keluarga luas yang berlaku didesa Kali antara lain sebagai berikut:
Pada saat semua anggota keluarga luas makan sehidangan, maka senantiasa
ayah duduk disebuah ujung meja (kepala meja) dan ibu pada sisi kanan
(jajar kanan) disebelah ayah pada urutan pertama paling dekat ayah.
Berhadapan dengan ibu yaitu dijajar kiri (sebelah kiri) dari ayah duduk anak
yang tertuah, barulah berikut-ikut yang lain menurut urutan usia. Disaat
panggilan makan untuk keluarga luas itu sudah diisyaratkan maka ayah dan
ibu, harus duduk lebih daluhu, barulah diikuti oleh yang lain-lain. Anggota-
anggota keluarga yang lain sama sekali tidak boleh mendahului duduk
sebelum ayah dan ibu duduk ditempat yang telah ditentukan.
Nama kecil mertua sama sekali tak boleh disebut. Misalnya seorang menantu
perempuan mempunyai seorang adik kandung wanita yang sama nama
kecilnya dengan mertua perempuannya. Maka sejak ia kawin dengan
suaminya ia harus berusaha mencari sebutan lain sebagai panggilan
pengganti terhadap adiknya yang khususnya ia yang memakainya seperti
”Ade” (yang berarti adik) atau ”Keke” (yang berarti anak perempuan).
Jika tidak demikian maka ia dianggap ”tidak tahu adat” atau bahasa
daerahnya ”rai mina sinau”.
Tentang klen kecil bila diartikan sebagai sub-clan atau keluarga kecil
umumnya adalah bersifat bilateral. Orang Minahasa memang menganut
prinsip keturunan yang tidak matrilineal dan juga tidak patrilineal khusus
melainkan sisrim bilateral. Jadi jelas anak suku Tombulu dan masyarakat
Kali juga demikian. Prinsip bilateral itu dikalangan masyarakat desa Kali,
anutan ketatnya sampai dengan tingkatan sepupu dua kali, yang dalam
bahasa Tombulu disebut ”puyun ne matuari”. Lingkungan keluarga kecil
(klen kecil)wajib turut aktif berpartisipasi dalam upacara-upacara kematian
ataupun perkawinan dari salah satu anggota keluarga ini.
Bila seorang warga dari klen tidak turut berperan serta atau berpartisipasi
pada upacara-upacara seperti tersebut diatas ini yang mengena rekan
sewarganya maka ia dianggap menyimpang dari tata pergaulan dilingkungan
keluarga mereka. Ia akan dipanggil dan dinasihati oleh orang-orang tua
dalam klen mereka. Kecuali perihal ketidak-ikut sertakannya itu, disebabkan
oleh halangan penting sekali.
Walaupun desa ini bila dilihat dari segi letaknya sangat dekat dengan
pengaruh ibukota Propinsi Sulawesi Utara, namun masyarakat dan adat
istiadat setempat. Sehubungan dengan itu dapat digambarkan suatu bentuk
penyimpangan tata kelakuan dilingkungan keluarga dari desa sebagai obyek
penelitian. Sebagai contoh seorang wanita yang menyimpang dari pada
kebiasaan umum yaitu hamil sebelum kawin, berdasarkan peraturan agama
dan pemeritahan.
Apabila perkawinan kedua pengantin itu akan dilaksanakan maka biasanya
semua persiapan untuk pesta berupa bangku, kursi, meja dan bangsal
tempat pertemuan pada saat pesta harus disiapkan oleh calon suami. Si
calon isteri harus sibuk membantu keluarga untuk menyiapkan jenis-jenis
makanan seperti: kue, ikan dan jenis makanan lainnya yang dibutuhkan
dalam pesta. (wawancara, J. Tombiling, 28 Agustus 1984). Namun menurut
tata kelakua setempat apabila kedua calon itu tdak terjadi peyimpangan
dalam keluarga maka peraturan hukum adat ini tidak dapat dilaksanakan
bagi calon suami isteri itu. Malahan sebelum tiba masa perkawinan kedua
calon itu tinggal menyiapkan diri dalam bentuk jasmani maupun rohaniah
untuk menunggu hari yang berbahagia itu. Segala bentuk persiapan pesta
maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya menjadi tanggungan keluarga kedua
belah pihak. Bagi kedua calon ini merupakan suatu kebangaan ataupun
kebahagian keluarga sebab sudah memenuhi kemauan keluarga.
Sifat berusaha dan bekerja keras. Setiap anggota keluarga dalam lingkungan
hidup bermasyarakat pada umumnya berusaha untuk meningkatkan taraf
hidup keluarga. Hal ini nyata dalam ungkapan bahasa daerah sebagai
berikut: ”saru lutu’ tamburi mata”.
Arti ungkapan ini : Orang yang selalu mengharapkan yang sudah siap tetapi
tidak mau
Berusaha (malas).
Pengertiannya : Saru lutu’ = menghadapi yang sudah siap.
Tamburi mata’ = membiarkan yang belum diolah/belum selesai.
