Anda di halaman 1dari 23

Tata kelakuan-tata kelakuan yang terkait dengan sistim kekerabatan

keluarga luas yang berlaku didesa Kali antara lain sebagai berikut:
Pada saat semua anggota keluarga luas makan sehidangan, maka senantiasa
ayah duduk disebuah ujung meja (kepala meja) dan ibu pada sisi kanan
(jajar kanan) disebelah ayah pada urutan pertama paling dekat ayah.
Berhadapan dengan ibu yaitu dijajar kiri (sebelah kiri) dari ayah duduk anak
yang tertuah, barulah berikut-ikut yang lain menurut urutan usia. Disaat
panggilan makan untuk keluarga luas itu sudah diisyaratkan maka ayah dan
ibu, harus duduk lebih daluhu, barulah diikuti oleh yang lain-lain. Anggota-
anggota keluarga yang lain sama sekali tidak boleh mendahului duduk
sebelum ayah dan ibu duduk ditempat yang telah ditentukan.
Nama kecil mertua sama sekali tak boleh disebut. Misalnya seorang menantu
perempuan mempunyai seorang adik kandung wanita yang sama nama
kecilnya dengan mertua perempuannya. Maka sejak ia kawin dengan
suaminya ia harus berusaha mencari sebutan lain sebagai panggilan
pengganti terhadap adiknya yang khususnya ia yang memakainya seperti
”Ade” (yang berarti adik) atau ”Keke” (yang berarti anak perempuan).
Jika tidak demikian maka ia dianggap ”tidak tahu adat” atau bahasa
daerahnya ”rai mina sinau”.
Tentang klen kecil bila diartikan sebagai sub-clan atau keluarga kecil
umumnya adalah bersifat bilateral. Orang Minahasa memang menganut
prinsip keturunan yang tidak matrilineal dan juga tidak patrilineal khusus
melainkan sisrim bilateral. Jadi jelas anak suku Tombulu dan masyarakat
Kali juga demikian. Prinsip bilateral itu dikalangan masyarakat desa Kali,
anutan ketatnya sampai dengan tingkatan sepupu dua kali, yang dalam
bahasa Tombulu disebut ”puyun ne matuari”. Lingkungan keluarga kecil
(klen kecil)wajib turut aktif berpartisipasi dalam upacara-upacara kematian
ataupun perkawinan dari salah satu anggota keluarga ini.
Bila seorang warga dari klen tidak turut berperan serta atau berpartisipasi
pada upacara-upacara seperti tersebut diatas ini yang mengena rekan
sewarganya maka ia dianggap menyimpang dari tata pergaulan dilingkungan
keluarga mereka. Ia akan dipanggil dan dinasihati oleh orang-orang tua
dalam klen mereka. Kecuali perihal ketidak-ikut sertakannya itu, disebabkan
oleh halangan penting sekali.
Walaupun desa ini bila dilihat dari segi letaknya sangat dekat dengan
pengaruh ibukota Propinsi Sulawesi Utara, namun masyarakat dan adat
istiadat setempat. Sehubungan dengan itu dapat digambarkan suatu bentuk
penyimpangan tata kelakuan dilingkungan keluarga dari desa sebagai obyek
penelitian. Sebagai contoh seorang wanita yang menyimpang dari pada
kebiasaan umum yaitu hamil sebelum kawin, berdasarkan peraturan agama
dan pemeritahan.
Apabila perkawinan kedua pengantin itu akan dilaksanakan maka biasanya
semua persiapan untuk pesta berupa bangku, kursi, meja dan bangsal
tempat pertemuan pada saat pesta harus disiapkan oleh calon suami. Si
calon isteri harus sibuk membantu keluarga untuk menyiapkan jenis-jenis
makanan seperti: kue, ikan dan jenis makanan lainnya yang dibutuhkan
dalam pesta. (wawancara, J. Tombiling, 28 Agustus 1984). Namun menurut
tata kelakua setempat apabila kedua calon itu tdak terjadi peyimpangan
dalam keluarga maka peraturan hukum adat ini tidak dapat dilaksanakan
bagi calon suami isteri itu. Malahan sebelum tiba masa perkawinan kedua
calon itu tinggal menyiapkan diri dalam bentuk jasmani maupun rohaniah
untuk menunggu hari yang berbahagia itu. Segala bentuk persiapan pesta
maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya menjadi tanggungan keluarga kedua
belah pihak. Bagi kedua calon ini merupakan suatu kebangaan ataupun
kebahagian keluarga sebab sudah memenuhi kemauan keluarga.

 Sistim pemetikan padi secara tradisioanal dan secara keyakinan umat


beragama dengan membawakan ucapan syukur berupa bahan sesuai hasil
panen. Dapat ditambahkan bahwa ucapan syukur ini adalah warisan budaya
penduduk di Minahasa sebelum adanya pengaruh Barat. Setiap hasil panen
atau hasil perburuan sebahagiannya diberika kepada Tonaas, (pada waktu
itu Tonaas ini dianggap sebagai penguasa tertinggi yang dapat menentukan
segala aspek kehidupan manusia maupun kehidupan dilingkungan keluarga)
19;25.
Pemberian kepada Tonaas dapat dikategorikan dalam ucapan syukur kepada
Allah sebagai sang Pencipta. Hal ini dikenal di Minahasa disebut pengucapan
atau kalau bahasa Pamona (Sulawesi tengah) disebut padungku. Adapun sisa-
sisa peninggalan warisan budaya di daerah ini khususna disuku Tombulu
disebut ”makan padi baru”. Biasanya padi sesudah dipetik langsung dijemur
dan bila sudah kering langsung digiling ataupun ditumbuk. Pada saat dimasak
lalu hendak dimakan itulah yang disebut: makan padi baru. (bahasa
Tombulu:”kuman’kan weru” atau kuman’kan mberu). Sebelum anggota
keluarga makan biasanya dahulu baru anggota keluarga lainnya turut
mengikutinya. Hal ini merupakan suatu tata kelakuan yang diwujudkan
dalam bentuk tindakan manusia.
Hingga saat ini perilaku yang merupakan suatu kebiasan yang harus ditaati
dan dilaksanakan baik dilingkungan keluarga inti, keluarga luas bahkan
sampai diluar keluarga inti.
Namun S sebagai sisa-sisa peningalan warisan lama pada umumnya di daerah
ini khususnya di lingkungan keluarga amsih kenyataan bentuk-bentuk biasa
setiap makan sering kali peninggalan ini masih didapati pada beberapa
kelompok keluarga. Kebiasaan ini dengan mendahului ayah ,kemudian ibu
dan langsung diikuti oleh anak-anak atau semua yang makan sehidangan saat
itu walaupun pada suatu saat yang hanya berbeda satu atau dua menit.
Bentuk peninggalan tersebut hingga saat ini baik di lingkungan keluarga
maupun dalam bentuk pertemuan umum dalam lingkungan marga itu
disiapkan satu kursi pada ujung meja makan yang disebut kepala meja.
Seorang kepala meja dalam bahasa Tombulu disebut; Ma’wali-wali artinya
pemimpin, selamanya adalah pria (laki-laki). Yang ditunjuk itu selalu laki-
laki sudah kawin dan sudah berpengalaman dalam lingkungan keluarga ia
dapat dikatakan bahwa sebagai seorang pemimpin.
Selesai makan biasanya si ma’wali-wali itu memberikan kata-kata berbentuk
pidato yang berisi petunjuk bagi lingkungan keluarga.
Petunjuk yang diberikan oleh pemimpin itu harus ditaati dan dilaksanakan
dalam lingkungan keluarga itu.
Penduduk desa Kali khususnya dalam lingkungan marga tertentu hal
sedemikian ini masih nyata dalam praktek.
Hanya lingkungan marga tersebut sangat berperan dalam pergaulan
masyarakat sehingga tata laksana pergaulan merupakan standarisasi
keluarga.
Namun sifat sedemikian ini dapat mempengaruhi lingkungan keluarga marga
lainnya sehingga pengaruh tersebut telah dapat membudaya ditengah
keluarga desa pada umumnya. Karena itu yang menyangkut tata kelakuan
dalam prospek kehidupan keluarga hal sedemikian ini merupakan suatu pola
dasar yang patut ditaati sampai pada turun temurun.
Walaupun pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi pada abad mutahir ini
namun pola dasar ini tetap dihayati dan diamalkan dilingkungan keluarga
didaerah desa Kali. Agar tujuan pembangunan baik dalam segi lahiriah
maupun batiniah akan terjangkau dan tepat pada sasarannya.
Menjadi kebiasaan pula dari lingkungan keluarga apabila dikunjungi seorang
yang bukan warga desanya, maka orang yang datang itu diperlakukan
sebagai anggota keluarga. Kebiasaan itu merupakan kebiasaan orang
Minahasa pada umumnya. Sebaliknya mereka ingin diperlakukan sebagai
keluarga bila mereka bepergian ke kota-kota lain atau merantau. Kepergian
ke daerah lain sehubungan dengan tugas pekerjaan dan ada pula yang pergi
karena melanjutkan pendidikan. Pengaruh perkembangan di lingkungannya
seperti agama, adat istiadat dan lain-lain jelasnya turut berperan.
Proses perkembangan itu dipengaruhi oleh pribadi keluarga maupun
marganya, sehingga kebanyakan mereka sesudah kembali ke desanya nilai
budaya yang diturunkan oleh leluhur mereka tetap digunakan dalam
kehidupan keluarga maupun individu-individu itu. Sebab sudah menjadi pola
anutan dalam setiap gerak, perilaku dan disetiap langkah hidupnya istilah:
Mi’lek- i lek = perhatikanlah petunjuk.
Wo tumali-talinga = dan mendengarkan nasihat. (wawancara H. Tombiling,
22 oktober 1984).
Dengan istilah ini memberikan gambaran yang merupakan ikatan janji atau
ikrar bersama dari setiap anggota keluarga dimanapun ia berada. Oleh
karena dapat dibayangkan proses perkembangan desa ini menyangkut agama
dan adat istiadat marganya dalam lingkungan pergaulan. Agama yang hanya
dikenal adalah 2 yaitu: Kristen Protestan dan Katolik yang merupakan suatu
peraturan yang seolah-olah telah membudaya dalam pergaulan mereka.
Dalam pergaulan mereka menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa
Tombulu. Didukung oleh penilaian tinggi terhadap keturunan keluarga serta
kesadaran beragama yang makin mendalam, pertenantangan antara
golongan beragama terhindar.

