Anda di halaman 1dari 11

Upacara Kematian 1

Indonesia terkenal akan keberagaman suku dan budaya yang unik, salah
satunya tradisi penguburan oleh suku Minahasa Utara di Manado. Seperti suku
lainnya, suku Minahasa di Manado punya budaya tersendiri, saat menguburkan
kerabat atau keluarganya yang meninggal. Warga suku Minahasa Manado tak
menguburkan jenazah di bawah tanah, melainkan memasukkan jenazah ke dalam
sebuah batu besar. Batu tersebut pun dikenal sebagai situs Waruga, yang banyak
tersebar di beberapa bagian pelosok Manado. Akan tetapi, situs Waruga di Sawangan
Manado dipercaya sudah ada sejak awal abad ke 13 hingga abad ke 20 Masehi. Jadi,
dari zaman nenek moyang orang Minahasa dulu, saat sanak keluarga meninggal
mereka akan memasukan jenazah ke dalam sebuah batu berbentuk kubus, dengan
posisi jenazah duduk sembari memeluk lutut dan kepalanya mencium lutut, agar
masuk ke dalam bebatuan. Posisi mayatnya pun harus menghadap ke arah utara,
yang mereka yakni jika nenek moyang Minahasa datang dari utara. Akan tetapi,
tradisi penguburan seperti ini pun sudah berhenti sejak zaman Belanda dahulu,
karena saat mayat membusuk, baunya pun tersebar luas. Tak hanya itu, pembusukan
mayat itu juga menyebabkan adanya wadah kolera di sekitar Manado, sehingga
penguburan pun tak lagi memakai batu, melainkan peti mati.

Upacara kematian 2
1.Sesaat setelah seseorang meninggal warga sekitar (jaga,kolom/RT) gotong royong
membantu keluarga bangun bangsal , menyiapkan konsumsi bagi para pekerja yang
membangun bangsal dan bagi para pelayat.
2.Malamnya ibadah dan " Masamper " / memberikan penghiburan kepada keluarga
yang berduka dengan menyanyikan lagu-lagu rohani atau lagu tempo dulu ;
menemani keluarga jaga mayat / jenazah.
3.Upacara pemakaman didahului dengan ibadah. Susunan Ibadah Pemakaman
biasanya meliputi :

Upacara kematian 3

Suatu tradisi yang ada di suatu daerah tentu telah menjadi suatu hal yang perlu
dilakukan dan menjadi kebiasaan dari nenek moyang.  Dan sama seperti
halnya dengan salah satu tradisi yang ada di Suku Minahasa,  dimana pada zaman
dahulu nenek moyang dari orang Suku Minahasa di Sulawesi Utara memiliki suatu
kebiasaan  yang terkadang tidak seperti pada umumnya,  dimana kebiasaan atau yang
sering dikatakan sebagai suatu tradisi ini adalah dengan pemakaman yang agak
berbeda yaitu dengan meletakkan seorang jenazah pada posisi yang menghadap ke
arah utara dan didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat serta kepala
mencium lutut,  hingga saat ini pun Suku Minahasa selalu menjalankan tradisi
pemakaman yang unik dan mengesankan ini,  hal ini bisa dikatakan unik sebab
pada umumnya pemakaman yang ada di Indonesia hanya dilakukan dengan cara yang
biasa yaitu dengan menguburnya di tanah dan tentu pemakaman yang ada di Suku
Minahasa ini menjadi salah satu pemakaman terunik di Indonesia selain Ngaben yang
ada di Bali.
Setiap tradisi yang ada di daerah ini selalu memberikan unsur simbolik atau
makna tersendiri dan sama seperti halnya tradisi pemakaman yang ada di Suku
Minahasa ini.  Jenazah yang dihadapkan ke arah utara yang menandakan bahwa nenek
moyang Suku Minahasa berasal dari bagian utara suatu wilayah. Setelah itu
mayat dikubur di dalam sebuah bangunan batu di mana oleh Suku Minahasa diberi
nama sebagai waruga yang menjadi suatu alat pemakaman khas dari Minahasa.
Pemakaman unik yang memanfaatkan batu di Suku Minahasa yang disebut dengan
waruga ini diambil dari 2 kata yaitu Waru dan ruga. Yang mana di dalam bahasa
Minahasa Waru berarti rumah, sedangkan Ruga yang memiliki makna badan,  dengan
begitu secara harfiah waruga ini berarti sebuah rumah tempat badan dimana
badan tersebut rohnya akan kembali kepada sang Maha Pencipta. Memang pada
dasarnya setiap tradisi selalu ditunjukkan kepada sang Maha Pencipta yang
menciptakan bumi dengan seisinya ini,  sehingga Anda pun juga jangan heran jika
tradisi pemakaman dari Suku Minahasa ini juga diartikan sebagai jalan hidup untuk
meraih  kenikmatan surga yang menjadi kehidupan yang nyata dan kekal.

