Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MULOK

NAMA : MARIA YUSTINA WELIN

KELAS : IX A

SMP SUSILA KOTING

2021
RITUAL PERKAWINAN ADAT SIKKA

Pernikahan adalah juga pertalian kekerabatan antara kedua pihak turun-temurun


karena itu asal-usul emas kawin mesti diselidiki. Seperti perkawinan adat suku-suku di
Nusantara yang menganut garis laki-laki (patriarki), emas kawin bagi mempelai perempuan
memegang peranan utama. Begitu juga dalam perkawinan adat Sikka, Kabupaten Sikka,
Flores, emas kawin yang disebut ling weling atau belis memegang peranan utama. Tradisi
perkawinan ini mengacu pada ungkapan: Daa riang nopok, oli tokar (ribang: batu asahan;
nopok: aus; koli: lontar; tokar: tinggi lagi tua) yang maknanya: pertalian kekerabatan antara
kedua pihak akan berlangsung terus-menerus dengan saling memberi dan menerima sampai
turun-temurun.

Menurut sejarah lisan yang berkembang di masyarakat setempat, emas kawin ini
diatur sejak pemerintahan raja perempuan, bernama Du’a Ratu Dona Maria, yang
memerintah sekitar abad ke-17.Pada masa itu pernah terjadi perselisihan yang mengakibatkan
pertumpahan darah, yang disebabkan ulah laki-laki tak senonoh kepada anak-anak gadis
ataupun perempuan yang telah berkeluarga. Maka bertindaklah raja, setelah berunding
dengan para tetua adat, untuk melindungi martabat perempuan. Ketetapan itu dituangkan ke
dalam sastra lisan, dengan petikan:

"Ata du'a utang Nha nora ling, Ata du'a lambung naha nora weling, Ata la'I kuning
Nha nora ling. Ata la'I watuk Nha Nora weling. Ata du'a saur naha lopa lebung. Ata du'a
soking naha lopa batu".

(Sarung wanita berharga, baju wanita bernilai, kumis lelaki berharga, janggut lelaki
bernilai. Sanggul wanita jangan dibongkar, tusuk emasnya jangan dijatuhkan). Moralitas dari
sastra lisan ini, menurut budayawan setempat, Oscar Pareira Mandalangi, wanita harus
dihargai tinggi, sebagai piñata periuk barang-barang langka pada masa lampau. Demikian
juga tudimanu (pisau dan ayam), yang dimaksudkan sebagai emas dan gading

Sistem Perkawinan Dalam Adat Istiadat Sikka Krowe


            Sistem Perkawinan Dalam Adat Istiadat Sikka Krowe dibagi dalam bebrapa
point penting antara lain sistem anak paman, system perkawinan di luar kerabat,
sistemperkawinan bebas dan sistem perkawinan yang dilarang oleh adat.
Prosedur Perkawinan Dalam Adat Sikka Krowe

