Anda di halaman 1dari 4

Cerita Panji adalah harta karun terpendam yang dimiliki Jawa Timur.

Lahir di Kediri,
berkembang sejak zaman Majapahit, kemudian menyebar ke banyak daerah hingga
mancanegara, dan beredar dalam berbagai cerita rakyat. Cerita Panji bukan sekadar
cerita. Ini adalah pusaka yang tak ternilai harganya. Sudah saatnya kita
menyelamatkan, memelihara, mengembangkannya sebagai kontribusi positif
pembangunan budaya bangsa.
Cerita Panji adalah karya cipta yang merupakan simbol pertama kebangkitan sastra
lisan dari Jawa Timur sebagai wilayah kerajaan besar yang menyatukan nusantara.
Dari sudut tertentu, cerita Panji bahkan dapat bersanding dengan dua epos raksasa
yaitu Mahabarata dan Ramayana yang penyebarannya beriringan dengan agama
Hindu di Jawa. Sehingga cerita Panji menjadi sebuah alternatif atau produk budaya
sanding seniman Jawa pada masa itu terhadap dua epos tadi.
Pada dasarnya, cerita Panji adalah sekumpulan cerita pada masa Hindu-Budha di Jawa
yang berkisah seputar kisah asmara Panji Asmorobangun dan Putri Candrakirana
(Dewi Sekartaji) yang penuh dengan petualangan sampai akhirnya memerintah di
Kerajaan Kediri. Tetapi ternyata, ditemukan banyak potensi budaya yang luar biasa
dan dapat dikembangkan menjadi bahan ajar pendidikan formal dan nonformal,
bahkan sebagai bahan baku industri budaya.
Cerita Panji adalah cerita Jawa asli yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah
nusantara (Bali, Sunda, Lombok, Kalimantan, Palembang, Melayu) serta di berbagai
negara di daratan Asia Tenggara. Hal ini merupakan aspek penting yang perlu
disosialisasikan sebagai alternatif cerita wayang yang selama ini hanya menjadi
monopoli Mahabarata dan Ramayana yang datang dari India.
Beberapa kesenian tradisional yang selama ini menggunakan cerita Panji misalnya
Wayang Beber (Malang), Wayang Topeng (Pacitan), Wayang Golek Kediri, Wayang
Thengul (Bojonegoro), Wayang Krucil (Nganjuk), Legong Kraton (Lasem), Lutung
Kasarung (Jabar) dan banyak kesenian di Bali, Kalimantan, Kamboja, dan sebagainya.
Sementara yang berupa fisik, terpahat dalam relief di beberapa candi (punden
berundak) di lereng Gunung Penanggungan, Candi Penataran dan peninggalan
purbakala di lereng Gunung Arjuno. Bahkan, patung Panji pernah ditemukan di Candi
Selokelir di lereng Penanggungan.
Banyak yang terperangah, bahwa Panji ternyata bukan sekadar dongeng menjelang
tidur. Panji adalah sosok sejarah sekaligus legenda. Sosok Panji ternyata sudah amat
sangat lama terpatri di lereng Gunung Penanggungan, Arjuno dan juga tertatah di
Candi Penataran. Cerita-cerita terkait Panji juga banyak mengajarkan kearifan lokal
dalam menjaga kelestarian alam.

