Latar belakang
Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang
relatif tidak stabil.[2] Bahkan setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya
persaingan di antara kelompok-kelompok politik.[2] Keputusan Soekarno untuk mengganti sistem
parlemen dengan Demokrasi Terpimpin memperparah kondisi ini dengan memperuncing
persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia, yang kala itu berniat
mempersenjatai diri.[2] Sebelum sempat terlaksana, peristiwa Gerakan 30 September terjadi dan
mengakibatkan diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari Indonesia.[2] Sejak saat itu,
kekuasaan Soekarno perlahan-lahan mulai melemah.[3]
Kebijakan ekonomi
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang ditinggalkan
oleh pemerintahan sebelumnya.[11] Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh
rendahnya pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS,
tingginya inflasi yang mencapai 65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik
yang terjadi di akhir pemerintahan Soekarno[11]
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek
berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan
usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan
sandang.[12] Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat
dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan meningkat.
[12]
Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang disebut
sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).[12] Repelita pertama yang mulai
dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan
iklim usaha dan investasi.[12] Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk memenuhi
kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain.[12] Pembangunan antara lain
dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian seperti irigasi, perhubungan, teknologi
pertanian, kebutuhan pembiayaan, dan kredit perbankan.[12] Petani juga dibantu melalui
penyediaan sarana penunjang utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.[12]
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun,
pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat
ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I pada tahun 1974.[12] Repelita II (1974-1979) dan
Repelita III (1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan
pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.[12] Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai
status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor beras
terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[12] Fokus Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (1989-
1994), selain berusaha mempertahankan kemajuan di sektor pertanian, juga mulai bergerak
menitikberatkan pada sektor industri khususnya industri yang menghasilkan barang ekspor,
industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang
dapat menghasilkan mesin-mesin industri.[13]
Swasembada beras
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan
sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan
ekonomi dan politik.[14] Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai
prasarana pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan
bisnis.[14] Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga
yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).[14]
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam.[14] Pada tahun
1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton.[14] Jumlah ini berhasil
ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi beras
per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[14] Prestasi ini merupakan sebuah
prestasi besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras
terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[14]
Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan
selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu.[16]
Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar
memperoleh 74,51% dengan perolehan 325 kursi di DPR.[17] Ini merupakan perolehan suara
terbanyak Golkar dalam pemilu.[18] Adapun PPP memperoleh 89 kursi dan PDI mengalami
kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR.[19]
Kemorosotan perolehan suara PDIP disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala
banteng tersebut.[butuh rujukan] PDI akhirnya pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno
Putri yang sekarang menjadi PDIP. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa
pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan
dengan baik.[butuh rujukan] Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas,
dan rahasia). Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu
kontestan Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu
1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara di MPR
dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden
Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh
anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan
lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.[butuh rujukan]
Mengadakan operasi pajak
Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan perorangan
maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta
menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.
Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.
Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Pemerintah Orde Baru
berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan
pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968,
pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak
harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi
nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun
1969 dapat dikendalikan pemerintah.[butuh rujukan]
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi. Selama
sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan
kerusakan pada prasarana sosial dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi,
dan perbankan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok
kepentingan tertentu. Dampaknya, lembaga negara tidak dapat melaksanakan fungsinya
sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.[butuh rujukan]
Pembangunan Nasional
Trilogi Pembangunan
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang
ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan
nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka
pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.[butuh rujukan] Pambangunan Jangka Pendek dirancang
melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam
rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan
Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian
upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan
masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya
mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:[butuh rujukan]
Konstituante[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1955, Indonesia baru melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama. Pada
bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan Desember pemilih kembali
memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi yang akan bekerja di sebuah institusi yang dikenal
dengan Konstituante.
Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November 1956 di
Bandung, ibukota Jawa Barat. Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf undang-
undang dasar berlangsung selama dua setengah tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama
antara golongan yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan yang mendukung
Pancasila) terjadi sangat sengit. Walaupun para pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari
90% materi undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh partai
politik Islam yang merasa siap berkompromi, Konstituante tidak sempat menyelesaikan
tugasnya.
