ungkapan syukur atas berkat Yang Maha Kuasa. Sejatinya dilaksanakan sejak 20 November
2017 yang lalu, namun keramaian terasa dalam dua hari terakhir (23-24/11). Ratusan warga
mendatangi ritual adat yang berada di tengah hutan rimbun berjarak sekira 400 meter dari
pemukiman kampung. Glen Mahe dilaksanakan setiap 5 tahun sekali atau lebih, tergantung
pada hasil pertemuan yang digelar Tana Puan atau kepala suku bersama Marang (panglima
perang) serta ketiga pemimpin suku Wulo, Ketang Kaliraga dan Lewar Lau Wolo. Hasil
perundingan tersebut lalu disampaikan kepada warga, atau anak suku, dan bila disetujui maka
Glen Mahe akan dilaksanakan sesuai jadwal waktu yang telah disepakati.“Glen Mahe selalu
kami laksanakan sejak Mahe, pusat ritual adat didirikan sejak tahun 1800-an, gunanya untuk
mensyukuri apa yang diperoleh selama kurun waktu tersebut dengan memberikan kurban
kepada Ina Nian Tana dan leluhur yang sudah meninggal,” ungkap Yohanes Yan Lewar,
Marang asal kampung Boganatar, Desa Hikong, Kecamatan Talibura kepada Mongabay
Indonesia.Saat di Mahe, para kepala suku dan Marang melantunkan doa, mensyukuri dan
meminta kepada Ina Nian Tana, Allah pencipta langit dan bumi, serta keselamatan pada para
leluhur atau nenek moyang yang telah meninggal. Penyambutan tamu dari luar suku Mahe
Boganatar oleh Marang dan para kepala suku, dilakukan di depan pintu masuk menuju Mahe.
Jarum jam menunjukan pukul 10.00 WITA, saat ratusan warga suku mulai mendatangi
Mahe, pusat digelarnya ritual. Meski hujan mengguyur dan jalan tanah becek, tidak
menyurutkan niat warga menyaksikan puncak ritual yang akan ditutup dengan
penyembelihan hewan kurban.
Marang dan segenap kepala suku berdiri di pintu masuk melakukan penyambutan tamu dari
luar Boganatar. Setiap undangan dan para tetamu yang hadir diberikan berkat di dahi dan
disuguhkan sirih pinang dan arak.
“Ritual Kahe Orong merupakan sapaan penerimaan kepada tamu undangan. Sebuah bentuk
penghormatan, penghargaan kepada para tamu yang hadir untuk menyaksikan ritual adat,”
papar Yosef Tote, seorang tetua adat menyebutkan.
Glen Mahe diawali dengan ritual Tabi Lalan artinya membersihkan Wua Mahe, lokasi pusat
digelarnya ritual adat, dengan membuat pondok dari Ilalang dan bambu yang diambil di
sekitar Mahe. Ritual berikutnya yaitu Roa Waning, atau membawa gong dan gendang ke
Wua Mahe, yang berlanjut dengan Sapi Rawin Dolo Wohon atau membersihkan gendang dan
Tage Waning Taba Gedang yaitu menyembelih seekor ayam. Ritual berpuncak pada Takun
Botik atau Guna, yaitu memberi persembahan kepada sang pemberi kekuatan lewat seekor
hewan (babi) berukuran kecil.
