Anda di halaman 1dari 12

Masyarakat Jawa dalam Cerita Panji Asmarabangun: Kajian Sosial

Budaya dan Ekonomi


Desy Kusuma Putri, Farah Nabila Kuranta, Jeny Dwi Pratiwi, Mahatma Fattah Romansa,
Ricca Mailatul Mauliyah, Rizky Agita Rahmadani
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember

Abstrak- Cerita panji asmarabangun merupakan sebuah cerita mitologi yang berkembang di
masyarakat Jawa khususnya wilayah Kediri, Jawa Timur. Cerita ini merupakan suatu kisah
cinta dari Panji Asmarabangun dengan Dewi Sekartaji yang menjadi fenomenal berkat cerita
tersebut sering dimainkan dalam pementasan. Dalam arkeologi sejarah cerita panji
asmarabangun dapat diamati dari berbagai aspek termasuk kehidupan sosial budaya dan
ekonomi masyarakat jawa yang ada dalam kisah tersebut. Penelitian ini menggunakan studi
kepustakaan dimana pada proses analisa peristiwa menggunakan sumber referensi dari
kepustakaan baik jurnal maupun buku.
Kata Kunci: Cerita Panji, Jawa, dan Masyarakat

Javanese Society in the Panji Asmarabangun Story: Socio-Cultural and


Economic Studies
Desy Kusuma Putri, Farah Nabila Kuranta, Jeny Dwi Pratiwi, Mahatma Fattah Romansa,
Ricca Mailatul Mauliyah, Rizky Agita Rahmadani
Faculty of Teacher Training and Education, Jember University

Abstract- The Panji Asmarabangun story is a mythological story that developed in Javanese
society, especially the Kediri region, East Java. This story is a love story between Panji
Asmarabangun and Dewi Sekartaji which has become phenomenal because the story is often
played in performances. In historical archeology, the story of Panji Asmarabangun can be
observed from various aspects, including the socio-cultural and economic life of the Javanese
people in the story. This research uses literature study where in the process of analyzing
events using reference sources from the literature, both journals and books.
Keywords: Panji Stories, Java, and Society

1
Pendahuluan
Dalam pengertian umum, Cerita Panji dapat disingkat menjadi Sastra Lisan. Sastra
ini berkisah tentang percintaan antara putra mahkota kerajaan Jengala Raden Panji
Asmarabangun (Inu Kertapati atau Panji Kudavanenpati) dan Dewi Sekartaji (Garuru
Chandrakirana), Kerajaan Panjal atau Putri Qadiri. Namun cinta terhadap pasangan cantik
ini tidak berjalan mulus. Kisah cinta banyak terjadi dalam bentuk petualangan dan
penyamaran, kemudian cerita Panji menciptakan banyak versi dan variasi dalam bentuk
dongeng dan cerita lainnya. Pada akhirnya pada tahun, mereka menjadi laki-laki dan
perempuan dan mampu memerintah Kerajaan Qadiri, namun terdapat berbagai
permasalahan. Ibaratnya tak pernah berhenti, nyatanya semakin banyak cerita baru yang
tercipta.
Sejarah Panji berkembang pesat seiring dengan tumbuhnya Kerajaan Majapahit,
menjadikannya kerajaan klasik terbesar dan terakhir di nusantara. Sebagai kerajaan besar
yang menguasai pulau-pulau, Majapahit memang pantas disegani oleh kerajaan di Asia
Tenggara. Pada zaman itulah, kisah Panji lambat laun menyebar ke seluruh Asia Tenggara
dengan nama Majapahit. Tak heran, masyarakat Asia Tenggara dan Semenanjung siap
mengangkat kisah Panji sebagai salah satu khazanah sastranya. Oleh karena itu, kisah Panji
sebenarnya merupakan simbol kejayaan Majapahit itu sendiri, dan simbol pencapaian
peradaban masyarakat Kedaton Jawa Timur pada masa pemerintahan Majapahit.
Kisah Panji mempunyai banyak ciri dan telah banyak dipelajari oleh para ulama.
Bahkan cerita asli Indonesia, cerita Panji yang berasal dari kerajaan Kadiri dan Jenggara
ternyata sudah menyebar hingga ke tanah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sumatra, Kalimantan,
bahkan Malaysia (Semenanjung Malaya), Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar. Kisah Panji
merupakan pusaka budaya yang tak ternilai harganya dan pernah menjadi kebanggaan
Kerajaan Majapahit, namun saat ini patut diakui dan menjadi kebanggaan masyarakat Jawa
Timur.
Warisan budaya yang konon berasal dari Jawa Timur hampir tidak dikenal di tanah
air dan tidak terlalu populer. Kisah Panji sebenarnya masih terpelihara dengan baik di Pulau
Bali (disebut Marat) dan lebih dikenal di Semenanjung Malaysia dengan sebutan Hikayat
atau di Thailand dengan sebutan kisah Inou dan nama Bosaba. Keadaan ini berdampak pada

