Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

SEJARAH BUDAYA BA
TAK

ALIYA
B1 – PAGI
2203100075

FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa penulis
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan penulis berharap lebih jauh
lagi agar makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca serta dapat menambah
pengetahuan tentang sejarah budaya batak.
Bagi penulis sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Medan, Oktober 2022


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu budaya dasar adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk


mengenai konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah manusia dan
kebudayaan. Ilmu budaya dasar dikembangkan di Indonesia sebagai pengganti
basic humanities yaitu nilai-nilai manusia sebagai homo humanus atau
manusia berbudaya.
Kebudayaan atau sering dikatakan suku di Indonesia terdiri dari
berbagai macam jenis sesuai dengan daerah yang ditempati. Mulai dari Sabang
sampai Merauke memiliki suku atau kebudayaan masing-masing. Misalnya di
Sumatera Barat terkenal dengan suku Minang, Kalimantan barat yaitu suku
Dayak, suku Bugis di Sulawesi Selatan, suku Sunda di Jawa Barat, suku Batak
di Sumatera Utara dan lain sebagainya.
Pembahasan yang akan dipaparkan adalah mengenai salah satu suku di
Indonesia yaitu suku Batak. Suku Batak merupakan sebuah nama kolektif
untuk mengidentifikasi beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari
Tapanuli dan Sumatera Timur di Sumatera Utara. Suku bangsa yang
dikategorikan sebagai Batak adalah Batak Toba,  Batak Karo,  Batak Pakpak,
Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Suku Batak di atas memiliki adat, kebiasaan agama ataupun hal
lainnya yang tidak sama. Sejarah, identitas, agama, kekerabatan, sistem
kemasyarakatan dan lain-lain mengenai suku Batak akan dibahas lebih
mendetail. Memaparkan pula perbedaan jenis suku batak ditinjau dari berbagai
sisi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah
a. Sejarah Budaya Batak
Menurut sejarah di kalangan suku Batak terutama pada suku Batak
Toba, tempat perkampungan leluhur suku bangsa Batak yang pertama adalah
pada mulanya berada di tepi Danau Toba yang bernama Sianjur Mula-mula, di
kaki gunung Pusuk Buhit Pangururan di pulau Samosir. Dari tempat inilah
keturunannya menyebar, mula-mula ke daerah sekitarnya dan lambat laun ke
seluruh penjuru Tanah Batak. Suku bangsa Batak khususnya orang Batak
Toba beranggapan bahwa mereka berasal dari satu keturunan nenek moyang
(geneologis) yang sama yaitu si RajaBatak.
Si Raja Batak adalah turunan dari Mula Jadi Na Bolon, anak dari Si
Raja Batak ada tiga orang yaitu :
1. Guru Tatea (Satia) Bulan, puteranya lima orang yaitu:
a. Saribu Raja.
b. Limbong Mulana.
c. Sagala Raja.
d. Malau Raja.
e. Raja Biak-biak.
2. Puterinya empat orang yaitu :
a. Boru Paromas.
b. Boru Pareme.
c. Boru Bidang Laut.
d. Nan Tijo.
3. Raja Isombaon (Naga sumba), puteranya tiga orang yaitu :
a. Tuan Sori Mangaraja.
b. Raja Asi-Asi.
c. Sangkar Somalidang.
Selama beberapa abad lamanya, pergaulan mereka dengan suku-suku
bangsa Indonesia lainnya sangat terbatas, sehingga di kemudian hari terdapat
keanekaragaman dalam suku bangsa Batak tersebut. Orang Batak tidak pernah
mengatakan dirinya dengan kata suku Batak, akan tetapi selalu mengatakan
bahwa dirinya adalah bangsa Batak. Hal ini dikarenakan orang Batak
mempunyai daerah, yang disebut Tano Batak, bahasa Batak, tulisan atau
huruf, serta budaya Batak yang mempunyai ciri khas tersendiri.
Adat Batak menunjuk pada norma, aturan atau ketentuan yang dibuat
oleh penguasa/pemimpin dalam suku Batak untuk mengatur kehidupan atau
kegiatan sehari-hari orang Batak di kampungnya dan di dalam keluarga besar
orang Batak. Dapat dikatakan bahwa semua orang Batak bersaudara, karena
bangsa Batak berasal dari satu nenek moyang yang menurunkan orang Batak.
Pemimpin adat Batak biasanya disebut sebagai Mangaraja Adat yaitu yang
diangkat dan diberi gelar Mangaraja yang disandangnya seumur hidup. Hal ini
dikarenakan orang tersebut mengetahui seluk-beluk aturan norma-norma,
ketentuan, dan hukum yang berlaku dalam adat Batak. Pemimpin adat bukan
berarti yang mempunyai kuasa dalam adat, akan tetapi fungsinya adalah
memberitahu, mengarahkan cara melaksanakan satu adat tertentu, bentuk,
jenis dan sifatnya dan pihak saja yang terlibat dalam lingkaran adat tersebut.
Oleh karena itu seorang Mangaraja harus menjadi panutan dan menjadi guru
adat di dalam, masyarakat di daerahnya.
Hubungan kekerabatan masyarakat Batak Toba sangat kuat dan ini
terus dipertahankan di mana pun berada. Untuk mengetahui hubungan
kekerabatan antara seseorang dengan yang lainnya, dilakukan dengan
menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi di atas mereka yang dalam
bahasa Batak disebut "Martarombo" atau "Martutur"adalah dengan Marga.
Jadi kalau orang Batak yang baru pertama kali bertemu yang ditanya adalah
marganya, bukan tempat asalnya. Orang Batak memanggil nama hanya kepada
anak-anak.
Manfaat marga bagi orang Batak ialah :
1. Mengatur tata pergaulan.
2. Mengatur tata cara adat.
