Pengantar
Pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU
Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah membawa dampak yang sangat besar dalam program perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan di daerah. Sesuai dengan semangat dan jiwa UU tersebut,
maka daerah-daerah diharapkan akan lebih mampu memenuhi kebutuhan daerahnya
sendiri. Karena itu, mau tidak mau daerah harus benar-benar diberdayakan dengan
mencari dan menggali sumber-sumber pendapatan yang sesuai dengan potensi daerah
tersebut.
Pulau Lembata memiliki potensi yang sangat besar di bidang kepariwisataan,
yang dapat digali dan dikembangkan sebagai salah satu sarana pemberdayaan ekonomi
masyarakat sekaligus sumber pemasukan bagi pembangunan daerah Tk. II Lembata.
Berbagai aset potensi kepariwisataan itu memenuhi unsur-unsur pokok daya tarik
pariwisata, yakni: keindahan alam (natural beauty), keaslian (originality), kelangkaan
(scarcity) dan keutuhan (wholesomeness). Apabila daya tarik tersebut dikemas dan
dipersiapkan secara profesional menjadi paket-paket perjalanan yang menarik bagi
wisatawan mancanegara maupun nusantara, maka limpahan karunia tersebut merupakan
satu anugerah dari Tuhan bagi Lewotanah Lembata tercinta.
Tulisan ini bermaksud mengungkapkan berbagai aspek yang berkaitan dengan
upaya menggali potensi Lembata sebagai kawasan wisata budaya. Fokus perhatian pada
pariwisata Lembata hanya karena Lembata merupakan Kabupaten Bungsu di Flores.
Halaman 2
3. Industri Wisata Budaya
a) Pengertian
Menurut UU Kepariwisataan No. 9 Tahun 1990, objek dan daya tarik wisata dapat
digolongkan atas tiga jenis, yakni: objek dan daya tarik wisata alam, wisata budaya, dan
wisata khusus. Yang termasuk ke dalam kelompok pengusahaan objek dan daya tarik
wisata budaya adalah: 1) peninggalan sejarah (misalnya candi, kraton dan prasasti), 2)
museum (misalnya: museum wayang, prangko, kereta api), 3) pusat-pusat kesenian dan
budaya (misalnya: sanggar tari, sanggar seni pentas, sanggar seni lukis), 4) taman rekreasi
(misalnya: Taman Impian Jaya Ancol, Taman Mini Indonesia Indah), 5) tempat hiburan
(misalnya: wayang orang Sriwedari), 6) taman satwa (misalnya: kebun binatang, Taman
Safari, dan Taman Budaya), dan 7) monumen (misalnya: monumen nasional, monumen
perjuangan, monumen Yogya Kembali).
John King dari Global Tourism and Leisure pada forum sehari What‟s News,
What‟s New, and What Next yang diselenggarakan dalam rangkaian Bali Travel Marrt di
Nusa Dua, Juni 1999 mengingatkan, Indonesia akan berhadapan dengan karakter
wisatawan yang matang, tidak massal, dan melakukan perjalanan untuk mencari sumber-
sumber pengayaan hidup secara spiritual, tidak lagi sekadar kesenangan yang bersifat
material dan jasmaniah (Kompas, 7 Desember 1999). Hal ini tentu akan berpengaruh
terhadap penciptaan produk-produk wisata yang mempunyai daya tarik menurut
perspektif konsumen. Dalam kaitannya dengan hal ini, maka objek-objek wisata dapat
menjadi sebuah alternatif yang dapat memenuhi “kerinduan spiritual” wisatawan.
Istilah „industri pariwisata budaya‟ sering dianggap sesuatu yang baru, mutakhir,
modern, yang terkait dengan dunia komersiil, pasar, profit, komoditi, media dan
teknologi. Misalnya kesenian di dunia komersial, media elektronik, kebudayaan untuk
keperluan pariwisata, dan lain sebagainya. Akan tetapi istilah „industri pariwisata
budaya‟ sebetulnya hanyalah sebuah istilah baru yang dimanfaatkan untuk membicarakan
sesuatu yang sangat sederhana namun penting, yaitu kebudayaan dan peranannya di
bidang ekonomi. Dengan menggunakan istilah „industri pariwisata budaya‟ maka yang
dimaksudkan adalah sumbangan sektor kebudayaan terhadap ekonomi. Misalnya:
bagaimana bidang kebudayaan menghasilkan lapangan kerja dan aktivitas ekonomi yang
bergaung jauh dari kegiatan intinya, yaitu ungkapan identitas dan kreativitas (expression
of identity and creativity) (Lindsay, 1998). Industri pariwisata budaya mencakup semua
kerangka dan infrastruktur budaya serta ekspresi budayanya sendiri. Pembicaraan ihwal
pengembangan industri pariwisata budaya ini perlu dimulai dengan mengkaji faktor-
faktor yang menentukan minat terhadap suatu daerah dalam konteks wisata budaya.