Ciri khas yang mendasar dari pemakaman tradisi dari Suku Minahasa ini
terletak dari sebuah batu yang memiliki Genting
atap yang berbentuk segitiga,  yang pada umumnya memiliki bentuk yang serupa
dengan warna rumah kecil dan mungil serta di beberapa sisi dari waruga ini memiliki
gambaran gambaran relief yang akan memperlihatkan cara pemakaman untuk
seseorang yang sudah meninggal,  Selain itu di beberapa waruga ini juga terletak dari
relief yang menggambarkan bagaimana seharusnya seseorang yang meninggal dan
dimakamkan di daerah tersebut.
Menurut sebuah cerita sejarah, waruga Ini pertama kali digunakan oleh orang Minahasa
di abad ke IX Masehi yaitu sekitar tahun 1860,  dan pada umumnya saat itu
pemakaman ini dilarang oleh warga Belanda karena mereka khawatir jika seseorang
yang dikubur akan membawa penyakit-penyakit tersebut dan akan merembes dari celah
batu dari waruga, akan tetapi hingga saat ini tradisi penguburan mayat di waruga ini
tetap terjaga dan dilestarikan di masyarakat Minahasa,  hingga saat ini pun ada
sebuah taman yang menjadi sejarah favorit para pendatang terdahulu yang mengubur
mayat yang meninggal di waruga dan di sekitar Taman tersebut.
Pelaksanaan prosesi pemakaman oleh Suku Minahasa

Upacara adat di minahasa :

Upacara Adat Masyarakat Minahasa:


1. Monondeaga
Upacara adat ini merupakan sebuah upacara adat yang biasa dilakukan oleh suku
Minahasa terutama yang berdiam di daerah Bolaang Mongondow. Pelaksanaan
upacara adat ini sendiri adalah untuk memperingati atau mengukuhkan seorang anak
perempuan ketika memasuki masa pubertas yang ditandai dengan datangnya haid
pertama. Secara garis besar, upacara adat ini dilakukan sebagai bentuk syukur dan
sekaligus semacam uwar-uwar bahwa anak gadis dari orang yang melaksanakan
upacara adat ini telah menginjak masa pubertas. Untuk itu, agar kecantikan dan
kedewasaan sang anak gadis lebih mencorong, maka dalam upacara adat ini sang
gadis kecil pun daun telinganya ditindik dan dipasangi anting-anting layaknya gadis
yang mulai bersolek, kemudian gigi diratakan (dikedawung) sebagai pelengkap
kecantikan dan tanda bahwa yang bersangkutan sudah dewasa.

2. Mupuk Im Bene
Sebenarnya upacara Mupuk Im Bene itu hakikatnya mirip dengan upacara syukuran
selepas melaksanakan panen raya, seperti halnya yang lazim kita saksikan di pulau
Jawa ketika menggelar acara mapag sri dan atau munjungan. Dan memang, esensi
dari ritual ini sendiri adalah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas
segala rizki yang mereka dapat, atau yang dalam bahasa setempat disebut dengan
Pallen Pactio. Prosesi dari upacara adat ini adalah secara ringkas dapat digambarkan
sebagai berikut: Masyarakat yang hendak melaksanakan upacara Mupuk Im Bene ini
membawa sekarung padi bersama beberapa hasil bumi lainnya ke suatu tempat
dimana upacara ini akan dilakanakan (biasanya di lapangan atau gereja) untuk
didoakan. Kemudian selepas acara mendoakan hasil bumi ini selesai maka
dilanjutkan dengan makan-makan bersama aneka jenis makanan yang sebelumnya
telah disiapkan oleh ibu-ibu tiap rumah.

3. Metipu
Metipu merupakan sebuah upacara adat dari daerah Sangihe Talaud berupa
penyembahan kepada Sang Pencipta alam semesta yang disebut Benggona Langi
Duatan Saluran. Prosesi dari upacara adat ini adalah dengan membakar daun-daun
dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan asap membumbung ke hadirat-Nya,
sebagai bentuk permuliaan penduduk setempat terhadap pencipta-Nya.