Marang dan kepala suku sedang melaksanakan ritual Tudi Laba, untuk memohon agar
diberikan kebijaksanaan dan dilindungi dalam kehidupan dan agar keinginan baik bisa
terwujud. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia Setelah melantunkan doa dan menari
bersama di depan Kanga, mezbah atau altar persembahan hewan kurban, satu per satu hewan
pun disembelih. Dagingnya lalu dibagikan kepada segenap tamu dan warga suku yang hadir
dalam ritual tersebut.“Salah satu pesan dengan diadakannya ritual adat ini, yakni kita harus
menjaga kelestarian hutan dan alam kita. Mahe selalu berada di daerah yang sejuk, rimbun
dengan pepohonan, mencerminkan rasa cinta orang Tana Ai kepada bumi dan langit ciptaan
Ina Nian Tana, Ama Lero Wulan,” ucap Rafael Raga, ketua DPRD Sikka yang hadir dalam
acara ini.Dia berharap agar pesan leluhur ini terus dilestarikan dengan menjaga hutan dan
mata air, serta tidak melakukan perambahan hutan dan pembakaran. Ucapan syukur Glen
Mahe katanya, merupakan respon dari berkat semesta alam atas segala keberhasilan hasil
panen dan rejeki yang diberikan oleh alam.Etnis Tana Ai di Boganatar sebagian besar adalah
petani. Dengan demikian menjaga sumber kehidupan seperti hutan dan ekosistem menjadi
sebuah keharusan bagi mereka.“Kami percaya alam dan lingkungan harus dijaga
kelestariannya, agar bisa diwariskan kepada anak cucu. Hutan dan mata air adalah simbol
kehidupan yang harus dijaga,” ungkap Yosef.
Para perempuan suku Lewar sedang menarikan tarian Togo, bentuk penghormatan dan
ucapan syukur kepada pencipta langit dan bumi dan para leluhur saat berada di Mahe. Foto:
Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia
Mohon Kebijaksanaan
Ritual diakhiri dengan ucapan doa, Tudi Laba, yaitu permohonan yang dilantunkan agar
semua anak suku semakin bijak, pandai, rajin dan memiliki kemauan untuk berbuat kebaikan
bagi sesama dan alam semesta. Dalam ritual ini, orang yang memiliki harapan tertentu,
-seperti ingin berhasil dalam pekerjaan dan pendidikan serta mohon kesembuhan, dapat
membawa pesan yang disimbolkan dalam ayam atau telur.Selama ritual juga dilakukan Piong
atau Takun Botik, sebuah ritual memberi makan dan minum kepada leluhur, Wuha Mahe,
Guna Dewa, serta Ina Nian Tana dan Ama Lero Wulan Allah Pencipta Langit dan Bumi yang
diletakkan di beberapa sudut halaman rumah yang diletakkan dalam wadah tempurung
kelapa.“Kami berharap agar secara keseluruhan panen tahun depan tidak akan terpengaruh
cuaca, hasilnya pun dapat bagus,” tutup Yan.
Desa Munerana
Kecamatan Hewokloang Kabupaten Sikka
Beranda
Profil Desa
Kabar Desa
Data Desa
Potensi Desa
Leluhur dalam daya cipta, rasa dan karsa yang lahir dari akal budinya menghimpun berbagai
pokok pikiran keselamatan, dijadikan kesepakatan umum, dan dikemas menjadi sebuah
ajaran, untuk dimanfaaatkan manusia sebagai pegangan hidup dalam mencapai kesempurnaan
hidup.
Ajaran tersebut memuat norma-norma atau kaidah-kaidah yang menggariskan bagaimana
manusia bertindak dan bertingkah laku yang pantas, demi mempertahankan eksistensinya
sebagai makluk mulia, makluk yang diagungkan leluhur dalam sapaan HIGI MITAN HERE
MERAN, MEIN BA’IT ‘ETAN BELAR. Ajaran ini hidup dan berkembang, menjiwai irama
kehidupan manusia, kian dirasakan manfaatnya, makin melekat, mentradisi dan membudaya,
hingga akhirnya dipandang penting untuk diwariskan kepada generasi penerus dalam
kemasan ajaran adat.
Ajaran adat ini mengakomodasikan segala aspek kehidupan manusia, dibingkai menjadi satu
ajaran dasar, dan di dalam ruang lingkup bingkai itulah manusia secara bebas berkiprah
mengekspresikan nilai keistimewaannya dalam keutuhan makluk Higi Mitan Here Meran,
Mein Ba’it ‘Etan Belar. Akan tetapi kita manusia beraksi berlebihan melawan batas-batas
bingkai ajaran adat, mengakibatkan manusia itu kehilangan predikat Higi Mitan Here Meran
sekaligus menodai keluhuran hak Mein Ba’it ‘Etan Belar atau hak asasinya.