3. Mengatur hubungan kekeluargaan.
Marga menjadi alat penghubung diantara susunan kekerabatan, oleh
karena sifatnya adalah Unilateral Patrilineal, maka marga yang sama tidak
boleh saling mengawini. Sebab perkawinan adalah eksogami perkawinan
diluar marga. Semua anggota dari satu marga memakai nama identitas yang
dibubuhkan sesudah nama kecil. Marga sebagai penopang Dalihan Na Tolu itu
adalah satu kelompok geneologis yang ditarik menurut garis bapak berlanjut
pada keturunannya yang laki-laki. Perempuan tidak dimasukkan karena suatu
saat nanti dia akan masuk ke dalam kelompok marga suaminya.
Masyarakat Batak Toba memiliki sistem sosial budaya yang khas dan
hanya terdapat di dalam masyarakat Batak yang disebut dengan “Dalihan Na
Tolu”. Dalihan Na Tolu merupakan ikatan kekerabatan adat istiadat pada suku
Batak Toba. Dalihan Na Tolu yang disebut juga “Tungku Nan Tiga”,yang
artinya adalah ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan
pada suku Batak.
Unsur Dalihan Na Tolu dalam masyarakat Batak Toba adalah :
1. Dongan Tubu (teman semarga) Dongan Tubu atau teman semarga
adalah teman untuk menjalankan maupun menerima adat. Pihak
keluarga yang semarga menurut garis bapak (patrilineal), yang
melaksanakan pekerjaan (pesta/upacara) adat dan yang memegang
tanggung jawab mengenai pelaksanaan. pekerjaan tersebut atau
biasanya sering disebut sebagai “Tuan Rumah” dari pesta adat.
2. Hulahula (orang tua/mertua) Hula-hula adalah gadis/istri yang harus
dihormati karena dianggap mempunyai kedudukan yang tinggi. Yang
mempunyai kewajiban dan hak untuk memberkati pada saat
pelaksanaan suatu pekerjaan adat karena kedudukannya dihormati
dalam pekerjaan adat tersebut.
3. Boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki) Boru adalah kelompok si
penerima boru. Yang tergolong kepada boru adalah hela atau suami
boru, pihak keluarga hela termasuk orang tuanya dan keturunannya,
yang bertugas mempersiapkan dan menyediakan keperluan dari suatu
pekerjaan adat (pesta) dari perangkat sampai makanannya. Jadi
biasanya dalam suatu pesta adat Batak, pihak boru yang selalu paling
sibuk.
Dalihan Na Tolu merupakan adat yang sangat penting pada masyarakat
Batak Toba, yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan sebab apabila hilang
satu, maka hilanglah sistem kekerabatan suku Batak Toba.
Dalihan Na Tolu mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai suatu
sistem kekerabatan, pergaulan dan kesopanan, sosial hukum (adat) dan
akhirnya diakui menjadi falsafah masyarakat Batak. Falsafah Batak Toba
sebagai dasar untuk bersikap terhadap kerabat yaitu Dalihan Na Tolu adalah
"Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu, ElekMarboru". Dengan
pengertian bahwa kita harus menaruh hormat terhadap Hula-hula, bersikap
hatihati terhadap kerabat Semarga dan berlaku hormat terhadap Boru.
Dalihan Na Tolu berfungsi juga untuk menyelesaikan dan
mendamaikan perselisihan diantara suami istri, diantara saudara kakak
beradik, kerabat dan di dalam hal upacara perkawinan.
Menurut logatnya bahasa Batak dibagi atas 5 (lima) macam sesuai
dengan daerah yang menggunakannya, yaitu :
1. Bahasa Batak Pakpak.
2. Bahasa Batak Karo.
3. Bahasa Batak Simalungun.
4. Bahasa Batak Toba.
5. Bahasa Batak Mandailing.
Terjadinya 5 (lima) macam Bahasa Batak tersebut karena pengaruh
dari daerah dan para orang pendatang, di samping juga adanya pengaruh dari
bahasa asing. Gotong royong pada orang Batak adalah dalam bentuk
kebersamaan yang artinya saling membantu dalam hal tertentu yang harus
dibayar dengan bantuan pada saat tertentu lainnya.
Provinsi Sumatera Utara, daerah asal masyarakat suku Batak, terdiri
dari daerah pantai, dataran rendah, dataran tinggi dan pegunungan. Daerah
pantai terletak sepanjang pesisir timur dan barat dan bersambung dengan
dataran rendah terutama. di bagian timurnya. Dataran karo, Toba dan
Humbang merupakan Dataran Tinggi.
Sedangkan Bukit Barisan yang membujur di tengah-tengah dari utara ke
selatan merupakan pegunungan, sebagai tulang punggung propinsi ini, dengan
celah-celah berupa lembah-lembah di sekitar Silindung dan Padang
Sidempuan.
Danau Toba yang mengelilingi Pulau Samosir berada di bagian tengah,
merupakan daerah wisata alam yang indah, terkenal dan banyak dikunjungi
oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Selain itu, Provinsi Sumatera
Utara memiliki banyak gunung, sungai dan pulau, di antaranya terdapat
gunung berapi seperti Sibayak, Sinabung dan Martimbang. Sungai-sungai
yang besar adalah sungai Asahan, Wampu, Batang Serangan, Kualuh, Bilah,
Baruman, Batang Toru dan Batang Gadis.
Diantara Pulau-pulaunya yang besar adalah Pulau Nias yang memiliki
sisasisa budaya peninggalan zaman megalitik, misalnya ada monumen batu
dan upacara pengurbanan dengan hewan babi. Ada pula jeram-jeram di bagian
hulu Sungai Asahan, yaitu jeram Sigura-gura dan Sampuran Harimau
memiliki potensi pembangkit tenaga listrik.Penduduk pribumi asli terdiri dari
berbagai suku etnik, antara lain Melayu, Batak Toba, Batak Simalungun,
Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Dairi, Batak Mandailing dan Nias.

