Anda di halaman 1dari 14

Kebudayaan Batak di Indonesia

Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan

sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang

bermukim dan berasal dari Tapanuli danSumatera Timur, di Sumatera Utara.

Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak

Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.

Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Kristen

Protestan, Kristen Katolik, dan Islam Sunni. Tetapi ada pula yang menganut

kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim dan juga menganut

kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini

jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

A. SISTEM SOSIAL KEMASYARAKATAN BATAK

Orang Batak bercocok tanam padi di sawah dengan irigasi. Pada umumnya,

panen padi berlangsung setahun sekali. Namun, di beberapa tempat ada yang

melakukan panen sebanyak dua atau tiga kali dalam setahun (marsitalolo).

Selain bercocok tanam, peternakan merupakan mata pencarian penting bagi

orang Batak. Di daerah tepi danau Toba dan pulau Samosir, pekerjaan

menangkap ikan dilakukan secara intensif dengan perahu (solu). Konsep

Bahasa, Pengetahuan, dan Teknologi Suku Bangsa Batak

Bahasa, pengetahuan, dan teknologi adalah bentuk budaya dasar sebuah

bangsa atau suku bangsa. Mari kita ulas ketiga aspek tersebut pada suku

bangsa Batak.

1. Bahasa
Suku Batak berbicara bahasa Batak. Bahasa Batak termasuk ke dalam rumpun

bahasa Melayu - Polinesia. Hampir setiap jenis suku Batak memiliki logat

tersendiri dalam berbicara. Oleh karena itu bahasa Batak memiliki 6 logat,

yakni logat Karo oleh orang Batak Karo, logat Pakpak oleh orang Batak

Pakpak, logat Simalungun oleh orang Batak Simalungun, logat Toba oleh

orang Batak Toba, Mandailing, dan Angkola.

2. Pengetahuan

Masyarakat suku Batak mengenal sistem gotong royong kuno, terutama dalam

bidang bercocok tanam. Gotong royong ini disebut raron oleh orang Batak

Karo dan disebut Marsiurupan oleh orang Batak Toba. Dalam gotong royong

kuno ini sekelompok orang (tetangga atau kerabat dekat) bahu-membahu

mengerjakan tanah secara bergiliran.

3. Teknologi

Teknologi tradisional suatu suku bangsa adalah bentuk kearifan lokal suku

bangsa tersebut. Suku bangsa Batak terbiasa menggunakan peralatan

sederhana dalam bercocok tanam, misalnya bajak (disebut tenggala dalam

bahasa Batak Karo), cangkul, sabit (sabi-sabi), tongkat tunggal, ani-ani, dan

sebagainya.

Teknologi tradisional juga diaplikasikan dalam bidang persenjataan.

Masyarakat Batak memiliki berbagai senjata tradisional seperti hujur


(semacam tombak), piso surit (semacam belati), piso gajah dompak (keris

panjang), dan podang (pedang panjang).

Di bidang penenunan pun teknologi tradisional suku Batak sudah cukup

maju. Mereka memiliki kain tenunan yang multifungsi dalam kehidupan adat

dan budaya suku Batak, yang disebut kain ulos.

B. SISTEM KEKERABATAN BATAK

Kekerabatan pada masyarakat Batak memiliki dua jenis, yaitu kekerabatan

yang berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan

pada sosiologis. Semua suku bangsa Batak memiliki marga, inilah yang

disebut dengan kekerabatan berdasarkan geneologis. Sementara kekerabatan

berdasarkan sosiologis terbentuk melalui perkawinan. Sistem kekerabatan

muncul di tengah-tengah masyarakat karena menyankut hukum antar satu

sama lain dalam pergaulan hidup.

Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah yang

disebut dengan marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori

atau puak, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun,

Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Masing-masing puak memiliki ciri

khas nama marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali

persaudaraan di antara mereka. Satu puak bisa memiliki banyak marga.

Marga pada Batak Karo terdapat 5 marga, yaitu marga Karo-karo, Ginting,

Sembiring, Tarigan, dan Parangin-angin. Dari lima marga tersebut terdapat

submarga lagi. Total submarganya ada 84. Adapun Batak Toba, dikatakan
sebagai marga ialah marga-marga pada suku bangsa Batak yang berkampung

halaman (marbona pasogit) di daerah Toba. Salah satu cotoh marga pada

suku bangsa Batak Toba yaitu Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan

Pardede.

