Anda di halaman 1dari 44

Orde Baru

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru


menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde
Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.[1] Orde Baru berlangsung dari
tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat
meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela.

Latar belakang
Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang
relatif tidak stabil.[2] Bahkan setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya
persaingan di antara kelompok-kelompok politik.[2] Keputusan Soekarno untuk mengganti sistem
parlemen dengan Demokrasi Terpimpin memperparah kondisi ini dengan memperuncing
persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia, yang kala itu berniat
mempersenjatai diri.[2] Sebelum sempat terlaksana, peristiwa Gerakan 30 September terjadi dan
mengakibatkan diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari Indonesia.[2] Sejak saat itu,
kekuasaan Soekarno perlahan-lahan mulai melemah.[3]

Supersemar dan kebangkitan Soeharto


Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun
1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya.[1] Orde Baru bertujuan meletakkan kembali
tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.[1]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat
itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang
berlangsung.[4] Di tengah-tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana
terdapat pasukan yang tidak dikenal.[1] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden
Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr.
Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr
Subandrio, dan Waperdam III Chaerul Saleh.[4] Leimena sendiri menyusul presiden segera
setelah sidang berakhir.[4]
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal
Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden.[4] Segera
setelah mendapat izin, pada hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor
dengan tujuan melaporkan kondisi di ibu kota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno
bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga.[4] Namun, mereka juga memohon agar
Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini.[4]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan
kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi
keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.[4] Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu
oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf,
Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Sabur, Komandan Pasukan Pengawal
Presiden Cakrabirawa.[4] Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11
Maret 1966 atau Supersemar.[4]

Pemberangusan Partai Komunis Indonesia


Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto
mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan
yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang
bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah
Indonesia.[4] Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI
ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966.[5] Keputusan pembubaran Partai
Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena
merupakan salah satu realisasi dari Tritura.[5]
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut
dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan
Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.[5] Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang
disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-
orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September.[5] Keanggotaan Partai Komunis
Indonesia dalam MPRS dinyatakan gugur.[5] Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan
sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya.[6] Di DPRGR sendiri, secara
total ada 62 orang anggota yang diberhentikan.[5] Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian
DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan
sebagai menteri.[5]
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil
sebagai berikut:

 Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan


Supersemar.[7]
 Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara
Tingkat Pusat dan Daerah.[7]
 Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI
Bebas Aktif.[7]
 Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.[7]
 Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang
Bertentangan dengan UUD 1945.[7]
 Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan
Perundang-undangan di Indonesia.[7]
 Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis
Indonesia dan Pernyataan Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya sebagai
Organisasi Terlarang di Indonesia.[7]
Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan dinilai
berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran Partai Komunis
Indonesia dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur Partai Komunis Indonesia.[7]
Selain dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia juga dibantai
khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau Jawa.[8] Pembantaian ini tidak hanya
dilakukan oleh angkatan bersenjata, namun juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai.[8] Selain
kader, ribuan pegawai negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap dan
dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia.
[8]
 Sebagian diasingkan ke Pulau Buru, sebuah pulau kecil di wilayah Maluku.[9] Pada tanggal 30
September setiap tahunnya, pemerintah menayangkan film yang menggambarkan Partai
Komunis Indonesia sebagai organisasi yang keji.[2]

Pembentukan Kabinet Ampera


Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan MPRS
No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Ampera.[10] Tugas utama
Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal
dengan nama Dwidarma Kabinet Ampera.[10] Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera
disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:[10]

1. memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;


2. melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan
MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai
dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
4. melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh
Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.[10] Akibatnya, muncul dualisme
kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.[10]
Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh politik, namun kekuatannya perlahan-lahan
dilemahkan.[3] Kalangan militer, khususnya yang mendapatkan pendidikan di negara Barat,
keberatan dengan kebijakan pemerintah Soekarno yang dekat dengan Partai Komunis
Indonesia.[3] Mengalirnya bantuan dana dari Uni Soviet dan Tiongkok pun semakin menambah
kekhawatiran bahwa Indonesia bergerak menjadi negara komunis.[3]
Akhirnya pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak kala
itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto.[10] Penyerahan ini
tertuang dalam Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20
Februari 1967.[10] Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang
menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi
sebagai pemegang jabatan presiden.[10] Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan
keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan.
[10]
 Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan agar
penyerahan kekuasaan tetap konstitusional.[10] Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa MPRS
pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya secara resmi mengangkat Soeharto
sebagai presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan
umum.[10]

Kebijakan ekonomi
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang ditinggalkan
oleh pemerintahan sebelumnya.[11] Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh
rendahnya pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS,
tingginya inflasi yang mencapai 65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik
yang terjadi di akhir pemerintahan Soekarno[11]
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek
berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan
usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan
sandang.[12] Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat
dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan meningkat.
[12]

Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang disebut
sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).[12] Repelita pertama yang mulai
dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan
iklim usaha dan investasi.[12] Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk memenuhi
kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain.[12] Pembangunan antara lain
dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian seperti irigasi, perhubungan, teknologi
pertanian, kebutuhan pembiayaan, dan kredit perbankan.[12] Petani juga dibantu melalui
penyediaan sarana penunjang utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.[12]
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun,
pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat
ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I pada tahun 1974.[12] Repelita II (1974-1979) dan
Repelita III (1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan
pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.[12] Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai
status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor beras
terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[12] Fokus Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (1989-
1994), selain berusaha mempertahankan kemajuan di sektor pertanian, juga mulai bergerak
menitikberatkan pada sektor industri khususnya industri yang menghasilkan barang ekspor,
industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang
dapat menghasilkan mesin-mesin industri.[13]

Swasembada beras
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan
sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan
ekonomi dan politik.[14] Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai
prasarana pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan
bisnis.[14] Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga
yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).[14]
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam.[14] Pada tahun
1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton.[14] Jumlah ini berhasil
ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi beras
per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[14] Prestasi ini merupakan sebuah
prestasi besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras
terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[14]

Pemerataan kesejahteraan penduduk


Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan kesejahteraan
penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan pangan, peningkatan gizi,
pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar, penyediaan air
bersih, dan pembangunan perumahan sederhana.[14] Strategi ini dilaksanakan secara konsekuen
di setiap pelita.[15] Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari angka 60% pada tahun
1970-an ke angka 15% pada tahun 1990-an.[15] Pendapatan perkapita masyarakat juga naik dari
yang hanya 70 dolar per tahun pada tahun 1969, meningkat menjadi 600 dolar per tahun pada
tahun 1993.[14]
Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang
tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an menjadi 61 tahun di 1992.[14] Dalam kurun waktu yang
sama, angka kematian bayi juga menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi
63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.[14] Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui
program Keluarga Berencana (KB).[14] Selama dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan penduduk
mencapai 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut dapat diturunkan menjadi
2,0% per tahun.[14]

Penataan Kehidupan Politik


Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Organisasi masanya
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto
sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:[butuh rujukan]

 Membubarkan Partai Komunis Indonesia pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat


dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
 Menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang di Indonesia
 Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap
terlibat Gerakan 30 September 1965.
Penyederhanaan Partai Politik
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai- partai
politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak
didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan sosial
politik itu adalah:[butuh rujukan]

 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi,


PSII, dan PERTI
 Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik,
Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
 Golongan Karya
Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam
upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada
masa pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi
dimasa Orde Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsi
serta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.

Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan
selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu.[16]
Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar
memperoleh 74,51% dengan perolehan 325 kursi di DPR.[17] Ini merupakan perolehan suara
terbanyak Golkar dalam pemilu.[18] Adapun PPP memperoleh 89 kursi dan PDI mengalami
kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR.[19]
Kemorosotan perolehan suara PDIP disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala
banteng tersebut.[butuh rujukan] PDI akhirnya pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno
Putri yang sekarang menjadi PDIP. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa
pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan
dengan baik.[butuh rujukan] Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas,
dan rahasia). Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu
kontestan Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu
1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara di MPR
dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden
Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh
anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan
lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.[butuh rujukan]

Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI


Menurut Connie Rahakundini Bakrie, Orde Baru menempatkan militer sebagai pemain sentral
dalam perpolitikan melalui doktrin Dwi Fungsi ABRI.[20] Selain menjadi angkatan bersenjata, ABRI
juga memegang fungsi politik, menjadikannya organisasi politik terbesar di negara. Timbulnya
pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang
dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan
DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu.[butuh rujukan]
Dasar hukum pelaksanaan Dwifungsi ABRI di antaranya yakni Ketetapan MPR, yaitu sejak TAP
MPR(S) No. II Tahun 1969 hingga TAP MPR No. IV Tahun 1978.[21] Selain itu, dasar hukumnya
yakni Undang-Undang (UU) No. 15 dan 16 tahun 1969 yang diperbarui menjadi UU No. 4 dan 5
tahun 1975.[22] Pengukuhan peran ABRI sebagai kekuatan sosial politik ditegaskan  dalam UU
No. 20 Tahun 1982.[23] Dalam penjelasan pasalnya disebutkan bahwa prajurit ABRI dalam bidang
sosial politik bertindak selaku dinamisator dan stabilisator.[24] Peran dinamisator sebenarnya telah
diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah
melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah
ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa
dari perpecahan setelah Gerakan 30 September, yang melahirkankan Orde Baru.
Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri.[25] Banyak perwira, khususnya mereka
yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI.
[25]
 Masuknya pendidikan sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu
mempelajari strategi militer berkurang.[25]
Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.[25] Saat
itu, hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk Polisi yang kala itu masih menjadi bagian dari
ABRI.[25] Angka ini, yang hanya mencakup 0,15 persen dari total populasi, sangat kecil dibanding
Singapura (2,06%), Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%).[25] Pendanaan yang didapatkan
ABRI pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara angkatan bersenjata
Singapura mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%.[25] Selain itu, peralatan dan perlengkapan
yang dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar dan 160 tank ringan.[25]

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)


Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman
untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya
Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).[butuh rujukan] Untuk
mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara
menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk
pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman
yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan
kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat akan
mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.[butuh rujukan] Sehingga sejak
tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan
berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila.
Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu
bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem
budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde
Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai
dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi
Pancasila, dan sebagainya. Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh
diperdebatkan.[butuh rujukan]

Penataan Politik Luar Negeri


Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan. MPR
mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada kepentingan nasional, seperti
pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.[butuh rujukan]

Kembali menjadi anggota PBB


Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah sadar
bahwa banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 1955-
1964.[butuh rujukan] Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara
Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai
Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkan
hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya
yang sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.

Normalisasi Hubungan dengan Negara lain


Pemulihan Hubungan dengan Singapura
Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia
dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.[butuh rujukan] Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah
Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana
Menteri Lee Kuan Yew.[butuh rujukan] Lalu pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban
kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Pemulihan Hubungan dengan Malaysia

Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan di


Bangkok pada 29 Mei - 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian
tersebut adalah: [26]

1. Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka


ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
2. Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
3. Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan
Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul
Razak (Malaysia).
Pembekuan Hubungan dengan RRT
Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintah Republik Indonesia membekukan hubungan
diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Keputusan tersebut dilakukan karena RRT
telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan
kepada Gerakan 30 September baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah
terjadinya pemberontakan tersebut.[butuh rujukan] Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa
dengan tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-
anggota Keduataan Besar Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRT juga telah
memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh Gerakan 30 September di luar negeri, serta
secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia. Melalui
media massanya RRT telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Pada 30 Oktober
1967, Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.[butuh rujukan]

Penataan Kehidupan Ekonomi


Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama,
pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:

 Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari


oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.[butuh rujukan]
 MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan serta
program stabilisasi dan rehabilitasi.
Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti
mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Rehabilitasi ekonomi
adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah
pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke
arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut
adalah:

 Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan


kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah:
1. Rendahnya penerimaan negara.
2. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
3. Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
4. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
5. Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan
prasarana.

 Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian


 Berorientasi pada kepentingan produsen kecil
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru
menempuh cara:[butuh rujukan]

 Mengadakan operasi pajak
 Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan perorangan
maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
 Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta
menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.
 Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.
Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Pemerintah Orde Baru
berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan
pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968,
pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak
harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi
nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun
1969 dapat dikendalikan pemerintah.[butuh rujukan]
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi. Selama
sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan
kerusakan pada prasarana sosial dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi,
dan perbankan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok
kepentingan tertentu. Dampaknya, lembaga negara tidak dapat melaksanakan fungsinya
sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.[butuh rujukan]

Kerjasama Luar Negeri


 Pertemuan Tokyo
Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga
mewariskan utang luar negeri yang sangat besar, yakni mencapai 2,2 - 2,7 miliar, sehingga
pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran
kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia
mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo.[butuh rujukan] Pemerintah
Indonesia akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan
digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-
bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-negara kreditor. Perundinganpun
dilanjutkan di Paris, Prancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut:[butuh rujukan]

1. Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai


dengan 1999.
2. Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama
besarnya.
3. Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
4. Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap
negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.
 Pertemuan Amsterdam
Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda yang bertujuan
membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian
bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Intergovernmental Group
for Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi
kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta
persiapan-persiapan pembangunan.[butuh rujukan] Di samping mengusahakan bantuan luar negeri
tersebut, pemerintah juga telah berusaha mengadakan penangguhan serta memperingan syarat-
syarat pembayaran kembali (rescheduling) hutang-hutang peninggalan Orde Lama.[butuh
rujukan]
 Melalui pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar
negeri.

Pembangunan Nasional
 Trilogi Pembangunan
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang
ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan
nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka
pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.[butuh rujukan] Pambangunan Jangka Pendek dirancang
melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam
rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan
Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian
upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan
masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya
mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:[butuh rujukan]

1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia


2. Meningkatkan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman
pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut
adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang
stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah:[butuh rujukan]

1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial


bagi seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:[butuh rujukan]

1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan


perumahan.
2. Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja
5. Pemerataan kesempatan berusaha
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi
muda dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
 Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Seperti telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui
Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka
Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde
Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu:[butuh rujukan]

o Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal
pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah
pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan
kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan
tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian,
karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.[butuh rujukan]

o Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita II
ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan
rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil.
Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil
ditekan menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.[butuh rujukan]

o Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984.[butuh rujukan] Pelaksanaan
Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah
pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.

o Pelita IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini adalah
sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang dapat
menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini
yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi.[butuh rujukan] Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan
pembangunan nasional dapat berlangsung terus.

o Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan ditekankan
pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi
yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun.[butuh rujukan] Posisi perdagangan
luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik
dibanding sebelumnya.

o Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI ini
ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta
peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang
sebagai penggerak pembangunan.[butuh rujukan] Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang
melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa
politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan
terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
 Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada
1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565[butuh rujukan]
 Sukses transmigrasi
 Sukses KB
 Sukses memerangi buta huruf
 Sukses swasembada pangan
 Pengangguran minimum
 Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
 Sukses Gerakan Wajib Belajar
 Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
 Sukses keamanan dalam negeri
 Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
 Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri[butuh rujukan]

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru


[butuh rujukan]

1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme


2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan
antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar
disedot ke pusat
3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan,
terutama di Aceh dan Papua
4. Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh
tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
5. Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si
kaya dan si miskin)
6. Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
7. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
8. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
9. Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius" (atau disingkat sebagai "petrus")
10. Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
11. Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang,
hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti
hancur.[butuh rujukan]
12. Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang
memperhatikan kesejahteraan anak buah.
13. Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang
oleh swasta

Sejarah Indonesia (1950–1959)


Era 1950-1959 adalah era di mana Presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi
UUDS Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung mulai dari 17 Agustus 1950 sampai 5
Juli 1959.

Latar Belakang[sunting | sunting sumber]


Pada masa orde lama, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa peralihan.
Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan presidensial, parlementer, demokrasi
liberal, dan sistem pemerintahan demokrasi terpimpin. Berikut penjelasan sistem pemerintahan
masa Ir. Soekarno:
Masa Pemerintahan Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi
parlementer. Dimana dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden memiliki fungsi ganda,
yaitu sebagai badan eksekutif dan merangkap sekaligus sebagai badan legislatif.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno ini juga terjadi penyimpangan UUD 1945. Berikut
Penyimpangan UUD 1945 yang terjadi pada masa orde lama:
Fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berubah, dari pembantu presiden menjadi
badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan
wewenang MPR.
Salah satu hasil dari KMB adalah terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat.
Pembentukan negara federal yang diprakasai oleh Belanda untuk melemahkan integrasi
Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata tidak mendapat tempat di hati masyarakat
Indonesia. Banyak negara bagian yang menyatakan ingin kembali ke negara kesatuan.
Pada 15 Agustus 1950, Perdana Menteri Kabinet RIS Mohammad Hatta, kemudia menyerahkan
mandatnya kepada Presiden Soekarno. Selanjutnya, pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali
menjadi negara kesatuan.
Maka, dimulailah usaha-usaha untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang telah
susah payah diperjuangkan. Masa revolusi fisik atau masa perjuangan harus segera
ditinggalkan. Gangguan keamanan yang selama ini banyak menyita perhatian, waktu, dan dana
negara harus segera digantikan dengan langkah-langkah konkret. Hal ini agar perbaikan
berbagai bidang, seperti sistem poltik dan pemerintahan, perekonomian, pertahanan, dan
keamanan negara.
Setelah berakhirnya pemerintahan RIS pada 1950, pemerintahan Republik Indonesia masih
melanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin oleh seorang perdana
menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden hanya berkedudukan sebagai
kepala negara.
Pada kurun waktu 1950 sampai 1959, kembali terjadi silih berganti kabinet. Kabinet jatuh bangun
karena munculnya mosi tidak percaya dari partai relawan. DIsamping itu, terjadi perdebatan
dalam konstituante yang sering menimbulkan konflik berkepanjangan.
Pada tahun 1950, Perdana Menteri Kabinet RIS, Mohammad Hatta, kemudian menyerahkan
mandatnya kepada Presiden Soekarno. Selanjutnya, pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali
menjadi negara kesatuan.
Salah satunya adalah Presiden Soekarno membubarkan parlemen sekaligus menyatakan
kembali UUD 1945. Pemerintah kemudian membentuk lembaga-lembaga MPRS dalam
demokrasi terpimpin yang menerapkan sistem politik keseimbangan. Pada masa ini Soekarno
merencanakan konsep pentingnya persatuan antara kaum nasionalis, agama dan komunis.

Konstituante[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1955, Indonesia baru melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama. Pada
bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan Desember pemilih kembali
memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi yang akan bekerja di sebuah institusi yang dikenal
dengan Konstituante.
Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November 1956 di
Bandung, ibukota Jawa Barat. Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf undang-
undang dasar berlangsung selama dua setengah tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama
antara golongan yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan yang mendukung
Pancasila) terjadi sangat sengit. Walaupun para pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari
90% materi undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh partai
politik Islam yang merasa siap berkompromi, Konstituante tidak sempat menyelesaikan
tugasnya.
Konstituante diberikan tugas untuk membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat
UUDS 1950. Pada 1950, UUDS (Undang-Undang Sementara) diberlakukan di bawah
pemerintahan Soekarno. ini berdampak pada penerapan model demokrasi parlementer murni
(Demokrasi Liberal). Tetapi, Demokrasi Liberal yang didukung oleh banyak partai seperti,
MASYUMI dan PNI) justru mengarah kepada munculnya ketidakstabilan politik. Pada 1959,
munculnya Demokrasi Terpimpin dengan kabinet yang semuanya dipimpin oleh Ir. Soekarno.
sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden
Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang
berisi ide untuk kembali pada UUD 1945. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat
menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak
ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan
“sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil
pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih
Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai
berlarut-larut. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli
1959, yang antara lain berisi kembali berlakunya UUD 1945.

Kabinet-kabinet di Indonesia Pada Masa Demokrasi


Liberal[sunting | sunting sumber]
Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil.
Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini. Kabinet jatuh bangun karena munculnya mosi tidak
percaya dari partai lawan. Di samping itu, terjadi perdebatan dalam Konstituante yang sering
menimbulkan konflik berkepanjangan.

Kabinet Natsir (Masyumi) (6 September 1950 - 21 Maret 1951)


[sunting | sunting sumber]
Program kerja kabinet Natsir:

1. Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan


Konstituante
2. Menyempurnakan susunan pemerintahan dan membentuk kelengkapan negara
3. Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketenteraman
4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mengembangkan dan memperkuat ekonomi
rakyat
5. Menyempurnakan organisasi angkatan perang
6. Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat
Hasil:

1. Berlangsungnya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai


masalah Irian Barat
Kendala atau masalah yang dihadapi:

1. Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu
(kegagalan)
2. Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh
wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan
RMS
Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Belum sampai program tersebut terlaksana, kabinet ini sudah jatuh pada 21 Maret 1951 dalam
usia 6.5 bulan.
Jatuhnya kabinet ini karena adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan
Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah
No. 39 tahun 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui
parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Susunan Kabinet Natsir:

1. Perdana Menteri : Mohammad Natsir (Partai Masyumi)


2. Wakil Perdana Menteri : Hamengkubuwono IX (Non Partai)
3. Menteri Luar negeri : Mohammad Roem (Partai masyumi)
4. Menteri Dalam Negeri : Assaat (Non Partai)
5. Menteri Kehakiman : Wongsonegoro (Partai PIR)
6. Menteri Keamanan Rakyat : Abdul Halim (Non Partai)
7. Menteri Keuangan : Syafruddin Prawiranegara (Partai Masyumi)
8. Menteri Penerangan : M.A. Pellaupessy (Faksi Demokratik)
9. Menteri Pertanian : Tandiono Manu (Partai Sosialis Indonesia)
10. Menteri Perdagangan : Sumitro Joyohadikusumo (Partai Sosialis Indonesia)
11. Menteri Sosial : F.S. Haryadi (Partai Katolik)
12. Menteri Pekerjaan Umum : Herman Johannes (PIR)
13. Menteri Kesehatan : Johannes Leimena (Partai Kristen Indonesia)
14. Menteri Perhubungan : Djuanda Kartawidjaja (Non Partai)
15. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan : Bahder Djohan (Non Partai)
16. Menteri Agama : Wahid Hasyim (Partai Masyumi)
17. Menteri Negara : Harsono Tjokroaminoto (PSII)
18. Menteri Tenaga Kerja : Panji Suroso (Partai Parindra)
Dalam program Kabinet Natsir, kemudian diterapkan Program Benteng yang didasari oleh
gagasan pentingnya mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Program
Benteng resmi berjalan selama tiga tahun (1950-1953) dengan tiga kabinet berbeda (Natsir,
Sukiman, dan Wilopo).