Nama Keluarga harus dijunjung tinggi dan di hormati.


Menjadi kebiasaan setiap orang tua yang melepas anggota keluarganya
misalnya anak mereka hendak ke pesta atau hendak pergi ke negeri lain
pada waktu anggota keluarga itu hendak meninggalkan rumah sang ornag tua
selalu memberi bekal terkahir dengan perkataan: ”Tia mapa’iyang-iyang wo
Genang-genangen U mei kua ku ma’ Artinya: jangan mempermalukan dan
ingatlah pesanku.
” menjadi pandangan masyarakat desa ini dan juga menjadi pandangan suku
Minahasa pada umumnya bahwa aib seseorang akan menjadi aib dari orang
tuanya. Kekurangan dari seluruh warga keluarga ataupun sanak saudara juga
dapat menjadi kekurangan dari seluruh warga desanya. Seseorang yang
melakukan kesalahan menurut adat akan dicelah oleh masyuarakat.
Bagi suku Tombulu kata makian tersebut adalah ”Rei kan Pinaturu”. Bagi
suku Tou Sea adalah, Dei kan Pinatudu”. Bagi suku Tou Temboan ”Ca sininya
u”.
Bagi suku Tou Dano ”Dei Pina ’turu”. Artinya dari istilah ini adalah “Tidak
diberi petunjuk ajaran adat”.
Pada umumnya orang Minahasa termasuk desa Kali beranggapan bahwa
keluarga, teristimewa orang tua bertanggung jawab atas tindakan dan sikap
warganya. Terutama orang tua berkewajiban mengajar anak-anaknya
tentang kesopanan dalam pergaulan.
Orang tua bertanggung jawab memberikan ajaran kepada anak-anak dalam
hal ketrampilan memenuhi kebutuhan hidup. Disamping itu orang tua juga
berkewajiban menjadikan anak-anak mereka sebagai orang-orang yang baik
dan berguna khususnya dalam keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Itulah sebabnya kalau ada seorang yang berbuat baik maka titik sasaran
adalah orang tua warga keluarga dan seluruh lingkungan keluarga dianggap
turut terlibat dalam perbuatan tercela itu. Pandangan atau anggapan seperti
yang dikemukakan diatas adalah merupakan nilai budaya yang diturunkan
oleh para leluhur suku Minahasa termasuk desa Kali. Sampai sekarang
budaya tersebut masih dijunjung tinggi oleh setiap warga keluarga
dibeberapa desa di Minahasa.
Apabila di desa-desa ditemukan seseorang yang berbuat aib tidak jarang
mendapat pukulan baik dari keluarganya sendiri maupun seluruh anggota
masyarakat desa. Ganjaran yang diberikan ada kalanya sampai babak belur,
namun pukulan itu masih dianggap wajar. Bila dianggap perbuatan seseorang
sudah melampaui nilai budaya keluarga maka urusannya terpaksa
dilanjutkan sampai kepada yang berwajib untuk dijatuhi hukuman
berdasarkan Undang-undang yang berlaku. Apabila seorang warga harus
membatu karena hal itu merupakan suatu penghinaan apabila tidak
mengadakan pembalasan.
Peristiwa yang semacam itu kadang-kadang meningkat menjadi permusuhan
antar desa itu dengan desa lain bila tidak segera ditangani oleh pihak yang
berwajib/berwenang. Sebelum kemerdekaan RI. Pihak yang berwenang
mengurus peristiwa yang demikian adalah tua-tua desa dan kepala desa
(hukum tua).

