Anda di halaman 1dari 4

MAKALAH

Sistem dan Struktur Politik‐Ekonomi Indonesia

Masa Orde Baru (1966‐1998)

Mapel :Sejarah Indonesia

Kelas :XII IPS 2

Guru Pembimbing :Ansyori,S.pd

Kelompok 4

1.Muhammad Fadillah

2.Rasti Meilanda

3.Muhammad Adib

4.Nia Rahmadani

5.Delon

6.Resti Kezia Pratista

SMA NEGERI 1 BANYUASIN III

TAHUN PELAJARAN 2023/2024


A. Masa Transisi 1966‐1967
Lahirnya pemeritahan Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik di masa itu. Pasca
penumpasan G 30 S PKI, pemerintah ternyata belum sepenuhnya berhasil melakukan penyelesaian
politik terhadap peristiwa tersebut. Kondisi ini membuat situasi politik tidak stabil. Kepercayaan
masyarakat terhadap Presiden Soekarno semakin menurun.

1. Aksi‐Aksi Tritura

Naiknya Letnan Jenderal Soeharto ke kursi kepresidenan tidak dapat dilepaskan dari peristiwa
Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S PKI. Ini merupakan peristiwa yang menjadi titik awal
berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan hilangnya kekuatan politik PKI dari percaturan politik
Indonesia.Peristiwa tersebut telah menimbulkan kemarahan rakyat. Keadaan politik dan keamanan
negara menjadi kacau, keadaan perekonomian makin memburuk dimana inflasi mencapai 600%.

Aksi‐aksi tuntutan penyelesaian yang seadil‐adilnya terhadap pelaku G30 S PKI semakin meningkat.
Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda‐pemuda, mahasiswa dan pelajar (KAPPI, KAMI,
KAPI), kemudian muncul pula KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI (wanita), KAGI (guru) dan lain‐lain. Pada
tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan barisan mereka dalam satu front, yaitu Front Pancasila.

Setelah lahir barisan Front Pancasila, gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI
makin bertambah meluas.Para pemuda dan mahasiswa mencetuskan Tri Tuntunan Hati Nurani Rakyat
yang lebih dikenal dengan sebutan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).Pada 12 Januari 1966 dipelopori oleh
KAMI dan KAPPI, kesatuan‐kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR‐GR
mengajukan tiga buah tuntutan yaitu: (1) Pembubaran PKI, (2) Pembersihan kabinet dari unsur‐unsur
G30S PKI, dan (3) Penurunan harga/perbaikan ekonomi.Tuntutan rakyat banyak agar Presiden Soekarno
membubarkan PKI ternyata tidak dipenuhi Presiden. Untuk menenangkan rakyat Presiden Soekarno
mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri.

Pada saat pelantikan Kabinet 100 Menteri pada tgl 24 Pebruari 1966, para mahasiswa, pelajar dan
pemuda memenuhi jalan‐jalan menuju Istana Merdeka. Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa
sehingga menyebabkan bentrok antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang
menyebabkan gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arief Rachman Hakim. Sebagai
akibat dari aksi itu keesokan harinya yaitu pada tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan
Panglima Komando Ganyang Malaysia (Kogam) yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan.

2. Surat Perintah Sebelas Maret

Pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno mengadakan sidang kabinet. Sidang ini ternyata diboikot
oleh para demonstran yang tetap menuntut Presiden Soekarno agar membubarkan PKI.Belum lama
Presiden berpidato dalam sidang, ia diberitahu oleh Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa bahwa di luar
istana terdapat pasukan tanpa tanda pengenal dengan seragamnya. Meskipun ada jaminan dari
Pangdam V/Jaya Amir Machmud, yang hadir waktu itu, bahwa keadaan tetap aman, Presiden Soekarno
tetap merasa khawatir dan segera meninggalkan sidang.Sidang kemudian ditutup oleh Waperdam II
Dr.J. Leimena, yang kemudian menyusul ke Bogor dengan mobil.

Sementara itu, tiga orang perwira tinggi TNI‐AD, yaitu Mayjen Basuki Rahmat,Brigjen M Jusuf, dan
Brigjen Amir Machmud, yang juga mengikuti sidang paripurna kabinet, sepakat untuk menyusul Presiden
Soekarno ke Bogor. Pada waktu itu Jenderal Soeharto sedang sakit, dan diharuskan beristirahat di rumah.
Mayjen Basuki Rachmat menanyakan apakah ada pesan khusus dari Jenderal Soeharto untuk Presiden
Soekarno, Letjen Soeharto menjawab: “sampaikan saja bahwa saya tetap pada kesanggupan saya. Beliau
akan mengerti”. Latar belakang dari ucapan itu ialah bahwa sejak pertemuan mereka di Bogor pada
tanggal 2 Oktober 1965 setelah meletusnya pemberontakan G‐30‐S/PKI. Antara Presiden Soekarno
dengan Letjen Soeharto terjadi perbedaan pendapat mengenai kunci bagi usaha meredakan pergolakan
politik saat itu.

