Anda di halaman 1dari 11

SUPERSEMAR DAN MASA

AKHIR SOEKARNO
DISUSUN OLEH:
ZIYAD RIFKI HIDAYATULLAH
SISTEM KOMPUTER
MATA KULIAH :
AJARAN BUNG KARNO
DOSEN:
Retna Dwi Estuningtyas, S.Kom., M.Kom.I
 
1. Supersemar

Salinan Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar(KOMPAS)

a. Latar belakang supersemar


Supersemar atau Surat Perintah 11 Maret adalah penyerahan mandat kekuasaan dari Presiden Soekarno ke
Presiden Soeharto pada 11 Maret 1966. Penyerahan mandat kekuasaan ini dilatarbelakangi gejolak di dalam
negeri setelah peristiwa G30S/PKI pada 1 Oktober 1965. MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-
2004 (2007) menulis, demokrasi terpimpin Soekarno mulai runtuh pada Oktober 1965. Tentara menuding Partai
Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang di balik pembunuhan tujuh jenderal .
b. Isi Supersemar
Selama ini beredar beberapa versi Supersemar. Ada yang dari Pusat Penerangan (Puspen)
TNI AD, Sekretariat Negara (Setneg), dan dari Akademi Kebangsaan. Namun dari berbagai
versi yang beredar, tak ada satu pun yang asli. Kendati demikian, ada beberapa pokok
pemikiran Supersemar yang diakui Orde Baru dan dijadikan acuan. Isi Supersemar yakni:
Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan
ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin
keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin
Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik
Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain
dengan sebaik-baiknya. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam
tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.
b. Tujuan Supersemar
Supersemar bertujan mengatasi situasi saat itu. Pada praktiknya, Setelah mengantongi
Supersemar, Soeharto mengambil sejumlah keputusan lewat SK Presiden No 1/3/1966
tertanggal 12 Maret 1966 atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris
MPRS/PBR. Keputusan tersebut berisi:
1.Pembubaran PKI beserta ormasnya dan menyatakannya sebagai partai terlarang
2.Penangkapan 15 menteri yang terlibat atau pun mendukung G30S
3.Pemurnian MPRS dan lembaga negara lainnya dari unsur PKI dan menempatkan peranan
lembaga itu sesuai UUD 1945. Soekarno yang diasingkan tak bisa berbuat banyak. Sementara
Soeharto mendapat kekuasaan yang semakin besar. Hingga pada 22 Juni 1966, Soekarno
menyampaikan pidato pertanggungjawaban di Sidang MPRS. Pidato yang dikenal sebagai
Nawaksara ini ditolak oleh MPRS.
Soekarno dianggap mengecewakan. Dalam pidato itu, Soekarno bersikeras tidak mau
membubarkan PKI. Popularitas Soekarno kian tergerus. Akhirnya, pada 7 Maret 1967, Soekarno
melepas jabatannya. Soeharto ditunjuk untuk menjadi penjabat presiden lewat Sidang MPRS.
Soeharto resmi menjabat sebagai presiden pada 27 Maret 1968.
2.Akhir Perjalanan Soekarno, dari Supersemar Hingga Tahanan Politik
Tanggal 21 Juni 1970, pukul 07.07 WIB, Soekarno wafat setelah melalui hari-hari terakhirnya sebagai
tahanan politik. Ia bagai orang buangan yang diasingkan di rumah tahanan oleh Soeharto yang dengan jeli
memanfaatkan Supersemar untuk mengambil alih kekuasaan. Rapi, pelan, namun pasti. Step by step.
Mulai dari Supersemar hingga status sebagai tahanan politik adalah penggalan hari-hari terakhir sang
Proklamator yang sangat berat dan tak berakhir bahagia. Penggalan kisah ini mungkin bisa jadi gambaran
bagaimana kejamnya Orde Baru membunuh Soekarno secara perlahan.
A. Awal mula: Supersemar, surat penuh kontroversi yang proses dan keberadaannya hingga kini masih
jadi misteri
Supersemar atau Surat Perintah 11 Maret adalah salah satu cara Soeharto untuk mendapatkan
kekuasaanya. Banyak versi cerita mengenai bagaimana cara mendapatkan surat yang sangat 'berjasa'
bagi Soeharto untuk naik ke kursi kekuasaan ini. Sama halnya seperti versi ceritanya. Supersemar saat
ini memiliki tiga versi berbeda dan sulit untuk dipastikan mana Supersemar yang asli.
