Anda di halaman 1dari 7

ADAT ISTIADAT SUKU TOUNDANOUW (TONSAWANG)

1. Kalakeran
Kata ini berasal dari kata “Laker” yang berarti banyak. Kalakeran adalah
suatu sistem dalam dalam pemakaian harta milik yang sifatnya “semi-
communal”. Sistem ini berasal dari pewarisan tanah kepada anak-anak tetapi
tidak dibagi-bagi. Yang berhak atas tanah itu mengolahnya secara bergilir
dan biasanya giliran ini berlaku untuk satu tahun bagi setiap orang. Dengan
demikian, suatu tanah Kalakeran akan mengikat suatu keluarga yang makin
besar jumlah, sehingga akhirnya diperlukan seseorang yang harus mengatur
pengiliran pengolahan tanah itu, terutama bilamana sang nenek-kakek tertua
telah meninggal dunia. Orang yang mengatur ini disebut Kepala in taranak,
yang artinya kira-kira sama dengan Kepala Kaum Keluarga. Kepala in
taranak biasanya adalah seorang tua yang mengetahui seluruh silsilah dari
keluarga-keluarga yang terikat pada tanah kalakeran yang diaturnya. Dialah
yang menentukan siapa-siapa yang berhak memperoleh giliran pada tiap-tiap
tahun. Tanah kalakeran di daerah Toundanouw (Tonsawang) pada zaman
dahulu, adalah bersifat turun-temurun dan secara bergilir diolah oleh
anggota keluarga yang berhak menurut garis keturunan sebagaimana
disebutkan tadi.
Berdasarkan perkembangan masyarakat dan timbulnya berbagai
perbantahan atau persengketaan diantara kaum keluarga antara lain ketika
orang mulai menanam tanaman bertahun dan mendirikan tempat tinggal
keluarga, lama-kelamaan sistem tanah kalakeran ini berangsur-angsur diatur
menjadi pemilikan perorangan. Sengketa atau perbantahan tersebut memaksa
kemudian pemimpin-peminpin masyarakat mengadakan usaha pengaturan
secara baik, namun sulit sekali dilaksanakan. Nanti pada zaman pemerintahan
Belanda kira-kira pada tahun 1861, mulailah diatur pembagian tanah-tanah
adat tersebut kepada anggota-anggota keluarga menurut sistem hukum
perdata barat. Demikian pula mengenai waris dan ahli waris diatur oleh
pemerintah Belanda, juga mengenai system perkawinan dan upacara. Setelah
ada keputusan pemerintah Belanda, maka tanah-tanah kalakeran dibagi-bagi
kepada anggota keluarga yang kemudian dikenal dengan sebutan “Panisi”.
Walaupun demikian, sampai sekarang di Toundanouw (Tonsawang) masih
ada tanah-tanah kalakeran yang menjadi milik negeri seperti danau Tutud,
Kawelaaan, Derel, Bulilin, Seledan dan Useban. Disamping itu masih ada
tanah-tanah kalakeran keluarga yang diolah secara bergilir atau digunakan
bersama bilamana menjamu tetamu yang berkunjung ataupun dalam
perkawinan salah satu anggota keluarga.

2. Perkawinan di Toundanouw (Tonsawang) dahulu.


Perkawinan di daerah Toundanouw (Tonsawang) pada zaman dahulu,
dimulai dengan Sang Jejaka yang sudah dewasa dan cukup umur untuk
berumah tangga. Biasanya Sang Jejaka berjalan kemana-mana dalam keadaan
telanjang bulat dan tidak memakai cawat atau “cidako”, kecuali telah
mendapat ijin dari orang tuanya bertepatan dengan saatnya ia mengambil
istri. Hal ini disebut oleh Dr. J.G.F. Riedel tentang “de oorsprong van
Toensawah” dalam bukunya halaman 479 – 480. Setelah seorang Jejaka
menemukan gadis pilihannya lalu diberitahukannya kepada orang tuanya, lalu
melalui seorang perantara diadakan peminangan kepada orang tua si gadis.