Pada suku Batak Pakpak, mereka diikat oleh struktur sosial yang dalam istilah

setempat dinamakan sulang silima yang terdiri dari lima unsur, yaitu Sinina

tertua (Perisang-isang, keturunan atau generasi tertua), Sinina penengah

(Pertulan tengah, keturunan atau generasi yang di tengah), Sinina terbungsu

(perekur-ekur, keturunan terbungsu), Berru yakni kerabat penerima gadis,

dan Puang yakni kerabat pemberi gadis.

Kelima unsur ini sangat berperan dalam proses pengambilan keputusan dalam

berbagai aspek kehidupan terutama dalam sistem kekerabatan, upacara adat

maupun dalam konteks komunitas lebbuh atau kuta. Artinya ke lima unsur ini

harus terlibat agar keputusan yang diambil menjadi sah secara adat.

Lalu pada Batak Simalungun terdapat empat marga asli suku Simalungun

yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu Sinaga, Saragih, Damanik,

dan Purba. Keempat marga ini merupakan hasil dari Harungguan

Bolon (permusyawaratan besar) antara empat raja besar dari masing-masing

raja tersebut, untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan.

Sementara pada Batak Mandailing hanya dikenal beberapa marga saja, antara

lain Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang,

Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay,

Matondang, dan Hutasuhut.


Kelompok kekerabatan Batak diambil dari garis keturunan laki-laki atau

patrilineal. Seorang Batak merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki

anak laki-laki yang meneruskan marganya. Menurut buku "Leluhur Marga

Marga Batak", jumlah seluruh Marga Batak sebanyak 416, termasuk marga

suku Nias.

Untuk menentukan seorang bangsa Batak berasal garis keturunan mana,

mereka menggunakan Torombo. Dengan tarombo seorang Batak mengetahui

posisinya dalam sebuah marga. Orang Batak meyakini, bahwa kekerabatan

menggunakan Torombo ini dapat diketahui asal-usulnya yang berujung pada

Si Raja Batak.

Bagi Batak Toba, Si Raja Batak adalah anak perempuan dari keturunan Debata

Muljadi Nabolon, Tuhan pencipta bumi dan isinya. Tuhan ini memerintah ibu

Si Raja Batak untuk menciptakan bumi, dan ibunya tinggal di

daerah bernama Siandjurmulamula. Daerah tersebut menjadi tempat tinggal

Si Raja Batak dan keturunannya. Daerah ini adalah tanah Batak, dimana

tempat seluruh orang Batak berasal.

Perkawinan

Bagi bangasa Batak, khusunya Batak Toba, sesama satu marga dilarang saling

mengawini. Jika melanggar ketetapan ini, maka si pelanggar akan

mendapatkan sanksi adat. Hal ini ditujukan untuk menghormati marga

seseorang. Juga supaya keturunan marga tersebut dapat berkembang. Ini

menunjukan bahwa mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan

marga memiliki kedudukan yang tinggi.


Bagi bangsa Batak, perkawinan mengandung nilai sakral. Oleh karenya

kesakralan tersebut harus disertai dengan sebuah adat perkawinan. Dikatakan

sakral karena bermakna pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan. Ia

“berkorban” memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak

perempuan kepada orang lain pihak paranak, pihak penganten pria. Pihak

pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan atau

mempersembahkan satu nyawa juga berupa penyembelihan seekor sapi atau

kerbau. Hewan tersebut akan menjadi santapan atau makanan adat dalam

ulaon unjuk (adat perkawinan Batak).

Terdapat beberapa rangkaian upacara adat perkawinan bangsa Batak.

Rangkaian pertama sebagai pembuka adalah Mangariksa dan Pabangkit Hata.

Mangariksa adalah kunjungan dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak

wanita, lalu dilanjutkan dengan proses Pabangkit Hata atau lamara.

Rangkaian kedua adalah Marhori-Hori Dinding, yaitu membicarakan lebih

lanjut mengenai rencana perkawinan serta pestanya. Ketiga adalah Patua

Hata, yakni para orang tua memberikan petuah atau nasihat sebagai bekal

kepada kedua mempelainya nanti. Proses ini merupakan proses yang amat

serius.