Sifat berusaha dan bekerja keras. Setiap anggota keluarga dalam lingkungan
hidup bermasyarakat pada umumnya berusaha untuk meningkatkan taraf
hidup keluarga. Hal ini nyata dalam ungkapan bahasa daerah sebagai
berikut: ”saru lutu’ tamburi mata”.
Arti ungkapan ini : Orang yang selalu mengharapkan yang sudah siap tetapi
tidak mau
      Berusaha (malas).
Pengertiannya : Saru lutu’ = menghadapi yang sudah siap.
  Tamburi mata’ = membiarkan yang belum diolah/belum selesai.
Didalam setiap keluarga apabila ada anggotanya yang malas maka anggota
keluarga yang malas itu selalu mendapat sindiran dengan ungkapan diatas.
Ungkapan ini biasanya muncul pada saat duduk makan bersama, atau pada
saat menghadapi sesuatu pekerjaan secara gotong-royong. Apalagi pada saat
si malas itu yang mendahului warga keluarga yang lain untuk menghadapi
meja makan.
Berdasarkan ungkapan diatas ini menjadikan setiap warga keluarga untuk
hidup dengan tekun dan rajin dalam segala hal.
Didorong oleh kemauan yang keras untuk berusaha sehingga setiap warga
keluarga didasari pada istilah: ”Sa wu’u u nae, wau ungkeroan”. Artinya :
kalau kaki dalam keadaan basah berarti kerongkongan akan jadi basah.
Arti ungkapannya: kalau kita dengan kekuatan kaki untuk bekerja berarti
hasil usaha itu akan melalui kerongkongan untuk dimakan.
 Adapun ungkapan ini adalah merupakan warisan nilai budaya para leluhur
Minahasa yang seakan-akan telah membudaya secara turun-temurun.
Biasanya ungkapan ini disampaikan pada setiap pasangan suami isteri yang
baru kawin atau bimbingan tua-tua desa kepada anggota keluarga yang tidak
mengalami perkembangan ekonomi yang baik. Sehingga tidak dapat
disangkal adanya tindakan langsung dari orang tua terhadap anaknya dalam
lingkungan keluarga tertentu. Seringkali tindakan tersebut terpaksa harus
direstui oleh yang berwewenang seperti kepala desa.
Adapun tindakan itu berupa mengasingkan di desa karena malasnya dalam
segala kegiatan hidup keluarga. Tindakan sedemikian terpaksa harus direstui
apabila sudah melampaui hukum adat atau lingkungan warganya.
(wawancara J.J. Kaunang, 29 Agustus 1984).
 Tindakan  diatas menyebabkan setiap anggota keluarga berusaha untuk
meningkatkan taraf hidup dalam bentuk bertani, berternak, tukang dan lain-
lain. Selain usaha diatas mereka amsih mempunyai usaha sambilan dalam
bentuk ketrampilan khusus.
Bila usaha-usaha mereka berhasil baik mereka mendapat pujian dari
masyarakat dan akan dijadikan teladan oleh warga desa yang lainnya.
Sebagai wujudnya maka masyarakat atau lingkungan itu akan disegani dan
tetap menjadi pemberi contoh yang baik.
Mengenai kebutuhan sehari-hari seperti makanan, pakaian dan lain-lain juga
menjadi ukuran dari malas atau tidak suatu keluarga. Sebab kebutuhan
pokok dapat menjadi patokan mampunya suatu keluarga. Jenis makanan
yang dibutuhkan juga merupakan standard untuk dapat hidup layak,
biasanya makanan itu terdiri dari jenis sayur- mayur, ubi-ubian, buah-
buahan dan lain-lain.
Pada umumnya makanan yang sebenarnya terdiri dari nasi, ikan, sayur-
sayuran dan buah-buahan itulah yang dibutuhkan oleh keluarga setiap saat.
Jika pada suatu saat makanan diganti dari yang biasa dimakan sebagai
makanan pokok seperti : ubi atau pisang saja asalkan perut sudah terisi
maka hal sedemikian dianggap kemalasan dari keluarga itu.
Adapun waktu makan setiap hari bagi warga desa Kali adalah sebagai
berikut: pada waktu pagi sebelum pergi melaksanakan pekerjaan
mengadakan acara makan yang disebut ”Sumokol”. Artinya makan pagi.
Makanan yang dihidangkan nasi dan lauk pauk seadanya nasi goreng, atau
makan kue-kue dengan minum kopi atau teh. Pada siang hari kira-kira pukul
11.00 atau 12.00 acara makan siang. Pada petangnya kira-kira pukul 17.00
diadakan acara minum teh atau kopi. Pada malamnya kira-kira pukul 19.00
acara makan malam. Makan siang dan makan malam itulah makanan yang
sebenarnya. Pada makan siang dan makan malam, makanan utama yang
harus dihidangkan adalah nasi dengan ikan, sayur dan lauk pauknya.
Dalam lingkungan keluarga di desa Kali sangat malu apabila pada waktu
makan siang ataupun makan malam hanya dihidangkan jenis makanan yang
tidak layak. Jelasnya mereka menajdi buah mulut orang dan dianggap orang
yang malas atau tidak mampu untuk dapat bertangung jawab. Apabila ada
tamu yang datang dan menginap si penerima tamu berusaha sedapat
mungkin menghidangkan makanan lebih dari makanan sederhana. Hal ini
tidak lain adalah untuk menjaga harga diri. Lagi pula orang yang menjamu
tamunya dengan makanan  yang tergolong tidak layak dianggap tidak
menghormati tamunya. Hal ini dianggap perbuatan yang sangat memalukan.
Pada dasarnya kesederhanaan ataupun kemiskinan lingkungan keluarga
adalah disebabkan kemalasannya. Setiap warga keluarga di desa ini
beranggapan bahwa siapa saja boleh menjadi kaya atau meningkatkan taraf
hidupnya apabila ia rajin bekerja dan berusaha terus.

Sifat tolong menolong untuk kemerataan hidup.


Masyarakat desa Kali khususnya dalam lingkungan keluarga menggangap
penting hidup tolong menolong. Sebagai prinsip dasar keluarga adalah bantu
membantu untuk tercapainya hidup yang layak.
Bentuk  tolong menolong mereka nyatakan dalam ungkapan bahasa daerah
sebagai berikut: ”Ma’ka ria-karia’an wo Ma’sawa-sawang’an”. Artinya kita
bersatu dan bantu membanti. Ungkapan ini adalah nilai budaya Minahasa
pada umumnya dan desa Kali khususnya dalam hidup di lingkungan pergaulan
keluarga. Biasanya ungkapan ini disampaikan oleh para orangtua baik dalam
pertemuan umum maupun dalam pembinaan keluarga sebagai nasihat.
Demikian juga dalam praktek kehidupan sehari-hari dalam berbagai aspek
sosial ekonomi dan lain-lain.
Kebiasaan hidup bersama dan saling memberikan pertolongan kepada
sesama hidup atau warganya adalah kuat sekali. Sebagai tindak lanjut dalam
pelaksanaan ini mereka wujudkan dalam bentuk pengolahan pertanian,
memetik padi upacara-upacara memangun rumah dan bangunan-bangunan
umum seperti gereja, sekolah, bagunan irigasi dan lain-lain.
Setiap satu usaha yang direncakana untuk dikerjakan terlebih dahulu
diadakan pertemuan untuk mengatur cara mengerjakannya.
Dalam usaha pertanian mulai dari merombak hutan sampai pada
penanamannya dikerjakan secara gotong royong yang berdasarkan jumlah
anggota dalam kelompok (group). Jadi dengan bentuk kelompok ini sifat
gotong-royong dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan dapat dilaksanakan.
Adapun keanggotaannya terdiri dari laki-laki maupun wanita. Bentuk gotong
royong ini bagi lingkungan keluarga di desa ini cukup banyak, berupa arisan,
rukun duka, rukun suka dan lain-lain, sebagaimana telah disebutkan dibagian
lain yang disebut Mapalus.
Pada prinsipnya semua kegiatan manusia didasarkan pada gotong royong
guna meningkatkan taraf hidup anggota bahkan masyarakat pada umumnya.
Karena itu sejauh penelitian kami tidak ada anggota keluarga di desa ini
yang tingkat kehidupannya dibawah standard minim kebutuhan manusia.
Namun jika terdapat seorang dua yang sedemikian maka organisasi-
organisasi sosial turut menangani guna keseajteraan hidup keluarga.
Sifat tolong menolong dalam tingkat kehidupan manusia sudah
membudayakan dalam lingkungan pergaulan sebagai penerapan sifat ini
ternyata dalam lingkungan pergaulan keluarga. Karena itu dengan tata
laksana pergaulan ini atas Pancasila sebagai dasar Negara sudah dapat
terlaksana dalam setiap prilaku manusia dalam lingkungan pergaulannya.
Prilaku itu mereka wujudkan dalam setiap gerak-gerik sehari-hari dalam
berbagai aspek kehidupannya.
Jika demikian melalui proses pembinaan dan peningkatan pembangunan
dalm segala bidang, jelasnya capaian menuju masyarakat adil makmur, demi
kesajteraan hidup manusia atau anggota keluarga dalam hidup
bermasyarakat. Apalagi dengan melalui Pelita sesuai dengan program
pembangunan sudah menjadi ukuran masyarakat khususnya lingkungan
keluarga untuk kesejahteraan hidup manusia.