Didalam setiap keluarga apabila ada anggotanya yang malas maka anggota
keluarga yang malas itu selalu mendapat sindiran dengan ungkapan diatas.
Ungkapan ini biasanya muncul pada saat duduk makan bersama, atau pada
saat menghadapi sesuatu pekerjaan secara gotong-royong. Apalagi pada saat
si malas itu yang mendahului warga keluarga yang lain untuk menghadapi
meja makan.
Berdasarkan ungkapan diatas ini menjadikan setiap warga keluarga untuk
hidup dengan tekun dan rajin dalam segala hal.
Didorong oleh kemauan yang keras untuk berusaha sehingga setiap warga
keluarga didasari pada istilah: ”Sa wu’u u nae, wau ungkeroan”. Artinya :
kalau kaki dalam keadaan basah berarti kerongkongan akan jadi basah.
Arti ungkapannya: kalau kita dengan kekuatan kaki untuk bekerja berarti
hasil usaha itu akan melalui kerongkongan untuk dimakan.
Adapun ungkapan ini adalah merupakan warisan nilai budaya para leluhur
Minahasa yang seakan-akan telah membudaya secara turun-temurun.
Biasanya ungkapan ini disampaikan pada setiap pasangan suami isteri yang
baru kawin atau bimbingan tua-tua desa kepada anggota keluarga yang tidak
mengalami perkembangan ekonomi yang baik. Sehingga tidak dapat
disangkal adanya tindakan langsung dari orang tua terhadap anaknya dalam
lingkungan keluarga tertentu. Seringkali tindakan tersebut terpaksa harus
direstui oleh yang berwewenang seperti kepala desa.
Adapun tindakan itu berupa mengasingkan di desa karena malasnya dalam
segala kegiatan hidup keluarga. Tindakan sedemikian terpaksa harus direstui
apabila sudah melampaui hukum adat atau lingkungan warganya.
(wawancara J.J. Kaunang, 29 Agustus 1984).
Tindakan diatas menyebabkan setiap anggota keluarga berusaha untuk
meningkatkan taraf hidup dalam bentuk bertani, berternak, tukang dan lain-
lain. Selain usaha diatas mereka amsih mempunyai usaha sambilan dalam
bentuk ketrampilan khusus.
Bila usaha-usaha mereka berhasil baik mereka mendapat pujian dari
masyarakat dan akan dijadikan teladan oleh warga desa yang lainnya.
Sebagai wujudnya maka masyarakat atau lingkungan itu akan disegani dan
tetap menjadi pemberi contoh yang baik.
Mengenai kebutuhan sehari-hari seperti makanan, pakaian dan lain-lain juga
menjadi ukuran dari malas atau tidak suatu keluarga. Sebab kebutuhan
pokok dapat menjadi patokan mampunya suatu keluarga. Jenis makanan
yang dibutuhkan juga merupakan standard untuk dapat hidup layak,
biasanya makanan itu terdiri dari jenis sayur- mayur, ubi-ubian, buah-
buahan dan lain-lain.
Pada umumnya makanan yang sebenarnya terdiri dari nasi, ikan, sayur-
sayuran dan buah-buahan itulah yang dibutuhkan oleh keluarga setiap saat.
Jika pada suatu saat makanan diganti dari yang biasa dimakan sebagai
makanan pokok seperti : ubi atau pisang saja asalkan perut sudah terisi
maka hal sedemikian dianggap kemalasan dari keluarga itu.
Adapun waktu makan setiap hari bagi warga desa Kali adalah sebagai
berikut: pada waktu pagi sebelum pergi melaksanakan pekerjaan
mengadakan acara makan yang disebut ”Sumokol”. Artinya makan pagi.
Makanan yang dihidangkan nasi dan lauk pauk seadanya nasi goreng, atau
makan kue-kue dengan minum kopi atau teh. Pada siang hari kira-kira pukul
11.00 atau 12.00 acara makan siang. Pada petangnya kira-kira pukul 17.00
diadakan acara minum teh atau kopi. Pada malamnya kira-kira pukul 19.00
acara makan malam. Makan siang dan makan malam itulah makanan yang
sebenarnya. Pada makan siang dan makan malam, makanan utama yang
harus dihidangkan adalah nasi dengan ikan, sayur dan lauk pauknya.
Dalam lingkungan keluarga di desa Kali sangat malu apabila pada waktu
makan siang ataupun makan malam hanya dihidangkan jenis makanan yang
tidak layak. Jelasnya mereka menajdi buah mulut orang dan dianggap orang
yang malas atau tidak mampu untuk dapat bertangung jawab. Apabila ada
tamu yang datang dan menginap si penerima tamu berusaha sedapat
mungkin menghidangkan makanan lebih dari makanan sederhana. Hal ini
tidak lain adalah untuk menjaga harga diri. Lagi pula orang yang menjamu
tamunya dengan makanan yang tergolong tidak layak dianggap tidak
menghormati tamunya. Hal ini dianggap perbuatan yang sangat memalukan.
