Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH SUPERSEMAR

(SURAT PERINTAH SEBELAS MARET)

Disusun oleh

Devira Belin Indrayana (08)


Muhammad Hedy Aziz(19)
Novi Dwi Rahmawati (24)
Riyan Restian (30)
Yosi Saldina (35)
Zul Nabila (36)

XII TEI 1/Kelompok 2

SMK Negeri 7 Semarang


Tahun Ajaran 2016/2017
0
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Berkat
limpahan karunia Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul
Supersemar.
Makalah ini kami buat untuk mengetahui dan menambah wawasan mengenai
peristiwa Supersemar.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya makalah ini. Kami harap, makalah ini dapat memberikan manfaat kepada
pembaca.

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................1
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................2
BAB I......................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................................3
A. LATAR BELAKANG.......................................................................................................................3
B. TUJUAN......................................................................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN........................................................................................................................................4
A. Sejarah Singkat dan Kontroversi Supersemar - Surat Perintah 11 Maret 1966...........................4
B. Sejarah Lahirnya Supersemar.....................................................................................................5
C. Berbagai Kontroversi Sejarah Lahirnya Supersemar...................................................................6
D. Beberapa Versi Tentang Isi Naskah Supersemar.........................................................................8
E. Usaha yang dilakukan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).....................................10
F. Persepsi Masyarakat tentang Supersemar...............................................................................11
BAB III..................................................................................................................................................12
PENUTUP.............................................................................................................................................12
A. KESIMPULAN............................................................................................................................12
B. SARAN......................................................................................................................................12
C. SUMBER...................................................................................................................................12

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada bidang politik,sistem pemerintahan demokrasi terpimpin yang diterapkan
Ir.Soekarno seperti membuat suatu pemerintahan yang otoriter di Indonesia.Selain
itu,bung karno membuat konsep NASAKOM yang berarti nasionalis,agama dan
komunis. Kebijakan itulah yang akhirnya membawa perpecahan karena dalam
nasionalis,agama dan komunis terdapat perbedaan - perbedaan yang bisa memicu
konflik di kemudian hari. Sistem pemerintahan demokrasi terpimpin juga
menyebabkan pihak yang bisa mempunyai posisi kuat di pemerintahan bisa
mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Pada bidang militer,dwifungsi ABRI yang membuat anggota ABRI bisa
menduduki jabatan di bidang politik dan pemerintahan membuat peran ABRI menjadi
tidak lazim karena tentara tujuan sebenarnya dibentuk untuk keperluan pertahanan
negara.Selain itu, konfrontasi Indonesia-Malaysia yang terjadi pada masa itu
membuat pro dan kontra pada pemerintah dari sejumlah tokoh militer.Dan pada
bidang ekonomi Indonesia mengalami inflasi yang mencapai presentase 650 %
membuat harga - harga bahan - bahan pokok melambung tinggi sebagai akibat dari
berbagai faktor yang diantaranya kebijakan pemerintah untuk menaikkan gaji tentara.
Akhirnya klimaks dari berbagai masalah diatas terjadi pada akhir tahun 1965 yaitu
sebuah peristiwa kontroversial yang melibatkan Partai Komunis Indonesia bernama
Gerakan 30 September dan Gerakan Satu Oktober yang lebih dikenal dengan G 30
S/PKI.Hal itu,membuat Indonesia kacau balau karena terjadi pembunuhan para
jendral-jendral penting ABRI sehingga akhirnya ABRI dibawah Jendral Suharto dan
Kolonel Sarwo Edhie dari KOSTRAD berhasil menghentikanya.Setelah peristiwa
itu,maka terjadilah reaksi dari masyarakat berupa Tritura yang berisi Tiga Tuntutan
Rakyat pada Pemerintah Republik Indonesia.Untuk menjaga kestabilan dari Republik
Indonesia maka dikeluarkanlah Surat Perintah pada tanggal 11 Maret 1966.

