Menu
Skip to content
Home
About My Self
My Story
o Ga RELA -___-
o kegiatan dikelas selama pekan ulangan :D
o Pertama Kalinya Gue pake JILBAB
Education
o Bahasa Indonesia
Contoh Cerpen
Contoh Pembuatan Iklan Photography
o Ilmu Pengetahuan Alam
Dampak-Dampak Polusi
Daur Biogeokimia
o Ilmu Pengetahuan Sosial
7 unsur kebudayaan
Suku Batak
suku betawi
suku dayak
suku minangkabu
Sport
o Makalah Renang
o Sea Games XXVI 2011
Psychology
o Tips Rahasia Lulus Psikotes
o Test Aritmatika
o Test Logika Angka
o Test Logika Aritmatika
o Test Logika Formil
o Test Menggambar
o Test Reading
o Test Seri
o Wartegg Test
Suku Batak
“Suku Batak”
A. Suku Batak
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah
terma kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan
berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak
adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola,
dan Batak Mandailing.
Kerajaan Batak didirikan oleh seorang Raja dalam negeri Toba sila-silahi (silalahi)
lua’ Baligi (Luat Balige), kampong Parsoluhan, suku pohan. Raja yang bersangkutan
adalah Raja Kesaktian yang bernama Alang Pardoksi (Pardosi). Masa kejayaan
kerajaan Batak dipimpin oleh raja yang bernama Sultan Maharaja Bongsu pada tahun
1054 Hijriyah berhasil memakmurkan negerinya dengan berbagai kebijakan
politiknya.
Topografi dan alam Tapanuli yang subur, telah menarik orang-orang Melayu Tua
(Proto Melayu) untuk bermigrasi ke wilayah Danau Toba sekitar 4.000 – 7.000 tahun
lalu. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang-orang Austronesia
dari Taiwan telah berpindah ke Sumatera dan Filipina sekitar 2.500 tahun lalu, dan
kemungkinan orang Batak termasuk ke dalam rombongan ini.
Selama abad ke-13, orang Batak melakukan hubungan dengan kerajaan Pagaruyung
di Minangkabau yang mana hal ini telah menginspirasikan pengembangan aksara
Batak. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang
Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kamper yang diusahakan
oleh petani-petani Batak di pedalaman. Produksi kamper dari tanah Batak berkualitas
cukup baik, sehingga kamper menjadi komoditi utama pertanian orang Batak, di
samping kemenyan.
Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya
pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya,
perdagangan kamper mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang
mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka
terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatera bagian utara tidak
terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad
ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu,
antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran
untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar.
Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah
keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial.Dalam disertasinya J. Pardede
mengemukakan bahwa istilah “Tanah Batak” dan “rakyat Batak” diciptakan oleh
pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak
Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo
maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah
membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki
berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Bukit, salah satu puncak di barat
Danau Toba, adalah tempat “kelahiran” bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut
juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian
disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra.
Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan
sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka
Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung
di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk
masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan
dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke
pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad
ke-14 untuk menguasai Barus.
Suku bangsa Batak dari Pulau Sumatra Utara. Daerah asal kediaman orang Batak
dikenal dengan Daratan Tinggi Karo, Kangkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu,
Simalungun, Toba, Mandailing dan Tapanuli Tengah. Daerah ini dilalui oleh
rangkaian Bukit Barisan di daerah Sumatra Utara dan terdapat sebuah danau besar
dengan nama Danau Toba yang menjadi orang Batak. Dilihat dari wilayah
administrative, mereka mendiami wilayah beberapa Kabupaten atau bagian dari
Wilayah Sumatra Utara. Yaitu Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara
dan Asahan
Kabupaten-kabupaten di Sumatera
Utara yang diwarnai, memiliki mayoritas penduduk Batak.
Ø Pengetahuan
Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam.
Dalam bahasa karo aktifitas itu disebut Raron, sedangkan dalam Bahasa Toba hal itu
disebut Marsiurupan. Sekolompok orang tetangga atau kerabat dekat bersama-sama
mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran. Raron itu
merupakan satu pranata yang keanggotaannya sangat sukarela dan lamanya berdiri
tergantung kepada persetujuan pesertanya.