            Pada bagian ini penulis akan membahas prosedur atau proses perkawinan
dalam perspektif adat istiadat Sikka Krowe. Dalam adat istiadat Sikka Krowe, perkawinan
yang direstui oleh keluarga dan masyarakat sekitar dilakukan melalui proses tahap demi
tahap. Tahapan-tahapan tersebur akan dibahas secara mendaetail sebagai berikut.
- Pemilihan Jodoh
Hakikat pemilihan jodoh pada zaman dahulu, seringkali dilakukan karena orang tua
bercita-cita agar anaknya dapat kawin dengan seorang yang cocok dan disenanginya. Oleh
karena itu, sebelum orang tua mengambil keputusan terhadap jodoh anaknya, terlebih dahulu
mereka mengadakan penilaian kepada perempuan yang akan dilamar. Penilaian ini tidak
hanya dilakukan oleh orang tua, tetapi peranan kaum kerabat sangat menentukan pula yang
menjadi ukuran penilaian adalah kecantikan, keturunan, agamanya, kekayaan, budi pekerti,
serta akhlaknya. Tentu saja hal ini juga hamper terjadi di semua daerah. Apabila seorang laki-
laki bermaksud melangsungkan perkawinan sedapat mungkin hal tersebut dirundingkan
terlebih dahulu oleh orangtua dengan kaum kerabat dan anak yang bersangkutan. 
- Masa Pertunangan
Dalam adatistiadat Sikka Krowe, inisiatif melamar biasa diambil oleh pihak kaum
kerabat laki-laki. Bila inisiatif melamar dimulai oleh kaum kerabat wanita sebagaimana yang
biasa dijalankan dalam sistem matriarkat maka akan diejek orang dengan ungkapan  Te’a
Met (menjual anak wanita) atau Ganu Waang Tota Jarang (rumput mencari kuda). (M.
Mandalangi Pareira, 1988:12). Sebelum lamaran diketahui oleh keluarganya, anak laki-laki
telah menempuh tahapan-tahapan berikut:
a. Briu-Mikut
Briu- Mikut ialah perkenalan. Perkenalan itu bisa terjadi di mana saja. Bisa di sumur,
di pasar, di kebun, pergi pulang dari gereja, dan tempat lainnya. Pertemuan itu biasa
diungkapkan dalam bentuk pantun adat
Gerak-gerik dan tingkah laku pemuda tersebut saat melagukan pantun adat tersebt
akan di ikuti oleh keluarga, dan disarankan untuk melangkah ke tahap berikutnya.
b. Diri Miping
Diri Miping berarti melihat khayalan dalam mimpi. Hal ini merujuk pada anak gadis
mana yang dapat dijadikan jodoh.  
Sebagai catatan  penting bahwa kepercayaan adat Sikka Krowe, mimpi yang baik
adalah bila melihat sebatang nyiur yang buahnya lebat dan nyiur tersebut  tumbuh di
pekarangan itu. (M. Mandalangi Pareira, 1988:12).
c. Kula Babong
Setelah mimpi pada tahap diri miping akan dilanjutkan ke tahap Kula Babong
(musyawarah). Mimpi tersebut di ceritakan oleh yang berangkutan, lalu akan diundang
keluarga inti untuk dimusyawarahkan. Hal-hal yang irundingkan bersama keluarga adalah
tingkatan keluarga, sifat, kesehatan dan keterampilan dari gadis yang dipinang. Hasil
perundingan itu disepakati untuk mengutus Aa Gete “Bano ‘Ahu/ “Ahu Wating” ke rumah si
gadis. (M. Mandalangi Pareira, 1988:12).
d. Pano ‘Ahu/ ‘Ahu Wating :
Tahap selanjutnya adalah Pano ‘Ahu/ ‘Ahu Wating. Proses adatnya akan dimulai saat
Aa Gete (bibi) akan mencari kesempatan yang baik untuk bertandang ke rumah si gadis. Ia
akan berbincang-bincang dengan si gadis, tetapi tidak lepas dari sasaran dan tujuan
pembicaraan. Ia menceriterakan adiknya si laki-laki dengan keterampilannya, dan
meyakinkan bahwa adik laki-lakinya akan cocok dengan si gadis tersebut. Setelah
melantunkan pantun adat tersebut, keduanya (bibi dan si gadis) biasanya akan tertawa bersa.
Selanjutnya, si gadis akan membisikan cintanya, bahwa ia berkenan menerima laki-laki.
e. Wua Taa Oko-Kape
Bisikan si gadis dalam menerima cinta laki-laki akan memberikan harapan untuk
melanjutkan proses adat ke tahap Wua Taa Oko-Kape. Dalam proses pelaksanaan Wua Taa