Menyangkut  hewan ternak meskipun relatif cukup banyak akan tetapi


penggunaan daging hewan itu hanya khusus pada kesempatan-kesempatan
yang dianggap istimewa sebagai mana keadaan yang mendesak misalnya
sudah kehabisan sama sekali ikan-ikan yang dijual oleh pedangang atau di
warung-warung.
Hewan yang di temukan didesa ini antara lain sapi, kuda, babi, ayam. Daging
kuda tidak untuk di makan. Daging hewan tersebut di atas ini hanya
dinikmati pada acara-acara khusus seperti: tahun baru, natal, pengucapan
syukur, perkawinan selamatan dan untuk persediaan bagi tamu yang akan
datang dari luar dan sebagainya.
Yang menjadi makanan khas masyarakat desa Kali, seperti makanan yang di
olah dan di masak dalam bambu (saut, tinorangsak, pangi, ayam bulu, babi
bulu), dan lain sebaginya, termasuk masakan ikan. Untuk jenis sayuran
seperti tinutuan (bubur Manado) sayur pahit dan sebagainya. Dan jenis kue
yakni cucur, kokolek ongol-ongol, waji dan sebagainya.
Masakan berupa pangi dan saut pada acara khusus/istimewa selalu nampak
walaupun masakan ini adalah beberapa tidak dihidangkan tetapi hanya
dimakan oleh para pekerja yang ada didapur.
Begitu pula dengan tinutuan selain lebih cocok untuk makan pagi hari,
makanan ini tidak pantas dihidangkan untuk para tamu dalam acara-acara
khusus karena hal ini di anggap tidak terpuji. Disini berarti pula dapat
dihubungkan dengan keadaan ekonomi yang hidup berkekurangan. Tetapi
kalau kita lihat bahwa tinutuan ini tidak kalah gizinya dengan makanan-
makanan yang lain.
Sama halnya pula dengan jenis kue khas masyarakat seperti cucur dan
sebagainya tidak pantas dihidangkan dalam acara seperti pesta kawin ini
juga tidak terpuji.
Jenis kue seperti cucur, apang, biapong biasanya hanya dihidangkan dalam
acara seperti evanglisasi (ibadah rumah bagi agama Protestan) atau dalam
acara kematian.
Ada juga jenis kue yang pengolahannya dimasukkan dalam bambu yang
disebut nasi jaha. Kue ini biasanya disediakan dalam acara pengucapan
syukur atau selamatan lainnya. Jenis makanan yang diolah dan di masak dari
bambu biasanya juga terdapat pada umumnya orang Minahasa.

Tata  Kelakuan Dalam Arena Adat.


Kelakuan sosial dan adat istiadat penduduk desa Kali terdapat dalam
bermacam-macam hubungan. Hal ini mereka wujudkan dalam bermacam-
macam kegiatan berupa interaksi antar kelompok atau golongan dimana
peranan pimpinan pergaulan pimpinan dengan peserta dengan peserta,
dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
Pergaulan pimpinan dengan pimpinan di dalam dan di luar Arena Adat.
Pergaulan ini dapat kita lihat dalam kelompok keluarganya yang
keanggotaannya berdasarkan atas hubungan perkawinan.
Peranan pimpinan adat atas jenis-jenis rumah tangga tersebut dalam
interaksi dapat kita lihat pada kegiatan-kegiatan dalam penyelenggaraan
seperti upacara daur hidup atau life cycle yang meliputi : perayaan hari
ulang tahun, perkawinan dan adat istiadat lainnya.
Perayaan hari ulang tahun.
Dalam  perayaan hari ulang tahun biasanya diundang tetangga, kenalan dan
handai tolan, pimpinan-pimpinan agama, pemerintah desa, tokoh-tokoh
masyarakat yang merupakan pimpinan adat, diundang hadir bersama-sama
dalam acara tersebut.
Khusus bagi keluarga yang menyelenggarakan pesta harus melibatkan
keluarga dari ke dua belah pihak supaya terjalin rasa kekeluargaan. Sebab
kalau tidak maka tokoh masyarakat sebagai pimpinan adat akan merasa
tersinggung. Dalam arena yang sedang berjalan biasanya salah seorang
pimpinan adat lekas minta diri walaupun acara ini belum selesai dan nanti
diluar arena atau acara ini pada beberapa hari berikutnya beberapa tokoh
masyarakat akan mempersalahkannnya lewat pertemuan-pertemuan lainnya.
Adapun tujuan mengadakan upacara pada hari ulang tahun pada masyarakat
di desa ini sama halnya dengan masyarakat lainnya yaitu menyatakan ucapan
syukur kepada Tuhan Allah atas anugerah ketambahan usia yang sudah
diberikannya dan mohon kelanjutan usia.
Upacara perayaan hari ulang tahun ini merupakan acara keagamaan dimana
selain melakukan ibadah kepada Allah, diadakan acara makan bersama dan
juga pun mengadakan acara kesenian. Disini pergaulan adat dengan peserta
adat atau antara peserta adat didalam dan diluar arena ini berpegang pada
tata kelakuan atau tatakrama yang berlaku di desa ini.
Dalam hal mengadakan ibadah khusus yang beragama kristen biasanya
langsung dipimpin oleh seorang pendeta atau pemimpin agama lainnya. Pada
acara hari ulang tahun apabila yang merayakan adalah seorang pemuda atau
seorang pemudi remaja maka yang akan memimpin ibadah biasanya dari
kaum muda yang sudah mendapat tugas untuk melayani (16;13).
Menurut kebiasaan masyarakat di desa Kali pemilihan jodoh akan ditentukan
oleh pilihan dari sang anak itu sendiri. Namun masih ada sebahagian para
orang tua yang menghendaki agar anak mereka kawin dengan suku mereka
sendiri atau satu agama. Kalau terjadi ketidak cocokan antara anak dengan
orang tua maka para pimpinan adat sebagai tokoh masyarakat dipanggil
untuk turut menyelesaikan. Disini interaksi antara pimpinan adat dan
peserta adat diharapkan kebijaksanaannya dalam menanggulangi persoalan
tersebut.
Sesudah dilakukan pemilihan jodoh dilanjutkan dengan peminangan. Dalam
proses peminangan ini biasanya dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki. Di
desa ini peminangan adalah merupakan kewajiban orang tua. Sebab itu jika
orang tua telah mengetahui bahwa putera mereka sudah mempunyai jalinan
cinta dengan seorang gadis, maka orang tua langsung menanyakan apakah
puteranya itu sudah berhasrat untuk menikah. Kalau ternyata memang
puteranya itu sudah ingin kawin maka segeralah diatur peminangan yang
dilanjutkan dengan acara pertunangan dan perkawinan. Maksudnya supaya
masing-masing pihak dapat menyelami isi hati kedua belah pihak. Kalau
masing-masing sudah saling mencintai barulah dilanjutkan dengan lamaran
yang dilakukan oleh orang tua laki-laki atau dapat pula melalui perantara
orang lain/kerabat yang terdekat.

Tatakelakuan dan sikap tenggang rasa

Ketika disuatu lingkungan atau dusun ada seorang warga desa yang
meninggal dunia maka semua warga dusun yang bersangkutan serta dusun-
dusun lainpun turut menenggang rasa duka dari keluarga pemangku duka.
Cara atau kebiasaan yaitu ”tidak seorangpun warga desa yang pergi kekebun
atau bepergian keluar desa. Kecuali bagi sesuatu keperluan yang sangat
penting. Semua warga desa secara spontanitas merasa berkewajiban turut
berduka cita dan berbela sungkawa terhadap meninggalnya sesama warga
desa, walaupun tidak ada ikatan kekeluargaan lagi. Suatu contoh sederhana
lagi sehubungan dengan tata kelakuan dalam arena keagamaan. Yaitu ketika
kebaktian pengucapan syukur dari penduduk karena panen berhasil.
Biasanya penentuan waktu yang berbeda bagi pelaksanaan oleh golongan R.K
dan golongan GMIM di musyawarakan dibawah koordinasi pemerintah desa
agar tidak bersamaan waktunya. Dalam acara kebaktian atau ibadat
pengucapan syukur dari ketiga golongan itu saling undang-mengundang. Ini
adalah pencerminan tata kelakuan atau sikap toleransi beragama yang hanya
baik melainkan juga adalah pertanda sikap mental tenggang rasa yang
matang dari pergaulan masyarakat desa Kali.

Tata kelakuan dan bekerja keras

kesederhanaan atau kemiskinan seseorang adalah disebabkan karena


kemalasannya, dan mereka beranggapan bahwa siapa saja boleh menjadi
keluarga berkecukupan atau meningkatkan taraf hidupnya apabila ia rajin
bekerja. Bahwa mereka memiliki tata kelakuan tersebut ini selain hal ini
diwarisi dari pola tingkah laku leluhurnya juga disebabkan oleh pembinaan
pemerintah desa dalam memasyarakatkan P4. Sila kelima dari Pancasila
yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia salah satu butirnya
adalah : memupuk sikap suka bekerja keras dan sikap suka menghargai hasil
karya orang lain yang bermanfaat untuk kemajuan dan kesejahteraan
bersama yang kesemuanya dilaksanakan dalam rangka mewujudkan
kemajuan yang merata dan keadilan sosial.

