberapa fungsi, seperti helikopter angkut logistik/pasukan
dan helikopter serang. Fakta lain yang tidak bisa diabaikan pula adalah pengalaman
perang di masa lalu yang membentuk cara berpikir dalam membangun strategi
militer di saat yang paling mendesak.

Peluang Indonesia
Berdasarkan data di atas, jika terjadi perang dalam waktu dekat dengan negara
terbesar di tingkat regional, peluang Indonesia bisa dikatakan kecil untuk bisa
bertahan dalam 1 minggu pertama pertempuran. Indonesia memiliki celah yang
paling lebar di bagian perairan laut. Dengan mengandalkan kapal patroli sebanyak
31 unit tidak akan cukup apabila tidak didukung oleh kekuatan udara yang memadai.
Jumlah kapal fregatnya pun hanya ada 6 unit yang mungkin siap untuk diterjunkan
ke dalam pertempuran langsung. Tetapi jumlah kapal fregat tersebut masih jauh di
bawah ideal apabila serangan masuk dari berbagai penjuru perbatasan laut.
Banyaknya kapal pengangkut militer (merchant marine) sebanyak 1.244 unit
(peringkat ketiga) mungkin akan cukup membantu mobilisasi alutsista darat.
Keuntungan Indonesia terletak pada kondisi geografisnya yang terdiri atas banyak
pulau-pulau besar, sedang, dan kecil. Butuh biaya dan sumber daya yang cukup
besar apabila hendak meredam pertempuran dengan Indonesia.
Australia
Australia sebenarnya bukanlah ancaman yang serius, tetapi negara ini dianggap
paling siap untuk melakukan konfrontasi (perang) langsung dengan Indonesia
dibandingkan negara-negara tetangga lainnya. Dilihat dari data kekuatan militer di
atas, jika pun harus berperang dengan Indonesia, Australia tidak mungkin bisa
menguasai seluruh wilayah (pulau), melainkan hanya diprioritaskan untuk
menguasai pulau-pulau strategis seperti Pulau Jawa dan Papua. Untuk itu saja,
Australia akan menghadapi risiko hilangnya sebagian besar pertahanan di dalam
negerinya sendiri. Australia pula tidak akan mengambil risiko dengan mengorbankan
seluruh warganya yang siap tempur (manpower fit for service) untuk terjun dalam
pertempuran dengan Indonesia. Hanya tersedia sekitar 10 juta personil militer saja
tidak akan cukup untuk bisa meredam 129 juta personil militer ataupun tambahan
paramiliter apabila terjadi perang gerilya. Dalam sejarah, Australia belum pernah
berkonfrontasi sendirian dengan Indonesia. Terakhir kali Australia membantu dalam
konfrontasi Indonesia-Malaysia, tetapi itu pun dengan keterlibatan Inggris. Di tahun
1999 lalu, keterlibatan Australia di Timtim (sekarang Timor Leste) itu pun berada
dibalik jubah pasukan perdamaian (UN) yang tentu pula disokong oleh Amerika dan
Inggris. Artinya, jika saja posisinya terancam untuk mengambil keputusan perang
dengan Indonesia, Australia tidak akan sendirian untuk menghadapi Indonesia.

Malaysia
Dalam sejarah, Malaysia belum pernah melakukan pertempuran head to head
dengan Indonesia, tanpa keterlibatan negara lain. Konfrontasi dengan Indonesia di
era Soekarno, Malaysia secara terbuka dibantu oleh Inggris dan Australia. Di atas
kertas, berdasarkan data yang dirilis oleh GFP di atas, Malaysia pun tidak memiliki
superioritas di bidang apapun untuk berperang dengan Indonesia. Malaysia mungkin
hanya unggul dalam beberapa hari pertempuran yang kurang dari seminggu. Untuk
menguasai Indonesia setidaknya akan membutuhkan waktu lebih dari 1 bulan
pertempuran langsung. Persoalan lainnya mengenai masalah kesamaan etnis
Melayu yang secara psikologis akan berpengaruh terhadap jalannya pertempuran.
Jika pun harus berperang dengan Indonesia, Malaysia tidak akan sendirian
menghadapi Indonesia. Sekalipun demikian, Malaysia bisa jadi adalah pemicu untuk
masuknya pertempuran besar yang melibatkan banyak negara.
Singapura
Singapura termasuk negara kecil di kawasan Asia Tenggara, tetapi bisa dikatakan
memiliki kekuatan alutsista yang cukup memadai untuk peperangan. Negara yang
terkenal dengan patung singa tersebut memiliki superioritas dalam kekuatan darat
(land army) dan didukung oleh kekuatan finansialnya. Singapura termasuk unggul
dalam teknologi seperti pada kekuatan udara dan laut. Tahun depan, sebanyak 2
skadron F-35 akan memperkuat kekuatan udara Singapura. Sekalipun demikian,
dengan ketersediaan jumlah personil yang paling sedikit, sangat diragukan
seluruhnya sistem persenjataan tersebut akan digunakan untuk menghadapi
Indonesia. Dalam hal ini, besar kemungkinan Singapura yang masuk ke dalam
kelompok persemakmuran Inggris akan dimanfaatkan oleh pihak lain dalam
melakukan pertempuran terbuka dengan Indonesia.