Kabinet Sukiman-Suwirjo (Masyumi) (26 April 1951 - 3 April 1952)


[sunting | sunting sumber]

Kabinet ini merupakan kabinet kedua setelah penghapusan RIS (Republik Indonesia Serikat).
Kabinet ini bertugas pada masa bakti 27 April 1951 hingga 3 April 1952 Kabinet ini telah
didemosioner sejak 23 Februari 1952.
Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.
Masyumi adalah organisasi yang dibentuk Jepang dalam upaya mereka untuk mengendalikan
umat islam di Indonesia. Tujuan partai ini adalah untuk menegakkan kedaulatan negara dan
agama islam.
Properti kabinet:

 Perdana Menteri : Sukiman Wirjosandjojo


 Wakil Perdana Menteri : Suwirjo
 Menteri Luar Negeri : Achmad Subardjo
 Menteri Dalam Negeri : Iskak Tjokroadisurjo
 Menteri Pertahanan : Sewaka
 Menteri Kehakiman : Mohammad Yamin
 Menteri Penerangan : Arnold Mononutu
 Menteri Keuangan : Jusuf Wibisono
 Menteri Pertanian : Suwarto
 Menteri Perindustrian dan Perdagangan : Sujono Hadinoto
 Menteri Perhubungan : Djuanda Kartawidjaja
 Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga : Ukar Bratakusumah
 Menteri Perburuhan : Iskandar Tedjasukmana
 Menteri Sosial : Sjamsuddin
 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan : Wongsonegoro
 Menteri Kepercayaan kepada Tuhan : Wahid Hasjim
 Menteri Kesehatan : J.Leimena
 Menteri Negara : A. Pellaupessy (urusan umum), Pandji Suroso (urusan pegawai), dan
Gondokuspmp (urusan agraria)
Catatan:

 Sewaka ditunjuk pada 9 Mei 1951 setelah Sumitro Kolopaking tidak menerima
penunjukan.
 Yamin mengundurkan diri 14 Juni 1951 dan A. Pellaupessy bagi sementara merangkap
Menteri Kehakiman. Pada 20 November 1951, posisi Menteri Kehakiman diserahkan kepada
Mohammad Nasrun.
 Sujono Hadinoto ditukarkan Wilopo pada Juli 1951.
 Ukar Bratakusumah merangkap Menteri Perhubungan sementara sewaktu Djuanda tidak
kekurangan di luar negeri.
 Diangkatkan pada 20 November 1951, Gondokusomo meninggal pada tanggal 6 Maret
1952.[1]

Program kerja kabinet Sukiman:

1. Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin


keamanan dan ketenteraman serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan
negara
2. Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk
meningkatkan kehidupan sosial dan perekonomian rakyat serta memperbaharui hukum
agraria sesuai dengan kepentingan petani
3. Mempercepat usaha penempatan mantan pejuang dalam lapangan pembangunan
4. Mempercepat dan menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk dewan
konstituante dan menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu yang singkat serta
mempercepat terlaksananya otonomi daerah
5. Menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama
(collective arbeidsovereenkomst), penetapan upah minimum, dan penyelesaian
pertikaian perburuhan
6. Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta menuju perdamaian dunia,
menyelenggarakan hubungan antara Indonesia dengan Belanda yang sebelumnya
berdasarkan asas unie-statuut menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional
biasa, mempercepat peninjauan kembali persetujuan hasil Konferensi Meja Bundar,
serta meniadakan perjanjian-perjanjian yang pada kenyataannya merugikan rakyat dan
negara
7. Memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia dalam waktu
sesingkat-singkatnya
Hasil dari program kerja ini tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program Natsir,
hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya
program menggiatkan usaha keamanan dan ketenteraman namun selanjutnya diprioritaskan
untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
Adapun beberapa kendala atau masalah yang dihadapi, diantaranya:

1. adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebadjo
dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cockran mengenai pemberian bantuan
ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan
ikatan Mutual Security Act (MSA) . Dimana di dalam MSA terdapat pembatasan
kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan untuk memperhatikan kepentingan
Amerika.
2. adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap
lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
3. masalah Irian Barat belum juga teratasi
4. hubungan Sukirman dengan militer kurang baik, ditunjukkan dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Sulawesi.
Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari 1952. Penyebab
jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota keuangan antara
Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran.
Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada ikatan
Mutual Security Act (MSA). DI dalam MSA, terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik luar
negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga tindakan
Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap
lebih condong ke blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin merebaknya
korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian
Barat.

Kabinet Wilopo (PNI) (3 April 1952 - 3 Juni 1953)[sunting | sunting


sumber]
Program kerja kabinet Wilopo:

1. Mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan umum


2. Berupaya untuk mengembalikan Irian Barat agar kembali menjadi wilayah Republik
Indonesia
3. Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan
4. Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran
5. Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif
Susunan Kabinet:

 Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri: Mr. Wilopo (PNI)

 Wakil Perdana Menteri: Prawoto Mangkusasmito (Masyumi)

 Menteri Dalam Negeri: Mr. Moh. Roem (Masyumi)


 Menteri Pertahanan: Sri Sultan Hamengku Bowono IX
 Menteri Kehakiman: Mr. Lukman Wiriadinata (PSI)
 Menteri Penerangan: Mr. Arnold Mononutu (PNI)
 Menteri Keuangan: Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo (PSI)
 Menteri Petanian: Moh. Sardjan (Masyumi)
 Menteri Perekonomian: Mr. Sumanang (PNI)
 Menteri Perhubungan: Ir. Djuanda
 Menteri Pekerjaan Umum: Ir. Suwarta (partai Katolik)
 Menteri Perburuhan: Ir. Iskandar Tedjasukmana (partai Buruh)
 Menteri Sosial: Anwar Tjokroaminoto (PSII)
 Menteri Pendidikan & Kebudayaan: Prof. Dr. Bader Djohan
 Menteri Agama: K.H Faqih Usman (Masyumi)
 Menteri Kesehatan: Dr. Johanes Leimena (Parkindo)
 Menteri Urusan Pegawai Negeri: R.P. Suroso (Parindra)
 Menteri Urusan Umum: M.A. Pallaupessy (Demokrat)
Kabinet Wilopo banyak mengalami kesulitan, yaitu sebagai berikut:

1. Mengatasi gerakan separatisme yang terjadi di berbagai daerah


2. Penekanan Presiden Soekarno yang dilakukan oleh sejumlah perwira Angkatan Darat
pada tanggal 17 Oktober 1952 agar parlemen dibubarkan
3. Kejadian Tangjung Morawa yang terjadi di Sumatra Utara. Peristiwa Tanjung Morawa
terjadi akibat persetujuan pemerintah sesuai dengan KMB agar memberikan izin kepada
pengusaha asing agar dapat mengusahakan tanah perkebunan di Indonesia lagi. Tanah
ini sebelumnya digarap oleh para pertani karena bertahun tahun telah ditinggalkan oleh
pemiliknya pada saat Kabinet Sukiman. Saat itu juga Mr. Iskaq Cokroadisuryo selaku
menteri dalam negeri memberikan persetujuan agar tanah Deli dikembalikan. Tanah
tersebut berhasil dikembalikan saat masa Kebinet Wilopo. Kemudian pada tanggal 16
Maret 1953, pihak polisi mengusir penggarap sawah yang tidak mempunyai izin. Akibat
pengusiran tersebut, banyak terjadi bentrokan bersenjata yang menewaskan 5 orang
petani. Peristiwa bentrokan itu mendapatkan sorotan yang tajam dari pihak parlemen
maupun pers. Hal inilah yang tentunya menjadi penyebab jatuhnya kabinet wilopo.
Akibatnya Kabinet Wilopo memperoleh mosi tidak percaya dari Sidik Kertapati dari
Serikat Tani Indonesia atau Sakti. Lalu Wilopo mengembalikan mandatnya kepada
Presiden pada tanggal 2 Juni 1953.
Kabinet Wilopo harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil menyelesaikan masalah
peristiwa 17 oktober 1952. Peristiwa itu dipicu oleh adanya gerakan yang diprakarsai oleh
sejumlah perwira angkatan darat yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Mereka
menghendaki agar Presiden Sukarno membubarkan parlemen.

Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Koalisi PNI dan NU) (31 Juli 1953 -
12 Agustus 1955)[sunting | sunting sumber]
Program kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang disebut juga Ali-Wongsonegoro:

1. Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah


2. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta melaksanakan pemilihan umum
3. Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
4. Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
5. Pelaksanaan politik bebas - aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB
6. Penyelesaian pertikaian politik
Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin meningkat, antara lain
munculnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Daud Beureuh Aceh, dan Kahar Muzakar di
Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi berbagai kesulitan, kabinet Ali-Wongsonegoro berhasil
menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Oleh karena itu, kabinet Ali-Wongsonegoro ikut
terangkat namanya. Selain berhasil menyelenggarakan Konfereni Asia Afrika, pada masa ini
juga terjadi persiapan pemilu untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada
29 September 1955. Kabinet Ali-Wongsonegoro akhirnya jatuh pada bulan Juli 1955 dalam usia
2 tahun (usia terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet Ali-Wongsonegoro adalah perselisihan
pendapat antara TNI-AD dan pemerintah tentang tata cara pengangkatan Kepala Staf TNI-AD.
Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I, diselenggarakan Konferensi Asia-Afrika
di Bandung pada 18-25 April 1955. Konferensi ini dihadiri 29 negara Asia dan Afrika yang
kemudian membawa pengaruh penting bagi terbentuknya solidaritas dan perjuangan
kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia-Afrika. Pemilihan umum pertama yang diselenggarakan
pada 1955 juga merupakan rancangan kabinet ini, tetapi pelaksanaannya kemudian dilanjutkan
oleh kabinet berikutnya.
Menteri pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo :

1. K.H Zaenul Arifin, sebagai wakil perdana menteri


2. Iwa Kusuma Sumantri, sebagai Menteri Pertahanan
3. K.H Masjkur, sebagai Menteri Agama
Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) (12 Agustus 1955 - 3
Maret 1956)[sunting | sunting sumber]
Program kerja Kabinet Burhanuddin:

1. Mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan Angkatan


Darat dan masyarakat
2. Akan dilaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan
pemberantasan korupsi
3. Perjuangan mengembalikan Irian Barat
Susunan Kabinet

N Partai
Jabatan Nama Menteri
o Politik

Perdana Menteri Burhanuddin Harahap Masjumi

R. Djanu Ismadi PIR-Hazairin


1
Wakil Perdana Menteri
Harsono Tjokroaminoto
PSII
(sampai dengan 18
Januari 1956)

2 Menteri Luar Negeri Ide Anak Agung Gde Agung Demokrat


R. Sunarjo
(sampai dengan 19 NU
Januari 1956)
3 Menteri Dalam Negeri
Pandji Suroso
(ad-interim, sejak 19 Parindra
Januari 1956)

4 Menteri Pertahanan Burhanuddin Harahap Masjumi


5 Menteri Kehakiman Lukman Wiriadinata PSI
6 Menteri Penerangan Sjamsuddin Sutan Makmur Independen
Prof. Dr. Sumitro
7 Menteri Keuangan PSI
Djojohadikusumo
8 Menteri Perdagangan IJ Kasimo PKRI
9 Menteri Pertanian Mohammad Sardjan Masjumi
Menteri Perhubungan Frits Laoh PRN
10
Menteri Muda Perhubungan Asraruddin Buruh
Pandji Suroso
11 Menteri Pekerjaan Umum Parindra
(sejak 26 Agustus 1955)