Tata Kelakuan Dan Kesetian Kawanan Nasional.


Menurut Prof. Mohamad Yamin S.H, Budi pekerja atau moral negara dapat
diperinci menjadi setia kawan tenaga rakyat dan kemerdekaan (29;83).
Selanjutnya beliau mengatakan tentang setia kawan ”orang harus
mempunyai rasa setia kawan pada negara atau kesetia kawanan nasional
setia pada rumah tangga, setia pada persekutuan desa, dan setia pada
persekutuan daerah serta pada bangsa dan tanah air”.
Menganalisa arti kesetia-kawanan nasioanal tersebut bagi masyarakat Kali
dalam tata kelakuan mereka diarena pemerintahan menyangkut interaksi
atasan dengan bawahan dan sebaliknya yang berlangsung dengan kesadaran
dan penuh loyalitas berarti tata kelakuan dan kesetia-kawanan nasional di
desa Kali, dimengerti secara baik bahkan mantap.
Contoh sederhana adalah: pada saat-saat ada pengarahan tenaga untuk
bhakti sosial mengerjakan obyek-obyek kepentingan umum baik di tingkat
kecamatan tingkat kabupaten atau propinsi, maupun nasional seperti
membersihkan parit dan pinggiran jalan dan sekitarnya serta kebersihan dan
kerapihan makam pahlawan Imam Bonjol di Lotak, rakyat Kali di bawah
pimpinan pemerintahan desa dan pemerintahan kecamatan Pineleng
melaksanakan dengan baik dan gembira karena mereka tahu itu kesetia-
kawanan Nasioanal.
Secara teoritis-filosofis, etika adalah hal-hal yang berkaitan dengan tingkah laku moral
seseorang ataupun masyarakat. Sedangkan moral adalah nilai-nilai ideal yang diyakini oleh
seseorang atau masyarakat sebagai landasan dan tolak ukur sikap etis. Jadi, etika merupakan
aktualisasi nilai-nilai ideal dalam kehidupan sehari-hari lewat tingkah laku seseorang atau
masyarakat. Berdasarkan nilai-nilai ideal yang ada, orang belajar tentang hal apa yang
sebenarnya penting bagi kehidupan, belajar apa yang mesti atau tidak, atau belajar apa yang
baik dan apa yang tidak baik.
Bagi masyarakat tradisional, standar moral dan etis itu terungkap lewat kebiasaan-kebiasaan
atau aturan-aturan yang tidak tertulis, yang diwariskan secara turun-temurun. Kebiasaan, cara
(kelakuan dsb.) yang sudah menjadi kebiasaan ini, disebut adat. Bagi masyarakat tradisional
Minahasa, kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan yang tidak tertulis, yang diwariskan secara
turun-temurun disebut “nuwu’ I tua”. Secara khusus, adat atau nuwu’ I tua di masyarakat
tradisional Minahasa, itulah juga etika asli orang Minahasa.
Adat merupakan bagian penting kebudayaan manusia dan sangat mempengaruhi (kalau bukan
menentukan) cara dan bentuk kehidupan komunitas masyarakat, baik secara vertikal maupun
horisontal. Secara vertikal menunjuk pada “sesuatu” yang berada di atasnya, yang “menguasai”
dan “menentukan” keberadaan serta masa depannya. Secara horisontal menunjuk kepada relasi
dan tempatnya dalam tatanan sosial kemasyarakatan.
Dalam kajian-kajian ilmiah tentang kebudayaan masyarakat etnis, maka orientasi nilai budaya
masyarakat etnis berkisar pada masalah hubungan seseorang dengan sesama dan dengan
kosmis. Dalam kaitan ini, ditemukan paling kurang lima orientasi nilai yang merupakan landasan
moral etis masyarakat tersebut, yakni :

• Sikap seseorang terhadap sesama;


• Apa (kewajiban) yang hendaknya dilakukan seseorang terhadap sesamanya ? ;
• Wawasan dan kesadaran akan kebersamaan (solidarity) ;
• Pewujudan nilai kebersamaan dalam kerja ;
• Konsep kehidupan politik

Dengan kerangka ini dapatlah disistematisasikan lima orientasi nilai budaya Minahasa atau lima
nilai moral dasar yang berhubungan dengan kehidupan orang Minahasa yang menunjukan
tentang adat.

1. Sikap terhadap sesama (social behaviour)


Orientasi nilai yang berkaitan dengan sikap seseorang terhadap sesama dapat kita temukan
lewat ungkapan-ungkapan, misalnya : masigi-sigian (saling menghormati). Masigi-sigian selalu
disingkronisasikan dengan maupus-upusan (mengasihi satu dengan yang lain) dan maleos-
leosan (jujur terhadap yang lain atau menjadi pemimpin yang baik/benar terhadap orang lain).
Ungkapan-ungkapan ini semestinya tidak hanya dipahami dalam kerangka “luaran” yang
harafiah, melainkan dalam kerangka orientasi nilai yang hendak menjelaskan wawasan dan sikap
budaya serta religius orang Minahasa yang berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia.
Dalam masyarakat Minahasa, penerimaan dan penghormatan adalah nilai yang dipikirkan dalam
kerangka kerja dari masigian. Kerangka kerja dari seseorang dalam hubungan “muka dengan
muka” dengan masyarakat yang lain. Masigi-sigian, maupus-upusan dan maleos-leosan harus
dimengerti dalam kerangka kerja dari perkumpulan yang bersifat totalistik. Dalam pandangan
ini, keberadaan manusia atau realitas selalu dilihat dalam hubungan dengan perintah yang suci
dan perintah kosmis. Sebagai penerimaan terhadap sesuatu yang kudus, manusia juga harus
menerima “orang lain”. Dengan kata lain, menghormati dan mengasihi sesama manusia adalah
juga merupakan sikap hormat terhadap yang ilahi atau Tuhan (biasa disapa dengan sebutan-
sebuatan, antara lain: Opo Kasuruan Wangko, Opo Wananatas, Opo Wailan, dst).
Dalam persekutuan total orang Minahasa, tetangga atau anggota manusia dilihat dalam
hubungan dengan yang sakral yang disebut Opo Wailan Wangko. Penerimaan mereka terhadap
Opo Wailan Wangko juga direfleksikan ke dalam tindakan atau prilaku sosial mereka. Masigi-
sigian juga dipikirkan dalam kerangka kerja dari sebuah hubungan yang kebetulan, yang
merupakan elemen dasar dari kepercayaan religius. Kepercayaan orang Minahasa bahwa jika
prilaku seseorang baik (leos), dikarenakan penerimaan dari sebuah berkat yang baik.
Maksudnya, jika prilaku seseorang itu benar, hal itu karena ia tidak menerima sebuah hukuman
moral (katula). Jika kesakitan atau kecelakaan menimpa seseorang, maka diyakini bahwa dia
telah melakukan tindakan yang “immoral” atau “ireligius” kepada orang lain.

2. Kewajiban moral terhadap sesama (Obligation to serve)


Kalau dalam orientasi nilai yang pertama kita menemukan kesadaran untuk saling menghormati,
maka pada orientasi nilai yang berikut ini kita menemukan adanya kesadaran akan kewajiban
moral untuk melayani sesama manusia. Hal ini terungkap misalnya, lewat apa yang dalam
masyarakat Tountemboan (salah satu sub etnis yang ada di Minahasa) disebut Masaali. Memang
istilah ini pertama-tama menjelaskan suatu sikap dan tingkah laku anak-anak terhadap orang
tua, yaitu suatu kewajiban anak-anak untuk merawat orang tua disaat lanjut usia. Dengan kata
lain, kewajiban ini mengungkapkan pelayanan anak-anak terhadap orang tua yang
membutuhkan pelayanan anak-anak. Jadi, apa yang terdapat pada kelompok-kelompok etnis
atau bangsa yang lain tentang obligasi untuk melayani orang tua, terdapat pula pada orang
Minahasa. Dalam analisis sosio-kultural, kewajiban pelayanan seperti ini merupakan juga
ungkapan mengenai kesadaran etis-religius orang akan penghormatan terhadap yang ilahi
(Tuhan). Kata lain, penghormatan yang diberikan kepada Tuhan, diungkapkan pula lewat
kehidupan moral-praktis, yalni melayani sesama manusia. Jadi, dapatlah dikatakan bahwa
masali adalah respons terhadap hubungan “muka dengan muka”. Hal ini merupakan respons
atas pertanyaan “apa yang harus saya lakukan terhadap sesama ?” Konkritnya, ini merupakan
sebuah respons atas pertanyaan “apa tanggungjawab moral saya terhadap orang lain ?”, “apa
yang harus saya lakukan dalam komunitas ?” Tanggungjawab moral diterjemahkan ke dalam
pelayanan konkrit terhadap tetangga atau sesama yang membutuhkan pertolongan. Jadi,
praktek pelayanan seperti yang terlihat pada masaali mengandung nilai etis-religius yang
berkaitan dengan kesadaran akan kewajiban moral seseorang terhadap sesama manusia.

