Anda di halaman 1dari 11

Supersemar

(Surat Perintah Sebelas Maret)

Bia Paripurna

201546500005

R6D

Desan Komunikasi Visual

Fakultas Bahasa dan Seni

Universitas indraprasta PGRI


1. SuperSemar (Surat Perintah Sebelas Maret)

Sejarah Lahirnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret)


Menurut versi sesungguhnya bahwa yang disetujui oleh pemerintahan rezim Orde
Baru pimpinan Presiden Soeharto, sejarah Supersemar berawal dari terjadinya
pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itu, Presiden/Pemimpin Besar Revolusi
Soekarno membuka sidang pelantikan “Kabinet Dwikora yang Disempurnakan”,
yang juga dikenal dengan istilah “Kabinet Seratus Menteri”, dinamakan istilah
tersebut karena jumlah Menteri yang hadir 100 Menteri. Pada saat sidang Kabinet
Seratus Menteri telah dimulai, Brigadir Jenderal Sabur merupakan Panglima
Tjakrabirawa (pasukan khusus pengawal Presiden Soekarno) melaporkan bahwa
banyak ‘pasukan liar’ atau ‘pasukan tak dikenal’ yang belakangan diketahui
adalah pasukan Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) di bawah
pimpinan Mayor Jenderal Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang di
kabinet yang diduga terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Salah satu
anggota kabinet tersebut adalah Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio.

Setelah mendengarkan laporan tersebut, Presiden Soekarno bersama Wakil


Perdana Menteri I Dr. Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh
langsung berangkat menuju Bogor menggunakan helikopter yang telah disiapkan.
Sidang kabinet itu sendiri akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr. J.
Leimena yang juga kemudian ikut menyusul ke Bogor.

Situasi tersebut dilaporkan kepada Letnan Jenderal Soeharto yang pada saat itu
menjabat sebagai Panglima TNI Angkatan Darat menggantikan Letnan Jenderal
Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S) 1965.
Konon, Letnan Jenderal Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena
sakit. Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet
dianggap sebagai skenario Pak Harto untuk ‘menunggu situasi’, karena cukup
janggal.

Malam harinya, Letnan Jenderal Soeharto menyuruhtiga orang perwira tinggi


Angkatan Darat ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Soekarno, yaitu
Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, Brigandir Jenderal Amir Machmud, dan
Brigadir Jenderal Basuki Rachmat. Setibanya di Istana Bogor, terjadi
perbincangan antara tiga perwira tinggi Angkatan Darat tersebut dengan Presiden
Soekarno mengenai keadaan yang terjadi. Tiga perwira tersebut menetapkan
bahwa Letnan Jenderal Soeharto bisa mengntrol keadaan dan
mengembalikan stabilitas keamanan nasional apabila diberikan surat tugas atau
surat kuasa yang memberikan wewenang kepadanya untuk mengambil tindakan.
Menurut Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, perbincangan dengan Presiden
Soekarno berlangsung hingga pukul 20.30 WIB malam. Pada akhirnya, Presiden
Soekarno menyetujui terhadap gagasan tersebut sehingga dibuatlah surat perintah
yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang
diberikan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Panglima TNI Angkatan Darat
agar mengambil segala kuasa yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan
dan ketertiban.

Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 dini hari pukul
01.00 WIB yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar TNI Angkatan Darat
Brigadir Jenderal Budiono. Hal tersebut berdasarkan penyampaian Sudharmono,
dimana pada saat itu ia menerima telepon dari Mayor Jenderal Sutjipto selaku
Ketua G-5 KOTI pada tanggal 11 Maret 1966 sekitar pukul 22.00 WIB malam.
Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia
(PKI) disiapkan dan harus kelar malam itu juga. Permintaan itu atas perintah
Pangkopkamtib Letnan Jenderal Soeharto. Bahkan, Sudharmono sempat berdebat
dengan Murdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar tiba.
(https://majalahpendidikan.com/sejarah-dan-latar-belakang-lahirnya-supersemar/)
2. Permasalahan Objek
JAKARTA, KOMPAS.com — Ada tiga kontroversi yang muncul jika
membicarakan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang menjadi
momentum peralihan kekuasaan Presiden pertama RI, Soekarno, ke
Soeharto. Pertama, menyangkut keberadaan naskah otentik Supersemar.
Kedua, proses mendapatkan surat itu. Ketiga, interpretasi yang dilakukan
oleh Soeharto. Menurut peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, keberadaan naskah otentik
Supersemar hingga kini belum diketahui. Salinan Surat Perintah 11
Maret(KOMPAS) Kendati lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia
menyimpan tiga versi naskah Supersemar, ketiganya tidak otentik. "Ada tiga
arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari
seorang kiai di Jawa Timur," ujar Asvi dalam diskusi bulanan Penulis Buku
Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016).
Kontroversi berikutnya mengenai proses memperoleh surat tersebut. Perlu
dijelaskan kepada masyarakat, terutama dalam pelajaran sejarah, bahwa
Supersemar diberikan bukan atas kemauan Soekarno, melainkan di bawah
tekanan. Menurut Asvi, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno pernah didatangi
oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara. Kedua
pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno
menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. Akan tetapi, Soekarno menolak,
bahkan sempat marah dan melempar asbak."Dari situ terlihat ada usaha
untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti
dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," ungkap Asvi. Setelah
Supersemar dibuat oleh Soekarno, Soeharto menggunakannya dengan serta-
merta untuk melakukan aksi beruntun sepanjang Maret 1966. Soeharto
melakukan pembubaran PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno,
memulangkan anggota Tjakrabirawa, dan mengontrol media massa di bawah
Puspen AD. Sementara itu, bagi Soekarno, surat itu adalah perintah
pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya selaku Presiden dan
keluarganya. Soekarno pun pernah menekankan, surat itu bukanlah transfer
of authority. Namun, Amirmachmud, jenderal yang membawa surat perintah
dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, langsung berkesimpulan bahwa
itu adalah pengalihan kekuasaan. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan
judul "Tiga Kontroversi di Balik Supersemar 11 Maret 1966.
(https://nasional.kompas.com/read/2016/03/10/19451281/Tiga.Kontroversi.di.Balik.
Supersemar.11.Maret.1966
Sementara itu di Jakarta dan Bogor demonstrasi mahasiswa berlangsung
semakin gencar. Pada tanggal 15 Januari terjadi demonstrans besar-besaran
memprotes susunan kabinet Dwikora yang menurut mahasiswa tidak
mencerminkan keinginan masyarakat.
(Membongkar SUPERSEMAR: 45)

Jika pemuatan salinan Surat Perintah 11 Maret 1966, di harian Kompas,


Senin, 14 Maret 1966, itu tidak sesuai aslinya, tentunya Soekarno akan
mengoreksinya. Pada 17 Maret 1966, Soekarno memerintahkan Chairul Saleh
untuk membacakan pengumuman tertulis Soekarno bahwa Supersemar tidak
berarti penyerahan kekuasaan dari Presiden ke Men/Pangad Letjen Soeharto
malah menahan 15 menteri Kabinet Dwikora yang Disempurnakan dengan
tuduhan terlibat dalam G30S. Ironisnya, Chairul Saleh termasuk dalam daftar
15 menteri yang ditahan. Sempat muncul desas-desus bahwa Soekarno
dipaksa untuk menandatangani Supersemar. Desas-desus itu dibantah oleh
Mayjen Ibrahim Adjie di harian Kompas, 21 Maret 1966. Bantahan itu
rasanya masuk akal. Jika Soekarno berkeras bahwa Supersemar bukan
penyerahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, lalu mengapa ia harus
dipaksa untuk menandatanganinya.
https://nasional.kompas.com/read/2015/03/07/17175751/Supersemar.dan.Kontroversinya.

3. Kondisi Objek Saat Ini

Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11


Maret yangdisingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang
ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11
Maret1966.Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku
Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk
mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi
keamanan yang buruk pada saat itu.

Dalam membuat tugas sejarah tentang Supersemar,Kami mendapat versi yang


berbeda dari setiap sumber yang telah kami ambil datanya untuk itu kami akan
membahasnya satu persatu.