Bilamana dikabulkan permohonan keluarga pria, kemudian dalam beberapa
waktu diadakan upacara perkawinan dengan tiga hari sebelumnya dikirimlah
“pakaian untuk pengantin wanita berupa kain tenunan dari kulit kayu yang
halus untuk dipakai pada waktu upacara perkawinan. Zaman dahulu, tidak
dikenal mengenai harta kawin keculai mengantarkan makanan-minuman
untuk perta perkawinan berupa sagu, beras, ikan-ikan air tawar maupun
binatang buruan seperti babi hutan atau rusa. Nasi biasanya dibungkus dan
dimasak dalam bambu yang disebut Tambelang. Upacara perkawinan dpimpin
oleh seorang Balian dan setelah diupacarakan menurut adat dengan meminta
berkat dari Tuhan Yang Maha Esa agar perkawinan mereka mendapat rejeki,
kemudian diadakan pesta makan-minum disertai dengan pembacaan riwayat
keturunan hingga perkaminan keduanya. Juga diadakan nasihat-nasihat dari
tua-tua kampung atau pemimpin negeri atau kelompok sebagai bekal kedua
suami istri dalam hidup berumah tangga. Sampai dengan beberapa puluh
tahun lamanya, keluarga-keluarga baru hidup bersama-sama dikalangan
kaum keluarga orang tua si lelaki dan mengerjakan tanah pertanian secara
bergilir yang disebut tanah kalakeran tersebut. Bahkan sampai sudah
bercucu-cicit masih bersama-sama dengan kaum keluarga. Tetapi sesuai
dengan perkembangan masyarakat, maka cara upacarapun berkembang
seperti tersebut di bawah ini.
Sang Jejaka yang telah dewasa atau cukup usia dalam mencari jodohnya,
dengan berpakaian cidako pergi ke ladang satu keluarga yang mempunyai
seorang anak gadis. Disana ia meminta kesediaan untuk membantu keluarga
tersebut mengerjakan ladang. Biasanya orang tua si gadis menerimanya,
tandanya ia dapat bertemu dengan sang gadis dan kemudian bersama-sama
orang tua di gadis mereka mengerjakan ladang. Selama masa ini gerak-gerik
sang pemuda diawasi oleh orang tua si gadis dan jika dia dianggap masih
kurang pengetahuan dalam pertanian diberikan bimbingan oleh orang tua si
gadis. Selama dalam membantu pekerjaan itu, sang pemuda dapat makan-
minum bersama di ladang orang tua si gadis. Namun bilamana selesai
pekerjaan sang pemuda kembali ke gubuk orang tuanya dan hari berikutnya
kembali lagi pergi membantu keluarga si gadis. Biasanya orang tua si lelaki
menanyakan selama ia bekerja di keluarga si gadis tentang perlakuan
kepadanya. Setelah cukup lama sang pemuda bekerja dan merasa tidak asing
lagi pada keluarga si gadis, lalu orang tua si lelaki mengirimkan utusan
kepada orang tua si gadis untuk mengajukan lamaran peminangan. Kalau
lamaran diterima (yang pada umumnya diterima karena telah mengenal watak
yang pemuda), lalu diadakan upacara perkawinan yang dipimpin oleh
Balian/Walian. Upacara seperti tersebut di atas, tetap berlaku dan diadakan
nasihat-nasihat oleh para pahindjon matua atau orang-orang tua. Sesudah
berumah tangga, sang pemuda (pengantin lelaki) tadi tidak membawa istrinya
kepada kaum keluarganya, tetapi tinggal bersama-sama kaum keluarga sang
wanita.
Sistem perkawinan tersebut kemudian mengalami perkembangan lagi
setelah manusia mengenal pakaian dan alat-alat pertanian seperti cangkul
dan sebagainya. Cara pemuda mencari jodohnya, ialah membantu seorang
gadis pilihannya bekerja berdampingan (terutama setelah sistem mapalus
atau maando menjadi model dalam mengerjakan tanah pertanian, ladang
ataupun mengerjakan tanah-tanah kaum keluarga yang disebut “pasini”).
Sang pemuda akan membantu pekerjaan sang gadis dalam maando (mapalus)
ialah dengan mengambil sebagian pekerjaan si gadis dengan sekuat tenaga.
Bilamana sang gadis tidak menolak bantuan sang pemuda tadi, tandanya ia
tidak keberatan akan niat baik sang pemuda, namun bilamana sang gadis
menolak pekerjaannya dibantu oleh sang pemuda, maka sang pemuda harus
pindah ketempatnya semula atau jika tetap berdampingan ia mengerjakan
pekerjaannya sendiri. Dalam peristiwa sang gadis tidak keberatan menerima
niat baik sang pemuda tadi, maka pada waktu selesai pekerjaan dan kembali
ke negeri atau kampung sang jejaka/pemuda wajib memikul peralatan kerja
sang gadis seperti cangkul atau skop, sedangkan sang gadis akan membawa
pakaian kerja sang pemuda. Di daerah Silian sang gadislah yang membawa
peralatan kerja sang pemuda.