3. Kesadaran akan kebersamaan (Solidarity and equality)


Nilai-nilai kebersamaan ternyata sangat penting dalam kebudayaan Minahasa, bahkan menjadi
tolak ukur bagi kehidupan social. Hal ini sangat nyata terlihat lewat peristiwa-peristiwa nyata
yang terjadi disekitar kehidupan komunal Minahasa, misalnya: kedukaan, persta kawin, dst.
Dalam peristiwa ini, masyarakat membawa “rukup” mereka (biasanya berupa barang-barang
yang menjadi kebutuhan material orang atau keluarga yang berduka, berpesta, dst ). Pemberian
kebutuhan material merupakan perintah moral dalam pengertian demi persatuan dan harmoni.
Orang yang tidak melakukan hal itu adalah “immoral”. Kepercayaan orang Minahasa bahwa
prilaku immoral bisa menghancurkan hubungan seseorang dengan lingkungan.
Praktek ma-rukup dalam masyarakat Tountemboan, hal yang sama juga terdapat pada
kelompok etnis manapun di Minahasa, dapat dikategorikan pada orientasi nilai kebersamaan ini.
Semua cara dan upacara dalam peristiwa-peristiwa yang disebutkan di atas, tidak semata
rutinitas, melainkan mengungkap nilai-nilai etis-religius. Persekutuan yang terjadi dalam
peristiwa-peristiwa ini secara sosio-religius adalah ungkapan rasa kebersamaan dan kesamaan
derajat.
4. Wawasan tentang kerja (ethos kerja atau work ethic)
Masyarakat asli Minahasa memiliki etos kerja yang diinstitusikan lewat pranata “mapalus”.
Pranata ini sering diasosiasikan dengan praktek gotong royong di Jawa atau di daerah-daerah
lain, yang mengungkapkan semangat dan praktek saling tolong-menolong dalam menyelesaikan
suatu pekerjaan. Namun, pranata mapalus di Minahasa berakar pada budaya agraris di desa-
desa, karenanya dapat dibedakan dengan gotong royong, walaupun gotong royong menjadi
bagian hakiki dari mapalus. Perbedaannya ialah, gotong royong berlangsung secara sukarela
tanpa terorganisir ke dalam suatu system kerja, sedangkan mapalus merupakan kegotong-
royongan yang telah “diorganisasi” atau “dilembagakan” dalam suatu sistim kerja. Jadi secara
etis sosial dan kultural, mapalus merupakan institusionalisasi semangat kebersamaan. Ini dapat
pula dianggap sebagai wawasan tentang sistim kerja dan karenanya, dapat dilihat sebagai etos
kerja orang Minahasa.
Menurut Josef Saruan, azas-azas mapalus meliputi: azas kekeluargaan, musyawarah dan
mufakat, azas kerja sama, azas keagamaan serta azas persatuan dan kesatuan. Kemudian,
prinsip-prinsip pengelolaan suatu mapalus, yaitu: prinsip tolong menolong, prinsip keterbukaan,
prinsip disiplin kelompok, prinsip kebersamaan serta prinsip daya guna dan hasil guna.
Etos kerja orang Minahasa, disamping dalam rangka memenuhi kebutuhan azasi manusia untuk
hidup, tetapi juga dalam rangka melakukan kewajiban kultural-religius.

5. Musyawarah mufakat (unanimous concensus)


Dalam orientasi nilai yang terakhir ini, dapat dilihat bagaimana sebernarnya orang Minahasa
menyelesaikan konflik sosial. Konsep dan praktek dari “masuat peleng” atau “paumung”
merupakan cara aktual orang-orang Minahasa untuk membuat kesepakatan dalam konflik dan
pluralitas sosial (Indonesia: Musyawarah dan mufakat). Hal ini diekspresikan dengan jelas dalam
sejarah pertemuan “Watu pinabetengan” (yang bermacam-macam versi), dimana semua pihak
yang berkonflik bertemu. Dalam pertemuan tersebut tidak ada seorangpun dari mereka yang
dilarang masuk dan ditaklukan. Setiap pihak diberikan kesempatan untuk mengungkapkan
pandangan mereka, mereka membuat keputusan atau kesepakatan (mufakat). Setiap pihak
berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan. Mereka membuat kesepakatan: Esa, esa kita
peleng, esa wia se Opo-opo Lumimuut wo si Toar (Kita semua menjadi satu dan harmonis,
disatukan oleh Opo dari Lumimuut dan Toar). Kriteria mereka bukanlah antara benar dan salah,
tetapi kesadaran untuk menjadi “anak Allah, Opo”. Kriteria mereka adalah pengenalan terhadap
solidaritas dan harmoni. Konflik merupakan ketidakhadiran dari esa (kesatuan) dan harmoni.
Kesadaran ini membuat mereka sanggup untuk mengemukakan pandangan-pandangan mereka,
untuk berbicara satu dengan yang lain, dan untuk saling menerima satu dengan yang lain. Lebih
dari pada itu, hal ini membuat orang-orang Minahasa sanggup untuk tidak menaklukkan yang
lain atau untuk menjadi eksklusif, melainkan bisa beradaptasi. Orang Minahasa
mengadaptasikan diri sendiri atau bisa mengadaptasikan diri sendiri dengan pandangan-
pandangan orang lain. Dalam sikap ini, keberadaan dari pihak-pihak yang berbeda tidak
menghasilkan sebuah konflik melainkan saling melengkapi. Masuat peleng atau paumung
merupakan cara berpikir inklusif yang membuka toleransi, dialog, pluralis dan perubahan ke arah
yang lebih baik.
Melihat lima orientasi nilai budaya Minahasa ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa tou
Minahasa adalah adalah orang-orang yang berpikir, bersikap serta bertingkah laku sesuai
dengan nilai-nilai moral dasar tou Minahasa tersebut. Tetapi dalam perjalanan masa hingga saat
ini, adakah nilai-nilai moral tersebut masih nampak dari tou Minahasa ?
Kalau mau berefleksi dari lima orientasi nilai budaya Minahasa ini dalam hubungan dengan sikap
dan prilaku tou Minahasa saat ini, sepertinya kita boleh katakan bahwa masigi-sigian, maupus-
upusan dan maleos-leosan telah berubah menjadi sikap yang cuek aja tidak peduli dan suka
berdusta atau membalikkan fakta. Orang-orang tidak suka lagi melayani sesama dan kalaupun ia
melayani itu bukan karena ketulusannya melainkan karena suatu kepentingan tertentu. Marukup
mulai dilupakan dan kalaupun ada itu dilakukan bukan karena kesadaran akan kebersamaan
tetapi demi gengsi dan harapan ada imbalan. Mapalus yang adalah etos kerja tou Minahasa
mulai ditinggalkan, dan bagaimana tou Minahasa menyelesaikan persoalan saat ini ? Masuaat
Peleng atau paumung yang di dalamnya ada kebebasan mengemukakan pandangan, ada rasa
solidaritas dan kesadaran untuk menciptakan kesatuan dan harmoni, kini telah berubah menjadi
tidak menghormati, tidak menghargai pendapat dan pandangan orang lain, tidak mengutamakan
musyawarah, bahkan lebih parah adalah sikap “baku cungkel”, memecah belah dan
menghancurkan kebersamaan yang telah ada.
Kenyataan ini memang bukan tanpa sebab, menurut E.K.M. Masinambow perubahan ini terjadi
jelas karena pengaruh peradaban barat. Lebih lanjut Veldy Umbas mengatakan bahwa
perubahan sikap dan prilaku tou Minahasa saat ini terjadi setelah melewati beberapa tahap mulai
dari Periode pra sumerar, periode ikrar Pinabetengan, periode kolonisasi, periode integrasi
nusantara hingga periode perang saudara di zaman PRRI/Permesta. Dan menurut Umbas, dalam
perjalanan tou Minahasa selanjutnya, hingga saat ini, tou Minahasa terus berubah apalagi ketika
mereka berhadapan dengan makin berkuasanya kapitalisme global dengan penguasaan
informasi global yang kemudian menggiring prilaku sosial tou minahasa kearah materialistis
kapitalisme dengan spirit hedonisme yang kental.
Nilai-nilai moral budaya yang ideal dari tou Minahasa sangat indah. Jika ia tenggelam, siapakah
yang bertanggung jawab ? Kenyataan tentang tou Minahasa saat ini menunjukkan bahwa
sebenarnya nilai-nilai moral budaya yang indah itu masih ada walau sedikit. Itu tentu menjadi
harapan bagi kita untuk bisa mengangkat kembali yang sudah mulai tenggelam dan terus
mempertahankan yang masih ada. Nuwu I Tu’a yang telah diamanatkan harus dijalankan
dengan baik akad se tu’us tumow tow {agar (=tekad) semua anak keturunan (=se Tu’us)
menjadi manusia (=tomow) dan memanusiakan keturunan selanjutnya (=o tumow tow)}.
Semua itu demi satu tujuan dan harapan, Ma-esa-esa-an wo Maleos-leosan (Menjadi satu,
harmonis dan baik satu dengan yang lain).
Orientasi Nilai Budaya Minahasa

