Anda di halaman 1dari 30

SISTEM DAN STRUKTUR POLITIK-EKONOMI

INDONESIA PADA MASA ORDE BARU


(1966 – 1998)
Owen Nurcholis Majid | Kelas 12 IPA
Peta Pembahasan
01 Masa Transisi
Masa Transisi 1966 - 1967

02 Stabilisasi Politik dan


Rehabilitasi Ekonomi

03 Integrasi Timor-Timur

04 Dampak Kebijakan Politik


dan Ekonomi Masa Orde
Baru
Masa Transisi
1966 - 1967
Lahirnya pemeritahan Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik
di masa itu. Pasca penumpasan G 30 S PKI, pemerintah ternyata belum
sepenuhnya berhasil melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut.
Kondisi ini membuat situasi politik tidak stabil. Kepercayaan masyarakat terhadap
Presiden Soekarno semakin menurun. Tanggal 25 Oktober 1965 para mahasiswa
di Jakarta membentuk organisasi federasi yang dinamakan KAMI dengan anggota
antara lain terdiri dari HMI, PMKRI, PMII, dan GMNI. Pimpinan KAMI berbentuk
Presidium dengan ketua umum Zamroni (PMII). Pemuda dan mahasiswa memiliki
peran penting dalam transisi pemerintahan yang terjadi pada masa ini.
Tokoh-tokoh seperti Abdul Ghafur, Cosmas Batubara, Subhan ZE, Hari Tjan Silalahi
dan Sulastomo menjadi penggerak aksi-aksi yang menuntut Soekarno agar segera
menyelesaikan kemelut politik yang terjadi.
1.Aksi-aksi Tritura

Naiknya Letnan Jenderal Soeharto ke kursi


kepresidenan tidak dapat dilepaskan dari peristiwa
Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S PKI. • (KAPPI, KAMI, KAPI)
Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya • KABI (Buruh)
terhadap pelaku G30 S PKI semakin meningkat. Gerakan • KASI (Sarjana)
tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda, • KAWI (Wanita)
mahasiswa dan pelajar • KAGI (Guru)
Kesatuan-kesatuan aksi tersebut dengan gigih menuntut
penyelesaian politis yang terlibat G-30S/PKI, dan
kemudian pada tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan
barisan mereka dalam satu front, yaitu Front Pancasila.
1.Aksi-aksi Tritura

Tuntutan rakyat banyak agar Presiden Soekarno membubarkan PKI ternyata tidak dipenuhi Presiden. Untuk menenangkan
rakyat Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri, yang ternyata belum juga
memuaskan hati rakyat karena di dalamnya masih bercokol tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa G30S PKI. Pada saat
pelantikan Kabinet 100 Menteri pada tgl 24 Pebruari 1966, para mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju
Istana Merdeka.

Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga menyebabkan bentrok antara pasukan Cakrabirawa dengan para
demonstran yang menyebabkan gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arief Rachman Hakim. Sebagai akibat dari
aksi itu keesokan harinya yaitu pada tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando Ganyang Malaysia
(Kogam) yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan. Insiden berdarah yang terjadi ternyata menyebabkan makin parahnya
krisis kepemimpinan nasional. Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan “Ikrar
Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat untuk meneruskan perjuangan. Perjuangan
KAMI kemudian dilanjutkan dengan munculnya masa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), krisis nasional makin tidak
terkendalikan. Dalam pada itu mahasiswa membentuk Resimen Arief Rachman Hakim. Melanjutkan aksi KAMI.
1.Aksi-aksi Tritura