B. TUJUAN
- Agar siswa mengetahui semua yang berkaitan tentang supersemar.
- Belajar tentang apa yang terjadi di Indonesia pada masa lampau.
- Mengerti persepsi masyarakat tentang supersemar.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat dan Kontroversi Supersemar - Surat Perintah 11


Maret 1966

Supersemar Versi Orde Baru

Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang sangat populer dikenal melalui
akronim "Supersemar" adalah surat perintah yang ditandatangani oleh
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar
Revolusi Sukarno pada tanggal 11 Maret 1966. Isinya adalah perintah Presiden
Sukarno kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Panglima Komando Operasi
Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) agar mengambil segala tindakan yang
dianggap perlu untuk memulihkan stabilitas situasi keamanan yang sangat buruk pada
masa itu, terutama setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Hingga
saat ini, naskah Supersemar yang menyebar di kalangan masyarakat secara luas
melalui buku-buku teks pelajaran sejarah nasional adalah keluaran versi Markas Besar
TNI Angkatan Darat (TNI AD) yang telah dipublikasikan sejak tahun 1966 dan
semakin diperkuat setelah Orde Baru mulai berkuasa di tahun 1968. Sebagian
kalangan sejarawan Indonesia meyakini bahwa ada beberapa versi naskah
Supersemar, sehingga masih perlu adanya penelusuran dan penelitian terhadap naskah
Supersemar yang asli yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno di Istana Bogor.
Sampai saat ini pun, naskah Supersemar yang asli masih misterius dan belum
ditemukan, karena para pelaku sejarah lahirnya Supersemar semuanya telah
meninggal dunia.

4
B. Sejarah Lahirnya Supersemar
Menurut versi resmi yang disetujui oleh pemerintahan rezim Orde Baru
pimpinan Presiden Suharto, sejarah awal lahirnya Supersemar terjadi pada tanggal 11
Maret 1966. Saat itu, Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Sukarno mengadakan sidang
pelantikan "Kabinet Dwikora yang Disempurnakan", yang juga dikenal dengan istilah
"Kabinet Seratus Menteri", karena jumlah menterinya mencapai lebih dari 100 orang.
Pada saat sidang kabinet dimulai, Brigadir Jenderal Sabur sebagai Panglima
Tjakrabirawa (pasukan khusus pengawal Presiden Sukarno) melaporkan bahwa
banyak 'pasukan liar' atau 'pasukan tak dikenal' yang belakangan diketahui adalah
pasukan Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) di bawah pimpinan
Mayor Jenderal Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang di kabinet yang
diduga terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Salah satu anggota kabinet
tersebut adalah Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio.

Pelantikan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Oleh Presiden Sukarno

Setelah mendengarkan laporan tersebut, Presiden Sukarno bersama Wakil


Perdana Menteri I Dr. Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh
langsung berangkat menuju Bogor menggunakan helikopter yang telah disiapkan.
Sidang kabinet itu sendiri akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr. J.
Leimena yang juga kemudian ikut menyusul ke Bogor.
Situasi tersebut dilaporkan kepada Letnan Jenderal Suharto yang pada saat itu
menjabat sebagai Panglima TNI Angkatan Darat menggantikan Letnan Jenderal
Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S) 1965.
Konon, Letnan Jenderal Suharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit.
Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Suharto dalam sidang kabinet dianggap
sebagai skenario Pak Harto untuk 'menunggu situasi, karena cukup janggal.
Malam harinya, Letnan Jenderal Suharto mengutus tiga orang perwira tinggi
Angkatan Darat ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Sukarno, yaitu Brigadir Jenderal
Muhammad Jusuf, Brigandir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Basuki Rachmat.
Setibanya di Istana Bogor, terjadi dialog antara tiga perwira tinggi AD tersebut dengan
Presiden Sukarno mengenai situasi yang terjadi. Ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa
Letnan Jenderal Suharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan stabilitas keamanan
nasional apabila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan wewenang
kepadanya untuk mengambil tindakan.

5
6
Menurut Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, pembicaraan dengan Presiden
Sukarno berlangsung hingga pukul 20.30 WIB malam. Akhirnya, Presiden Sukarno
setuju terhadap usulan tersebut sehingga dibuatlah surat perintah yang dikenal
sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditujukan kepada Letnan
Jenderal Suharto selaku Panglima TNI Angkatan Darat agar mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 dini hari
pukul 01.00 WIB yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar TNI AD Brigadir
Jenderal Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, di mana saat itu
ia menerima telepon dari Mayor Jenderal Sutjipto selaku Ketua G-5 KOTI pada
tanggal 11 Maret 1966 sekitar pukul 22.00 WIB malam. Sutjipto meminta agar konsep
tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) disiapkan dan harus selesai
malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib Letnan Jenderal Suharto.
Bahkan, Sudharmono sempat berdebat dengan Murdiono mengenai dasar hukum teks
tersebut sampai Supersemar tiba.