4. Watu Pinawetengan
Kalimat atau istilah Musyawarah untuk mencapai kata mufakat dan bersatu kita
teguh bercerai kita runtuh ternyata bukan hanya monopoli beberapa kaum saja, dan
tentu saja itu bukanlah isapan jempol yang tanpa makna. Suku minahasa pun
memiliki satu upacara adat yang memang dilaksanakan untuk meneguhkan persatuan
dan kesatuan anatar penduduknya. Upacara adat itu dalam suku Minahasa disebut
dengan upacara Watu Pinawetengan. Konon berdasarkan cerita rakyat yang dipegang
secara turun temurun, pada zaman dahulu terdapatlah sebuah batu besar yang disebut
tumotowa yakni batu yang menjadi altar ritual sekaligus menandai berdirinya
permukiman suatu komunitas. Dan konon lagi kegunaan dari batu tersebut
merupakan batu tempat duduk para leluhur melakukan perundingan atau orang
setempat menyebutnya Watu Rerumeran ne Empung. Dan memang, ketika Johann
Gerard Friederich Riedel pada tahun 1888 melakukan penggalian di bukit
Tonderukan, ternyata penggalian berhasil menemukan batu besar yang membujur
dari timur ke barat. Batu tersebut merupakan tempat bagi para pemimpin upacara
adat memberikan keputusan (dalam bentuk garis dan gambar yang dipahat pada
batu) dalam hal membagi pokok pembicaraan, siapa yang harus bicara, serta cara
beribadat.

Sementara inti dari upacara yang diselenggarakan di depan batu besar itu adalah
wata’ esa ene yakni pernyataan tekad persatuan. Semua perwakilan kelompok etnis
yang ada di Tanah Toar Lumimut mengantarkan bagian peta tanah Minahasa tempat
tinggalnya dan meletakkan di bagian tengah panggung perhelatan. Diiringi musik
instrumentalia kolintang, penegasan tekad itu disampaikan satu persatu perwakilan
menggunakan pelbagai bahasa di Minahasa. Setelah tekad disampaikan mereka
menghentakkan kaki ke tanah tiga kali. Pada penghujung acara para pelaku upacara
bergandengan tangan membentuk lingkaran sembari menyanyikan Reranian: Royorz
endo.
Proses Pernikahan

Proses Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah
mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika
proses perawatan calon pengantin serta acara "Posanan" (Pingitan) tidak lagi
dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum perkawinan pada saat
"Malam Gagaren" atau malam muda-mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas
tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar.
Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan
"Bacoho" karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin. Dalam
pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara
perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan
pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi
pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi
ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan
nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara
in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar
bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti
tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.
Adat pernikahan minahasa memiliki perbedaan dengan adat pernikahan lainnya
karena memiliki tata cara yang unik. Namun, sayangnya seiring dengan
perkembangan jaman dan karena keadaan yang terjadi, maka kini sebagian tradisi
tersebut telah ditinggalkan atau hanya dilakukan sebagai simbolisasi saja. Beberapa
tradisi dari adat pernikahan tersebut antara lain adalah:

1. Posanan. Prosesi yang satu ini biasa kita sebut dengan pingitan. Jika
sebelumnya posanan ini dilakukan sejak sebulan sebelum hari pernikahan
tiba maka saat ini tradisi posanan hanya dilakukan sehari sebelum pernikahan
dilangsungkan.
2. Malam gagaren atau biasa disebut masyarakat setempat sebagai malam
muda-mudi. Tradisi ini merupakan tradisi mandi di bawah pancuran yang
saat ini tak banyak dijumpai dilakukan oleh masyarakat. Karena
permasalahan utamanya adalah saat ini tidak adanya pancuran yang dapat
digunakan.
3. Lumelek. Ini merupakan tradisi mandi menginjak batu yang dilakukan dalam
pernikahan adat di minahasa. Mandi lumelek dilakukan dengan mencampur
Sembilan jenis bebungaan yang berwarna putih yang memiliki bau yang
harum.
4. Mandi Bacoho. Mandi bacoho merupakan mandi adat yang saat ini dapat
dilakukan dengan dua cara yakni secara tradisi lengkap maupun hanya secara
simbolisasi saja.
5. 5.      Tradisi : Bahan-bahan ramuan yang digunakan adalah parutan kulit
lemong nipis atau lemong bacoho (citrus limonellus), fungsinya sebagai
pewangi; air lemong popontolen (citrus lemetta), fungsinya sebagai
pembersih lemak kulit kepala; daun pondang (pandan) yagn ditumbuk halus,
fungsinya sebagai pewangi, bunga manduru (melati hutan) atau bunga rosi
(mawar) atau bunga melati yang dihancurkan dengan tangan, dan berfungsi
sebagai pewangi; minyak buah kemiri untuk melemaskan rambut dicampur
sedikit perasan air buah kelapa yang diparut halus. Seluruh bahan ramuan
harus berjumlah sembilan jenis tanaman, untuk membasuh rambut. Sesudah
itu dicuci lagi dengan air bersih lalu rambut dikeringkan.
6. 6.      Simbolisasi : Semua bahan-bahan ramuan tersebut dimasukkan ke dalam
sehelai kain berbentuk kantong, lalu dicelup ke dalam air hangat, lalu
kantong tersebut diremas dan airnya ditampung dengan tangan, kemudian
digosokkan kerambut calon pengantin sekadar simbolisasi.
7. 7.      Lumele’ (Mandi Adat): Pengantin disiram dengan air yang telah diberi
bunga-bungaan warna putih, berjumlah sembilan jenis bunga yang berbau
wangi, dengan mamakai gayung sebanyak sembilan kali di siram dari batas
leher ke bawah. Secara simbolis dapat dilakukan sekedar membasuh muka
oleh pengantin itu sendiri, kemudian mengeringkannya dengan handuk yang
bersih dan belum pernah digunakan sebelumnya.

Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin
pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak
pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita.
Hal ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria
ke rumah pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi.
Karena resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria
maupun keluarga wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang akan
memegang komando pelaksanaan pesta perkawinan. Ada perkawinan yang
dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga
desa, seperti di desa Tombuluan. Orang Minahasa penganut agama Kristen tertentu
yang mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan acara
kebaktian dan makan malam.
Orang Minahasa di kota-kota besar seperti kota Manado, mempunyai
kebiasaan yang sama dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang disebut
Kawanua. Pola hidup masyarakat di kota-kota besar ikut membentuk pelaksanaan
upacara adat perkawinan Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat
perkawinan yang dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara,
Antar harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).
Contoh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan dalam satu hari :
Pukul 09.00 pagi, upacara Toki Pintu. Pengantin pria kerumah pengantin wanita
sambil membawa antaran (mas kawin), berupa makanan masak, buah-buahan dan
beberapa helai kain sebagai simbolisasi. Wali pihak pria memimpin rombongan
pengantin pria, mengetuk pintu tiga kali.
Pertama : Tiga ketuk dan pintu akan dibuka dari dalam oleh wali pihak wanita. Lalu
dilakukan dialog dalam bahasa daerah Minahasa. Kemudian pengantin pria
mengetok pintu kamar wanita. Setelah pengantin wanita keluar dari kamarnya,
diadakan jamuan makanan kecil dan bersiap untuk pergi ke Gereja.
Pukul 11.00-14.00 : Melaksanakan perkawinan di Gereja yang sekaligus dinikahkan
oleh negara, (apabila petugas catatan sipil dapat datang ke kantor Gereja). Untuk itu,
para saksi kedua pihak lengkap dengan tanda pengenal penduduk (KTP), ikut hadir
di Gereja.
Pukul 19.00 : Acara resepsi kini jarang dilakukan di rumah kedua pengantin, namun
menggunakan gedung / hotel.
Apabila pihak keluarga pengantin ingin melaksanakan prosesi upacara adat
perkawinan, ada sanggar-sanggar kesenian Minahasa yang dapat melaksanakannya.
Dan prosesi upacara adat dapat dilaksanakan dalam berbagai sub-etnis Minahasa, hal
ini tergantung dari keinginan atau asal keluarga pengantin. Misalnya dalam versi
Tonsea, Tombulu, Tontemboan ataupun sub-etnis Minahasa lainnya.
Prosesi upacara adat berlangsung tidak lebih dari sekitar 15 menit,
dilanjutkan dengan kata sambutan, melempar bunga tangan, potong kue pengantin ,
acara salaman, makan malam dan sebagai acara terakhir (penutup) ialah dansa bebas
yang dimulai dengan Polineis.
Prosesi Upacara Perkawinan di Pelaminan
Penelitian prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan
Minahasa Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun 1986 di Minahasa.
Wilayah yang diteliti adalah Tonsea, Tombulu, Tondano dan Tontemboan oleh
Alfred Sundah, Jessy Wenas, Bert Supit, dan Dof Runturambi. Ternyata keempat
wilayah sub-etnis tersebut mengenal upacara Pinang, upacara Tawa’ang dan minum
dari mangkuk bambu (kower). Sedangkan upacara membelah kayu bakar hanya
dikenal oleh sub-etnis Tombulu dan Tontemboan. Tondano mengenal upacara
membelah setengah tiang jengkal kayu Lawang dan Tonsea-Maumbi mengenal
upacara membelah Kelapa.
Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, maka upacara adat dimulai
dengan memanjatkan doa oleh Walian disebut Sumempung (Tombulu) atau
Sumambo (Tontemboan). Kemudian dilakukan upacara "Pinang Tatenge’en".
Kemudian dilakukan upacara Tawa’ang dimana kedua mempelai memegang
setangkai pohon Tawa’ang megucapkan ikrar dan janji. Acara berikutnya adalah
membelah kayu bakar, simbol sandang pangan. Tontemboan membelah tiga potong
kayu bakar, Tombulu membelah dua. Selanjutnya kedua pengantin makan sedikit
nasi dan ikan, kemudian minum dan tempat minum terbuat dari ruas bambu muda
yang masih hijau. Sesudah itu, meja upacara adat yang tersedia didepan pengantin
diangkat dari pentas pelaminan. Seluruh rombongan adat mohon diri meniggalkan
pentas upacara. Nyanyian-nyanyian oleh rombongan adat dinamakan Tambahan
(Tonsea), Zumant (Tombulu) yakni lagu dalam bahasa daerah.
Bahasa upacara adat perkawinan yang digunakan, berbentuk sastra bahasa
sub-etnis Tombulu, Tontemboan yang termasuk bahasa halus yang penuh
perumpamaan nasehat. Prosesi perkawinan adat versi Tombulu menggunakan
penari Kabasaran sebagai anak buah Walian (pemimpin Upacara adat perkawinan).
Hal ini disebabkan karena penari Kabasaran di wilayah sub-etinis lainnya di
Minahasa, belum berkembang seperti halnya di wilayah Tombulu. Pemimpin prosesi
upacara adat perkawinan bebas melakukan improvisasi bahasa upacara adat. Tapi
simbolisasi benda upacara, seperti : Sirih-pinang, Pohon Tawa’ang dan tempat
minum dari ruas bambu tetap sama maknanya.

