Anda di halaman 1dari 14

PROSES PERALIHAN KEKUASAAN POLITIK

SETELAH PERISTIWA G30S/PKI

OLEH :
KELOMPOK 1
1. ARGANESHA SATYA A
(03)
2. ARIFATUL HASANAH(04)
3. DIYAN RICKIE W
(08)
4. DWI DAMARA K
(09)
5. EVI DWI PRATIWI
(11)
6. GEAVANY ELOK F
(12)
7. ICHA TIRHISS F
(15)
8. NARAWIKAN WISMANTO (22)
9. REGITHA APRICIA
(24)
10.WIDYANTARI R
(29)

KELAS : XI IPA 3

MASA SETELAH PERISTIWA G30S/PKI (1965-1966)

Salah satu penyebab yang membuat runtuhnya orde lama dan lahirnya orde baru adalah
keadaan keamanan dalam negeri yang tidak kondusif pada masa orde lama. Terlebih lagi
setelah adanya peristiwa pemberontakan G30S PKI. Kekacauan yang timbul di Negara ini
akibat pengkhianatan PKI berakibat pada berbagai bidang seperti politik dan perekonomian.
Diantaranya adalah Perekonomian yang anjlok, harga bahan pangan menjulang tinggi, bahan
pangan susah didapat dimana-mana, kerusuhan pecah di seluruh wilayah negeri ini. banyak
muncul berbagai kegiatan-kegiatan aksi mahasiswa yang membahas mengenai perbaikan
tatanan hukum yang berlaku di Indonesia agar sesuai dengan tuntunan pancasila. Pada hal ini
yang memiliki kesempatan untuk menyerukan berbagai pendapat untuk memperbaiki
ketentuan hukum di Indonesia yang masih belum sesuai dengan keadaan yang berlaku.
Dalam pembahasan ini, dibahas berbagai penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama
masa kepemimpinan sebelumnya. Aksi ini digelar oleh mahasiswa yang menamakan dirinya
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Gerakan mahasiswa ini juga diikuti oleh
elemen masyarakat lain seperti Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), Kesatuan Aksi
Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan lain-lain.Aksi-aksi inilah yang kemudian memicu
pecahnya revolusi di negara ini. Para demonstran ini pada tanggal 10 Januari 1966
mendatangi DPR-GR dan menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang merupakan
tuntutan rakyat indonesia kepada pemerintahan presiden soekarno setelah Indonesia
mengalami peristia G30S/PKI.

TRITURA

SUPERSEMAR ( 11 Maret 1966)


Dengan

melihat keadaan di Indonesia yang semakin kacau, menyebabkan Presiden

Soekarno memberikan mandat kepada Soeharto untuk melaksanakan kegiatan pengamanan di

indonesia melalui surat perintah sebelas maret atau Supersemar pada tanggal 11 Maret 1966.
Supersemar berisi:
1.

Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan
ketenangan sertakestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta
menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/ Panglima Tertinggi/
Pemimpin Besar revolusi/ Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan
negara republic Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin

2.

Besar Revolusi.
Mengadakan koordinasi pelaksanaaan perintah dengan panglima-panglima

3.

angkatan lain dengan sebaik-baiknya.


Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan
tanggung jawabnya seperti tersebut diatas.

Supersemar diawali ketika Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet


Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama kabinet 100 menteri. Pada saat
sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden
Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral
Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat
G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.

Para Demonstran di depan Gedung MPR

Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan
Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu.
Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit.

Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui
Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral
Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam
hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai
situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu
mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa
yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan.
Presiden Soekarno menyetujui hal itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai
Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan
kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang
dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Surat Supersemar tersebut tiba
di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh
Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Sutjipto meminta agar konsep tentang
pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga.

Supersemar

Berdasarkan wewenang yang bersumber pada Supersemar

ini, Letjen Soeharto

mengambil beberapa tindakan untuk menjamin kestabilan jalannya pemerintahan dan


revolusi Indonesia. Soeharto melakukan pembubaran dan pelarangan Partai Komunis

Indonesia (PKI) termasuk semua bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke
daerah beserta semua organisasi yang bernaung di bawahnya. Keputusan pembubaran dan
pelarangan PKI itu diambil oleh pengemban Supersemar berdasarkan pertimbangan bahwa
PKI telah nyata-nyata melakukan perbuatan kejahatan dan kekejaman. Bukan itu saja, tetapi
telah melakukan pengkhiatan terhadap Negara dan rakyat Indonesia yang sedang
berjuang.sehingga dilakukan pembersihan terhadap PKI dan Para Menteri-menterinya.