Protes terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila, dan meminta kepada
pemerintah agar meninjau kembali pembubaran KAMI. Dalam suasana yang demikian, pada 8 Maret
1966 para pelajar dan mahasiswa yang melakukan demonstrasi menyerbu dan mengobrak–abrik
gedung Departemen Luar Negeri, selain itu mereka juga membakar kantor berita Republik Rakyat
Cina (RRC), Hsin Hua. Aksi para demonstran tersebut menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno.
Pada hari itu juga Presiden mengeluarkan perintah harian supaya agar seluruh komponen bangsa
waspada terhadap usaha-usaha “membelokkan jalannya revolusi kita ke kanan”, dan supaya siap
sedia untuk menghancurkan setiap usaha yang langsung maupun tidak langsung bertujuan
merongrong kepemimpinan, kewibawaan, atau kebijakan Presiden, serta memperhebat
“pengganyangan terhadap Nekolim serta proyek “British Malaysia”
2.Surat Perintah 11 Maret
Untuk mengatasi krisis politik yang memuncak, pada
tanggal 11 Maret 1966 Soekarno mengadakan sidang
kabinet. Sidang ini ternyata diboikot oleh para demonstran
yang tetap menuntut Presiden Soekarno agar membubarkan
PKI, dengan melakukan pengempesan ban-ban mobil pada
jalan-jalan yang menuju ke Istana. Belum lama Presiden
berpidato dalam sidang, ia diberitahu oleh Brigjen Sabur,
Komandan Cakrabirawa bahwa di luar istana terdapat
pasukan tanpa tanda pengenal dengan seragamnya.
Meskipun ada jaminan dari Pangdam V/Jaya Amir
Machmud, yang hadir waktu itu, bahwa keadaan tetap
aman, Presiden Soekarno tetap merasa khawatir dan segera
meninggalkan sidang. Tindakan itu diikuti oleh Waperdam I
Dr.Subandrio dan Waperdam III Dr.Chaerul Saleh yang
bersama-sama dengan Presiden segera menuju Bogor
dengan helikopter. Sidang kemudian ditutup oleh SURAT PERINTAH 11 MARET
Waperdam II Dr.J. Leimena, yang kemudian menyusul ke
Bogor dengan mobil.
2.Surat Perintah 11 Maret
Tindakan pertama yang dilakukan oleh Soeharto keesokan
harinya setelah menerima Surat Perintah tersebut adalah
membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi
massanya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas
dengannya di seluruh Indonesia, terhitung sejak tanggal 12
Maret 1966. Pembubaran itu mendapat dukungan dari
rakyat, karena dengan demikian salah satu diantara Tritura
telah dilaksanan.

Selain itu Letjen. Soeharto juga menyerukan kepada


pelajar dan mahasiswa untuk kembali ke sekolah.
Tindakan berikutnya berdasarkan SUPERSEMAR
adalah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 5
tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang
menteri yang diduga terkait dengan pemberontakan
G-30-S PKI ataupun dianggap memperlihatkan iktikad Kelima orang tersebut ialah
tidak baik dalam penyelesaian masalah itu. Demi • Sultan Hamengkubuwono IX
lancarnya tugas pemerintah, Letjen. Soeharto • Adam Malik
mengangkat lima orang menteri koordinator ad interim • Dr Roeslan Abdulgani
yang menjadi Presidium Kabinet • Dr. K.H. Idham Chalid
• Dr. J. Leimena.
2.Surat Perintah 11 Maret
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi lahirnya
Supersemar, diantaranya:
1.     Situasi negara secara umum dalam keadaan kacau
dan genting
2.     Untuk mengatasi situasi yang tak menentu akibat
pemberontakan G 30 S/PKI
3.     Menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
4.     Untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah.
3.Dualisme Kepemimpinan Nasional
Memasuki tahun 1966 terlihat gejala krisis kepemimpinan
nasional yang mengarah pada dualisme kepemimpinan.
Disatu pihak Presiden Soekarno masih menjabat
presiden, namun pamornya telah kian merosot. Soekarno
dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat
yang mendesak agar PKI dibubarkan. Hal ini ditambah
lagi dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya
hingga dua kali oleh MPRS. Sementara itu Soeharto
setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari
Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya membubarkan
PKI, namanya semakin populer.
Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi
mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera. Meskipun Soekarno masih
memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto.
 Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan sebaliknya
Letjen. Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan. Adanya “Dualisme kepemimpinan
nasional” ini akhirnya menimbulkan pertentangan politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya
pendukung Soekarno dan pendukung Soeharto.
3.Dualisme Kepemimpinan Nasional
Dalam Sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni
sampai awal Juli 1966 memutuskan menjadikan
Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. Dengan
dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS secara
hukum Supersemar tidak lagi bisa dicabut sewaktu-waktu
oleh Presiden Soekarno. Bahkan sebaliknya secara
hukum Soeharto mempunyai kedudukan yang sama
dengan Soekarno, yaitu Mandataris MPRS. Dalam Sidang
MPRS itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif
Soekarno selaku Presiden. Secara eksplisit dinyatakan
bahwa gelar “Pemimpin Besar Revolusi” tidak lagi
mengandung kekuatan hukum.
Presiden sendiri masih diizinkan untuk membacakan pidato pertanggungjawabannya yang diberi judul
“Nawaksara”. Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden Soekarno menyampaikan pidato “Nawaksara” dalam
persidangan MPRS. “Nawa” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sembilan, dan “Aksara” berarti huruf
atau istilah. Pidato itu memang berisi sembilan pokok persoalan yang dianggap penting oleh presiden Soekarno
selaku mandataris MPR. Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya peristiwa
berdarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965.
3.Dualisme Kepemimpinan Nasional
Pengabaian peristiwa yang mengakibatkan gugurnya sejumlah
jenderal angkatan darat itu tidak memuaskan anggota MPRS.
Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS memutuskan
untuk minta kepada presiden agar melengkapi laporan
pertanggung jawabannya, khususnya mengenai sebab-sebab
terjadinya peristiwa Gerakan 30 September beserta epilognya
dan masalah kemunduran ekonomi serta akhlak. Pada tanggal 10
Januari 1967 Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan
MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara. Dalam Pelnawaksara
itu presiden mengemukakan bahwa mandataris MPRS hanya
mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar
Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain.

