Anda di halaman 1dari 6

TUGAS MULOK

NAMA : AGNES GRATIA JAWA

KELAS : III

SEKOLAH DASAR KATOLIK NITA 1

2020/2021
1. Sejarah Desa Nita

Menurut sejarah tertulis dan tradisi lisan yang berkembang dari waktu ke waktu,
alkisah nama ‘Nita’ berasal dan diambil dari nama sebuah pohon besar yang tumbuh di
tengah-tengah perkampungan bernama pohon Nita. Di bawah naungan pohon inilah pada
zaman dahulu kala menjadi tempat berteduh atau istirahat bahkan menjadi ‘terminal antar
kampung’, termasuk menjadi pasar atau tempat jual beli antar warga kampung pada masa itu.

Nama pohon dan tempat itu kemudian secara turun temurun dan dari masa ke masa
dalam penyebutan lazim E’i Nita, Lau Nita, Le Nita, Wali Nita, Wawa Nita atau Reta
Nita,untuk menunjukan tempat asal dan tujuan perjalanan atau tempat perhentian warga yang
kemudian lazim disebut ‘Natar Nita’. Inilah asal muasal dari penamaan Kampung Nita atau
Desa Nita dengan Pohon Nita sebagai simbol nama dan sejarah penyebutannya.

Adapun  penduduk  Nita  pada  waktu  itu  hidup  berkelompok  atau  disebut ‘kloang’
dalam satu kesatuan adat atau suku dengan rumah adat bersama yang disebut ‘lepo’ dan
dikepalai oleh seorang kepala suku4. Dari ‘kloang’ atau ‘suku’ dan

‘lepo’ inilah yang membentuk satu kesatuan yang disebut ‘Natar’ atau Kampung
dibawah pimpinan Kepala Kampung. Dari catatan sejarah dan cerita lisan berkembang,
tercatat kurang lebih 7 (tujuh) suku atau lepo yang hidup dan berkembang pada masa itu
sampai dengan sekarang seperti; Lepo Gete (Ratu/Raja), Lepo Kolit, Lepo Degodona, Lepo
Geronpun, Lepo Lorat, Lepo Orin Bao dan Lepo Tour Orin Gete.

Dalam perjalanan waktu seiring dengan ekspansi Hindia Belanda ke Indonesia dan
Flores pada khususnya, maka terbentuk pula model pemerintahan baru di setiap kampung
dengan penyebutannya masing-masing. Antara lain ‘Natar Nita’ menjadi wilayah Kapitan
Nita (kurang lebih sama dengan Kampung) dengan Kepala Kampung atau Kapitan
pertamanya Philipus Muda Meak da Silva dan Raja Nita (sebutan untuk Kepala persekutuan
Kampung atau disebut Kerajaan) Don Juang da Silva. Selanjutnya oleh Pemerintah Hindia
Belanda, Kerajaan Nita kemudian berafiliasi pada Kerajaan Sikka dan Nita sendiri menjadi
Hamente di bawah kepemimpinan Kapitan Don Pederico da Silva.
Kajian dari pelbagai sumber sejarah lisan dan tertulis tentang Desa Nita.

Pohon Nita adalah sebuah pohon dengan jenis berbatang besar dan tinggi, berdaun
rimbun serta memiliki buah yang dapat dikonsumsi dan dijadikan sebagai makanan
ringanpenduduk pada masa itu. Berdasarkan cerita turun temurun, tempat beradanya Pohon
Nita pada waktu itu terletak pada areal lokasi pertokoan Nita sekarang.

Dan untuk melestarikan simbol Desa Nita tersebut, maka pada tanggal 08 Januari
2014, telah ditanam sebatang Pohon Nita di halaman Kantor Desa Nita melalui seremoni adat
sederhana sebagai tanda  lestari  budaya  dan  deskripsi  simbolik  Desa  Nita  agar  diketahui
dan tidak  dilupakan  oleh generasi sekarang dan yang akan datang.

Pengertian ‘Suku” berasal dari kata bahasa Portugis ‘Suco’ yang berarti satu kesatuan
wargatauorang  perorangan  yang  tinggal  dan  menetap  dalam  suatu  ruang  lingkup 
keluarga  atau  wilayah tertentu, dipimpin oleh seorang ‘Chefe Suco’ atau kepala suku
sebagai penatua arif yang memimpin keberadaan sebuah suku secara turun temurun dan
berkelanjutan. Pada masa sekarang di Desa Nita telah terbentuk Lembaga Adat Desa dengan
keanggotaannya yang terdiri dari wakil setiap ‘lepo’ atau suku-suku tersebut diatas dengan
nama Lembaga Adat ‘Watu Pitu’.

 Pada tahun 1958, terbentuklah Pemerintahan Kabupaten Sikka dan Hamente Nita
menjadi Kecamatan Nita dengan Camat Pertamanya Philipus Muda Meak da Silva dan yang
menjadi Kepala Kampung Nita pada saat itu adalah Hendrikus Gleko Kolit.