Thailand
Thailand merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang saat ini
masih mengoperasikan kapal induk (aircraft carrier). Sekalipun sudah berusia tua,
tetapi pihak GFP masih mencatat kapal induk tersebut berstatus aktif di mana di
atasnya mengusung jenis penyerang taktis seperti Super Entendart (buatan
Perancis). Thailand sebenarnya tidak memiliki sejarah konflik tertentu dengan
Indonesia, kecuali hanya masalah perbatasan perairan. Tetapi Thailand pernah
bergabung ke dalam pakta pertahanan Asia Tenggara, yaitu SEATO yang
didalamnya berisikan nama-nama negara Asia Tenggara (minus Indonesia) dan
Australia. Saat ini, Thailand bisa dikatakan cukup tergantung atau punya
kepentingan ekonomi dengan Indonesia, terutama untuk memasok bahan baku
industri dan komponen. Indonesia pula adalah pasar bagi industri Thailand,
sehingga tidak tertutup kemungkinan jika di masa mendatang akan beraliansi
kembali dengan pakta pertahanan untuk menghadapi Indonesia.

Filipina
Indonesia sebenarnya masih memiliki beberapa sengketa perbatasan perairan
dengan Filipina. Sekalipun demikian, Filipina lebih banyak mempersoalkan garis
batas perairan dengan China, ketimbang Indonesia. Sejarah Filipina sendiri relatif
cukup baik hubungannya dengan Indonesia, bahkan di masa Soekarno. Di antara
negara-neagra tetangga yang telah disebutkan sebelumnya, Filipina relatif memiliki
ancaman yang sangat kecil dengan Indonesia. Filipina pula sebenarnya turut
bersengketa perbatasan perairan dengan Malaysia yang lokasinya tidak berjauhan
dengan perbatasan perairan Indonesia. Jika melihat data kekuatan militer Filipina
yang dirilis oleh GFP, Filipina termasuk unggul dalam kekuatan personil (setelah
Indonesia). Tetapi negara ini sangat tidak memungkinkan untuk melakukan
konfrontasi terbuka dengan Indonesia. Melihat kondisi perekonomiannya Filipina
saat ini, akan terbuka kemungkinan negara ini mungkin akan berafiliasi dengan
sebuah kekuatan besar untuk menghadapi Indonesia. Seperti kejadian di masa lalu
dengan menjadikan negaranya sebagai basis pangkalan militer.

Kemungkinan Perang Terbuka


Dengan segala kemungkinan dan potensi kekuatan militer, hanya ada 3 negara yang
punya peluang besar untuk perang dengan Indonesia, yaitu Amerika Serikat, China,
dan Rusia. Mereka bukan saja diunggulkan oleh unsur-unsur kekuatan militer, tetapi
didukung pula oleh segala kemungkinan sumber daya ekonomi di dalam negerinya.
Butuh waktu berbulan-bulan lamanya untuk bisa menaklukkan NKRI melalui perang
terbuka, jika dilakukan dalam waktu dekat. Indonesia dengan karakteristik
kepulauannya memiliki keunggulan dari aspek pertahanan, terutama apabila
dilakukan metode perang gerilya. Untuk hanya menaklukkan Irak yang dibantu
Inggris dan sekutunya, Amerika Serikat harus menanggung kerugian ekonomi yang
cukup lama di dalam negerinya.