b. Mitologi Batak

Mitologi Batak adalah kepercayaan tradisional akan dewa-dewi yang


dianut oleh orang Batak. Agama Batak tradisional sudah hampir menghilang
pada saat ini, begitu juga dengan mitologi Batak. Kepercayaan Batak
tradisional terbentuk sebelum datangnya agama Islam dan Kristen oleh dua
unsur yaitu megalitik kuno dan unsur Hindu yang membentuk kebudayaan
Batak. Pengaruh dari India dapat terlihat dari elemen-elemen kepercayaan
seperti asal usul dunia, mitos penciptaan, keberadaan jiwa serta bahwa jiwa
tetap ada meskipun orang telah meninggal dan sebagainya.

Dalam mitologi Batak dunia dapat dibagi menjadi tiga tingkat yaitu
dunia atas, yang disebut Banua Ginjang, dunia tengah, yang disebut Banua
Tonga dan dunia bawah tanah yang disebut Banua Toru. Dunia tengah, tempat
manusia hidup, juga merupakan perantara antara dunia atas dan dunia bawah
tanah. Dunia atas adalah tempat tinggal para dewata sedangkan dunia bawah
tanah adalah tempat tinggal setan serta roh-roh bumi dan kesuburan. Warna
yang sering digunakan orang Batak baik bagi peralatan rumah
tangga, Hauduk, kain Ulos dan ukiran kayu adalah putih, merah dan hitam
merupakan simbol dari tiga dunia ini.

Pencipta dunia dalam mitologi Batak adalah Mulajadi na Bolon (atau


Debata Mulajadi Nabolon). Dia dibantu dengan sederetan dewa-dewi lainnya,
yang dapat dibagi menjadi tujuh tingkat dalam dunia atas. Anak-anaknya
merupakan tiga dewata bernama Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan.
Ketiganya dikenal sebagai kesatuan dengan nama Debata Sitolu Sada (tiga
dewa dalam satu) atau Debata na Tolu (tiga dewata). Dalam urut-urutan
dewata, mereka berada di bawah Mulajadi na Bolon. Diceritakan pula bahwa
Mulajadi na Bolon telah mengirim putrinya Tapionda ke bumi ke kaki gunung
Pusuk Buhit. Tapionda kemudian menjadi ibu raja yang pertama di Batak.