Konstituante diberikan tugas untuk membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat
UUDS 1950. Pada 1950, UUDS (Undang-Undang Sementara) diberlakukan di bawah
pemerintahan Soekarno. ini berdampak pada penerapan model demokrasi parlementer murni
(Demokrasi Liberal). Tetapi, Demokrasi Liberal yang didukung oleh banyak partai seperti,
MASYUMI dan PNI) justru mengarah kepada munculnya ketidakstabilan politik. Pada 1959,
munculnya Demokrasi Terpimpin dengan kabinet yang semuanya dipimpin oleh Ir. Soekarno.
sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden
Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang
berisi ide untuk kembali pada UUD 1945. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat
menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak
ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan
“sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil
pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih
Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai
berlarut-larut. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli
1959, yang antara lain berisi kembali berlakunya UUD 1945.
1. Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu
(kegagalan)
2. Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh
wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan
RMS
Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Belum sampai program tersebut terlaksana, kabinet ini sudah jatuh pada 21 Maret 1951 dalam
usia 6.5 bulan.
Jatuhnya kabinet ini karena adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan
Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah
No. 39 tahun 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui
parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Susunan Kabinet Natsir:
Kabinet ini merupakan kabinet kedua setelah penghapusan RIS (Republik Indonesia Serikat).
Kabinet ini bertugas pada masa bakti 27 April 1951 hingga 3 April 1952 Kabinet ini telah
didemosioner sejak 23 Februari 1952.
Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.
Masyumi adalah organisasi yang dibentuk Jepang dalam upaya mereka untuk mengendalikan
umat islam di Indonesia. Tujuan partai ini adalah untuk menegakkan kedaulatan negara dan
agama islam.
Properti kabinet:
Sewaka ditunjuk pada 9 Mei 1951 setelah Sumitro Kolopaking tidak menerima
penunjukan.
Yamin mengundurkan diri 14 Juni 1951 dan A. Pellaupessy bagi sementara merangkap
Menteri Kehakiman. Pada 20 November 1951, posisi Menteri Kehakiman diserahkan kepada
Mohammad Nasrun.
Sujono Hadinoto ditukarkan Wilopo pada Juli 1951.
Ukar Bratakusumah merangkap Menteri Perhubungan sementara sewaktu Djuanda tidak
kekurangan di luar negeri.
Diangkatkan pada 20 November 1951, Gondokusomo meninggal pada tanggal 6 Maret
1952.[1]
1. adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebadjo
dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cockran mengenai pemberian bantuan
ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan
ikatan Mutual Security Act (MSA) . Dimana di dalam MSA terdapat pembatasan
kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan untuk memperhatikan kepentingan
Amerika.
2. adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap
lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
3. masalah Irian Barat belum juga teratasi
4. hubungan Sukirman dengan militer kurang baik, ditunjukkan dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Sulawesi.
Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari 1952. Penyebab
jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota keuangan antara
Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran.
Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada ikatan
Mutual Security Act (MSA). DI dalam MSA, terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik luar
negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga tindakan
Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap
lebih condong ke blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin merebaknya
korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian
Barat.
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Koalisi PNI dan NU) (31 Juli 1953 -
12 Agustus 1955)[sunting | sunting sumber]
Program kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang disebut juga Ali-Wongsonegoro:
N Partai
Jabatan Nama Menteri
o Politik
1. Pembatalan KMB
2. Pemulihan keamanan dan ketertiban
3. Melaksanakan keputusan KAA
Hasil Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II :
1. Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari
periode planning and investment, hasilnya adalah pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II ini pun tidak berumur lebih dari satu tahun dan akhirnya digantikan
oleh Kabinet Juanda karena mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil
Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada Presiden. Kabinet ini jatuh karena Badan
Konstituante tidak bisa membuat UUD yang baru pengganti UUDS sehingga presiden
mengeluarkan dekritnya tanggal 5 Juli 1959 dan mengumumkan berlakunya Demokrasi
Terpimpin.
Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 5 Juli 1959)[sunting | sunting sumber]
Susunan Kabinet
N
Jabatan Nama Menteri
o
Hardi
1
Idham Chalid
Wakil Perdana Menteri
J. Leimena
(sejak 29 April 1957)
Suprajogi
(Urusan Stabilitasi Ekonomi)
(sejak 25 Juni 1958)
A.M. Hanafi
(sejak 25 Juni 1958)
Program kerja Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya memiliki 5 program yang
disebut Pancakarya yaitu:
1. Memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan negara melalui perintah untuk
kembali ke UUD 1945;
2. Menyelamatkan negara dari disintegrasi dan krisis politik yang berkepanjangan;
3. Memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS) yang
selama masa Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang mengakhiri
masa parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin.
Politik Etis
Politik Etis atau Politik Balas Budi (Belanda: Ethische Politiek) adalah suatu pemikiran yang
menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi
kesejahteraan bumiputera. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa.
Munculnya kaum Etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief)
dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih
memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato
pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan
hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina
menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam
program Trias Van deventer yang meliputi:
Penyimpangan[sunting | sunting sumber]
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi
dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai
Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut.
Irigasi
Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda.
Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan
tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya
diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi
diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan
orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada
umumnya.
Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan
perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan
tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, khususnya
di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai
tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka
tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri,
pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa
pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada
mandor/pengawasnya.
Penyimpangan politik etis terjadi karena adanya kepentingan Belanda terhadap rakyat
Indonesia.
Kritik[sunting | sunting sumber]
Pelaksanaan politik etis bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial
adalah warga kelas dua namun secara hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan. Di
kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga pendidikan
hanya ditujukan kepada kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya, orang-orang campuran tidak
dapat masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi mereka untuk jenjang pendidikan lebih tinggi
haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal.
Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena
meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang
harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia
Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers).
Organisasi-Organisasi Pergerakan
Nasional Indonesia
NOVEMBER 14, 2017YAYANAZZ
Klasifikasi Organisasi Pergerakan Nasional dibagi dalam beberapa periode, diantara
pembagian tersebut adalah berdasarkan sifat dan karakter organisasi tersebut.
Non-
No Organisasi Moderat Kooperatif Radikal
kooperatif
1 Budi utomo V
2 Sarekat islam V
3 Muhammadiyah V V
4 Indische Partij V
Perhimpunan Indonesia
6 V
(PI)
1. Budi utomo :
Kooperatif
Memiliki tujuan untuk memajukan pengajaran dan kebudayaan. Meliputi
bidang-bidang seperti pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan,
teknik dan industri, dan kebudayaan
Merupakan organisasi pelajar dengan pelajar-pelajar STOVIA sebagai
penggeraknya
Merupakan gerakan sosial-budaya
2. Sarekat Islam
Kooperatif
Gerakan nasionalis, demokratis, dan ekonomis serta beralaskan Islam dengan
haluan kooperatif
Didirikan dengan dasar agama islam dan dasar ekonomi.