Mengenal Figur Panji


Siapakah sesungguhnya Panji? Masih banyak yang beranggapan bahwa Panji adalah
sosok fiktif yang hanya ada di cerita dongeng. Citra ini memang tak lepas dari
kemasan budaya tutur Panji yang lebih berupa Dongeng yang Disejarahkan
ketimbang Sejarah yang Didongengkan. Bila dirunut ke belakang, barangkali ini tak
lepas dari pengaruh kekuasaan Majapahit ketika cerita heroik soal pahlawan Kediri
ini lahir.
Dalam bukunya, Prof. DR. CC. Berg (1928) menyebutkan, bahwa penyebaran cerita
Panji dimulai adanya Kertanegara Raja Singasari mengadakan pamalayu, tahun 1277
M sampai kurang lebih tahun 1400 M. Dari sumber ini diketemukan Panji adalah
pahlawan kebudayaan.
Ki Ageng Sri Widadi dari Kasunyatan Jawi, dalam makalahnya menuliskan, bahwa
Panji adalah tokoh yang menggunakan kesenian untuk menundukkan lawan. Panji
pandai bermain gamelan, juga penari yang piawai, sebagai dalang yang pintar
mempesona penonton, bahkan berjasa menyusun nada-nada gamelan berlaras pelog.
Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang. Menuturkan, Panji adalah
tokoh manusia biasa, yang merupakan Pangeran Jawa dan bukan pahlawan pendatang
seperti Rama dan Pandawa. Panji adalah sosok yang piawai berolah seni, seorang
Maecenas kesenian Jawa masa lalu. Panji acap diceritakan sebagai pemain musik,
penari, pemain drama (sendratari) dan penulis puisi. Panji adalah tokoh teladan masa
lampau, dan perilakunya merupakan teladan arif dalam mengembangkan lingkungan
dengan cara-cara yang sarat dengan nilai ekologis. Keteladanan Panji sebagai
seseorang yang dipredikati sebagai pahlawan budaya masa lalu (masa HinduBudha) itulah kiranya yang perlu diupayakan untuk dapat ditransformasikan bagi
pengembangan kesenian lokal dan pertanian serta pengelolaan lingkungan hidup pada
masa kini maupun mendatang.
Bahkan, menurut Dwi Cahyono, Kapanjian tidak hanya sekadar merupakan fenomena
kesenian, namun sekaligus berwujud sebagai fenomena sosial, pemerintahan,
kemiliteran, religi dan fenomena lainnya. Oleh karena itu cukup alasan untuk
menyatakan bahwa Kapanjian merupakan suatu fenomena budaya. Tradisi Panji
adalah Tradisi Budaya, karena terbukti budaya Panji berkelanjutan dan mengalami
diversifikasi bentuk dan fungsi hingga lintas masa dan sekaligus lintas area.