MASA TRANSISI SOEKARNO-SOEHARTO


Lahirnya Supersemar menjadi awal penataan kehidupan sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945. Kedudukan Supersemar secara hukum semakin kuat setelah dilegalkan melalui
Ketetapan MPRS No. IX/ MPRS/1966 tanggal 21 Juni 1966. Sebagai pengemban dan
pemegang Supersemar, Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa langkah strategis
untuk terjaminnya keamanan dan kestabilan jalannya pemerintahan. Pada sidang umum
MPRS

tahun

1966,

MPRS

meminta

presiden

Soekarno

untuk

memberikan

pertanggungjawaban mengenai kebijakan yang telah dilakukan, khususnya mengenai masalah


PKI. Namun dalam pertanggung jawaban tersebut presiden Soekarno samasekali tidak
menyinggung G30S/PKI. Oleh karena semakin gawatnya keadaan politik di Indonesia dan
dengan keluarnya Supersemar ini maka berdampak pada kekuasaan Soekarno dimana MPRS
melakukan Sidang Istimewa pada tanggal 7 12 Maret 1967. Dalam Sidang Istimewa ini
MPRS menghasilkan empat Ketetapan penting, yaitu :
1. Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan dari
Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden
sampai dipilihnya presiden oleh MPRS hasil Pemilu.
2. Ketetapan MPRS No. XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali Ketetapan
MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Indonesia sebagai Garis-Garis
Besar Haluan Negara.
3. Ketetapan MPRS No. XXXV/MPRS/1967 tentang pencabutan Ketetapan MPRS No.
XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi.
4. Ketetapan MPRS No. XXXVI/MPRS/1967 tentang pencabutan Ketetapan MPRS No.
XXVI/MPRS/1966 tentang pembentukan panitia penelitian ajaran-ajaran Pemimpin
Besar Revolusi Bung Karno.
Melalui surat perintah MPRS ini juga mengeluarkan Ketetapan MPRS No.XIII/MPRS/1966
tentang pembentukan Kabinet Ampera pada tanggal 28 Juli 1966 sebagai pengganti Kabinet

Dwikora. Kabinet ini dibuat untuk memenuhi dan melaksanakan Trikora. Tugas Kabinet
Ampera adalah menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Tugas pokok Kabinet Ampera
berdasarkan Tap MPRS No. XIII Tahun 1966,yang di kenal sebagai Dwidharma, adalah:
1. mewujudkan stabilitas politik
2. mewujudkan stabilitas ekonomi
Dengan progam-progam yang dikenal sebagai caturkarya, diantaranya:
1. memperbaiki peri kehidupan rakyat, terutama dibidang sandang dan pangan
2. melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti dicantumkan dalam
ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966
3. melaksanakan politik luar negri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional
sesuai dengan ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966, dan
4. melanjutkan perjuangan anti imperalisme dan kolonialisme dalam segala bentuk
manifestasinya

Kabinet Ampera

selain itu, Soeharto juga membentuk Kabinet pembangunan untuk melakukan tugas yang
disebut Panca Krida yang meliputi:
1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi
2. Menyusun dan melaksanakan Pemilihan Umum
3. Mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30 September
4. Membersihkan aparatur Negara di pusat dan daerah dari pengaruh PKI.
Melalui adanya ketetapan yang mengatur masalah-masalah ketidakstabilan politik di
Indonesia, berangsur-angsur reda setelah kekuasaan pemerintah Negara berada di tangan

