Toro memiliki luas wilayah 229,5 km2 (22.950ha) dan ketinggian rata-rata 800m di
atas permukaan laut (dpl). Toro berada dalam wilayah kecamatan Kulawi, Donggala,
Sulawesi Tengah, Masyarakatnya di kenal sebagai komunitas yang memiliki pranata social
dan kelembagaan adat yang sangat kuat. Struktur masyarakatnya telah teratur sejak zaman
nenek moyang mereka. Masyarakat Toro memiliki pemerintahan sendiri yang mengatur
segala bentuk kehidupan mereka, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Dalam
pemerintahannya ada tiga unsur yang sama tinggi, yaitu totua ngata, maradika, dan tina ngata.
Ketiganya memiliki fungsi masing-masing tapi tidak berjalan sendiri-sendiri.
Totua ngata adalah dewan para totua kampong yang menjalankan kepemimpinan
kolektif atas segenap urusan pemerintahan desa. Maradika adalah keturunan bangsawan yang
dipilih oleh Totua ngata sebagai kepala suku dari masyarakat bersangkutan. Sedangkan Tina
Ngata adalah ibu bagi masyarakat yang terbentuk atas dasar pengakuan masyarakat. Tina
Ngata terbentuk karene peran perempuan yang penting bagi masyarakat, yaitu sebagai
pemimpin adat dan pemilik otoritas pengelolaan warisan orangtua.
Kebudayaan dan Kearifan Lokal Kota Palu Sulawesi Tengah
Manusia dan kebudayaanya merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan masyarakat, sebab kebudayaan merupakan implementasi dari segenap aktivitas
manusia dalam menciptakan sesuatu. Baik itu dalam wujud kebudayaan maupun dalam
bentuk tingkahlaku, yang diwarisi secara turun temurun kepada setiap generasinya sebagai
suatu tatanan sosial budaya yang harus ditaati sebagai bagian dari warisan leluhur, sehingga
perlu dipertahankan dan dilestarikan, oleh masyarakat pendukungnya.
Inventarisasi dan Kajian Hukum dan Sanksi Adat Suku Kaili di Kota Palu belum
banyak dilakukan dan belum terdokumentasikan dengan baik. Inventarisasi dan Kajian ini
mengungkapkan hukum berdasarkan sejarah masa silam, sebagian besar masyarakatnya
belum mengenal tulisan namun kepatuhan atas hukum yang berlaku sangat dijunjung tinggi
demi menjaga ketentraman hidup dan kesejahteraan bersama. Hukum dan Sanksi Adat di
tanah Kaili berlaku sebelum adanya agama masuk di lembah Palu dan juga adanya
penjajahan bangsa asing. Hal ini merupakan bagian dari proses kebudaayaan yang menjadi
anutan masyarakat Kaili, yang memegang teguh adat istiadatnya.
Hukum dan sanksi Adat aplikasinya berorientasi pada ketetapan Givu bagi masyarakat
Kaili yang berdominsili di lembah Palu. Bila ditelusuri dari aspek budaya dan kearifan lokal
ternyata hukum dan sanksi adat memiliki nilai-nilai luhur dan tetap dijunjung tinggi serta
ditaati. Namun di era modern sekarang ini sebagian besar orang sudah melupakannya dan
bahkan dianggap sebagai pamali (pantangan) dalam kesehariannya. Akan tetapi hukum dan
sanksi adat masih tetap dipedomani untuk menjaga pengaruh negatif modernisasi dalam
merusak tatanan kehidupan. Untuk menjaga harmonisasi hubungan manusia dengan
PenciptaNya, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan
hubungan manusia dengan lingkungannya, maka setiap orang di dalam kelompok masyarakat
Kaili selalu mengembangkan berbagai macam tata nilai dan etika baik dalam bentuk
pergaulan, perilaku, tuturkata dan tindakan senantiasa selalu dalam kesepakatan adat.
Contoh
RAPATESI SANJAMBOKO-RALABU RITASI yang artinya dilenyapkan dari
muka bumi dengan cara dibunuh atau ditenggelamkan dalam laut berdua, agar supaya Negeri
tetap dalam keadaan aman dan mempunyai kehormatan, karena diatasnya tidak terdapat salah
satu kuburan atau pekuburan dari manusia yang berwujud hewan.Keputusan ini diterima baik
dan mendapat dukungan sepernuhnya dari seluruh rakyat termasuk kaum keluarga pesakitan
kedua belah pihak turut merasa puas.
1. Vaya Nosimpogau (Hukuman untuk Berzina) antara bapak dan anak kandung atau ibu
dan
anak kandungnya, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup
sebilah parang jenis guma untuk menggorok leher pasangan yang melakukan perzinahan,
d. Santonga dula (rapotande balenggana /balengara randua) yang artiya dalam bahasa
Indonesia sepasang dulang tempat untuk menyimpan kepala,
e. Santonga tubu mputi (posonggo raana /raara randua) sepasang mangkok putih untuk
tempat penyuguhan darah pelaku perzinahan yang disembelih,
f. Sudakana (dalam bentuk mata uang Riyal dengan jumlah ganjil antara sebelas (11) sampai
dengan Sembilan puluh Sembilan (99).
g. Puu dengan hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah berupa suraya (piring) jika lebih
dari 10 mpuu dilengkapi dengan suraya Mposanga seperti Pinekaso, Tava Kelo dalam
pelaksanaan libu dewan adat, jika hal tersebut tidak ada, memungkinkan notovali (Nosambei)
dengan piring biasa.
h. Dalam versi Rai pelaku pelanggaran bagi perempuan disebut Nopangadi.
i. Versi unde ditambah dengan 140 suraya tambah 15 ekor Kebe (aqiqa: mengeluarkan 1 ekor
kambing) semuanya dibagi 2 laki-laki dan perempuan.
Givuna (Hukuman) di kenakan pada Laki-laki (nebualosi) :
a. Sampomava Bengga ( satu ekor kerbau), dalam pendekatan Kaili Tara apabila penyebutan
hanya kata Bengga maka boleh digantikan dengan 5 Ekor Kambi/Tovaou Mporesi
(kambing hutan), apabila penyebutan Bengga Navuri Buluna (Kerbau hitam bulunya) adalah
dikenakan kerbau sebenarnya.
b. Santonga dula (rapotande balenggana), Versi Kaili Tara dikenakan Dula Lena biasa.
c. Santonga tubu mputi (posonggo raana), versi Kaili Tara dikenakan Tubu Posanga seperti
Tubu Mata Bengga dan boleh berbentuk tubu biasa.
d. Sudakana (dalam bentuk mata uang Riyal dengan jumlah ganjil antara sebelas (11) sampai
dengan Sembilan puluh Sembilan (99). Pada masa kini disesuaikan dengan nilai mata uang
Rupiah.
Catatan : Givu harus dibayar kepada perbendaharaan Negeri (Polisa Nuada:Rai, Sompo
Nuada:Ledo) dalam waktu yang ditetapkan oleh pengadilan adat dan apabila Givu tersebut
tidak dibayar pada waktunya maka keduanya akan dihukum mati (nilabu) atau Nipanaa
(mengingatkan kembali kepada pengadilan adat dengan sanksi Nibeko yaitu dikucilkan dari
masyarakat).