Setelah kedua telah cukup saling kenal-mengenal dalam pekerjaan,
kemudian pada suatu waktu dilakukan pelamaran oleh seorang perantara.
Mula-mula, sang pemuda memberitahukan kepada orang tuanya bahwa ia
bermaksud untuk kawin dengan seorang gadis pilihannya itu. Bilamana
rencana itu dikabulkan oleh orang tuanya, kemudian ia disuruh orang tuanya
untuk pergi ke rumah sang gadis untuk memohon kepada sang gadis dan
orang tuanya agar ia diperkenankan bermalam di rumah sang gadis dan tidur
di serambi rumah sang gadis. Jika permintaan itu diluluskan oleh sang gadis
dan orang tuanya, maka sang gadis harus menyediakan tempat tidur bagi
sang pemuda dengan sebuah tikar yang dianyam rapi oleh sang gadis. Cara
ini di Toundanouw (Tonsawang) disebut “Mangilah Boan”. Mangilah artinya
“mencari” sedangkan Boan artinya “tempat tidur” yang dianyam dari daun-
daun atau batang “kaingas”, maksudnya ialah mencari jodoh untuk dijadikan
istri kelak. Jika hal ini telah dilakukan, lalu menyusul lamaran perkawinan
yang dilakukan oleh orang tua dari pihak pemuda disertai oleh seorang
Balian. Cara melamar dari pihak orang tua sang pemuda itu disebut “Tomod i
kodait”. Tumod artinya menyambung pembicaraan (kodait) yang telah
dilakukan oleh kedua pasangan tadi. Menurut tata bahasa Toundanouw
(Tonsawang), tumod artinya menegakkan atau berdiri. Kodait artinya,
pembicaraan. Jadi maksud sebenarnya adalah meluruskan pembicaraan atau
masuk minta (maso minta) atau meminang.
Bilamana lamaran diterima atau dikabulkan oleh orang tua sang gadis,
maka sang pemuda kemudian mulai bekerja dilingkungan keluarga sang gadis
selama 3 sampai 6 bulan. Sang pemuda wajib mengerjakan pekerjaan-
pekerjaan yang disampaikan oleh orang tua sang gadis termasuk melayani
minuman seperti saguer (tuah) dengan batipar atau manuah. Selama sang
pemuda tadi bekerja dalam lingkungan keluarga si gadis, disebut “matuang”.
Setelah jangka waktu dianggap cukup, barulah diadakan pembicaraan tahap
kedua yaitu disebut “POROG I KODAIT” yaitu memutuskan hari perkawinan
dan pemberian masa kawin yang disebut “MEHE ROKO” atau “Dokho”. Porog
i kodait dilakukan oleh orang tuda dari sang pemuda kepada orang tua sang
gadis. Mehe roko atau dokho biasanya dengan pemberian sehelai tenunan
penutup badan yang terbuat dari bambu atau anyaman kulit kayu yang halus
dan gelang akar laut warna coklat atau hitam sebagai gelang tangan. Kain
setelah dikenal melalui tukar menukar, kemudian menggantikan tenunan dari
bambu atau anyaman kulit kayu halus, kemudian kain kebaya, beberapa meter
kain putih dan perhiasan lainnya. Jika yang kawin adalah seorang janda, maka
mas kawin disebut “Mehe oro atau Behe oro”.
Bilamana mas kawin tersebut telah diterima oleh keluarga sang gadis,
kemudian ditentukan tentang waktu perkawinan kedua pasangan tersebut.