Dewa lain yang penting adalah Debata Idup (dewa kehidupan)


dan Pane na Bolon yang memimpin dunia tengah. Banyak dewa-dewi lain
yang juga masih sekerabat dengan dewa-dewi Hindu di India. Antara
lain Boraspati ni Nato dan Boru Saniang Naga. Selain itu juga ada roh-roh
yang mendiami danau, sungai dan gunung. Dalam
kepercayaan animisme Batak tradisional, semua dewa-dewi ini masih
dipercayai disamping roh-roh dan jiwa leluhur (Begu).

B. Identitas Suku Budaya Batak


a. Kebudayan
Batak Toba dengan Tarian Tortor, Wisata danau toba, wisata megalitik
(kubur batu), legenda (cerita rakyat), adat budaya yang bernilai tinggi dan
kuliner. Batak Karo yang terkenal dengan daerah Berastagi dengan alam yang
sejuk dan indah, penghasil buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah
menembus pasar global dan juga memiliki adat budaya yang masih tradisional.
Etnis Melayu yang terkenal dengan berbagai peninggalan sejarah seperti
Istana Maimoon, tari derah dan peninggalan rumah melayu juga masjid yang
memiliki nilai sejarah yang tinggi. Batak Angkola yang terkenal dengan kultur
budaya yang beragam, mulai dari tari daerah adat istiadat dan merupakan
penghasil salak (salak sidempuan) yang juga sudah dapat menembus pasar
global. Batak Pakpak Dairi yang dikenal dengan peninggalan sejarah
megalitik berupa mejan dan patung ulubalang dan tentunya juga memiliki adat
istiadat dan tari daerah juga alat musik yang khusus.

b. Musik
Toba Kuno di jaman dinasti Tuan Sorimangaraja (Pahompu-nya Si
Raja Batak) Berawal dari musik Raja-raja. Bukan musik untuk Raja, tetapi
musik yang dimainkan oleh Raja. Musik Batak awalnya diciptakan untuk
upacara ritual yang dipimpin pada Datu (dukun) pada masa itu untuk
penghormatan leluhur, minta panen yang sukses kepada Mula Jadi Nabolon.
Batak untuk ritual ini adalah yang disebut Gondang Sabangunan yang
terdiri dari 5 Ogung, 5 Gondang, Sarune Bolon lubang 5. Namun para Rakyat
juga ingin main musik, maka berkembanglah musik batak ini di kalangan
rakyat dengan format Taganing, Garantung, Hasapi, Seruling dan Sarune Etek.
Dengan alat-alat musik inilah tercipta banyak sekali lagu rakyat yang
bernuansa pentatonis (Do Re Mi Fa Sol, kadang2 ada juga La) dan susunan
nada (licks)-nya sangat khas tidak didapati di musik suku lain.

c. Tarian
Seni tari tradisional meliputi berbagai jenis. Ada yang bersifat magis,
berupa tarian sakral, dan ada yang bersifat hiburan saja yang berupa tari
profan. Tari adat yang merupakan bagian dari upacara adat, tari sakral
biasanya ditarikan oleh dayu-datu. Termasuk jenis tari ini adalah tari guru dan
tari tungkat. Datu menarikannya sambil mengayunkan tongkat sakti yang
disebut Tunggal Panaluan.

d. Kerajinan
Tenunan merupakan seni kerajinan yang menarik dari suku Batak.
Contoh tenunan ini adalah kain ulos dan kain songket. Ulos merupakan kain
adat Batak yang digunakan dalam upacara-upacara perkawinan, kematian,
mendirikan rumah, kesenian, dan sebagainya. Bahan kain ulos terbuat dari
benang kapas atau rami. Warna ulos biasanya adalah hitam, putih, dan merah
yang mempunyai makna tertentu. Sedangkan warna lain merupakan lambang
dari variasi kehidupan.

e. Makanan
Masakan adat Batak  jenis masakan yang dipengaruhi seni suku batak,
dan termasuk masakan Nusantara. Yang paling sering digunakan dalam
memasak sebuah pesta adalah andaliman (merica batak). Bahkan di tradisi
orang batak banyak menggunakan Babi ataupun daging Anjing, yang dimasak
sesuai selera masing masing . dan juga menggunakan makanan yang berasal
dari danau, sepert ikan-ikanan yaitu hasil pancingan para nelayan, mereka
memasaknya biasanya disebut (napinadar, dipanggang, atau ikan arsik).
Jenis makanan Batak yang dapat dijumpai dan dikenal oleh masyarakat
umumnya adalah:
a.       Saksang
b.      Arsik
c.       Panggang
d.      Ayam tasak telu
e.       Manuk Napinadar
f.       Tangotanggo
g.      Dengke Mas naniura
h.      Natinombur
i.        Mie Gomak
j.        Na nidugu
k.      Dali ni horbo
l.        Sambal tuktuk
m.    Pagitpagit
n.      Itak gurgur
o.      Kue lampet
p.      Kue Ombus ombus
q.      Kue Pohul pohul
r.        Kacang sihobuk

