Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH PENGETAHUAN KEPASIFIKAN

Dibuat Oleh:

Larry Ballamu (221011020018)

Dosen Pengampu :

Adelfia Papu M.Si

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

2023
KATA PENGANTAR

Pertama-tama patutlah kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini diajukan
sebagai tugas mata kuliah pengetahuan kepasifikan.
Tidak lupa juga saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
pengetahuan kepasifikan yang telah turut membimbing dan memberikan materi dan pengetahuan
bagi saya.
Harapan saya semoga makalah ini dapat membantu menambah pengalaman dan wawasan
bagi para pembaca. Kritik dan saran sangat saya butuhkan. Sehingga saya dapat memperbaiki
setiap kesalahan dalam membuat makalah, isi dari makalah, dan eksperimen yang di lakukan
supaya dapat menjadi lebih baik kedepannya.

                                                                                    Sorong, 01 Mei 2023


                                                                                    Penyusun,

                                                                                               Larry Ballamu


Latar Belakang

Keberagaman (heterogenitas) bangsa Indonesia adalah realitas yang tak terbantahkan.


Suku, agama, dan ras yang berbeda disatukan dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Hal ini
merupakan kekayaan yang perlu dipelihara dan dirawat secara berkesinambungan oleh seluruh
elemen bangsa. Jika tidak demikian, keberagaman dapat berpotensi menimbulkan persoalan.

Keberagaman, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menimbulkan pecahnya persatuan dan
kesatuan bangsa, dan itu dapat menghambat pembangunan nasional. Oleh karena itu, para
penganut agama hendaknya menyadari bahwa kerukunan hidup beragama sangat penting dan
bermanfaat dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Papua adalah salah satu provinsi paling besar yang ada di Indonesia dan terletak di
wilayah timur Indonesia. Selain memiliki alam yang melimpah, Papua juga kaya akan
kebudayaan serta tradisinya. Seperti daerah lain di Indonesia, Papua juga kental akan adat
istiadat turun temurun serta masih melestarikan tradisinya hingga sekarang. Tradisi yang masih
dipelihara oleh masyarakat Papua ini termasuk upacara adat Papua yang dilaksanakan pada
momen tertentu. Upacara adat Papua saat ini tidak hanya sekadar upacara belaka, akan tetapi
juga menjadi obyek wisata bagi para wisatawan.

Tujuan

 Mempelajari dan memahami contoh pengamalan Potensi sosial budaya dan sejarah di
Papua
 Mengetahui dan menganalisa kasus sosial dan budaya di Papua

Pembahasan

1. Budaya Bakar Batu, Ritual Masak Bersama-sama

Budaya Papua yang pertama adalah upacara bakar batu yang menjadi salah satu bentuk
syukur bagi masyarakat Papua. Upacara ini merupakan tradisi, di mana masyarakat Papua
melakukan sebuah ritual memasak bersama-sama. Pada perkembangannya, upacara bakar batu
ini memiliki nama lain yang berbeda-beda, seperti Barapen di Jayawijaya, Kit Oba Isago di
Wamena, dan Mogo Gapil di Paniai.

Biasanya, upacara bakar batu dilakukan oleh suku pedalaman seperti Nabire, Lembah Baliem,
Pegunungan Tengah, Paniai, Pegunungan Bintang, Yahukimo dan Dekai. Dalam sejarahnya,
upacara bakar batu bagi masyarakat di pegunungan tengah Papua merupakan pesat untuk
membakar daging babi. Akan tetapi, sebagai bentuk toleransi, saat ini masyarakat Papua tidak
harus atau tidak selalu membakar babi, terkadang mereka juga membakar sapi, kambing maupun
ayam.

Upacara batu bakar dilakukan untuk menyambut berita kebahagiaan seperti


dilaksanakannya perkawinan adat, kelahiran, penobatan kepala suku hingga mengumpulkan
prajurit ketika akan pergi berperang. Selain itu, upacara bakar batu juga menjadi simbol dari
kesederhanaan yang dimiliki oleh masyarakat Papua yang selalu menjunjung persamaan hak,
keadilan, ketulusan, kekompakan, kejujuran hingga keikhlasan yang membawa perdamaian.
Upacara bakar batu disebut bakar batu, karena prosesi membakar batu hingga batu tersebut panas
membara, lalu setelah batu tersebut panas barulah masyarakat akan menumpuk makanan di
atasnya untuk dimasak hingga matang.