Lahirnya surat ini bermula ketika Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amirmachmud, dan Mayjen Basuki
Rachmat mendatangi Presiden Soekarno di Istana Bogor. Ketiga jenderal tersebut diutus Soeharto untuk
membujuk Soekarno agar mau memberikan surat kewenangan bagi dirinya agar dapat mengamankan
keadaan.
Dialog ketiga jenderal dan Soekarno tersebut berakhir dengan persetujuan sang Presiden tentang
konsep pemberian kewenangan kepada Soeharto. Orang yang mengetik naskah Supersemar
adalah Brigjen Moh. Sabur, dan Soekarno sebagai orang yang mendikte surat tersebut sembari
diketik. Setelah selesai diketik, surat tersebut diserahkan kepada Soekarno untuk ditanda tangani.
Surat perintah itu sebenarnya berisi wewenang kepada Soeharto yang saat itu menjabat sebagai
Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) untuk mengambil
tindakan, jika diperlukan. Namun, Soeharto melihat Supersemar dengan sudut pandang yang
berbeda. Baginya, surat tersebut adalah surat sakti yang bisa ia manfaatkan untuk menggerus
pengaruh dan kekuasaan Soekarno. Supersemar yang awalnya hanya sebuah surat perintah telah
berubah menjadi Tap MPRS tak lama setelah dipegang Soeharto.
Surat itu tentu menjadi bumerang bagi Soekarno. Soeharto mengambil alih kekuasaan yang
diperkuat dengan keputusan MPRS, dan menyebabkan Soekarno kalah lebih awal.
B. Dia yang naik di kursi kekuasaan dan dia yang jatuh dari singgasananya.
Partai Komunis Indonesia atau PKI berhasil dibubarkan oleh Soeharto berdasarkan Supersemar. Bahkan saat demonstrasi
kemenangan (ketika PKI dibubarkan) salinan Supersemar dan surat pembubaran PKI disebarluaskan.
Jelas, Soekarno terkejut bukan main. Ia kemudian menyampaikan surat perintah susulan kepada Soeharto melalui
Waperdam II, Dr. J. Leimena pada tanggal 13 Maret 1966 dan ia juga memanggil semua panglima angkatan bersenjata ke
Istana, lalu menegaskan semuanya yang dimaksudkan dalam Supersemar. Soeharto tidak memberikan reaksi apa-apa. Ia
justru menetralisasi satu per satu panglima-panglima tadi agar berdiri di belakangnya.
Soeharto kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Presiden yang isinya tentang penahanan 15 menteri loyalis Soekarno
yang dianggap terlibat dengan PKI dan Gerakan 30 September 1965.
Langkah ketiga, yang juga berhasil memangkas habis kekuasaan Soekarno adalah ketika Soeharto mengadakan Sidang
MPRS untuk mengeluarkan ketetapan yang mengukuhkan Supersemar. MPRS akhirnya mengadakan sidang umum
tanggal 20 Juni-16 Juli 1966, dan menolak pidato pertanggung jawaban Soekarno yang berjudul "Nawaksara". Pada saat
yang sama juga, MPRS menetapkan TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Supersemar.
TAP MPRS itu tidak menyebut kewajiban untuk melindungi Soekarno, keluarga, ideologi, dan ajarannya. Padahal dalam
Supersemar yang asli disebutkan pengemban amanah (Soeharto) wajib melakukan itu. Ini adalah bukti kelicikan Soeharto
agar tidak 'berhadapan langsung' dengan Soekarno. Step by step menjadi kunci kemenangan politik Soeharto terhadap
Soekarno.
Setelah berhasil menggiring Soekarno untuk turun dari singgasananya, Soeharto kemudian dilantik menjadi Presiden
kedua RI pada tanggal 12 Maret 1967.
C. Dari Presiden jadi tahanan politik di Wisma Yaso
Setelah berhasil naik ke kursi kekuasaan, Soeharto menghimbau Seokarno untuk angkat kaki dari Istana Negara
sebelum tanggal 17 Agustus 1967. Maulwi Saelan dalam Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 (hlm. 267) menuliskan
kesaksian ajudan Soekarno yang mengatakan, "Bung Karno meninggalkan Istana Negara sebelum tanggal 16 Agustus
1967, keluar hanya memakai celana puaman warna krem dan kaos oblong cap Cabe. Baju piyamanya disampirkan di
pundak, memakai sandal cap Bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas koran yang digulung agak
besar, isinya Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih”.