12 Menteri Perburuhan Iskandar Tedjasukmana Buruh


Sudibjo
(sampai dengan 18 PSII
Januari 1956)
13 Menteri Sosial
Sutomo
(ad-interim, sejak 18 PRI
Januari 1956)

Prof. Ir. R.M. Suwandi


Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
14 Parindra
Kebudayaan (sejak 26 Agustus 1955)

K.H. Muhammad Ilyas


(sampai dengan 19 NU
Januari 1956)
15 Menteri Agama
Mohammad Sardjan
(ad-interim, sejak 19 Masjumi
Januari 1956)

16 Menteri Kesehatan dr. J. Leimena Parkindo


17 Menteri Agraria Gunawan PRN
Abdul Halim Masjumi
Sutomo (Urusan Bekas
18 Menteri Negara PRI
Pejuang)
Drs. Gumala Adjaib Nur PIR

Alasan Keruntuhan Kabinet :


Presiden Soekarno sebenarnya kurang merestui kabinet ini karena yang menunjuk Burhanuddin
Harahap sebagai kepala pemerintahan kabinet ini adalah Wakil Presiden Moh. Hatta, jadi
setelah hasil pemungutan suara dan pembagian kursi di DPR diumumkan maka pada tanggal 2
Maret 1956 pukul 10.00 siang, Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan diri, sekaligus
menyerahkan mandatnya kepada Presiden untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil
pemilihan umum.
Kabinet ini jatuh tidak dikarenakan keretakan di dalam tubuh kabinet, juga bukan karena
dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak percaya dari parlemen, tetapi
merasa tugasnya sudah selesai. Kabinet terus bekerja sebagai Kabinet Domissioner selama 20
hari yaitu sampai terbentuknya kabinet baru yakni Kabinet Ali – Rum – Idham yang dilantik
tanggal 24 Maret 1956 dan serah terima dengan Kabinet Burhanuddin Harahap tanggal 26 Maret
1956. Setelah itu Eks Perdana Menteri ataupun Menteri lagi sampai kini dalam kabinet mana pun
juga dan dimana pun juga.
Prestasi dan Keberhasilan :
 Mengadakan perbaikan ekonomi, termasuk di dalamnya keberhasilan pengendalian
harga dengan menjaga agar tidak terjadi inflasi dan sebagainya. Dalam masalah ekonomi,
kabinet ini telah berhasil cukup baik. Dapat dikatakan bahwa kehidupan rakyat semasa
kabinet ini cukup makmur karena harga-harga barang kebutuhan pokok tidak melonjak naik
akibat inflasi.
 Berhasil menyelenggarakan pemilihan umum untuk anggota-anggota DPR.
 Berhasil mengembalikan wibawa pemerintah Republik Indonesia di mata pihak Angkatan
Darat.
Kelemahan Kabinet:
Kabinet ini merupakan kabinet koalisi. Sebenarnya kabinet ini masih berjalan baik, hanya
presiden kurang merestui kabinet ini, karena yang menunjuk Burhanuddin Harahap sebagai
formatir kabinet adalah drs. Muh. Hatta.
Kekuatan Kabinet :
Perbaikan ekonomi, termasuk di dalamnya keberhasilan pengendalian harga, menjaga agar
jangan terjadi inflasi dan sebagainya. Dapat dikatakan kehidupan rakyat semasa kabinet cukup
makmur, harga barang tidak melonjak naik akibat inflasi. Berhasil menyelenggarakan pemilihan
umum pertama tahun 1955.
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap, dilaksanakan pemilihan umum pertama di Indonesia.
Kabinet ini menyerahkan mandatnya setelah DPR hasil pemilihan umum terbentuk pada bulan
Maret 1956.

Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Koalisi PNI, Masyumi, dan NU) (20


Maret 1956 - 4 Maret 1957)[sunting | sunting sumber]
Program kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II ini disebut rencana pembangunan 5 tahun yang
memuat program jangka panjang, sebagai berikut :

1. Menyelesaikan pembatasan hasil KMB


2. Menyelesaikan masalah Irian Barat
3. Pembentukan provinsi Irian Barat
4. Menjalankan politik luar negeri bebas aktif
5. Pembentukan daerah - daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-
anggota DPRD
6. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai
7. Menyehatkan keseimbangan keuangan negara
8. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional
Program pokoknya adalah :

1. Pembatalan KMB
2. Pemulihan keamanan dan ketertiban
3. Melaksanakan keputusan KAA
Hasil Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II :

1. Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari
periode planning and investment, hasilnya adalah pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II ini pun tidak berumur lebih dari satu tahun dan akhirnya digantikan
oleh Kabinet Juanda karena mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil
Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada Presiden. Kabinet ini jatuh karena Badan
Konstituante tidak bisa membuat UUD yang baru pengganti UUDS sehingga presiden
mengeluarkan dekritnya tanggal 5 Juli 1959 dan mengumumkan berlakunya Demokrasi
Terpimpin.
Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 5 Juli 1959)[sunting | sunting sumber]
Susunan Kabinet

N
Jabatan Nama Menteri
o

Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja

Hardi

1
Idham Chalid
Wakil Perdana Menteri

J. Leimena

(sejak 29 April 1957)

2 Menteri Luar Negeri Subandrio


3 Menteri Dalam Negeri Sanusi Hardjadinata
4 Menteri Pertahanan Djuanda
5 Menteri Kehakiman G.A. Maengkom
6 Menteri Penerangan Soedibjo
7 Menteri Keuangan Sutikno Slamet
8 Menteri Pertanian Sadjarwo
Prof. Drs. Soenardjo
(sampai dengan 25
Juni 1958)
9 Menteri Perdagangan
Rachmat Muljomiseno
(sejak 25 Juni 1958)

10 Menteri Perindustrian F.J. Inkiriwang


11 Menteri Perhubungan Sukardan
12 Menteri Pelayaran Mohammad Nazir
13 Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Pangeran Mohammad Nur
14 Menteri Perburuhan Samjono
J. Leimena
(sampai dengan 24
Mei 1957)
15 Menteri Sosial
Muljadi Djojomartono
(sejak 25 Mei 1957)

16 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prijono


17 Menteri Agama Muhammad Ilyas
18 Menteri Kesehatan Azis Saleh
19 Menteri Agraria R. Sunarjo
A.M. Hanafi
Menteri Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat untuk
20 (sampai dengan 25
Pembangunan
Juni 1958)

21 Menteri Negara Urusan Veteran Chaerul Saleh


F.L. Tobing
22 Menteri Negara Urusan Hubungan Antar Daerah (sampai dengan 25
Juni 1958)

Suprajogi
(Urusan Stabilitasi Ekonomi)
(sejak 25 Juni 1958)

Muhammad Wahib Wahab


(Urusan Kerjasama Sipil-
Militer)
(sejak 25 Juni 1958)
23 Menteri Negara Dr. F.L. Tobing
(Urusan Transmigrasi)
(sejak 25 Juni 1958)

A.M. Hanafi
(sejak 25 Juni 1958)

Prof. Mr. H. Moh. Yamin


(sejak 25 Juni 1958)

Program kerja Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya memiliki 5 program yang
disebut Pancakarya yaitu:

1. Membentuk Dewan Nasional


2. Normalisasi keadaan RI
3. Melanjutkan pembatalan KMB
4. Memperjuangkan Irian Barat kembali ke RI
5. Mempercepat pembangunan

Kebijakan Ekonomi[sunting | sunting sumber]


Pemerintah Indonesia harus menghadapi banyak masalah terkait dengan masalah keamanan
dan pertahanan negara. Masalah tersebut di antaranya adalah kemelut yang terjadi di tubuh
Angkatan Darat seperti upaya-upaya memecah integrasi bangsa dan sejumlah permasalahan
ekonomi negara. Permasalahan yang muncul ini tidak lepas dari beberapa hal berikut.
1. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang diumumkan pada 27 Desember 1949,
bangsa Indonesia dinyatakan menanggung beban ekonomi dan keuangan yang cukup
besar seperti yang diputuskan dalam Konferensi Meja Bundar.
2. Ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh jatuh bangunnya kabinet berdampak pada
ketidakberlanjutan program sehingga pemerintah harus mengeluarkan anggaran untuk
mengatasi biaya operasional pertahanan dan keamanan negara.
Permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya bergantung pada
hasil perkebunan dan angka pertumbuhan penduduk semakin meningkat dengan tajam. Sumitro
Djojohadikusumo, ahli ekonomi Indonesia berhasil merancang gerakan Benteng sebagai salah
satu usaha untuk memperbaiki perekonomian negara. Tercetusnya Gerakan Benteng didasari
atas gagasan penting untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Gagasan Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan April 1950
dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi dijalankan selama 3 tahun
(1950-1953) dengan 3 kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo). Selama 3 tahun, lebih
dari 700-an bidang usaha bumiputera memperoleh bantuan kredit dari program ini. Akan tetapi,
hal yang diharapkan dari program ini tidak sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula yang
membebani keuangan negara. Ada banyak faktor yang menyebabkan kegagalan program ini,
salah satunya mentalitas para pengusaha bumiputera yang konsumtif, besarnya keinginan untuk
memperoleh keuntungan secara cepat, dan menikmati kemewahan.
Sebenarnya pemberian kredit impor yang diberikan kepada para pengusaha bumiputera
dimaksudkan untuk memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Akan tetapi, kebijakan ini
ternyata tidak mampu meruntuhkan dominasi para pengusaha asing. Oligopoli yang dibangun
oleh para pengusaha dari perusahaan Inggris, Belanda, dan Tiongkok yang pandai
memanfaatkan peluang ternyata tetap menguasai pasar.
Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng tahap 2
merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional bumiputera agar
dapat bersaing dengan para pengusaha non bumiputera. Jika pada awal tahun 1943 para
importir pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor impor, maka mereka telah menerima
80% sampai 90% pada masa Kabinet Ali. Total dari 700 perusahaan yang menerima bantuan
menjadi 4000-5000 perusahaan.
Program Benteng gagal karena salah sasaran. Banyak perusahaan bumiputera yang menjual
lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non bumiputera. Hal ini
menimbulkan istilah perusahaan "Alibaba". Sebutan "Ali" merepresentasikan bumiputera
sedangkan "Baba" merepresentasikan non bumiputera. Bantuan kredit dan pemberian
kemudahan dalam menerima lisensi impor kemudian dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah
telah menambah beban keuangannya sehingga menjadi salah satu sumber defisit. Selain itu,
Program Benteng diterapkan ketika industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan
politik program ini dimanfaatkan oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.
Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan Mohammad
Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang mengutamakan pembangunan
perekonomian negara dianggap telah mengabaikan masalah kedaulatan Papua oleh partai
oposisi. Soekarno pun menyetujui bahwa masalah kedaulatan Papua (yang melalui perundingan
tidak mengalami kemajuan) tidak boleh disepelekan. Kondisi ini membuat Natsir bersikeras agar
Soekarno membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya sebagai lambang saja.
Puncaknya, Natsir menyerahkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh Sukiman pada April
1951.
Jatuhnya Kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota keuangan
antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran.
Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada
ikatan Mutual Security Act (MSA) yang di dalamnya terdapat pembatasan terhadap kebebasan
politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan AS sehingga
tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan
dianggap lebih condong ke blok Barat. Selain itu, penyebab lainnya adalah semakin meluasnya
korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian
Barat.
Lain halnya dengan Kabinet Ali I (kabinet koalisi antara PNI dan NU), kabinet ini jatuh karena
tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada di tubuh Angkatan Darat dan pemberontakan DI/TII
yang berkobar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Selain itu, ada pula konflik antara PNI
dan NU yang mengakibatkan NU menarik semua menterinya yang duduk di kabinet.
Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan politik yang
mengakibatkan program-program kabinet tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini yang kemudian
membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.    