Ø Teknologi
Ø Kekerabatan
Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak berdiam di daerah pedesaan yang disebut
Huta atau Kuta menurut istilah Karo. Biasanya satu Huta didiami oleh keluarga dari
satu marga. Ada pula kelompok kerabat yang disebut marga taneh yaitu kelompok
pariteral keturunan pendiri dari kuta. Marga tersebut terikat oleh symbol-simbol
tertentu misalnya nama marga. Klen kecil tadi merupakan kerabat patrilineal yang
masih berdiam dalam satu kawasan. Sebaliknya klen besar yang anggotanya sudah
banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka dapat mengenali
anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama kecilnya,
Stratifikasi sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip yaitu : perbedaan
tingkat umur, perbedaan pangkat dan jabatan, perbedaan sifat keaslian dan , status
kawin. Berikut merupakan sistem kekerabatan dari suku Batak.
1. Kelahiran
Mangirdak : dalam suku batak apabila seorang putra batak menikah dengan
dengan seorang perempuan baik dari suku yang sama maupun yang beda, ada
beberapa aturan atau kebiasaan yang harus dilaksanakan. Sebagai contoh, seorang
putra batak yang bermarga Pardede menikah maka sudah merupakan kebiasaan jika
orangtua dari istri disertai rombongan dari kaum kerabat datang menjenguk putrinya
dengan membawa makanan ala kadarnya ketika menjelang kelahiran, hal kunjungan
ini disebut dengan istilah Mangirdak (membangkitkan semangat). Makna spiritualitas
yang terkandung adalah kewibawaan dari seorang anak laki-laki dan menunjukkan
perhatian dari orangtua si perempuan dalam memberikan semangat.
Pemberian Ulos Tondi : ada juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan
selembar ulos yang dinamakan ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh si
putri dan suaminya). Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan. Makna
spiritualitas yang terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian ulos ini
dapat memberikan ataupun menguatkan jiwa kepada suami istri yang baru saja
mempunyai kebahagiaan dengan adanya kelahiran.
Martutu Aek : pada hari ketujuh setelah bayi lahir, bayi tersebut dibawa ke
pancur dan dimandikan dan dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang
dikenal dengan pesta Martutu Aek yang dipimpin oleh pimpinan agama saat itu yaitu
Ulu Punguan. Hal ini telah ditentukan oleh sibaso tersebut dan dilakukan pada waktu
pagi-pagi waktu matahari terbit kemudian sang ibu menggendong anaknya yang pergi
bersama-sama dengan rombongan para kerabatnya menuju ke suatu mata air dekat
kampung mereka. Setelah sampai disana, bayi dibaringkan dalam keadaan telanjang
dengan alaskan kain ulos. Kemudian sibaso menceduk air lalu menuangkannya ke
tubuh si anak, yang terkejut karenanya dan menjerit tiba-tiba. Melalui ritus ini,
keluarga menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air Boru
Saniang Naga yang merupakan representasi kuasa Mulajadi Nabolon dan roh-roh
leluhur untuk menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat
sekaligus meminta agar semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe). Upacara
martutu aek biasanya dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan,
mebang). Kita tahu pada zaman dahulu pekan atau pasar (onan) terjadi satu kali
seminggu. Onan adalah symbol pusat kehidupan dan keramaian sekaligus symbol
kedamaian. Orangtua si bayi akan membawa bayi ke tempat itu dan sengaja membeli
lepat (lapet) atau pisang di pasar dan membagi-bagikan kepada orang yang dikenalnya
sebagai tanda syukur dan sukacitanya. Pada acara marhata sesudah makan, maka
diumumkan lah nama si bayi. Bila anak yang lahir ini adalah anak pertama maka
sudah biasa bila ada pemberian sawah oleh orangtua serta mertua untuk modal kerja .
Namun pada saat pemberian nama pada waktu itu, peran dari sibaso sangat besar
karena keluarga meminta rekomendasi sibaso untuk sebuah nama, jika sibaso tidak
menyetujui nama yang dianggapnya tidak baik maka orangtua dari si bayi pun akan
mengganti nama itu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah memberikan
kekuatan kepada tubuh si anak yang lahir dimana dengan adanya persembahan-
persembahan kepada dewi air Boru saniang naga sehingga si anak kelak mempunyai
daya tahan tubuh yang kuat dan tidak mudah terserang penyakit.