Adat dan budaya


Tari Kabasaran
Tari kabasaran merupakan tarian tradisional masyarakat Minahasa, yang dahulu
justru sejenis tarian perang yang ditarikan oleh beberapa orang laki-laki. Para
penari kabasaran sehari-hari bekerja sebagai petani atau menjadi penjaga
keamanan desa di Minahasa. Tetapi jika wilayah mereka terancam akan diserang
musuh, para penari akan berubah menjadi waranei atau prajurit perang.

Menurut adat Minahasa, penari kabasaran harus berasal dari keturunan sesepuh
penari kabasaran juga, sehingga tidak semua laki-laki Minahasa mempunyai
kesempatan untuk menjadi penari kabasaran. Karena sifatnya yang turun temurun,
setiap penari juga memiliki sebuah senjata yang juga diwariskan secara turun
temurun. Senjata warisan inilah yang dipakai saat menari.

Kostum penari yang didominasi warna merah adalah kain tenun khas Minahasa.
Wajah penari terlihat garang, mata melotot, dan sedikit senyum pun tak akan
terlihat selama mereka menari. Bersenjatakan pedang dan tombak, para penari
terlihat seperti prajurit yang siap berperang menghancurkan musuh. Sesekali
terlihat gerakan melompat, maju-mundur dengan semangat, dan juga
mengayunkan senjata. Namun di akhir pementasan, para penari melakukan
gerakan-gerakan yang terlihat lebih riang, sebagai simbol membebaskan rasa
amarah setelah selesai berperang.

Gerakannya memang enerjik melambangkan semangat seorang prajurit perang,


tetapi juga dinamis mengikuti irama alat musik. Gerak tari kabasaran dipimpin
oleh seorang pemimpin pertunjukan yang disebut dengan tombolu, yang dipilih
sesuai dengan kesepakatan para sesepuh adat.

Secara umum, struktur dasar tarian kabasaran terdiri dari sembilan jurus pedang
(santi) atau sembilan jurus tombak (wengkouw) dengan langkah kuda-kuda yang
terdiri dari dua langkah ke kiri, dan dua langkah ke kanan.