Pada tahun 1967, istilah Kampung berubah menjadi Desa Gaya Baru dan kemudian
menjadi Desa seperti sekarang ini yaitu Desa Nita. Pemerintahan Desa Nita secara resmi dan
sah sebagai Desa Gaya Baru Nita berdasarkan Instruksi Gubernur  KDh  Tkt.  I  Nusa
Tenggara  Timur  Nomor  1/2/1967  tertanggal  04

Desember 1967. Pada tahun 1999, wilayah pemerintahan Desa Nita dimekarkan
menjadi 2 (dua) Desa yaitu Desa Nita dan Desa Takaplager.

Sejarah Pembangunan Desa

Ciri utama pembangunan di desa berdasarkan tradisi dan budaya yang berkembang
dari masa ke masa adalah berazaskan musyawarah dan prinsip kebersamaan gotong royong.
Gotong-royong sebagai pola hidup bersama yang menjunjung tinggi asas solidaritas dan
fraternitas, serta musyawarah sebagai model komunike partisipatif yang melibatkan semua
golongan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Dalam kehidupan masyarakat Desa Nita pada umumnya sampai dengan saat ini,
kebiasaan gotong royong dan musyawarah bersama masih dipertahankan dan terpelihara baik
dalam pelbagai bidang kehidupan, secara khusus dalam proses pengambilan kebijakan serta
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa. Pola hidup gotong royong dan
musyawarah itu dapat dilihat dari:
a) Kebiasaan gotong royong dalam pengerjaan kebun dan penggarapan lahan,
kegiatan  bhakti  desa,  pembangunan  rumah  warga  atau  sarana  prasarana umum lainnya
yang dikenal dengan istilah ‘Sako Seng’ atau ‘Lahi Lekang’.

b) Kebiasaan partisipatif dalam komunitas adat dan kehidupan bersama ketika


menghadapi peristiwa kematian, kelahiran, perkawinan dan musibah melalui cara dan upaya
saling mengajak atau ‘Gaging Gatang’, saling mengunjungi atau

‘Dulu Dalang’ dan dalam ikatan persahabatan atau ‘Imung Deung’.

c) Kebijakan melalui musyawarah mufakat untukpengambilan keputusan dalam


pelbagai kegiatan bersama serta penyelesaian masalah publik lainnya melalui komunike
‘Kula Babong’ atau ‘Bibo Babong’ bersama.

 Sejarah pembangunan desa dari masa ke masa melalui pelaksanaan program dan
kegiatan baik dari pemerintah pusat, provinsi dan daerah serta bantuan sosial lainnya
senantiasa diupayakan untuk memberdayakan masyarakat berdasarkan prinsip keutamaan
gotong royong dan musyawarah bersama.

Melalui penerapan prinsip gotong royong dan musyawarah tersebut, pemerintah dan
masyarakat  dapat  berdikari  untuk  membangun  desa  secara  swadaya, swakelola, swakarsa
dan mandiri. Desa swadaya dan swakelola dapat mengambarkan kehidupan desa yang
dinamis dan berkembang. Dengan demikian, pelaksanaan  pembangunan  desa  tidak  hanya
bergantung  sepenuhnya  pada bantuan dan perhatian pemerintah semata, tetapi di sisi lain
masyarakat dilatih untuk berusaha mengembangkan dan memberdayakan segala sumber daya
dan potensi desa baik fisik maupun non fisik demi kesejahteraan bersama.

Oleh karena itu, partisipasi masyarakat desa secara aktif, kreatif dan imajinatif dalam
pelaksanaan  pembangunan,  antara  lain  melalui  penerapan  komunike budaya; kula
babong, dulu dalang, gaging gatang, imung deung, lahi lekang atau sako seng menjadi
kebijakan prioritas dalam rencana strategis pelaksanaan visi dan misi RPJMDes Desa Nita
Tahun 2014-2019 dan ziarah pembangunan desa selanjutnya.

“Ai Nita” atau Pohon Nita yang di tanam di halaman Rumah Desa Nita
Sejarah pahlawan Teka Iku