Waktu perkawinan biasanya diadakan sebulan setelah pembicaraan “Porog i
kodait” itu diadakan. Tiba waktunya, maka keluarga pihak pemuda secara
“maando” kerjasama tolong menolong mengantarkan kegala keperluan pesta
perkawinan berupa: beras, ikan-ikan air tawar (gabus, kesak, belut, udang
(sekang), ayam, babi, bambu (tambelang ikan), daun pembungkus nasi dan
lain-lain. Kedua kaum keluarga bersama-sama mendirikan “sabuah” untuk
tempat upacara dihalaman sang keluarga gadis. Kaum keluarga pengantin
wanita juga menyediakan keperluan pesta, tetapi tidaklah seberapa
dibandingkan kaum keluarga sang pemuda. Upacara perkawinan lalu diadakan
di rumah sang keluarga wanita, yang dipimpin oleh Balian dan disaksikan oleh
Pahindjon matua (yang dituakan) dan Tuu indoong atau pemimpin negeri
(kepala kaum teranak atau suku, serta pamatuan atau kepala kampung. Pada
waktu upacara ini, sang pemuda memberikan “elaa’ atau gelang kepada sang
gadis ditangan kanannya sebagai tanda ia telah menjadi istri sang pemuda,
sedangkan sang gadis memberikan sebuah bantal yang dibungkus dengan
kain putih, sebagai tanda kesucian dirinya pada waktu perkawinan dan
dengan tulus hati menjadi istri sang pilihannya itu.
Setelah uparaca perkawinan itu dilangsungkan, lalu diadakan perta
“manambeng” yaitu perta dimana mengundang semua warga kampung atau
negeri untuk datang makan bersama dalam pesta tersebut sambil memberikan
doa restu menurut kepercayaan penduduk. Bila hari pertama belum sempat
hadir, maka dapat hadir pada hari kedua dan bilamana pada hari kedua belum
sempat hadir dapat hadir pada hari ketiga. Pesta ini lebih mirip semacam
pengucapan syukur kepada “Ningumeled atau Ngeledow” pencipta alam
semesta, atas berkat-berkatnya. Setelah upacara manambeng tersebut, maka
suami istri mulai hidup sebagai keluarga dan selama setahun orang tua dari
pihak suami istri kedua pihak, saling mengadakan kunjungan kepada
keluarga/rumah tangga baru untuk memberikan petunjuk-petunjuk
seperlunya mengenai soal-soal rumah tangga sebagai wujud dari rasa
tanggung jawab orang tua kepada anak atau keluarganya. Kunjungan-
kunjungan ini disebut dalam bahasa Toundanouw (Tonsawang) “maimbat”.
Biasanya kalau kedua orang yang kawin tersebut langsung memisahkan diri
dari kaum keluarga karena telah membuat rumah sendiri. Tetapi kalau
keduanya masih tinggal bersama-sama di lingkungan kaum keluarga pria atau
wanita, kunjungan salah satu dari pihak keluarga pria atau wanita, kunjungan
salah satu dari pihak keluarga pria atau wanita jarang diadalakan kecuali
dipandang perlu kehadiran kedua orang tua kedua pihak pada waktu kelahiran
bayi. Hal tersebut jarang dikunjungi karena pihak keluarga pria atau wanita
merasa kedua suami istri dalam pengawasan atau bimbingan keluarga dimana
mereka tinggal.
Setelah agama Kristen dipeluk oleh penduduk, maka umumnya perkawinan
diresmikan dihadapan pemerintah melalui catatan sipil, kemudian diadakan
upacara kebaktian pemberkatan di Gereja, yang dipimpin oleh Pendeta. Pesta
perkawinan dapat diadakan dikeluarga sang pemuda atau sang gadis
tergantung dari hasil pembicaraan pada waktu “porod i kodait” diadakan.
Walau telah dilakukan menurut sistem gerejani, namun system mas kawin
tetap berlaku dengan perubahan yaitu berupa pakaian kawin, pakaian ganti,
pakaian balas gereja, pakaian tidur serta cincin mas, jika dikehendaki. Tetapi
hal yang terakhir itu tidak menjadi keharusan, asal saja pakaian-pakaian tadi
disediakan oleh pihak pemuda. Sistem maando dalam pesta perkawinan tetap
dipertahankan sampai sekarang. Perkawinan cara gerejani ini mulai berlaku
di Tonsawang tahun 1861 ketika pemimpin gerejani dan tokoh-tokoh
masyarakat sepakat merubah cara perkawinan lama kepada sistem baru tadi.
Pesta perkawinan menurut cara baru ini dapat pula diselenggarakan di
keluarga kaum wanita bilamana disepakati bersama, tetapi adakalanya pesta
di keluarga wanita dilakukan pada waktu balas gereja.