Peranan sosok Panji yang memesona terhadap kebudayaan layak ditauladani oleh
seluruh masyarakat sampai kapan pun. Atas peranannya sebagai pengayom dan
pengembang kebudayaan di masa silam, maka pantaslah apabila pada tahun 1959,
Wilem Hubert Rasser memberi predikat Panji sebagai Pahlawan Kebudayaan (Culture
Hero) atau sang maecenas (pelindung) kebudayaan masa lalu.
Karakteristik Panji menurut beberapa sumber sastra, babad maupun data arkeologis
yakni kesatria berwajah tampan, pendiam, berjiwa lemah lembut, gemar menuntut
ilmu, seniman gamben dan mumpuni di berbagai cabang seni, jujur, taat pada orang
tua, menyayangi binatang, sopan, menghormati istri, simpatik, dan menarik, pandai
menulis di kertas lontar, pahlawan perang, piawai menari dan bermain gamelan, serta
piawai mendalang wayang.
Budaya Panji, Kearifan Lokal yang Terlupakan
PERNAHKAH Anda saat kecil mendapapatkan cerita Ande-Ande Lumut? Dongeng
yang disampaikan secara tinutur oleh para leluhur dan diwariskan kepada anak cucu
itu sebenarnya tidak kalah hebat dengan kisah asmara romantisme kelas dunia seperti
Romeo Juliet dari daratan Eropa atau Rama Shinta dari India.
Seperti Rama-Shinta, kisah Ande-Ande Lumut yang tidak lain Raden Panji
Asmorobangun dan Kleting Kuning atau Putri Candrakirana alias Putri Sekartaji
berakhir happy ending. Sayang, dibandingkan dengan cerita legendaris yang disebut
sebelumnya, nasib cerita Panji-Candrakirana belum banyak yang dibukukan dengan
apik. Yang ada barulah cerita rakyat yang ditulis untuk bacaan anak-anak.
Padahal, secara historis, Budaya Panji muncul dalam sastra kuno Jawa Timur pada
abad ke-8 s/d ke-15. Tidak hanya tersebar di Jawa Timur, tetapi juga tersebar ke
daerah di Indonesia-seluruh Jawa dan Bali, dan berbagai daerah Sumatra. Bahkan
budaya ini menyebar ke negara lain: Champa, Vietnam Selatan; Kambodia; Laos; dan
Thailand. Budaya Panji berkembang melalui berbagai media: ilmu pertanian dan
tekniknya, arsitektur, filsafat dan kebanyakan dalam bentuk seni seperti tari, teater,
wayang gedhog, wayang beber, dan motif-motif batik. Bukan melalui khazanah buku
dan penerbitan.
Ini pula yang menyebabkan Budaya Panji mengalami beberapa versi menyesuaikan
dengan kearifan lokasl di daerah tersebut. Meski terdiri dari berbagai versi, inti cerita
Panji selalu bercerita tentang kehidupan tokoh Raden Panji (Panji Asmorobangun)
dari Kerajaan Jenggala dan Putri Candrakirana (Dewi Sekartaji) dari Kerajaan Daha
atau Kediri. Mereka berdua sudah dipertunangkan tetapi mereka terpisah. Raden Panji
berkelana untuk mencari Dewi Sekartaji, dan meskipun pada akhirnya mereka
bertemu.
Raden Panji dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu, sedang Dewi Sekartaji sebagai
titisan dari Dewi Sri. Di Jawa dan Bali Dewi Sri dihormati sebagai Dewi Padi dan
kesuburan sawah. Banyak ritual dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi Dewi
Sri yang erat dengan cerita tentang Candrakirana. Penyatuan Panji dan Sekartaji,
sebagai bentuk penyatuan pria dan wanita yang menghasilkan kesuburan atau
keturunan, dijadikan simbol kesuburan padi.

Cerita Panji-seseorang yang gagah, bijak, sederhana, mengasihi sesama, dan baik
budi; menyampaikan teknik pertanian organik yang selaras dengan alam serta nilai
penghargaan terhadap lingkungan. Maka, kesenian budaya Panji adalah cara yang
tepat untuk menambahkan pengetahuan dan pemahaman karena mengandung banyak
muatan pendidikan lingkungan hidup.
Di antara artefak yang mengisahkan Budaya Panji, di Lereng Gunung Penanggungan,
Jawa Timur terdapat Candi Kendalisodo yang mempunyai relief tentang kisah ini. Ini
menjadi sebuah bukti bahwa cerita Panji cukup dekat dengan kehidupan masyarakat
lokal. Juga terdapat Candi Jolotundo di Seloliman yang, menurut ahli sejarah,
merupakan petirtaan untuk suami-istri Raja Udayana Warmadewa dan permaisuri ri
Gunapriyadharmapatni yang memerintah Bali sekitar tahun 989-1011 masehi. Dari
pernikahan itu, lahirlah Airlangga.
Ini pula yang menggugah para seniman dan seniman dari Jawa Timur, dan Pusat
Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) juga terletak di Desa Seloliman, sekitar 800
meter dari Candi Jolotundo menggelar Pasemuan Budaya Panji Internasional pada 1820 November lalu.
Beberapa Padepokan Lemah Putih; BPPI-Badan Pelestarian Pusaka Indonesia;
Dharma Nature Time; Padepokan Bumi Pakarti Aji, Pacet; Padepokan Seni Mangun
Dharma, Malang; Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto; Sidoarjo; dan Jawa Timur
berencana. (in)

Anda mungkin juga menyukai