Dasar ekonomi : menghimpun dan memperkuat kemampuan pedagang islam
agar dapat bersaing dengan pedagang asing
Sarekat Islam bukan merupakan partai politik dan tidak bermaksud melawan
pemerintah Belanda (Kongres pertama di Surabaya, 1913)
3. Muhammadiyah
Non-kooperatif
Terang-terangan mengkritik keras pemerintahan Belanda dan menuntut
kemerdekaan Indonesia
Memiliki semboyan “Indonesia bebas dari Belanda” dan “Hindia untuk orang
Hindia”
Paham kebangsaan Nasionalisme Hindia
Ki Hajar Dewantara menulis “Als Ik eens Nederlander was” (seandainya saya
orang belanda) berisi sindiran ketidakadilan di tanah jajahan
Radikal
Mulanya bernama Indische Vereeniging ( Perhimpunan Hindia)
Awalnya bertujuan memperjuangkan kepentingan orang Indonesia yang ada
di Belanda
Awalnya bergerak di bidang sosial-budaya
Setelah Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat bergabung (1913)
mulai memikirkan masa depan Indonesia
Mengubah nama menjadi Indonesiche Vereeniging (Perhimpunan Indonesia)
tahun 1922
Sifat dari kooperatif menjadi non-kooperatif, dari moderat menjadi radikal
3 visi : Indonesia ingin menentukan nasibnya sendiri, bangsa Indonesia
mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri, Bangsa Indonesia harus
bersatu untuk melawan penjajah. Ini menunjukkan sikap radikal
Menggalakkan propaganda secara terencana
Menganjurkan agar semua organisasi pergerakan nasional menjadikan
konsep indonesia yang merdeka sebagai program utamanya
Meminta dukungan bagi kemerdekaan Indonesia ke organisasi internasional
Anggota-anggota bersikap militan sehingga sempat dicurigai oleh Belanda
Radikal
Awalnya bernama Perserikatan Komunis Hindia
Berganti menjadi Partai Komunis Hindia (23 Mei 1923) kemudian Partai
Komunis Indonesia (1924)
Ideologi komunis
Gerakan-gerakan radikal
Pemogokan di berbagai tempat di Jawa
Pemberontakan di Jawa, Sumatera Barat
Aksi-aksi militan dan revolusioner
Radikal
Lanjutan dari PNI
Bertujuan mencapai Indonesia Merdeka
Kemerdekaan dapat dicapai jika semua komponen bersatu
Prinsip demokrasi dan menentukan nasib sendiri
Bersikap non kooperatif terhadap kolonial Belanda
9. PNI Baru
Radikal
Berhaluan nasionalis dan demokrasi
Menekankan keoada pendidikan politik dan kesadaran berbangsa
Gencar menyebarkan ide-ide perjuangan melalui surat kabar “Daulat Rakyat”
Menyebarkan pamvlet-pamvlet berisi tulisan Moh Hatta ynag berjudul “Ke
Arah Indonesia Merdeka”
Menerima tindakan represif dari Belanda
Moderat
Fokus pada bidang Pendidikan
Tidak bersifat politik
11. Partai Indonesia Raya (parindra)
Moderat
Bersifat federasi
Menganut tiga asa perjuangan GAPI
Menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia yang bertujuan melanjutkan
gerakan “Indoneisa Berparlemen” dan menyadarkan rakyat akan pentingnya
membentuk tata negara yang demokratis
Agustus 1940, GAPI mengeluarkan resolusi yang menuntut diadakannya
perubahan ketatanegaraan di Indoneisa
Komisi Visman bertugas mengumpulkan bahan-bahan yang menjadi
keinginan dari Indonesia
HISTORY
Islam merupakan agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia. Islam
tidak ada begitu saja di Indonesia melainkan ada asal mulanya. Ada beberapa teori
yang menjelaskan asal datangnya Agama Islam ke Indonesia, yaitu Teori Gujarat,
Teori Persia, Teori Arab atau Teori Makkah, Teori China, dan Teori Maritim. Saya
akan menjelaskan beberapa teori tersebut.
Teori Gujarat
Dalam teori ini dikatakan bahwa masuknya Agama Islam ke Indonesia dibawa oleh
orang-orang Gujarat, India. Tokoh yang mendukung teori ini adalah Snouck
Hurgronje dan J.Pijnapel. Mereka berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia
pada abad ke-13 Masehi bersama dengan hubungan dagang yang terjalin antara
masyarakat Nusantara dengan para pedagang Gujarat yang datang.
1. Kurangnya fakta yg menjelaskan peranan bangsa Arab dalam
penyebarannya ke Indonesia.
2. Hubungan dagang Indonesia dgn India telah lama melalui jalur Indonesia –
Cambay – Timur tengah – Eropa.