Inilah yang dimaksudkan dalam falsafah leluhur yang berbunyi “ RAIK GANU GAWI
DUEN, TE DUEN GETE GOGO BEPI, RA’IK BATA POAR HOAT, TE HOAT MOSAN
BATU PLABAN” artinya BILA BERTINDAK MELANGGAR BATAS, BATAS
RAKSASA BERGULIR GILING, BILA BERBUAT MELAMPAUI TUGU, TUGU
AGUNG RUNTUH MENINDIH. Untuk itulah ajaran adat menjadi sangat penting yang harus
dipelajari, didalami, dihayati, diamalkan dan mutlak dijadikan bekal dalam kehidupan nyata
sehari-hari.
Adapun sesuatu yang sangat disayangkan yaitu sejak purba ajaran besar ini diwujudkan
dalam tuturan lisan, akibatnya dari waktu ke waktu mengalami pergeseran dan degradasi
nilai, sehingga sangat diyakini disuatu ketika, makna luhur yang terkandung di dalamnya
menjadi rapuh dan kabur. Dengan demikian saya sebagai kaum muda dan insan yang cinta
budaya merasa perlu untuk mengabadikan dalam suatu tulisan yang bermanfaat bagi generasi
penerus.
Upacara-upacara ini bertujuan untuk memperkenalkan tentang ketinggian harkat dan
martabat manusia sebagai insan yang berakal budi, makluk yang paling mulia, makluk yang
memiliki keistimewaan yang tak terbandingkan dengan makluk lain. makluk yang di
agungkan oleh leluhur dalam sapaan; “HIGI MITAN HERE MERAN MEIN BA’IT ‘ETAN
BELAR’’ yang berarti makluk luar biasa yang berdarah pahit dan berdaging kelat. Demi
menjaga keutuhan keistimewaanya, leluhur dalam daya cipta, karsa dan rasa yang tumbuh
dari akal budinya, mengemas berbagai ajaran guna membentengi manusia, agar senantiasa
mempertahankan eksistensinya sebagai makluk mulia.Ajaran-ajaran tersebut di rajut dalam
berbagai bentuk, antara lain berupa: DU’AN MO’AN, KLETENG LATAR WA’E HELENG,
NURU NANG, PUE SERA, SISA SOBA, yaitu sejeneis sastra, falsafah, dan ritus magis
religius, yang memuat berbagai pranata, norma-norma yang menggariskan bagaimana
seharusnya manusia bertingkah laku dan bertindak yang pantas, dilengkapi dengan sanksi-
sanksi sebagai unsur pengikat dan pengendali manusia, agar dalam mengekspresikan
kebebasannya, senantiasa berada dalam koridor “HIGI MITAN HERE MERAN”. Dari sekian
banyak ajaran yang diturunkan, sebahagian kecilnya terkemas dalam paket UPACARA
KELAHIRAN DAN PERKAWINAN ADAT.
Dalam setiap rangkaian upacara atau proses kelahiran dan perkawinan adat, tidak terlepas
dari peristiwa saling memberi dan menerima diri dalm wujud benda-benda utama dalam
pembelisan sebagai tanda penyerahan diri dalam ikatan persatuan dan cinta kasih. Benda-
benda sebagai simbol diri itu antara lain : Tua Wair (Tuak dan air) sebagai simbol diri
perempuan yang maknanya tersirat dalam ungkapan : TUA TENA GAHU TA’IN, WAIR
TENA BLATAN KOKON, artinya TUAK UNTUK MENGHANGATKAN PERUT, DAN
AIR UNTUK MEMUASKAN DAHAGA, selain itu ada Utan Patan yang menjadi simbol
pemberi kehangatan cinta seorang perempuan, sedangkan kum l aki-laki disimbolkan dengan
Wua Ta’a, Bako Apur memiliki makna yang terungkap dalam syair WUA TA’A TENA
MERAH WIWIR, BAKO APUR TENA GAHU AHANG, secara harafia berarti SIRIH
PINANG UNTUK PEMERAH BIBIR, TEMBAKAU KAPUR UNTUK PENGHANGAT
GRAHAM, mengandung makna melancarkan komunikasi menjalin persahabatn, serta
mempererat rasa persatuan dan persaudaraan. Selanjutnya ayam dan kuda yang menjadi
barang utama pembelisan melambangkan kejantanan dan keperkasaan seorang laki-laki.