C. Nilai dan Norma Dalam Budaya Batak.


a. Nilai Budaya Batak
Ada sembilan nilai budaya utama pada orang Batak yang
mempengaruhi bagaimana orang Batak berperilaku dan menjalani kehidupan
bermasyarakat.
Pertama yaitu Kekerabatan, yang mencakup kedekatan hubungan
dengan suku yang sama, diikat oleh kasih sayang berdasarkan hubungan
darah, kekerabatan yang diikat oleh unsur-unsur Dalihan na Tolu (Hula-Hula,
Dongan Tubu, Boru), Pisang Raut (Anak Boru dari Anak Boru), Hatobangon
(orang pandai) dan segala hubungan kekerabatan yang diikat oleh pernikahan
maupun pertalian marga.
Kedua adalah Religi, yang mencakup kehidupan keagamaan, baik
agama tradisional maupun agama-agama baru yang mengatur hubungan
dengan Sang Maha Pencipta serta hubungannya dengan sesama manusia dan
lingkungan dimana manusia itu berada.
Ketiga yaitu Hagabeon (kesejahteraan), yang berarti memiliki banyak
anak dan berumur panjang. Bagi orang Batak, sumber daya manusia sangat
penting karena kekuatan suku bangsa dapat dibangun dengan adanya jumlah
populasi yang besar pada suku tersebut. Tampaknya hal ini terkait dengan
sejarah suku bangsa Batak yang memiliki budaya kompetitif yang tinggi, yang
tercermin dari perang huta atau kampung.
Keempat, yaitu Hasangapon (kemuliaan, kewibawaan, dan kharisma)
yang merupakan nilai utama yang mendorong masyarakat sub etnis Batak
Toba untuk gigih mencapai kejayaan. Terlebih lagi pada zaman modern ini,
jabatan dan pangkat yang tinggi menjadi simbol kemuliaan, kewibawaan,
kharisma, dan kekuasaan pada orang Batak Toba.
Nilai budaya yang kelima, yaitu Hamoraon atau kaya raya, merupakan
salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang sub etnis Batak
Toba untuk mencari harta dalam bentuk benda materil yang banyak.
Keenam, Hamajuon, atau kemajuan, yang dapat dicapai dengan
meninggalkan kampung halaman dan menuntut ilmu setinggi-tingginya. Nilai
budaya hamajuon ini sangat kuat mendorong orang Batak merantau dan pergi
ke berbagai daerah di tanah air, dengan tujuan untuk meningkatkan dan
mempertahankan semangat berkompetisi.
Ketujuh, Patik dohot uhum atau aturan dan hukum. Nilai patik dohot
uhum ini merupakan nilai yang kuat yang disosialisasikan oleh orang Batak
untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan menjalani kehidupan menurut
hukum yang berlaku.
Kedelapan, Pengayom. Nilai ini mencerminkan kehadiran pengayom,
pelindung, ataupun pembawa kesejahteraan, yang setidaknya kehadirannya
diperlukan dalam situasi yang sangat mendesak. Meski sesungguhnya karakter
kemandirian cukup tinggi ditekankan pada orang Batak sehingga nilai
pengayom tersebut tidak terlalu menonjol.
Nilai kesembilan adalah Marsisarian, atau usaha orang Batak untuk
tetap saling mengerti, saling menghargai, saling membantu. Bila terjadi
konflik atau perseteruan dalam kehidupan bermasyarakat, maka prinsip
marsisarian perlu dikedepankan. Nilai-nilai budaya Batak Toba tersebut
diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya pada berbagai kesempatan,
pada umumnya dalam pertemuan-pertemuan keluarga.