Proses pesta bakar batu biasanya terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap persiapan, bakar babi,
dan makan bersama. Tahap persiapan diawali dengan pencarian kayu bakar dan batu yang akan
dipergunakan untuk memasak. Batu dan kayu bakar disusun dengan urutan sebagai berikut, pada
bagian paling bawah ditata batu-batu berukuran besar, di atasnya ditutupi dengan kayu bakar,
kemudian ditata lagi batuan yang ukurannya lebih kecil, dan seterusnya hingga bagian teratas
ditutupi dengan kayu. Kemudian tumpukan kayu tersebut dibakar hingga kayu habis terbakar dan
batuan menjadi panas.

2. Menangkap Ikan Laut : Snap Mor

Snap Mor adalah budaya menyebar jaring atau menangkap ikan di Biak, Papua.
Kegiatan snap mor bisa dilakukan pada waktu terbaik, biasanya pada musim meti (bulan mati)
saat bulan tidak purnama, atau masa air surut lebih panjang, siang hingga malam hari, atau biasa
disebut air tidak pasang, biasanya antara bulan Maret hingga Agustus. Namun di bulan lain juga
dapat dilakukan tetapi biasanya air baru akan surut pada waktu malam, sehingga snap mor hanya
bisa dilakukan pada malam hari yang ditandai oleh angin timur dan curah hujan yang dominan,
serta dilakukan di daerah yang dangkal. Snap mor berasal dari bahasa Biak,
yaitu snap dan mor. Snap adalah koral atau batu kecil yang terhampar di muara sungai, kali, dan
kanal, sedangkan kata mor berarti timbunan laut atau ikan sebagai butir-butir rejeki. Hingga
secara umum orang Biak menyebut snap mor sebagai sebuah kegiatan menangkap ikan bersama-
sama di waktu air surut dengan menggunakan jaring, tombak atau kalawai, dilakukan di area
kampung sendiri dan biasanya juga mengundang warga dari kampung yang lain. Jenis alat-alat
yang digunakan pada kegiatan snap mor, yaitu:

-      Jaring, jenis jaring yang digunakan berukuran dua inci dengan panjang kurang lebih 500
meter atau sesuai kebutuhan berdasarkan luas area snap mor;
-    Kalawai, biasanya dibuat dari besi beton kecil atau jari-jari roda sepeda berjumlah tiga atau
empat mata tombak yang diikat bersamaan lalu ditancapkan pada bambu atau pipa besi
berukuran ½ inci;
-    Ret ,asanya dibuat dari besi beton dengan ukuran sesuai keinginan dengan panjang minimal
satu meter. Pada pangkal diberikan ikatan dari karet ban dalam agar memiliki daya pegas
untuk memanah ikan
Pada masa lalu sebelum snap mor dilaksanakan, para tetua kampung yang telah ditunjuk
melakukan proses ritual adat di pesisir pantai yang dikenal sebagai “Ritual Pele Jaring”. Hal ini
bertujuan untuk memanggil ikan serta memohon keselamatan. Ritual adat dilakukan oleh orang
tua yang dianggap pemimpin di kampung tersebut, diawali dengan membakar daun kelapa dan
memasang lampu gas sebagai penerang di lokasi kegiatan. Masyarakat kemudian berkumpul
membentuk lingkaran dan pemimpin kegiatan snap mor berdoa untuk kelancaran dan
keselamatan kegiatan snap mor. Selanjutnya, ritual ini dilaksanakan dengan
memberikan kakes (sesajen) berupa pinang dan rokok yang diletakkan pada daun tertentu lalu
dihanyutkan ke laut. Setelah itu jaring ditebar dan pada pinggiran jaring diikat daun kelapa muda
sebagai tanda tidak boleh ada penduduk yang mencari ikan hingga waktu yang ditentukan
sampai snap mor siap dilaksanakan. Kehidupan budaya dan keagamaan yang erat membawa
proses ritual di masa kini berubah seiring zaman. Saat ini ritual yang dilakukan melalui Gereja
dengan berdoa bersama. Setelah itu penduduk dalam waktu dua atau tiga minggu tidak boleh
menangkap ikan dengan maksud agar ikan tidak takut ke pesisir pantai sehingga pada saat snap
mor ikan berlimpah.
Snap mor menampilkan keaslian Budaya Biak. Sebagai masyarakat yang tinggal
berdampingan dengan pantai, sebagian dari mereka hidup dengan memanfaatkan kekayaan laut.
Cara tradisional ini dipilih agar ekosistem ikan di laut tetap terjaga dan bisa dinikmati hingga ke
anak cucu, sebagai upaya menjaga identitas budaya leluhur yang merupakan bentuk kearifan
lokal yang tak lekang oleh waktu dan jaman. Perwujudan ini memupuk kebersamaan bahwa
manusia adalah bagian dari anggota masyarakat yang hidup bersama dan yang menghasilkan
kebudayaan. Sebuah budaya bangsa tinggal di hati dan di dalam jiwa rakyatnya (Mahatma
Gandhi).
Seiring dengan berkembangnya teknologi serta pembaharuan dalam stuktur sosial budaya
masyarakat saat ini,dimana sebagian besar masyarakat sangat menyukai akan perkenalan
terhadap budaya – budaya baru, maka kegiatan snap mor ini dimasukkan dalam Program
Pemerintah Kabupaten Biak Numfor melalui Dinas Pariwisata dengan mengadakan Festival
Budaya Munara Wampasi yang diselenggarakan pada bulan Juli. Sebagai upaya untuk
melestarikan budaya snap mor, maka sejak tahun 2012 Pemda Kabupaten Biak,
menyelenggarakan Festival Biak Munara Wampasi, beragam acara budaya ditampilkan, dan
sejak tahun 2018 Festival Biak Munara Wampasi menjadi agenda tahunan wisata kabupaten
Biak. Munara Wampasi merupakan serangkaian acara yang digelar di Kabupaten Biak Numfor,
antara lain snap mor (menangkap ikan di air laut surut/meti),  apen beyeren (berjalan kaki di atas
batu panas), lari Biak 10 km, perjalanan kapal pesiar ke objek wisata, pameran anggrek dan
budaya, hiburan band, kesenian dan tari khas Biak (tari pancar).
Snap mor adalah bentuk rasa syukur atas berkah Tuhan berupa kekayaan laut yang
melimpah. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan budaya sangat menonjol, sehingga sangat layak
untuk dipelihara dan dilestarikan.  Seiring dengan pembauran masyarakat saat ini, Biak Numfor
merupakan daerah yang memiliki toleransi beragama yang kuat dan mempunyai seni dan
kebudayaan yang beragam. Sehingga, bisa membawa kenyamanan pada wisatawan yang
datang. Kondisi tersebut terlihat dari jumlah kunjungan wisatawan asing dan domestik yang
meningkat setiap tahun untuk menyaksikan snap mor sebagai rangkaian acara pada festival
Munara Wampasi. Kegiatan ini semakin memperlihatkan keberadaan pariwisata Indonesia dari
sisi lain, yakni budaya.
Snap mor merupakan upaya menjaga serta melestarikan adat istiadat dan budaya asli
masyarakat Biak. Kini snap mor menjadi acara yang sangat dinantikan setiap tahun oleh
masyarakat Kabupaten Biak Numfor. Selain kegiatan ini menjadi bagian dari festival, terdapat
keunikan tersendiri dalam pelaksanaanya. Snap mor memiliki sensasi seperti “berperang”
melawan ikan. Karena saat snap mor dilaksanakan ada ratusan bahkan ribuan penduduk yang
masuk ke lokasi snap mor dengan memegang kalawai atau ret, berlomba mendapatkan ikan yang
jumlahnya belum tentu sebanyak yang diharapkan. Pengalaman ini menumbuhkan rasa bahagia
bagi setiap keluarga yang mengikuti kegiatan ini. Snap mor  membuat kerukunan semakin erat
antar suku yang belum tentu dapat kita jumpai di daerah lain.

3. Tradisi Nasu Palek dan Iki Palek


Upacara adat Nasu Palek merupakan sebuah tradisi mengiris telinga yang dilakukan oleh
masyarakat dari Suku Dani. Tradisi Nasu Palek dilakukan sebagai wujud dari rasa duka cita atau
sedih ketika ada seorang anggota keluarga yang meninggal dunia. Bagi masyarakat Suku Dani,
setiap irisan telinga yang berkurang adalah sebuah bentuk penghormatan pada ibu, ayah dan
saudara yang meninggal dunia.

Upacara adat Iki palek masih berhubungan dengan upacara adat Nasu Palek. Bedanya dengan
upacara adat Nasu Palek, upacara adat Iki Palek merupakan upacara potong jari.

Upacara potong jari akan dilaksanakan ketika ada salah satu anggota keluarga yang
meninggal dunia. Tujuannya sama seperti upacara adat Nasu Palek, yaitu sebagai wujud
kesedihan atau duka cita atas kepergian anggota keluarga. Tradisi ini dilakukan, karena menurut
masyarakat Suku Dani menangis saja tidak cukup untuk mewakili rasa sedih yang dirasakan oleh
seseorang. Selain itu, masyarakat Suku Dani juga beranggapan bahwa kehilangan salah satu
anggota keluarga sama seperti kehilangan sebagian kekuatannya.