2
semakin merosotnya berbagai seni pertunjukan yang menggunakan bahan cerita Panji
khususnya di Jawa Timur. Ibarat sebuah harta karun, kisah Panji harus dikelola sedemikian
rupa, beserta berbagai kreasinya, tanpa takut habis. Sebab, berbeda dengan sumber daya alam
yang habis setelah digali, Kisah Panji yang merupakan sumber daya budaya justru semakin
banyak digali.

Metode Penelitian
Pada penelitian ini kami menggunakan jenis/pendekatan penelitian yang berupa Studi
Kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan merupakan suatu studi yang digunakan
dalam mengeumpulkan informasi dan data dengan bantuan berbagai macam material yang
ada di perpustakaan seperti dokumen, buku, majalah, kisah-kisah sejarah, dsb
(Mardalis:1999). Studi kepustakaan juga dapat mempelajari beberbagai buku referensi serta
hasil penelitian sebelumnya yang sejenis yang berguna untuk mendapatkan landasan teori
mengenai masalah yang akan diteliti (Sarwono:2006). Studi kepustakaan juga berarti teknik
pengumpulan data dengan melakukan penelaahan terhadap buku, literatur, catatan, serta
berbagai laporan yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan (Nazir:1988).
Sedangkan menurut ahli lain studi kepustakaan merupakan kajian teoritis, referensi serta
literatur ilmiah lainnya yang berkaitan dengan budaya, nilai dan norma yang berkembang
pada situasi sosial yang diteliti (Sugiyono:2012).
Hasil dan Pembahasan
Cerita Panji dalam Dimensi Sejarah
Cerita Panji ini diperkirakan muncul pada tengah pertama abad XIII khususnya
menjelang lahirnya kerajaan Majapahit. Dalam catatan sejarah, setidaknya tahun 1375 cerita
Panji mulai populer di wilayah Jawa Timur. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya relief di
candi Penataran (1369) yang menggambarkan adegan Panji Kartala dihadap oleh panakawan
Prasanta (Supriyanto, Henri, 1997: 14). Lahirnya cerita Panji ini diperkirakan ada
hubungannya dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi pada masa sebelumnya.
Meskipun begitu, terdapat unsur-unsur kesamaan antara cerita Panji dengan keadaan dan
peristiwa sejarah yang terjadi sebelumnya.
Sejarah mencatat pada tahun 1049, sebelum turunnya tahta raja Airlangga di