b. Pantang Larangan Dalam Budaya Batak


Indonesia tidak memiliki sistem tata nama yang seragam seperti dalam
keluarga barat yang menggunakan surname atau nama keluarga di belakang
nama mereka. Namun, pada beberapa suku tertentu, penggunaan nama
keluarga wajib diberikan kepada garis keturunan mereka. Istilah tersebut
dikenal dengan marga. Marga adalah nama persekutuan dari orang-orang
bersaudara, sedarah, seketurunan menurut garis bapak, yang mempunyai nama
warisan turun-temurun.
Orang Batak menganut paham garis keturunan
bapak (patrilineal), maka garis keturunan orang Batak sesuai berdasarkan garis
keturunan bapak. Marga merupakan suatu kesatuan kelompok yang
mempunyai garis keturunan yang sama, dari nenek moyang yang sama. Marga
juga merupakan dasar untuk menentukan hubungan dengan orang lain.
Karenanya, aturan pelarangan pernikahan yang diatur dalam adat istiadat
Batak terkait dengan konsep marga.
Perkawinan yang ideal bagi orang Batak Toba adalah perkawinan
dengan pariban. Di dalam suku adat batak, pariban itu sebenarnya sepupu.
Artinya anak laki-laki dari Namboru dan anak perempuan dari Tulang dapat
dinikahkan. Jadi, untuk lebih memudahkan memahaminya, sepupu yang
dimaksud adalah jika seorang perempuan dapat menikah dengan anak laki-laki
dari adik perempuan ayah. Sedangkan jika seorang laki-laki dapat menikah
dengan anak perempuan dari adik laki-laki ibu.
Perkawinan dengan pariban dapat menyatukan kembali dua keluarga
dekat menjadi satu. Meskipun banyak yang mekritisi perkawinan tersebut
karena faktor kedekatan hubungan kekeluargaan di antara keduanya, tetapi toh
itu bukanlah suatu kewajiban untuk menikahi pariban. Karenanya, masyarakat
Batak dapat memilih untuk tidak menikah dengan pariban, asalkan
menikahnya bukan dari golongan pernikahan terlarang menurut adat Batak.
Berikut adalah lima pernikahan terlarang yang tidak boleh dilakukan
oleh suku Batak:
1. Namarpadan
Namarpadan atau padan adalah ikrar janji yang sudah ditetapkan oleh
marga-marga tertentu, di mana antara laki-laki dan perempuan tidak bisa
saling menikah yang marganya tertaut ikrar padan. Adapun beberapa
contoh marga yang tidak boleh menikah antara lain:
 Manullang dan Panjaitan

 Sinambela dan Panjaitan

 Sitorus dan Hutajulu (termasuk Hutahaean, Aruan)

 Sitorus Pane dan Nababan


 Silalahi dan Tampubolon

 Siregar dan Nainggolan

 Hutapea dan Pangaribuan

 Sitommpul dan Tampubolon

 Pasaribu dan Damanik

 Purba dan Lumbanbatu

2. Namarito
Namarito adalah pernikahan antar-saudara kandung atau yang dikenal
dengan sebutan incest. Namun ternyata, pemahaman terntang
perkawinan Namarito jauh lebih luas daripada hal itu, karena mencakup
juga tentang pernikahan semarga dan bagi marga-marga yang masih
berada dalam satu ikatan. Misalnya keturunan Raja Marerak, yakni
Sitorus, Manurung, Sirait, dan Butar-butar.
3. Dua Punggu Saparihotan
Dua Punggu Saparihotan adalah tidak diperkenankan melangsungkan
perkawinan antara dua orang kakak-beradik kandung yang memiliki
mertua sama. Dua punggu saparihotan merupakan analogi untuk larangan
pernikahan antara dua laki-laki bersaudara dengan dua perempuan
bersaudara. Artinya, jika seorang laki-laki sudah menikahi perempuan,
saudara kandung laki-laki tersebut tidak boleh menikah lagi dengan
saudara kandung si perempuan. Dengan demikian, tidak boleh seseorang
dan saudara kandungnya mempunyai mertua yang sama.
4. Pariban Na So Boi Olion
Menikahi pariban adalah hal yang paling ideal dalam pernikahan Batak
Toba. Meskipun demikian, rupanya tidak semua pariban bisa dinikahi.
Atau dengan kata lain, ada pariban yang tidak bisa dinikahi (na so boi
olion). Yang dimaksud dengan na so boi olion adalah pariban yang salah
satu saudara kandungnnya sudah menikah dengan saudara kandung kita.
Larangan ini juga berlaku bagi hubungan yang tidak kandung, namun satu
marga.
Misalnya, seorang lelaki menikahi boru A (pariban atau semarga dengan
ibu sang lelaki) untuk dijadikan istri, maka adik dari lelaki tersebut tidak
boleh lagi menikahi perempuan boru A, meskipun dia bukan saudara
kandung istri abangnya.
Selain itu, pariban kandung hanya dibenarkan menikah dengan
satu pariban saja. Misalnya dua orang laki-laki bersaudara kandung
memiliki lima beberapa perempuan pariban kandung, yang dibenarkan
untuk dinikahi adalah hanya salah satu dari laki-laki bersaudara tersebut.
Karenanya, tidak bisa keduanya menikahi pariban-pariban lainnya.
5. Marboru Namboru atau Nioli Anak Ni Tulang
Aturan ini menyatakan bahwa adalah jika laki-laki menikahi anak
perempuan dari Namboru kandung dan sebaliknya, maka pernikahan
tersebut dinyatakan terlarang. Sebaliknya, seorang perempuan juga tidak
bisa menikahi anak laki-laki dari Tulang kandungnya. Pernikahan yang
dilarang oleh suku Batak memiliki konsekuensi berat apabila sepasang
calon pengantin melanggarnya. Konsekuensi pelanggaran tersebut adalah
dikucilkan dan diusir dari tanah keluarga.
Sejatinya pernikahan adalah menyatukan dan mempererat hubungan antara
dua keluarga. Karenanya, dalam memilih pasangan, terutama oleh suku
Batak, mengetahui marga dan silsilah keluarga sangatlah penting untuk
menghindari pernikahan terlarang yang terjadi pada masyarakat Batak.
Dan menegakkan tradisi dalam kehidupan bermasyarakat diharapkan akan
meningkatkan harmoni dan persaudaraan pada kehidupan baru rumah
tangga.