2. Perkawinan
Pada dasarnya, Adat Pernikahan Adat & Pernikahan Batak, mengandung nilai sakral.
Dikatakan sakral karena dalam pemahaman Pernikahan Batak, , bermakna
pengorbanan bagi parboru (pihak penganten perempuan) karena ia “berkorban”
memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuannya kepada orang
lain pihak paranak (pihak penganten pria) , yang menjadi besarnya nanti, sehingga
pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan/ mempersembahkan satu
nyawa juga yaitu menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau), yang kemudian
menjadi santapan (makanan adat) dalam ulaon unjuk/ Pernikahan Adat itu.
Sebagai bukti bahwa santapan /makanan adat itu adalah hewan yang utuh, pihak pria
harus menyerahkan bagian-bagian tertentu hewan itu (kepala, leher, rusuk melingkar,
pangkal paha, bagian bokong dengan ekornya masih melekat, hatu, jantung dll).
Bagian-bagian tersebut disebut tudu-tudu sipanganon (tanda makanan adat) yang
menjadi jambar yang nanti dibagi-bagikan kepada para pihak yang berhak, sebagai
tanda penghormatan atau legitimasi sesuai fungsi-fungsi (tatanan adat)
keberadaan/kehadira n mereka didalam acara adat tersebut, yang disebut parjuhut.
Sebelum misi/zending datang dan orang Batak masih menganut agama tradisi lama,
lembu atau kerbau yang dipotong ini ( waktu itu belum ada pinahan lobu) tidak
sembarang harus yang rerbaik dan dipilih oleh datu. Barangkali ini menggambarkan
hewan yang dipersembahkan itu adalah hewan pilihan sebagai tanda/simbol
penghargaan atas pengorbanan pihak perempuan tersebut. Cara memotongnya juga
tidak sembarangan, harus sekali potong/sekali sayat leher sapi/kerbau dan disakasikan
parboru (biasanya borunya) jika pemotongan dilakukan ditempat paranak (ditaruhon
jual). Kalau pemotongan ditempat parboru (dialap jual) , paranak sendiri yang
menggiring lembu/kerbau itu hidup-hidup ketempat parboru. Daging hewan inilah
yang menjadi makanan pokok “ parjuhut” dalam acara adat perkawinan (unjuk itu).
Baik acara adat diadakan di tempat paranak atau parboru, makanan/juhut itu tetap
paranak yang membawa /mempersembahkan.
Kalau makanan tanpa namargoar bukan makanan adat tetapi makanan rambingan biar
bagaimanpun enak dan banyaknya jenis makananannya itu. Sebaliknya
“namargoar/tudu- tudu sipanagnaon” tanpa “juhutnya” bukan namrgoar tetapi
“namargoar rambingan” yang dibeli dari pasar. Kalau hal ini terjadi di tempat paranak
bermakna “paranak” telah melecehkan parboru, dana kalau ditempat parboru (dialap
jula) parboru sendiri yang melecehkan dirinya sendiri. Dari pengamatan hal seperti ini
sudah terjadi dua kali di Batam, yang menunjukkan betapa tidak dipahami nilai luhur
adat itu.
Anggapan acara Perkawinan Adat & Perkawinan Batakrumit dan bertele-tele adalah
keliru, sepanjang ia diselenggarakan sesuai pemahamn dan nilai luhur adat itu sendiri.
Ia menajdi rumit dan bertele-tele karena diselenggrakan sesuai pamaham atau
seleranya.
3. Kematian
Ada banyak jenis kematian pada adat suku Batak, diantaranya adalah Sari Matua,
Saur Matua, mauli bulung. Jenis kematian lain seperti “Martilaha” (anak yang belum
berumah tangga meninggal dunia), “Mate Mangkar” (yang meninggal suami atau
isteri, tetapi belum berketurunan), “Matipul Ulu” (suami atau isteri meninggal dunia
dengan anak yang masih kecil-kecil), “Matompas Tataring” (isteri meninggal lebih
dahulu juga meninggalkan anak yang masih kecil).