Dengan adanya perbedaan simbol diri tersebut, maka dalam upacara adat, pihak perempuan
dilarang mengkonsumsi barang yang disiapkan untuk pihak laki-laki begitupun sebaliknya.
Larangan ini biasa diungkapkan dalam syair adat yang berbunyi LOPA GOA LE’U IJOT,
artinya JANGAN MAKAN DIRI SENDIRI. Karena akan mengakibatkan NGANGAN
GO’IT, LI’AR DUNAN KULA DUDAK artinya MENJADI BODOH TAK DAPAT
BERKATA TAK SNGGUP MENGAMBIL KEBIJAKAN.
Akhirnya penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada lelulur dan semua
pihak yang membantu menyelesaikan tulisan ini, semoga berguna bagi generasi muda yang
sedang dilanda krisis multidimensi.
penulis
UPACARA KELAHIRAN
SAMPAI DENGAN PENDEWASAAN ANAK
(RU RUDUN LALING LAMEN)
Demikianlah makna yang terkandung dalam seluruh rangkaian ritus penempatan plasenta
yang diajarkan leluhur dan diwariskan menjadi pegangan hidup. Ajaran ini senantiasa
memberikan kesehatan bagi yang masih menjadikannya sebagai bagian penting dalam menata
hidup dan kehidupannya.
Sebagai alat uji banding atas fakta yang sedang berkembang dapat dikatakan ketika orang
kelewat bangga, bergelimang dalam suasana kehidupan yang katanya jaman kemajuan
modern dan canggih semua ritual ini dibuang begitu saja bahkan disinisi sebagai perbuatan
edan yang mengada-ada kolot dan prinitif. Hal yang tercanggih bagi mereka adalah, plasenta
digunting, diperlakukan bagaikan seonggok sampah yang cepat-cepat dimasukan ke dalam
lembaran kantong plastik hitam pekat, digali lubang terus dicampakan ke dalam tanah,
diinjak-injak oleh kaki siapa saja dan dimana saja tempatnya seturut selera. Plasenta tidak
lagi dihormati dan disayangi sebagai saudara kembar si bayi yang bersumber dan dibentuk
bersamaan dalam satu rahim, melainkan sesuatu yang kotor dan jijik yang harus segera
ditanam, dikuburkan dan dilenyapkan. Dalam keadaan seperti itulah bayi turun bumi
berinteraksi dengan dunia luar dengan segalah kebutuhannya. Hasilnya hadirlah manusia-
manusia brutal yang melakukan apa saja seturut selera betapapun pahitnya, semuanya
menjadi baik adanya mereka hidup dalam sebuah kebebasan mutlak, tidak satupun yang
ditakuti, tidak ada orang yang dihormati, disegani, didengarkan dan ditaati apalagi disayangi.
Bahkan orang tua kandungnya menjadi musuh pertama bagi dirinya. Aneh dalam pandangan
adat, tetapi tahta di zaman modern. Inilah sekilas pandangan serta kesimpulan kacamata
budaya atas dampak negativ dari pelecehan manusia modern terhadap ajaran leluhurnya
sendiri.
UPACARA PEMINANGAN
DAN PERKAWINAN ADAT
Upacara peminangan dan perkawinan adalah sebuah ajaran dan warisan leluhur yang
mengatur tentang tata tertib dan tata laksana sebuah perkawinan, demi terwujudnya
ketinggian harkat dan martabat manusia dan suku rumpunnya dalam sudut pandang adat.
Melalui upacara ini sebuah perkawinan memiliki kekuatan hukum baik status perkawinan itu
sendiri, maupun status keturunannya dalam mengambil hak dan kewajiban di dalam suku
rumpunnya maupun perlakuan di depan hukum. Dalam paket upacara perkawinan adat,
tersusun secara sistematis AKAD PERKAWINAN yang sarat dengan pesan dan petuah untuk
dijadikan pegangan dasar bagi pengantin dalam menuntun bahtera rumah tangganya menuju
keluarga yang harmonis, bahagia, sejahtera lahir dan bathin.
Dalam ajaran adat perkawinan ditegaskan bahwa, sebuah perkawinan baru dikatakan sah
apabila perkawinan itu telah dikukuhkan melalui sumpah perkawinan sebagaiman yang diatur
dalam AKAD PERKAWINAN ADAT. Jadi sangatlah fatal apabila sebuah perkawinan adat
hanya berhent i pada urusan belis dan pembelisan dengan tidak mengindahkan puncak acara
WAWI API ARA PLANGA (sumpah perkawinan). Resiko yang harus dipikul oleh
perkawinan sejenis i ni antara lain perkawinan dapat dibatalkan kapan saja, keturuannya tidak
berhak menuntut warisan, bahkan tidak termasuk pewaris hak dan kewajiban dalam suku
rumpun bapaknya.
Leluhur menegaskan bahwa belis dan ongkos hanyalah berfungsi sebagai sebuah sarana yang
memperlihatkan betapa perlunya menjujung ketinggian harkat dan martabat manusia dalam
menjalani proses menuju perkawinan. Penegasan itu tercermin dalam falsafah “DU’A NAHA
NORA LIN, LA’I NAHA NORA WELIN” belis dan ongkos adalah ukuran ketingian harkat
dan martabat manusia, maka belis tidak boleh diperhitungkan secara ekonomis yang
bermuara pada untung dan rugi. Oleh karena itu pemberian belis bukan tunai dan seketika,
melainkan belis dapat diangsur seturut kemampuan. Masa, waktu pemberian belis tetap
berjalan sepanjang turunan dari perkawinan tersebut masih ada. Batas waktu pemberian belis,
ditentukan oleh leluhur dalam ajaran “’EA DA’A RIBANG NOPOK, TINU DA’A KOLI
TOKAR”, yang dimaksudkan adalah batas akhir pemberian belis ketika turunan dari
perkawinan ini sudah punah, ibarat sebuah batu asah yang ludes terasah dan sebuah pohon
lontar yang kehabisan daun termakan usia.
Dari upacara kelahiran dan perkawinan, leluhur menempatkan Upacara Perkawinan Adat
sebagai peristiwa yang lebih istimewa karena ada hal-hal istimewa yang ditemukan dalam
peristiwa ini antara lain:
– Bersumber dari sebuah perpaduan Cinta Kasih mendalam dari dua insan berlawanan jenis
dan berlainan keturunan, rela memisahkan diri dari orang tua terkasih, berjanji sehidup
semati, bersatu mengadu nasib dengan sejuta resiko serta sepenanggungan dalam berbagai hal
dalam sebuah bahtera yang disebut rumah tangga.
– Ikut mempersatukan dua rumpun keluarga besar dengan segala perbedaan menjadi senasib
dan seperjuangan serta satu dalam suka dan duka.
– Melahirkan manusia baru sebagai generasi pengganti, pewaris hak dan kewjiban serta :
tumpuan harapan keluarga suku dan marga yang biasa dibaitkan dengan sebutan
• WUA DET ‘A’E DODA (MELAHIRKAN MANUSIA BARU)
• PASENG WAE GELUR AWAK (GENERASI PENGGANTI)
• HU’U BULUK ‘WARA GLERANG (PEWARIS KEWAJIBAN)
• PLOI PU’AN PLARU BAKUT (PEWARIS HAK)
Meskipun perkawinan itu ditempatkan sebagai peristiwa yang lebih istimewa, namun bukan
berarti semua perkawinan mendapat pos dan perlakuan yang sama dalam Pandangan dan Tata
Uapcara Perkawinan Adat.