2.2 Supersemar Versi Satu

Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar
Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian
kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi
Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan
oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


SURAT PERINTAH

I. Mengingat:

1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik nasional maupun
Internasional

1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima


Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966

II. Menimbang:

2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi.

2.2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi,ABRI dan Rakjat
untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima
Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala adjaran-adjarannja

III. Memutuskan/Memerintahkan:

Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA


ANGKATAN DARAT

Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:

1. Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan


dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi,
serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimin Besar revolusi/mandataris M.P.R.S. demi
untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan
dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.

2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima


Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja.

3. Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkuta-paut dalam tugas dan


tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas.
IV. Selesai.

Djakarta, 11 Maret 1966

PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR


REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S.

SOEKARNO

Sejarah Keluarnya Supersemar

Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11
Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikanKabinet Dwikora
yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat
sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal
presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan
tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah
pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang
berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana
Menteri ISoebandrio.

Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I


Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor
dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh
Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.

Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi
Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan
Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-
30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang
kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam
sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu situasi.
Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).

Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk
menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir JendralM. Jusuf,
Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di
Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD
dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira
tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu menendalikan situasi dan
memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang
memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral
(purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30
malam.

Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal
sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal
sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima
Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban.

Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul pukul
01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen
Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia
menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar
pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI
disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah
Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat
berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai surat
Supersemar itu tiba.

2.3 Supersemar Versi Kedua

Versi resmi mengenai lahirnya Supersemar adalah sebagai berikut. Menjelang


akhir tahun 1965, operasi militer terhadap sisa-sisa G-30-S boleh dikatakan sudah
selesai. Hanya penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut belum
dilaksanakan oleh Presiden Soekarno. PKI belum dibubarkan. Sementara krisis
ekonomi tambah parah. Laju inflasi mencapai 650%. Tanggal 13 Desember 1965
bahkan dilakukan devaluasi, uang bernilai Rp 1.000 turun menjadi Rp 1.
Sementara itu harga-harga membubung naik. Tak ayal lagi, demonstrasi yang
dilakukan mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) marak di
mana-mana. Selama 60 hari, dengan dipelopori para mahasiswa Universitas
Indonesia, seluruh jalanan ibu kota dipenuhi demonstran. Mereka menyampaikan
Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yang isinya: Bubarkan PKI, Retool Kabinet
Dwikora, dan Turunkan Harga.

Sementara itu, sejak terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965, terjadi


perbedaan pendapat antara Presiden Soekarno dengan Jenderal Soeharto yang
menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat. Perbedaan pendapat
berfokus pada cara untuk mengatasi krisis nasional yang semakin memuncak
setelah terjadinya G-30-S tersebut. Soeharto berpendapat bahwa pergolakan
rakyat tidak akan reda selama PKI tidak dibubarkan. Sementara itu Soekarno
menyatakan bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI karena hal itu
bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah dicanangkan ke seluruh dunia.
Perbedaan pendapat ini selalu muncul dalam pertemuan-pertemuan berikutnya di
antara keduanya. Soeharto kemudian menyediakan diri untuk membubarkan PKI
asal mendapat kebebasan bertindak dari presiden.

Pada tanggal 11 Maret 1966, Kabinet (yang dijuluki "Kabinet 100 Menteri"
karena jumlah menterinya mencapai 102 orang) mengadakan sidang paripurna
untuk mencari jalan ke luar dari krisis. Sidang diboikot, para mahasiswa
melakukan pengempesan ban mobil di jalan-jalan menuju ke istana. Ketika
Presiden berpidato, Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa (Pengawal Presiden)
memberitahukan bahwa istana sudah dikepung pasukan tak dikenal. Meskipun ada
jaminan dari Pangdam Jaya, Brigjen Amir Mahmud bahwa keadaan tetap aman,
Presiden Soekarno yang tetap merasa khawatir, pergi dengan helikopter ke Istana
Bogor bersama Wakil Perdana Menteri Dr. Subandrio dan Dr. Chairul Saleh.