Beberapa bukti yang mendukung teori ini diantaranya batu nisan Sultan Samudera
Pasai Malik As-Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Islam Gujarat, catatan
Marcopolo bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yg memeluk Islam dan
banyak pedagang Islam dari India yg menyebarkan ajaran Islam, serta adanya
warna tasawuf pada aliran Islam yang berkembang di Indonesia.
Teori Persia
Teori Persia ini menyatakan bahwa masuknya Agama Islam ke Indonesia berasal
dari Persia. Pencetus sekaligus pendukung Teori Persia adalah Umar Amir
Husen dan Hoesein Djajadiningrat, mereka mengatakan bahwa Agama Islam
yang masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi adalah Agama Islam yang dibawa
oleh kaum Syiah, Persia.
Terdapat beberapa bukti yang mendukung teori ini diantaranya kesamaan budaya
Islam Persia dan Islam Nusantara seperti adanya peringatan Asyura dan peringatan
Tabut, kesamaan ajaran Sufi, penggunaan istilah persia untuk mengeja huruf Arab,
ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik, adanya
perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik (Leren adalah nama salah satu
pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen & PA Hussein Jayadiningrat),
kesamaan seni kaligrafi pada beberapa batu nisan, serta bukti maraknya aliran
Islam Syiah khas Iran pada awal masuknya Islam di Indonesia.
Karena banyaknya bukti yang mendukung teori ini, teori ini sempat menjadi teori
masuknya Islam ke Indonesia yang paling benar oleh sebagian sejarahwan. Namun
ternyata teori ini juga memiliki kelemahan. Bila dikatakan bahwa Islam masuk
pada abad ke 7, maka kekuasaan Islam di Timur Tengah masih dalam genggaman
Khalifah Umayyah yang berada di Damaskus, Baghdad, Mekkah, dan Madinah.
Jadi tidak memungkinkan bagi ulama Persia untuk menyokong penyebaran Islam
secara besar-besaran ke Nusantara.
Teori Arab atau Teori Makkah
Teori Arab atau Teori Makkah ini menyatakan bahwa proses masuknya Islam ke
Indonesia dibawa oleh orang-orang Arab yang memiliki semangat untuk
menyebarkan Agama Islam ke seluruh belahan dunia. Tokoh yang mendukung
teori ini adalah Van Leur, Anthony H. Johns, T.W Arnold, dan Buya Hamka.
Terdapat beberapa bukti yang mendukung teori ini diantaranya:
Teori China
Teori China merupakan teori yang baru-baru ini berkembang, teori ini menyatakan
bahwa Islam masuk ke Indonesia karena dibawa perantau Muslim China yang
datang ke Nusantara. Tokoh yang mencetuskan teori ini adalah Slamet
Mulyana dan Sumanto Al Qurtuby.
Beberapa bukti yang mendukung teori ini diantaranya:
1. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu pusat kerjaan terbesar di pulau Sumatera dan memiliki luas
daerah kekuasan yang sangat luas sehingga memberikan pengaruh yang besar terhadap
terbentuknya nusantara.
Luas kekuasaan kerajaan Sriwijaya meliputi Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera,
Jawa barat hingga Jawa Tengah.
2. Kerajaan Singosari
Kerajaan Singosari berada di wilayah Singosari, Malang, Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Ken
Arok pada thaun 1222.
Keberadaan Kerjaan Singosari ditunjukkan oleh adanya candi-candi yang banyak ditemukan di sekitar
daerah Singosari- Malang dan juga pada kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul
kitab Negarakertagama karangan Mpu Parapanca.
3. Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.
Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya dan mengapai masa kejayaan pada era Raja Hayam
Wuruk atau Rajasanagara pada tahun 1350 hingga 1389 berkat dukungan Mahapatih Gajah Mada
yang terkenal oleh sumpah Amukti Palapa.
4. Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran terletak di Parahyangaan Sunda. Kerjaan Pajajaran disebut juga dengan Kerjaan
Sunda.
Kerjaan Pajajaran di dirikan oleh Sri Jayabhupati pada tahun 923, hal ini disebutkan dalam prasasti
Sanghyang Tapak yang berada di Cibadak, Sukabumi.