Salah satu studi paling populer tentang wisata budaya ditulis J.R. Brent Ritchie
dan Michel Zine dalam majalah ilmiah Annals of Tourism Research pada tahun 1978
yang berjudul “Culture as Determinant of the Attractiveness of a Tourism Region”.
Artikel ini sangat berguna untuk mengidentifikasikan atau menentukan faktor-faktor yang
harus dipertimbangkan apabila suatu wilayah ingin mengembangkan industri pariwisata
budayanya. Penelitian ini berusaha melihat hubungan antara bidang tradisional dari
ekonomi pariwisata dengan bidang kebudayaan yang berorientasi sosial. Para peneliti
mencoba mengukur secara kuantitatif kepentingan relatif dari kebudayaan dan beberapa
Halaman 3
komponen yang menentukan apakah suatu wilayah atau daerah akan menarik perhatian
para wisatawan baik manca negara maupun nusantara (wisman dan wisnu).
Patterson (dalam Spillane, 1998) meneliti hubungan antara pariwisata dan
kebudayaan. Dia memberikan banyak argumen yang menekankan kebutuhan kerjasama
antara dua bidang ini untuk bersama-sama mewujudkan pembangunan. Fokus perhatian
perlu diberikan untuk memanfaatkan kebudayaan sebagai sumber daya pariwisata. Secara
khusus, kebudayaan tidak boleh dimanipulasi atau dieksplotasi sebagai alat untuk
mengembangkan pariwisata. Beberapa peneliti menunjukkan dampak negatif dari
pariwisata tanpa kontrol terhadap kebudayaan asli. Karena itu kebudayaan menjadi unsur
pariwisata yang penting walaupun mudah rusak (delicate).
Untuk menggali potensi Lembata sebagai tujuan wisata budaya, dapat
dimanfaatkan hasil penelitian Ritchie dan Zine sebagai kerangka acuan. Studi mereka
memberikan beberapa pertimbangan objektif mengenai (1) Cara atau metodologi untuk
mengukur kemampuan „menarik perhatian‟ suatu kebudayaan; (2) Mengukur sumbangan
relatif dari beberapa bentuk unsu-unsur sosial dan budaya terhadap kemampuan daerah
untuk menarik wisatawan budaya, (3) Menilai sumbangan relatif dari beberapa bentuk
sunsur sosio-budaya terhadap kemampuan daerah untuk menarik wisatawan budaya, dan
(4) Mengevaluasi prioritas yang harus diberikan pada pembangunan pariwisata.
Dalam penelitian tersebut Ritchie dan Zine memanfaatkan pengertian Culture
(kebudayaan) seperti didefinisikan Kluckholm dan Kelley (1945), yakni: sistem eksplisit
dan implisit dari cara hidup yang cenderung digunakan oleh semua atau sebagian tertentu
dari suatu kelompok pada saat tertentu. Definisi ini memang sangat operasional dan
berguna sebagai titik tolak untuk studi kebudayaan. Dalam studi ini ditemukan faktor-
faktor umum dan faktor-faktor spesifik (budaya) yang menjadi ukuran dari “kemampuan
daerah menarik tamu wisatawan”. Secara keseluruhan, terdapat 8 faktor umum dan 12
faktor khusus yang merupakan unsur-unsur sosial-budaya sebagai kriteria daya tarik
suatu objek wisata.
Faktor-faktor umum daya tarik wisata adalah:
1. Keindahan alam dan iklim (Wacana wisata Barat tradisional masih mengunggulkan
keindahan alam. Wisatawan Barat tampaknya masih mencari „The Lost Paradise”).
