Anda di halaman 1dari 25

Etnis Tana Ai, -satu dari lima etnis di Sikka, misalnya memiliki seremoni Glen Mahe, sebuah

ungkapan syukur atas berkat Yang Maha Kuasa. Sejatinya dilaksanakan sejak 20 November
2017 yang lalu, namun keramaian terasa dalam dua hari terakhir (23-24/11). Ratusan warga
mendatangi ritual adat yang berada di tengah hutan rimbun berjarak sekira 400 meter dari
pemukiman kampung. Glen Mahe dilaksanakan setiap 5 tahun sekali atau lebih, tergantung
pada hasil pertemuan yang digelar Tana Puan atau kepala suku bersama Marang (panglima
perang) serta ketiga pemimpin suku Wulo, Ketang Kaliraga dan Lewar Lau Wolo. Hasil
perundingan tersebut lalu disampaikan kepada warga, atau anak suku, dan bila disetujui maka
Glen Mahe akan dilaksanakan sesuai jadwal waktu yang telah disepakati.“Glen Mahe selalu
kami laksanakan sejak Mahe, pusat ritual adat didirikan sejak tahun 1800-an, gunanya untuk
mensyukuri apa yang diperoleh selama kurun waktu tersebut dengan memberikan kurban
kepada Ina Nian Tana dan leluhur yang sudah meninggal,” ungkap Yohanes Yan Lewar,
Marang asal kampung Boganatar, Desa Hikong, Kecamatan Talibura kepada Mongabay
Indonesia.Saat di Mahe, para kepala suku dan Marang melantunkan doa, mensyukuri dan
meminta kepada Ina Nian Tana, Allah pencipta langit dan bumi, serta keselamatan pada para
leluhur atau nenek moyang yang telah meninggal. Penyambutan tamu dari luar suku Mahe
Boganatar oleh Marang dan para kepala suku, dilakukan di depan pintu masuk menuju Mahe.

Sarat Simbol Alam dan Relasi Sosial

Jarum jam menunjukan pukul 10.00 WITA, saat ratusan warga suku mulai mendatangi
Mahe, pusat digelarnya ritual. Meski hujan mengguyur dan jalan tanah becek, tidak
menyurutkan niat warga menyaksikan puncak ritual yang akan ditutup dengan
penyembelihan hewan kurban.

Marang dan segenap kepala suku berdiri di pintu masuk melakukan penyambutan tamu dari
luar Boganatar. Setiap undangan dan para tetamu yang hadir diberikan berkat di dahi dan
disuguhkan sirih pinang dan arak.

“Ritual Kahe Orong merupakan sapaan penerimaan kepada tamu undangan. Sebuah bentuk
penghormatan, penghargaan kepada para tamu yang hadir untuk menyaksikan ritual adat,”
papar Yosef Tote, seorang tetua adat menyebutkan.

Glen Mahe diawali dengan ritual Tabi Lalan artinya membersihkan Wua Mahe, lokasi pusat
digelarnya ritual adat, dengan membuat pondok dari Ilalang dan bambu yang diambil di
sekitar Mahe. Ritual berikutnya yaitu Roa Waning, atau membawa gong dan gendang ke
Wua Mahe, yang berlanjut dengan Sapi Rawin Dolo Wohon atau membersihkan gendang dan
Tage Waning Taba Gedang yaitu menyembelih seekor ayam. Ritual berpuncak pada Takun
Botik atau Guna, yaitu memberi persembahan  kepada sang pemberi kekuatan lewat seekor
hewan (babi) berukuran kecil.

 
Marang dan kepala suku sedang melaksanakan ritual Tudi Laba, untuk memohon agar
diberikan kebijaksanaan dan dilindungi dalam kehidupan dan agar keinginan baik bisa
terwujud. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia  Setelah melantunkan doa dan menari
bersama di depan Kanga, mezbah atau altar persembahan hewan kurban, satu per satu hewan
pun disembelih. Dagingnya  lalu dibagikan kepada segenap tamu dan warga suku yang hadir
dalam ritual tersebut.“Salah satu pesan dengan diadakannya ritual adat ini, yakni kita harus
menjaga kelestarian hutan dan alam kita. Mahe selalu berada di daerah yang sejuk, rimbun
dengan pepohonan, mencerminkan rasa cinta orang Tana Ai kepada bumi dan langit ciptaan
Ina Nian Tana, Ama Lero Wulan,” ucap Rafael Raga, ketua DPRD Sikka yang hadir dalam
acara ini.Dia berharap agar pesan leluhur ini terus dilestarikan dengan menjaga hutan dan
mata air, serta tidak melakukan perambahan hutan dan pembakaran. Ucapan syukur Glen
Mahe katanya, merupakan respon dari berkat semesta alam atas segala keberhasilan hasil
panen dan rejeki yang diberikan oleh alam.Etnis Tana Ai di Boganatar sebagian besar adalah
petani. Dengan demikian menjaga sumber kehidupan seperti hutan dan ekosistem menjadi
sebuah keharusan bagi mereka.“Kami percaya alam dan lingkungan harus dijaga
kelestariannya, agar bisa diwariskan kepada anak cucu. Hutan dan mata air adalah simbol
kehidupan yang harus dijaga,” ungkap Yosef.

Para perempuan suku Lewar sedang menarikan tarian Togo, bentuk penghormatan dan
ucapan syukur kepada pencipta langit dan bumi dan para leluhur saat berada di Mahe. Foto:
Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 Mohon Kebijaksanaan

Ritual diakhiri dengan ucapan doa, Tudi Laba, yaitu permohonan yang dilantunkan agar
semua anak suku semakin bijak, pandai, rajin dan memiliki kemauan untuk berbuat kebaikan
bagi sesama dan alam semesta. Dalam ritual ini, orang yang memiliki harapan tertentu,
-seperti ingin berhasil dalam pekerjaan dan pendidikan serta mohon kesembuhan, dapat
membawa pesan yang disimbolkan dalam ayam atau telur.Selama ritual juga dilakukan Piong
atau Takun Botik, sebuah ritual memberi makan dan minum kepada leluhur, Wuha Mahe,
Guna Dewa, serta Ina Nian Tana dan Ama Lero Wulan Allah Pencipta Langit dan Bumi yang
diletakkan di beberapa sudut halaman rumah yang diletakkan  dalam wadah tempurung
kelapa.“Kami berharap agar secara keseluruhan panen tahun depan tidak akan terpengaruh
cuaca, hasilnya pun dapat bagus,” tutup Yan.

MAKNA LUHUR DIBALIK UPACARA KELAHIRAN & PERKAWINAN ADAT


KROWE

Desa Munerana
Kecamatan Hewokloang Kabupaten Sikka

 Beranda
 Profil Desa
 Kabar Desa
 Data Desa
 Potensi Desa

MAKNA LUHUR DIBALIK UPACARA


KELAHIRAN & PERKAWINAN ADAT
KROWE
3 Mei 2019 munerana Seni dan Kebudayaan 0
KATA PENGANTAR

Leluhur dalam daya cipta, rasa dan karsa yang lahir dari akal budinya menghimpun berbagai
pokok pikiran keselamatan, dijadikan kesepakatan umum, dan dikemas menjadi sebuah
ajaran, untuk dimanfaaatkan manusia sebagai pegangan hidup dalam mencapai kesempurnaan
hidup.
Ajaran tersebut memuat norma-norma atau kaidah-kaidah yang menggariskan bagaimana
manusia bertindak dan bertingkah laku yang pantas, demi mempertahankan eksistensinya
sebagai makluk mulia, makluk yang diagungkan leluhur dalam sapaan HIGI MITAN HERE
MERAN, MEIN BA’IT ‘ETAN BELAR. Ajaran ini hidup dan berkembang, menjiwai irama
kehidupan manusia, kian dirasakan manfaatnya, makin melekat, mentradisi dan membudaya,
hingga akhirnya dipandang penting untuk diwariskan kepada generasi penerus dalam
kemasan ajaran adat.
Ajaran adat ini mengakomodasikan segala aspek kehidupan manusia, dibingkai menjadi satu
ajaran dasar, dan di dalam ruang lingkup bingkai itulah manusia secara bebas berkiprah
mengekspresikan nilai keistimewaannya dalam keutuhan makluk Higi Mitan Here Meran,
Mein Ba’it ‘Etan Belar. Akan tetapi kita manusia beraksi berlebihan melawan batas-batas
bingkai ajaran adat, mengakibatkan manusia itu kehilangan predikat Higi Mitan Here Meran
sekaligus menodai keluhuran hak Mein Ba’it ‘Etan Belar atau hak asasinya.
Inilah yang dimaksudkan dalam falsafah leluhur yang berbunyi “ RAIK GANU GAWI
DUEN, TE DUEN GETE GOGO BEPI, RA’IK BATA POAR HOAT, TE HOAT MOSAN
BATU PLABAN” artinya BILA BERTINDAK MELANGGAR BATAS, BATAS
RAKSASA BERGULIR GILING, BILA BERBUAT MELAMPAUI TUGU, TUGU
AGUNG RUNTUH MENINDIH. Untuk itulah ajaran adat menjadi sangat penting yang harus
dipelajari, didalami, dihayati, diamalkan dan mutlak dijadikan bekal dalam kehidupan nyata
sehari-hari.
Adapun sesuatu yang sangat disayangkan yaitu sejak purba ajaran besar ini diwujudkan
dalam tuturan lisan, akibatnya dari waktu ke waktu mengalami pergeseran dan degradasi
nilai, sehingga sangat diyakini disuatu ketika, makna luhur yang terkandung di dalamnya
menjadi rapuh dan kabur. Dengan demikian saya sebagai kaum muda dan insan yang cinta
budaya merasa perlu untuk mengabadikan dalam suatu tulisan yang bermanfaat bagi generasi
penerus.
Upacara-upacara ini bertujuan untuk memperkenalkan tentang ketinggian harkat dan
martabat manusia sebagai insan yang berakal budi, makluk yang paling mulia, makluk yang
memiliki keistimewaan yang tak terbandingkan dengan makluk lain. makluk yang di
agungkan oleh leluhur dalam sapaan; “HIGI MITAN HERE MERAN MEIN BA’IT ‘ETAN
BELAR’’ yang berarti makluk luar biasa yang berdarah pahit dan berdaging kelat. Demi
menjaga keutuhan keistimewaanya, leluhur dalam daya cipta, karsa dan rasa yang tumbuh
dari akal budinya, mengemas berbagai ajaran guna membentengi manusia, agar senantiasa
mempertahankan eksistensinya sebagai makluk mulia.Ajaran-ajaran tersebut di rajut dalam
berbagai bentuk, antara lain berupa: DU’AN MO’AN, KLETENG LATAR WA’E HELENG,
NURU NANG, PUE SERA, SISA SOBA, yaitu sejeneis sastra, falsafah, dan ritus magis
religius, yang memuat berbagai pranata, norma-norma yang menggariskan bagaimana
seharusnya manusia bertingkah laku dan bertindak yang pantas, dilengkapi dengan sanksi-
sanksi sebagai unsur pengikat dan pengendali manusia, agar dalam mengekspresikan
kebebasannya, senantiasa berada dalam koridor “HIGI MITAN HERE MERAN”. Dari sekian
banyak ajaran yang diturunkan, sebahagian kecilnya terkemas dalam paket UPACARA
KELAHIRAN DAN PERKAWINAN ADAT.
Dalam setiap rangkaian upacara atau proses kelahiran dan perkawinan adat, tidak terlepas
dari peristiwa saling memberi dan menerima diri dalm wujud benda-benda utama dalam
pembelisan sebagai tanda penyerahan diri dalam ikatan persatuan dan cinta kasih. Benda-
benda sebagai simbol diri itu antara lain : Tua Wair (Tuak dan air) sebagai simbol diri
perempuan yang maknanya tersirat dalam ungkapan : TUA TENA GAHU TA’IN, WAIR
TENA BLATAN KOKON, artinya TUAK UNTUK MENGHANGATKAN PERUT, DAN
AIR UNTUK MEMUASKAN DAHAGA, selain itu ada Utan Patan yang menjadi simbol
pemberi kehangatan cinta seorang perempuan, sedangkan kum l aki-laki disimbolkan dengan
Wua Ta’a, Bako Apur memiliki makna yang terungkap dalam syair WUA TA’A TENA
MERAH WIWIR, BAKO APUR TENA GAHU AHANG, secara harafia berarti SIRIH
PINANG UNTUK PEMERAH BIBIR, TEMBAKAU KAPUR UNTUK PENGHANGAT
GRAHAM, mengandung makna melancarkan komunikasi menjalin persahabatn, serta
mempererat rasa persatuan dan persaudaraan. Selanjutnya ayam dan kuda yang menjadi
barang utama pembelisan melambangkan kejantanan dan keperkasaan seorang laki-laki.
Dengan adanya perbedaan simbol diri tersebut, maka dalam upacara adat, pihak perempuan
dilarang mengkonsumsi barang yang disiapkan untuk pihak laki-laki begitupun sebaliknya.
Larangan ini biasa diungkapkan dalam syair adat yang berbunyi LOPA GOA LE’U IJOT,
artinya JANGAN MAKAN DIRI SENDIRI. Karena akan mengakibatkan NGANGAN
GO’IT, LI’AR DUNAN KULA DUDAK artinya MENJADI BODOH TAK DAPAT
BERKATA TAK SNGGUP MENGAMBIL KEBIJAKAN.
Akhirnya penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada lelulur dan semua
pihak yang membantu menyelesaikan tulisan ini, semoga berguna bagi generasi muda yang
sedang dilanda krisis multidimensi.

penulis

UPACARA KELAHIRAN
SAMPAI DENGAN PENDEWASAAN ANAK
(RU RUDUN LALING LAMEN)

Oleh Leluhur, “UPACARA KELAHIRAN SAMPAI DENGAN PENDEWASAAN ANAK”.


ini disebut “RU RUDUN LALING LAMEN”, yang berarti MENYAPIH WANITA
MENUJU REMAJA, MEMAPAN LELAKI KE ARAH DEWASA. Rangkaian upacara
dalam siklus ini bertujuan bahwa anak manusia mulai dibentuk menjadi pribadi yang berbudi
pekerti luhur semenjak ia berada pada usia emas sampai memasuki usia dewasa.
Upacara ini meliputi:
1. TUNG PUHE OHA (PENEMPATAN PLASENTA)
Ritus penempatan plasenta berawal sejak bayi dilahirkan. Arti dan ritus yang dilaksanakan
pada saat penempatan plasenta adalah sebagai berikut:
• Plasenta yang dikemas rapih dengan pakaian sesuai jenis kelamin, bertujuan agar bayi kelak
dapat mengenakan pakaian yang santun dan pantas menurut jenis kelaminnya.
• Plasenta diletakan di tempat yang sunyi, pada pohon berumur panjang, dengan daunnya
yang rindang dan sejuk, bertujuan agar bayi berumur panjang, selalu sehat walafiat, murah
rezeki, ramah dan santun dalam bertingkah laku serta sejuk dalam bertutur kata.
• Plasenta ditempatkan diatas pohon, bertujuan agar ditempat yang tinggi itu ia dapat melihat
segala sesuatu yang terjadi di bumi, yaitu antara baik dan buruk adil dan damai, halal dan
haram curam dan datar, angker dan keramat, pahit dan manis, gelap dan terang, jahat dan
jelek, ramah dan santun, durhaka dan setia dan lain sebagainya. Ada keyakinan kuat bahwa
selama pusar belum terlepas dari perut bayi, selama itu terjadi komunikasi aktif antara
plasenta dengan si bayi sebagai saudara kandungnya. Inti dari komunikasi ini adalah plasenta
akan memperkenalkan kepada bayi tentang segala sesuatu yang dilihatnya yang terjadi di
dunia. Dalam komunikasi ini kadang membuat bayi menangis, berarti yang diperlihatkan
plasenta adalah sesuatu yang seram, kadang bayi tertawa berarti yang di perlihatkan plasenta
adalah sesuatu yang menyenangkan, kadang terkejut berarti yang dilihatnya adalah bahaya,
kadang tersenyum berarti tertarik, kadang mencibir berarti bayi menolak, kadang terlihat
tenang berarti bayi mempertimbangkan dan lain sebagainya. Dengan adanya komunikasi ini,
membuat bayi telah memahami segala sesuatu yang terjadi di dunia sebelum ia dibawa ke
sana. Bayi sesungguhnya sudah tahu tentang apa yang baik dan buruk, mana yang benar dan
mana yang salah, mana jahat dan mana jelek, mana terhormat dan terpuji atau sebaliknya,
singkatnya segala seluk beluk dunia telah dipahami dengan baik sebelum ia berada di sana.
Dengan modal ini, tidak akan menjadi asing bagi si bayi, ketika ia datang memulai
kehidupannya di dunia dan semakin berkembang, ia semakin mampu menyesuaikan diri,
dalam memperlihatkan harkat martabatnya sebagai makluk mulia.
• Plasenta ditempatkan di tempat yang jauh dari rumah tinggal, bermaksud untuk mengatur
jarak kelahiran.
• Bapak, ketika kembali dari menempatkan plasenta harus memanggil-manggil orang
sebelum masuk rumah, dan bersama langsung menikmati suguhan sirih pinang dan tembakau,
bertujuan agar si bayi kelak mempunyai kebiasaan luwes dalam tegur sapa dan gemar hidup
dalam kesetiakawanan.
• Kurang lebih 7 (tujuh) hari, ssetelah kelahirannya, pusar (tali pusat) terlepas dari perut bayi
(PUHE BUPUT). Pusar dibungkus dalam selembar kulit jagung lalu diselipkan pada
bahagian dalam atap rumah dekat bubungan. Penempatan pusar di sini bertujuan agar bayi
kelak merasa betah di rumah. Kemanapun ia pergi, sejauh apapun ia mengembara,
keterikatan bathin dengan rumah, dengan keluarga tetap melekat dalam hatinya. Apabila ia
kelak berada di tempat perantauan, dan ketika itu keluarga membutuhkan ia segera datang,
maka diambil satu buah kemiri, diisi di tempurung upacara (LULI), ditempatkan di WATU
MAHANG, lalu pada setiap remang senja, salah satu keluarga kandungnya duduk
berhadapan dengan Watu Mahang memegang luli yang berisi kemiri memanggil namanya
sambil menggoyang-goyang luli sebanyak tiga kali, dengan operasi ini membuat hatinya
bergejolak menggerakan rasa tidak aman, membangkitkan kerinduan pulang rumah lalu ia
segera datang.

Demikianlah makna yang terkandung dalam seluruh rangkaian ritus penempatan plasenta
yang diajarkan leluhur dan diwariskan menjadi pegangan hidup. Ajaran ini senantiasa
memberikan kesehatan bagi yang masih menjadikannya sebagai bagian penting dalam menata
hidup dan kehidupannya.
Sebagai alat uji banding atas fakta yang sedang berkembang dapat dikatakan ketika orang
kelewat bangga, bergelimang dalam suasana kehidupan yang katanya jaman kemajuan
modern dan canggih semua ritual ini dibuang begitu saja bahkan disinisi sebagai perbuatan
edan yang mengada-ada kolot dan prinitif. Hal yang tercanggih bagi mereka adalah, plasenta
digunting, diperlakukan bagaikan seonggok sampah yang cepat-cepat dimasukan ke dalam
lembaran kantong plastik hitam pekat, digali lubang terus dicampakan ke dalam tanah,
diinjak-injak oleh kaki siapa saja dan dimana saja tempatnya seturut selera. Plasenta tidak
lagi dihormati dan disayangi sebagai saudara kembar si bayi yang bersumber dan dibentuk
bersamaan dalam satu rahim, melainkan sesuatu yang kotor dan jijik yang harus segera
ditanam, dikuburkan dan dilenyapkan. Dalam keadaan seperti itulah bayi turun bumi
berinteraksi dengan dunia luar dengan segalah kebutuhannya. Hasilnya hadirlah manusia-
manusia brutal yang melakukan apa saja seturut selera betapapun pahitnya, semuanya
menjadi baik adanya mereka hidup dalam sebuah kebebasan mutlak, tidak satupun yang
ditakuti, tidak ada orang yang dihormati, disegani, didengarkan dan ditaati apalagi disayangi.
Bahkan orang tua kandungnya menjadi musuh pertama bagi dirinya. Aneh dalam pandangan
adat, tetapi tahta di zaman modern. Inilah sekilas pandangan serta kesimpulan kacamata
budaya atas dampak negativ dari pelecehan manusia modern terhadap ajaran leluhurnya
sendiri.

2. RAWIN PU’U LIMAN (MENCUCI TANGAN DUKUN)


Melahirkan sang anak telah ditakdirkan menjadi tugas mulia dari seorang ibu. Menantikan
kelahiran anak sesunguhnya sebuah peristiwa bahagia namun selalu saja dihadapi dengan
keragu-raguan, kebingungan bahkan ketegangan antara harap dan cemas. Situasi seperti ini
muncul karena sangat disadari bahwa peristiwa kelahiran adalah peristiwa paling berisiko
bagi ibu hamil. Alasan itulah leluhur menamakan kondisi ibu hamil dengan sebutan “ATA
TERI E KEWO WIWIR” artinya ibu hamil posisi kehidupannya berada di bibir liang lahat.
Mengapa demikian, karena seorang ibu hamil, ketika menghadapi masa kritis menjelang
partus, meraung, meratapi penderitaan, menahan sakit tak terperihkan, mempertaruhkan
nyawa diantara mati dan hidup serta sejuta kepahitan laiinya larut ditelan sendiri oleh sang
ibu. Sebuah penderitaan yang wajib dijalani, sebuah penderitaan yang datang bukan karena
serangan penyakit yang bias diredahkan oleh bantuan obat-obatan. Suami tercinta tak
sanggup berbuat sesuatu, seisi rumah hanya ikut terharu menyaksikan sang ibu bergelut
melawan ancaman maut. Mereka hanya termenung dalam harap dan cemas. Satu-satunya
figur yang diandalkan menjadi tumpuan harapan adalah DU’A RAWIN (IBU DUKUN).
Tokoh inilah secara total mengerahkan segala daya upaya, memanfaatkan seluruh
kemampuan, kearifan dan keahliannya, berjuang memberikan bantuan istimewa bagi sang ibu
dan anak, untuk keluar dari ancaman. Dengan dasar inilah ketika seorang ibu melahirkan,
keluarga menghaturkan rasa syukur dan terima kasih mereka yang diwujudkan dalam
ritus:RAWIN PU’U LIMAN secara harafia berarti mencuci/membersikan tangan dukun yang
penuh noda dan bercak darah. Seekor hewan kurban disembelih untuk menjamu dukun
seterusnya mempersembahakan selembar kain sarung atau barang lain yang dipandang pantas
serta sebahagian daging kurban sebagai tanda terima kasih. Sang dukun pun akan
membisikan kata pamit dan pesan selamat ke telinga si bayi lalu berangkat meninggalkan
seisi rumah. Ritus ini pun sekalian bertujuan menanamkan pendidikan dasar bagi sang bayi,
agar kelak menjadi insan yang terbiasa menyukuri dan berterima kasih atas jasa baik yang
diperoleh dari sesama.

3. PLEWO WERUN (MENYAPA BAYI)


Sudah menjadi tradisi, menyapa atau menegur seseorang apalagi ia adalah tamu baru,
menjadi keharusan yang melekat pada pribadi manusia sebagai makluk sosial dalam
hubungan interaktif antar sesama. Bila seorang tamu mendatangi seseorang lalu tidak disapa
tentu saja tamu itu akan menyimpan sejuta perasaan dan pertanyaan, bahkan orang yang
didatangi itupun akan menjadi malu sendiri. Sang bayi adalah anak kandung yang terbentuk
dari Kristal-kristal cinta yang dirindukan dan dinantikan kehadirannya sebagai sosok
penghibur dan pembawa damai, pengganti dan pewaris hak dan kewajiban serta tumpuan
harapan keluarga dan sesama. Oleh karena itu menyambut kedatanganya tentu menempati arti
yang sangat mahal ditengah keluarga. Menyapa dan menyambut kedatanganya, diwujudkan
dalam ritus : PLEWO WERUN. Dengan melaksanakan jamuan khusus untuk itu. Seekor
hewan kurban yang telah disediakan sebelumnya disembelih, darahnya dioles di dahi sang
bayi sebagai tanda penerimaan, diikuti percikan air berkat adat (HULER WAIR) sebagai
tanda kesegaran dan kesuburan, menjadi bukti kebahagiaan dan keikhlasan orang tua
menyapa dan menatang kehadirannya. Jamuan penerimaan diawali dengan
mempersembahkan sesajen di WATU MAHANG, melaporkan kehadiran anggota baru dalam
suku rumpun, sekaligus memohon dukungan dan peran aktif leluhur dalam menuntun,
membimbng, menyelamatkan dan membesarkan menjadi insan yang berguna bagi dirinya
sendiri, keluarga dan sesama, dan teristimewa bagi NIAN TANA LERO WULAN (yang
Maha Tinggi). Seterusnya makanan sesajen disuapkan ke mulut bayi, dan ikut disantap oleh
ibunya. Seterusnya hidangan utama disuguhkan di depan bayi bersama ibunya sambil
membisikan ke telinga si bayi tentang tujuan upacara tersebut dan mengajaknya makan
bersama. Sang ibu mengambil secuil nasi dan daging disuapkan ke mulut bayi, sebuah ritus
yang sangat penting dibuat agar bayi memahami akan betapa besarnya kasih sayang bapa
mama kepadanya, sekaligus menanamkan pendidikan dasar akan betapa pentingnya
kepedulian melimpahkan kasih sayang yang utuh kepada sesama. Perlu diingatkan bahwa
selama ritus penyambutan ini belum dilaksanakan, selama itu juga sang bayi akan terus
menerus menangis mempertanyakan dimana bukti kasih sayang orang tua kepadanya.

4. WELI NARAN (PEMBERIAN NAMA)


Nama adalah sesuatu identitas yang sangat penting bagi manusia. Kurang lebih 7 (Tujuh) hari
setelah kelahiran, pusar akan terlepas dari perut bayi. Usai ritus penempatan pusar, sang bayi
diberi nama. Nama yang dipilih adalah nama leluhur , utamanya tokoh-tokoh dari suku
rumpun pihak bapak yang memiliki keistimewaan dan kekhasan sendiri dalam sejarah
hidupnya. Dapat juga nama diambil dari pihak ibu, yang dipandang penting untuk itu. Jika
ada figur yang memiliki keistimewaan tetapi masih hidup, diharamkan untuk dijadikan nama
si bayi, karena ada keyakinan akan memperpendek usia si figure tersebut. Bila dalam sebuah
keluarga, setiap kelahiran mengalami musibah kematian, maka nama yang diberikan bagi
bayi ke lahiran berikutnya diambil dari nama binatang, seperti jarang, manu, mugen dan lain-
lain. Dengan menggunakan nama binatang, alam gaib akan jijik dan tidak tertarik untuk
memusnahkannya. Pengambilan nama dari figur yang memiliki keistimewaan, bertujuan agar
si bayi kelak tampil mewarisi karakter figur tersebut, dan pengambilan nama dari nama
binatang, bertujuan agar si bayi dapat luput dari gangguan alam gaib dan berumur panjang.

5. LODONG ME (PENURUNAN ANAK)


Kurang lebih 40 (empat puluh) hari setelah kelahiran, anak untuk pertama kalinya diturunkan
keluar dari rumah, untuk menatap dunia luar. Ritus ini disebut “LODONG ME”. Upacara ini
menjiwai makna yang sangat berkaitan erat dengan ukuran kepedulian orang tuanya
menanamkan dasar-dasar yang kokoh bagi anaknya untuk tegar menghadapi dan beradaptasi
dengan situasi dunia luar yang serba kompleks. Hal ini terkemas dalam pesan leluhur yang
berbunyi “BUA NAHA BUR AWU, GA’E NAHA SEDON TEREN” secara harafia dapat
berarti LAHIR MENABUR ABU, PARTUS MENABUH TABUNG”, yang dimaksudkan
adalah orang tua wajib menuntun si anak menuruti jalan selamat, dan memperdengarkan kata
yang membawa damai. Upacara itu akan dijalankan, sebagai berikut:
Pada hari yang telah disepakati, keluarga besar beerkumpul di rumah si bayi unsur tanta dan
saudari kedua pihak yang bahasa adat populernya disebut A’A WINE, adalah figur dan
pemeran utama, wajib IANA ULIT BLATAN GANU WAIR, AMA BLIRAN GANU BAO
hadir pada momentum ini. Hal-hal yang sangat penting ini yang harus disiapkan menjadi
paket upacara ini adalah abu dapur, sepotong/seruas bambu yang buku sebelah ujungnya
diiris, seperangkat alat tenun bila bayi itu perempuan, atau sebuah parang bila bayi itu laki-
laki. Kepala suku pihak bapak, memulai upacara dengan meletakan sesajen berupa beras dan
sirip ikan di WATU MAHANG, memohon dukungan arwah leluhur, sesudahnya bayi
diserahkan ke unsur A’A ‘WINE pihak ibu si bayi. Selanjutnya bayi dibawa keluar dari
WATU MAHANG, diiringi dengan peragaaan pelbagai cara dan proses menenun bila bayi
itu perempuan, dan teknik menggunakan parang bila bayi itu laki-laki. Peragaan itu sekaligus
ikut menggerakan tangan si bayi disertai bisikan ke telinganya agar kelak bekerja keras,
terampil, tekun dan ulet, serta tabah dan sabar, untuk dapat mengais rejeki secara halal.Di
depan pintu utama rumah, kepala suku menabur sesajen ke bumi sambil melantunkan doa
sebagai berikut:
“AMI NENI GA RUDU MUHUN MORA INA NIAN TANA WAWA
PLAWI GA GLEKON GLAREK MORA AMA LERO WULAN RETA,,
KAMANG HIMO ME AMIN BUAN, HIMO GA TIO MATE
DE’A PU AMIN LU’UR, DE’A GA BELA MOLO
KAMANG TUKE NIMU GANU TENA SINA
TUBAR NIMU GANU JONG JAWA.
PUNAN DA’AN AJIN BOLEK,
GU’A UMA NAHA IHIN KARE TUA NAHA DOLO
BUA WAI NAHA BEKAR, GA’E LA’I NAHA TAWA
LI’AR DIRA GANU KI’AT, RANG NGANG GANU LABA
LI’AR BO’A GANU ‘O’A, RANG GAKAR GANU ‘RATA
BEIT LI’AR BESIM-BERIT, PORANG RANG EJO AJAR
GETE ATA DU’A MEN, BERAT ATA MO’AN PUN
SAING NIBON NAI TAWA, DA’A BLUPUR NETI TI’O”
Artinya
KAMI MEMINTA KAMI MEMOHON, MEMINTA BUNDA DI KEDALAMAN TANAH,
MEMOHON BAPAK DI KETINGGIAN LANGIT
TERIMALAH ANAKMU SEPENUH HATI UNTUK IKUT MENGHUNI DI BUMI,
SAMBUTLAH IA BERLAPANG DADA, AGAR BERSAMA MENGUASAI JAGAT
SEHAT JASMANI SEHAT ROHANI, BERANAK PINANG SELAYAK PANTAS,
GEMAR BEKERJA ULET BERJUANG, BEKERJA BENAR BERJUANG JUJUR, HASIL
BERLIMPAH
REJEKI BERTUMPUK, SELALU ARIF KIAN BERBIJAK, USIA SUBUR UMUR
BRLANJUT HINGGA TUA BERTOPANG TONGKAT SAMPAI LAPUK TERMAKAN
WAKTU.
Selesai pengucapan doa, bayi diserahterimakan dari unsur A’A WINE pihak ibu ke tangan
unsur A’A WINE pihak bapak. Unsur A’A WINE pihak ibu menyelimuti si bayi dengan
seperangkat sarung dan unsur A’A WINE bapak menerima bayi dengan menyerahkan
sejumlah barang berupa pembelisan kepada A’A WINE pihak ibu. Seketika itu juga tabung
bambu disentakan ke tanah, memperdengarkan bunyi gaung berlalu dan abu dapur pun
ditabur, disaat itulah sang bayi melangkah keluar meninggalkan rumah. Seorang ibu berjalan
di depan menabur abu sepanjang perjalanan hingga berakhir di tempat singgah. Bila bayi itu
wanita perjalanannya akan berakhir di sebuah rumah keluarga bapaknya yang telah disiapkan
untuk itu. Disana bayi diterima, dijamu dan sekembalinya dari sana penghuni rumah akan
membekali bayi berupa seperangkat alat tenun agar kelak dijadikan sebagai modal untuk
berkarya sesuai profesinya sebaga i seorang wanita. Bila bayi itu laki-laki, maka
perjalanannya menuju kebun bapaknya atau kebun milik suku. Disana ia diperkenalkan
bahwa tanahlah yang menjadi sumber hidup. Bayi dibawa keliling kebun dan berakhir di altar
kebun yang disebut AI PU’A sambil mengambil hasil kebun, mengumpulkan kayu api, sang
bapak memperkenalkan bagaimana seorang laki-laki mencari nafkah. Ketika kembali, hasil
kebun dan kayu api yang dibawa oleh sang bapak, sang ibu memperlihatkan semuanya itu
kepada sii bayi dan berbisik di telinganya agar bayi pun kelak melakukan hal yang sama
sebagaimana layaknya kewajiban seorang laki-laki ketika pulang dari kebun.
Pada malam harinya diselenggarakan upacara slamatan dengan menyembelih hewan kurban
untuk menjamu semua keluarga besar yang hadir pada saat itu. Apabila ritus LODONG ME
disertai dengan kenduri, maka upacara hari “H “sepenuhnya berlangsung di rumah,
sedangkan kunjungan rumah atau kebun sebagaimana diuraikan diatas diselenggarakan pada
hari berikutnya.
Dalam upacara ini tabung bambu wajib dibunyikan karena makna yang terkandung di
dalamnya bertujuan menanamkan pendidikan dasar agar dalam kehidupannya sang bayi harus
memegang teguh semua ajaran, petuah, nasehat seturut bunyi dan kata-kata yang keluar dari
mulut orang tuanya, sedangkan penaburan abu dapur sepanjang jalan bertujuan menyerahkan
bayi agar selalu menggunakan pilar keselamatan seturut jalan kebenaran yang diperkenalkan
orang tuanya. Seluruh rangkaian upacara ini bertujuan agar anak harus tampil sebagai sosok
yang bermoral dan beraklhlak mulia dengan selalu bertindak adil dan berkata benar rajin dan
tekun bekerja keras, santun dan rendah hati dalam etika pergaulan serta arif dan bijak dalam
mengambil keputusan. Hanya sikap dan perilaku yang anak lakukan seperti inilah yang akan
menyelamatkan orang tuanya dari kecaman dan pelecehan dalam kata “BUA E’O BUR
AWU, GA’E E’O SEDON TEREN”

6. ‘ROIT ALA (CUKUR RAMBUT)


Sekurang-kurangnya sebelum anak mampu berbicara, rambut bawaan lahir harus sudah
dicukur. Rambut bawaan lahir yang biasa disebut ALA TA’I UNE, diyakini memiliki
kemampuan alamiah yang menghambat perkembangan anak karena sebahagian rambut
tersebut melekat menutupi ubun-ubun, menghalangi kesegaran pertumbuhan dan yang
biasanya terurai menutup telinga yang juga mengganggu pendengaran anak. Jika ini dibiarkan
maka anak akan menjadi kerdil baik fisik maupun mental yang tidak kalah pentingnya juga
adalah selaput bawaan lahir yang menutupi ubun-ubun, sehingga harus dibuka untuk
memberi ruang bagi sesosok makluk pelindung yang menepati ubun-ubun. Oleh karena itu
rambut bawaan lahir harus dicukur melalui suatu upacara. Dengan mencukur rambut bawaan,
anak diyakini segar bertumbuh serta memiliki daya reflex dalam mendengar dan menganalisa
sesuatu yang sedang terjadi. Tata upacara cukur rambut yang biasa disebut ‘ROIT ALA,
dilaksanakan dengan tata laksana yang cukup panjang dan rumit. Upacra cukur rambut yang
biasanya dilaksanakan secara kompleks dan detail hanyalah bagi anak sulung dan anak-anak
berikutnya dilaksanakan secara sederhana, tetapi tidak mengurangi ritus-ritus yang telah
digariskan. Rambut yang tumbuh kembali setelah acara ini masih tetap dicukur, tetapi tata
cara pencukuran berbeda antara perempuan dan laki-laki. Bagi wanita, cukuran selanjutnya
hanya batas bawah ubun-ubun melingkar keliling mulai di atas dahi,berputar ke tengkuk dan
bertemu kembali di dahi, sehingga hasilnya nanti rambut bagian bawah dicukur bersih
sedangkan bagian atas dibiarkan. Bila rambut lepasan itu sudah panjang, maka untuk
seterusnya rambut digelung diatas kepala. Maksud dari ukuran seperti ini adalah supaya
selama masa pertumbuhan dimana anak-anak memiliki keistimewaan bernalar, telinga
sebagai pusat mendengarkan petuah dan nasehat tidak boleh dihalangi.
Bagi anak laki-laki, semuanya dicukur kecuali di keliling ubun-ubun. Dibiarkan, rambut
tersebut diberi nama HOTOK atau mahkota. Menurut leluhur, ubun-ubun paska pencukuran
perdana, harus tetap dilindungi, karena ada keyakinan bahwa ubun-ubun dihuni oleh sesosok
makluk, roh penegak keadilan, oleh karena itu rambut di tempat ini harus dibiarkan sebagai
tempat berlindung baginya. Keyakinan itu diajarkan oleh leluhur dengan petuah “NORAN
HA DERI E’I ALA UWUNG”, artinya ada seseorang yang tinggal di ubun-ubun, yang selalu
siap menghukum yang jahat dan membalas yang baik. Makluk itu adalah penjelmaan dari
NIAN TANA LERO WULAN (yang Maha Tinggi). Petuah ini sekaligus menjadi salah satu
pendidikan dasar bagi anak, agar selalu berkata benar dan berbuat adil, agar anak senantiasa
memegang teguh bahwa dalam hidup ini ada seseorang yang selalu mengintai perbuatan kita
manusia, Ia Maha Tahu, Ia tahu secara persis segala sesuatu yang terjadi betapapun bagi
manusia perbuatannya sungguh-sungguh rahasia . Karena Ia Maha Tahu maka perbuatan
manusia tidak akan luput dari keputusannya, apakah manusia itu di hukum atau diberi
pahala . Bagi manusia yang selalu berbuat baik, baginya dikaruniai kesehatan jasmani rohani,
rejeki yang memadai serta bebas dari malapetaka dan lain sebagainya.
7. ABO ALA (PENGHENTIAN PENCUKURAN RAMBUT)
Leluhur memiliki perhitungan sendiri tentang peralihan jenjang usia anak.Masa kanak-kanak
terhitung sejak lahir sampai dengan kurang lebih berumur 6 (enam) tahun. Masa ini anak
berada pada jenjang ATA SISI WATU SEA TANA, artinya manusia berada pada usia
keakraban pada permainan tanah dan batu. Mereka menampih tanah, mengangkat batu
meniru aktivitas orang tuanya dan kesehariannya mereka lebih tertarik dengan tanah. Bagi
anak wanita, selepas usia SISI WATU SEA TANA, mereka beralih ke jenjang berikutnya
yaitu usia BAI SEA NEPER, artinya mereka beralih ke usia terampil menumbuk padi,
menampih beras, memasang api, menjerang air dan memintal benang. Artinya kurun waktu
dalam jenjang ini mereka dibentuk untuk mulai mengenal dan menyentuh tanggung jawab
khas seorang wanita yang digariskan dalam UTAN BLAI, WAIR GAHU, dan KAPA KOLI
yaitu urusan masak-memasak dan tenun-menenun. Jenjang usia BAI SEA NEPER berkisar
antara 7 (tujuh) tahun sampai dengan 13 (tiga belas) tahun. Kurang lebih usia 13 tahun ada
organ tubuh tertentu yang member tanda bahwa anak itu harus beralih ke jenjang beikutnya.
Disaat inilah pencukuran rambut dihentikan. Rambut anak dibiarkan tumbuh secara utuh.
Kurang lebih 1 tahun kemudian rambut telah pulih tumbuh secara utuh, dan disaat itulah ritus
ABO ALA dilaksanakan, pertanda anak tersebut memasuki jenjang berikutnya yang disebut
‘WAI BU’AN BARET artinya gadis remaja. Pada jenjang ini keterampilanya pun
ditingkatkan, masuk dalam jajaran PERANG HERING, NORU NANA NEPER, terampil
memasak dan menenun. Dalam usia ini, tata cara berbusana dan merias menjadi hal yang
penting. Rambutnya selalu disisir rapih, digelung bergantung dibagian tengkuk, sarung yang
dipakai adalah UTAN HAWATAN, seperti UTAN LEA, UTAN MERAN WAIR, UTAN
MOKO, dengan motif ragam hias dan kwalitas tenunan yang baik dan terpilih. Baju yang
dipakai adalah baju lengan pendek leher segi empat, ujung tangan baju dan sekeliling leher
baju diberi bis dengan kain warna lain. Baju ini disebut LABU LIMAN TENGGE. Atau baju
tengge Kurun waktu usia ABO ALA dan ‘WAI ‘BU’AN BARET berkisar antara 14 tahun
sampai dengan 20 tahun. Bagi anak laki-laki selepas usia SISI WATU SEA TANA, mereka
memasuki jenjang berikutnya yaitu DOE PORON MENONG. Dalam kurun waktu pada
jenjang ini mereka dibentuk untuk mulai mengenal dan memahami tugas khas kaum laki-laki
yang disebut ORIN UMA yaitu tugas membangun rumah dan menggarap lahan. DOE
PORON MENONG yang harafianya berarti erat memegang parang, dari maksud sebenarnya
adalah terampil memanfaatkan parang sebagai senjata utama dalam mencari nafkah. Pada
masa ini mereka sudah terampil memanfaatkan parang dengan baik dan benar termasuk
mengasah, memotong, menebang, membangun pondok, mengenal pasar, menguasai teknik
jual beli mengurus ternak dan lain-lain. Masa DOE PORON MENONG berkisar antara 7
tahun sampai dengan 15 tahun. Masa ini berakhir ketika ada organ tubuh tertentu
memperlihatkan tanda-tanda bahwa sudah saatnya mereka harus beralih ke jenjang
berikutnya. Disaat inilah pencukuran rambut dihentikan dan diganti dengan pemangkasan.
Dalam pemangkasan pada jenjang ini, rambut di sekeliling kepala bagian bawah dicukur
bersih tanpa paras. Cukuran rambut model ini memberi tanda bahwa anak lelaki tersebut
memasuki usia TIBO LAMEN BARET atau pemuda puber. Pada masa ini pemuda tersebut
meningkatkan keterampilannya antara lain mandiri membangun rumah, menggarap lahan
yang luas, melakukan transaksi jual beli dan lain-lain tugas kebapaan. Ketika semuanya ini
sudah mampu dikerjakan secara mandiri, maka layaklah ia memasuki usia dewasa. Masa
TIBO LAMEN BARET berkisar antara 15 sampai 22 tahun.

8. LEGEN ALA (MENGGELUNG RAMBUT) DAN GARENG LAMEN (PENYUNATAN)


Ada ciri dan indikator t ertentu yang digunakan leluhur sebagai batas akhir dari masa ‘WAI
BU ’AN BARET. Disaat organ tubuh tertentu mengindikasikan gadis tersebut telah dewasa
diperkuat dengan kematangannya dalam tugas khas kewanitaan seperti mandiri dalam proses
menenun, dari awal sampai akhir, dari membuat serat kapas, memintal, menggulung,
merentang,mengikat motif sampai dengan menenun dan menjahitnya serta terampil memasak
dalam segala bentuk menu makanan adat, sudah menjadi bukti kedewasaanya, maka tibalah
waktunya ia berpindah dari jenjang ‘WAI BU’AN BARET menjadi ‘WAI BU’AN GETE
atau gadis dewasa. Pada jenjang inilah upacara LEGEN ALA diselenggarakan. Rambut yang
sebelumnya digelung bergelantung ditekuk, saat ini diangkat dan dinaikan ke atas, dilingkar
keliling pada bagian belakang kepala lalu diperkuat dengan tusuk konde yang dikenal dengan
sebutan HEGIN atau SOKING Busana yang dipakai masih tetap dengan UTAN HAWATAN,
sedangkan bajunya berubah menjadi baju tangan panjang yang biasa disebut LABU LIMAN
BENUN. Ciri-ciri LABU LIMAN BENUN adalah ujung tangan baju yang dijahit berlipit-
lipit, lehernya bulat bagian dada dibelah lurus ke hulu hati kurang lebih 10 cm untuk
mempermudah pemakaian sekaligus memperindah penampilan dengan variasi jahitan yang
menarik. Pada pemakaian, bagian yang dibelah yang biasa disebut LABU ‘WATEN ditutup
dengan peneti. Ketika menghadiri acara-acara resmi atau pesta dilengkapi pula dengan
selempang yang disebut DONG dan perhiasan khas pada kedua pergelangan tangan berupa
gelang gading dan gelang perak. Perhiasan ini oleh Leluhur disebut KALAR BALA
GELANG TOKANG yang urutan pemakaian disetiap pergelangan tangan terperinci atas satu
gelang gading, satu gelang perak, dua gelang gading, satu gelang perak dan terakhir satu
gelang gading. Satu paket KALAR BALA GELANG TOKANG terdiri dari delapan biji
gelang gading dan empat biji gelang perak. Ritus yang mengubah bentuk busana dan tata rias
rambut dilengkapi perhiasan dan perlengkapan bertujuan untuk memberi tanda bahwa gadis
tersebut telah memasuki usia layak kawin dan sudah saatnya ia boleh dilamar oleh seorang
pemuda karena sudah patut menyandang predikat ibu rumah tangga. Pandangan masyarakat
adat terhadap gadis yang dibentuk dan atau membentuk diri secara tertib dan teratur
sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah gadis pujaan yang sangat dikagumi, dihormati
sekaligus menjadi incaran dan rebutan para pemuda dengan berlomba-lomba
mempersuntingnya.
Bagi anak laki-laki pun ada ciri dan indikator tertentu yang dijadikan ukuran sebagai batas
akhir TIBO LAMEN BARET. Perubahan organ tubuh seperti tumbuhnya kumis serta
kematangannya menguasai tugas khas laki-laki dalam menafkahi orang yang berada dalam
tanggung jawabnya sudah terpenuhi segala syarat, untuk ia berpindah ke jenjang TIBO
LAMEN GETE artinya pemuda dewasa. Rambut yang sebelumnya dipangkas tanpa paras
kini diberi paras. Ia juga sudah berhak merokok, minum tuak sebagaimana layaknya laki-laki
dewasa lainnya. Disaat inilah ritus GARENG LAMEN dilaksanakan. Ritus GARENG
LAMEN atau penyuntan dibuat bertujuan untuk memberi tanda bahwa laki-laki tersebut telah
dewasa dan memasuki usia layak kawin. Setelah pulih dari penyunatan ia sudah berhak
melamar gadis dewasa untuk menjadi isterinya.

UPACARA PEMINANGAN
DAN PERKAWINAN ADAT

Upacara peminangan dan perkawinan adalah sebuah ajaran dan warisan leluhur yang
mengatur tentang tata tertib dan tata laksana sebuah perkawinan, demi terwujudnya
ketinggian harkat dan martabat manusia dan suku rumpunnya dalam sudut pandang adat.
Melalui upacara ini sebuah perkawinan memiliki kekuatan hukum baik status perkawinan itu
sendiri, maupun status keturunannya dalam mengambil hak dan kewajiban di dalam suku
rumpunnya maupun perlakuan di depan hukum. Dalam paket upacara perkawinan adat,
tersusun secara sistematis AKAD PERKAWINAN yang sarat dengan pesan dan petuah untuk
dijadikan pegangan dasar bagi pengantin dalam menuntun bahtera rumah tangganya menuju
keluarga yang harmonis, bahagia, sejahtera lahir dan bathin.
Dalam ajaran adat perkawinan ditegaskan bahwa, sebuah perkawinan baru dikatakan sah
apabila perkawinan itu telah dikukuhkan melalui sumpah perkawinan sebagaiman yang diatur
dalam AKAD PERKAWINAN ADAT. Jadi sangatlah fatal apabila sebuah perkawinan adat
hanya berhent i pada urusan belis dan pembelisan dengan tidak mengindahkan puncak acara
WAWI API ARA PLANGA (sumpah perkawinan). Resiko yang harus dipikul oleh
perkawinan sejenis i ni antara lain perkawinan dapat dibatalkan kapan saja, keturuannya tidak
berhak menuntut warisan, bahkan tidak termasuk pewaris hak dan kewajiban dalam suku
rumpun bapaknya.

JENIS-JENIS PERKAWINAN ADAT

1. DU’A DEPO LA’I (KAWIN LARI)


Kawin Lari adalah hubungan perkawinan yang pada mulanya seorang Pria dan Wanita,
secara sembunyi-sembunyi melakukan kesepakatan atau melakukan hubungan perkawinan.
Sehingga Si Wanita melarikan diri dari rumah orang tuanya untuk mengikuti Si Pria,
sekaligus keduanya mengaku sebagai suami istri.
2. LEBO KUAT (KAWIN MASUK)
Kawin Masuk adalah bentuk Perkawinan Adat sebagai akibat dari pihak keluarga Pria tidak
mampu atau tidak mau memenuhi tuntutan Adat dari keluarga Wanita, shingga pria tersebut
masuk ke suku istrinya.
6. . INA AMA WEN (KAWIN PAKSA)
Kawin Paksa adalah jenis Perkawinan Adat yang dijodohkan oleh orang tua dari kedua belah
pihak baik dengan atau tanpa persetujuan anak-anaknya. Biasanya terjadi karena dorongan
harta atau materi dan atau karena kebaikan bathin.
7. WAIN PLAN (KAWIN MULIA)
kawin Mulia adalah jenis Perkawinan Adat yang diproses secara terbuka, teratur dan
terhormat, serta terencana dan disertai dengan berbagai macam pengorbanan baik waktu,
tenaga, materi bahkan beban perasaan. Dalam bahasa Adat dikenal dengan sebutan: “PLA
WAIN NIAN POA, HERON MEN LERO HA’E”

Leluhur menegaskan bahwa belis dan ongkos hanyalah berfungsi sebagai sebuah sarana yang
memperlihatkan betapa perlunya menjujung ketinggian harkat dan martabat manusia dalam
menjalani proses menuju perkawinan. Penegasan itu tercermin dalam falsafah “DU’A NAHA
NORA LIN, LA’I NAHA NORA WELIN” belis dan ongkos adalah ukuran ketingian harkat
dan martabat manusia, maka belis tidak boleh diperhitungkan secara ekonomis yang
bermuara pada untung dan rugi. Oleh karena itu pemberian belis bukan tunai dan seketika,
melainkan belis dapat diangsur seturut kemampuan. Masa, waktu pemberian belis tetap
berjalan sepanjang turunan dari perkawinan tersebut masih ada. Batas waktu pemberian belis,
ditentukan oleh leluhur dalam ajaran “’EA DA’A RIBANG NOPOK, TINU DA’A KOLI
TOKAR”, yang dimaksudkan adalah batas akhir pemberian belis ketika turunan dari
perkawinan ini sudah punah, ibarat sebuah batu asah yang ludes terasah dan sebuah pohon
lontar yang kehabisan daun termakan usia.
Dari upacara kelahiran dan perkawinan, leluhur menempatkan Upacara Perkawinan Adat
sebagai peristiwa yang lebih istimewa karena ada hal-hal istimewa yang ditemukan dalam
peristiwa ini antara lain:
– Bersumber dari sebuah perpaduan Cinta Kasih mendalam dari dua insan berlawanan jenis
dan berlainan keturunan, rela memisahkan diri dari orang tua terkasih, berjanji sehidup
semati, bersatu mengadu nasib dengan sejuta resiko serta sepenanggungan dalam berbagai hal
dalam sebuah bahtera yang disebut rumah tangga.
– Ikut mempersatukan dua rumpun keluarga besar dengan segala perbedaan menjadi senasib
dan seperjuangan serta satu dalam suka dan duka.
– Melahirkan manusia baru sebagai generasi pengganti, pewaris hak dan kewjiban serta :
tumpuan harapan keluarga suku dan marga yang biasa dibaitkan dengan sebutan
• WUA DET ‘A’E DODA (MELAHIRKAN MANUSIA BARU)
• PASENG WAE GELUR AWAK (GENERASI PENGGANTI)
• HU’U BULUK ‘WARA GLERANG (PEWARIS KEWAJIBAN)
• PLOI PU’AN PLARU BAKUT (PEWARIS HAK)

Meskipun perkawinan itu ditempatkan sebagai peristiwa yang lebih istimewa, namun bukan
berarti semua perkawinan mendapat pos dan perlakuan yang sama dalam Pandangan dan Tata
Uapcara Perkawinan Adat.
Ada bentuk Perkawinan Adat yang diproses secara terbuka, teratur dengan melibatkan semua
pihak yang berkompeten dalam Tata Upacara Perkawinan Adat. Berdasarkan perbedaan ini,
maka leluhur mengidentifikasikan bentuk Perkawinan Adat dalam 4 jenis.

JENIS-JENIS PERKAWINAN ADAT

3. DU’A DEPO LA’I (KAWIN LARI)


Kawin Lari adalah hubungan perkawinan yang pada mulanya seorang Pria dan Wanita,
secara sembunyi-sembunyi melakukan kesepakatan atau melakukan hubungan perkawinan.
Sehingga Si Wanita melarikan diri dari rumah orang tuanya untuk mengikuti Si Pria,
sekaligus keduanya mengaku sebagai suami istri.
4. LEBO KUAT (KAWIN MASUK)
Kawin Masuk adalah bentuk Perkawinan Adat sebagai akibat dari pihak keluarga Pria tidak
mampu atau tidak mau memenuhi tuntutan Adat dari keluarga Wanita, shingga pria tersebut
masuk ke suku istrinya.
8. . INA AMA WEN (KAWIN PAKSA)
Kawin Paksa adalah jenis Perkawinan Adat yang dijodohkan oleh orang tua dari kedua belah
pihak baik dengan atau tanpa persetujuan anak-anaknya. Biasanya terjadi karena dorongan
harta atau materi dan atau karena kebaikan bathin.
9. WAIN PLAN (KAWIN MULIA)
kawin Mulia adalah jenis Perkawinan Adat yang diproses secara terbuka, teratur dan
terhormat, serta terencana dan disertai dengan berbagai macam pengorbanan baik waktu,
tenaga, materi bahkan beban perasaan. Dalam bahasa Adat dikenal dengan sebutan: “PLA
WAIN NIAN POA, HERON MEN LERO HA’E”

. TAHAPAN DAN LANGKAH-LANGKAH DALAM UPACARA PERKAWINN ADAT

Tahapan dan Langkah-langkah dalam setiap jenis Perkawinan Adat berbeda satu dengan yang
lain. Perbedaan ini teridentifikasi berdasarkan Tata Cara Perkawinan tersebut. Dalam
pengaturannya ditetapkan sebagai berikut:
1. KAWIN LARI (DU’A DEPO LA’I)
Tahapannya diatur dalam dua alternatif/dua kemungkinan
a. Pasangan Suami-Istri mendatangi orang tua dan keluarga pihak wanita dengan membawa
sejumlah barang pembelisan sesuai ajaran adat yang biasa disebut:“RUKU GAPU WAIN
KONGONG PIRU LIMAN” (SUJUD MENCIUM KAKI, SEMBAH MEMELUK
TANGAN) Sebagai wujud permohonan maaf dari anak yang telah melanggar.
b. Orang tua/keluarga si wanita datang mencari anaknya ke rumah Pria dengan tuntutan Adat
“RI’I BAI ROTAN GLOROT” (KAKI TERTUSUK DURI TANGAN TERTANCAP
ONAK). Berarti keluarga si pria berkewajiban memberikan sejumlah barang pembelisan
sebagai wujud penghormatan dan permohonan maaf. Setelah itu kedua keluarga
merundingkan pembelisan dan ongkos-ongkos seadanya untuk memasuki Upacara Akad
Perkawinan Adat “WAWI WOTIK” atau WOTIK WAWI ‘WATEN (Perkawinan jenis iini
tidak ada proses lain).

2. KAWIN MASUK (LEBO KUAT)


Perkawinan jenis ini hanya ditempuh melalui sebuah langkah yaitu Upacara Pencabutan Suku
(LEBO KUAT) Oleh Si Pria (Si Pria beralih ke suku Wanita). Keluarga besar suku dan Tetua
Kampung turut hadir dan menyaksikan upacara tersebut. Kepala Suku keluarga Wanita
mempersembahkan sesajen pada batu sesajen lalu melaporkan sekaligus memohon restu dari
Leluhur dan mereciki pasangan pengantin dengan Air Berkat Adat, dengan seekor babi yang
telah disiapkan untuk upacara ini. Lalu babi dibunuh dan darahnya direciki pada dahi
pasangan pengantin tersebut. Setelah daging babi masak dan segala perlengkapan lainnya
disiapkan, maka dilanjutkan dengan Upaara LEBO KUAT.
Pengantin diapiti oleh kedua orang tua kandungnya masing-masing beserta keluarga, tetua
adat dan kepala suku.di hadapan pengantin disuguhkan Nasi dan Hati Babi masing-masing
satu piring dan satu botol moke. Kepala suku mengangkat piring pengantin Pria
menempatkan di hadapan WATU MAHANG, kemudian menanyakan kesediaan pengantin
Pria untuk memasuki Suku Istri. Dan ketika pengantin Pria menyatakan kesediaannya, kepala
suku mempersilahkannya tunduk merangkul WATU MAHANG dengan kedua telapak
tangannya. Lalu kepala suku meletakan kedua tangannya di atas ubun-ubun pengantin Pria
sambil mengucapkan doa dalam bahasa Adat sebagai berikut:
‘AU LEDU MAI BETA WAIN, MAPA MAI HERON MEN
WAIN DU’A…………………
KO WUA E’O DIAT INAN, TA’A E’O DOKANG AMAN
TUDI MUTU EO BOTER, MANU MUTU E’O PESUNG
TE AMI INA DULAK BUA, MOLE AMA ‘LORAN GA’E
MORA UE LU’UR LIWUN, MORA WARI LODAR LELEN
MORA DU’A WUA PITU, MOLE MO’AN WATU WALU
AMI NENI GA RUDU MUHUN, MORA INA LAU NITU NATAR
AMI PLAWI GA GLEKONG GLAREK, MORA AMA LAU NOAN KLO’ANG
KAMA HIMO LE’U TIO MATE, DE’A LEU BELA MOLO
HIMO MO’AN………………
‘LITIN GIIT LEPO UNEN, ‘LER MANGAN WOGA WUTUN
DENA HU’U BELI ‘ITA WUNGUN, KOBOR BELI ‘ITA KUAT
WUNGUN KUAT……………
TENA ITA ODO GLO’ON, GARENG BLAWIR
DA’A BLUPUR NETI TI’O, SAPE GAHAR GODO KORAK
DA’A BLEWUT GERUK BELUNG, SAPE KOKAK GERUK LOAR
Artinya:
DEMI CINTA ENGKAU DATANG
DATANG MELAMAR DU’A…………
KAKIMU KOSONG, TANGANMU HAMPA
TAK ADA SIRIH PERKUAT BUKTI, TAK ADA PINANG IKUT MEMINANG
TAK ADA BELIS PEMBERI MAKNA
MAKA KAMI AYAH DAN BUNDA
BERSAMA SANAK, BERSAMA KELUARGA
BERSAMA TETUA PENOPANG BUMI
KAMI MEMINTA KAMI MEMOHON
MEMOHON LELUHUR DI TANAH ABADI
ULURKAN TANGAN MENATANG TERIMA
TERIMA MO’AN…………….
MEMELUK SUKU, MENJUNJUNG RUMPUN
SUKU MARGA………………..
MENJADI ABDI SEUMUR HIDUP
MENJADI HAMBA SEPANJANG HAYAT

Selesai Doa Adat, kepala suku mengambil secuil nasi dan hati babi, lalu meletakan di atas
WATU MAHANG, dengan tetesan tuak sebagai sesajen, lalu diminum pengantin Pria
sebagai wujud sumpah kesetiaan dan diikuti seluruh peserta sebagai saksi. Selanjutnya
pengantin Pria menyantap makanan sesajen sebagai acara terakhir. Dengan demikian sahlah
pengantin Pria menjadi Suami yang memeluk suku Istri. Selanjutnya dibawah kekuasaan sang
Istri beserta keluarga sampai akhir hayatnya.

3. KAWIN PAKSA (INA AMA WEN)


Kawin Paksa merupakan jenis perkawinan yang dikehendaki oleh orang tua para calon
pengantin. Faktor pembicaraan belis, pembelisan, dan penyerahan ongkos-ongkos tidak
menjadi beban bagi pengantin yang dijodohkan. Tahapan-tahapan dan proses-proses pun
diatur berdasarkan selera orang tua. Pasangan hanya menunggu untuk menerima Upacara
Akad Perkawinan Adat.

4. KAWIN MULIA (WAIN PLAN)


Kawin Mulia adalah satu-satunya jenis perkawinan yang paling dihormati dan dijunjung
tinggi karena mengandung nilai paling luhur yaitu:
• Mempertahankan ketinggian harkat dan martabat manusia beserta suku rumpunnya dalam
sudut pandang adat.
• Memperkokoh status perkawinan dan status keturunan maupun perlakuan dalam hukum.
Oleh karena itu Kawin Mulia (WAIN PLAN), biasanya diproses secara terbuka, teratur,
terencana, terkoordinir dan disertai dengan pengorbanan baik waktu, harta benda maupun
beban perasaan. Namun tetap menjadi hal yang membahagiakan dan membanggakan karena
mengangkat harkat, martabat dan derajat manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan yang mulia.
Proses yang panjang itu akan dilalui dalam tiga tahap delapan langkah,

Tahapan-tahapan dan langkah-langkah tersebut akan diatur sebagai berikut :


Tahap I. BERKENALAN (GA’I GLENGAN)
Dilalui dalam dua langkah yaitu:
– Langkah I : MOBO TULUNG (BERTANDANG)
– Langkah II : WUA TA’A DIRI MIPIN (SIRIH PINANG PENENTU ALAMAT)
Tahap II. PENGRESMIAN TUNANGAN (BETA WAIN HERON MEN)
Dilalui dalam 4 langkah yaitu:
– Langkah III : WUA LEMA LEPO TA’A ‘RAWIT WOGA, PLA WAIN NIAN POA,
HERON MEN LERO HA’E (PEMINANGAN)
– Langkah IV : PATI WAWI PLAN WUA TA’A (PENGRESMIAN TUNANGAN)
– Langkah V : HIWI HAO (PEMBERIAN NAFKAH)
– Langkah VI : TUJI LIN TAJI WELIN (PEMBICARAAN BELIS)
Tahap III. PERKAWINAN ADAT (WAWI API ARA PLANGA)
Dilalui dalam 2 langkah yaitu:
– Langkah VI I :LETO WOTER (PEMBELISAN)
– Langkah VIII : WOTIK WAWI ‘WATEN (AKAD PERKAWINAN ADAT)
PROSES-PROSES YANG DILALUI DALAM KAWIN MULIA

Seperti telah diketahui bahwa Kawin Mulia diproses secara panjang sebanyak tiga tahap
delapan langkah. Tahapan-tahapan dan langkah-langkah dalam penyelenggaraannya dapat
diuraikan sebagai berikut:
Tahap I. BERKENALAN (GA’I GLENGAN)
– Langkah I : MOBO TULUNG (BETANDANG)
Seorang Pemuda dan seorang Gadis dapat bertemu sewaktu-waktu apakah di pasar, pesta,
gereja atau di tempat pengambilan air dan sebagainya. Dalam pertemuan tersebut membawa
kemungkinan Si Pemuda jatuh cinta pada Si Gadis ataupun sebaliknya. Lalu Si Pemuda akan
menyampaikan niat luhurnya kepada orang tuanya.
Selanjutnya orang tua Si Pemuda akan melakukan seleksi yang cukup ketat, baik asal
usulnya, keadaan keluarga dan suku rumpunnya, maupun sikap perilaku dan keteranpilan
yang dimiliki oleh Si gadis. Secara umum biasanya hal-hal yang diseleksi adalah:
– Apakah Si Gadis berasal dari suku yang baik, terpandang dan lain-lain.
– Apakah di dalam suku rumpunnya tidak ada mewarisi gen yang berbahaya seperti gila,
penjahat, penyakit bawaan dan lain-lain.
– Apakah suku rumpunnya rendah hati dan tidak angkuh atau sombong
– Apakah Gadis tersebut termasuk gadis yang setia
– Apakah Gadis tersebut tekun bekerja dan memiliki keterampilan-keteranpilan tertentu
seperti menenun dan memasak.
– Apakah gadis tersebut rendah hati, sopan, disiplin, tidak cerewet dan ramah serta tabah
dalam menghadapi kesulitan.
– Apakah Gadis tersebut benar-benar sehat lahir dan bathin.
Hasil seleksi akan dibahas bersama dan jika seleksi berkesimpulan menolak maka si pemuda
akan diminta untuk mengundurkan diri dari niatnya. Tetapi jika seleksi berkesimpulan
menyetujui, maka si pemuda akan melalui langkah berikutnya. Si pemuda akan mencari
seorang teman kepercayaannya untuk bertindak sebagai perentas jalan (ATA PANO
LALAN), untuk menyampaikan niat luhurnya kepada si gadis idamannya. Dan gadis tersebut
biasanya tidak langsung menyampaikan isi hatinya, ia akan memberitahukan tawaran tersebut
kepada orang tuanya.
Maka hal yang sama pula akan dilakukan oleh orang tua si gadis yaitu melakukan seleksi
menyangkut hal-hal berikut:
– Apakah Si Pemuda berasal dari suku yang baik, terpandang dan lain-lain
– Apakah Pemuda tersebut termasuk orang yang setia
– Apakah di dalam suku rumpunnya tidak mewarisi gen berbahaya seperti gila, penjahat,
penyakit keturunan dan lain-lain
– Apakah Pemuda tersebut termasuk orang yang rajin dan tekun mencari nafkah
– Apakah Pemuda tersebut bukan seorang penjudi dan pemabuk
– Apakah Si Pemuda memiliki sikap kasih sayang yang tinggi
Jika seleksi berkesimpulan menolak, maka si gadis akan menyampaikan penolakannya
kepada perentas jalan si pemuda. Tetapi jika di setujui maka orang tua si gadis akan mencari
seorang teman kepercayaan untuk menyampaikan kabar baik tersebut kepada pihak pemuda
melalui perentas jalan dan dengan pesan agar si pemuda datang bertandang ke rumah si gadis.
Hal ini dilakukan karena masih dibutuhkan seleksi selanjutnya yang pada gilirannya mereka
harus memberikan keyakinan mutlak kepada kedua orang tuanya bahwa hubungan ini layak
ditingkatkan sampai pada titik puncak yaitu perkawinan Dengan demikian si pemuda mulai
bertandang ke rumah si gadis, bersama dengan temannya sebagai perentas jalan. Biasanya
bertandang seperti ini dilakukan berulang kali karena dengan cara ini, orang tua si gadis dapat
secara langsung menilai sikap dan perilaku serta tata cara si pemuda. Si pemuda pun dalam
diam menilai sikap dan tata krama si gadis dan calon mertuanya beserta keluarga lainnya,
hasilnya akan disampaikan kepada orang tuanya untuk dipertimbangkan.
Ketika masa bertandang dianggap cukup, disaat bertandang pada kali terakhir, si pemuda
yang bertindak sebagai perentas jalan akan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan
mereka selama ini yaitu bermaksud melamar si gadis yang diidamkan oleh si pemuda.
Selanjutnya orang tua si gadis akan menyampaikan kepada mereka bahwa bila mereka datang
kembali, mereka harus membawa serta sirih pinang sebagai penentu alamat (WUA TA’A
DIRI MIPIN). Beranjak dari pesan ini, maka mereka segera beralih ke langkah ke-II.

– Langkah II : WUA TA’A DIRI MIPIN (SIRIH PINANG PENENTU ALAMAT)


Di rumah si pemuda, keluarga mempersiapkan sirih pinang dan tembakau yang dibungkus
dalam selembar kain dan dibawah oleh teman si pemuda sambil membembeng seekor ayam.
Mereka berdua berangkat ke rumah si gadis. Setiba di rumah si gadis, mereka langsung
menyerahkan sirih pinang, tembakau dan ayam kepada orang tua si gadis. Biasanya langsung
ditempatkan di sudut kanan kamar upacara. Mulai saat itu, pemuda dan temannya tidak lagi
dijamu sebagai tamu biasa. Berdasarkan adat perkawinan, mereka dijamu secara khusus
dengan santapan nasi, ikan dan tuak. Dan apabila mereka tidak menghabiskan makanan yang
disajikan, maka sisanya akan dibawa pulang ke rumah orang tuanya. Dan kepada mereka
akan dipesan bahwa sirih pinang ini sebagai penentu alamat sehingga mereka harus
membawa sisa makanan tersebut, agar orang tua dan keluarga turut menyantapnya, sebagai
tanda peran serta mereka dalam mencari alamat, dengan memohon restu dari leluhur (NITU
NOAN) serta langit dan bumi (NIAN TANAH LERO WULAN), agar memberi gambaran
melalui mimpi tentang hubungan yang sementara dibangun. Orang tua si gadis akan
menyampaikan pesan adat yang berbunyi sebagai berikut:
RA’IK MIPIN KIRING EPAN, BLAWONG HAGONG WOHON
TE WUA MAI LEMA LEPO TA’A MAI ‘RAWIT WOGA
RAIK MIPIN KIRING HEMU, BLAWONG HAGONG HALA
TE LUEN DUN LALAN DUNAN, MIU NARA NORA ‘WINE
Artiya:
BILA MIMPI BERALAMAT BAIK
SILAHKAN KAMU LANJUT MEMINANG
BILA MIMPI BERALAMAT BURUK
JADILAH KAMU SESAMA SAUDARA
Sampai di sini orang tua si gadis dan si pemuda, masing-masing mencari seorang perentas
jalan untuk menyampaikan alamat dari masing-masing mimpi tersebut. Apakah mimpi
beralamat baik atau tidak. Jika mimpi beralamat baik maka tibalah mereka pada tahap ke-II.
Perentas jalan pada tahap ke-II ini, selanjutnya akan berperan sebagai pembicara belis
(MOAN KEPALA BAHAR).

Tahap II BETA WAIN HERON MEN (PENGRESMIAN TUNANGAN)


– Langkah III : WUA LEMA LEPO, TA’A RAWIT WOGA PLA WAIN NIAN POA,
HERON MEN LERO HA’E (TUNANGAN)
Memasuki tahap ini, kedua keluarga akan dihadapkan dengan berbagai macam kesibukan.
Keluarga si gadis akan mempersiapkan babi, moke, sarung, dan berbagai menu makanan
untuk menjamu keluarga si pria. Sekaligus mengumpulkan keluarga besar yang berperan
dalam acara ini. Sedangkan keluarga si pria mempersiapkan barang-barang pembelisan.
Biasanya berupa kuda, uang, emas dan barang-barang utama seperti sirih, pinang, tembakau
dan ayam. Serta mengumpulkan keluarga besar yang akan berperan dalam langkah ini.
Selanjutnya perentas jalan si pria akan mendatangi keluarga si wanita untuk membuat
kesepakatan menyangkut waktu berlangsungnya upacara. Setelah perundingan mencapai kata
sepakat, maka hasilnya akan disampaikan kepada masing-masing pihak, dan sejak saat itu,
perentas jalan kedua belah pihak akan berubah peran menjadi pembicara belis. Saat satu hari
sebelum upacara sesuai kesepakatan, keluarga si pria harus segera memetik sirih pinang.
Memetik sirih pinang pun harus sesuai petunjuk adat yaitu tangkai sirih dan mata pinang
tidak boleh terlepas dari buahnya sebagai wujud keutuhan hati dalam meminang gadis
tersebut.
Pada malam harinya, sirih pinang ditaruh di Kamar Watu Mahang, dengan tujuan memohon
restu dan dukungan leluhur, agar semua urusan berjalan dengan lancar, aman dan damai serta
selamat. Ketika tiba hari penentuan, pagi-pagi keluarga si pemuda mengemasi barang-barang
serta mempersiapkan segala keperluan yang harus dibawa ke rumah keluarga si gadis. Sirih
pinang dan tembakau dengan sejumlah uang atau emas dimasukan ke sebuah wadah adat
yaitu “Lilin” (sejenis sokal) yang dianyam dari daun lontar.Tali ayam dan barang-barang lain
diperikasa secara teliti untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya
tali ikatan terlepas yang mengakibatkan barang-barang bawaan tercecer dalam perjalanan.
Karena jika hal ini terjadi, dapat memberi pratanda/alamat kurang menguntungkan. Biasanya
hubungan yang sedang dijalin tidak begitu langgeng dan akhirnya putus di tengah jalan.
Setelah seluruhnya dinyatakan siap, maka berangkatlah keluarga si pria ke rumah si wanita,
dengan urutan perjalanan diatur sebagai berikut:
– Seorang wanita yang telah dipilih oleh keluarga berjalan di depan membawa sokal berisi
sirih pinang sambil menggendong/membembeng seekor ayam.
– Di belakangnya disusul oleh beberapa orang membawa barang pembelisan lainnya
– Dan terakhir si pemuda bersama temannya dan pembicara belis.
Ketika tiba di hadapan pintu rumah si wanita, rombongan akan berhenti sebentar untuk
menanyakan penghuni rumah dengan sepatah kata adat yang berbunyi demikian:
HOE RETA UNE
AMI MORA WUA GOGO GAGING, MORA TA’A LANAN DETE
MAI PLA WAIN NIAN POA, HERON MEN LERO HA’E
MIU HIMO AMI KO E’ON
Jawabannya:
AMI HIMO TIO MATE MORA UHE DIHE BUI
AMI DE’A BELA MOLO MORA DAN HADING NAWANG
EMAI…..EBAWO
Atinya:
HAI KAMU DI DALAM RUMAH
BERSAMA PINANG BERGULIR DATANG
BERSAMA SIRIH MERAMBAT TIBA
KAMI DATANG MEMINANG ISTRI
APAKAH KAMU MENERIMA KAMI
Jawabannya:
DENGAN HATI SEPUTIH SALJU
DARI LUBUK YANG PALING LUHUR
KAMI SIAP MENERIMA KAMU
PINTU KAMI TERBUKA MENUNGGU
TANGGA KAMI TERPAMPANG MENANTI

– Langkah IV : PATI WAWI PLAN WUA TA’A (PENGRESMIAN TUNANGAN)


Kepala suku meletakan sesajen berupa seekor ikan kering, dengan beras di Watu Mahang,
sebagai suguhan bagi arwah untuk memohon restu dan kekuatan. Dan selanjutnya mengambil
air berkat adat untuk HULER WAIR/mereciki si gadis, si pemuda, sirih pinang, dan babi
pengresmian tunangan. Setelah itu, babi dibunuh.
Saat mereciki air berkat adat pada dahi si gadis dan si pemuda, bersamaan dengan itu
diucapkan doa adat yang berbunyi sebagai berikut:
BLATAN GANU WAIR, GANU WAIR EI NAPUN
BLIRAN GANU BAO, GANU BAO GERA WOLON
UBUN LEBUR GANU TEBUK, GANU TEBUK LAU DETUT
BAKUT PLIAK GANU BAKI, GANU BAKI RETA ILIN
PUNAN DA’AN AJIN BOLEK
UBUT NAHA BAKA LIKAT KLEKOT NAHA PAGA LIGA
Artnya:
DINGINLAH KAMU BAGAI AIR, BAGAI AIR DI KALI ABADI
SEGARLAH KAMU BAGAI BERINGIN, BAGAI BERINGIN DI BUKIT KEKAL
SEHAT SEGARLAH DIKAU BERTUMBUH
BAGAI GEBANG DI TANAH DATAR
MEKAR BERKEMBANGLAH CINTAMU NAN LUHUR
BAGAI BAKI DI RIMBA RAYA

Doa ini diakhiri dengan mengolesi darah babi ke dahi si gadis dan si pemuda sebagai tanda
“Resmilah mereka bertunangan” pada saat itu juga resmilah kedua keluarga besar menggelar
sapaan umum, dimana keluarga si gadis disapa Ina-Ama, oleh keluarga si pemuda, dan
keluarga si pemuda akan disapa Me-Pu oleh keluarga si gadis. Pada saat inilah berlaku
hukum adat perkawinan dimana Ina-Ama tidak dibenarkan menyantap daging babi dan lain-
lain yang telah dipersiapkan untuk Me-Pu, dan sebaliknya Me-Pu tidak dibenarkan
menyantap daging ayam dan barang-barang lain yang menjadi haknya Ina-Ama. Sapaan dan
larangan ini berlaku seumur hidup sampai turun temurun.Demikian juga adat perkawinan
mewajibkan pihak Me-Pu harus senantiasa bersikap santun dan merendah di hadapan Ina-
Ama. Pelanggaran terhadap hal ini dapat berakibat fatal bagi Me-Pu, baik dikenai denda adat
atau dicap manusia tak beradab.
Adat mengajarkan bahwa pihak Ina-Ama sebagai penguasa dan Me-Pu akan menerima
balasan pembelisan berupa manusia menjadi miliknya. Hal serupa ini tidak akan terjadi kalau
bukan melalui adat perkawinan. Oleh karena itu tuntutan merendah dari Me-Pu adalah sebuah
wujud kasih.
Usai pengresmian tunangan, disaat si gadis berstatus tunangannya si pemuda, maka ia bukan
lagi seorang gadis bebas, tetapi seorang calon istri. Adat perkawinan menyebutnya demikian:
“RUGA WUNGUN UBUN TOBONG – PAKET TADAN ALAN LAHIN” Sebutan ini
mengibaratkan si gadis sebagai sebatang pohon subur yang pucuknya telah dipangkas dan
batangnya telah ditakik, sehingga tidak lagi leluarsa berkembang. Kapasitasnya sebagai calon
istri yang masih berada di tangan orang tuanya, menimbulkan beban baru bagi orang tuanya
dalam melindunginya dari gangguan laki-laki lainnya. Maka dalam hal tugas pengawasan ini,
sebagai calon pemilik si gadis tersebut yaitu si pemuda, berkewajiban mempersenjatai orang
tua si gadis berupa sebuah parang dan sebilah pisau yang termasuk dalam belis pengresmian
tunangan dalam simpul “TUDI HELIT GEBI, PORON SODANG GARAN”. Untuk itu Me-
Pu berkewajiban menyerahkan sejumlah barang pembelisan baik berupa kuda, uang, atau
emas, sebagai wujud simbolis dari parang dan pisau yang ditancapkan dibawah tangga dan
diselipkan di pintu masuk yang siap menangkal semua gangguan dan godaan. Setelah selesai
pembicaraan belis, Me-Pu dijamu santapan penutup kemudian diperkenankan kembali ke
rumah dengan membawa serta segala sesuatu yang dipersiapkan Ina-Ama dalam menjamu
kedatangan keluarga pada saat itu. Dengan demikian berakhirlah langkah ke-IV dan kini
mereka siap memasuki langkah ke-V.
– Langkah V : HIWI HAO (PEMBERIAN NAFKAH)
Karena proses perkawinan berada pada tahap tunangan, maka calon suami berkewajiban
bertanggung jawab atas segala kebutuhan hidup beserta beban pekerjaan di rumah calon
istrinya. Oleh karena itu ia harus secara berkala mengantarkan kebutuhan hidup calon istrinya
berupa makanan, pakaian dan lain sebagainya. Setiiap kali mengantar ia harus tinggal
beberapa waktu untuk membantu pekerjaan calon istrinya. Kesempatan inilah yang menjadi
peluang bagi mereka untuk saling memahami secara lebih jauh tentang kepribadian mereka
masing-masing. Meskipun mereka belum diperkenankan untuk berkomunikasi secara
langsung. Apabila jangka waktu pada langkah ini dianggap cukup, maka mereka beralih ke
langkah berikutnya.

– Langkah VI : TUJI LIN TAJI WELIN (MEMBICARAKAN BELIS)


Belis merupakan ukuran ketinggian harkat , martabat dan derajat manusia dalam sudut
pandang adat. Oleh karena itu belis menduduki posisi strstegis dalam sebuah proses
perkawinan yang mutlak dibicarakan. Biasanya belis dirinci dalam apa yang disebut “Wu’un
Larun” atau Buku dan Ruas. Leluhur menetapkan belis sebanyak 12 Wu’un Larun atau 12
simpul yaitu: TUDI HELIT GEBI PORON SODANG GARAN, WAWI DADI, GAER WUA
TA’A, KILA, KLU’UT, UHE, KABOR, LEA, BUKU, WUA TA’A GETE, LIMAN
HONAN, PORON PATI TALI-PIGANG LOTAK WAIR, selain itu ada yang tidak termasuk
dalam Wu’un Larun, tetapi disebut HU’E HERENG atau Ukuran Kepantasan momentum.
Karena ada momentum-momentum tertentu sepanjang proses perkawinan berlangsung, yang
mewajibkan Me-Pu, memberikan tanda takluk dengan wujud barang pembelisan. Pada
umumnya, disaat pembicaraan belis, pihak Ina-Ama melakukan penekanan-penekanan yang
bertujuan besarnya belis dan derajat barang pembelisan harus setimpal mewujudkan
ketinggian harkat martabat dan derajat manusia, sehingga gading, kuda, emas, dan uang yang
khasnya selalu disebut “Bahar balik” sering dituntut dalam momentum pembicaraan belis.
Meskipun besarnya belis dan derajat barang pembelisan ditetapkan agak tinggi, namun tidak
selamanya jumlah dan jenis tersebut harus diberikan sekaligus pada saat yang telah
disepakati. Hal ini diatur dalam adat perkawinan yang memberikan kelunakan kepada pihak
Me-Pu, bahwa masa pemberian belis tidak memiliki batas waktu tertent u. Adat perkawinan
menentukan batas waktu pembelisan dalam sebutan “’EA DA’A RIBANG NOPOK, TINU
DA’A KOLI TOKAR” artinya makan seumur hidup minum sepanjang hayat, berarti urusan
belis tetap berjalan sebagaimana biasa selagi turun temurun pasangan tersebut masih ada.
Tujuan pembicaraan belis/perundingan ini adalah untuk mencapai kesepakatan tentang
besarnya belis, berapa jumlah belis yang dapat diangsur, kapan pembelisan dilaksanakan,
paket-paket apa yang harus disiapkan dalam upacara Akad Perkawinan Adat dan jumlah
orang yang datang pada hari penentuan.

Tahap III WAWI API ARA PLANGA (AKAD PERKAWINAN ADAT)


– Langkah VII : LETO WOTER (PEMBELISAN)
Leluhur dalam adat perkawinan menekankan persamaan derajat dengan sebutan “DU’A LIN,
LA’I WELIN” yang dimaksudkan adalah hak wanita maupun laki-laki dalam posisi
perkawinan adat dalam pembelisan menyandang derajat dan penghargaan yang sama. Oleh
karena itu, apabila si wanita beserta suku rumpunnya dihargai dalam bentuk pembelisan,
maka laki-lakipun harus diakui martabatnya oleh Ina-Ama dengan menyerahkan balasan
pembelisan yang disebut ongkos dalam bentuk babi, beras, tuak, sarung, baju dan lain-lain,
kesemuanya itu untuk membuktikan bahwa belis yang diberikan bukan merupakan nilai dar
transaksi jual beli manusia, sehingga penyerahan belis disebut oleh adat “LETO WOTER”
artinya PEMBERIAN BELIS, bukan “TE’A WOTER” yang artinya PEMBELIAN BELIS.
Maka kegiatan pada langkah ini adalah penentuan belis dan penyerahan ongkos-ongkos.
– Langkah VIII : WOTIK WAWI WATEN (UPACARA AKAD PERKAWINAN ADAT)
Proses panjang dalam WAIIN PLAN (KAWIN MULIA) akhirnya tiba pada puncak acara.
Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa sebuah perkawinan adat baru dapat
dinyatakan sah dan resmi serta memiliki kekuatan hukum, apabila telah kukuh dengan
upacara sumpah perkawinan adat.Oleh karena itu dikamar upacara yang telah ditempati oleh
pengantin, keluarga besar kedua pihak, para saksi dan pendamping,beserta segala menu
makanan upacara, hadir seorang IMAM ADAT untuk melaksanakan upacara sumpah
perkawinan. Imam adat mengambil secuil nasi dan hati babi dari piring pengantin, sambil
mengucapkan sumpah perkawinan bait demi bait lalu disuapkan ke mulut pengantin disertai
tegukan tuak sebagai penguat sumpah.
Pengantin wanita dan pria,masing-masing diucapkan 7 bait sumpah perkawinan yang
keseluruhannya berisikan pesan, petuah dan amanat demi keharmonisan serta kebahagian dan
kesejahteraan rumah tangga mereka. Secara garis besar digambarkan disini bahwa bait-bait
tersebut masing-masing mengatur tentang hal-hal sebagai berikut:
– Ikatan perkawinan hanya dipisahkan oleh kematian
– Pengantin pria dan wanita tidak boleh lagi menganggap diri sebagai pemuda atau gadis
bebas
– Pengantin pria dan wanita harus betah di rumah tangga sebagai suami dan istri sejati
– Pengantin pria dan wanita harus hidup bersatu erat melekat pantang tergeser haram tercecer
– Pengantin wanita sah berpindah suku dan wajib menyandang suku suaminya
– Pengantin didoakan untuk memperbanyak keturunan secara terukur, karena anak yang
dilahirkan menjadi penghibur dan pembawa damai, pewaris hak dan kewajiban, serta
tumpuan harapan keluarga, suku dan sesama
– Pengantin wanita berkewajiban melayani suami tercinta dengan tulus dan ikhlas
– Pengantin wanita harus tampil sebagai seorang ibunda suku yang ramah, rendah hati,
pembawa damai, tabah, tekun dan ulet menghadapi segala problem serta memanfaatkan
semua hasil karya suaminya secara berdaya guna dan berhasil guna.
– Pengantin pria diamanatkan untuk bekerja keras mencari nafkah secara halal demi
kesejahteraan istri dan anak- anaknya
– Pengantin pria diwajibkan menyerahkan segala hasil karya yang diperolehnya secara utuh
kepada istri dan anak-anaknya
– Pengantin pria diwajibkan memberikan perlindungan total kepada anak dan istrinya baik
makan minum, perumahan, pakaian, kesehatan lahir bathin dan pendidikan
– Pengantin pria harus mendidik dan memberikan contoh serta teladan yang baik agar anak
istrinya tumbuh sebagai keluarga yang dikagumi dan dihormati.
Dengan selesainya pengucapan sumpah perkawinan, maka selesailah sudah seluruh rangkaian
tahapan dan langkah-langkah dalam proses kawin mulia.
Sebelum agama katholik dianut oleh masyarakat adat disaat ini juga pengantin wanita
diboyong ke rumah pengantin pria.

AKAD PERKAWINAN ADAT

1. Untuk Pengantin Wanita


Syair Adat
– AMI DIAT ‘AU NORA WAWI API ARA PLANGA
DADI WAIN NORA LA’IN
AMI DOKANG ‘AU NORA TUA SUMPAH WIDIN JAJIN
JAJI ‘LIHA NORA LALAN
– GOA SAI WAWI API, WAWI API ARA PLANGA
MINU SAI TUA SUMPAH, TUA SUMPAH WIDIN JAJIN
‘AU DU’A GIIT DERI LEPO
LEPO WOGA…..
– HIMO SAI MO’AN……
DADI LA’IN GAPU GAHU DENA MEN MULI MUT
LA’IN BA’IT GANU PLEA GANU KLEGANG
MEN BELAR GANU ROHO GANU TOLE
– MA HU’U BELI ATA WUNGUN KOBOR BELI ATA KUAT
MA MONI BELI ATA ‘WISUNG, OROK BELI ATA ‘WANGAR
MA DU BELI ATA UNU HENING BELI ATA API
MA ‘LOHOR BELI ATA WAWA, LEMA BELI ATA RETA
– MA BUA BURI GANU WETAN,
– GA’E TETO GANU ATONG
TENA TERI WELI ETIN BENUN
ERA WELI OAN NORAN
– NIAN ‘WAUT LERO WAWA, UTAN BLAI DERI BUI WAIR GAHU GERA NAWANG
API DOUN SORONG SERENG, DIAT LA’IN DOKANG MEN
‘IANA TA’IN LOPA MORUN LUKA, KOKON LOPA MARA WAIR
– UHE MUTU NAHA DIEN DERI BUI, DAN MUTU HADING GERA NAWANG
IANA ME WAI PU LA’I ‘A’AN DU’AT KERAN MO’AT LEDU MAI TENA SONG,
MAPA MAI TENA KADANG
– LEDU TENA TURU MUHUN WU’UT TELO OGOR LIMAN
MAPA TENA HAPANG AMAN, WEDAR LADON PAING ALAN
TENA METEN GANU WUNUN, TENA KIRANG GANU NOAN.
Artinya :
– DENGAN MENYUAPKAN NASI DAN HATI BABI INI
TERIKATLAH ENGKAU DALAM JANJI PERKAWINAN
DENGAN MENEGUK TUAK PENGUAT SUMPAH
PERKAWINANMU BERAKHIR DI HARI ABADI
– MAKANLAH NASI DAN HATI BABI INI
MINUMLAH TUAK PENGUAT SUMPAH INI
JADILAH ENGKAU ISTERI SEJATI
MEMELUK SUKU…..
– TERIMALAH MO’AN’….
MENJADI SUAMI ERAT MELEKAT
DAPATKAN ANAK PENGHANGAT KASIH
PANTANG TERGESER HARAM TERCECER
– SAHLAH ENGKAU BERPINDA SUKU, SUKU MARGA……
MEMELUK SUKU, MENJUNJUNG RUMPUN
BERTANGGUNG JAWAB MEMELIHARA RUMAH
MENJADI BUNDA PELAYAN SUKU
– BERANAK CUCULAH SETURUT CUKUP
MEKAR BERKEMBANG BERTAMBAH BANYAK
UNTUK MEMENUHI ALAM YANG KOSONG
TURUT MENGHUNI LAHAN TERHAMPAR
– DIKALA SENJA MENJELANG MALAM, MAKAN TERSAJI MINUM TERHIDANG
LAYANI SUAMI JAMULAH ANAK SEPENUH HATI
BEBAS LAPAR PUAS DAHAGA
– PINTU RUMAH TERBUKA , TANGGA HALAMAN TERPASANG MENANTI
TEMPAT BERSANDAR SEGENAP SUKU, SANAK SAUDARA, OM DAN TANTA,
MENGHARAP TANGAN ULUR MEMBERI
SEDIKIT LABA SUMBER REJEKI
MENJADI TUMPUAN DAN HARAPAN SEPANJANG HAYAT

2. Untuk pengantin pria


Dalam Sastra Adat:
– AMI DIAT ‘AU NORA WAWI API ARA PLANGA
DADI WAIN NORA LA’IN
AMI DOKANG ‘AU NORA TUA SUMPAH WIDIN JAJIN
JAJI ‘LIHA NORA LALAN
– GOA SAI WAWI API, WAWI API ARA PLANGA
MINU SAI TUA SUMPAH, TUA SUMPAH WIDIN JAJIN
‘AU MO’AN MANGAN GERA WOGA LEO WOGA……
– HIMO SAI DU’A……
DADI WAIN GAPU GAHU DENA MEN MULI MUT
WAIN BA’IT GANU PLEA GANU KLEGANG
MEN BELAR GANU ROHO GANU TOLE
– GOU SAI LAU LEMAN, BATA SAI RETA ILIN
GOU MAI DIAT WAIN, BATA MAI DOKANG MEN
A TENA MENU TA’IN RINU TENA BLATAN KOKON
A TO RINU HAE, TO TOGO LORA WA’IN HAE TEPAR LORA LIMAN
– PLIPONG SAI WAIN TIO MATE
ABO SAI MEN MOLO BELAN
SAPU ‘WAU LOBE SOBENG, KUWU MUT PANG MARAN
ULIT BLATAN AMA BLIRAN
– NIAN ‘WAUT LERO WAWA, DIAT WAIN LI’AR SINA, DOKANG MEN RANG
JAWA
TUTUR HORI HARANG HARUT, NARUK BURA LALAN MOLO
GETE ATA DU’A MEN, BERAT ATA MO’AN PUN
REGU WERU SAGAN SARENG, SARENG DUDEN SAPE DADIN
Artinya :
– DENGAN MENYUAPKAN NASI DAN HATI BABI INI
TEEIKATLAH ENGKAU DALAM JANJI PERKAWINAN
DENGAN MENEGUK TUAK PENGUAT SUMPAH
PERKAWINANMU BERAKHIR DI HARI ABADI
– MAKANLAH NASI DAN HATI BABI INI
MINUMLAH TUAK PENGUAT SUMPAH INI
JADILAH ENGKAU SUAMI SEJATI
MEMELUK SUKU…..
– TERIMALAH DUA’….
MENJADI ISTRI ERAT MELEKAT
DAPATKAN ANAK PENGHANGAT KASIH
PANTANG TERGESER HARAM TERCECER
– CARILAH NAFKAH DI KEDALAMAN LAUT, BURULAH REJEKI DI RIMBA RAYA
BAWALAH PULANG KE HADAPAN ISTRI,
LURUS TERTUJU KE PANGKUAN ANAK
ISTRI BANGGA ANAK BAHAGIA
– LINDUNGI ISTRI JAGALAH ANAK
BERILAH NAFKAH SETURUT CUKUP
SANDANG DAN PAPAN SELALU TERPENUHI
BEBAS DUKA BEBAS DERITA
– DIKALA SENJA MENJELANG MALAM NASEHATI ISTRI BESERTA ANAK
NASEHAT BIJAK PETUAH ARIF
SEMAKIN ARIF KIAN BERBIJAK
SEMAIN BERNILAI DI MATA SESAMA

Nama lengkap kanisius Lavanto, Lahir pada tanggal 14 September 1990 di Botang. Lulusan
SDK 019 Botang pada tahun 2004 (1997-2004) , SMPK 4 Diakui Hewerbura Watublapi
tahun 2007 (2004-2007), SMK Tawa Tanah Kewapante tahun 2010 (2007-2010). Sekarang
sedang mengabdi di SDN Baowunut kecamatan Hewokloang sebagai guru mata pelajaran
Pengetahuan Lingkungan Sosial dan Budaya Daerah (PLSBD.)

padamu

Anda mungkin juga menyukai