Kerjaan Pajajaran mencapai puncak kejayaan dibawah pemerintahan Sri Baduga Maharaja. Raja Sri
Baduga atau Siliwangi membangun banyak tempat seperti telaga, jalan menuju ibukota Pakuan dan
Wanagiri
Raja pertama yang memimpin kerajaan Mataram Kuno adalah Raja Sanjaya yang merupakan raja
yang besar dan berkeyakinan Hindu Syiwa yang taat.
Candi perambanan merupakan salah satu peninggalan dari adanya kerajaan hindu dan budha yang
ada di Indonesia.
6. Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia dan berdiri sejak abad ke 5
masehi. Kerajaan Kutai terletak di Kalimanan Timur di hulu sungai Mahakam.
Adanya kerajaan Kutai ditunjukkan oleh adanya jenis huruf pranagri yang berasal dari India Selatan
dan juga adanya tujuh buah Yupa atau prasasti berbentuk tiang batu yang ditulis dengan huruf
Pallawa dan bahasa Sansekerta.
7. Kerajaan Kadiri
Kerjaan Kadiri atau Kerajaan Kediri merupakan salah satu kerajaan yang bercorak Hindu dan terletak
di Kediri, Jawa Timur sekitar tahun 1042 hingga 1222.
Pusat kerajaan Kadiri teretak di daerah Daha (sekarang Kediri). Hal ini ditunjukkan dari adanya
prasasti Pamwatan dari Airlangga.
8. Kerajaan Salakanegara
Kerajaan Salakanegara berada di daerah Jawa Barat. Kerjaan ini diyakini sebagai kerajaan paling awal
di Nusantara, dan diperkirakan berdiri pada abad ke-2 masehi.
Kerajaan ini dipercaya sebagai kerajaan leluhur orang Sunda dan juga merupakan cikal – bakal orang
betawi.
9. Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara berada di daerah bagian barat pulau jawa dan merupakan salah satu kerjaan
tertua di Indonesia.
Bukti adanya Kerajaan Tarumanegara ditunjukkan oleh banyaknya artefak yang ditemukan di sekitar
lokasi kerajaan. Dari peninggalan sejarah tersebut disebutkan bawa kerajaan beragama Hindu aliran
Wisnu.
Kerjaaan Kalingga atau yang disebut juga dengan Kerajaan Holing terletak di wilayah pesisir utara
Jawa Tengah, dengan pusat pemerintah berada di wilayah Pekalongan dan Jepara.
Mayoritas masyarakat Kerajaan Kalingga beragama Hindu dan Budha serta menggunakan bahasa
Sansekerta dan Melayu Kuno.
Puncak kejayaan Kalingga adalah saat berada dalam kepemimpinan Ratu Shima yang memerintah
sekitar tahun 674 masehi hingga 732 masehi.
Kerajaan Kahuripan berada di wilayah Jawa Timur dan didirikan oleh Airlangga pada tahun 1009,
Airlangga sendiri memerintah kerajaan Kahurioan dari tahun 1009 hingga 1042 masehi.
Keinginan Airlangga tersebut kemudian berubah menjadi misi untuk menaklukan seluruh wilayah
Jawa.
Kerajaan Kanjuruhan, kerajaan Hindu di Jawa Timur. Berdiri sejak abad ke-8 M, diperkirakan
sezaman dengan kerajaan Tarumanegara dan kerajaan Kalingga.
Wilayah kekuasaan kerajaan Kanjuruhan berada di sekitar Kota Malang, tepatnya di daerah Dinoyo,
Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede.
Keberadaan kerajaan Kanjuruhan ditunjukkan oleh Prasasti Dinoyo, yang dibuat pada 760 M. Prasasti
berupa lempengan batu berukir tersebut berisi beberapa baris tulisan beraksara Jawa Kuno dan
bahasa Sansekerta.
Kerajaan Wijayapura adalah kerajaan yang berdiri pada abad ke-7 di Kalimantan Barat dan terletak di
sekitar Sungai Rejang.