Nawaksara baginya hanya sebagai progress report yang ia sampaikan secara sukarela. Ia juga menolak untuk seorang diri
mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September, kemerosotan ekonomi, dan akhlak. Sementara itu,
sebuah kabinet baru telah terbentuk dan diberi nama Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet tersebut
diresmikan pada 28 Juli 1966. Kabinet ini mempunyai tugas pokok untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Program
kabinet tersebut antara lain adalah memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan pangan, dan melaksanakan
pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR RI No. XI/MPRS/1966. Sesuai dengan UUD 1945, Presiden Soekarno adalah
pemimpin Kabinet. Akan tetapi pelaksanaan pimpinan pemerintahan dan tugas harian dilakukan oleh Presidium Kabinet yang
diketuai oleh Letnan Jenderal Soeharto.
3.Dualisme Kepemimpinan Nasional
Pada awalnya Presiden Soekarno tidak berkenan dengan
usulan draft tersebut, namun kemudian sikap Presiden
Soekarno melunak, ia memerintahkan agar Soeharto
beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari
Minggu tanggal 19 Februari 1967, Presiden menyetujui
draft yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari draft surat
itu telah ditandatangani oleh Presiden. Ia meminta agar
diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967.
Tepat pada pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan
pengumuman resmi pengunduran dirinya.

Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat Presiden Republik Indonesia
oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah setahun menjadi pejabat presiden,
Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang
Umum V MPRS. Melalui Tap No. XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden
Republik Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR hasil pemilu. Pengukuhan tersebut menandai
berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan Orde Baru.
Stabilisasi Politik dan
Rebilitasi Ekonomi
• Setelah mendapatkan kekuasaan
sepenuhnya, pemerintah Orde Baru
jadi menjalankan kebijakan-kebijakan
politik dan Ekonomi yang telah
ditetapkan oleh Sidang MPRS tahun-
tahun sebelumnya, layaknya Stabilitas
Politik Keamanan (Tap MPRS
No.IX/1966), Stabilitas ekonomi (Tap
MPRS No.XXIII/19 66), dan
Pemilihan Umum (Tap MPRS
No.XI/1966)
• Mengukuhkan Pancasila dan UUD
1945 sebagai fondasi kehidupan
berbangsa dan bernegara.
• Menata kembali hubungan baik dengan
negara tetangga dan ikut membangun
ketertiban dunia.
1.Stabilisasi politik dan keamanan
sebagai dasar pembangunan
Program Kabinet Pembangunan I dikenal bersama
dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan,
yang berisi:
Orde Baru mencanangkan berbagai 1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai
konsep dan aktivitas pembangunan syarat perlu berhasilnya pelaksanakan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan
nasional yang berorientasi terhadap Umum (Pemilu);
kesejahteraan masyarakat. Langkah 2. Menyusun dan memiliki rencana Repelita;
pertama lakukan pembangunan nasional 3. Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya terhadap
Juli 1971;
tersebut adalah bersama dengan
4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan penduduk
membentuk Kabinet Pembangunan I bersama dengan melenyapkan habis sisa-sisa G
terhadap 6 Juni 1968. 30/S/PKI dan tiap tiap bentuk rongrongan
penyelewengan, dan juga pengkhianatan terhadap
Pancasila dan UUD 1945;
5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan
secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat
maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.
1.Stabilisasi politik dan keamanan
sebagai dasar pembangunan
Berdasarkan Tap MPRS No
IX/MPRS/1966, pemerintah diinginkan kuantitas partai politik (parpol) yang diijinkan ikut dan juga
langsung lakukan pemilu terhadap tahun didalam pemilu adalah 9 parpol, yaitu: NU, Parmusi, PSII,
1968. Namun karena berbagai Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Kristen
pertimbangan politik dan keamanan, Indonesia, Partai Khatolik, Partai Musyawarah Rakyat
pemilu baru dapat diselenggarakan Banyak (Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan
terhadap 1971. Lembaga Pemilu Indonesia (IPKI) ditambah bersama dengan Golkar.
sebagai pelaksana pemilu dibentuk dan Adapun perolehan suara hasil pemilu 1971 adalah
ditempatkan di bawah koordinasi sebagai berikut: Golkar(236 kursi, 62,82%), NU (58
Departemen Dalam Negeri, sedangkan kursi,18,68%), Parmusi (24 kursi (5,56%), PNI (20
kursi,6,93%), PSII (10 kursi,2,39%), dan Parkindo (10
peserta pemilu ditetapkan lewat
kursi, 2,39%). (Anhar Gonggong ed, 2005: 150)
Keputusan Presiden No.23 tanggal 23
Mei 1970.
1.Stabilisasi politik dan keamanan
sebagai dasar pembangunan
Pemerintah Orde baru menghimpun energi
semua komponen bangsa ke dalam agenda
Pada tahun 1971 dilakukan penyederhanaan bersama yang diformulasikan dalam bentuk
9 partai politik tersebut,menjadi berfusi dalam trilogy pembangunan :
2 partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan
(Empat partai Islam : NU,Permusi,PSII,Perti)
1. Stabilitas nasional yang sehat dan
(PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia dinamis.
(Partai non-Islam : PNI,Parkindo,Partai 2. Pertumbuhan ekonomi yang
Katolik,Murba dan IPKI)(PDI).
cukup tinggi.
Dan semua usaha-usaha yang dilakukan
3. Pemerataan pembangunan dan
Presiden Soehato,Semuanya bertujuan untuk
menggerakan jalannya kegiatan pembangunan hasil-hasilnya menuju kepada
ekonomi. terciptanya keadilan sosial bagi
semua rakyat.
2.Stabilisasi
Penyeragaman
2.Stabilisasi
Penyeragaman

Presiden Soekarno
menyerukan kepada Tujuan penataran P4
rakyat agar berikrar adalah untuk
pada diri sendiri membentuk pemahaman
Dimaksudakan untuk
mewujudkan Pancasila yang sama diharapkan
menegaskan bahwa penyusunan
dan mengajukan EKA pedoman penghayatan dan
persatuan & kesatuan
PRASETIA pengalaman Pancasila (P4) nasional akan terbentuk
PANCAKARSA. dipandang sebagai janji yang dan terpelihara.
teguh,kuat ,konsisten,tulus untuk
mewujudkan cita-cita.
3.Penerapan
Dwifungsi ABRI
PENERAPAN
DWIFUNGSI ABRI

Dwifungsi ABRI dapat


diartikan bahwa Keikutsertaan
memiliki 2 fungsi militer dalam politik
secara umum
bersifat non partai.
Militer percaya bahwa mereka
Yakni fungsi merupakan pihak yang setia kepada
sebagai pusat modernisasi dan pembangunan
kekuatan militer daripada PARPOL yang dipandang
Indonesia dan juga memiliki kepentingan sendiri
fungsinya dibidang
politik.
4.Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru

Rehabilitasi ekonomi adalah Langkah-langkah yang melakukan


perbaikan secara fisik sarana dan prioritas utama mengurangi atau
prasarana ekonomi,yang dapat mengendalikan hiperinflasi dengan

1 3
diartikan mengendalikan inflasi agar menyusun APBN berimbang.
harga barang tidak melonjak terus.