Sebagaimana aturan dalam perkawinan di masa lampau, maka perkawinan
antara pemuda dan pemudi dari keturunan garis lurus pertama, kedua dan
ketiga dan keempat masih dilarang, yaitu antara Bapak dengan anak, Ibu
dengan anak, Tete dengan cucu, Nenek dengan cucu, Saudara dengan
Saudara, Paman dengan kemanakan, Mamuda dengan kemanakan, Anak
saudara dengan Anak saudara, Bapak Tiri dengan anak Tiri, Ibu Tiri dengan
anak Tiri, Saudara Tiri dengan Saudara Tiri, Cucu saudara dengan Cucu
saudara, Anak memantu dengan Ibu atau Bapak menantu.
Tetapi jika mereka itu mempunyai hubungan keluarga tetapi sudah jaun
dan hendak menikah sama-sama, maka lekaki yang hendak menikah harus
memberikan barang lain diluar dari pada “mas kawin” kepada perempuan
atau orang tua dari pada perempuan itu yang disebut “ISAWUTEN
TAWA’ANG” artinya cabut tawa’ang menurut bahasa Toundanouw
(Tonsawang) yang berarti perbuatannya itu menghapuskan hubungan
persaudaraan (keluarga) dari orang yang hendak menikah itu. Dengan
pemberian Isawuten tawa’ang, maka segala hubungan keluarga ini seolah-
olah putus sehingga keduanya dapat menikah. Pada masa lampau, perkawinan
dengan cara ini dimaksudkan untuk memelihara harta keluarga yang
diwariskan oleh nenek moyang sebelumnya.
Kembali kepada perkawinan masa lampau, maka pada uparaca pesta
diadakan nasihat-nasihat oleh Pahindjon Matua atau yang dituakan dan dapat
menjadi teladan sambil yang bersangkutan menguraikan silsilah keturunan
hingga sampai kepada kedua orang yang menikah itu. Tanda orang tua atau
yang lain akan mengangkat pembicaraan atau nasihat ialah dengan mengetuk
meja saja lalu berdiri dan berbicara dihadapan hadirin. Cara ini masih tetap
berlanjut sampai sekarang, namun tidak lagi mengetuk meja tetapi dengan
mengetuk piring atau gelas dengan sendok atau garpu makan. Untuk
memeriahkan pesta perkawinan telah diadakan iringan musik mulai
menjemput pengantin perempuan sampai dengan pesta perkawinan di rumah.
Musik akan mengiringi kedua pengantin menuju ke Catatan Sipil dan ke
Gereja hingga kembali ke rumah pesta dan mengiringi setiap ada sambutan
dari orang tua atau pemerintah setempat. Di waktu lampau konon, hanya
diiringi dengan musik kolintang dan tambur, kemudian diganti dengan musik
bambu atau seng dan clarinet. Biasanya dalam pesta perkawinan yang meriah
setelah alat-alat musik tersebut lebih popular, juga digunakan untuk pesta
dansa setelah upacara pernikahan dianggap selesai.

3. Kehamilan dan Pemberian Nama


Pada waktu agama Kristen belum dipeluk oleh penduduk di daerah ini,
maka selama masa kehamilan dari seorang istri, maka suami harus mentaati
bermacam-macam ketentuan berupa larangan. Larangan ini disebut dalam
bahasa Toundanouw (Tonsawang) “Indies” yaitu tidak boleh mengolok-
ngolok orang atau memaki sesama manusia atau mengumpat, tidak boleh
berjalan di bawah tali atau jemuran pakaian, tidak boleh tidur dengan tangan
ditumpangkan di atas kepala, tidak boleh duduk atau berdiri di depan pintu,
tidak boleh membuat simpul tali atau benang, tidak boleh bertengkar, tidak
boleh menakut-nakuti istri, tidak boleh makan buah pisang yang berpasangan
dalam bahasa Toundanouw (Tonsawang) “sewing”, tidak boleh membunuh
binatang dan lain-lain larangan.
Bilamana waktu telah mendekati kelahiran bayi, sang suami dan istri harus
memenuhi kewajiban antara lain semua pintu, jendela, peti pakaian, lemari,
harus dibuka tidak boleh dalam keadaan tertutup, dan sang suami harus
berada di tempat, tidak boleh pergi jauh misalnya ke kebun, tetapi siap
menanti kedatangan bayinya. Menurut kebiasaan di masa lampau, dengan
memenuhi “Indies” dan kewajiban tersebut, diharapkan bayi yang lahir
maupun sang istri hidup dengan keadaan sehat-sehat tanpa rintangan atau
halangan. Sang suami setelah mendapatkan bayinya wajib menengoknya dan
memberitahu apa nama sang bayi pada waktu tali pusarnya dipotong.