Opsi perang terbuka hampir tidak mungkin akan terealisasi dengan Indonesia.
Strategi pertempuran moderen saat ini sudah mulai bergeser dari model perang fisik
ke perang politik dan intelijen. Mereka akan cenderung menggunakan kekuatan
politik luar negerinya untuk menguasai pejabat publik, partai politik, akademisi,
institusi jurnalistik, maupun institusi sosial guna mengamankan kepentingan mereka
di Asia Tenggara. Bentuk perang moderen lainnya bisa berupa dengan klaim budaya
seperti yang belum lama ini dilakukan oleh Malaysia. Transisi budaya dan cara
berpikir pun sebenarnya merupakan bentuk perang moderen yang bertujuan untuk
menghilangkan identitas budaya nasional. Masih banyak bentuk perang moderen
yang melibatkan organisasi intelijen internasional untuk masuk ke dalam sistem
politik dan pemerintahan maupun ke dalam sistem sosial dan kemasyarakatan.

Daftar Istilah
Land weapon = persenjataan darat
APC = Armored Personnel Carrier = Kendaraan pengangkut personil
IFV = Infantry Fighting Vehicle = Kendaraan tempur pengangkut personil
Self-Propelled Gun = Semacam howitzer atau kendaraan dengan meriam besar
MLRS = Multiple-Lauch Rocket System = Kendaraanpeluncur roket

http://www.tugaskuliah.info/2010/03/makalah-ketahanan-nasional-pendidikan.html

Kebijakan Pertahanan Negara Indonesia


Ditulis pada 22 June 2014 Oleh diansasi-proborini-fisip13 | Kategori : Studi Strategis Indonesia

            Dalam rangka mempertahankan stabilitas negara, kita tahu bahwa negara wajib
memiliki sistem pertahanan dan keamanan yang dibentuk melalui beberapa kebijakan yang
diambil pemerintah dan mengikuti situasi yang sedang berlangsung. Sejarah kebijakan
pertahanan di Indonesia terus mengalami perubahan dari masa ke masa. Sebagai contoh, Andi
Widjajanto membagi periodisasi doktrin pertahanan Indonesia ke dalam enam periode yaitu,
periode perang kemerdekaan (1945-1949), RIS (1949-1950), perang internal (1950-1959),
demokrasi terpimpin (1959-1967), Orde Baru (1967-1998), dan Reformasi (1998-2004)
(Widjajanto, n.d.: 1). Dalam beberapa periode tersebut tentu saja RI memiliki kebijakan
pertahanan yang berbeda-beda. Hal tersebut dilakukan guna mencocokan kebutuhan
pertahanan negeri yang situasinya tidak konstan. Kita ambil contoh misalnya, pada periode
perang kemerdekaan yang dibutuhkan Indonesia adalah lebih kepada Badan Penolong
Keluarga Korban Perang dan bukanlah tentara. Seperti BKR, dimana pembentukannya
dimaksudkan untuk menghindari segala tindakan perlawanan militer yang dapat mempersulit
perundingan diplomasi dengan sekutu (Widjajanto, n.d.: 2). Kemudian pada periode RIS,
barulah diperlukan pengembangan konsep pasukan ekspedisi dan operasi gabungan karena
ditemui banyak sekali pemberontakan dalam negeri dan gerakan-gerakan separatis yang
mengancam stabilitas NKRI. Hingga pada tahun 1959 terus dikembangkan konsep Operasi
Militer Gabungan agar semakin mantap dalam menghadapi beragam bentuk gerakan separatis
lainnya.

            Pada masa periode Demokrasi Terpimpin, Ir. Soekarno terus menggunakan doktrin
pertahanan rakyat yang sudah ditetapkan pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan kebijakan
pertahanan negara yang dimiliki oleh Indonesia saat itu bersifat anti-kolonialisme dan anti-
imperialisme. Dan juga disampaikan dalam Tap-MPR 1960 bahwa “pertahanan rakyat
semesta berintikan tentara suka rela dan milisi” (Widjajanto, n.d.: 8). Dari pernyataan
tersebut kita tahu bahwa dalam mempertahankan keutuhan NKRI tidak cukup dengan militer
saja, namun diperlukan juga rasa cinta tanah-air dari warga Indonesia dalam suka dan rela
membela keutuhan NKRI sebagaimana mestinya dan siap dalam situasi apapun. Kemudian,
kebijakan pertahanan pada era Orde Baru mulai mendapat perubahan, yakni diberlakukannya
dwifungsi ABRI. Dalam hal ini, tentara Indonesia memiliki hak dalam ruang lingkup hankam
dan juga politik. Sehingga situasi pemerintahan yang diciptakan cenderung militeris dan
otoriter. Segala bentuk aktivitas yang mengancam stabilitas jalannya pemerintahan serta
negara, walaupun hanya sedikit, segera diberantas oleh pemerintah saat itu juga. Hal itu
kemudian menimbulkan kesan bahwa pemerintahan Orde Baru tidak mengindahkan konsep
demokrasi dan kebebasan masyarakat dalam menyampaikan hak dan aspirasinya. Pada
akhirnya, jalannya pemerintahan yang terlalu membatasi kebebasan beraspirasi masyarakat
tidak bertahan lama. Masyarakat jenuh dengan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan pada
saat itu sehingga masa Orde Baru pun berakhir dan muncul era Reformasi.