Di Dusun Hubing ada tempat pertemuan Moan Teka Iku bersama tujuh lepo (orang
yang punya pengaruh di kampung). Kini tempat pertemuan sudah dipagari dan batu-batunya
masih ada. Ada batu panjang seperti meja dan tempat duduk para lepo. Menurut cerita,
tempat ini dijadikan tempat pertemuan guna merancang strategi perang melawan Belanda. Di
tempat inilah Teka Iku selalu menemui para lepo.Menurut penuturan warga setempat, Moan
Teka Iku adalah seorang anak yangdipungut oleh Moan Mitan. Moan Mitan memiliki seorang
anak yang bernama Moan Iku.
Dalam cerita itu disebutkan Moan Teka dan Moan Iku adalah satu dan tak
terpisahkan.Keduanya kemudian menyebut diri Moan Teka Iku, karena merasa satu. Sebutan
itu lalubertahan hingga kini.Sebenarnya Moan Teka Iku adalah sosok dua orang yang telah
bersatu. Teka dalam bahasa setempat arinya muncul dari belahan bambu. Teka Iku dalam
kisahnya dalam buku Sejarah Perjuangan Teka Iku yang ditulis oleh Antonius Anton Nurak
adalah panglima perang yang memiliki motto yang membakar semangat yang berbunyi : A'u
Teka Iku Rebu Bait (Akulah Teka Iku Pahit Bagaikan Besi), Rebu Natan Kena Ngang (Besi
Retak Jenis Baja), Damar Jawa Daan Dadin (Menghijaukan bagaikan daun damar), Nura
Lelan Sampe Daran Segar (Menghijaukan Sepanjang Tahun). Motto perang Teka Iku ini
membakar para pengikutnya melawan penjajahan.
Moan Teka Iku bertekad memberantas penjajahan. Dia melawan karena melihat
penjajah sering memungut pajak hasil bumi yang dibayar kepada raja di masa itu untuk
kepentingan Belanda. Kerja paksa pun diwajibkan dengan mengumpulkan bibit kelapa dan
menanamnya sepanjang dataran pinggir pantai demi kepentingan Belanda. Hal inilah yang
membuat Moan Teka Iku melawan. Dia ingin menghapus penjajahan dan menolak Belanda di
muka bumi Sikka. Ia kemudian menyusun dan membentuk pertahanan melalui strategi
merangkul semua kepala kampung guna melawan penjajah. Dikisahkan, Moan Teka Iku
selalu berjuang mati-matian melawan penjajahan. Banyak kisah yang menuturkan gigihnya
perlawanan Teka Ikut terhadap Belanda. Dia membakar semangat rakyat dengan kata-kata
sebagai berikut: Iku Mitan Manu. Nai Gata Neta Klereng. Manu Nanga Eron Blon. Toki
Tokang Sara Plapeng. Toki Ene Loar Ha. Artinya Iku hitam ayam payau. Bertengger di
segala cabang. Sang bangau si leher panjang. Cotok-pagut dengan tepat. Kuserbu habis, satu
pun tak kutinggalkan.
Kata-kata ini sering diteriakkan Moan Teka Iku di seluruh penjuru guna membakar
semangat rakyat. Ada pula kata-kata yang sering dijadikan kekuatan, antara lain Pale Tupat
Lamen Doa. Kena Desa Ola Gelit, Sede Gete. Mapa Letan Hepen di Gena. Lala di Gena. Peli
Mitan Aur Meran. Laen Ojo Nulu Olor yang berarti Pale Tupat Putera Gila. Jika
diterjemahkan kira-kira berarti Putera Gila Jangan Dicoba, Jerat Membesar, Menghadang
Lorong, Nyamuk dan Lalat Turut Terperangkap. Bambu Hitam Aur Merah. Belum Digosok
Sudah Menyala. Menurut keterangan, Moan Teka adalah seorang sosok yang gagah perkasa,
terampil dan berbudi luhur. Moan Teka Iku juga bertubuh kuat, kekar lagi terampil, mampu
dan bertanggung jawab. Ia juga sosok yang berwibawa dan agresif.
Cara perangnya melawan Belanda juga unik. Dia selalu berperang dengan cara
membakar dan membumihanguskan kampung yang akan dikuasai Belanda. Dia juga
memperbesar kekuasaannya dengan mengawini wanita di setiap kampung. Orang yang ia
nikahi adalah anak dari orang-orang yang memiliki pengaruh di kampung tersebut. Taktik
lain dari perangnya menghancurkan Belanda adalah mempersatukan semua kampung besar
seperti di Kode, Delang, Tadabliro, Baluele, Tomu, Halat, Diler Arat, Puho,Wutik dan
kampung di bagian timur Sikka, Arat Umalaju, Habi, Bei Hara, Getang, Apin Goot, Puho
Rohe, Ian, Heo, Hewokloang, Bora dan Klotong. Perjuangan melawan penjajah membuat
Moan Teka Iku dicari penjajah Belanda. Dia dihukum 20 tahun penjara dan denda uang 300
gulden. Teka Iku lalu dibuang ke Kupang, Timor. Selanjutnya ke Makkasar dan di Bugis
Watang.
Teka Iku adalah sosok yang tidak hanya dikenal oleh keluarganya. Hampir semua
warga Sikka telah mengenal sosok ini. Teka Iku Rebu Bait. Moto dan tekad
kepahlawanannya telah membuat sosok pria ini dikenal sebagai orang yang berjuang
melawan penjajahan dan ketidakadilan di Sikka. Pemkab Sikka dan DPRD Sikka juga telah
menetapkan Teka Iku sebagai pahlawan dan telah menyampaikan fakta dan bukti sejarah
tentang kepahlawanan Teka Iku. Tetapi hingga kini belum ada penetapan Moan Teka Iku
sebagai pahlawan nasional.

Anda mungkin juga menyukai