Keempat adalah rangkaian yang dinamakan Marhata Sinamot, yakni pihak

pria mendatangi pihak wanita untuk membicarakan uang jujur atau dalam

bahasa Batak adalah tuhor. Selanjutnya adalah Pudun Sauta atau makan

bersama kedua belah pihak. Makanan yang dibawa berasal dari pihak pria.

Lalu dilanjutkan dengan rangkaian keenam yakni Martumpol,

yaitu penandatanganan surat perstejuan kedua belah pihak. Kemudian


rangkaian ketujuah adalah Martonggo Raja, yaitu seremoni atau pernikahan

yang akan digelar. Prosesi ini memberitahukan kepada masyarakat mengenai

pernikahan yang akan digelar.

Rangkaian kedelapan adalah Manjalo Pasu-pasu Parbagosan, yaitu

pemberkatan kedua pengantin yang dilakukan oleh pihak gereja bila agama

mereka adalah Kristen Protestan. Prosesi ini merupakan hal yang terpenting

dan tak boleh dilewatkan karena orang Batak adalah penganut Kristen yang

taat. Rangkaian terakhir adalah Pesta Unjuk. Prosesi ini merupakan rangkaian

terakhir dari keseluruhan rangkaian pernikahan. Semua keluarga berpesata

dan membagikan jambar atau daging kepada pihak keluarga.

Rangkaian tersebut memang nampak ribet, rumit dan merepotkan. Tetapi itu

merupakan suatu kebudayaan yang dimiliki salah satu suku bangsa Indonesia.

Pembagian Harta Warisan

Dalam pembagian warisan, yang mendapatkan warisan adalah anak laki-laki

karena Batak berdasarkan kekerabatan patrilineal. Sedangkan anak

perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya, atau dengan kata

lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian

harta warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan karena

pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling

kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dan dia mendapatkan

warisan yang khusus.

Jika tidak memiliki anak laki-laki, maka hartanya jatuh ke tangan saudara

ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari

harta orang tua. Alasannya karena saudara ayah yang memperoleh warisan
tersebut, harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris

sampai mereka berkeluarga. Melihat sistem pembagian hara warisan pada

adat Batak, masih terkesan Kuno. Peraturan adat istiadatnya lebih terkesan

ketat dan tegas. Hal itu ditunjukkan dalam pewarisan anak perempuan tidak

mendapatkan apapun.

Adapaun pada Batak yang memiliki kepercaan Parmalim, pembagian harta

warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan

sistem kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional

kekeluargaan. Bukan berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional.

Biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak-anak mereka dalam

pembagian harta warisan.

C. ADAT ISTIADAT DAN KEBUDAYAAN BATAK

Umumnya setiap kematian merupakan suatu peristiwa kemalangan yang

menimpa satu keluarga atau perorangan. Dan, kematian menjadi peristiwa

yang sangat memilukan untuk semua mahluk hidup yang ada didunia ini.

Namun, tidak selamanya kematian menjadi saat-saat paling menyedihkan

didunia ini. Dalam Suku Batak, kematian kerap dirayakan dan dipestakan

sesuai dengan aturan adat istiadat masing-masing Orang Batak.

'Sari Matua' ialah untuk pesta kematian bagi suku Batak. Yakni seorang Orang

tua yang sudah meninggal, memiliki cucu namun masih memiliki Anak yang

belum menikah. Biasanya para Anak dari Orangtua yang meninggal, pada
saat pesta Sari Matua, akan mengorbankan 1 ekor Binatang Babi, untuk

dijadikan konsumsi pada acara pesta tersebut.

'Saur Matua' ialah untuk pesta kematian bagi suku Batak. Yakni seorang

Orang Tua yang sudah meninggal, dan semua Anaknya sudah menikah.

Untuk pesta Saur Matua ini, para Anak wajib mengorbankan setidaknya 2

ekor Binatang Babi, atau 1 ekor Binatang Kerbau atau Sapi, untuk dijadikan

konsumsi pada acara pesta tersebut.

Masih untuk adat istiadat kematian bagi suku Batak, biasanya kuburan bagi

Orang Batak, yang dahulunya bekas kepala suku atau kepala dusun ataupun

kepala desa, wajib dibuat patung yang menyerupai dirinya, diatas kuburannya

tersebut.

Alasan mengapa Orang Batak lama dikebumikan setelah wafat, ialah karena

harus menunggu Anak atau Orangtua serta sanak saudara berkumpul terlebih

dahulu. Dan tidak ada alasan untuk mendahului penguburan, sebelum

Keluarga kandung berkumpul lengkap.