Oko-Kape, bibi akan datang lagi dengan dua atau tiga anggota keluarga laki-laki sambil
membawa sirih-pinang dalam wadah, pisang masak dan kue-kue, dan buah-buahan menuju
rumah si gadis. Di sini aka nada dialog singkat tetapi sangat bermakna. Ibu atau yang
mewakili keluarga perempuan akan memberikan sapaan. Bibi dari keluarga laki-laki akan
menjawab dalam bentuk kiasan adat: iparmu mengutus saya menyampaikan suatu berita
gembira, bahwa beliau hendak menggayung padi di lumbung yang besar itu, bagi anaknya
yang sulung. Kiasan ini dimengerti oleh ibu/wakil perempuan  dan dijawab : baiklah kita
akan dengar langsung dari diri yang bersangkutan.
f. Prage Wae Ara Mata
Tahap Prage Wae Ara Mata merupakan tahap pengresmian hubungan antara laki-laki
dan permempuan. Pada waktu yang telah disepakati bersama, utusan pihak laki-laki datang
dengan 2 botol tuak (moke) serta 2 ekor ayam yang disertai dengan sirih, pinang, tembakau
dan lauk pauk untuk makan saat perundingan.
g.     Wua Taa Wa Gete/ Kila Jarang/ Seneng Bura Kirek
Pada tahap Wua Taa Wa Gete/ Kila Jarang/ Seneng Bura Kirek  pihak me wai akan
datang dengan rombongan besar, ada yang mengeret kuda, memikul gading, membawa sirih
pinang dalam sebuah wadah yang besar yang didalamnya telah diisi cincin dan sejumlah uang
yang diikat serta dililit dengan tali benang yang kuat dan di simpul mati. Rombongan juga
membawa makanan-makanan berupa padi, jagung, pisang, ayam, ikan, dan buah kelapa
dalam jumlah banyak. Sampai di depan rumah pihak ina ama, pintu rumah akan ditutup. Dari
halaman mereka akan berseru : ami lema ko lohor? Keluarga perempuan dalam rumah akan
menjawab: uhe di dang hading.  Kemudian pintu akan dibuka dan pihak me wai masuk ke
dalam rumah diterima dengan hormat. Kedua pihak akan melakukan pembicaraan untuk
menyelesaikan mas kawin (belis) yang di bawa itu. Setelah itu rombongan akan dijamu
makan minum sampai puas.
Pihak perempuan juga akan memberikan imbalan/pembalasan terhadap mas kawin
yang deiberikan oleh pihak laki-laki. Imbalan/pembalasan itu berupa beras, babi tambun 2
ekor, moke, kue-kue adat secukupnya serta sarung bagi wanita yang yang ikut sebagai pihak
laki-laki.
Terhadap imbakan/pembalasan atas belis saat kembali dari rumah si gadis,
semuanyaakan dibagikan kepada keluarga me wai dengan pesanan untuk bersiap lagi saat
masa kawin tiba. Demikian pula di pihak ina-ama juga akan membagi-bagi mas kawin
kepada yang berhak mendapatnya dengan pesanan : gea matang nara (terimalah dan bersiap
untuk hari perkawinan). (M. Mandalangi Pareira, 1988:14).
- Masa Perkawinan
Apabila sudah waktunya untuk berumah tangga, maka proses yang akan dilalui antara
lain:
a.    Hakeng Kawit : (penentuan jadwal perkawinan)
Sesuai jadwal yang disetujui bersama, maka juru bicara pihak me wai dengan
membawa tuak dan ayam akan berunding seputar hari perkawinan di rumah pihak
perempuan. Dalam perundingan itu juga akan dijadwalkan hari pembacaan nama di gereja.
b. A Wija/ A Bleba
Tahap A Wija/ A Bleba  dilakukan di mana pihak me wai (laki-laki) mengadakan
perjamuan untuk mengumpulkan mas kawin. Dalam perjamuan ini yang diundang ada yang
dari keluarga lurus, ada yang dari me wai, ada juga dari sahabat dan kenalan. Hal ini
dilakukan sebagai bentuk solidaritas sekaligus meringankan tanggungan belis.
c.      Wake ‘Unu (Hari Permulaan Pesta)
Tahap Wake ‘Unu merupakan hari permulaan pesta di mana mulai hari itu semua
keluarga jauh dan dekat masing-masing dengan tugasnya akan ke rumah pihak laki-laki atau
ke rumah pihak wanita. Di rumah pihak laki-laki : ada yang membawa mas kawin, ada yang
