Anda di halaman 1dari 3

Tuai Apresiasi, Buku “Penguasa Dinasti Han, Leluhur

Minahasa” Dibedah Di FIB Unsrat

MANADO – Buku “Penguasa Dinasti Han, Leluhur Minahasa” yang ditulis Weliam H Boseke,
mendapat apresiasi yang tinggi dari kalangan pemerhati sejarah dan budaya di Sulawesi Utara.
Apresiasi ini terungkap dalam Bedah Buku Penguasa Dinasti Han, Leluhur Minahasa. Yang
digelar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Samratulangi Manado, Kamis (8/3/2018).

Bedah buku yang dibuka oleh Dekan FIB, Drs. Ferry Mawikere, M.A, menghadirkan kalangan
akademisi yang menjadi pembahas yakni, Drs. Fendy Parengkuan, Drs. Alex Ulaen, D.E.A, Dr.
Djeinie Imbang, Dr. Ivan Kaunang, Drs. Fentje Kodong, M.A, dengan moderator Dr. Jultje
Aneke Rattu.

Buku ini juga diharapkan dapat diseminarkan dan dibedah secara terbuka di luar Kampus,
dengan melibatkan seluruh kalangan masyarakat Minahasa. Seperti yang disampaikan oleh
Dekan FIB, Drs. Ferry Mawikere, M.A, pada sambutannya saat membuka acara tersebut.

“Atas nama institusi dan panitia, kami menyambut baik dengan hadirnya buku ini. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam kegiatan hari ini. Semoga
bermanfaat dan diharapkan agar kegiatan ini bukan hanya dilaksanakan dikalangan akademisi,
tapi juga bisa melibatkan seluruh kalangan,” ungkapnya.

Dalam buku ini, penulis mengungkap titik terang asal usul leluhur orang Minahasa yang selama
ini diketahui hanya dari mitos dan cerita fiksi yang mengambang soal akurasi keberadaan
faktanya. Hal ini dapat dicermati dari penjelasan Prof. Perry Rumengan, yang juga penulis dalam
pengantar buku ini.

Penelitian linguistik Welliam Boseke selama 10 tahun di Tiongkok telah memberi referensi
ilmiah bagi penelusuran leluhur Tou Minahasa dengan ditemuinya fakta-fakta kesesuaian
kosakata bahasa Han dan bahasa yang dipakai orang Minahasa.

Dia sangat yakin dengan bukti dan fakta baru sejarah keturunan Leluhur Minahasa dengan juga
menguraikan 3 sosok sentral yang selama ini dipahami oleh orang Minahasa yaitu “Toar –
Lumimuut – Karema” yang menjadi tokoh dalam Legenda Minahasa selama ini.

Menurut penulis, ketiga tokoh tersebut adalah Manusia Histori dan bukanlah Manusia Mitos
sebagaimana dipahami selama ini. Dengan menggunakan pendekatan linguistik, penulis
mendapatkan banyak kesamaan bahasa yang dipakai oleh orang Minahasa adalah berasal dari
bahasa yang juga dipakai oleh bangsa Han di Tiongkok yang berbentuk mono sylable.

Ia pun mulai mencari tahu dan meneliti secara serius, mengumpulkan bukti-bukti tidak hanya
di Minahasa tapi juga di China. Dengan menganalisis perbandingan bahasa dalam sejarah
(historical comparative linguistic) serta dengan memahami cara membaca Pin Yin, Weliam
mendapati begitu banyak kata penting dalam bahasa Minahasa yang ternyata merupakan serapan,
bahkan sesungguhnya adalah bahasa Tiongkok.

Kata-kata tersebut ternyata telah berubah secara struktur dan bentuk tapi bunyi masih
menunjukkan asal kata. Melalui kajian linguistik, penulis menemukan fakta bahwa nyanyian
sendu “Karema”, yang dibawakan oleh Tonaas Walian dalam doa-doa ritual adat Minahasa,
bukanlah sekadar nyanyian doa biasa.

Nyanyian itu memuat ungkapan hubungan batin mendalam tak terputus antara anak keturunan
dengan leluhur mereka, yaitu para pejuang dan bangsawan dinasti Han raya.

Nyanyian sendu “Karema” terhubung dengan kisah perang saudara di Tiongkok yang
mengakibatkan tragedi terpisahnya anak dari orangtua.

Prof Perry Rumengan yang memberi kata pengantar dalam buku “Penguasa Dinasti
Han, Leluhur Minahasa” tersebut mengatakan, dalam teori etnomusikologi nyanyian adalah bukti
sejarah yang jujur mengandung nilai, moral, kondisi sosial, alam, dan semua fenomena yang
ditangkap dan dihayati masyarakat setempat.

Ia mencontohkan Rumages dan Sazani yang merupakan bentuk nyanyian doa


masyarakat Minahasa, dan dibawakan Tonaas Walian (pemimpin upacara ritual).

Dalam nyanyian ritual yang pertama dibawakan oleh Karema dan diturunkan kepada para
Walian itu tersingkaplah rahasia nama-nama fam Minahasa yang terangkai menjadi satu
bagaikan litani pujian penuh hormat (malesung) kepada A Mang Kai Shu Ru An(yang tidak lain
adalah Sang Kaisar) dan para pendekar yang setia kepadanya.

Merekalah sesungguhnya yang disebut Po Yuan (nenek moyang asal) atau Opo (pu yun) dari
orang Minahasa.

Menurut Dosen Unima ini, penulis membuktikan ada begitu banyak kata dan ungkapan
Minahasa, seperti nama keluarga (fam), nama kampung atau wilayah, doa nyanyian ritual kuno,
syair lagu dan tarian, nama benda hidup dan benda mati, dan lain-lain bisa ditelusuri kembali
asal-usul dan konteksnya, khusus dalam bahasa dan sejarah dinasti kekaisaran Han di Tiongkok,
sampai abad ke-3 Masehi, yakni masa perang saudara Tiga Negeri, San Guo (Sam Kok).

Yang cukup mencengangkan adalah kisah Toar-Lumimuut yang selama ini dianggap legenda
mitologis untuk menerangkan asal-usul etnis Minahasa.

Penelitian Weliam membuktikan bahwa Toar (Tou Erl) dan Lumimuut (Lui Mi Mu Wu Ti)
adalah manusia sejarah, tapi juga bukan anak dan ibu.

Mereka disebut saling menyukai dan oleh Karema (Kai ren mu) dimohonkan restu untuk
dinikahkan dari arwah/leluhur kaisar (Xian/Shen Wong = Sien pung) dengan ritual adat.
Karema adalah tokoh sejarah di negeri Han, yaitu wanita yang bertugas mengurusi ritual doa
dalam istana.

Akhirnya Weliam menyimpulkan bahwa leluhur Minahasa berakar serta bertali-temali dengan
eksistensi para pejuang dan keturunan dinasti kekaisaran Han.

Pertanyaan tentang tiadanya tradisi tulisan yang dibawa para leluhur itu, dijawab dengan
penegasan bahwa mereka yang masuk ke tanah Minahasa ini dilukiskan sebagai “tuur in tana”
(tu uxin dao na, artinya: “tanah tempat tiba tanpa kesengajaan”), adalah bocah-bocah yang belum
menyerap ilmu pengetahuan.

Kata Minahasa sebenarnya adalah Min na hai zi (rakyat yang membawa anak-anak dari para
penguasa), mereka itulah yang kemudian hari disebut waraney atau dalam bahasa Han
disebuthua ren na yi, artinya “Keturunan penguasa dinasti Han”. (Jeff)

Anda mungkin juga menyukai