Dan alasan selanjutnya, karena acara pesta adat kematian, tergantung

sebagaimana jenis acara pesta kematiannya tersebut. - See more at:

http://www.riau24.com/artikel/rubrik-ragam/336-acara-dan-adat-istiadat-

kematian-bagi-suku-batak/#sthash.sjhhmDg6.dpuf
Konsep Religi Suku Bangsa Batak - Debata Mulajadi Na Bolon

Di daerah Batak atau yang dikenal dengan suku bangsa Batak, terdapat

beberapa agama, Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan). Agama Islam

disyiarkan sejak 1810 dan sekarang dianut oleh sebagian besar orang Batak

Mandailing dan Batak Angkola.

Agama Kristen Katolik dan Protestan disyiarkan ke Toba dan Simalungun oleh

para zending dan misionaris dari Jerman dan Belanda sejak 1863. Sekarang

ini, agama Kristen (Katolik dan Protestan) dianut oleh sebagian besar orang

Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun, dan Batak Pakpak.

Orang Batak sendiri secara tradisional memiliki konsepsi bahwa alam ini

beserta isinya diciptakan oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Debata Kaci-kaci

dalam bahasa Batak Karo).

Debata Mulajadi Na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki

kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam

Debata Natolu, yaitu Siloan Nabolon (Toba) atau Tuan Padukah ni Aji (Karo).

Menyangkut jiwa dan roh, orang Batak mengenal tiga konsep yaitu sebagai

berikut.

 Tondi, adalah jiwa atau roh seseorang yang sekaligus merupakan

kekuatannya.
 Sahala, adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang.

 Begu, adalah tondi yang sudah meninggal.


Konsep Ikatan Kerabat Patrilineal Suku Bangsa Batak

Perkawinan pada orang Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya

mengikat seorang laki-laki atau perempuan. Perkawinan juga mengikat kaum

kerabat laki-laki dan kaum kerabat perempuan.

Menurut adat lama pada orang Batak, seorang laki-laki tidak bebas dalam

memilih jodoh. Perkawinan antara orang-orang rimpal, yakni perkawinan

dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya, dianggap ideal.

Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan satu marga dan perkawinan

dengan anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya.

Kelompok kekerabatan orang Batak memperhitungkan hubungan keturunan

secara patrilineal, dengan dasar satu ayah, satu kakek, satu nenek moyang.

Perhitungan hubungan berdasarkan satu ayah sada bapa (bahasa Karo) atau

saama (bahasa Toba). Kelompok kekerabatan terkecil adalah keluarga

batih(keluarga inti terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak).

Dalam kehidupan masyarakat Batak, ada suatu hubungan kekerabatan yang

mantap. Hubungan kekerabatan itu terjadi dalam kelompok kerabat

seseorang, antara kelompok kerabat tempat istrinya berasal dengan kelompok

kerabat suami saudara perempuannya.


Tiap-tiap kelompok kekerabatan tersebut memiliki nama sebagai berikut.

 Hula-hula; orang tua dari pihak istri, anak kelompok pemberi gadis.

 Anak boru; suami dan saudara (hahaanggi) perempuan kelompok

penerima gadis.

 Dongan tubu; saudara laki-laki seayah, senenek moyang, semarga,

berdasarkan patrilineal.
Konsep Pemimpin Politik Suku Bangsa Batak

Pada masyarakat Batak, sistem kepemimpinan terdiri atas tiga bidang.

1. Bidang adat. Kepemimpinan pada bidang adat ini tidak berada

dalam tangan seorang tokoh, tetapi berupa musyawarah Dalihan Na

Tolu (Toba), Sangkep Sitelu (Karo). Dalam pelaksanaannya, sidang

musyawarah adat ini dipimpin oleh suhut (orang yang mengundang

para pihak kerabat dongan sabutuha, hula-hula, dan boru dalam

Dalihan Na Tolu).

2. Bidang agama. Agama Islam dipegang oleh kyai atau ustadz,

sedangkan pada agama Kristen Katolik dan Protestan dipegang oleh

pendeta dan pastor.

3. Bidang pemerintahan. Kepemimpinan di bidang pemerintahan

ditentukan melalui pemilihan.

Anda mungkin juga menyukai