3
Kahuripan membagi kerajaan menjadi dua untuk anak-anaknya dari istri selir. Pembagian
dua wilayah ini dibatasi dengan sungai Brantas. Pada sebelah timur sungai Brantas, wilayah
tersebut kemudian dinamakan Jenggala, dan di bagian barat sungai Brantas bernama Panjalu,
yang di kemudian hari terkenal dengan sebutan Kediri, atau Daha. Dimana memiliki arti
bahwa penguasa wilayah Jenggala dan Panjalu atau Kediri dalam sejarah adalah dua
bersaudara yang merupakan putra raja Airlangga (Hall, 1988: 68).
Selain itu, dalam sejarah juga tercatat bahwa Candra Kirana adalah permaisuri raja
Panjalu (Kediri) yang bernama Kameswara. Candrakirana sendiri adalah seorang putri yang
berasal dari Jenggala (Kartodirdjo dkk, 1975: 11). Artinya dua raja bersaudara itu pun masih
memperkuat hubungan kekeluargaannya melalui ikatan-ikatan perkawinan antar anggota
keluarga raja. Dalam sumber- yang tertulis seperti folklore cerita Panji, Jenggala dan Kediri
ini adalah dua kerajaan yang masing-masingnya dikuasai oleh dua raja kakak beradik, yaitu
Prabu Lembu Amiluhur (Jenggala) dan Prabu Lembu Amijaya (Kediri). Lembu Amiluhur
adalah kakak dari Lembu Hamijaya yang keduanya adalah putra Resi Gatayu di Kahuripan.
Sedangkan untuk nama ‘Candra Kirana’, di dalam cerita Panji adalah istri Panji
Asmarabangun atau juga dikenal dengan nama Inu Kertapati. Asmarabangun adalah putra
Prabu Lembu Hamiluhur dari Jenggala, dan Candrakirana, yang juga bernama Sekartaji
adalah putri Prabu Lembu Amijaya di Kediri.
Keberadaan raja Jenggala dan raja Kediri di dalam cerita Panji, dengan demikian
dapat dianalogikan sebagai dua penguasa wilayah Jenggala dan Panjalu dalam dimensi
sejarah yang merupakan putra-putra keturunan raja Airlangga. Adapun perbedaannya adalah
pada sosok Candrakirana, yang dalam cerita Panji adalah putri mahkota Kediri yang
dipertunangkan dengan putra mahkota Jenggala Inu Kertapati yang kemudian menggantikan
ayahnya sebagai raja Jenggala bernama Dewakusuma (Poerbatjaraka, 1968: 104). Kronologi-
kronologi peristiwa, dan kisah percintaan Asmarabangun dan Candra Kirana pun dalam
cerita Panji berkembang demikian luasnya dan penuh variasi, serta demikian pula perbedaan
sebutan nama tokoh tokoh utamanya.
Dari sini dapat dilihat bahwa penyusun pertama cerita Panji saat itu terinspirasi oleh
peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi pada kerajaan-kerajaan di Jawa Timur abad X sampai
dengan awal abad XIII. Maka dari itu dalam beberapa hal cerita Panji terlihat seperti babad.

4
Dimana babad berarti sebuah catatan-catatan sejarah yang dielaborasi dengan unsur-unsur
legenda dan mitos yang ditulis oleh pujangga keraton tentang sejarah kerajaan mereka, raja
dan kondisi kehidupan di wilayah itu sendiri. Disamping itu, serat babad ini bersifat subjektif.
Tokoh-tokoh sentral yang berperan di dalam peristiwa sejarah sering berlebihan dipuja puja,
atau diagung-agungkan.
Apa bila kita cermati dan menelaah lebih dalam, maka cerita panji ini terlihat sekilas
mirip seperti serat babad. Persoalannya bahwa catatan-catatan sejarah dalam bentuk serat
babad baru muncul pada sekitar abad XVIII. Maka dari itu, penyusunan cerita Panji pada saat
itu didorong oleh spirit penulisan sejarah model serat babad, sebagaimana ungkapan-
ungkapan suasana hati Mpu Prapanca ketika menulis Negarakertagama di periode Majapahit.
Justru dalam bentuk penceritaannya yang menyerupai serat babad maka lalu begitu elastis
dan adaptif terhadap unsur-unsur legenda dan mitos. Hal ini pula yang memungkinkan para
pujangga generasi generasi berikutnya cerita Panji mengembangkan cerita Panji sedemikian
rupa sehingga mengesankan cerita Panji sebagai cerita fiktif atau dongeng belaka.
Perbedaan-perbedaan versi cerita Panji itu pun sampai sekarang masih bisa dilacak,
baik cerita Panji dalam berbagai bentuk karya sastra maupun di dalam seni-seni pertunjukan
seperti halnya wayang bèbèr, wayang gedog, wayang topèng, dan gambuh yang berkembang
dalam bentuk-bentuk tradisi lisan di masyarakat. Cerita Panji dalam karya-karya seni sastra
itu pun masih dapat dibedakan antara versi Melayu dengan versi Jawa. Cerita Panji dalam
versi Melayu inilah yang kemudian berkembang sampai ke daerah daerah di semenanjung
Asia Tenggara. Di Jawa sendiri perbedaan versi juga terjadi yang disebabkan oleh kehendak
dan kreativitas personal dari masing masing pujangga sastra. Selain versi melayu dan Jawa,
cerita Panji juga memiliki versi yang berbeda dalam perkembangannya di Bali, dan ada
kaitannya dengan sistem religi dan kepercayaan mayoritas masyarakat setempat, yaitu
Hindu-Bali.