Setiap masyarakat etnis memiliki orientasi nilai budaya atau wawasan kultural (filosofi)
mengenai kehidupan manusia dan hubungannya dengan alam lingkungan dan semesta.
Masyarakat etnis Minahasa (tradisional), memiliki sedikitnya lima orientasi nilai budaya,
akni wawasan tentang: kerja, waktu, alam, hidup, dan sesama manusia.
Pertama-tama, bagi orang Minahasa, kerja adalah, tidak seperti yang dikatakan Max Weber
“panggilan” (calling) atau “kewajiban religius” (religious obligation), bukan pula “profesi”
(vocation), melainkan sebagai “keharusan” untuk hidup. Dengan kata lain, kerja adalah
dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia: makanan, tempat berteduh,
pakaian. Jad, kerja bukanlah alat atau prasarana untuk memperoleh profit atau keuntungan
(nilai tambah).
Selanjutnya, wawasan tentang kerja sesunguhnya berkatan pula dengan wawasan tentang
waktu. Untuk orang Minahasa, waktu adalah berputar menurut musim: panas dan hujan
silih bergani. Ketika musim hujan, secara alamiah orang sadar bahwa mereka harus
menanam. Sebalikna, ketika musim panas datan, orang tahu mereka akan menuai atau
panen, lalu istirahat. Jadi, kerja berkaitan dengan putaran musim,dan tidak berkaitan
dengan wawasan tentang masa depa. Karenana, orang tidak merasa harus memburu
waktu, sebab toh waktunya pasti akan tiba. Dalam ungkapan orang Tounteboan (Minahasa
bagian selatan): mange-nger, si kamang wo si endo ca tumintas(pelan-pelan, atau tenang
saja, toh hari dan kemujuran – berkah – tak akan lari pergi). Karenanya pula, ”jam karet”
adalah lumrah, kalau tidak dikatakan bagian dari hidup sehari-hari.

Kedua wawasan yang baru disebutkan, serta-merta mempengaruhi wawasan orang tentang
alam lingkungan. Manusia dan alam merupakan ciptaan yang saling erkit satu dengan yang
lain, dalam arti satu hubungan totalistis. Karenanya, peristiwa manusiawi dan peristiwa
alami saling mempengaruhi satu terhadap ang lain. Setiap peristiwa dalam lingkaran
kehidupannya, misalnya: membuka kebun, memasuki rumah baru, kawin, dst., tidak semata
hanya masalah rutin, tetapi hal yang sifatnya religius. Untuk itulah diadakan ritus-ritus atau
upacara-upacara religius. Manusia dan alam dipahami berada dalam hubungan yang
harmonis.

Tiga wawasan tadi membentuk wawasan tentang kehidupan. Kehidpan pertama-tama


bukanlah satu ”antisipasi” akan suatu ”kepenuhan hidp” (fulfillment) di masa depan,
melainkan suatu keikmatan bersama dalam komunitas. Itulah sebabnya mengapa pesta-
pesta di Minahasa sangat penting secara ”religius”, karena semua itu merupakan
pengungkapan rasa solidaritas dan syukur kepada Tuhan. Walaupun memang dalam
filosofinya orang Minahasa terdapat konsep wale karondran,
kasendukan, dan kaayaan(hidup setelah mati), namun dalamnya tidak ditemkan wawasan
tentan ”kehidupan sebagai proses yang bergerak dan berkembang secara progresif menuju
ke masa depan, ke titik akhir atau pemenuhan” (dalam wawasan teologi Kristen
disebut eschaton).
Keempat orientasi hidup yang baru disebutkan pada akhirnya membentuk sikapnya
terhadap sesama manusia. Manusia dalam konsep budaya Minahasa dipahami dalam
rangka wawasan maesa-esaan wo maleo-leosan (saling mengasihi, memelihara persatuan
dan kesatuan serta keseimbangan). Jadi terdapat hubungan dialektis antara individu dan
komunitas atau masyarakat. Pada satu pihak, komunitas atau masyarakat merupakan
produk individu-individu, pada lain pihak individu merupakan produk dari masyarakat.
Keduanya berada dalam hubungan yang seimbang.

Si Tou Tinou Tumou Tou: Konsepsi Moral-Etik dalam Budaya Minahasa

Kebudayaan Minahasa, sama seperti kebudayaan-kebudayaan etnis lainnya, adalah


kebudayaan masyarakat yang disebut pre-literary society. Cirinya terungkap lewat
kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan yang tidak tertulis, yang diwariskan secara turun-
temurun.[3] Dalam hal kebudayaan Minahasa hal-hal itu disebut nuwu’ i tua(petunjuk-
petunjuk moral etik dan  petuah-petuah).