Dekret Presiden 5 Juli 1959[sunting | sunting sumber]


Kata dekrit berasal dari bahasa Latin decemere yang berarti mengakhiri atau memutuskan. Kata
dekrit, kemudian digunakan untuk menunjukkan adanya perintah dari kepala negara atau kepala
pemerintahan untuk mengakhiri atau memutuskan sesuatu yang terkait dengan sistem
pemerintahan yang berjalan. Dekrit yang dikeluarkan Presiden Soekarno berisi:

1. Pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955;


2. Pemberlakuan kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950;
3. Pembentukan MPRS yang terdiri dari para anggota DPR  ditambah dengan para utusan
daerah dan golongan.
Beberapa alasan mengapa Presiden Soekarno harus mengeluarkan dekrit adalah sebagai
berikut.

1. Kegagalan Konstituante untuk membuat UUD baru meskipun sudah berkali-kali


bersidang. Padahal, UUD sangat dibutuhkan sebagai pedoman hukum yang penting
dalam melaksanakan pemerintahan.
2. Situasi politik dan ketidakstabilan keamanan dalam negara semakin memburuk.
3. Konflik antarpartai yang terus-menerus terjadi sangat mengganggu stabilitas nasional.
4. Para politisi partai yang saling berbeda pendapat sering bersikap membenarkan segala
cara agar tujuan kelompok/partai tercapai.
5. UUDS 1950 yang menerapkan Demokrasi Liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi
masyarakat Indonesia.
6. Sejumlah pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia semakin mengarah
kepada gerakan separatis.
Sisi positif dari adanya dekrit ini:

1. Memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan negara melalui perintah untuk
kembali ke UUD 1945;
2. Menyelamatkan negara dari disintegrasi dan krisis politik yang berkepanjangan;
3. Memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS) yang
selama masa Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang mengakhiri
masa parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin.

Politik Etis
Politik Etis atau Politik Balas Budi (Belanda: Ethische Politiek) adalah suatu pemikiran yang
menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi
kesejahteraan bumiputera. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa.
Munculnya kaum Etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief)
dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih
memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato
pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan
hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina
menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam
program Trias Van deventer yang meliputi:

1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan


untuk keperluan pertanian.
2. Imigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.
3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-
tulisan Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer
kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.
Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun
irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan
penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang
berarti bagi bangsa Indonesia.
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan dalam
pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah
seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H.
Abendanon (1852-1925), seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima
tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk
kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang
Belanda dan orang-orang bumiputera. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap
bumiputera yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut,
mereka berusaha menyadarkan kaum bumiputera agar melepaskan diri dari belenggu feodal
dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan
menuntut pendidikan ke arah swadaya.

Penyimpangan[sunting | sunting sumber]
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi
dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai
Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut.

 Irigasi
Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda.
Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.

 Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan
tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya
diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi
diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan
orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada
umumnya.

 Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan
perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan
tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, khususnya
di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai
tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka
tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri,
pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa
pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada
mandor/pengawasnya.
Penyimpangan politik etis terjadi karena adanya kepentingan Belanda terhadap rakyat
Indonesia.

Kritik[sunting | sunting sumber]
Pelaksanaan politik etis bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial
adalah warga kelas dua namun secara hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan. Di
kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga pendidikan
hanya ditujukan kepada kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya, orang-orang campuran tidak
dapat masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi mereka untuk jenjang pendidikan lebih tinggi
haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal.
Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena
meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang
harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia
Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers).

Organisasi-Organisasi Pergerakan
Nasional Indonesia
NOVEMBER 14, 2017YAYANAZZ
Klasifikasi Organisasi Pergerakan Nasional dibagi dalam beberapa periode, diantara
pembagian tersebut adalah berdasarkan sifat dan karakter organisasi tersebut.

Non-
No Organisasi Moderat Kooperatif Radikal
kooperatif

1 Budi utomo V

2 Sarekat islam V

3 Muhammadiyah V V
4 Indische Partij V

Perhimpunan Indonesia
6 V
(PI)

Partai Komunis Indonesia


7 V
(PKI)

Partai Nasional Indonesia


8 V V
(PNI)

Partai Nasional Indonesia


9 V
Pendidikan (PNI Baru)

Partai Indonesia Raya


10 V V
(Parindra)

Gabungan Politik Indoneisa


11 V
(GAPI)

12 Partai Indonesia (Parindro) V

Gerakan Rakyat Indonesia


13 V
(Gerindo)

A.  Pengklasifikasian Organisasi Pergerakan Nasional

1. Budi utomo :

 Kooperatif
 Memiliki tujuan untuk memajukan pengajaran dan kebudayaan. Meliputi
bidang-bidang seperti pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan,
teknik dan industri, dan kebudayaan
 Merupakan organisasi pelajar dengan pelajar-pelajar STOVIA sebagai
penggeraknya
 Merupakan gerakan sosial-budaya

2. Sarekat Islam
 Kooperatif
 Gerakan nasionalis, demokratis, dan ekonomis serta beralaskan Islam dengan
haluan kooperatif
 Didirikan dengan dasar agama islam dan dasar ekonomi.
 Dasar ekonomi : menghimpun dan memperkuat kemampuan pedagang islam
agar dapat bersaing dengan pedagang asing
 Sarekat Islam bukan merupakan partai politik dan tidak bermaksud melawan
pemerintah Belanda (Kongres pertama di Surabaya, 1913)

3. Muhammadiyah

 Sifatnya kooperatif dan nonpolitik


 Bergerak di bidang keagamaan, pendidikan dan sosial
 Memiliki tujuan memajukan pendidikan dan pengajaran berdasar agama
islam, mengembangkan pengetahuan ilmu agama dan cara-cara hidup
menurut islam
 Mendirkan sekolah berdasarkan agama islam, mendirikan poliklinik, rumah
sakit, rumah yatim, masjid, dan sebagainya
 Menyelenggarakan kegiatan agama

4. Indische Partij (IP)

 Non-kooperatif
 Terang-terangan mengkritik keras pemerintahan Belanda dan menuntut
kemerdekaan Indonesia
 Memiliki semboyan “Indonesia bebas dari Belanda” dan “Hindia untuk orang
Hindia”
 Paham kebangsaan Nasionalisme Hindia
 Ki Hajar Dewantara menulis “Als Ik eens Nederlander was” (seandainya saya
orang belanda) berisi sindiran ketidakadilan di tanah jajahan

5. Perhimpunan Indonesia (PI)

 Radikal
 Mulanya bernama Indische Vereeniging ( Perhimpunan Hindia)
 Awalnya bertujuan memperjuangkan kepentingan orang Indonesia yang ada
di Belanda
 Awalnya bergerak di bidang sosial-budaya
 Setelah Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat bergabung (1913)
mulai memikirkan masa depan Indonesia
 Mengubah nama menjadi Indonesiche Vereeniging (Perhimpunan Indonesia)
tahun 1922
 Sifat dari kooperatif menjadi non-kooperatif, dari moderat menjadi radikal
 3 visi : Indonesia ingin menentukan nasibnya sendiri, bangsa Indonesia
mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri, Bangsa Indonesia harus
bersatu untuk melawan penjajah. Ini menunjukkan sikap radikal
 Menggalakkan propaganda secara terencana
 Menganjurkan agar semua organisasi pergerakan nasional menjadikan
konsep indonesia yang merdeka sebagai program utamanya
 Meminta dukungan bagi kemerdekaan Indonesia ke organisasi internasional
 Anggota-anggota bersikap militan sehingga sempat dicurigai oleh Belanda

6. Partai Komunis Indoneisa (PKI)

 Radikal
 Awalnya bernama Perserikatan Komunis Hindia
 Berganti menjadi Partai Komunis Hindia (23 Mei 1923) kemudian Partai
Komunis Indonesia (1924)
 Ideologi komunis
 Gerakan-gerakan radikal
 Pemogokan di berbagai tempat di Jawa
 Pemberontakan di Jawa, Sumatera Barat
 Aksi-aksi militan dan revolusioner

7. Partai Nasional Indonesia (PNI)

 Wadah nasionalis memperjuangkan negara Indonesia untuk merdeka


 3 asas : self-help, non-kooperatif, dan marhaenisme
 Tidak ikut dalam dewan-dewan yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda
(non-kooperatif)
 Menyelenggarakn kursus, mendirikan sekolah, bank
 Mengadakan rapat-rapat, menerbitkan surat kabar

8. Partai Indonesia (Partindo)

 Radikal
 Lanjutan dari PNI
 Bertujuan mencapai Indonesia Merdeka
 Kemerdekaan dapat dicapai jika semua komponen bersatu
 Prinsip demokrasi dan menentukan nasib sendiri
 Bersikap non kooperatif terhadap kolonial Belanda

9. PNI Baru

 Radikal
 Berhaluan nasionalis dan demokrasi
 Menekankan keoada pendidikan politik dan kesadaran berbangsa
 Gencar menyebarkan ide-ide perjuangan melalui surat kabar “Daulat Rakyat”
 Menyebarkan pamvlet-pamvlet berisi tulisan Moh Hatta ynag berjudul “Ke
Arah Indonesia Merdeka”
 Menerima tindakan represif dari Belanda

10. Taman Siswa

 Moderat
 Fokus pada bidang Pendidikan
 Tidak bersifat politik
11. Partai Indonesia Raya (parindra)

 Moderat dan kooperatif


 Membantu memberdayakan masyarakat dalam bidang ekonomi dengan basis
ekonomi kerakyatan
 Mendirikan banyak rukun tani dan rukun pelayaran
 Aktif dalam berbagai usaha perbaikan dalam bidang pengangguran,
perburuhan, dan peradilan

12.Gabungan Politik Indonesia (GAPI)

 Moderat
 Bersifat federasi
 Menganut tiga asa perjuangan GAPI
 Menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia yang bertujuan melanjutkan
gerakan “Indoneisa Berparlemen” dan menyadarkan rakyat akan pentingnya
membentuk tata negara yang demokratis
 Agustus 1940, GAPI mengeluarkan resolusi yang menuntut diadakannya
perubahan ketatanegaraan di Indoneisa
 Komisi Visman bertugas mengumpulkan bahan-bahan yang menjadi
keinginan dari Indonesia

13.Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo)

 Moderat dan kooperatif


 Bertujuan mencapai Indonesia merdeka dengan asas-asas yang kooperasi
 Menuntut adanya parlemen yang bertanggung jawab kepada rakyat
 Dibentuk Penuntun Ekonomi Rakyat Indonesia (PERI) di bidang ekonomi
bertujuan mengumpulkan modal dengan kekuatan buruh dan tani berdasar
atas asas nasional-demokrasi-kooperasi
 Memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban dalam masyarakat

HISTORY

Teori Masuknya Islam ke Indonesia


March 25, 2018sidqiliranatazaval

Islam merupakan agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia. Islam
tidak ada begitu saja di Indonesia melainkan ada asal mulanya. Ada beberapa teori
yang menjelaskan asal datangnya Agama Islam ke Indonesia, yaitu Teori Gujarat,
Teori Persia, Teori Arab atau Teori Makkah, Teori China, dan Teori Maritim. Saya
akan menjelaskan beberapa teori tersebut.