D. Perkembangan Budaya Batak


Budaya Batak sebagai salah satu identitas bangsa Indonesia telah
mengalami perubahan dan penyesuaian dari masa ke masa. Suku bangsa Batak
yang semula tertutup terhadap terhadap pengaruh budaya luar, kini  perlahan-
lahan mulai terbuka dalam menyambut perubahan zaman. Keterbelakangan
budaya Batak pada awalnya disebabkan karena pengisolasian diri beberapa abad
masa lampau,yakni sejak abad ke-16. Pengisolasian ini bertujuan untuk
mempertahankan kebudayaan/ kepribadiannya dari pengaruh-pengaruh
kebudayaan dan peradaban yang dibawa penjajahan Belanda. Pengisolasian suku
Batak ini mulai terbuka karena kemajuan zaman  sejak akhir abad ke-19. Budaya
Batak akhirnya terbuka akan masuknya kemajuan teknologi, informasi dan
globalisasi.

Setelah meninggalnya Raja Sisingamangaraja XII oleh penjajahan Belanda


pada akhir abad ke-19 , budaya Batak mulai banyak  mendapat pengaruh dari 
luar. Sejak saat itu suku bangsa Batak mulai mengalami penyesuaian akan kondisi
yang dihadapi. Identitas budaya asli warisan nenek moyang tersebut ada yang
tetap dipertahankan sampai sekarang tetapi ada juga yang disesuaikan dengan
kondisi zaman dan era emansipasi.

Identitas budaya Batak, satu yang paling terkenal dan masih terus bertahan
saat ini adalah budaya “Dalihan Na Tolu” (jika diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia Dalihan Na Tolu artinya tungku api berkaki tiga). Falsafah hidup
Dalihan Na Tolu di lingkungan Suku Batak dikenal dengan adanya sistem marga,
yaitu identitas orang-orang yang mempunyai garis keturunan yang sama menurut
ayah atau patrilineal. Contohnya adalah jika ayah  memiliki marga Tarigan, maka
anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan akan bermarga Tarigan. Sistem
marga ini sudah ada sejak dahulu kala  sampai sekarang masih tetap
dipertahankan secara turun-temurun, ditengah kemajuan  jaman, arus globalisasi,
informasi, tehnologi.

Namun  perkembangan teknologi, globalisasi dan era informasi yang pesat


membawa dampak bagi perkembangan budaya Batak. Dari berbagai identitas
budaya yang telah diwariskan turun-temurun, ada yang harus disesuaikan dengan
kondisi yang terjadi sekarang. Penyesuaian tersebut dilakukan karena tidak sesuai
dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Salah satu contohnya adalah
dalam hal sistem pembagian harta warisan. Hukum adat Batak yang patrilineal
tidak mengakui adanya pembagian harta warisan bagi anak perempuan. Semua
warisan dari orangtua diberikan pada anak laki-lakinya  sebagai penyambung
keturunan menurut garis bapak.
Namun, hal  tersebut  mengalami perubahan  dan  penyesuaian. Hal ini
berkaitan dengan  hukum nasional yang digunakan di Indonesia, dimana anak
laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam pembagian warisan. Oleh
karena itu hukum adat Batak tersebut kemudian disesuaikan. Anak laki-laki dan
perempuan adalah sama dalam pembagian warisan.

Budaya Batak  membuat masyarakat selalu berkeinginan untuk memiliki


anak laki-laki. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa anak laki-laki sebagai
penerus marga, pelaksana aktivitas adat, ahli waris serta diutamakan dalam
pendidikan. Untuk itu anak laki-laki selalu diusahakan untuk maju, sebab
keberhasilan anak laki-laki merupakan kebanggaan  keluarga. Berbagai usaha
dilakukan demi tercapainya harapan tersebut. Sedangkan perempuan berada pada
posisi yang lemah yang dituntut oleh nilai budaya untuk selalu patuh dan hormat
terhadap anak laki-laki.