Pemberian nama, jika bayi yang lahir itu dipotong tapi pusarnya oleh dukun
beranak (Balian) bidan pengertian sekarang, dengan sembilu dari bambu kecil
yang tajam disebut “Teteba” pada saat itulah diberikan nama kepada sang
bayi menurut pilihan orang tuanya. Nama yang diberikan itu disebut “Ngalan
be worog i pused” dan setiap nama yang diberikan mengandung arti dan
harapan dari orang tuanya di masa depan. Anak yang masih kecil (bayi) laki-
laki disebut “AMBE” sedang nama bagi bayi perempuan disebut “NENE”.
Pada waktu sekarang, larangan seperti tersebut di atas sudah tidak lagi
dipatuhi secara penuh, karena perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran.
Tetapi mengenai sebutan atau nama bagi bayi masih tetap berlaku. Dalam
pemberian nama pada waktu pemotongan tali pusar, sudah agak longgar dan
biasanya nama diberikan pada waktu bayi dibabtiskan. Umumnya dengan
perkembangan jaman, nama-nama yang diberikan bersumber dari Dotu atau
Kakek-Nenek, nama-nama dari Alkitab, atau meniru nama-nama orang
besar, tokoh-tokoh masyarakat, pemerintah, Gereja dan nama-nama
terkenal di dunia barat atau Amerika. Dewasa ini semakin jarang orang-
orang tua di Toundanouw (Tonsawang) memberikan nama kepada anaknya
dari nama Dotu atau Kakek-Nenek atau para pahlawan-pahlawannya masa
dahulu. Padahal nama-nama asli di waktu lampau tidaak kalah baiknya
dengan nama-nama sekarang.

4. Pengakuan dan Pengangkatan Anak (Adopsi)


Pada jaman dahulu, apabil seorang wanita mengandung, tetapi tidak ada
seorang pria yang mengakui dia sebagai istrinya atau mengakui kehamilan
yang terjadi akibat hubungan antar keduanya, maka anak yang lahir kemudian
biasanya memakai nama keluarga pihak wanita. Adakalanya keluarga dari
pihak wanita mencoba membujuk sang wanita untuk memberitahukan siapa
yang menyebabkan kehamilan dirinya dan bilamana diketahui maka
diusahakan untuk mendekati pria tersebut lalu ditanyakan apakah ia
bermaksud mencelakakan sang wanita itu. Bilamana dalam pendekatan sang
pria menyatakan hendak mengakui anaknya saja yang akan lahir, maka sang
pria memberitahukan kepada pihak keluarga wanita bahwa walaupun ia tidak
akan mengawini wanita itu, namun ia hendak mengakui anak yang lahir itu
sebagai anaknya. Maka selama anak itu ditangan si wanita, ia harus
mengirimkan atau mengongkosi anak tersebut sampai tiba saatnya ia
berumah tangga.
Tetapi adakalanya, sang wanita menolak tindakan sang pria yang hanya
menyatakan kehendak dan berbuat demikian, sehingga akan tersebut tetap
dalam pemelihaan sang wanita sampai dewasa dan berumah tangga . dalam
hal seperti ini, maka anak tersebut tetap menggunakan nama sang keluarga
wanita dan mencoba untuk tidak memberitahukan siapa ayahnya yang
sebenarnya. Walaupun pengakuan anak yang lahir diluar nikah ini jarang
terjadi, namun adakalanya, sepasang suami istri yang tidak mendapatkan
keturunan mengambil anak tersebut melalui persetujuan dari sang wanita
atau ibu dari anak tadi. Bilamana sepasang suami istri mengakui anak itu
sebagai anaknya sendiri, maka nama anak itu diberikan nama menurut nama
keluarga dari pihak suami yang mengakui anak itu sebagai anaknya sendiri.
Ini membawa akibat bahwa dalam pembagian warisan, anak yang diakui itu
akan mewarisi semua harta peninggalan dari kedua suami istri atau ayah
ibunya itu. Oleh karena cara ini menimbulkan protes dari pihak keluarga pria
dan wanita yang mengakui anak itu, terutama dalam soal warisan, akhirnya
pengakuan anak seperti itu ditidakan sampai sekarang ini.