 Sikap terhadap sesama (social behavior). Orientasi nilai yang berkaitan dengan


sikap dan perilaku terhadap sesama dapat ditemukan pada ungkapan-ungkapan,
misalnya, masigi-sigian, maupu-upusan, maleo-leosan, dst. Secara sederhana
ungkapan-ungkapan ini biasanya dierjemahkan: ”saling menghormati”, ”saling
mengasihi”, ”saling bersikap jujur” satu terhadap yang lain, dst. Namun, substansi
ungkapan-unkapan ini tidak hanya dipahami secara harafiah, melainkan dalam
rangka orientasi nlai yang hendak menjelaskan wawasan dan sikap kultural-religius
orang Minahasa yang berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia. Wawasan
kultural ini hndak menjelaskan pula prinsip moral-etis orang Minahasa terhadap
sesama, yakni saling menghormati dan mengasihi. Sikap ini sekaligus suatu
pengejawantahan sikap hormat terhadap Yang Ilahi, Tuhan, yang biasanya disapa
dengan sebutan-sebuan, a.l.: Opo Kasuruan Wangko, Opo Wananatas, Opo
Wailan, dst).
 Kewajiban moral terhadap sesama (moral obligation to serve). Kalau dalam
orienasi nilai yang dsebutkan di atas ditemukan adanya suatu kesadaran untuk saling
menghormati, maka pada orienasi nilai yang berikut ini adalah kesadaran akan
kewajiban untuk melayani sesame manusia. Hal ini terungkap lewat, misalnya, dalam
masyarakat Tounemboan, yang disebut masaali. Istilh ini pertama-tama suatu sikap
dan tingkah laku anak-anak terhadap orang ua. Adalah kewajiban anak-anak untuk
merawat orang tua mereka di saat lanjut usia. Obligasi untuk melayani orang tua
sebagaimana biasanya terdapat pada berbagai kelompok etnis atau bangsa, dijumpai
pula pada orang Minahasa. Dalam perspektif analisis sosio-kultural, pelayanan
seperti ini merupakan juga ungkapan menenai kesadaran etis-religius akan
kehormatan seseorang terhadap Yang Ilahi (Tuhan). Kata lain, penghormatan
terhadap Tuhan diungkapkan pula lewat kehidupan moral-praktis, yakni melayani
sesama manusia. Jadi, praktek pelayanan seperti terlihat pada masaali mengandung
nilai etis-religius yang berkaitan dengan kesadaran akan kewajiban moral seseorang
terhadap sesama manusia.
 Kesadaran akan kebersamaan (solidarity and equality). Dalam kebudayaan
Minahasa nilai-nilai kebersamaan adalah sangat penting, bahkan menjadi tolok ukur
bagi kehidupan sosial. Hal ini nyata terlihat lewat berbagai peristiwa di sekitar
kehidupan komnitas di Minahasa, msalnya: kedukaan, pesta nikah, dst. Misalnya,
praktek marukup dalam masyarakat Tounemboan, hal yang serupa juga erdapat dapa
kelompok etnis manapun di Minahasa, dapat dikategorikan pada orienasi nilai
kebersamaan ini. Semua cara dan pacara dalam peristiwa-peristiwa ini tidak semata
rutinitas, melankan mengunkap nilai-nlai etis-religius. Persekutuan yang terjadi dalam
peristiwa-peristiwa ini secara sosio-religius adalah ungkapan rasa kebersamaan dan
kesamaan derajat (solidarity and equality).
 Mapalus (institutionalization of work ethic). Masyarakat asli Minahasa memiliki satu
etos kerja yang diinstitusionalisasikan lewat pranata mapalus. Pranata in serin
diasosiasikan pada praktek ”gotong-roong” di Jawa atau daerah-daerah lain, yang
mengungkap semangat dan praktek saling tolong menolong dalam menyelesaikan
suatu pekerjaan. Namun, pranata mapalus di Minahasa berkar pada budaya agraris
di desa-desa, karenanya berbeda dengan praktek gotong royong, walaupun gotong
royong menjadi bagian hakiki dari mapalus. Perbedaannya ialah, gotong royong
berlangsung secara sukarela tanpa terorganisir ke dlam satu sistem kerja, sedang
mapalus merupakan kegotongroyongan yang telah terorganisir atau
terinstitusionalsasi dalam suatu sistem kerja. Jadi, dari sudut pandang etika sosial-
kultural, mapalus merupakan institusionalisasi semangat kebersamaan. Hal in dapat
dianggap sebagai wawasan tentang sistem erja dan,karenana, dapat dipahami sebut
sebagai etos kerja orang Minahasa.[4]
 Musyawarah mufakat (unanonimous concensus). Semua yang diungkapkan di atas
berkaitan dengan ”pembangunan” komunitas desa. Orientasi nilai terakhir ini adalah
tentang cara orang Minahasa menyelesaikan konflik sosial. Acuan orientasi nilai ini
dijumpai dalam cerita tentang musyawarah mufakat di Batu Pinawetengan (yang
bermacam-macam versi). Dalam kebudayaan Minahasa, penyelesaian konflik sosial
berbeda dengan budaya Barat (modern). Dalam kebudayaan Barat modern orang
harus memilih ”atau ini, atau itu” (either-or). Sedangkan konsep paumung atau
masuat peleng lebih dekat pada konsep ”ini dan itu” atau ”bukan ini, bukan itu” (both-
and dan neither-nor). Menurut apa yang dicatat oleh H.M. Tulu, tolok kur orang
Minahasa menyelesaikan konflik sosial adalah: Esa, esa kita peleng, esa wia se Opo-
opo Lumimuut wo si Toar… (Satu, satu kita saudara, disatukan oleh leluhur kita Toar
dan Lumimuut). Singkatnya, tolok ukur penyelesaian konflik sosial dalam buadaa
Minahasa adalah demi keutuhan komunitas dan integritas sosial. Jadi, ungkapan
”torang samua basudara”, dst., adalah suatu artikulasi filosofis dari orientasi nilai ini.

Sesuai dengan istilahnya, si tou tinou tumou tou artinya ”manusia terlahir untuk menghidupi
orang lain”, maka konsep moral-etis dalam kebudayaan Minahasa adalah dalam rangka
solidaritas kemanusiaan, kebersamaan dan kesetiakawanan. Manusia hidup untuk saling
menghidupi satu dengan yang lain, bukan ntuk saling menelan satu dengan yang lain
(tumongkok tou).
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi :

Nama : Maulana Malik

Tempat, Tanggal Lahir : Magetan, 5 November 1982

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Jl. Gorang gareng No. 24 Magetan Jawa Timur

Telepon : 0813 6464 8915

Latar belakang Pendidikan

Formal 1996 – 1999 : SMPN 1 Magetan 1999 – 2002 : SMK 2


Magetan 2002 – 2005 : LP3I Madiun

Non Formal

1999 – 1999 : Kursus Komputer di Bina Info Madiun

1999 – 2000 : Kursus Bahasa Inggris di Toec Jawa Timur

2002 – 2003 : Kursus Akuntansi di Lembaga PAPP

Kemampuan Kemampuan Akuntansi (Accounting) dan


Administrasi. Salary Calculation, Project Data Updating,
Journal printing & Calculation, Ledger, Calculation, Inventory
Controls Teller & Petty Cash Payroll  ) Kemampuan Komputer
(MS Excel, MS Word, MS Access, MS Outlook, MS PowerPoint
dan Internet) Memahami Sistem Perpajakan

Pengalaman Kerja Praktek Kerja Lapangan: Praktek Kerja di :


PT Astra Karawang Periode : April 2005 – Juni 2010 Tujuan :
Persyaratan kelulusan SMK 2 Magetan Posisi : Administrasi
Rincian Pekerjaan: – Mengupdate data konsumen – Mengatur
jadwal pertemuan dengan konsumen – Menyiapkan surat-surat
penawaran untuk konsumen – Menyiapkan tagihan Bekerja di
PT. Andess Coklat Mandiri Sejahtera Banda Aceh Periode :
Januari 2010 – Mei 2013 Status : Karyawan Tetap Posisi : Staf
Finance Rincian pekerjaan : – Melakukan surat menyurat bisnis
– Menerbitkan dan menerima faktur dari pemasok – Mengelola
kas kecil – Mengontrol persediaan peralatan kantor –
Penggajian (payroll) Demikian riwayat hidup ini saya buat
dengan sebenarnya. Magetan, 13 Maret 2015 Maulana Malik

Maulana Malik Ibrahim


 Nama: Maulana Malik Ibrahim
 Tempat/tanggal lahir: Palembang, 23 Agustus 1975
 Jenis kelamin: Pria
 Status: Menikah
 Agama: Islam
 Kewarganegaraan: Indonesia
 Tinggi: 172 cm
 Berat: 69 kg
 Alamat: Jl. Teuku Umar No. 24, Palembang
Ringkasan Tujuan Karier
Untuk mengembangkan karier di bidang jurnalistik & broadcasting di
mana saya bisa memanfaatkan keahlian saya seperti menulis siaran
pers, berhubungan dengan orang lain, menulis artikel, dan
sebagainya dengan maksimal untuk keberhasilan perusahaan.
Kemampuan
Menulis siaran pers, berhubungan dengan orang lain, menulis artikel,
etika jurnalistik, menulis di media cetak, grammar yang baik, kerja tim,
kepemimpinan/leadership, problem solving, Microsoft Office,
berkomitmen, sopan dan bersemangat.
Pengalaman Kerja
Web Developer, Jude Kekar June 2012 – May 2013
Riwayat Pendidikan
Universitas Indonesia, Sarjana (S1) – Komunikasi, Mei 2000-2004
Kemampuan Berbahasa
Bahasa Inggris. Tertulis: cukup. Lisan: cukup

Anda mungkin juga menyukai