Upacara Iki Palek dilaksanakan dengan memotong satu ruas jari sebagai suatu simbol atas
kesedihan akibat kepergian orang-orang terdekat. Proses pemotongan satu ruas jari tersebut,
biasanya dilakukan dengan menggunakan kapak maupun pisau tradisional atau bisa pula dengan
menggigit jari hingga putus. Pada umumnya, upacara Iki Palek ini hanya dilakukan oleh kaum
wanita saja. Akan tetapi terkadang kaum laki-laki juga turut melakukan upacara Iki Palek.

Study Case

1. Potensi Budaya Yang Belum Terkelola Dengan Baik

Papua memiliki potensi sumberdaya budaya yang kaya, namun hingga saat ini belum
dikelola dengan baik. Baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota, anggaran untuk
kebudayaan tiap tahunnya terlalu kecil, hal ini tidak sebanding dengan dana otonomi khusus
Papua.
Dari sisi masyarakat, masalah krusial dalam pengelolaan sumberdaya budaya Papua adalah
masih terbatasnya pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang warisan budaya,
terutama generasi muda.

Selain itu, pengelolaan sumberdaya budaya Papua baru sebatas penyelenggaraan event-event
festival budaya. Sedangkan situs-situs arkeologi dan budaya materi (warisan budaya takbenda)
belum diperhatikan. Instansi kebudayaan pada pemerintah daerah tidak memiliki pegawai yang
berpendidikan arkeologi.

Permasalahan pengelolaan sumberdaya budaya di Papua kadang juga tidak dipahami oleh elite
politik setempat. Kepala daerah hasil pilkada terkadang dalam mengisi lowongan kepala dinas
kebudayaan menunjuk pegawai yang bukan berlatar belakang pendidikan antropologi atau
arkeologi, sehingga dalam melaksanakan tugasnya masih meraba-raba alias mulai dari awal.

Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa ganti kepala daerah, ganti pula kepala dinas,
sehingga hasil akhirnya, kebijakan sering berubah-ubah dan program kerja asal jalan. Selain itu
untuk beberapa daerah, dalam satu dinas, bidang kebudayaan digabung dengan bidang lain
seperti pemuda dan olah raga, bahkan adapula dinas sosial budaya dan pariwisata.

Perlu sinergi kerja antar masyarakat, pemerintah daerah dan instansi pusat di daerah agar
program-program kebudayaan dapat berjalan efektif, saling mendukung dan menguatkan.

2. Kontroversi Penggunaan Mahkota Cendrawasih

Burung Cenderawasih merupakan burung istimewa yang berasal dari Tanah Papua.
Burung ini telah menjadi simbol atau mahkota kebesaran ondoafi atau raja.Tentu saja larangan
memakai Burung Cenderawasih secara sembarangan sebagai mahkota telah berlaku di Jayapura.
Bahkan ada sanksi adat yang bakal menanti masyarakat yang melanggarnya.

Ketua Dewan Adat Suku Sentani, Odofolo Orgenes Kaway menegaskan, mahkota keondoafian
tidak bisa dipakai sembarang untuk acara-acara seremonial. Sebab, Cenderawasih merupakan
lambang kebesaran Ondoafi yang sangat sakral dan tidak bisa digunakan sembarangan.

Namun, berawal dari interaksi suku Papua dengan bangsa Eropa, nilai dari seekor cenderawasih
bergeser. Bulu burung ini awalnya dipakai sebagai hadiah kepada raja-raja Eropa. Lama
kelamaan, dia dipakai sebagai alat tukar dengan barang-barang berharga lainnya. Dewasa ini,
cenderawasih justru menjadi sekadar suvenir. Dalam kata-kata Rosaline Rumaseuw, Ketua
Umum Cendikiawan Perempuan Papua, “mahkota ini telah hilang nilai budaya diganti dengan
nilai ekonomi. Siapa saja dapat membelinya untuk digunakan pada festival-festival budaya.”

Jika mahkota cenderawasih benar-benar diberikan sebagai cendera mata, maka pemerintah
seakan-akan mengaminkan kata-kata ini. Nilai kultural dan kesakralan dari mahkota
cenderawasih akan jatuh hingga akhirnya pakaian ini hanya menjadi mode busana lainnya. Kita
akan kembali pada abad di mana bulu cenderawasih sekadar menjadi jambul pada topi-topi
bangsawan Eropa. Ironisnya, pemerintahlah yang bergerak sebagai promotor utama.