membawa labu sako, dan sebagainya. Ringkasnya malam itu pesta kekeluargaan (kumpul
keluarga). Ada yang menghiasi rumah mempersiapkan kamar pengantin, tenda dan
sebagainya. Kira-kira jam 10.00 malam pihak wanita pergi menjemput Aa Gete dari pihak
laki-laki, untuk mempersiapkan  bilik pengantin yang telah disediakan.
d.      Hari Kawin
Kawin, merujuk pada adat lama sebelum agama katolik masuk dalam wilayah Sikka,
diceritakan bahwa upacara kawin dibuat secara sederhana di mana orang tua laki-laki akan
diserahkan kepada bibi untuk “olaha oha sorong loni” (bentangkan tikar bantal). Untuk
keluarga dengan strata sosial dianggap keluarga terpandang,  upacara perkawinan anaknya
dilakukan oleh tua-tua adat. Sesuai waktu yang telah disepakati, pengantin laki-laki diiringi
keluarganya menuju rumah pengantin wanita. Kedua pengantin duduk di atas tikar bantal dan
dikelilingi keluarga dai kedua pihak. Tua adat dengan pembantunya yang membawa upacara
berada di tengah-tengah. Di depannya telah disediakan sepiring hati babi, secangkir tuak,
sepiring bunga dan sepiring beras kuning.
Tua adat memulai dengan ungkapan adat sbb : Miu dua baa giit,  Miu mo’ang baa
mangang, Giit baa meti lepo, Mangang baa plamang woga (Kamu berdua telah dewasa,
Dewasalah kamu dalam membangun keluarga/ rumah tangga). Lalu diambilnya hati babi,  di
belah dua, lalu diserahkan kepada kedua pengantin masing-masing sebelah, dan disuruhnya
saling menyuap hati babi itu, sambil berkata : Gea sai wawi ‘api ‘ara prangang, Dena jaji
wai nora la’i (Makanlah perjamuan ini, Lambang janji suami istri). Kemudian tua adat
menyerahkan secangkir tuak kepada pengantin laki-laki untuk diminum seteguk lalu
diberikannya kepada pengantin wanita jugauntuk diminum seteguk, sambil tua adat berkata :
Minu sai tua gahu supa, Dena supa ‘lihang nora lalang, (Minumlah tuak yang keras,
Sumpah bersuami isteri). Setelah itu, tua adat menghambur bunga ke atas kepala kedua
pengantin sambil berkata : Wuat naha baka lika, Puhut naha jiro-jaro (Berbuahlah lebat,
Berbungalah indah-indah). Selanjutnya, beras kuning dihamburkan, sambil berkata: Bua buri
ganu wetang, Gae teto ganu ‘atong, Teri le’u nete ‘eting, Era le’u nete ‘oang, Sape kang
benu wuli, Sape wodong luu wa’I, Lena wero lopa lete ‘eting, Dena wawi lopa poar hoat
(Beranak cuculah sebagai, Biji jewarut, Memenuhi segala wilayah, Sampai ke batas Tana Ai,
Samapi ke batas Lio, Supaya kera jangan bertengger, babi jangan melompat batas).
Kemudian tua adat mempersilakan Aa Gete menuntun kedua pengantin ke dalam bilik
yang telah disediakan, sambil berkata, daa blewut ko belung Sape boga ko loar (sampai mati
baru bercerai). Sementara itu semua yang hadir dan tua-tua adat di hidangkan makanan
secukupnya, pigang pitu makok walu (tujuh piring dan delapan mangkok) berarti tiap orang
mendapat berjenis macam makanan dan sayur mayur. Hidangan memakan waktu lama,
menanti kedua pengantin keluar dari kamar untuk makan.  
Di dalam bilik Aa Gete masih memberi nasehat katanya : Au dua baa glit meti lepo,
Naha tutur gepu ganu hejung, Ganu hepung tereng ‘uneng, Au moang baa mangang
pramang woga, Naha harang blewo ganu hewong, Ganu hewong tua wutung, Lopa tutur
deteng wawa leang blong, Tilu riwung wawa diri rena, Ita wae meang ganu mate, Lopa
harang lasa wawa lasa lawing, Mata ngasung wawa nia ita, Odi mata berat ganu bunu.
(Anda wanita dewasa, Berbicara halus-halus, Bagai bunyi nyamuk, Anda pria dewasa , Tegur
halus-halus, Seperti bunyi kumbang, Jangan berbicara di luar rumah, akan didengar banyak
telinga dan dilihat banyak mata, alangkah malunya.)
Kedua pengantin akan keluar bersama Aa Gete, untuk makan bersama sambil minum