 Teori Gujarat
Dalam teori ini dikatakan bahwa masuknya Agama Islam ke Indonesia dibawa oleh
orang-orang Gujarat, India. Tokoh yang mendukung teori ini adalah Snouck
Hurgronje dan J.Pijnapel. Mereka berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia
pada abad ke-13 Masehi bersama dengan hubungan dagang yang terjalin antara
masyarakat Nusantara dengan para pedagang Gujarat yang datang.
1. Kurangnya fakta yg menjelaskan peranan bangsa Arab dalam
penyebarannya ke Indonesia.
2. Hubungan dagang Indonesia dgn India telah lama melalui jalur Indonesia –
Cambay – Timur tengah – Eropa.
Beberapa bukti yang mendukung teori ini diantaranya batu nisan Sultan Samudera
Pasai Malik As-Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Islam Gujarat, catatan
Marcopolo bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yg memeluk Islam dan
banyak pedagang Islam dari India yg menyebarkan ajaran Islam, serta adanya
warna tasawuf pada aliran Islam yang berkembang di Indonesia.

Akan tetapi ada beberapa kelemahan dari teori tersebut diantaranya masyarakat


Samudra Pasai menganut mazhab Syafi’i, sementara masyarakat Gujarat lebih
banyak menganut mazhab Hanafi dan saat islamisasi Samudra Pasai, Gujarat masih
merupakan Kerajaan Hindu.

 Teori Persia
Teori Persia ini menyatakan bahwa masuknya Agama Islam ke Indonesia berasal
dari Persia. Pencetus sekaligus pendukung Teori Persia adalah Umar Amir
Husen dan Hoesein Djajadiningrat, mereka mengatakan bahwa Agama Islam
yang masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi adalah Agama Islam yang dibawa
oleh kaum Syiah, Persia.
Terdapat beberapa bukti yang mendukung teori ini diantaranya kesamaan budaya
Islam Persia dan Islam Nusantara seperti adanya peringatan Asyura dan peringatan
Tabut, kesamaan ajaran Sufi, penggunaan istilah persia untuk mengeja huruf Arab,
ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik, adanya
perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik (Leren adalah nama salah satu
pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen & PA Hussein Jayadiningrat),
kesamaan seni kaligrafi pada beberapa batu nisan, serta bukti maraknya aliran
Islam Syiah khas Iran pada awal masuknya Islam di Indonesia.

Karena banyaknya bukti yang mendukung teori ini, teori ini sempat menjadi teori
masuknya Islam ke Indonesia yang paling benar oleh sebagian sejarahwan. Namun
ternyata teori ini juga memiliki kelemahan. Bila dikatakan bahwa Islam masuk
pada abad ke 7, maka kekuasaan Islam di Timur Tengah masih dalam genggaman
Khalifah Umayyah yang berada di Damaskus, Baghdad, Mekkah, dan Madinah.
Jadi tidak memungkinkan bagi ulama Persia untuk menyokong penyebaran Islam
secara besar-besaran ke Nusantara.
 Teori Arab atau Teori Makkah
Teori Arab atau Teori Makkah ini menyatakan bahwa proses masuknya Islam ke
Indonesia dibawa oleh orang-orang Arab yang memiliki semangat untuk
menyebarkan Agama Islam ke seluruh belahan dunia. Tokoh yang mendukung
teori ini adalah Van Leur, Anthony H. Johns, T.W Arnold, dan Buya Hamka.
Terdapat beberapa bukti yang mendukung teori ini diantaranya:

1. Pada abad ke 7 Masehi, di Pantai Timur Sumatera memang telah terdapat


perkampungan Islam khas dinasti Ummayyah, Arab.
2. Madzhab yang populer kala itu khususnya di Samudera Passai adalah
madzhab Syafii yang juga populer di Arab dan Mesir.
3. Adanya penggunaan gelar Al Malik pada raja-raja Samudera Pasai yang
hanya lazim ditemui pada budaya Islam di Mesir.
Hingga saat ini, teori ini merupakan teori yang dianggap paling
kuat. Kelemahannya hanya terletak pada kurangnya fakta dan bukti yang
menjelaskan peran Bangsa Arab dalam proses penyebaran Islam di Indonesia.

 Teori China
Teori China merupakan teori yang baru-baru ini berkembang, teori ini menyatakan
bahwa Islam masuk ke Indonesia karena dibawa perantau Muslim China yang
datang ke Nusantara. Tokoh yang mencetuskan teori ini adalah Slamet
Mulyana dan Sumanto Al Qurtuby.
Beberapa bukti yang mendukung teori ini diantaranya:

1. Fakta adanya perpindahan orang-orang muslim China dari Canton ke Asia


Tenggara, khususnya Palembang pada abad ke 879 M.
2. Adanya masjid tua beraksitektur China di Jawa.
3. Raja pertama Demak yang berasal dari keturunan China (Raden Patah).
4. Gelar raja-raja demak yang ditulis menggunakan istilah China.
5. Serta catatan China yang menyatakan bahwa pelabuhan-pelabuhan di
Nusantara pertama kali diduduki oleh para pedagang China.
 Teori Maritim
Teori Maritim ini menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara tidak bisa
dilepaskan dari kemampuan umat Islam dalam menjelajah samudera. Tidak
dijelaskan darimana asal Islam yang berkembang di Indonesia, yang jelas menurut
teori ini, masuknya Islam di Indonesia terjadi di sekitar abad ke-7 Masehi. Tokoh
yang mencetuskan teori ini ialah sejarawan asal Pakistan, N.A. Baloch.

1. Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu pusat kerjaan terbesar di pulau Sumatera dan memiliki luas
daerah kekuasan yang sangat luas sehingga memberikan pengaruh yang besar terhadap
terbentuknya nusantara.
Luas kekuasaan kerajaan Sriwijaya meliputi Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera,
Jawa barat hingga Jawa Tengah.

2. Kerajaan Singosari

Kerajaan Singosari berada di wilayah Singosari, Malang, Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Ken
Arok pada thaun 1222.

Keberadaan Kerjaan Singosari ditunjukkan oleh adanya candi-candi yang banyak ditemukan di sekitar
daerah Singosari- Malang dan juga pada kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul
kitab Negarakertagama karangan Mpu Parapanca.

3. Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.

Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya dan mengapai masa kejayaan pada era Raja Hayam
Wuruk atau Rajasanagara pada tahun 1350 hingga 1389 berkat dukungan Mahapatih Gajah Mada
yang terkenal oleh sumpah Amukti Palapa.

4. Kerajaan Pajajaran

Kerajaan Pajajaran terletak di Parahyangaan Sunda. Kerjaan Pajajaran disebut juga dengan Kerjaan
Sunda.

Kerjaan Pajajaran di dirikan oleh Sri Jayabhupati pada tahun 923, hal ini disebutkan dalam prasasti
Sanghyang Tapak yang berada di Cibadak, Sukabumi.

Kerjaan Pajajaran mencapai puncak kejayaan dibawah pemerintahan Sri Baduga Maharaja. Raja Sri
Baduga atau Siliwangi membangun banyak tempat seperti telaga, jalan menuju ibukota Pakuan dan
Wanagiri

5. Kerajaan Mataram Kuno


Kerjaan Mataram Kuno berada di Bumi Mataram, Jawa Tengah. Kerjaan Mataram Kuno pernah
berada di bawah kekuasaan tiga wangsa. Yakni, Wangsa Sanjaya (agama hindu), Wangsa Syailendra
(agama Budha) dan mangsa Isana (baru).

Baca juga: Inflasi - Pengertian, Jenis, Rumus Menghitung dan Contohnya

Raja pertama yang memimpin kerajaan Mataram Kuno adalah Raja Sanjaya yang merupakan raja
yang besar dan berkeyakinan Hindu Syiwa yang taat.

kerajaan hindu budha di indonesia

Candi perambanan merupakan salah satu peninggalan dari adanya kerajaan hindu dan budha yang
ada di Indonesia.

6. Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia dan berdiri sejak abad ke 5
masehi. Kerajaan Kutai terletak di Kalimanan Timur di hulu sungai Mahakam.

Adanya kerajaan Kutai ditunjukkan oleh adanya jenis huruf pranagri yang berasal dari India Selatan
dan juga adanya tujuh buah Yupa atau prasasti berbentuk tiang batu yang ditulis dengan huruf
Pallawa dan bahasa Sansekerta.

7. Kerajaan Kadiri

Kerjaan Kadiri atau Kerajaan Kediri merupakan salah satu kerajaan yang bercorak Hindu dan terletak
di Kediri, Jawa Timur sekitar tahun 1042 hingga 1222.

Pusat kerajaan Kadiri teretak di daerah Daha (sekarang Kediri). Hal ini ditunjukkan dari adanya
prasasti Pamwatan dari Airlangga.

8. Kerajaan Salakanegara

Kerajaan Salakanegara berada di daerah Jawa Barat. Kerjaan ini diyakini sebagai kerajaan paling awal
di Nusantara, dan diperkirakan berdiri pada abad ke-2 masehi.

Kerajaan ini dipercaya sebagai kerajaan leluhur orang Sunda dan juga merupakan cikal – bakal orang
betawi.
9. Kerajaan Tarumanegara

Kerajaan Tarumanegara berada di daerah bagian barat pulau jawa dan merupakan salah satu kerjaan
tertua di Indonesia.

Bukti adanya Kerajaan Tarumanegara ditunjukkan oleh banyaknya artefak yang ditemukan di sekitar
lokasi kerajaan. Dari peninggalan sejarah tersebut disebutkan bawa kerajaan beragama Hindu aliran
Wisnu.

10. Kerajaan Kalingga

Kerjaaan Kalingga atau yang disebut juga dengan Kerajaan Holing terletak di wilayah pesisir utara
Jawa Tengah, dengan pusat pemerintah berada di wilayah Pekalongan dan Jepara.

Mayoritas masyarakat Kerajaan Kalingga beragama Hindu dan Budha serta menggunakan bahasa
Sansekerta dan Melayu Kuno.

Puncak kejayaan Kalingga adalah saat berada dalam kepemimpinan Ratu Shima yang memerintah
sekitar tahun 674 masehi hingga 732 masehi.

11. Kerajaan Kahuripan

Kerajaan Kahuripan berada di wilayah Jawa Timur dan didirikan oleh Airlangga pada tahun 1009,
Airlangga sendiri memerintah kerajaan Kahurioan dari tahun 1009 hingga 1042 masehi.

Dalam kepemerintahannya Airlangga, berupaya untuk menyatukan kembali kerajaan-kerajaan kecil


yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Medang (kerajaan sebelum kerajaan
Kahuripan).

Keinginan Airlangga tersebut kemudian berubah menjadi misi untuk menaklukan seluruh wilayah
Jawa.