Sari matua adalah seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau isteri yang
sudah bercucu baik dari anak laki-laki atau putri atau keduanya, tetapi masih ada di
antara anak-anaknya yang belum kawin (hot ripe).Mengacu kepada defenisi diatas,
seseorang tidak bisa dinobatkan (dialihkan statusnya dari Sari Matua ke Saur Matua.
Namun dalam prakteknya, ketika hasuhuton “marpangidoan” (bermohon) kepada
dongan sahuta, tulang, hula-hula dan semua yang berhadir pada acara ria raja atau
pangarapotan, agar yang meninggal Sari Matua itu ditolopi (disetujui) menjadi Saur
Matua.
Sering hasuhuton beralasan, “benar masih ada anak kami yang belum hot ripe
(kawin), tetapi ditinjau dari segi usia sudah sepantasnya berumah tangga, apalagi
anak-anak kami ini sudah bekerja dan sebenarnya, anak kami inilah yang
membelanjai orang tua kami yang tengah terbaring di rumah duka. “Semoga dengan
acara adat ini mereka secepatnya menemukan jodoh (asa tumibu dapotan sirongkap ni
tondi, manghirap sian nadao, manjou sian najonok). Status Sari Matua dinaikkan
setingkat menjadi Saur Matua seperti ini ditemukan pada beberapa acara adat.
Tokoh adat diatas berkomentar, permintaan hasuhuton itu sudah memplesetkan nilai
adat yang diciptakan leluhur. Pengertian Sari Matua, orang itu meninggal, sebelum
tugasnya sebagai orang tua belum tuntas yakni mengawinkan anak-anaknya. Tidak
diukur dari segi umur, pangkat, jabatan dan kekayaan.
Mereka memprediksi, terjadinya peralihan status, didorong oleh umpasa yang disalah
tafsirkan yakni: “Pitu lombu jonggi, marhulang-hulanghon hotang, raja pinaraja-raja,
matua husuhuton do pandapotan.” (semua tergantung suhut). Umpasa ini sasarannya
adalah untuk “sibuaton” (parjuhutna-boan), karena bisa saja permintaan hadirin
parjuhutna diusulkan lombu sitio-tio atau horbo, tetapi karena kurang mampu,
hasuhuton menyembelih simarmiak-miak (B2), atau sebaliknya jika mampu,
simarmiak-miak marhuling-hulinghon lombu, simarmiak-miak marhuling-hulinghon
horbo. Faktor lain ujar mereka, adanya “ambisi” pihak keluarga mengejar cita-cita
orang Batak yakni hamoraon, hagabeon, hasangapon. Selanjutnya, dongan sahuta,
terkesan “tanggap mida bohi”, karena mungkin pihak hasuhuton orang “terpandang”.
Selanjutnya, ada pula berstatus “Mate Mangkar” berubah menjadi Sari Matua, karena
diantara anaknya sudah ada yang berumah tangga namun belum dikaruniai cucu.
Hasuhuton beralasan, parumaen (menantu) sudah mengandung (“manggora pamuro”).
Hebatnya lagi, parjuhutna (boan) sigagat duhut (bukan simarmiak-miak merhuling-
hulinghon horbo).Saya kurang setuju menerima adat yang demikian”, ujar Ev H
Simanjuntak. Lahir dulu, baru kita sebut Si Unsok atau Si Butet, kalau orang yang
meninggal tadi dari Mate Mangkar menjadi Sari Matua, lalu ompu si apa kita sebut?
Ompu Sipaimaon?”, katanya memprotes. Kalau hanya mengharapkan manjalo
tangiang menjadi partangiangan, kenapa kita sungkan menerima apa yang diberikan
Tuhan kepada kita, sambungnya. Soal boan sigagat duhut, menurut Simanjuntak, hal
itu sudah melampaui ambang batas normal adat Batak. Seharusnya simarmiak-miak,
karena kerbau adalah ternak yang paling tinggi dalam adat Batak, tegasnya. Ulos
tujung dan sampe tua.
Ulos tujung, adalah ulos yang ditujungkan (ditaruh diatas kepala) kepada mereka yang
menghabaluhon (suami atau isteri yang ditinggalkan almarhum). Jika yang meninggal
adalah suami, maka penerima tujung adalah isteri yang diberikan hula-hulanya.