Jenderal Soeharto selaku pejabat presiden. Memasuki masa-masa terakhir transisi,


pemerintah mengalami beberapa masalah-masalah nasional, diantaranya:
a. Berusaha memperkuat pelaksanaan sistem konstitusional, menegakkan hukum dan
menumbuhkan kehidupan demokrasi yang sehat sebagai syarat untuk mewujudkan
stabilisasi politik.
b. Melaksanakan pembangunan lima tahun yang pertama sebagai usaha untuk memberi
isi kepada kemerdekaan
c. Tetap waspada dan sekaligus memberantas sisa-sisa kekuatan laten PKI.
Pada tanggal 7 Februari 1967, jenderal soeharto menerima surat rahasia dari presiden
soekarno. Pada surat tersebut dilampirkan konsep penugasan mengenai pimpinan
pemerintahan sehari-hari kepada pemegang supersemar tersebut. Pada tanggal 11 Februari
1967, jenderal soeharto menghadap presiden untuk mengajukan konsep yang mempermudah
untuk menyelesaikan konflik. Konsep yang diajukan oleh jenderal Soeharto kepada presiden
Soekarno berisi pernyataan presiden berhalangan atau presiden menyerahkan kekuasaan
pemerintah kepada pemegang Surat Perintah Sebelas Maret 1966 sesuai dengan Ketetapan
MPRS No. XV/MPRS/1966. Namun, presiden Soekarno menolak konsep tersebut dan
meminta untuk membahasnya dikemudian hari. Pada tanggal 13 februari 1967, terjadi
pertemuan kembali antara presiden soekarno, soharto dengan para panglima untuk membahas
mengenai konsep tersebut. Presiden Soekarno pada awalnya masih tetap menolak isi dari
konsep tersebut, namun beberapa waktu kemudian melalui Mayor Jenderal Surjo Sumpeno,
presiden menyatakan setuju dengan konsep yang diajukan oleh Jenderal Soeharto, dengan
meminta jaminan dari Jenderal Soeharto. Bedasarkan ketetapan-ketetapan tersebut, maka
kekuasaan pemerintahan presiden Soekarno telah dinyatakan tidak berlaku lagi dan Soeharto
diangkat menjadi presiden tanpa melalui proses pemilihan umum. Pada tanggal 23 Februari
1967 di istana Negara Jakarta dengan disaksikan oleh Ketua Presidium Kabinet Ampera dan
para menteri, presiden Soekarno dengan resmi menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada
pengemban tugas yaitu Jenderal Soeharto bedasarkan Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966.
Jenderal Soeharto diambil sumpahnya dan dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia.
Dengan pelantikan Soeharto sebagai presiden tersebut, secara legal formal telah berakhir
kekuasaan orde lama yang kemudian digantikan dengan orde baru. Dengan adanya transisi
kekuasaan tersebut, maka Presiden Soeharto secara resmi mulai menjalankan pemerintahan
orde barunya.

Pelantikan Presiden Soeharto

PROGAM AWAL ORDE BARU


Pada awal masa orde baru pemerintahan menerima beban berat dari buruknya
perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi.
Pemerintah orde baru harus dapat mengatasi masalah-masalah nasional yang terjadi ketika
masa akhir transisi. Terutama dalam bidang perekonomian, karena merupakan hal terpenting
dalam masyarakat. Pemerintah orde baru berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan
menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai yang
berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya IGGI. Maka
sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang
disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA).
a. REPELITA I
Dimulai pada tanggal 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 Titik Berat Repelita I adalah
pada Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan
ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk
Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.Sasaran Repelita I adalah Pangan, Sandang,
Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan
rohani.dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasardasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
Dalam rangka menunjang strategi dasar tersebut, pada tahun 1970 pemerintah Indonesia
menetapkan kebijaksanaan baru di bidang perdagangan, ekspor-impor, dan devisa.
Kebijaksanaan ini merupakan lanjutan dari kebijaksanaan oktober 1966 dan kebijakan juli
1968. Kebijaksanaan baru ini dikenal dengan kebijaksanaan 16 april 1970.

1. Kebijakan Oktober 1966 adalah:


Penertiban keuangan negara yang serba kalut.
Pengaturan kembali urusan moneter dan dunia perbankan
Memberikan kebebasan kepada dunia perdagangan yang terbelenggu oleh
sistem jatah yang tidak wajar dan terbeku oleh peraturan berbelit yang

mematikan inisiatif masyarakat.


Sasaran pokonya adalah membendung keganasan inflasi yang melanda

indonesia.
2. Kebijakan Juli 1968 mempunyai sasaran pokok:
Penguasaan harga pangan, harga sandang, dan valuta asing.
o Penyediaan yang cukup bagi sarana-saran untuk peningkatan produksi dalam
negeri, khususnya pangan dan sandang.
Perbaikan prasarana yang menunjang proses produksi
Perbaikan kelembagaan di bidang perdagangan, perbankan dan fiskal.
3. Kebijakan April 1970 mempunyai sasaran:
Lebih memperkuat stabilitas ekonomi.
Mendorong ekspor untuk peningkatan penerimaan devisa
Mendorong peningkatan produksi
Mendorong dan memperlancar perdagangan
o Memperluas kegiatan ekonomi masyarakat yang berarti juga memperluas
lapangan kerja.
b. REPELITA II
Repelita II berlaku pada tahun 1974 1979. Titik Berat Repelita II adalah Pada sektor
pertanian dengan meningkatkan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku
meletakkan landasan yang kuat bagi tahap selanjutnya. Sasaran Repelita II adalah
Tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan
memperluas kesempatan kerja. Tujuan Repelita II adalah Meningkatkan pembangunan di
pulau-pulau selain Jawa, Bali dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi. Pelaksanaan
Pelita II adalah cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada
awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi
turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%..
Repelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun.
Perbaikan juga berhasil dalam hal irigasi dan pada bidang industri juga terjadi kenaikna
produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.