Pada dasarnya kesederhanaan ataupun kemiskinan lingkungan keluarga
adalah disebabkan kemalasannya. Setiap warga keluarga di desa ini
beranggapan bahwa siapa saja boleh menjadi kaya atau meningkatkan taraf
hidupnya apabila ia rajin bekerja dan berusaha terus.
Ketika disuatu lingkungan atau dusun ada seorang warga desa yang
meninggal dunia maka semua warga dusun yang bersangkutan serta dusun-
dusun lainpun turut menenggang rasa duka dari keluarga pemangku duka.
Cara atau kebiasaan yaitu ”tidak seorangpun warga desa yang pergi kekebun
atau bepergian keluar desa. Kecuali bagi sesuatu keperluan yang sangat
penting. Semua warga desa secara spontanitas merasa berkewajiban turut
berduka cita dan berbela sungkawa terhadap meninggalnya sesama warga
desa, walaupun tidak ada ikatan kekeluargaan lagi. Suatu contoh sederhana
lagi sehubungan dengan tata kelakuan dalam arena keagamaan. Yaitu ketika
kebaktian pengucapan syukur dari penduduk karena panen berhasil.
Biasanya penentuan waktu yang berbeda bagi pelaksanaan oleh golongan R.K
dan golongan GMIM di musyawarakan dibawah koordinasi pemerintah desa
agar tidak bersamaan waktunya. Dalam acara kebaktian atau ibadat
pengucapan syukur dari ketiga golongan itu saling undang-mengundang. Ini
adalah pencerminan tata kelakuan atau sikap toleransi beragama yang hanya
baik melainkan juga adalah pertanda sikap mental tenggang rasa yang
matang dari pergaulan masyarakat desa Kali.
Dengan kerangka ini dapatlah disistematisasikan lima orientasi nilai budaya Minahasa atau lima
nilai moral dasar yang berhubungan dengan kehidupan orang Minahasa yang menunjukan
tentang adat.
Setiap masyarakat etnis memiliki orientasi nilai budaya atau wawasan kultural (filosofi)
mengenai kehidupan manusia dan hubungannya dengan alam lingkungan dan semesta.
Masyarakat etnis Minahasa (tradisional), memiliki sedikitnya lima orientasi nilai budaya,
akni wawasan tentang: kerja, waktu, alam, hidup, dan sesama manusia.
Pertama-tama, bagi orang Minahasa, kerja adalah, tidak seperti yang dikatakan Max Weber
“panggilan” (calling) atau “kewajiban religius” (religious obligation), bukan pula “profesi”
(vocation), melainkan sebagai “keharusan” untuk hidup. Dengan kata lain, kerja adalah
dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia: makanan, tempat berteduh,
pakaian. Jad, kerja bukanlah alat atau prasarana untuk memperoleh profit atau keuntungan
(nilai tambah).
Selanjutnya, wawasan tentang kerja sesunguhnya berkatan pula dengan wawasan tentang
waktu. Untuk orang Minahasa, waktu adalah berputar menurut musim: panas dan hujan
silih bergani. Ketika musim hujan, secara alamiah orang sadar bahwa mereka harus
menanam. Sebalikna, ketika musim panas datan, orang tahu mereka akan menuai atau
panen, lalu istirahat. Jadi, kerja berkaitan dengan putaran musim,dan tidak berkaitan
dengan wawasan tentang masa depa. Karenana, orang tidak merasa harus memburu
waktu, sebab toh waktunya pasti akan tiba. Dalam ungkapan orang Tounteboan (Minahasa
bagian selatan): mange-nger, si kamang wo si endo ca tumintas(pelan-pelan, atau tenang
saja, toh hari dan kemujuran – berkah – tak akan lari pergi). Karenanya pula, ”jam karet”
adalah lumrah, kalau tidak dikatakan bagian dari hidup sehari-hari.
Kedua wawasan yang baru disebutkan, serta-merta mempengaruhi wawasan orang tentang
alam lingkungan. Manusia dan alam merupakan ciptaan yang saling erkit satu dengan yang
lain, dalam arti satu hubungan totalistis. Karenanya, peristiwa manusiawi dan peristiwa
alami saling mempengaruhi satu terhadap ang lain. Setiap peristiwa dalam lingkaran
kehidupannya, misalnya: membuka kebun, memasuki rumah baru, kawin, dst., tidak semata
hanya masalah rutin, tetapi hal yang sifatnya religius. Untuk itulah diadakan ritus-ritus atau
upacara-upacara religius. Manusia dan alam dipahami berada dalam hubungan yang
harmonis.
Sesuai dengan istilahnya, si tou tinou tumou tou artinya ”manusia terlahir untuk menghidupi
orang lain”, maka konsep moral-etis dalam kebudayaan Minahasa adalah dalam rangka
solidaritas kemanusiaan, kebersamaan dan kesetiakawanan. Manusia hidup untuk saling
menghidupi satu dengan yang lain, bukan ntuk saling menelan satu dengan yang lain
(tumongkok tou).
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi :
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Non Formal