moke yang selanjutnya menari sampai malam. Sementara itu, ada waktu istirahat sejenak
untuk memberikan kesempatan kepada tua adat yang lain dalam memberi nasihat bagi
pengantin baru. Nasihat-nasihat tersebut juga dilantunkan dalam bahasa adat untuk
pengantinpria dan untuk pengantin wanita. Untuk pengantin pria:
Gou lau lemang, mai saing waing, Bata reta marang, mai toma meng, Waing mutu ko
laa, meng mutu ko lega, Niang poa lero ha’e, Reging sai taka, rema sai porong, Gopi sai
roing, rodo sai kabor, Kare sai tua, dena bihing waing, Dena bekat meng, Luat rema rua,
lopa diri ‘ata tutur, Sarang ga maeng-maeng, ganu hepung, Sepu papang ‘uneng, diri wi
hulir, Besung leu waing, ibar leu meng, loar, ‘ata waing bait baa, Ganu plea ganu klegang,
‘ata meng belar baa, Ganu roho, ganu toleng ( Artinya: Mencari rejeki baik di laut pun di
daratan, hantarlah kepada isteri, yang akan membukanya.Pagi matahari terbit sandanglah
kapak serta parang, tebaslah hutan, panjatlah kelapa, menyadap tuak, untuk memelihara anak
isterimu.Esok lusa, jangan dengar bisikan orang, untuk melepaskan anak isterimu, jangan
sekali-kali. Anak isteri orang telah pahit seperti tuba, telah kesat bagai ubi hutan).
Sedangkan nasihat tua adat untuk pengantin wanita adalah:
Niang ‘waung lero wawa‘api naha bara, damar naha nilo, Utang naha blaing, Wair
naha gahu, La’ing gahu meng, Hang poa lero ha’e, Sunt sai buhar, Rema sai ehar, Jata sai
kapa, Moru sai lorung, Dena sapu la’ing, lobe meng, Sapu beli jaur, lobe beli jewa, Luat
rema ru’a, lopa diri, ‘ata tutur au kesi kelik berin, Tutur wi ketun blutuk, Ganu hewon blebon
reta tua wutun, Diri wi hulir, belung le’u, la’ing, Loar le’u meng, etia loar golo, ‘ata la’ing
bait baa, Ganu plea ganu klegang, ‘ata meng belar baa, Ganu roho ganu toleng. (Bila
mentari telah masuk, Api dipasang damar menya, Ia, daun pepaya telah masak, Air di masak
untuk suami dan anak, Pagi menanti terbit, Ambilah alat pemintal, Pintallah benag,
bertenunlah, Untuk suami dan anak, Memakai yang pantas dan baik, Besok lusa jangan
dengar, Bisikan orang manis mulut, Mengganggu engkau melepaskan, Suamimu dan
meninggalkan anakmu, janganlah sekali-kali. Suami orang telah pahit, Seperti tuba, Dan
kesat bagaikan ondo. (M. Mandalangi Pareira, 1988:16).
- Kawin Gereja Katolik
Perkawinan Gereja Katolik tentunya dipimpin oleh pastor dan dilakukan di Gereja.
Adapun busana adat yang dipakai pengantin wanita adalah  berbusana ala portugis :
Kimang heret (Bahan kain halus warna kuning), Labu nujing (Bahan kain seti warna merah di
hiasi bunga), Soking telu (Sanggul emas 3), Suwong taroe (Anting-anting bertingkat), Ala
gadeja (Pita dahi berambut melindungi mata), Kila bahar (Cincin emas), Gebe-wulang nitang
(Bahan emas berbentuk bulan purnama dan berbentuk bulan sabit). Ia akan dituntun oleh
seorang laki-laki anak pamannya dan diiringi oleh semua keluarga. Sedangkan pengantin
pria,  selain dari pakaian lipa dan jas, juga menyandang seutas rantai emas panjang. Ia diiringi
oleh kedua iparnya dan saudari-saudarinya yang membawa bunga, beras kuning, serta
keluarganya.
Setelah upacara keagamaan, kedua pengantin diiringi keluarga kedua pihak menuju
rumah pengantin wanita. Di pintu rumah di tanam hiasan 2 batang pohon pisang. Saat
pengantin tiba di depan rumah, seorang tua adat mengambil bunga dengan beras kuning lalu
dihamburkannya kepada kedua pengantin disertai ucapan: wuat naha baka lika (berbuahlah
lebat). Kedua pengantin di hantar masuk ke dalam rumah untuk memberi salam kepada kedua
orang tua dengan cara: Mai hugu rii ‘inang limang, Mai kongong gapu ‘amang wa’ing