Pada era Reformasi, reformasi yang utama kali dilakukan adalah reformasi militer. Dimana
reformasi militer dalam hal ini lebih mengutamakan dimensi politik dariapda dimensi
pertahanan untuk menanggalkan karakter TNI sebagai tentara politik dan usaha untuk
membangun citra TNI sebagai doktrin pertahanan baru (Widjajanto, n.d.: 20). Konsepsi
tentara politik yang berusaha ditanggalkan oleh proses reformasi militer merupakan antitesa
dari konsep Huntington tentang “non-political professional military” (Huntington, 1957
dalam Widjajanto, n.d.: 20). Untuk saat itu, TNI kemudian berkonsentrasi untuk menghapus
citra tentara politiknya dengan mengedepankan beberapa prinsip, berdasarkan birthright
principle dan competence principle (Nordholt, 2002 dalam Koonings dan Kruijt, n. d.). Tahap
pertama, militer Indonesia berkonsentrasi untuk mengedepankan birthright principle dengan
mengidentifikasi sebagai aktor yang berperan penting dalam kemerdekaan dan mendukung
penuh kebijakan pemerintah untuk meredam gerakan-gerakan separatis. Kedua, militer
Indonesia menjelma menjadi penjaga sekaligus penyelamat bangsa. Dan tahap ketiga,
menempatkan militer Indonesia sebagai satu-satunya aktor yang mampu menegakkan
integritas bangsa sekaligus menjadi motor pembangunan nasional. Sehingga dari penjelasan
yang singkat tersebut dapat diketahui bahwa kebijakan-kebijakan pertahanan era reformasi
cenderung lebih klasik dan menempatkan tentara Indonesia ke asalnya dengan tidak
mencampuri urusan politik lagi.

Dalam kaitannya dengan tantangan global yang dihadapi dalam sistem pertahanan Indonesia
sendiri, Djoko Sulistyo (2010) menyatakan bahwa kebijakan pertahanan yang disusun
Indonesia sendiri telah dilandasi oleh sejumlah tantangan yang secara potensial maupun
aktual mampu mengganggu eksistensi kedaulatan negara. Tantangan tersebut antara lain
dapat berupa terorisme, ancaman keamanan lintas negara, isu senjata pemusnah massal,
sengketa perbatasan, keamanan regional dan global, sumberdaya alam di Zona Ekonomi
Eksklusif, degradasi lingkungan, dan kemajuan teknologi dan informasi yang dapat
mengancam pertahanan Negara (Sulistyo, 2010: 2). Sehinngga dapat dikatakan bahwa Buku
Putih Pertahanan sebagai produk strategis tentang Kebijakan Pertahanan Negara telah
memberikan rumusan dalam menangkal berbagai ancaman yang kemudian hadir di
Indonesia. Namun berdasarkan praktek di lapangan, kebijakan strategis tersebut kurang
direalisasikan dalam pelaksanaan sistem pertahanan di Indonesia. Sebagai contoh pada
dasawarsa 1990-an pengadaan Alutsista masih bergantung pada Amerika Serikat serta
kurangnya performa dari TNI sebagai aparatur penjaga keamanan Indonesia baik dalam kasus
terorisme maupun konlfik dengan Malaysia. Konsekuensinya industri strategis perlu diberi
ruang dengan mengembangkan diri sebagai industri yang spesialisasinya menciptakan,
memproduksi, dan memasarkan alat-alat vital untuk kepentingan pertahanan (Sulistyo, 2010:
4).
Revitalisasi industri pertahanan dilakukan juga dengan memperkuat Komite Kebijakan
Indistri Pertahanan (KKIP) dalam rangka peningkatan daya saing dan kapasitas produksi
industri pertahanan, terwujudnya keserasian pengadaan Alutsista dari luar negeri melalui
program ToT (transfer of technoligy), dan joint production dalam pengadaan dan
pengembangan Alutsista TNI (JHW,  2013: 1). Selain itu pemerintah berusaha memberikan
perhatian khususnya terhadap wilayah terluar Indonesia dengan berbagai cara diantaranya
pembangunan pos-pos keamanan di wilayah perbatasan, pemberdayaan dan pengelolaan,
serta perundingan-perundingan mengenai keamanan perbatasan. Dalam kaitannya dengan
meningkatkan kinerja pertahanan negara, Djoko Sulistyo (2010) memberikan rekomendasi
berupa (1) pemerintah harus lebih serius merekrut putra-putri bangsa terbaik yang saat ini
berkarier di industri-industri strategis dan lembaga-lembaga riset di luar negeri agar mau
kembali ke Indonesia (brain gain), (2) Pemerintah perlu mengundang ilmuwan asing, yang
reputasinya tidak diragukan, untuk bekerja di industri-industri strategis, sehingga transfer
ilmu dan teknologi dapat lebih cepat diperoleh, (3) Pemerintah perlu menciptakan payung
hukum yang mengatur sinergi industri strategis, Perguruan Tinggi, dan lembaga-lembaga
Riset yang ada di Indonesia. (4) Pemerintah perlu memprioritaskan industri strategis yang
secara praktis memberi kontribusi pada implementasi konsep Pertahanan dan Keamanan
Nasional, (5) Stabilitas yang merupakan syarat utama dari pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan harus diletakkan dalam konteks kedaulatan negara yang benar-benar
memperoleh jaminan yang kuat dari sudut pertahanan dan keamanan nasional, dan (6) Sesuai
dengan peran industri strategis sebagai unsur vital dan berposisi sebagai lokomotif
perkembangan industri secara luas, maka industri-industri stategis perlu terus
mengembangkan produk-pruduk komersial nonmiliter yang kompetitif secara nasional dan
global.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemerintah masih terus mengupayakan perbaikan-