Untuk menanggulangi hutang

Tap MPRS No.XXIII/1966


mengharuskan diutamakannya
masalah perbaikan ekonomi rakyat
2 4 pihutang luar negeri,pemerintah
berupaya melakukan diplomasi yang
intensif dengan mengirimkan tim
negosiasi ke Paris,Prancis (Paris
diatas segala soal-soal nasional yang Club) untuk merundingkan hutang
lain,termasuk politik. negara dan juga ke London,Inggris
(London Club) untuk merundingkan
hutang pihutang swasta.
5.Kebijakan Pembangunan Orde Baru

A.Pertanian
Soeharto membangun dan mengembangkan
organisasi atau industry yang menjalankan program
pembangunan yang ditekankan pada penciptaan
industry pedesaan sebagai wahana pembangunan
B.Pendidikan dan bentuk bimbingan massal (BIMAS) yang
Pada masa kepemimpinan Soeharto pembangunan diperuntukan meningkatkan produk beras dan
pendidikan mengalami kemajuan ada 3 hal yang koperasi sebagai organisasi ekonomi masyarakat
patut dicatat,adalah pembangunan sekolah dasar pedesaan.
inpres(SD Inpres),Program wajib belajar dan
pembentukan kelompok belajar atau KEJAR. C.Keluarga Berencana(KB)
Pada masa orde baru dilaksanakan program
unuk mengendalikan pertumbuhan penduduk yang
dikenal dengan KB.Keberhasilan dalam
mengendalikan jumlah penduduk di Indonesia dipuji
D.Kesehatan Masyarakat dan Posyandu oleh UNICEF,karena dinilai berhasil menekan tingkat
Perkembangan pusat Kesehatan kematian bayi dan melakukan upaya dalam rangka
Masyarakat(PUSKESMAS) bermula dari konsep mensejahterakan anak.
Bandung Plan.Ini merupakan hasil pada orde
baru.Salahj satu indicatornya adalah semakin
baiknya tingkat kesehatan.
Integrasi Timor-Timur
Timor-Timur merupakan wilayah bekas koloni
Portugis yang menjadi sebuah provinsin di
Indonesia antara 17 Juli 1976 sampai
resminya pada 19 Oktober 1999,dan
merupakan Provinsi ke-27. Timor-timur telah
dijajah selama 450 tahun oleh Portugal.
Berawal dari keinginan partai politik (APODETI)
bersama UDT untuk berintegrasi dengan
Indonesia.ABRI kemudian melakukan
invasi,massa penolak integrasi (FRETILIN)
dibantai oleh pasukan ABRI dan anak-anaknya
dibawa ke Indonesia untuk diasuh oleh
keluarga militer.Setelah berhasil
ditaklukan,koalisi APODETI-UDT membentuk
pemerintahan sementara Timor-timur dengan
Arnaldo dos Reis Araujo sebagai petugasnya
Dampak Kebijakan Politik
dan Ekonomi Masa Orde
Baru
Dalam bidang
politik,pemerintah Orde Baru
cenderung otoriter.Pemerintah
mempunyai kekusaan yang
sangat besar dalam mengatur
jalannya pemerintahan.Peran
negara semakin kuat dan
menyebabkan timbulnya
pemerintah yang sentralis
(Penentuan kebijakan Publik pada
pemerintah pusat).

Kebijakan orde baru terlalu


memfokuskan pada pertumbuhan
ekonomi yang berdampak bagi
terbentuknya mentalis dan budaya
korupsi para pejabat Indonesia.
Thank You
Any Question?

Anda mungkin juga menyukai