1. Kalakeran
Kata ini berasal dari kata “Laker” yang berarti banyak. Kalakeran adalah
suatu sistem dalam dalam pemakaian harta milik yang sifatnya “semi-
communal”. Sistem ini berasal dari pewarisan tanah kepada anak-anak tetapi
tidak dibagi-bagi. Yang berhak atas tanah itu mengolahnya secara bergilir
dan biasanya giliran ini berlaku untuk satu tahun bagi setiap orang. Dengan
demikian, suatu tanah Kalakeran akan mengikat suatu keluarga yang makin
besar jumlah, sehingga akhirnya diperlukan seseorang yang harus mengatur
pengiliran pengolahan tanah itu, terutama bilamana sang nenek-kakek tertua
telah meninggal dunia. Orang yang mengatur ini disebut Kepala in taranak,
yang artinya kira-kira sama dengan Kepala Kaum Keluarga. Kepala in
taranak biasanya adalah seorang tua yang mengetahui seluruh silsilah dari
keluarga-keluarga yang terikat pada tanah kalakeran yang diaturnya. Dialah
yang menentukan siapa-siapa yang berhak memperoleh giliran pada tiap-tiap
tahun. Tanah kalakeran di daerah Toundanouw (Tonsawang) pada zaman
dahulu, adalah bersifat turun-temurun dan secara bergilir diolah oleh
anggota keluarga yang berhak menurut garis keturunan sebagaimana
disebutkan tadi.
Berdasarkan perkembangan masyarakat dan timbulnya berbagai
perbantahan atau persengketaan diantara kaum keluarga antara lain ketika
orang mulai menanam tanaman bertahun dan mendirikan tempat tinggal
keluarga, lama-kelamaan sistem tanah kalakeran ini berangsur-angsur diatur
menjadi pemilikan perorangan. Sengketa atau perbantahan tersebut memaksa
kemudian pemimpin-peminpin masyarakat mengadakan usaha pengaturan
secara baik, namun sulit sekali dilaksanakan. Nanti pada zaman pemerintahan
Belanda kira-kira pada tahun 1861, mulailah diatur pembagian tanah-tanah
adat tersebut kepada anggota-anggota keluarga menurut sistem hukum
perdata barat. Demikian pula mengenai waris dan ahli waris diatur oleh
pemerintah Belanda, juga mengenai system perkawinan dan upacara. Setelah
ada keputusan pemerintah Belanda, maka tanah-tanah kalakeran dibagi-bagi
kepada anggota keluarga yang kemudian dikenal dengan sebutan “Panisi”.
Walaupun demikian, sampai sekarang di Toundanouw (Tonsawang) masih
ada tanah-tanah kalakeran yang menjadi milik negeri seperti danau Tutud,
Kawelaaan, Derel, Bulilin, Seledan dan Useban. Disamping itu masih ada
tanah-tanah kalakeran keluarga yang diolah secara bergilir atau digunakan
bersama bilamana menjamu tetamu yang berkunjung ataupun dalam
perkawinan salah satu anggota keluarga.
5.