perbaikan yang berkelanjutan dalam perumusan Kebijakan Pertahanan Negara Indonesia.
Adanya transformasi  dan perbedaan kebijakan dari perang kemerdekaan (1945-1949), RIS
(1949-1950), perang internal (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1967), Orde Baru
(1967-1998), dan Reformasi (1998-2004) menunjukan bahwa pemerintah berusaha
mengevaluasi kebijakan yang ada agar sesuai dengan tantangan-tantangan di masa-masa yang
akan datang. Dalam mengadapi tantangan global dewasa ini, pemerintah masih gencar
melakukan berbagai revitalisasi industri pertahanan dalam berbagai bidang baik pertahanan,
pendidikan, maupun penelitian guna meningkatkan performa pertahanan Indonesia sendiri.
Dan dalam kurun waktu selama tahun 2012 telah diterbitkan beberapa produk kebijakan yang
strategis, antara lain telah direvisi Produk Kebijakan Strategis tahun 2007 yang meliputi
Doktrin Pertahanan Negara, Strategi Pertahanan Negara, dan Postur Pertahanan Negara
menjadi produk kebijakan tahun 2012, serta Buku Putih Pertahanan Indonesia Tahun 2008
menjadi produk kebijakan tahun 2013 (JHW,  2013: 1). Hal tersebut tentu kembali
dilatarbelakangi oleh keinginan pemerintah agar mampu menciptakan kebijakan pertahanan
yang strategis dengan kinerja maksimal demi mempertahankan keamanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

REFERENSI:

JHW, Edwin. 2013. “Refleksi Penyelenggaraan Pertahanan 2012” diolah dari: Keputusan
Menteri Pertahan Nomor: KEP/20/M/I/2013 tanggal 9Januari 2012, tentang Kebijakan
Pertahanan Negara 2013. [online] dalam http://www.setkab.go.id/artikel-7400-refleksi-
penyelenggaraan-pertahanan-2012.html [diakses pada 11 Juni 2014]

Koonings, Kees dan Dirk Kruijt (Eds.), n. d.  Political Armies: The Military and Nation
Building in the Age of Democracy, London: Zed Books. Hlm.136-161.

Sulistyo, Djoko. 2010. “Kebijakan Pertahanan Indonesia dan Revitalisasi Industri Strategis”
dalam Forum Diskusi Center for Strategic and Global Studies (CSGS). Departemen
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.

Widjajanto, Andi, n. d. Evolusi Doktrin Pertahanan Indonesia, pp 1-31.

Anda mungkin juga menyukai