Namun, kerajaan ini diduga berdiri pada sekitar abad ke-6 atau 7 di Kalimantan Barat. Hal ini
ditunjukkan oleh adanya penemuan benda-benda kuno bercorah Hindu seperti patung dan gerabah.
Kerajaan Melayu berada di wilayah Pulau Sumatera dan berpusat di tepian Sungai Batanghari di
Jambi, berpindah ke hulu Sungai Batanghari di Dharmasraya dan berpindah lagi ke Pagaruyung.
Hal ini berdasarkan kisah perjalan I-Tsing, seorang Sami Budha dari Cina yang menuturkan bahwa
pada tahun 685 kerajaan Melayu ini telah takluk dibawah kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Janggala berdiri pada 1042, setelah Airlangga dari Kerajaan Kahuripan membagi wilayah
kekuasaannya, menjadi Kerajaan Janggala dan Kerajaan Kadiri, untuk diberikan kepada kedua
putranya yang saling berselisih.
Kerajaan Jenggala beribu kota di Kahirapan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan, sedangkan
Kerajaan Kadiri beribukota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya.
Sejak awal pemisahan dua kerajaan ini, hubungan antara Janggala dan Kadiri tidak pernah akur dan
selalu terlibat dalam konflik.
16. Kerajaan Bali
Kerajaan Bali ini berdiri pada abad 9 hingga abad ke 14 masehi . Ketika kerajaan Majapahit runtuh,
banyak rakyat Majapahit yang melarikan diri dan menetap di Bali.
Sampai sekarang ada kepercayaan bahwa sebagian dari masyarakat Bali dianggap sebagai pewaris
tradisi Majapahit. Penguasa pertama Kerajaan Bali adalah Sri Kesari Warma dewa.
Sultan Malik Al-Saleh menjadi pendiri sekaligus raja pertama Samudera Pasai
yang kerajaan Islam tertua di Indonesia.
2. Kerajaan Demak
Selain di Aceh, kerajaan Islam muncul di Demak, Jawa Tengah. Kerajaan Demak
didirikan oleh Raden Fatah pada 1478.
6. Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang merupakan penerus dari Kerajaan Demak. Kerajaan ini didirikan
oleh Jaka Tingkir pada tahun 1568 di Kelurahan Pajang, Kota Surakarta.
7. Kerajaan Cirebon
Raden Fatahillah mendirikan Kerajaan Cirebon pada 1522. Kerajaan itu mencapai
puncak kejayaan semasa kepemimpinannya.
8. Kerajaan Maluku
Kerajaan Maluku atau yang dibiasa disebut Kesultana Ternate pertama kali berdiri
pada 1257.
Kerajaan tersebut didirikan oleh Baab Mashur Malamo yang memiliki peran besar
di kawasan timur Indonesia.
9. Kerajaan Gowa
Kerajaan Gowa berdiri sejak tahun 1300-1946. Raja pertama kerajaan Islam ini
adalah Sultan Hasanuddin.
Sementara raja terakhir Kerajaan Giwa adalah Sultan Muhamamd Abdul Kadir
Aiduddin.
Kurun waktu Agustus 1945-Desember 1947 menjadi masa-masa paling berat bagi
para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia setelah
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Pihak Belanda bersama sekutunya, dan
Jepang, masih berupaya mengambil alih kekuasan. Pertempuran pun pecah di
sejumlah daerah. Strategi gerilya dan diplomasi yang ditempuh berhasil membuat
Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.
1945
17 Agustus 1945
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia.
18 Agustus 1945
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan Undang-Undang
Dasar RI 1945 serta memilih Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta
sebagai Wakil Presiden.
2 September 1945
Pembentukan kabinet pertama yang terdiri atas 16 menteri, dan delapan gubernur
untuk wilayah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil,
Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan.
8 September 1945
Tentara sekutu dan tentara Nederlands Indie Civil Administration (NICA) mendarat di
Indonesia.