12. Kerajaan Kanjuruhan

Kerajaan Kanjuruhan, kerajaan Hindu di Jawa Timur. Berdiri sejak abad ke-8 M, diperkirakan
sezaman dengan kerajaan Tarumanegara dan kerajaan Kalingga.
Wilayah kekuasaan kerajaan Kanjuruhan berada di sekitar Kota Malang, tepatnya di daerah Dinoyo,
Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede.

Keberadaan kerajaan Kanjuruhan ditunjukkan oleh Prasasti Dinoyo, yang dibuat pada 760 M. Prasasti
berupa lempengan batu berukir tersebut berisi beberapa baris tulisan beraksara Jawa Kuno dan
bahasa Sansekerta.

13. Kerajaan Wijayapura

Kerajaan Wijayapura adalah kerajaan yang berdiri pada abad ke-7 di Kalimantan Barat dan terletak di
sekitar Sungai Rejang.

Namun, kerajaan ini diduga berdiri pada sekitar abad ke-6 atau 7 di Kalimantan Barat. Hal ini
ditunjukkan oleh adanya penemuan benda-benda kuno bercorah Hindu seperti patung dan gerabah.

14. Kerajaan Melayu

Kerajaan Melayu berada di wilayah Pulau Sumatera dan berpusat di tepian Sungai Batanghari di
Jambi, berpindah ke hulu Sungai Batanghari di Dharmasraya dan berpindah lagi ke Pagaruyung.

Kerajaan ini diperkirakan telah berdiri sejak abad ke-4 Masehi.

Hal ini berdasarkan kisah perjalan I-Tsing, seorang Sami Budha dari Cina yang menuturkan bahwa
pada tahun 685 kerajaan Melayu ini telah takluk dibawah kerajaan Sriwijaya.

15. Kerajaan Janggala

Kerajaan Janggala berdiri pada 1042, setelah Airlangga dari Kerajaan Kahuripan membagi wilayah
kekuasaannya, menjadi Kerajaan Janggala dan Kerajaan Kadiri, untuk diberikan kepada kedua
putranya yang saling berselisih.

Kerajaan Jenggala beribu kota di Kahirapan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan, sedangkan
Kerajaan Kadiri beribukota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya.

Sejak awal pemisahan dua kerajaan ini, hubungan antara Janggala dan Kadiri tidak pernah akur dan
selalu terlibat dalam konflik.
16. Kerajaan Bali

Kerajaan Bali ini berdiri pada abad 9 hingga abad ke 14 masehi . Ketika kerajaan Majapahit runtuh,
banyak rakyat Majapahit yang melarikan diri dan menetap di Bali.

Sampai sekarang ada kepercayaan bahwa sebagian dari masyarakat Bali dianggap sebagai pewaris
tradisi Majapahit. Penguasa pertama Kerajaan Bali adalah Sri Kesari Warma dewa.

 Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.

1. Kerajaan Samudera Pasai


Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan
ini berada di Kabupaten Lhokseumawe, Aceh Utara dan berdiri sejak tahun 1267-
1521.

Sultan Malik Al-Saleh menjadi pendiri sekaligus raja pertama Samudera Pasai
yang kerajaan Islam tertua di Indonesia.

2. Kerajaan Demak
Selain di Aceh, kerajaan Islam muncul di Demak, Jawa Tengah. Kerajaan Demak
didirikan oleh Raden Fatah pada 1478.

Kerajaan Demak memberikan peran besar dalam peradaban Islam di Jawa.


Selama berdiri, Kerajaan Demak dipimpin oleh 5 raja yakni: Raden Fatah, Pati
Unus, Sultan Trenggono, Sunan Prawata dan Arya Penangsang.

3. Kerajaan Aceh Darussalam


Kerajaan ini didirikan di Banda Aceh pada 1496. Pemimpin pertama Kerajaan
Aceh Darussalam yakni Sultan Ali Mughayat Syah.

Kerajaan Aceh Darusalam vokal menunjukkan perlawanan terhadap imperialisme


Eropa. Sementara ketika berjaya, kerajaan Islam ini juga dikenal menjadi pengasil
lada terbesar.

4. Kerajaan Islam Banjar


Raden Samudra mendirikan kerajaan Islam bertama di Kalimantan bernama
Kerajaan Banjar pada 1520. Setelah wafat, tahta Raden Samudra digantikan oleh
Sultan Rahmatullah.

5. Kerajaan Mataram Islam


Jejak peradaban Islam juga ditemukan di Kota Yogyakarta dengan kemunculan
Kerajaan Mataram. Kerajaan tersebut berdiri sejak 1582 di Kotagede.
Tercatat, ada 6 raja yang pernah memimpin Kerajaan Mataram. Salah satunya
Raden Mas Rangsang (Sultan Agung) yang berhasil membawa Kerajaan Mataram
di puncak kejayaan.

6. Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang merupakan penerus dari Kerajaan Demak. Kerajaan ini didirikan
oleh Jaka Tingkir pada tahun 1568 di Kelurahan Pajang, Kota Surakarta.

Kerajaan Pajang berkuasa dalam waktu cukup singkat dari 1548-1586.

7. Kerajaan Cirebon
Raden Fatahillah mendirikan Kerajaan Cirebon pada 1522. Kerajaan itu mencapai
puncak kejayaan semasa kepemimpinannya.

Kemudian setelah wafat, tahta Raden Fatahillah berganti kepada putranya,


Pangeran Pasarean.

8. Kerajaan Maluku
Kerajaan Maluku atau yang dibiasa disebut Kesultana Ternate pertama kali berdiri
pada 1257.

Kerajaan tersebut didirikan oleh Baab Mashur Malamo yang memiliki peran besar
di kawasan timur Indonesia.

9. Kerajaan Gowa
Kerajaan Gowa berdiri sejak tahun 1300-1946. Raja pertama kerajaan Islam ini
adalah Sultan Hasanuddin.

Sementara raja terakhir Kerajaan Giwa adalah Sultan Muhamamd Abdul Kadir
Aiduddin.

10. Kerajaan Buton


Kerajaan Buton berada di Sulawesi Tenggara. Kerajaan ini resmi menjadi
kerajaan Islam pada masa pemerintahan Sultan Murhum Kaimudin Khalifatul
Khamis atau Raja Buton ke-6.

Kurun waktu Agustus 1945-Desember 1947 menjadi masa-masa paling berat bagi
para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia setelah
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Pihak Belanda bersama sekutunya, dan
Jepang, masih berupaya mengambil alih kekuasan. Pertempuran pun pecah di
sejumlah daerah. Strategi gerilya dan diplomasi yang ditempuh berhasil membuat
Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

1945
17 Agustus 1945
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia.

18 Agustus 1945
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan Undang-Undang
Dasar RI 1945 serta memilih Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta
sebagai Wakil Presiden.

2 September 1945
Pembentukan kabinet pertama yang terdiri atas 16 menteri, dan delapan gubernur
untuk wilayah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil,
Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan.

8 September 1945
Tentara sekutu dan tentara Nederlands Indie Civil Administration (NICA) mendarat di
Indonesia.

10 September 1945
Jepang menyatakan akan menyerahkan pemerintahan kepada sekutu, tidak kepada
Indonesia.

29 September 1945
Pendaratan tentara sekutu Allied Forces Netherlands East Indies sebanyak tiga
divisi di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera.

5 Oktober 1945
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk.

13 Oktober 1945
Pecah pertempuran di Medan Area antara pemuda TKR dengan tentara sekutu.

15 Oktober 1945
Tepat dini hari di Semarang terjadi pertempuran sengit antara TKR melawan tentara
Jepang. Lebih dari 2.000 rakyat dan 100 pasukan Jepang tewas dalam pertempuran
yang berlangsung lima hari itu.

20 Oktober 1945
Pasukan sekutu mendarat di Semarang untuk menerima penyerahan kekuasaan
dari tangan Jepang, namun justru memicu pertempuran di Ambarawa yang dikenal
sebagai Palagan Ambarawa.

10 November 1945
Di Surabaya, Inggris mengultimatum pejuang Indonesia menyerahkan senjata pukul
06.00 pagi. Namun, tak dihiraukan, pertempuran sengit pun pecah hingga awal
Desember 1945.

1946
4 Januari 1946
Pemerintah Pusat Republik Indonesia memutuskan memindahkan Ibukota dari
Jakarta ke Yogyakarta.

26 Januari 1946
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).

21 Febuari 1946
Di Padang terjadi pertempuran besar antara Inggris dan pasukan Indonesia,
tepatnya di daerah Rimbo Kaluang.

23 Maret 1946
Inggris mengultimatum agar Bandung Selatan dikosongkan dari pasukan Indonesia.
Malam hari, pasukan dan rakyat meninggalkan kota sambil membumihanguskan
bangunan yang dikenal sebagai peristiwa Bandung Lautan Api.

15 November 1946
Pemerintahan RI dengan pihak Belanda menandatangani Perjanjian Linggarjati.
Belanda mengakui wilayah Indonesia meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera.

1947
1 Januari 1947
Perang terjadi di Kota Palembang antara laskar-laskar perjuangan dan tentara
Indonesia melawan tentara Belanda yang mengacau.

25 Febuari 1947
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengesahkan persetujuan Linggarjati.

3 Juni 1947
Laskar-laskar perjuangan yang ada di Indonesia digabungkan dengan TRI sehingga
berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

21 Juni 1947
Belanda melancarkan serangan besar-besaran (Agresi Militer ke-I) ke wilayah
pertahanan Indonesia. TNI merespon dengan perang gerilya.

1 Agustus 1947
Dewan Keamanan PBB menyerukan gencatan senjata antara TNI dengan Tentara
Belanda.

1948
17 Januari 1948
Pihak RI dengan Belanda menandatangi Perjanjian Renville. Nama Renville diambil
dari nama kapal Amerika Serikat yang dijadikan tempat perundingan tersebut.
18 September 1948
Di Kota Madiun terjadi pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia
(PKI).

19 Desember 1948
Belanda melakukan agresi militer kedua dan berhasil menduduki Ibu Kota
Yogyakarta. Sebelum Presiden Soekarno ditawan, dirinya memberikan mandat
kepada Syafrudin Prawiranergara untuk membentuk Pemerintah Darurat RI.

1949
1 Maret 1949
Serangan umum secara mendadak dilakukan gerilya TNI di Yogyakarta untuk
menepis kabar yang disebarkan Belanda bahwa TNI telah hancur.

7 Agustus 1949
Pasukan TNI di daerah Surakarta melancarkan serangan ke benteng-benteng
Belanda di Kota Solo.

23 Agustus 1949
Konferensi Meja Bundar (KMB) digelar di kota Den Haag, Belanda. Hasilnya
Belanda segera menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada
akhir Desember 1949.

17 Desember 1949
Soekarno dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) pertama.

27 Desember 1949
Di Istana Merdeka dilangsungkan upacara pengakuan (penyerahan) kedaulatan dari
Belanda kepada Indonesia. Bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan
bendera Merah Putih.

Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap


kekuasaan Kolonial.
Posted 2 Februari 2010 by yofrizal in Uncategorized. 30 Komentar

I. Perlawanan rakyat di Indonesia sebelum tahun 1800.


a. Perlawanan Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis
Sejak kedatangan bangsa Portugis di Ternate tahun 1512 Portugis berusaha memonopoli perdagangan
sehingga menimbulkan kebencian rakyat Ternate, tahun 1565 rakyat Ternate yang dipimpin oleh
Sultan Harun berusaha menyerang Benteng Santo Paulo, tetapi gagal bahkan Sultan harun dapat
ditangkap dan dibunuh.Perlawanan kemudian dilanjutkan oleh Sultan Baabullah (putranya) dan
berhasil menguasai Benteng Santo Paulo sehingga Portugis diusir dari Ternate dan pergi ke Maluku
selanjutnya menyingkir ke Timur Timor.
b. Perlawanan Sultan Agung (Mataram).
Untuk menwujudkan cita-citanya menguasai seluruh Pulau Jawa, Sultan mengirim pasukan kerajaan
Mataram untuk menyerang Belanda di Batavia, serangan pertama pada tahun 1628 tetapi gagal
karena pasukan Mataram kehabisan perbekalan.
Pada tahun 1629 untuk kedua kalinya Kerajaan Mataram menyerang VOC di Batavia tetapi juga
mengalami kegagalan, perlawanan-perlawanan rakyat Mataram terhadap VOC terus berlanjut, antara
lain perlawanan di bawah pimpinan Tronojoyo, perlawanan untung Senopati, perlawanan
Mangkubumi dan Raden Mas Said.
c. Perlawanan rakyat Banten terhadap VOC
Perlawanan rakyat Banten terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, namun putranya
Sultan Haji bersahabat dengan Belanda, hal ini menyebabkan pihak Belanda dapat ikut campur dalam
urusan Istana Kerajaan Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mencopot kekuasaan tahta
kerajaan dari Sultan Haji. Sultan Haji minta bantuan pada VOC untuk menyerang ayahnya. Sultan
Ageng Tirtayasa akhirnya ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Batavia dan tahta kerajaan
diserahkan kepada Sultan Haji, namun di control oleh VOC.
d. Perlawanan rakyat Makasar terhadap VOC (1654 – 1655).
Perlawanan rakyat Makasar terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Penyebab terjadi
perlawanan adalah :
1. Belanda menganggap Makasar sebagai pelabuhan gelap.
2. Belanda mengadakan blokade ekonomi terhadap Makasar.
3. Sultan Hasanuddin menolak monopoli perdagangan Belanda di Makasar.
Dalam pertempuran VOC mengalami kesulitan untuk menundukan Makasar, setiap terdesak Belanda
mengajukan perjanjian damai dengan Makasar, perjanjian damai tersebut dimanfaatkan oleh Belanda
untuk memperkuat pasukannya. Dalam menghadapi Makasar, Belanda kemudian bersekutu dengan
Aru Palaka (Raja Bone), yang merupakan musuh Sultan Hasanuddin. Akhirnya Belanda berhasil
menguasai Makasar dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya yang sangat merugikan Makasar.
3. Perlawanan rakyat di Indonesia sesudah tahun 1800.
1. Perlawanan rakyat Maluku dibawah pimpinan Pattimura.
Sewenang-wenang yang dilakukan VOC di Maluku kembali dilanjutkan oleh pemerintah Kolonial
Hindia Belanda setelah berkuasa kembali pada tahun 1816 dengan berakhirnya pemerintah Inggris di
Indonesia tahun 1811-1816. Berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia
Belanda di bawah ini menyebabkan timbulnya perlawanan rakyat Maluku.
a. Penduduk wajib kerja paksa untuk kepentingan Belanda misalnya di perkebunan-perkebunan dan
membuat garam.
b. Penyerahan wajib berupa ikan asin, dendeng dan kopi.
e. Banyak guru dan pegawai pemerintah diberhentikan dan sekolah hanya dibuka di kota-kota besar
saja.
d. Jumlah pendeta dikurangi sehingga kegaitan menjalankan ibadah menjadi terhalang.
e. Secara khusus yang menyebabkan kemarahan rakyat adalah penolakan Residen Van den Berg
terhadap tuntutan rakyat untuk membayar harga perahu yang dipisah sesuai dengan harga
sebenarnya.
Siapakah tokoh perlawanan rakyat Maluku dan di manakah perlawanan itu berkobar. Perhatikan
gambar tokoh dan peta sebagaian daerah Maluku di berikut ini.
1817 rakyat Saparua mengadakan pertemuan dan menyepakati untuk memilih Thomas Matulessy
(Kapitan Pattimura) untuk memimpin perlawanan. Keesokan harinya mereka berhasil merebut
benteng Duurstede di Saparua sehingga residen Van den Berg tewas. Selain Pattimura tokoh lainnya
adalah Paulus Tiahahu dan puterinya Christina Martha Tiahahu. Anthoni Reoak, Phillip Lattumahina,
Said Perintah dan lain-lain. Perlawanan juga berkobar di pulau-pulau lain yaitu Hitu, Nusalaut dan
Haruku penduduk berusaha merebut benteng Zeeeland.
Untuk merebut kembali benteng Duurstede, pasukan Belanda didatangkan dari Ambon dibawah
pimpinan Mayor Beetjes namun pendaratannya digagalkan oleh penduduk dan mayor Beetjes tewas.
Pada bulan Nopember 1817 Belanda mengerahkan tentara besar-besaran dan melakukan sergapan
pada malam hari Pattimura dan kawan-kawannya tertangkap. Mereka menjalani hukuman gantung
pada bulan Desember 1817 di Ambon. Paulus Tiahahu tertangkap dan menjalani hukuman gantung di
Nusalaut. Christina Martha Tiahahu dibuang ke pulau Jawa. Selama perjalanan ia tutup mulut dan
mogok makan yang menyebabkan sakit dan meninggal dunia dalam pelayaran pada awal Januari
tahun 1818.
Sejak Belanda berkuasa di Maluku rakyat menjadi sengsara, sehingga rakyat semakin benci, dendam
kepada Belanda. Dibawah pimpinan Pattimura (Thomas Matualessi) rakyat Maluku bangkit melawan
Belanda tahun 1817 dan berhasil menduduki Benteng Duursted dan membunuh Residen Van Den
Berg. Belanda kemudian minta bantuan ke Batavia, sehingga perlawanan Pattimura dapat
dipatahkan, Pattimura kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung bulan Desember 1817.
Dalam perjuangan rakyat Maluku ini juga terdapat seorang pejuang wanita yang bernama Christina
Martha Tiahahu.
2. Perang Paderi (1821 – 1838).
Pada mulanya Perang Paderi merupakan perang antara kaum adat dan kaum ulama. Yang disebabkan
oleh :
1) Adanya perbedaan pendapat antara kaum ulama dengan kaum adat. Kaum ulama terpengaruh
gerakan Wahabi menghendaki pelaksanaan Ajaran Agama Islam berdasarkan Al’Quran dan Hadist.
2) Kaum ulama ingin memberantas kebiasaan buruk yang dilakukan kaum adat, seperti berjudi,
menyambung ayam dan mabuk.
Karena terdesak kaum adat minta bantuan kepada Belanda, tetapi kemudian kaum adat sadar bahwa
Belanda ingin menguasai Sumatera Barat, kemudian kaum adat bersatu dengan kaum Paderi untuk
menghadapi Belanda, karena terdesak Belanda mengirim bantuan dari Pulau Jawa yang diperkuat
oleh Pasukan Sentot Ali Basa Prawirodirjo, tapi kemudian Sentot Ali Basa Prawirodirjo berpihak
kepada kaum Paderi sehingga Sentot Ali Basa Prawirodirjo ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Dengan
siasat Benteng Stelsel pada tahun 1837 Belanda mengepung Bonjol, sehingga Imam Bonjol ditangkap
dan dibuang ke Cianjur kemudian dipindahkan ke Menado hingga wafat tahun 1864.
3. Perang Diponegoro (1825 – 1830).
Penyebab terjadi Perang Diponegoro adalah :
1. Sebab umum
a. Penderitaan dan kesenggaraan rakyat akibat pajak.
b. Campur tangan Belanda dalam urusan istana.
c. Munculnya kecemasan dikalangan para ulama karena berkembangnya Budaya Barat.
2. Sebab khusus
Belanda membuat jalan di Tegalrejo yang melewati makam leluhur Diponegoro tanpa minta izin
terlebih dahulu.
Dalam perang ini Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya yang didukung oleh kaum
bangsawan dan ulama serta bupati, antara lain Kyai Mojo dan Sentot Ali Basa Prawirodirjo.
Sementara Belanda menggunakan siasat Benteng Stelsel yang bertujuan untuk mempersempit gerak
Pasukan Diponegoro.
Pasukan Diponegoro semakin lemah terlebih lagi pada tahun 1829 Kyai Mojo dan Sentot Ali Basa
memisahkan diri. Lemahnya pasukan Diponegoro menyebabkan Diponegoro menerima tawaran
Belanda untuk berunding di Magelang, dalam perundingan ini pihak Belanda diwakili oleh Jenderal
De Kock namum perundingan mengalami kegagalan dan Diponegoro di tangkap dan dibawa ke
Batavia, selanjutnya dipindahkan ke Menado kemudian dipindahkan lagi ke Makasar dan meninggal
di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Pengeran Diponegoro
4. Perlawanan Rakyat Bali.
Bangkitnya perlawanan Rakyat Bali terhadap Belanda disebabkan oleh
1. Sebab Umum
Adanya Hak Tawan Karang yaitu suatu ketentuan bahwa setiap kapal yang terdampar diperairan Bali
menjadi milik Raja Bali.
2. Sebab Khusus
Menyangkut tuntutan Belanda terhadap Raja-raja Bali yang ditolak berisi :
1. Hak Tawan Karang dihapuskan.
2. Raja harus memberi perlindungan terhadap pedagang-pedagang Belanda di Bali.
3. Belanda minta diizinkan mengibarkan Bendera di Bali.
Perlawanan Rakyat Bali dipimpin oleh Patih Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan Buleleng yang
didukung oleh Kerajaan-kerajaan di Bali seperti Kerajaan Badung, Kerajaan Klungkung dan Kerajaan
Buleleng.
Dalam pertempuran melawan Belanda rakyat Bali mengobarkan Perang Puputan dengan pusat
pertahanan di Benteng Jagaraga. Karena pasukan Belanda menggunakan persenjataan yang lebih
lengkap akhirnya Bali dapat dikuasai oleh Belanda.
5. Perang Aceh. (1873-1904)
Perlawanan rakyat Aceh merupakan perlawanan yang paling lama dan juga terakhir bagi Belanda
dalam rangka Pax Netherlandica. Perlawanan dipimpin oleh para Bangsawan (Tengku) dan para
tokoh ulama (Tengku) seperti Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Penglima Polem, Cut Nyak Dien, Cut
Mutia dan lain-lain.
Salah satu penyebab terjadinya peperangan karena Belanda melanggar Perjanjian Traktat London
tahun 1824 yang berisi bahwa Inggris dan Belanda tidak boleh mengganggu ke merdekaan Aceh.
Untuk menguasai Aceh, Belanda menggunakan cara seperti Konsentiasi Stelsel dan mendatangkan
ahli Agama Islam yaitu Snouch Hurgronye.
Cara ini dapat mempersempit ruang gerak pasukan Aceh dan dari Snouch Hurgronye Belanda
mengetahui kehidupan rakyat Aceh dan cara – cara menaklukan Aceh. Sehingga akhirnya Aceh dapat
dikuasai oleh Belanda, kemudian Raja-Raja didaerah yang berhasil dikuasai oleh Belanda diikat
dengan Plakat Pendek yang isinya :
1. Mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
2. Tidak akan mengadakan hubungan dengan negara lain.
3. Taat dan patuh pada Pemerintah Belanda

Anda mungkin juga menyukai