Sebaliknya jika yang meninggal adalah isteri, penerima tujung adalah suami yang
diberikan tulangnya. Tujung diberikan kepada perempuan balu atau pria duda karena
“mate mangkar” atau Sari Matua, sebagai simbol duka cita dan jenis ulos itu adalah
sibolang.
Dahulu, tujung itu tetap dipakai kemana saja pergi selama hari berkabung yang
biasanya seminggu dan sesudahnya baru dilaksanakan “ungkap tujung” (melepas ulos
dari kepala). Tetapi sekarang hal itu sudah tidak ada lagi, sebab tujung tersebut
langsung diungkap (dibuka) oleh tulang ataupun hula-hula sepulang dari kuburan
(udean). Secara ratio, yang terakhir ini lebih tepat, sebab kedukaan itu akan lebih
cepat sirna, dan suami atau isteri yang ditinggal almarhum dalam waktu relatif singkat
sudah dapat kembali beraktifitas mencari nafkah. Jika tujung masih melekat di kepala,
kemungkinan yang bersangkutan larut dalam duka (margudompong) yang eksesnya
bisa negatif yakni semakin jauh
dari Tuhan atau pesimis bahkan apatis.
Ulos Sampe Tua, adalah ulos yang diberikan kepada suami atau isteri almarhum yang
sudah Saur Matua, tetapi tidak ditujungkan diatas kepala, melainkan diuloskan ke
bahu oleh pihak hula-hula ataupun tulang. Jenis ulos dimaksud juga bernama
Sibolang. Ulos Sampe Tua bermakna Sampe (sampailah) tua (ketuaan-berumur
panjang dan diberkati Tuhan) Akhir-akhir ini pada acara adat Sari Matua, sering
terlihat ulos yang seharusnya adalah tujung, berobah menjadi ulos sampe tua.
Alasannya cukup sederhana, karena suami atau isteri yang ditinggal sudah kurang
pantas menerima tujung, karena faktor usia dan agar keluarga yang ditinggalkan
beroleh tua.
Konsekwensi penerima ulos Sampe Tua adalah suami ataupun isteri tidak boleh
kawin lagi. Seandainya pesan yang tersirat pada ulos Sampe Tua ini dilanggar, kawin
lagi dan punya anak kecil lalu meninggal, ulos apa pula namanya. Tokoh adat Ev H
Simanjuntak, BMT Pardede, Raja Partahi Sumurung Janter Aruan SH dan Constant
Pardede berpendapat sebaiknya ulos yang diberikan adalah tujung, sebab kita tidak
tahu apa yang terjadi kedepan. Toh tujung itu langsung dibuka sepulang dari kuburan,
ujar mereka.
Saur Matua adalah Seseorang yang ketika meninggal dunia dalam posisi “Titir
maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru”. Tetapi
sebagai umat beragama, hagabeon seperti diuraikan diatas, belum tentu dimiliki
seseorang. Artinya seseorang juga berstatus saur matua seandainya anaknya hanya
laki-laki atau hanya perempuan, namun sudah semuanya hot ripe dan punya
cucu.Khusus tentang parjuhutna, Ev H Simanjuntak bersama rekannya senada
mengatakan, yang cocok kepada ina adalah lombu sitio-tio atau kalau harus horbo,
namanya diperhalus dengan sebutan “lombu sitio-tio marhuling-hulinghon horbo”.
Sebab kelak jika bapak yang meninggal, “boan”-nya adalah horbo (sigagat duhut).
Diminta tanggapannya apakah keharusan boan dari mereka yang Saur Matua
lombu sitio-tio atau sigagat duhut, tokoh adat ini menjelaskan, hal itu relatif
tergantung kemampuan hasuhuton, bisa saja simarmiak-miak. Disinilah pemakaian
umpasa “Pitu lombu jonggi, marhulang-hulanghon hotang, raja pinaraja-raja, matua
hasuhuton do pandapotan”. Kalangan hula-hula, terutama dongan sahuta harus
memaklumi kondisi dari hasuhuton agar benar-benar “tinallik landorung bontar
gotana, sada sitaonon do na mardongan sahuta nang pe pulik-pulik margana”. Jangan
terjadi seperti cerita di Toba, akibat termakan adat akhirnya mereka lari malam
(bungkas) kata mereka.