Di Istana Bogor ketiga perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan Presiden yang didampingi
oleh Dr. Subandrio, Dr. J Leimena dan Dr. Chaerul Saleh.Setelah dibahas bersama, akhirnya Presiden
Soekarno menandatangani surat perintah yang kemudian terkenal dengan nama Surat Perintah 11
Maret, atau SP 11 Maret, atau Supersemar.Supersemar berisi pemberian mandat kepada Letjen
Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan
kewibawaan pemerintah. Mandat itu kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).
Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.

Tindakan pertama yang dilakukan oleh Soeharto adalah membubarkan dan melarang PKI beserta
organisasi massanya yang bernaung dan berlindung di seluruh Indonesia, terhitung sejak tanggal 12
Maret 1966. Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar adalah dikeluarkannya Keputusan Presiden
No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang diduga terkait dengan
pemberontakan G‐30‐S PKI ataupun dianggap memperlihatkan itikad tidak baik dalam penyelesaian
masalah itu.Demi lancarnya tugas pemerintah, Letjen. Soeharto mengangkat lima orang menteri
koordinator ad interim yang menjadi Presidium Kabinet. Kelima orang tersebut ialah Sultan
Hamengkubuwono IX, Adam Malik. Dr Roeslan Abdulgani, Dr. K.H. Idham Chalid dan Dr. J. Leimena.

3. Dualisme Kepemimpinan Nasionalisme

Memasuki tahun 1966 terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada dualisme
kepemimpinan.Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai pengemban
Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet
Ampera.Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan
dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi seperti ini berakibat pada munculnya “dualisme
kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai
pelaksana pemerintahan.

Dalam Sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966 memutuskan
menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. Dalam Sidang MPRS itu juga, majelis mulai
membatasi hak prerogatif Soekarno selaku Presiden.Presiden sendiri masih diizinkan untuk
membacakan pidato pertanggungjawabannya yang diberi judul “Nawaksara”.
Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi
Pelengkap Nawaksara. Dalam Pelnawaksara itu presiden mengemukakan bahwa mandataris MPRS
hanya mempertanggung jawabkan pelaksanaan Garis‐garis Besar Haluan Negara dan bukan hal‐hal yang
lain. Sementara itu, sebuah kabinet baru telah terbentuk dan diberi nama Kabinet Ampera (Amanat
Penderitaan Rakyat). Kabinet tersebut diresmikan pada 28 Juli 1966. Kabinet ini mempunyai tugas pokok
untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Program kabinet tersebut antara lain adalah
memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan pangan.

Pada 9 Februari 1967 DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar
mengadakan Sidang Istimewa. Sementara itu usaha‐usaha untuk menenangkan keadaan berjalan terus.
Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan pendekatan pribadi kepada Presiden Soekarno agar ia
menyerahkan kekuasaan kepada pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal
Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS.

Salah seorang sahabat Soekarno, Mr. Hardi, menemui Presiden Soekarno dan memohon agar
Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara, karena
dualisme kepemimpinan inilah yang menjadi sumber konflik politik yang tidak kunjung berhenti.

Mr. Hardi menyarankan agar Soekarno sebagai mandataris MPRS, menyatakan non aktif di depan
sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI. Presiden Soekarno menyetujui saran Mr.
Hardi. Untuk itu disusunlah “Surat Penugasan mengenai Pimpinan Pemerintahan Sehari‐hari kepada
Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966". Kemudian, Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal
Soeharto. Pada 7 Februari 1967, Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan menyerahkan konsep
tersebut. Pada 8 Februari 1967, Soeharto membahas surat Presiden bersama keempat Panglima
Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk
surat penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan situasi konflik. Kesimpulan itu disampaikan
Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967.

Presiden menanyakan kemungkinan mana yang terbaik. Soeharto mengajukan draft berisi
pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Surat
Perintah 11 Maret 1966. Pada awalnya Presiden Soekarno tidak berkenan dengan usulan draft tersebut,
namun kemudian sikap Presiden Soekarno melunak, ia memerintahkan agar Soeharto beserta Panglima
Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari 1967, Presiden menyetujui draft
yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari draft surat itu telah ditandatangani oleh Presiden. Ia meminta
agar diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967.

Tepat pada pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.
Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat Presiden Republik Indonesia
oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah setahun menjadi pejabat presiden, Soeharto
dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS.
Melalui Tap No. XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia
hingga terpilih presiden oleh MPR hasil pemilu. Pengukuhan tersebut menandai berakhirnya dualisme
kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan Orde Baru.

Anda mungkin juga menyukai