c. REPELITA III
Repelita

III

berlaku

pada

periode

April

1979

hingga

31

Maret

1984

Titik Berat Repelita III adalah pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan
meningkatkan industri yang mengolah bahan baku menjadi barang selanjutnya. Menekankan
bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor. Pertumbuhan perekonomian periode
ini dihambat oleh resesi dunia yang belum juga berakhir. Sementara itu nampak ada
kecendrungan harga minyak yang semakin menurun khususnya pada tahun-tahun terakhir
Repelita III. Menghadapi ekonomi dunia yang tidak menentu, usaha pemerintah diarahkan
untuk meningkatkan penerimaan pemerintah, baik dari penggalakan ekspor mapun pajakpajak dalam negeri. Pertumbuhan perekonomian periode ini dihambat oleh resesi dunia yang
belum juga berakhir. Keadaan ini membuat posisis neraca pembayaran Indonesia semakin
buruk. Untuk mengatasi ancaman ini, juga dalam rangka meningkatkan daya saing produk
Indonesia, pemerintah memberlakukan devaluasi rupuah terhadap US$ sebesar 27,6% pada
30 maret 1983. Menghadapi ekonomi dunia yang tidak menentu, usaha pemerintah diarahkan
untuk meningkatkan penerimaan pemerintah, baik dari penggalakan ekspor mapun pajakpajak dalam negeri. Untuk itu anggal 31 Maret 1983 pemerintah memberlakukan
kebijaksanaan bebas visa dari 26 negara yang berkunjung ke Indonesia kurang dari 2 bulan.
Maksudnya agar turis semakin tertarik mengunjungi Indonesia.
d. REPELITA IV
Terjadi pada periode 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik Berat Repelita IV adalah pada
sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju swasembada pangan dengan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin- mesin industri sendiri, baik industri
ringan yang akan terus dikembangkan dalm repelita-repelita selanjutnya meletakkan landasan
yanag kuat bagi tahap selanjutnya. Tujuan Repelita IV adalah Menciptakan lapangan kerja
baru dan industri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap
perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal
sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
e. REPELITA V
Diberlakukan mulai tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994 yang menekankan bidang
transportasi, komunikasi dan pendidikan. Pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan tetap

bertumpu pada Trilogi Pembangunan dengan menekankan pemerataan pembangunan dan


hasil-hasilnya menuju tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis. Ketiga unsur Trilogi Pembangunan tersebut saling mengait dan perlu dikembangkan
secara selaras, terpadu, dan saling memperkuat. Tujuan dari Repelita V sesuai dengan GBHN
tahun 1988 adalah pertama, meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh
rajyat yang makin merata dan adil; kedua, meletakkan landasan yang kuat untuk tahap
pemangunan berikutnya.

TOKOH-TOKOH DI SEKITAR SUPERSEMAR

1. M. Jusuf
Jenderal TNI (Purn.) Andi Muhammad Jusuf Amir (lahir di Kajuara, Bone, Sulawesi
Selatan, 23 Juni 1928 meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 September 2004
pada umur 76 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Jenderal M. Jusuf adalah salah
tokoh militer Indonesia yang sangat berpengaruh dalam sejarah kemiliteran Indonesia.
Ia merupakan salah satu saksi yang hadir dalam peristiwa penandatanganan Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar)

M Jusuf

Pada tanggal 11 Maret 1966, Jusuf menghadiri pertemuan Kabinet di MPR.


Pertemuan ini merupakan pertemuan yang pertama sejak presiden Sukarno
mereshuffle kabinet pada akhir Februari. Pertemuan tidak berlangsung lama sebelum
Sukarno, setelah menerima surat dari Komandan Pengawal, tiba-tiba meninggalkan

ruangan. Ketika pertemuan itu selesai, Jusuf dan Menteri Urusan Veteran, Basuki
Rachmat, pergi ke luar gedung MPR untuk bergabung Amirmachmud Panglima
KODAM V / Jaya. Presiden Soekarno meninggalkan ruang rapat di MPR, karena
kondisi yang tidak aman diluar sana, untuk menuju ke Bogor.
Jusuf kemudian menyarankan bahwa tiga dari mereka pergi ke Bogor untuk
memberikan dukungan moral kepada Sukarno. Ketiga kemudian pergi ke kediaman
Letnan Jenderal Soeharto, untuk melaporkan situasi. Menurut Amirmachmud, Suharto
meminta tiga Jenderal untuk menyampaikan pesan kepada Sukarno perihal
kesiapannya

dalam

memulihkan

keamanan

Indonesia

apabila

presiden

memerintahkannya.