C. Berbagai Kontroversi Sejarah Lahirnya Supersemar


Lahirnya Supersemar ternyata diiringi oleh berbagai kontroversi yang
menyebabkan sejarah pasti terbitnya surat perintah tersebut masih 'gelap' hingga saat
ini.
Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi TNI AD yang akhirnya
menerima surat itu, ada seorang perwira tinggi yang membaca naskah
Supersemar, kemudian kaget dan berkomentar, "Lho, ini 'kan perpindahan
kekuasaan?". Naskah asli Supersemar semakin tidak jelas, karena beberapa tahun
kemudian dinyatakan hilang. Hilangnya naskah asli Supersemar pun tidak jelas
oleh siapa dan di mana, karena pelaku sejarah peristiwa Supersemar tersebut saat
ini sudah meninggal dunia semua. Belakangan, keluarga Muhammad Jusuf
mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada dalam dokumen pribadi sang
jenderal yang disimpan di sebuah bank.
Menurut kesaksian salah satu pasukan pengawal Presiden Sukarno (Tjakrabirawa)
di Istana Bogor, Letnan Dua Sukardjo Wilardjito, perwira tinggi militer yang hadir
ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 bukan hanya tiga orang,
melainkan empat orang, karena Brigadir Jenderal Maraden Panggabean juga ikut
serta. Berdasarkan kesaksiannya, Sukardjo Wilardjito menerangkan bahwa
Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf membawa stopmap berwarna merah jambu
berlogo Markas Besar Angkatan Darat, kemudian mengeluarkan secarik kertas
berisi naskah Supersemar untuk ditandatangani Bung Karno. Setelah membaca
naskah Supersemar, Bung Karno sempat heran dan bertanya, "Lho, kok ini
diktumnya diktum militer, bukan diktum kepresidenan?". Brigadir Jenderal Amir
Machmud lantas menjawab, "Untuk mengubah waktunya sudah sempit.
Tandatangani sajalah, Paduka. Bismillah." Kemudian, Brigadir Jenderal Basuki
Rachmat dan Brigadir Jenderal Maraden Panggabean mencabut pistol dari
pinggangnya, lalu menodongkannya ke arah Presiden Sukarno. Melihat
keselamatan Presiden Sukarno sedang terancam dalam bahaya, Sukardjo pun
segera mengeluarkan pistolnya juga dan menodongkannya ke arah Basuki
Rachmat dan Maraden Panggabean. Segera setelah itu, Presiden Sukarno langsung