(Merendahkan diri dihadapan orang tuanya, menciumi dan merangkulnya).
Kemudian akan disuguhkan makanan dan minuman ringan kepada kedua pengantin
dan semua keluarga.  Saat minum, tua adat akan mengucapkan kata-kata adat;  Mai ea sai
wawi ‘api, Tinu sai ‘ara pranggang, Loning ruang dadi baa wai nora lai, Genang ‘lihang baa
nora lalang, Ruang dua baa giit reti lepo, Moang baa pramang woga (Marilah kita bersama
mengecap perjamuan ini, Karena keduanya telah menjadi suami isteri, sanggup memimpin
rumah tangga). Acara dilaksanakan sampai siang hari lalu bubar untuk persiapan perjamuan
besar (ea gaer/ea hama-hama) di sore hari.
Setelah perjamuan selesai, pengantin laki-laki bersama keluarga pulang kerumahnya
menanti penjemputan “tama ‘ola ‘uneng”. Sisa makanan, akan dimakan oleh kedua pihak
pelayan, lalu “diheng” (sisa makanan dan lauk-pauk) dari pihak wanita diberikan kepada
pihak lelaki beserta tambahan lain lagi.
- Tama ‘Ola ‘Uneng
Tama ‘Ola ‘Uneng merupakan upacara di mana untuk pertama kalinya memasuki
bilik peraduan, bukan sesukanya. Saat jauh malam, sekitar jam 11, pengantin pria dijemput
oleh keluarga wanita. Pengantin wanita dituntun oleh Aa Gete memasuki bilik peraduan;
setelahnya, Aa Gete keluar lagi untuk menuntun pengantin pria dan dihantar ke dalam bilik
peraduan.
-   Wehak Bunga
Upacara Wehak Bunga dilaksanakan pagi-pagi sekitar jam 5. Aa Gete dari pihak lelaki
dengan sepiring bunga datang dan mengetuk pintu bilik. Ia masuk menghambur bunga
kepada kedua suami isteri yang baru  mengalami malam pertama.
-   Tung Temang
Upacara Tung Temang merupakan upacara adat di mana pihak wanita menghantar
bahan-bahan Tung Temang ke rumah pihak pria yakni, 4 ekor babi tambun, 1 ekor kambing,
4 karung beras, 4 tempayan moke, 4 helai sarung baju “diheng” (sisa makanan), 7 sarung
untuk gadis-gadis pengiring pengantin, kue-kue adat dan lauk pauk.
- Tung Balik
Upacara Tung Balik  merupakan kebiasaan mas kawin yang di berikan sesudah hari
kawin. Hal ini dilakukan apabila tung temang telah di hantar oleh pihak wanita. Tetapi karena
ada pengalaman di mana pihak pria tak menghantar mas kawin atau menunda, maka banyak
kali juga pihak wanita menunda Tung Temang. Pada masa lampau mas kawin tak dibenarkan
untuk dipanjar karena dapat di ejek orang bahwa ia tak sanggup. Tapi oleh kejadian di mana
pihak pria yang tidak menghantar mas kawin, maka terjadilah panjar mas kawin, sebelum
pesta. Sehingga sesudah kawin, akan dihantar tunggakan mas kawin (sube dung). Mas kawin
yang masih juga tertunggak, dikenakan ungkapan : “ribang nopok koli tokar”, yang berarti
dapat diberi pada waktu anak laki-laki lain menikah.
- Hu’i
Adat Hu’i (mandi) dilakukan setelah empat malam menikah. Selama empat malam
pengantin, haram untuk mandi karena akan diadakan upacara “Huler Wair”. Kedua
pengantin mandi di rumah, lalu duduk bersanding dan di sirami oleh tua adat dengan “Huker
Wzir”
 Tung Lako
Upacara Tung Lako dilakukan sesudah mandi. Keluarga pria datang dengan makanan-
makanan yang lezat, demikian juga pihak wanita bersama-sama makan minum sambil
bersanda gurau, dan menari-nari sampai puas.
Pada zaman modern ini, kebiasaan mandi tidak hanya dilakukan di rumah tetapi juga
di sungai besar sambil piknik bersama keluarga. Disitulah mereka mandi dan makan bersama
sampai sore.
 Ngoro Remang
Upacara Ngoro Remang merupakan upacara pembongkaran dapur pesta yang berada
di luar rumah. Dalam mas kawin juga dibuat anggaran Ngoro Remang. Namun hal itu tak
berlaku lagi sekarang  ini karena telah diganti dengan pesta bersama. Sejatinya, maksud dari
ngoro remang  adalah upah para pelayan yang membantu memasak.

Anda mungkin juga menyukai