Ada bentuk Perkawinan Adat yang diproses secara terbuka, teratur dengan melibatkan semua
pihak yang berkompeten dalam Tata Upacara Perkawinan Adat. Berdasarkan perbedaan ini,
maka leluhur mengidentifikasikan bentuk Perkawinan Adat dalam 4 jenis.
Tahapan dan Langkah-langkah dalam setiap jenis Perkawinan Adat berbeda satu dengan yang
lain. Perbedaan ini teridentifikasi berdasarkan Tata Cara Perkawinan tersebut. Dalam
pengaturannya ditetapkan sebagai berikut:
1. KAWIN LARI (DU’A DEPO LA’I)
Tahapannya diatur dalam dua alternatif/dua kemungkinan
a. Pasangan Suami-Istri mendatangi orang tua dan keluarga pihak wanita dengan membawa
sejumlah barang pembelisan sesuai ajaran adat yang biasa disebut:“RUKU GAPU WAIN
KONGONG PIRU LIMAN” (SUJUD MENCIUM KAKI, SEMBAH MEMELUK
TANGAN) Sebagai wujud permohonan maaf dari anak yang telah melanggar.
b. Orang tua/keluarga si wanita datang mencari anaknya ke rumah Pria dengan tuntutan Adat
“RI’I BAI ROTAN GLOROT” (KAKI TERTUSUK DURI TANGAN TERTANCAP
ONAK). Berarti keluarga si pria berkewajiban memberikan sejumlah barang pembelisan
sebagai wujud penghormatan dan permohonan maaf. Setelah itu kedua keluarga
merundingkan pembelisan dan ongkos-ongkos seadanya untuk memasuki Upacara Akad
Perkawinan Adat “WAWI WOTIK” atau WOTIK WAWI ‘WATEN (Perkawinan jenis iini
tidak ada proses lain).
Selesai Doa Adat, kepala suku mengambil secuil nasi dan hati babi, lalu meletakan di atas
WATU MAHANG, dengan tetesan tuak sebagai sesajen, lalu diminum pengantin Pria
sebagai wujud sumpah kesetiaan dan diikuti seluruh peserta sebagai saksi. Selanjutnya
pengantin Pria menyantap makanan sesajen sebagai acara terakhir. Dengan demikian sahlah
pengantin Pria menjadi Suami yang memeluk suku Istri. Selanjutnya dibawah kekuasaan sang
Istri beserta keluarga sampai akhir hayatnya.
Seperti telah diketahui bahwa Kawin Mulia diproses secara panjang sebanyak tiga tahap
delapan langkah. Tahapan-tahapan dan langkah-langkah dalam penyelenggaraannya dapat
diuraikan sebagai berikut:
Tahap I. BERKENALAN (GA’I GLENGAN)
– Langkah I : MOBO TULUNG (BETANDANG)
Seorang Pemuda dan seorang Gadis dapat bertemu sewaktu-waktu apakah di pasar, pesta,
gereja atau di tempat pengambilan air dan sebagainya. Dalam pertemuan tersebut membawa
kemungkinan Si Pemuda jatuh cinta pada Si Gadis ataupun sebaliknya. Lalu Si Pemuda akan
menyampaikan niat luhurnya kepada orang tuanya.
Selanjutnya orang tua Si Pemuda akan melakukan seleksi yang cukup ketat, baik asal
usulnya, keadaan keluarga dan suku rumpunnya, maupun sikap perilaku dan keteranpilan
yang dimiliki oleh Si gadis. Secara umum biasanya hal-hal yang diseleksi adalah:
– Apakah Si Gadis berasal dari suku yang baik, terpandang dan lain-lain.
– Apakah di dalam suku rumpunnya tidak ada mewarisi gen yang berbahaya seperti gila,
penjahat, penyakit bawaan dan lain-lain.
– Apakah suku rumpunnya rendah hati dan tidak angkuh atau sombong
– Apakah Gadis tersebut termasuk gadis yang setia
– Apakah Gadis tersebut tekun bekerja dan memiliki keterampilan-keteranpilan tertentu
seperti menenun dan memasak.
– Apakah gadis tersebut rendah hati, sopan, disiplin, tidak cerewet dan ramah serta tabah
dalam menghadapi kesulitan.
– Apakah Gadis tersebut benar-benar sehat lahir dan bathin.
Hasil seleksi akan dibahas bersama dan jika seleksi berkesimpulan menolak maka si pemuda
akan diminta untuk mengundurkan diri dari niatnya. Tetapi jika seleksi berkesimpulan
menyetujui, maka si pemuda akan melalui langkah berikutnya. Si pemuda akan mencari
seorang teman kepercayaannya untuk bertindak sebagai perentas jalan (ATA PANO
LALAN), untuk menyampaikan niat luhurnya kepada si gadis idamannya. Dan gadis tersebut
biasanya tidak langsung menyampaikan isi hatinya, ia akan memberitahukan tawaran tersebut
kepada orang tuanya.
Maka hal yang sama pula akan dilakukan oleh orang tua si gadis yaitu melakukan seleksi
menyangkut hal-hal berikut:
– Apakah Si Pemuda berasal dari suku yang baik, terpandang dan lain-lain
– Apakah Pemuda tersebut termasuk orang yang setia
– Apakah di dalam suku rumpunnya tidak mewarisi gen berbahaya seperti gila, penjahat,
penyakit keturunan dan lain-lain
– Apakah Pemuda tersebut termasuk orang yang rajin dan tekun mencari nafkah
– Apakah Pemuda tersebut bukan seorang penjudi dan pemabuk
– Apakah Si Pemuda memiliki sikap kasih sayang yang tinggi
Jika seleksi berkesimpulan menolak, maka si gadis akan menyampaikan penolakannya
kepada perentas jalan si pemuda. Tetapi jika di setujui maka orang tua si gadis akan mencari
seorang teman kepercayaan untuk menyampaikan kabar baik tersebut kepada pihak pemuda
melalui perentas jalan dan dengan pesan agar si pemuda datang bertandang ke rumah si gadis.
Hal ini dilakukan karena masih dibutuhkan seleksi selanjutnya yang pada gilirannya mereka
harus memberikan keyakinan mutlak kepada kedua orang tuanya bahwa hubungan ini layak
ditingkatkan sampai pada titik puncak yaitu perkawinan Dengan demikian si pemuda mulai
bertandang ke rumah si gadis, bersama dengan temannya sebagai perentas jalan. Biasanya
bertandang seperti ini dilakukan berulang kali karena dengan cara ini, orang tua si gadis dapat
secara langsung menilai sikap dan perilaku serta tata cara si pemuda. Si pemuda pun dalam
diam menilai sikap dan tata krama si gadis dan calon mertuanya beserta keluarga lainnya,
hasilnya akan disampaikan kepada orang tuanya untuk dipertimbangkan.
Ketika masa bertandang dianggap cukup, disaat bertandang pada kali terakhir, si pemuda
yang bertindak sebagai perentas jalan akan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan
mereka selama ini yaitu bermaksud melamar si gadis yang diidamkan oleh si pemuda.
Selanjutnya orang tua si gadis akan menyampaikan kepada mereka bahwa bila mereka datang
kembali, mereka harus membawa serta sirih pinang sebagai penentu alamat (WUA TA’A
DIRI MIPIN). Beranjak dari pesan ini, maka mereka segera beralih ke langkah ke-II.
Doa ini diakhiri dengan mengolesi darah babi ke dahi si gadis dan si pemuda sebagai tanda
“Resmilah mereka bertunangan” pada saat itu juga resmilah kedua keluarga besar menggelar
sapaan umum, dimana keluarga si gadis disapa Ina-Ama, oleh keluarga si pemuda, dan
keluarga si pemuda akan disapa Me-Pu oleh keluarga si gadis. Pada saat inilah berlaku
hukum adat perkawinan dimana Ina-Ama tidak dibenarkan menyantap daging babi dan lain-
lain yang telah dipersiapkan untuk Me-Pu, dan sebaliknya Me-Pu tidak dibenarkan
menyantap daging ayam dan barang-barang lain yang menjadi haknya Ina-Ama. Sapaan dan
larangan ini berlaku seumur hidup sampai turun temurun.Demikian juga adat perkawinan
mewajibkan pihak Me-Pu harus senantiasa bersikap santun dan merendah di hadapan Ina-
Ama. Pelanggaran terhadap hal ini dapat berakibat fatal bagi Me-Pu, baik dikenai denda adat
atau dicap manusia tak beradab.
Adat mengajarkan bahwa pihak Ina-Ama sebagai penguasa dan Me-Pu akan menerima
balasan pembelisan berupa manusia menjadi miliknya. Hal serupa ini tidak akan terjadi kalau
bukan melalui adat perkawinan. Oleh karena itu tuntutan merendah dari Me-Pu adalah sebuah
wujud kasih.
Usai pengresmian tunangan, disaat si gadis berstatus tunangannya si pemuda, maka ia bukan
lagi seorang gadis bebas, tetapi seorang calon istri. Adat perkawinan menyebutnya demikian:
“RUGA WUNGUN UBUN TOBONG – PAKET TADAN ALAN LAHIN” Sebutan ini
mengibaratkan si gadis sebagai sebatang pohon subur yang pucuknya telah dipangkas dan
batangnya telah ditakik, sehingga tidak lagi leluarsa berkembang. Kapasitasnya sebagai calon
istri yang masih berada di tangan orang tuanya, menimbulkan beban baru bagi orang tuanya
dalam melindunginya dari gangguan laki-laki lainnya. Maka dalam hal tugas pengawasan ini,
sebagai calon pemilik si gadis tersebut yaitu si pemuda, berkewajiban mempersenjatai orang
tua si gadis berupa sebuah parang dan sebilah pisau yang termasuk dalam belis pengresmian
tunangan dalam simpul “TUDI HELIT GEBI, PORON SODANG GARAN”. Untuk itu Me-
Pu berkewajiban menyerahkan sejumlah barang pembelisan baik berupa kuda, uang, atau
emas, sebagai wujud simbolis dari parang dan pisau yang ditancapkan dibawah tangga dan
diselipkan di pintu masuk yang siap menangkal semua gangguan dan godaan. Setelah selesai
pembicaraan belis, Me-Pu dijamu santapan penutup kemudian diperkenankan kembali ke
rumah dengan membawa serta segala sesuatu yang dipersiapkan Ina-Ama dalam menjamu
kedatangan keluarga pada saat itu. Dengan demikian berakhirlah langkah ke-IV dan kini
mereka siap memasuki langkah ke-V.
– Langkah V : HIWI HAO (PEMBERIAN NAFKAH)
Karena proses perkawinan berada pada tahap tunangan, maka calon suami berkewajiban
bertanggung jawab atas segala kebutuhan hidup beserta beban pekerjaan di rumah calon
istrinya. Oleh karena itu ia harus secara berkala mengantarkan kebutuhan hidup calon istrinya
berupa makanan, pakaian dan lain sebagainya. Setiiap kali mengantar ia harus tinggal
beberapa waktu untuk membantu pekerjaan calon istrinya. Kesempatan inilah yang menjadi
peluang bagi mereka untuk saling memahami secara lebih jauh tentang kepribadian mereka
masing-masing. Meskipun mereka belum diperkenankan untuk berkomunikasi secara
langsung. Apabila jangka waktu pada langkah ini dianggap cukup, maka mereka beralih ke
langkah berikutnya.
Nama lengkap kanisius Lavanto, Lahir pada tanggal 14 September 1990 di Botang. Lulusan
SDK 019 Botang pada tahun 2004 (1997-2004) , SMPK 4 Diakui Hewerbura Watublapi
tahun 2007 (2004-2007), SMK Tawa Tanah Kewapante tahun 2010 (2007-2010). Sekarang
sedang mengabdi di SDN Baowunut kecamatan Hewokloang sebagai guru mata pelajaran
Pengetahuan Lingkungan Sosial dan Budaya Daerah (PLSBD.)
padamu