Di Toundanouw baik jaman dahulu sampai sekarang juga masih berlaku
mengangkat anak atau adopsi. Bagi orang-orang Toundanouw (Tonsawang)
hal mengangkat anak disebut engan “TINAKENG A KANOMBAL” yang
artinya “Tinakeng” – Angkat, Kanombal artinya diatas kulit pelepah
pembungkus batang pinang. Pada waktu seorang atau sepasang suami istri
yang telah lama tidak mendapat keturunan mungkin oleh karena mandul atau
akibat sakit masa lampau, mengangkat anak, maka biasanya ia mengangkat
anak yang disebut bayi. Bayi tersebut sebelum lahir telah dimintakannya
kepada sepasang suami istri melalui musyarawah. Bilamana si suami istri
akan mengandung dan melahirkan seorang bayi, dimintakannya untuk menjadi
anaknya sendiri. Jika hal ini disetujui oleh sang istri dan suami yang memiliki
bayi tersebut, maka pada waktu bayi lahir maka pada saat itu juga ia dibawah
dengan kanombal ke rumah sang suami istri yang mengangkatnya. Oleh
karena itu cara pengangkatan anak yang demikian itu disebut “Tinakeng a
Kanombal”atau disebut juga PINE’BATA, artinya diangkat menjadi anaknya
sendiri secara sah atau resmi.
Anak yang diangkat atau Pine’bata/Tinaken a Kanombal itu diberi nama
menurut suami istri yang mengangkatnya dan ia memelihara anak itu sampai
besar hingga berumah tangga tetap diakui sebagai anaknya sendiri. Dengan
ini ia berhak memperoleh warisan dari ibu-bapa-nya yang mengangkatnya
sebagai anak. Warisan yang didapatkannya bersifat abadi artinya menerima
semua harta peninggalan dari ayah-ibu pengangkatnya. Pengangkatan anak
ini menurut L. ADAM adalah adopsi yang sejati di Minahasa dan memang
hanya terdapat di daerah Tonsawang. Adakalanya yang mengadopsi bayi
tersebut mereka yang telah mempunyai anak laki-laki tetapi tidak
mempunyai anak perempuan, dan juga mempunyai anak perempuan tetapi
tidak mempunyai anak-laki-laki. Namun pengangkatan anak seperti itu juga
dilakukan menurut tata-cara tersebut di atas. Selama bayi tersebut dalam
pemeliharaan si pengangkat, maka orang tuanya (ibu yang sebenarnya)
datang menyusui sang bayi sampai ia lepas menyusu. Sebagai imbalan atas
pemberian bayinya itu, maka si pengangkat anak (bayi) tersebut biasanya
memberikan tanah atau kebun sawah kepada keluarga si pemberi bayi yang
menjadi haknya sampai selama-lamanya.
Walaupun hal yang terakhir ini sangat jarang terjadi di daerah Toundanouw
(Tonsawang), namun ada kalanya orang tua yang merasa simpati kepada satu
keluarga yang tidak seketurunan dengannya mengangkat anak orang lain
dengan istilah dalam bahasa setempat Toundanouw (Tonsawang)
“Pinanguaan/Pinepanguaan” memberitahukan telah mengangkat anak.
Sebagai contoh bilamana seorang tua bersimpati kepada seorang anak dari
keluarga lain ia datang mengatakan kepada Ibu-Bapak sang anak bahwa
anaknya ia ingin angkat sebagai anaknya sendiri. Bilamana disetujui oleh Ibu-
Bapak tersebut, maka anak itu dianggap telah mempunyai Bapak dan ibu
angkat. Cara inilah yang disebut “PINANGUAAN”. Anak tersebut tidak
tinggal di rumah keluarga yang mengangkat tetapi tetap di rumah
keluarganya sendiri. Namun demikian sewaktu-waktu anak itu dapat pergi ke
rumah keluarga yang mengangkat tetapi tidak terus bertempat tinggal di
sana. Anak yang diangkat biasanya kira-kira berumur 7 tahun sampai 12
tahun. Si pengangkat anak ini biasaanya memberikan tanah atau sawah
kepada anak angkatnya sebagai bukti simpatinya yang jujur atau ikhlas.

5.

Anda mungkin juga menyukai