Tarian ini diiringi oleh alat musik pukul seperti gong, tambur, atau kolintang yang
disebut dengan “Pa‘ Wasalen”, sementara para penarinya disebut kawasalan, yang
memiliki arti “menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang
bertarung”.

Seiring perkembangan bahasa melayu di Manado, kata “kawasalan” kemudian


berubah menjadi kabasaran, namun sama sekali tidak memiliki kaitan dengan kata
“besar” dalam bahasa Indonesia, meski pada akhirnya tarian ini digunakan untuk
menyambut para pembesar-pembesar. Selain menjadi tarian penyambutan,
kabasaran juga dijadikan hiburan dalam pesta-pesta adat.
Tari Katrili
Sejarah Tari Katrili

Tari Katrili ini merupakan tarian tradisional perpaduan antara budaya Eropa dan
budaya Minahasa. Sehingga sekilas terlihat seperti tarian modern, walaupun sudah
ada sejak zaman dahulu. Menurut sejarahnya, Tari Katrili sudah ada sejak bangsa
Spanyol dan Portugis datang ke Sulawesi Utara. pada saat itu mereka datang untuk
membeli hasil bumi yang ada di tanah Minahasa. Karena hasil yang mereka dapatkan
sangat banyak, mereka merayakannya dengan pesta yang meriah dan diramaikan
dengan tarian yang dilakukan secara berpasangan antara pria dan wanita.

Mereka kemudian juga sering mengajak para pribumi, khususnya masyarakat Suku
Minahasa untuk ikut dalam perayaan tersebut. Lama-kelamaan tarian ini mulai jadi
kebiasaan masyarakat dan masih sering dilakukan, walaupun bangsa Spanyol dan
Portugis sudah tidak lagi ada di sana. Tarian tersebut kemudian dikembangkan dan
dipadukan dengan kesenian asli masyarakat Minahasa, baik dari segi gerakan,
formasi, kostum dan musik pengiringnya. Kemudian jadilah sebuah bentuk tarian
seperti yang sekarang ini dan disebut dengan Tari Katrili. Secara estimologi Tari
Katrili berasal dari bahasa Eropa yaitu “Quadrille”, yang kemudian berubah menjadi
kata “Katrili”.

Fungsi Dan Makna Tari Katrili

Tari Katrili sendiri sebenarnya merupakan tarian yang lebih bersifat hiburan,
seremonial, pergaulan dan sosial. Sehingga sangat cocok ditampilkan pada acara
yang bersifat hiburan atau perayaan. Apa bila dilihat dari fungsinya, Tari Katrili bisa
dimaknai sebagai ungkapan rasa gembira dan bahagia masyarakat. Namun bila
dilihat dari gerakan dan penarinya, tarian ini dapat dimaknai sebagai tarian pergaulan
antara pemuda dan pemudi dalam kisah kasih maupun sosial.

Tari pisok
Selain Tari Kabasaran dan Tari Maengket, tari tradisional yang telah menjadi
identitas budaya bersama suku Minahasa di Sulawesi Selatan adalah Tarian Pisok.
Sebuah tari pergaulan kerakyatan yang diperkirakan muncul sekitar tahun 1940.

Sesuai namanya, tarian ini mencoba melukiskan kehidupan dari kawanan burung
Pisok atau burung Gereja. Burung ini dikenal sebagai burung yang suka hidup
berkelompok dan mudah menyesuaikan diri. Menariknya, burung Pisok termasuk
burung langka di Tanah Malesung (Minahasa).

Kehidupan burung Pisok cukup mewakili kehidupan masyarakat Minahasa. Meski


terbagi menjadi delapan sub suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda, mereka
selalu hidup rukun. Mereka juga suka bekerja secara gotong-royong, dikenal energik
dan lincah dalam banyak hal.

Di sisi lain, ada juga sumber yang mengatakan bahwa ide daripada Tari Pisok ada
hubungannya dengan mitos dari Tumetenden. Mitos tersebut mengisahkan tentang
putera dari Mamanua Walansendouw yang pergi menyusul ibunya, seorang Putri
Kayangan ke Kasemlukan (Kayangan).

Sebagai salah satu identitas budaya Minahasa, eksistensi tarian ini tetap lestari dan
sering ditampilkan di berbagai acara. Adapun pada tahun 2004, Tarian Pisok pernah
dijadikan salah satu filateli (perangko) Indonesia, bersama produk kebudayaan lain
yang ada di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai