Anda di halaman 1dari 4

Nggua merupakan seremoni adat yang yang berkaitan langsung dengan kehidupan manusia dengan

dirinya demi kesejahteraan hidup dan hubungan dengan alam dan sang pencipta sebagai ucapan rasa
syukur seusai panen. Nggua sendiri berasal dari kata Nggu yang artinya bunyi dan a yang artinya ada atau
sudah ada, kami ada. Arti umumnya adalah ola tau, ola meko utu bheni tebo.[1]
Ritual adat Nggua ini biasa dilaksanakan pada bulan september di Desa adat Saga Kecamatan
Detusoko Kabupaten Ende Provinisi Nusa Tenggara Timur. Ritual ini dipimpin oleh Mosalaki (Kepala
Suku) yang dihadiri para Mosalaki lainnya, Fai walu ana kalo (masyarakat adat) yang masih menetap di
desa adat tersebut maupun yang sudah menetap diluar.[2]
Seremonial Nggua biasanya dilaksanakan selama sepekan yang dimulai dari Nggua Uta, Nguua uwi, Tu
are, Roro uwi dan puncaknya adalah Gawi sodha atau menari bersama dengan senandung-senandung adat
yang dipimpin seorang Mosalaki.[1]
Ritual adat Nggua diawali dengan So Au yakni ritual penunjukan lahan baru yang akan dibuka yang
diikuti dengan ritual Ngeti. Selanjutnya dilakukan tahapan pembersihan ladang dan pembakaran yang
diakhri dengan acara Seru Fata atau tolak bala agar ladang tersebut bebas dari hama dan mendapat hasil
berlimpah.[3]
Setelah ladang disipakan maka akan dilakukan kegiatan penanaman yang disebut Tedo yang dipimpin
langsung oleh Mosalaki. Setelah berumur tiga bulan dilaksanakanlah upacara Nggua Uta Bue. Apabila
telah siap panen maka dilaksankan kegiatan memanen atau Keti pare yang selanjutnya akan disimpan
dalam lumbung atau Bengge.[3]
Seluruh rangkaian kegiatan itulah yang disebut Nggua yakni diawali dengan upacara membuka lahan baru
dan diakhiri dengan menari atau Gawi sodha bersama pada sebagai puncak kegiatan seremonial Nggua.
Rangkain Nggua ini bermakna atau sebagai lambang persatuan antara Mosalaki atau tetua adat
dengan Fai walu ana kalo (masyarakat adat) dalam membangun persekutuan seraya memuja menyembah
kepada Pencipta, alam semesta dan leluhur

Komunitas masyarakat adat Saga Kabupaten Ende Nusa Tenggara Timur selenggarakan Pesta Adat
Nggua merupakan ciri khas kehidupan masyarakat adat dalam mempertahnkan budaya tradisionalnya.
Pesta adat ini dilakukan setiap tahun sesuai dengan jadwal baku dari para mosalaki (tokoh adat).
Di awal Pesta Adat Nggua ini para mosalaki ikut kegiatan seminar sehari untuk membahas dan mengkaji
makna dan hakikat pelaksanaan Nggua bertujuan untuk memberikan pengetahuan informatif tentang
nilai-nilai budaya agar bisa diwariskan pada generasi baru, dengan harapan ikut melestarikannya secara
kreatif dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam seminar hadir seluruh warga komunitas adat Saga, komunitas yang berdekatan dengan Saga, para
pastor, tokoh agama, pemuda, mahasiswa , pemerhati budaya dan masyarakat adat, pemerintah dan Dinas
Pariwisata Ende, pengurus AMAN Nusa Bunga. Kegiatan pesta adat ini diselenggarakan di komunitas
adat Saga, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende. Lebih dari 200-an peserta hadir dalam seminar ini.
Pesta adat Nggua oleh masyarakat adat Saga bersama mosalaki akan berlangsung selama satu minggu (3-
10/9/2015) dimulai dengan Seminar Sehari Adat Nggua (03/09/2015).
Narasumber dalam seminar sehari pesta adat Nggua ini terdiri dari Rm. Ferry Dhae berlatar belakang
Sosiolog , Mgr. Vincent S.Poto Kota Uskup Agung Ende berdasarkan pengalaman dan penghayatannya
dan Rm Herman E Wetu, dengan materi Intergrasi Ritual adat dengan Praktis imam katolik dalam hidup
sehari-hari dengan Moderator Phlipus Kami, Ketua AMAN Nusa Bunga juga Anggota DPRD Ende.
Menurut Rm Feryy dalam paparan materinya menyatakan bahwa secara sosiologis seluruh seremonial
adat yang dilakukan oleh masyarakat adat Saga menunjukan sebuah kehidupan manusia yang ada di muka
bumi ini. Dan masyarakat adat secara umum untuk kabupaten Ende dibangun dengan sebuah
mitos/mitologi yang menggambarkan kehidupan masyarakat adat yang sangat akrap hubungannya dengan
alam.
Acara pesta Nggua merupakan acara yang berkaitan dengan diri manusia itu sendiri( Tebo ) lahir-dewasa,
hidup/kawin dan mati serta upacara berkaitan dengan kehidupan yang bekerja untuk mewujudkan gae ola
kema tau ola muri (kesejahteraan manusia) yang sering dilaksanakan dalam Nggua berkaitan dengan
upacara berladang atau berkebun.
Lebih jauh Rm Ferry menjelaskan bahwa sejak dahulu manusia yang berada di Pulau Flores dikisahkan
dengan mitos Ana kalo, menggambarkan hubungan manusia dengan kehidupan. Mitos Ana kalo ini
dikisahkan sebagai pusat keberadaan dan kepercayaan masyarakat adat akan adat serta seluruh unsur yang
ada dalam acara adat.
Manusia ada di Pulau Flores sejak zaman glatsia dikisahkan hidup seorang diri (Anak kalo) di atas
Gunung Lepembusu. Dan manusia itu mempertahankan hidup dengan mulai proses bercocok tanam
umbi-umbian.
Kisah ini sebenarnya di komunitas adat ada juga di Lio Ende, ada banyak versi. Banyak cerita mitos yang
dibangun oleh masyarakat adat masing-masing komunitas. Tujuan dari cerita mitos ini maknanya adalah
masyarakat adat hidup tidak terlepas dengan tanah dan alam dan seluruh simbol yang dipakai atau
digunakan oleh masyarakat adat adalah alat untuk berkomunikasi dengan sesama dan sebagai bentuk
kepercayaan serta kekuatan sebuah komunitas.
“ Saat ini umumnya masyarakat adat Ende Lio masih memelihara mitos /cerita rakyat sebagai bagian dari
nilai-nilai kebudayaan masyarakat adat untuk membangun pola kehidupan manusia yang beradab. Pada
masyarakat adat adalah bagian dari pelaku /pencipta budaya tradisional yang mengikat masyarakat adat
taat pada aturan hukum adat dalam sebuah proses kehidupan,” kata Rm Ferry.
Penjelasan dari Romo Herman tentang intergrasi antara ritual adat dan praktik iman khatolik sebenarnya
mirip dengan kepercayaan secara imam khatolik dalam ritual adat. Kepecayaan iman khatolik sebenarnya
telah dilakukan oleh tokoh adat yang dirayakan setiap kali terjadinya pesta adat. Menurutnya sudah
seharusnya jika mosakali (tokoh adat) menjalankan ritual adat, maka tokoh adat tersebut menjalankan
ritual keagamaan secara katolik, bedanya hanya pada waktu dan tempat serta tata cara yang digunakan.
“Kita ka mosa laki sebagai pelaksana adat, jika ola kema kita dau pawe-pawe sesuai no’o ola pati ti ‘i
tentu hal ini secara iman khatolik sudah menjalankan peran itu dan sesungguhnya pesan apa yang akan
kita petik dan makna untuk bisa digunakan kepada seluruh anggota masyarakat adat” Kata Romo
Herman
menjelaskan bahwa proses pesta adat Nggua sama seperti yang dilakukan dalam kepercayaan iman
Khatolik , dari proses awal kerja-kerja yang dilakukan oleh para mosalaki dan fai walu ana kalo telah
menunjukan proses pelaksanaan dalam ekaristis Khatolik, hanya sedikit berbeda dalam penghayatan dan
memahami maknanya.
Dalam seminar sehari ini, berbagai informasi dan penjelasan para narasumber, menggambarkan bahwa
Pesta adat Nggua adalah salah satu acara yang diselenggarakan oleh masyarakat adat Saga dan masih
banyak lagi ritual adat lainnya yang belum dibahas. Pesta adat Nggua Saga, merupaka agenda tahunan
saat memulai proses awal menanam hingga panen dan merayakan keberhasilan. Semua siklus acara adat
menurut para mosalaki Saga menjadi narasumber utama bahwa ritus sangat erat hubungannya dengan
warisan leluhur dalam mempertahankan tanah dan mengatur tatanan kehidupan masyarakat adat yang
berakal dan bermoral.
Kesimpulan dan rekomendasi dari seminar sehari dalam acara Pesta Ada Nggua adalah antara lain
Pertama, mendokumentasikan kembali seluruh proses seremonial adat dan menghidupkan kembali
seluruh rangkaian acara adat dari warisan leluhur.
Ke-dua, para mosalaki mulai membenahi kelembagaan adat, sejarah asal usul dan sejarah tanah adat Saga.
Ke-tiga, memberitahukan pemerintah kabupaten untuk mengakui dan menata kembali tanah, hasil dari
warisan leluhur masyarakat Saga,
Ke-empat, mulai mewarisi seluruh proses regenerasi penerus untuk mempertahankan adat dan
pelestariannya dan mulai membangun kampung adat untuk mengadap arus perubahan zaman.
Ke-lima, kembali melakukan Penataan kampung adat Saga sebagai Ikon pariwisata dengan tidak
menghilangkan Budaya asli masyarakat adat Saga.**** Yulius Fanus Mari, Infokom AMAN Nusa Bunga

Hampir setiap komunitas adat memiliki hari-hari besar yang disakralkan. Siklusnya ada yang tahunan,
empat, atau delapan tahun (Windu). Perhitungannya ada yang berdasar kalender bulan, matahari, musim
atau ciri-ciri alam lainnya. Masyarakat adat Donggo di dataran tinggi Mbawa-Bima misalnya, memiliki
hari raya Raju. Di Enrekang, masyarakat Kaluppini juga punya ritus delapan tahunan sbgmn masyarakat
Bayan di Lombok Utara. Demikian juga masyarakat Saga di pegunungan Kelimutu-Ende, setahun sekali
melakukan ritus Nggua.
Ritus Nggua ini biasanya digelar pada bulan Agustus/September. Secara umum, ritual ini adalah semacam
upacara/pesta syukur. Rangkaian acaranya cukup banyak dan berlangsung berhari-hari. Dimulai dari
acara do'a dan persembahan-persembahan, bersih-bersih kampung adat dan seluruh perlengkapan adat
(ke'dhu bene), berbagi hasil panen (tu are tu), sidang para Mosalaki (nogo), dan menari memutari tubu
Musu (Gawi).
Secara umum seluruh rangkaian acara memiliki aturan dan tatacara yang lumayan rumit. Banyak sekali
pantangan/taboo yang harus ditaati. Inti dari semua itu adalah mengucap rasa syukur kepada Tuhan
beserta alam, penghormatan kepada para leluhur yang telah berjasa membangun perkampungan dan
mewariskan tradisi, menyelesaikan berbagai sengketa dan persoalan, meneguhkan kembali posisi adat
dalam kehidupan, serta berbagi rizki/kegembiraan.
Seperti hari ini, saya sempat menyaksikan para dewan adat (Mosalaki) bersidang. Ada yang terbuka,
biasanya terkait dg persoalan umum, dan ada sidang/pertemuan khusus di dalam balai adat. Ada salah
seorang warga mengadukan persoalan, tentang saudara mereka yang meninggal padahal pada hari-hari ini
tidak boleh ada aktivitas 'melukai tanah' shg harus menunda upacara penguburan. Para Mosalaki
kemudian saling beradu pendapat dan disepakati utk menentukan denda berapa babi yang harus dipotong
agar bisa dilakukan upacara pemakaman.
Terkait dengan Taboo atau larangan/pantangan, banyak sekali yang harus dilakukan. Masyarakat
misalnya tidak boleh membakar sesuatu di kebun, sampah sekalipun. Bahkan untuk memasuki kompleks
rumah adat, ada jalur-jalur yang tidak boleh dilewati dan bertegur sapa dijalan atau membunyikan
sesuatu. Apabila dilanggar selain terdapat sangsi adat, juga dipercaya akan terkena tulah alam. Semua itu
mgkin terlihat merepotkan, tetapi tidak bagi masyarakat di Saga. Sebab serangkaian ritus beserta tata
aturan itu merupakan proses membangun harmoni terhadap alam & sesama, serta merupakan hasil
pembelajaran selama ratusan bahkan ribuan tahun

Anda mungkin juga menyukai