Sosok Panji, antara Mitologi dan Filosofi


Panji Asmarabangun dan Dewi Candrakirana, telah lama terdapat dalam mitologi
Jawa yang dianggap sebagai reinkarnasi Dewa Wisnu dan Dewi Sri. Dalam catatan Raffles,
Mitos Panji sebagai reinkarnasi Dewa Wisnu dan Dewi Candrakirana sebagai Dewi Sri

5
merupakan cerita yang dikembangkan oleh orang Jawa untuk menghormati dan memuliakan
Panji Asmarabangun dan Candrakirana (Sumaryono, 2011) . Mitos tersebut juga terdapat
pada Serat Kandha1. Dalam buku tersebut, menceritakan bahwa, saat Miluhur dalam
perjalanannya ke Keling (Ayah Panji Asmarabangun), ia melihat cahaya di pegunungan
Pruwata. Cahaya itu bersumber dari batu besar yang kemudian batu tersebut terbelah menjadi
dua. Ketika batu tersebut terbelah, muncullah seekor katak yang merupakan penjelmaan dari
Dewa Wisnu dan Dewi Sri. Jelmaan tersebut kemudian akan masuk untuk berinkarnasi pada
putra mahkota Jenggal yang akan lahir, yakni Inu Kertapati atau Asmarabangun. Serta, Dewi
Sri akan masuk untuk berinkarnasi pada putri mahkota Kediri yakni Sekartaji atau
Candrakirana.
Terdapat pula contoh lain dari cerita Panji, pada abad ke XX terdapat sebuah mitos
yang pernah ada di wilayah Karangbolong, Kebumen, Jawa Tengah. Pigeaud mengatakan
bahwa ketika upacara selametan memetik sarang burung walet yang mengadakan beberapa
kegiatan, salah satunya adalah seni pertunjukkan yang menampilkan cerita Panji dalam
bentuk drama tari topeng. Cerita yang dibawakan yakni “Rabine Panji” yang berarti
perkawinan Panji Asmarabangun. Cerita tersebut sangat menarik begi masyarakat setempat
karena, perkawinan tersebut bukanlah perkawinanan antara Panji Asmarabangun dengan
Dewi Candrakirana, melainkan Panji Asmarabangun dengan Nyai Rara Kidul. (Sumaryono,
2011)
Nyai Rara Kidul merupakan penguasa pantai selatan Jawa yang sudah dipercayai oleh
masyarakat pesisir selatan itu sendiri dengan mitologi yang dipercaya yakni benar adanya.
Mitos-mitos ini di kalangan orang-orang Asia termasuk wilayah Jawa, adalah bagian penting
yang memiliki sikap sosio-religius bagi masyarakat sekitarnya. Jika di wilayah Eropa mitos
dianggap sebagai fiksi belaka, namun di Jawa mengenai mitos Nyai Rara Kidul dianggap
benar karena adanya bukti upacara-upacara sesaji atau sedekah di laut yang dilakukan secara
rutin oleh masyarakat pesisir selatan Jawa.
Sosok Panji dalam entitas seni pertunjukan topeng di Cirebon meruapakan hal yang
berbeda. Sosok Panji tidak hanya sebagai mitos, namun sosok Panji memiliki unsur yang

1
Serat Kandha adalah salah satu buku babad di Jawa yang berisi tentang sejarah Jawa.

6
oentung dalam sebuah pemaknaan dan filosofinya bagi masyarakat Cirebon yang agamis
(Islam). Panji melambangkan batin yang suci dan juga bersih seperti seorang bayi yang baru
dilahirkan. Secara spiritual, sosok Panji adalah symbol keesaan atau dalam Bahasa setempat
“kang mapan ningkang siji” yang artinya sifat spiritual manusia yang mantap kepada Yang
Satu, yaitu Tuhan yang Maha Esa.

Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Jawa dalam Cerita Panji


Kisah Panji Asmarabangun mulai santer terdengar memasuki abad ke-13 ketika
Kerajaan Singasari berdiri. Beberapa pembaca ahli menyatakan, cerita Panji sudah ada sejak
sebelum zaman Kerajaan Majapahit, namun cerita ini baru dipopulerkan pada zaman
Kerajaan Majapahit. Perkembangan cerita Panji sangat pesat di waktu-waktu berikutnya, hal
tersebut dibuktikan dengan bagaimana cerita Panji begitu populer tidak hanya di wilayah
asalnya yakni Jawa Timur melainkan tersebar hingga ke Semenanjung Asia Tenggara, seperti
Malaysia dan Thailand. Kepopuleran cerita Panji di berbagai wilayah menyebabkan
terjadinya penyaduran sehingga muncul banyak versi cerita berbeda, dimana cerita-cerita
tersebut mengikuti kearifan lokal di wilayahnya masing-masing. Meski begitu, pada dasarnya
cerita Panji merupakan cerita khas Jawa yang didalamnya mengandung unsur nilai-nilai
sosial budaya masyarakat Jawa itu sendiri.
Cerita Panji merupakan cerita klasik asli Jawa dan dianggap sebagai pusaka warisan
budaya Indonesia. Cerita Panji hingga saat ini dipandang penting oleh pembaca, terutama
pembaca yang menekuni aktivitas seni dan budaya.Hal tersebut memantapkan cerita Panji
menjadi cikal-bakal pengembangan seni dan budaya dalam masyarakat Jawa khususnya dan
Indonesia umumnya. Cerita Panji identik dengan kisah cinta antara Panji Asmarabangun
dengan putri Galuh Candrakirana yang kental dengan nilai-nilai sosial masyarakat Jawa kala
itu. Misalnya saja mengenai bagaimana pandangan masyarakat Jawa mengenai bidang
pertanian yang digambarkan dalam cerita Panji melalui tantra dan kesuburan. Makna dari
tantra dan kesuburan adalah bagaimana seseorang ketika mengolah tanah atau lahan harus
seperti menyayangi seorang istri. Pada zaman ketika cerita ini hidup, konsep pertanian
organik berdasarkan kearifan Budaya Panji disebarluaskan dengan mudah lewat dongeng
yang diwariskan lewat bahasa tutur. Kehidupan sosial masyarakat Jawa kala itu juga dapat

7
dilihat dari bagaimana tokoh-tokoh dalam cerita Panji terutama Panji Asmorobangun dan
Galuh Candrakirana digambarkan sebagai sosok yang menjunjung tinggi nilai moral dengan
sikap serta perilaku yang begitu menjaga kebaikan.
Sebagai karya yang terlahir dari budaya Jawa, cerita ini dianggap pembaca sebagai
ikon Jawa Timur yang nilai-nilai dalam ceritanya tidak menjurus pada satu agama, daerah,
ataupun etnis tertentu melainkan nilai universal yang dapat dijadikan sebagai acuan hidup
bagi manusia pada umumnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila cerita Panji dapat
tersebar luas di wilayah Nusantara seperti Bali, Sunda, Lombok, Kalimantan, Palembang,
dan Melayu, serta berbagai negara di daratan Asia Tenggara. Cahyono (2009:8) meresepsi
Panji sebagai tokoh manusia biasa yang merupakan seorang Pangeran Jawa dengan
ketertarikan seni yang tinggi. Bharata Panji digambarkan sebagai sosok yang piawai dalam
bidang seni dan dianggap sebagai maecenas kesenian Jawa, dimana maecenas merupakan
merujuk pada tokoh penyokong bagi keberlanjutan seni dan budaya. Panji digambarkan
sebagai “pahlawan budaya” yang tidak terlepas dari upayanya melestarikan budaya Jawa
pada masa itu. Cerita Panji yang mengandung kearifan lokal wilayah Kediri ditunjukkan
melalui busana Jawa yang digunakan, perhatian pada alam sekitar, dan lingkungan seni yang
dikembangkannya dalam budaya Jawa.
Cerita Panji juga menjadi salah satu wadah dalam memahami kehidupan masyarakat
Jawa, khususnya pada masa-masa surutnya pengaruh Hindu Buddha di Nusantara. Karena
cerita ini menggambarkan suasana budaya dan geografi lokal mengenai kerajaan yang pernah
ada sekaligus sepak terjang kehidupan para ksatria di Jawa. Menurut Agus dalam seminar
Festival Panji Internasional 2018, cerita Panji merupakan gudang data kebudayaan yang
berkembang di Jawa sezaman dengan penggubahan kisah itu sendiri. Aspek budaya yang
dapat dilihat hidup dalam cerita Panji ialah persoalan mengenai birokrasi pemerintah
kerajaan dengan raja sebagai penguasa tertinggi sekaligus kepemilikan permaisuri sebagai
istri utama dan selir-selir yang turut tinggal di istana. Raja juga dikisahkan memiliki seorang
putra mahkota yang disebut yawuraja, dimana putra mahkota memiliki tanggung jawab
menggantikan raja yang turun. Kehidupan masyarakat Jawa tersebut digambarkan dalam
cerita Panji melalui Raden Panji yang merupakan seorang putra mahkota Kerajaan Jenggala
dengan pengirinya bernama Kadeyan. Selain itu, diceritakan juga mengenai pejabat-pejabat