Namun perkembangan zaman, tingkat pendidikan, serta tingkat


pengetahuan mendorong masuknya unsur-unsur baru serta  wawasan yang
semakin luas. Keterbukaan masyarakat untuk menerima unsur-unsur baru tersebut
membuat masyarakat secara umum merespon unsur-unsur baru tersebut lalu
memasukkannya dalam kehidupan. Termasuk perubahan  perlakuan orang Batak
Toba terhadap anak perempuan . Orang tua akhirnya memberikan kesempatan
yang sama antara anak laki-laki dengan anak perempuan untuk lebih maju.
Akhirnya telah terjadi perubahan perlakuan terhadap anak perempuan membuat
anak perempuan telah berhasil dalam pendidikan ketingkat yang lebih tinggi,
dengan pendidikan yang dimiliki oleh perempuan, membuat perempuan tersebut
mulai menuntut haknya dalam warisan, anak perempuan juga sudah masuk
kedunia kerja namun anak laki-laki sebagai penerus marga tidak akan pernah
berubah.

Perubahan  lainnya  yang  terlihat  dari  suku  Batak  adalah dalam  hal 
agama, HKBP adalah salah satu contohnya. Mereka beranggapan  bahwa tidak
semua generasi muda mengerti serta memahami bahasa Batak dengan  baik,
akhirnya mereka pun berubah karena situasi dan kondisi, mereka melaksanakan
kebaktian dengan  bahasa Indonesia.
BAB III
                                                   PENUTUP              

A. KESIMPULAN
Di wilayah Indonesia terdapat beberapa suku bangsa yang mempunyai
kebudayaan sehingga menimbulkan hubungan yang saling mempengaruhi
diantara sosial budaya terhadap proses politik. Kebudayaan Indonesia yang asli ini
tumbuh dan berkembang di berbagai pulau yang terpisah-pisah sehingga terdapat
perbedaan yang khas. Salah satu perbedaan itu terdapat pada bentuk proses pesta
politik untuk menentukan pemerintahnya. Seperti di Kabupaten Toba Samosir,
Sumatera Utara Suku Batak merupakan suatu Suku yang sudah terkenal di
Indonesia.
Diantara segala ciri cirinya, jika berbicara tentang politik akan selalu ada
niat masyarakat Batak untuk menjadi pemimpin. Demikian pula hubungan bangsa
Batak dengan sistem kekerabatannya memiliki ciri khas yang berbeda dengan
suku-suku bangsa lain. Di dalam lingkungan suku bangsa Batak, sistem
kemasyarakatannya di atur dalam sistem kekerabatan yang berlandaskan
organisasi sosial marga. Marga merupakan dasar untuk menentukan partuturan,
hubungan persaudaraan, baik untuk kalangan semarga maupun di marga-marga
lain.
Sistem kekerabatan yang diatur dalam Dalihan Na Tolu akan tetap
dilaksanakan agar tidak terjadi konflik hubungan kekerabatan. Dengan adanya,
hubungan kekerabatan terjalin teratur satu marga atau keluarga, menunjukkan tali
pengikat untuk mempersatukan antara seseorang dengan orang lain, mengikat rasa
persaudaraan dan kekerabatan dalam kelompok etnis Batak.
Semua etnis memiliki budaya masing-masing, mulai dari agama, adat
istiadat, upacara adat dari daerah, jenis makanan, dan pakaian adat juga memiliki
suatu khas atau ciri dari setiap daerah. Keragaman budaya tersebut sangat
mendukung untuk digunakan sebagai pusat pariwisata maupun cagar budaya di
Sumatera Utara.

DAFTAR PUSTAKA

O.H.S. Purba dan Elvis Purba, Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak), Penerbit
Monora, Medan, 1997, hal 1.
E.K. Siahaan, Monografi Kebudayaan Tapanuli Utara, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1975, hal 84.
Drajen Saragih, dkk, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun,
Toba, Karo dan UU Tentang Perwakinan (UU No. 1 Th. 1974), Tarsito,
Bandung, 1980, hal 9.
J.C. Vergouven, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Pustaka Azat, Jakarta,
1986, hal 9.
Sabam Huldrick Wesley Sianipar, Sistem Bermasyarakat Bangsa Batak, CV.
Pustaka Gama, Medan, 1991, hal 81.
https://id.wikipedia.org/wiki/Mitologi_Batak
https://perkembangankebudayaanbatak.wordpress.com/2017/07/25/
perkembangan-kebudayaan-batak/
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak.
http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/952/suku-batak-sumatera-utara.
http://www.kidnesia.com/Kidnesia?Potret-Negriku/Teropong-Daerah/Sumatera-
Utara/Seni-Budaya/Tari-Tor-Tor.
Makam Raja Batak
Alat Musik Batak

Kerajinan Batak
Tarian Batak
Silsilah Batak
Rumah Adat Batak

Makanan Khas Batak

Anda mungkin juga menyukai