2. Amirmachmud
Amirmachmus (lahir di Cimahi, 21 Februari 1923 meninggal di Cimahi, 21 April
1995 pada umur 72 tahun) adalah seorang Jenderal Militer Indonesia yang merupakan
saksi mata penandatanganan Supersemar, sebuah dokumen serah terima kekuasaan
dari Presiden Sukarno kepada Jenderal Suharto.

Amirmachmud

Pada 11 Maret 1966, Sukarno menggelar Rapat Kabinet dan mengundang


Amirmachmud untuk menghadirinya. Sebelum pertemuan tersebut Sukarno bertanya
kepada Amirmachmud tentang situasi aman atau tidak, Amirmachmud menjawab
aman. Sukarno kemudian memulai pertemuan yang ditandai oleh ketidakhadiran
Suharto. 10 menit pertemuan berlangsung, Amirmachmud didekati oleh Brigadir

Jenderal Sabur, Komandan Resimen Tjakrabirawa. Sabur mengatakan bahwa ada


pasukan yang tak dikenal di luar. Amirmachmud mengatakan kepada Sabur untuk
tidak khawatir tentang hal itu.
Lima menit kemudian, Sabur mengulangi pesannya tadi, kali ini ia memberitahu
Sukarno juga. Sukarno dengan cepat menangguhkan pertemuan tersebut dan
meninggalkan ruangan. Bersikeras bahwa Sukarno akan aman, Amirmachmud
membahas opsi pengamanan dengan Presiden dan memutuskan bahwa Bogor akan
menjadi tempat yang cukup aman untuk menghindari situasi tegang.
3. Basuki Rachmat
Basuki Rahmat (lahir di Tuban, Jawa Timur, Hindia Belanda, 4 November
1923 meninggal di Jakarta, Indonesia, 8 Januari 1969 pada umur 45 tahun) adalah
Jenderal Indonesia dan menjadi saksi penandatanganan Supersemar dokumen serah
terima kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto.
Pada 11 Maret 1966, Basuki menghadiri rapat kabinet di gedung MPR, yang pertama
sejak Sukarno mereshuffle kabinet pada akhir Februari. Pertemuan belum berlangsung
lama sebelum Sukarno, setelah menerima catatan dari komandan pengawalnya, tibatiba meninggalkan ruangan. Ketika pertemuan itu selesai, Basuki dan Menteri
Perindustrian, Mohammad Jusuf, pergi ke luar gedung MPR untuk bergabung
Amirmachmud Komandan KODAM V / Jaya. Basuki kemudian diberitahu tentang
apa yang telah terjadi bahwa Soekarno telah meninggalkan untuk Bogor dengan
helikopter karena kondisi yang tidak aman di Jakarta.

Basuki Rachmat

Di Bogor, ketiga jenderal bertemu dengan Soekarno yang sedang tidak tenang dengan
keamanan dan desakan di masyarakat. Soekarno kemudian mulai mendiskusikan
dengan ketiga Jenderal tentang apa yang harus dilakukan untuk memulihkan situasi.
Jusuf dan Basuki hanya terdiam, tapi Amirmachmud bahwa Soeharti berpesan kepada
Soekarno, apabila ia memerintahkannya dia dapat menyanggupi pengaman di
Indonesia hingga pulihseperti semula. Presiden Soekarno setuju akan hal itu,
kemuadian pertemuan dibubarkan, Sukarno mulai mempersiapkan Keputusan
Presiden.
Keputusan yang akan menjadi Supersemar akhirnya siap dan menunggu tanda tangan
Sukarno. Sukarno memiliki beberapa keraguan pada beberapa menit sebelum
penandatanganan tetapi Jusuf mendorongnya untuk menandatangani. Soekarno
akhirnya menandatangani dan menyerahkan Supersemar kepada Basuki akan
diteruskan kepada Soeharto.
Dengan demikian berakhirlah proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa
G30S/PKI, yaitu berupa akhir kekuasaan orde lama yang dipimpin presiden Soekarno
dan awal pemerintahan orde baru yang dipimpin presiden Soeharto.

Anda mungkin juga menyukai