Lebih daripada itu, pemberian cendera mata akan memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah
terhadap usaha konservasi spesies yang dilindungi. Dengan menyebarluaskan produk hewan
dilindungi, PON, sebuah acara nasional yang digelar oleh pemerintah Indonesia, akan melanggar
peraturan yang dibuatnya sendiri.

Bisa jadi hanya akan ada satu atau dua mahkota yang disematkan selama PON XX berlangsung
dan itu tidak mengganggu populasi cenderawasih secara langsung. Namun, ini tidak berarti
masalah menjadi selesai. Dengan menampilkan cendera mata cenderawasih walaupun barang
satu ekor, pemerintah memberikan lampu hijau kepada calon-calon oknum untuk memburu dan
memperjualbelikan burung cenderawasih dengan lebih leluasa. Efek domino dari kegiatan ini
seharusnya terlalu kentara untuk tidak dapat dilihat oleh para pemangku kebijakan.

Fakta bahwa beberapa spesies cenderawasih masih pada status kekhawatiran rendah (least
concern) dalam daftar IUCN tidak dapat dijadikan alasan. Seperti yang telah dikatakan
sebelumnya, rendahnya status burung cenderawasih dalam daftar IUCN lebih merefleksikan
lemahnya penelitian cenderawasih ketimbang memperlihatkan populasi asli burung ini di alam
liar. Lagipula, sebanyak apapun jumlahnya, hewan endemik seperti cenderawasih akan selalu
lebih rentan punah karena mereka tersebar pada wilayah yang sangat terbatas.

Kabar baiknya, Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, menegaskan bahwa mahkota cenderawasih
tidak akan diberikan sebagai cendera mata bagi peserta PON XX. Jika memang akan ada, yang
akan diberikan adalah mahkota dengan bulu cenderawasih imitasi. Namun, sampai benar-benar
bisa dibuktikan bahwa mahkota cenderawasih tidak akan diberikan sebagai cendera mata,
masyarakat dan pemerintah perlu tetap melakukan pengawasan agar tidak terjadi pelanggaran
yang dapat membahayakan spesies burung cenderawasih manapun.

Kesimpulan

Upacara bakar batu merupakan tradisi, di mana masyarakat Papua melakukan sebuah
ritual memasak bersama-sama. Upacara batu bakar dilakukan untuk menyambut berita
kebahagiaan seperti dilaksanakannya perkawinan adat, kelahiran, penobatan kepala suku hingga
mengumpulkan prajurit ketika akan pergi berperang. Snap Mor adalah budaya menyebar jaring
atau menangkap ikan di Biak, Papua. Kegiatan snap mor bisa dilakukan pada waktu terbaik,
biasanya pada musim meti (bulan mati) saat bulan tidak purnama, atau masa air surut lebih
panjang, siang hingga malam hari, atau biasa disebut air tidak pasang, biasanya antara bulan
Maret hingga Agustus. Upacara adat Nasu Palek merupakan sebuah tradisi mengiris telinga yang
dilakukan oleh masyarakat dari Suku Dani. Tradisi Nasu Palek dilakukan sebagai wujud dari rasa
duka cita atau sedih ketika ada seorang anggota keluarga yang meninggal dunia. Upacara adat Iki
palek masih berhubungan dengan upacara adat Nasu Palek. Bedanya dengan upacara adat Nasu
Palek, upacara adat Iki Palek merupakan upacara potong jari.
Daftar Pustaka
M. Hardi. 10 Ragam Upacara Adat Papua dan Filosofi Di Baliknya. Gramedia Blog.
Diakses pada 14 Mei 2023, dari https://www.gramedia.com/literasi/upacara-adat-papua

http://beautiful-indonesia.umm.ac.id/id/jelajah-daerah/papua-barat/kat/upacara-adat.html

Ilham, Ardiansyah Noor. (2020). Menjaga Identitas Budaya Snap Mor "Perang Melawan
Ikan". Artikel Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Diakses pada 14 Mei 2023, dari

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-biak/baca-artikel/13246/Menjaga-Identitas-Budaya-
Snap-Mor-Perang-Melawan-Ikan.html

Suroto, Hari. (2017). Papua dan Potensi Budaya Yang Belum Terkelola Dengan Baik.
CNN Indonesia. Diakses pada 14 Mei 2023, dari

https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20171128153650-445-258643/papua-dan-potensi-
budaya-yang-belum-terkelola-baik

Aditya. (2021). Mahkota Cenderawasih Bukan Untuk Cendera Mata. Artikel Garda
Animalia. Diakses pada 14 Mei 2023, dari https://gardaanimalia.com/mahkota-cenderawasih-
bukan-untuk-cendera-mata

Anda mungkin juga menyukai