10 September 1945
Jepang menyatakan akan menyerahkan pemerintahan kepada sekutu, tidak kepada
Indonesia.
29 September 1945
Pendaratan tentara sekutu Allied Forces Netherlands East Indies sebanyak tiga
divisi di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera.
5 Oktober 1945
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk.
13 Oktober 1945
Pecah pertempuran di Medan Area antara pemuda TKR dengan tentara sekutu.
15 Oktober 1945
Tepat dini hari di Semarang terjadi pertempuran sengit antara TKR melawan tentara
Jepang. Lebih dari 2.000 rakyat dan 100 pasukan Jepang tewas dalam pertempuran
yang berlangsung lima hari itu.
20 Oktober 1945
Pasukan sekutu mendarat di Semarang untuk menerima penyerahan kekuasaan
dari tangan Jepang, namun justru memicu pertempuran di Ambarawa yang dikenal
sebagai Palagan Ambarawa.
10 November 1945
Di Surabaya, Inggris mengultimatum pejuang Indonesia menyerahkan senjata pukul
06.00 pagi. Namun, tak dihiraukan, pertempuran sengit pun pecah hingga awal
Desember 1945.
1946
4 Januari 1946
Pemerintah Pusat Republik Indonesia memutuskan memindahkan Ibukota dari
Jakarta ke Yogyakarta.
26 Januari 1946
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
21 Febuari 1946
Di Padang terjadi pertempuran besar antara Inggris dan pasukan Indonesia,
tepatnya di daerah Rimbo Kaluang.
23 Maret 1946
Inggris mengultimatum agar Bandung Selatan dikosongkan dari pasukan Indonesia.
Malam hari, pasukan dan rakyat meninggalkan kota sambil membumihanguskan
bangunan yang dikenal sebagai peristiwa Bandung Lautan Api.
15 November 1946
Pemerintahan RI dengan pihak Belanda menandatangani Perjanjian Linggarjati.
Belanda mengakui wilayah Indonesia meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera.
1947
1 Januari 1947
Perang terjadi di Kota Palembang antara laskar-laskar perjuangan dan tentara
Indonesia melawan tentara Belanda yang mengacau.
25 Febuari 1947
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengesahkan persetujuan Linggarjati.
3 Juni 1947
Laskar-laskar perjuangan yang ada di Indonesia digabungkan dengan TRI sehingga
berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
21 Juni 1947
Belanda melancarkan serangan besar-besaran (Agresi Militer ke-I) ke wilayah
pertahanan Indonesia. TNI merespon dengan perang gerilya.
1 Agustus 1947
Dewan Keamanan PBB menyerukan gencatan senjata antara TNI dengan Tentara
Belanda.
1948
17 Januari 1948
Pihak RI dengan Belanda menandatangi Perjanjian Renville. Nama Renville diambil
dari nama kapal Amerika Serikat yang dijadikan tempat perundingan tersebut.
18 September 1948
Di Kota Madiun terjadi pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia
(PKI).
19 Desember 1948
Belanda melakukan agresi militer kedua dan berhasil menduduki Ibu Kota
Yogyakarta. Sebelum Presiden Soekarno ditawan, dirinya memberikan mandat
kepada Syafrudin Prawiranergara untuk membentuk Pemerintah Darurat RI.
1949
1 Maret 1949
Serangan umum secara mendadak dilakukan gerilya TNI di Yogyakarta untuk
menepis kabar yang disebarkan Belanda bahwa TNI telah hancur.
7 Agustus 1949
Pasukan TNI di daerah Surakarta melancarkan serangan ke benteng-benteng
Belanda di Kota Solo.
23 Agustus 1949
Konferensi Meja Bundar (KMB) digelar di kota Den Haag, Belanda. Hasilnya
Belanda segera menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada
akhir Desember 1949.
17 Desember 1949
Soekarno dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) pertama.
27 Desember 1949
Di Istana Merdeka dilangsungkan upacara pengakuan (penyerahan) kedaulatan dari
Belanda kepada Indonesia. Bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan
bendera Merah Putih.