Masih seputar Saur Matua khususnya kepada kaum bapak, predikat isteri tercinta,
kawin lagi dan punya keturunan. Kelak jika bapak tersebut meninggal dunia, lalu anak
yang ditinggalkan berstatus lajang, sesuai dengan defenisi yang dikemukakan diawal
tulisan ini, sang bapak menjadi Sari Matua.
Mauli Bulung adalah seseorang yang meninggal dunia dalam posisi titir
maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru sahat tu
namar-nini, sahat tu namar-nono dan kemungkinan ke “marondok-ondok” yang
selama hayatnya, tak seorangpun dari antara keturunannya yang meninggal dunia
(manjoloi) (Seseorang yang beranak pinak, bercucu, bercicit mungkin hingga ke
buyut).Dapat diprediksi, umur yang Mauli Bulung sudah sangat panjang, barangkali
90 tahun keatas, ditinjau dari segi generasi. Mereka yang memperoleh predikat mauli
bulung sekarang ini sangat langka.
Dalam tradisi adat Batak, mayat orang yang sudah Mauli Bulung di peti mayat
dibaringkan lurus dengan kedua tangan sejajar dengan badan (tidak dilipat).
Kematian seseorang dengan status mauli bulung, menurut adat Batak adalah
kebahagiaan tersendiri bagi keturunannya. Tidak ada lagi isak tangis. Mereka boleh
bersyukur dan bersuka cita, berpesta tetapi bukan hura-hura, memukul godang ogung
sabangunan, musik tiup, menari, sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih
kepada Tuhan yang Maha Kasih lagi Penyayang.
Ø Mata Pencaharian
Pada umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan
didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap keluarga mendapat tanah tadi ,
tetapi tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapaun tanah yang dimiliki
perseorangan. Peternakan juga salah satu mata pencaharian suku Batak antara lain
peternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan
dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan yang
berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada
kaitannya dengan pariwisata.
Ø Religi
Pada abad 19 agama islam masuk daerah penyebarannya meliputi batak selatan.
Agama Kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebarannya meliputi batak utara.
Walaupun demikian banyak sekali masyarakat didaerah pedesaan yang masih
mempertahankan konsep asli religi penduduk batak. Orang batak mempunyai
konsepsi bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debata Mula Jadi Na
Bolon dan bertempat tinggal diatas langit dan mempunyai nama-nama sesuai dengan
tugasnya dan kedudukannya:
1). Debata Mula Jadi Na Bolon : bertempat tinggal diatas langit dan merupakan maha
pencipta;
2). Siloan Na Balom : berkedudukan sebagai penguasa dunia makhluk halus. Dalam
hubungannya dengan roh dan jiwa. Orang Batak mengenal tiga konsep yaitu : tondi,
jiwa, atau roh;
Ø Kesenian
Seni Tari yaitu Tari Tor-Tor (bersifat magis); Tari Serampang dua belas (bersifat
hiburan). Alat music tradisional : Gong; Saga-saga. Hasil kerajinan tenun dari suku
batak adalah kain ulos. Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan,
mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu
yang dihormati dan upacara Tor-tor. Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan yang
diwariskan nenek moyang.
Ø Kekerabatan
Ø Hagabeon
Nilai budaya yang bermakna harapan panjang umur, beranak, bercucu banyak, dan
semua hal yang baik-baik
Nilai Uhum orang Batak tercermin pada kesungguhan dalam menegakkan keadilan
sedangkan Ugari terlihat dalam kesetiaan akan sebuah janji.
Ø Pengayoman
Ø Marsisarian
Suatu nilai yang berarti saling mengerti, menghargai, dan saling membantu.
Aspek pembangunan dari suku Batak yaitu masuknya sistem sekolah dan timbulnya
kesempatan untuk memperoleh prestise social. Terjadinya jaringan hubungan
kekerabatan yang berdasarkan adat dapat berjalan dengan baik. Adat itu sendiri bagi
orang Batak adalah suci. Melupakan adat dianggap sangat berbahaya.