8
istana lainnya seperti patih, rangga, demang, dyaksa, manguri, akuwu, lurah, pangalasan,
inya, gulang-gilang, dan tumenggung.

Kehidupan Ekonomi Masyarakat Jawa dalam Cerita Panji


Kisah Panji Asmarabangun mulai santer terdengar memasuki abad ke-13 ketika
Kerajaan Singasari berdiri. Beberapa pembaca ahli menyatakan, cerita Panji sudah ada sejak
sebelum zaman Kerajaan Majapahit, namun cerita ini baru dipopulerkan pada zaman
Kerajaan Majapahit. Perkembangan cerita Panji sangat pesat di waktu-waktu berikutnya, hal
tersebut dibuktikan dengan bagaimana cerita Panji begitu populer tidak hanya di wilayah
asalnya yakni Jawa Timur melainkan tersebar hingga ke Semenanjung Asia Tenggara, seperti
Malaysia dan Thailand. Kepopuleran cerita Panji di berbagai wilayah menyebabkan
terjadinya penyaduran sehingga muncul banyak versi cerita berbeda, dimana cerita-cerita
tersebut mengikuti kearifan lokal di wilayahnya masing-masing. Meski begitu, pada dasarnya
cerita Panji merupakan cerita khas Jawa yang didalamnya mengandung unsur nilai-nilai
sosial budaya masyarakat Jawa itu sendiri.
Cerita Panji merupakan cerita klasik asli Jawa dan dianggap sebagai pusaka warisan
budaya Indonesia. Cerita Panji hingga saat ini dipandang penting oleh pembaca, terutama
pembaca yang menekuni aktivitas seni dan budaya.Hal tersebut memantapkan cerita Panji
menjadi cikal-bakal pengembangan seni dan budaya dalam masyarakat Jawa khususnya dan
Indonesia umumnya. Cerita Panji identik dengan kisah cinta antara Panji Asmarabangun
dengan putri Galuh Candrakirana yang kental dengan nilai-nilai sosial masyarakat Jawa kala
itu. Misalnya saja mengenai bagaimana pandangan masyarakat Jawa mengenai bidang
pertanian yang digambarkan dalam cerita Panji melalui tantra dan kesuburan. Makna dari
tantra dan kesuburan adalah bagaimana seseorang ketika mengolah tanah atau lahan harus
seperti menyayangi seorang istri. Pada zaman ketika cerita ini hidup, konsep pertanian
organik berdasarkan kearifan Budaya Panji disebarluaskan dengan mudah lewat dongeng
yang diwariskan lewat bahasa tutur. Kehidupan sosial masyarakat Jawa kala itu juga dapat
dilihat dari bagaimana tokoh-tokoh dalam cerita Panji terutama Panji Asmorobangun dan
Galuh Candrakirana digambarkan sebagai sosok yang menjunjung tinggi nilai moral dengan
sikap serta perilaku yang begitu menjaga kebaikan.