Setelah itu, tiga perwira tinggi AD, Mayjen Basuki Rahmat (Menteri Urusan
Veteran), Brigjen M. Yusuf (Menteri Perindustrian), dan Brigjen Amir Machmud,
dengan seizin atasannya yaitu Jendral Soeharto yang menjabat Menpangad
merangkap Pangkopkamtib, pergi menemui Presiden Soekarno di Bogor. Di sana
ketiganya mengadakan pembicaraan dengan Presiden dengan didampingi ketiga
Waperdam, yaitu Dr. Subandrio, Dr. Chairul Saleh, dan Dr. J. Leimena.
Pembicaraan yang berlangsung berjam-jam itu berkisar seputar cara-cara yang
tepat untuk mengatasi keadaan dan memulihkan kewibawaan presiden.

Akhirnya, Presiden Soekarno memutuskan untuk membuat surat perintah yang


ditujukan kepada Jenderal Soeharto, yang intinya adalah memberi wewenang
kepada Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan memulihkan keamanan
negara, menjaga ajaran Bung Karno, menjaga keamanan Presiden, dan
melaporkan kepada Presiden. Jadi, Soeharto diberi kewenangan untuk mengambil
semua tindakan yang perlu guna mengatasi keadaan dan memulihkan kewibawaan
presiden. Teks surat dirumuskan oleh ketiga wakil perdana menteri bersama
ketiga perwira tinggi AD yang disebut di atas ditambah dengan Brigjen Sabur
sebagai sekretaris. Surat itu kemudian ditandatangani oleh presiden. Serah terima
secara resmi Surat Perintah 11 Maret 1966 dari ketiga perwira tinggi TNI-AD
kepada Soeharto dilaksanakan pada tanggal 11 Maret itu juga, sekira pukul 21.00
WIB, bertempat di markas Kostrad. Surat inilah yang dikenal sebagai Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar)

Lepas tengah malam tanggal 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto membubarkan


PKI dengan dasar hukum surat perintah tersebut. PKI beserta ormas-ormasnya
dilarang di seluruh Indonesia terhitung sejak 12 Maret 1966. Seminggu kemudian,
15 menteri yang dinilai terlibat dalam G-30-S ditahan. Dengan demikian, dua dari
Tritura, sudah dilaksanakan. Popularitas Soeharto pun meningkat. Ternyata
setelah Supersemar dilaksanakan, kewibawaan Presiden Soekarno tidak pulih.
Antara tahun 1966-1967 terjadi dualisme kepemimpinan nasional, yaitu Soekarno
sebagai presiden dan Soeharto sebagai Pengemban Supersemar yang dikukuhkan
dalam Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/66.

Soeharto kemudian ditugaskan membentuk Kabinet Ampera yang dibebani tugas


pokok memulihkan perekonomian dan menstabilkan kondisi politik. Konflik
kepemimpinan tampaknya berakhir setelah tanggal 20 Februari 1967, ketika
Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal
Soeharto selaku Pengemban Tap No. IX/MPRS/66. Demikianlah riwayat singkat
Supersemar. (http://indonesiakemarin.blogspot.com/2007/03/super-semar-surat-
perintah-sebelas.html)

4. Nilai Lebih Objek

a. Saya tertarik mengangkat objek tersebut karena didalam objek ini


mengajarkan kepada kita tentang sejarah yang ada dimasa lalu dan
mempunyai nilai-nilai tentang sejarah yang sangat tinggi

b. terutama dalam pelajaran sejarah, bahwa Supersemar diberikan bukan


atas kemauan seseorang melainkan atas keinginan seseorang

c. memiliki nilai dalam sejarah masa lalu

d. memberikan kewenangan terhadap seseorang untuk menjaga


keamanaan negara
5. Literatur

(http://indonesiakemarin.blogspot.com/2007/03/super-semar-surat-
perintah-sebelas.html)

(https://nasional.kompas.com/read/2015/03/07/17175751/Supersemar.dan.Kontrover
sinya)

(https://nasional.kompas.com/read/2016/03/10/19451281/Tiga.Kontroversi.di.Bal
ik.Supersemar.11.Maret.1966

(https://majalahpendidikan.com/sejarah-dan-latar-belakang-lahirnya
supersemar/)

(Membongkar SUPERSEMAR: 45)

Anda mungkin juga menyukai