Bia Paripurna
201546500005
R6D
Situasi tersebut dilaporkan kepada Letnan Jenderal Soeharto yang pada saat itu
menjabat sebagai Panglima TNI Angkatan Darat menggantikan Letnan Jenderal
Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S) 1965.
Konon, Letnan Jenderal Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena
sakit. Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet
dianggap sebagai skenario Pak Harto untuk ‘menunggu situasi’, karena cukup
janggal.
Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 dini hari pukul
01.00 WIB yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar TNI Angkatan Darat
Brigadir Jenderal Budiono. Hal tersebut berdasarkan penyampaian Sudharmono,
dimana pada saat itu ia menerima telepon dari Mayor Jenderal Sutjipto selaku
Ketua G-5 KOTI pada tanggal 11 Maret 1966 sekitar pukul 22.00 WIB malam.
Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia
(PKI) disiapkan dan harus kelar malam itu juga. Permintaan itu atas perintah
Pangkopkamtib Letnan Jenderal Soeharto. Bahkan, Sudharmono sempat berdebat
dengan Murdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar tiba.
(https://majalahpendidikan.com/sejarah-dan-latar-belakang-lahirnya-supersemar/)
2. Permasalahan Objek
JAKARTA, KOMPAS.com — Ada tiga kontroversi yang muncul jika
membicarakan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang menjadi
momentum peralihan kekuasaan Presiden pertama RI, Soekarno, ke
Soeharto. Pertama, menyangkut keberadaan naskah otentik Supersemar.
Kedua, proses mendapatkan surat itu. Ketiga, interpretasi yang dilakukan
oleh Soeharto. Menurut peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, keberadaan naskah otentik
Supersemar hingga kini belum diketahui. Salinan Surat Perintah 11
Maret(KOMPAS) Kendati lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia
menyimpan tiga versi naskah Supersemar, ketiganya tidak otentik. "Ada tiga
arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari
seorang kiai di Jawa Timur," ujar Asvi dalam diskusi bulanan Penulis Buku
Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016).
Kontroversi berikutnya mengenai proses memperoleh surat tersebut. Perlu
dijelaskan kepada masyarakat, terutama dalam pelajaran sejarah, bahwa
Supersemar diberikan bukan atas kemauan Soekarno, melainkan di bawah
tekanan. Menurut Asvi, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno pernah didatangi
oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara. Kedua
pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno
menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. Akan tetapi, Soekarno menolak,
bahkan sempat marah dan melempar asbak."Dari situ terlihat ada usaha
untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti
dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," ungkap Asvi. Setelah
Supersemar dibuat oleh Soekarno, Soeharto menggunakannya dengan serta-
merta untuk melakukan aksi beruntun sepanjang Maret 1966. Soeharto
melakukan pembubaran PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno,
memulangkan anggota Tjakrabirawa, dan mengontrol media massa di bawah
Puspen AD. Sementara itu, bagi Soekarno, surat itu adalah perintah
pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya selaku Presiden dan
keluarganya. Soekarno pun pernah menekankan, surat itu bukanlah transfer
of authority. Namun, Amirmachmud, jenderal yang membawa surat perintah
dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, langsung berkesimpulan bahwa
itu adalah pengalihan kekuasaan. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan
judul "Tiga Kontroversi di Balik Supersemar 11 Maret 1966.
(https://nasional.kompas.com/read/2016/03/10/19451281/Tiga.Kontroversi.di.Balik.
Supersemar.11.Maret.1966
Sementara itu di Jakarta dan Bogor demonstrasi mahasiswa berlangsung
semakin gencar. Pada tanggal 15 Januari terjadi demonstrans besar-besaran
memprotes susunan kabinet Dwikora yang menurut mahasiswa tidak
mencerminkan keinginan masyarakat.
(Membongkar SUPERSEMAR: 45)
Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar
Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian
kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi
Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan
oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.
I. Mengingat:
1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik nasional maupun
Internasional
II. Menimbang:
2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi.
2.2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi,ABRI dan Rakjat
untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima
Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala adjaran-adjarannja
III. Memutuskan/Memerintahkan:
SOEKARNO
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11
Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikanKabinet Dwikora
yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat
sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal
presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan
tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah
pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang
berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana
Menteri ISoebandrio.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi
Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan
Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-
30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang
kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam
sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu situasi.
Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk
menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir JendralM. Jusuf,
Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di
Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD
dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira
tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu menendalikan situasi dan
memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang
memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral
(purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30
malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal
sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal
sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima
Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban.
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul pukul
01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen
Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia
menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar
pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI
disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah
Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat
berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai surat
Supersemar itu tiba.
Pada tanggal 11 Maret 1966, Kabinet (yang dijuluki "Kabinet 100 Menteri"
karena jumlah menterinya mencapai 102 orang) mengadakan sidang paripurna
untuk mencari jalan ke luar dari krisis. Sidang diboikot, para mahasiswa
melakukan pengempesan ban mobil di jalan-jalan menuju ke istana. Ketika
Presiden berpidato, Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa (Pengawal Presiden)
memberitahukan bahwa istana sudah dikepung pasukan tak dikenal. Meskipun ada
jaminan dari Pangdam Jaya, Brigjen Amir Mahmud bahwa keadaan tetap aman,
Presiden Soekarno yang tetap merasa khawatir, pergi dengan helikopter ke Istana
Bogor bersama Wakil Perdana Menteri Dr. Subandrio dan Dr. Chairul Saleh.
Setelah itu, tiga perwira tinggi AD, Mayjen Basuki Rahmat (Menteri Urusan
Veteran), Brigjen M. Yusuf (Menteri Perindustrian), dan Brigjen Amir Machmud,
dengan seizin atasannya yaitu Jendral Soeharto yang menjabat Menpangad
merangkap Pangkopkamtib, pergi menemui Presiden Soekarno di Bogor. Di sana
ketiganya mengadakan pembicaraan dengan Presiden dengan didampingi ketiga
Waperdam, yaitu Dr. Subandrio, Dr. Chairul Saleh, dan Dr. J. Leimena.
Pembicaraan yang berlangsung berjam-jam itu berkisar seputar cara-cara yang
tepat untuk mengatasi keadaan dan memulihkan kewibawaan presiden.
(http://indonesiakemarin.blogspot.com/2007/03/super-semar-surat-
perintah-sebelas.html)
(https://nasional.kompas.com/read/2015/03/07/17175751/Supersemar.dan.Kontrover
sinya)
(https://nasional.kompas.com/read/2016/03/10/19451281/Tiga.Kontroversi.di.Bal
ik.Supersemar.11.Maret.1966
(https://majalahpendidikan.com/sejarah-dan-latar-belakang-lahirnya
supersemar/)