9
Sebagai karya yang terlahir dari budaya Jawa, cerita ini dianggap pembaca sebagai
ikon Jawa Timur yang nilai-nilai dalam ceritanya tidak menjurus pada satu agama, daerah,
ataupun etnis tertentu melainkan nilai universal yang dapat dijadikan sebagai acuan hidup
bagi manusia pada umumnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila cerita Panji dapat
tersebar luas di wilayah Nusantara seperti Bali, Sunda, Lombok, Kalimantan, Palembang,
dan Melayu, serta berbagai negara di daratan Asia Tenggara. Cahyono (2009:8) meresepsi
Panji sebagai tokoh manusia biasa yang merupakan seorang Pangeran Jawa dengan
ketertarikan seni yang tinggi. Bharata Panji digambarkan sebagai sosok yang piawai dalam
bidang seni dan dianggap sebagai maecenas kesenian Jawa, dimana maecenas merupakan
merujuk pada tokoh penyokong bagi keberlanjutan seni dan budaya. Panji digambarkan
sebagai “pahlawan budaya” yang tidak terlepas dari upayanya melestarikan budaya Jawa
pada masa itu. Cerita Panji yang mengandung kearifan lokal wilayah Kediri ditunjukkan
melalui busana Jawa yang digunakan, perhatian pada alam sekitar, dan lingkungan seni yang
dikembangkannya dalam budaya Jawa.
Cerita Panji juga menjadi salah satu wadah dalam memahami kehidupan masyarakat
Jawa, khususnya pada masa-masa surutnya pengaruh Hindu Buddha di Nusantara. Karena
cerita ini menggambarkan suasana budaya dan geografi lokal mengenai kerajaan yang pernah
ada sekaligus sepak terjang kehidupan para ksatria di Jawa. Menurut Agus dalam seminar
Festival Panji Internasional 2018, cerita Panji merupakan gudang data kebudayaan yang
berkembang di Jawa sezaman dengan penggubahan kisah itu sendiri. Aspek budaya yang
dapat dilihat hidup dalam cerita Panji ialah persoalan mengenai birokrasi pemerintah
kerajaan dengan raja sebagai penguasa tertinggi sekaligus kepemilikan permaisuri sebagai
istri utama dan selir-selir yang turut tinggal di istana. Raja juga dikisahkan memiliki seorang
putra mahkota yang disebut yawuraja, dimana putra mahkota memiliki tanggung jawab
menggantikan raja yang turun. Kehidupan masyarakat Jawa tersebut digambarkan dalam
cerita Panji melalui Raden Panji yang merupakan seorang putra mahkota Kerajaan Jenggala
dengan pengirinya bernama Kadeyan. Selain itu, diceritakan juga mengenai pejabat-pejabat
istana lainnya seperti patih, rangga, demang, dyaksa, manguri, akuwu, lurah, pangalasan,
inya, gulang-gilang, dan tumenggung.

10
Pengaruh Cerita Panji dalam Kehidupan Masyarakat Masa Kini
Cerita Panji menurut pembaca merupakan cerita tentang Panji—nama lengkapnya
Raden Panji Asmarabangun. Ada pembaca yang beranggapan, Panji adalah sosok fiktif yang
hanya ada dalam dongeng, dan ada juga pembaca yang mengganggapnya sebagai sejarah.
Beberapa pembaca ahli menyatakan, cerita Panji sudah ada sejak sebelum zaman Kerajaan
Majapahit, namun cerita ini baru dipopulerkan pada zaman Kerajaan Majapahit. memahami
Panji setidaknya dapat dipertanyakan dari tiga sisi, yakni: sejarah, sastra, dan ekspresi. Dari
sisi sejarah, apakah Panji merupakan manusia yang benar-benar ada dalam sejarah? Aspek
kedua, sebagai karya sastra, hanya rekaan, nonfaktual. Ketiga, Panji sebagai ekspresi yang
lebih variatif dalam seni pertunjukan... dapat didudukkan dalam kerangka sejarah, kerena
tidak bisa dilepaskan dari sejarah Jawa masa Kediri, Singosari dan Majapahit jaman Hindu
Budha. Bagi pembaca, Cerita Panji sarat dengan nilai-nilai edukatif. nilai keteladanan yang
dapat diketahui dari kisahkisah pengembaraan, penyamaran, dan pencarian Panji. Panji selalu
menunjukkan sikap baik, arif bijaksana, dan hampir tidak pernah dikisahkan sebagai tokoh
atau sosok yang tidak baik. Panji memang dalam berbagai kisah digambarkan sebagai idola,
tokoh sentral yang selalu identitik dengan nilai-nilai kebaikan.
Cerita Panji mewakili suatu mahakarya (masterpiece) kejeniusan kreatif manusia
sebab digubah oleh para pujangga Jawa kuno dengan tema dan lokasi cerita di Tanah Jawa
sendiri. Cerita Panji juga tidak mendapat pengaruh asing, namun justru mempengaruhi
kebudayaan masyarakat Asia Tenggara secara luas, menjelaskan peradaban masyarakat Jawa
Kuno antara abad ke 14-15 dan merupakan dokumentasi sejarah kebudayaan di Asia
Tenggara secara luas. Cerita Panji merupakan cerita asli Indonesia yang bersumber dari
kerajaan Kadiri dan Jenggala ini ternyata menyebar ke seluruh Jawa, Bali, Nusa Tenggara,
menyeberang ke Sumatra, Kalimantan, bahkan hingga ke negaranegara Malaysia
(semenanjung Melayu), Thailand, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Asal tahu saja, Cerita Panji
malah lebih memasyarakat di Thailand, dikenalkan di bangku sekolah dan buku Cerita Panji
itu sendiri ditulis oleh raja Thailand sendiri, yaitu Raja Rama. Bahkan sangat dimungkinkan
sastra Panji merupakan satu-satunya karya sastra Indonesia yang hingga saat ini paling
banyak dipelajari oleh berbagai bangsa di dunia.