Setelah angkat kaki, untuk sementara waktu Soekarno ditempatkan di salah satu paviliun yang berada di Istana Bogor.
Namun, ia merasa tidak nyaman karena masih berada di wilayah Istana Negara. Permintaan pindahnya itu dikabulkan
oleh Soeharto. Ia ditempatkan di rumah peristirahatan yang berada di Batutulis, Bogor.
Rupanya, disana pun Soekarno tidak betah karena hampir setiap harinya diinterograsi. Keinginan kedua untuk pindah
dari sana pun kembali di penuhi oleh Soeharto yang saat itu juga dianjurkan oleh Mohammad Hatta agar Soekarno
dipindahkan lagi ke Jakarta, tepatnya di Wisma Yaso.
Wisma tersebut adalah rumah yang dibangun Soekarno untuk salah satu istrinya, Ratna Sari Dewi. Namun, saat
menjadi tahanan rumah itu, Soekarno dilarang keras untuk berhubungan dengan dunia luar dan dijaga ketat. Bahkan,
keluarga dan kerabatnya sangat sulit untuk bertemu dengan sang penyambung lidah rakyat.
D. Babak penutup Sang Proklamator: Akhir perjalanan yang menyedihkan. Sendiri,
diasingkan, dan mati perlahan
Selama menjadi tahanan politik, Soekarno menegaskan bahwa dirinya bisa dikucilkan, dijauhkan dari keluarga, ditahan,
dan lama-lama akan mati sendiri. Namun, dirinya percaya jika jiwa, ide, ideologi, dan semangat dalam dirinya tidak
akan pernah dapat dibunuh.
Soekarno dilarang untuk membaca koran, mendengarkan radio, dan menonton televisi. Akibat dari pengasingan itu,
Soekarno merasa sangat depresi hingga mulai pikun. Ia juga kerap bicara sendiri dan meracau tak jelas. Itulah yang
akhirnya membuat ketegaran dan semangat Sang Proklamator makin hari kian meluruh.
Diasingkan dari dunia luar, keluarga, dan kerabat pun tak membuat hukuman itu terasa cukup bagi si penyambung lidah
rakyat ini. Seminggu sekali datang seorang perwira yang ditugaskan untuk menginterograsi Soekarno sepanjang hari.
Tak hanya itu, penjagaan pun semakin diperketat, yang membuat ruang gerak Soekarno semakin terbatas. Situasi seperti
ini juga membuat kesehatannya pun kian menurun.
Pada malam hari tanggal 16 Juni 1970, Soekarno sempat tak sadarkan diri dan nyaris sekarat. Ia lalu segera dilarikan ke
RSPAD Gatot Soebroto. Di rumah sakit itulah, lagi-lagi Soekarno ditempatkan di sebuah kamar dengan penjagaan
berlapis. Hanya beberapa hari Soekarno sanggup bertahan. Tepat pada pagi hari tanggal 21 Juni 1970, si penyambung
lidah rakyat itu menghembuskan napas terakhirnya dengan status sebagai tahanan politik Orde Baru.
Orde Baru berhasil membunuh sang Bapak Bangsa secara perlahan. Hari-hari perjalanannya makin hari
terasa berat dan menyedihkan. Cerita hidupnya tidak berakhir bahagia. Ia bahkan tidak sempat memberi
nama dan meresmikan Patung Dirgantara atau yang lebih dikenal sebagai Patung Pancoran hasil ide
rancangannya yang diserahkan kepada pematung Edhie Sunarso. Pukul 10.00 pagi tepat pada tanggal 21
Juni 1970, iring-iringan mobil jenazah Soekarno dari Wisma Yaso menuju Halim Perdanakusuma melintas
di bawah monumen tersebut.
Sejarah memang kejam. Rasa kejam itu bahkan masih tetap terasa sama ketika hanya mendengarkan
ceritanya saja. Asvi dalam Supersemar – Cara Soeharto Mendapatkan Kekuasaan (hlm. 34-35) menduga
kuat, Supersemar yang asli masih ada dan kemungkinan besar di tangan Soeharto. Alasannya secara logika
sesuatu yang dianggap penting pasti akan disimpan dan Soeharto adalah orang yang sangat menghargai
sesuatu yang penting. Salah satu contoh yang tidak diketahui banyak orang bahwa Soehato pernah
menyimpan bendera pusaka merah putih di rumahnya.
"Mungkin juga Supersemar sama dengan bendera pusaka itu," pungkas Asvi seperti dituliskan Tim
Historia dalam Supersemar – Cara Soeharto Mendapatkan Kekuasaan (2019: 35).
Sumber materi :
Supersemar: Latar Belakang, Isi, dan
Tujuan (kompas.com)
Akhir Perjalanan Soekarno, dari
Supersemar Hingga Tahanan Politik
(idntimes.com)

Anda mungkin juga menyukai