7
mengatakan, "Jangan, jangan! Sudah, sudah! Baiklah kalau memang surat ini
harus aku tandatangani dan harus aku serahkan kepada Harto. Tetapi, kalau
situasi sudah kembali pulih, mandat ini agar dikembalikan lagi kepadaku."
Presiden Sukarno pun menandatangani Supersemar di bawah todongan pistol
Brigadir Jenderal Basuki Rachmat dan Brigadir Jenderal Maraden Panggabean.
Setelah Supersemar ditandatangani oleh Presiden Sukarno, pertemuan pun bubar.
Setelah memberikan salam kepada Presiden Sukarno, para jenderal utusan Suharto
kemudian kembali menuju ke Jakarta. Saat itu, Sukardjo langsung merasakan
firasat buruk, terlebih seusai Bung Karno berpesan, "Mungkin aku harus
meninggalkan istana. Berhati-hatilah kamu." Itulah kata-kata terakhir Presiden
Sukarno kepada Sukardjo, yang langsung dijawab dengan anggukan kepala untuk
memberikan hormat sekaligus bentuk kekagumannya kepada Bung Karno.
Sukardjo langsung yakin bahwa peristiwa penandatanganan Supersemar yang
diawali dengan penodongan pistol ke arah Presiden Sukarno tersebut pasti akan
diselewengkan oleh Suharto. Benar saja, tidak lama kemudian (sekitar 30 menit)
Istana Bogor sudah diduduki oleh pasukan RPKAD dan Kostrad. Letnan Dua
Sukardjo Wilardjito beserta rekan-rekan pengawalnya sesama anggota pasukan
Tjakrabirawa dilucuti senjatanya, kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah
Rumah Tahanan Militer. Mereka semua lantas diberhentikan dari dinas militer.
Hingga saat ini, kesaksian Sukardjo Wilardjito adalah referensi sejarah yang
paling sering dirujuk dan paling dipercaya oleh banyak orang terkait kontroversi
lahirnya Supersemar, meskipun beberapa kalangan menyatakan keraguannya
terhadap penuturannya tersebut. Bahkan, dua di antara para pelaku sejarah
Supersemar, yakni Jenderal (Purn.) Muhammad Jusuf dan Jenderal (Purn.)
Maraden Panggabean dengan tegas membantah peristiwa tersebut. Mereka
menyatakan bahwa Presiden Sukarno menandatangani Supersemar dalam 'kondisi
baik dan hangat', bukan di bawah todongan senjata.
Menurut kesaksian Anak Marhaen Hanafi (A. M. Hanafi), seorang mantan Duta
Besar Republik Indonesia untuk Kuba yang dipecat secara inkonstitusional oleh
Presiden Suharto, Brigadir Jenderal Maraden Panggabean tidak ikut ke Istana
Bogor bersama tiga jenderal lainnya (Amir Machmud, Basuki Rachmat, dan
Muhammad Jusuf). Hanafi pun membantah kesaksian Letnan Dua Sukardjo
Wilardjito yang menyatakan bahwa Presiden Sukarno menandatangani
Supersemar di bawah todongan pistol pada malam hari tanggal 11 Maret 1966.
Menurut A. M. Hanafi, pada saat itu Presiden Sukarno sedang menginap di Istana
Merdeka, Jakarta, untuk keperluan sidang kabinet esok pagi harinya. Sebagian
besar menteri juga sudah menginap di istana untuk menghindari hadangan
berbagai demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta jika berangkat keesokan
harinya. Hanafi sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri
(Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut kesaksiannya, hanya ada tiga jenderal yang
pergi ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Sukarno yang telah berangkat
terlebih dahulu, yakni Amir Machmud, Basuki Rachmat, dan Muhammad Jusuf.
Sebelum bertolak dari Istana Merdeka, Amir Machmud dikatakannya menelepon
Komisaris Besar Sumirat, pengawal pribadi Presiden Sukarno, untuk meminta izin
datang ke Istana Bogor menghadap Bung Karno. "Semua itu ada saksi-saksinya,"
ujar Hanafi. Ketiga jenderal tersebut rupanya sudah membawa naskah
Supersemar. Di Istana Bogor yang ternyata sudah dikelilingi berbagai demonstrasi
dan tank militer, Bung Karno pun menandatangani Supersemar, tetapi tidak
ditodong pistol oleh para jenderal, karena mereka dikatakannya datang secara
baik-baik. Hanafi menyatakan bahwa atas sepengetahuannya, Brigadir Jenderal

8
Maraden Panggabean selaku Menteri Pertahanan dan Keamanan tetap berada di
Istana Merdeka bersama menteri-menteri yang lain, sehingga tidak mungkin
Panggabean ikut hadir ke Istana Bogor.
Tentang pengetik naskah asli Supersemar pun masih 'gelap' hingga saat ini. Masih
tidak jelas siapa sebenarnya yang mengetik naskah asli Supersemar. Ada beberapa
orang yang mengaku mengetik naskah asli Supersemar. Dari beberapa pengakuan
tersebut, yang paling dipercaya adalah Letnan Kolonel Ali Ebram, yang pada saat
peristiwa Supersemar menjabat sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen
Tjakrabirawa.
Sejarawan asing bernama Ben Anderson mengungkapkan bahwa ada salah satu
tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor bersaksi tentang kop surat yang
dipakai dalam naskah asli Supersemar. Menurut tentara yang tidak diketahui
namanya tersebut, teks naskah asli Supersemar diketik di atas surat yang berkop
Markas Besar Angkatan Darat, bukan di atas surat yang berkop Presiden Republik
Indonesia. Hal inilah yang menurut Ben dapat menjadi jawaban mengapa
Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.

D. Beberapa Versi Tentang Isi Naskah Supersemar


Dikutip dari Wikipedia, pasca-tumbangnya rezim Orde Baru pimpinan Presiden
Suharto, ada beberapa versi tentang isi naskah Supersemar. Akan tetapi, dari beberapa versi
yang bermunculan tersebut, setidaknya ada tiga versi yang paling dipercaya sebagai
'representasi' atau gambaran dari isi naskah Supersemar yang asli, dimana salah satunya
tentu saja adalah versi rezim Orde Baru yang telah 'dilestarikan' selama 32 tahun. Tiga versi
naskah Supersemar dapat disimak melalui gambar-gambar di bawah ini.

Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) Versi Rezim Orde Baru

9
Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) Versi Sumber Lain

Perbedaan Dua Klausa Dalam Dua Versi Supersemar (Versi Rezim Orde Baru dan Versi Sumber Lain)

10
E. Usaha yang dilakukan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI)

Berbagai usaha pernah dilakukan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia


(ANRI) untuk mendapatkan kejelasan mengenai naskah asli Supersemar. Bahkan,
Arsip Nasional telah berkali-kali meminta kepada Jenderal (Purn.) Muhammad Jusuf
yang merupakan saksi terakhir hingga akhir hayatnya pada tanggal 8 September 2004
silam agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal.
Arsip Nasional juga sempat meminta bantuan Muladi yang saat itu menjabat sebagai
Menteri Sekretaris Negara, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, dan Maulwi
Saelan, bahkan DPR untuk memanggil Jenderal (Purn.) Muhammad Jusuf. Akhirnya,
usaha Arsip Nasional tersebut tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya adalah
mantan Presiden Suharto. Akan tetapi, dengan wafatnya Pak Harto pada tanggal 27
Januari 2008 membuat misteri sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap. Atas
kesimpangsiuran Supersemar tersebut, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia
sepakat mengatakan bahwa peristiwa G-30-S 1965 dan Supersemar 1966 adalah salah
satu dari sekian sejarah nasional Indonesia yang masih 'gelap'.
Pihak Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyatakan setelah
Soeharto lengser tahun 1998 sampai saat ini pihaknya terus mencari naskah asli
Supersemar dan belum ketemu. Hingga saat ini ada 3 versi naskah Supersemar yang
dipastikan tidak asli yaitu: versi sekretariat negara, versi markas besar Angkatan
Darat, dan yang paling baru versi Akademi Kebangsaan Trowulan.

11
F. Persepsi Masyarakat tentang Supersemar
Sebagian orang berpendapat bahwa Supersemar sebenarnya adalah akal-
akalan Jenderal Soeharto dan kroni-kroninya untuk merebut kekuasaan pemerintahan
RI dari tangan Presiden Soekarno. Secara tidak langsung, upaya kudeta yang
dilancarkan PKI melalui G30S/PKI yang gagal total rupanya dimanfaatkan oleh
segelintir elit tinggi Angkatan Darat untuk memaksa Presiden Soekarno menyerahkan
sebagian besar wewenang kekuasaan pemerintah kepada Jenderal Soeharto dan ini
dimanfaatkan sekali oleh Soeharto.
Setelah Jenderal Soeharto memegang Supersemar, dimulailah serangkaian
penderitaan bangsa ini, terutama kami-kami warga keturunan Tionghoa. PKI
dibubarkan tanpa seizin dan sepengetahuan Presiden Soekarno, aktivis dan simpatisan
PKI ditangkapi dan dibunuh, ajaran-ajaran Bung Karno dilarang, foto-foto Bung
Karno diturunkan paksa dan dilarang, orang-orang keturunan Tionghoa ditangkapi
dan tidak boleh beribadah dan tidak boleh ada aksara Mandarin karena kami dituduh
antek komunis, hubungan Indonesia-Tiongkok diputus, dan akhirnya kami warga
keturunan Tionghoa hanya menjadi warga kelas 2 di negeri ini
Namun, ketidakjelasan keberadaan naskah asli Supersemar itulah yang patut
dicurigai. Apakah mungkin naskah asli Supersemar sengaja disembunyikan oleh salah
satu jenderal atau bahkan memang sengaja dihilangkan oleh pemerintah saat itu agar
tidak ada seorang pun yang tahu seperti apa isi asli naskah Supersemar yang
sesungguhnya.

12
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari peristiwa tersebut ternyata masih menyimpan banyak hal yang belum
diketahui banyak orang. Surat perintah yang asli pun hingga sekarang tidak diketahui
dimana surat tersebut. Hanya terdapat beberapa versi dari surat tersebut.

B. SARAN
Semoga bermanfaat bagi pembaca jika ada kekurangan tolong dimaklumi
karena sedang dalam tahap belajar

C. SUMBER
- Wikipedia Bahasa Indonesia - Surat Perintah Sebelas Maret
- Wilardjito, Sukardjo. 2009. Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang
Pengawal Presiden. Yogyakarta: Galang Press.
- Media Indonesia, 30 Agustus 1998 - "Pistol Untuk Supersemar".
- http://www.kompasiana.com/nugroho_sbm/dimanakah-naskah-supersemar-yang-
asli_55290b49f17e61a42e8b45f5

13

Anda mungkin juga menyukai