11
Kisah Panji memiliki nilai universal luar biasa, yaitu menjadi acuan kepahlawanan,
penghargaan kemanusiaan, mengetengahkan etika pergaulan, dan diplomasi pergaulan. Hal
itu terlihat dari sepak terjang Raden Inu atau Panji dalam kisah-kisahnya, tokoh tersebut pada
dasarnya selalu menjunjung nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan. Lantaran sosok Panji
memang identik dengan tokoh protagonis itulah maka sudah selayaknya Panji menjadi
teladan dalam berkehidupan. Bagi dunia pendidikan, Cerita Panji dapat dikemas sedemikian
rupa sebagai bahan ajar untuk anak didik. Para guru musti memahami lebih dulu apa itu cerita
Panji, kemudian mengkreasikan dalam berbagai mata pelajaran yang diampunya.

Simpulan
Dari narasi yang sudah disampaikan dapat diketahui bahwa ciri dari cerita Panji yang
ada dalam semua versi selalu diwarnai oleh pengembaraan dan penyamaran dari para tokoh
Utama. Proses pengembaraan dan penyamaran ini kemudian dikaji sedemikian rupa sehingga
memiliki aspek dramatis didalamnya. Sejarah Panji sendiri merupakan sumber kreativitas
yang tak pernah habis dan dapat dituangkan menjadi sebuah karya seni baik sastra hingga
lanskap. Sejarah Panji juga diharapkan dapat menjadi sumber kreativitas melalui seni modern
yang juga dapat menunjukkan bahwa sejarah Panji ini cukup beradaptasi dengan situasi dan
perkembangan zaman yang semakin modern
Daftar Pustaka
Ida Bagus. 2013. KEBERADAAN DAN BENTUK TRANSFORMASI CERITA PANJI.
Volume 12, Nomor 1.
Manuaba, I. 2013. Keberadaan dan Bentuk Transformasi Cerita Panji. Jurnal Penelitian
Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. 12 (1): 53-67.
Nurcahyo, H. 2018. Gagasan Cerita Panji sebagai Aspek Keteladanan. Jurnal Budaya
Nusantara. 1 (2): 117-130.
Sumaryono. 2011. Cerita Panji Antara Sejarah, Mitos, dan Legenda. Jurnal Seni Budaya. 26
(1): 17-24.
Sanjoyo, M. P. (2021). The Utilization of Brantas River in the era of Kediri until Majapahit
Kingdom. Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora, 5(2), 138–146.
https://doi.org/10.36526/js.v3i2.Research.
Wiratama, R. 2019. Representasi Identitas Orang Jawa dalam Cerita Panji Versi Wayang
Gedhog. 14 (2): 203-212.

12

Anda mungkin juga menyukai