2. Sifat-sifat dari masyarakat dan kebudayaan
3. Fasilitas penginapan, rekreasi dan pendidikan
4. Infrastruktur daerah
5. Tingkat pelayanan
6. Fasilitas komersial dan perbelanjaan
7. Sikap terhadap wisatawan
8. Kemudahan masuk daerah
Halaman 4
Berikut ini dikutip secara lengkap pandangan Ritchie dan Zine tentang “Major Variables
Influencing the Attractiveness of a Tourism Destination” dan “Socio-cultural Eelement”.
GENERAL FACTORS
Natural Beauty and Which includes the general topography; flora and fauna;
Climate proximity to lakes, rivers and sea; mountains, islands; hot and
mineral water springs; waterfalls; as well as; amount of sunshine;
temperature; winds; precipitation; discomfort index.
Culture and Social Which includes language; traditions; gastronomic practices; art;
Characteristics sculpture; music; architecture; work; religion; education; dress;
leisure behavior; history; museums; and festifals.
Sport, Recreation Which includes golf courses; tennis courts; swimming; skiing;
and Educational horsebackriding; sailing; movies; casinos; health spas; picnic
Facilities grounds; hiking trails; zoos; aquariums; and botanical gardens.
Shopping and Com- Which includes souvenir and gift shops; boutiques; shopping
mercial Facilities malls; commercial displays.
Infrastructure of the Which includes the quality and availability of different means of
Region communication; auto routes; lodging; health services;
information; food services; and level of personal and material
safety.
Price Levels
Which involves the value received for money spent on major
services, food, lodging and transportation within the region.
Attitudes Towards
Tourist Which involves the warmth of reception by the local population;
ease of communication; willingness to provide information; and
a lack of hostility towards tourism activities.
Accessibility of the
Region Which includes the physical distance to the region; the time
involved in reaching the region; and practical barriers due to
customs and security inspections.
SOCIO-CULTURAL ELEMENTS
Halaman 5
Architecture: both exterior and interior, which lends a distinctive appearance to a region.
Religion of a particular significance to a region (including its visible manifestations)
Education system which is characteristic of a region.
Dress: styles of dress characteristic of a region.
Leisure Activities reflecting distinctive life styles of a region.
Hasil penelitian Ritchie dan Zine menyimpulkan hal-hal sebagai berikut. Faktor
iklim dan keindahan alam adalah hal yang paling pokok yang menentukan kemampuan
menarik wisatawan. Sifat sosio-budaya merupakan faktor nomor dua, baru kemudian
sikap terhadap wisatawan, kemudahan menuju lokasi, prasarana daerah, tingkat harga,
fasilitas olah raga-rekreasi dan fasilitas komersial dan perbelanjaan. Khusus mengenai
unsur-unsur sosio-budaya, pada umumnya meliputi gastronomi, tradisi-tradisi, kerajinan
dan sejarah. Sedangkan faktor-faktor seperti pendidikan, mode, dan agama kurang begitu
penting.
Salah satu daya tarik wisata yang berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka
penganekaragaman objek-objek wisata yang tersebar di Indonesia adalah pengembangan
Lembata sebagai objek wisata budaya. Pengembangan Lembata sebagai objek wisata
budaya akan membawa dampak positif, khususnya yang terkait dengan pemberdayaan
ekonomi masyarakat melalui penciptaan kesempatan berusaha dan bekerja di usaha-usaha
pariwisata yang akan berkembang sejalan dengan pengembangan wisata budaya tersebut.
Usaha-usaha itu dapat meliputi usaha akomodasi, cinderamata, makan dan minuman,
pemandu wisata, dan usaha-usaha lain yang mendukung sektor pariwisata seperti
peternakan dan pertanian sebagai pemasok kebutuhan makan minum bagi wisatawan.
Rencana sosialisasi diarahkan untuk mencari invertor (nasional maupun asing),
meningkatkan arus kunjungan dan jumlah pengeluaran wisatawan. Renacana itu
mencakup rencana jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Halaman 6
5) Menjalin hubungan kerjasama dengan badan-badan nasional dan internasional
yang berkaitan dengan Wold Heritages, UNESCO, museum-museum terkemuka
dan pusat-pusat kajian budaya.
6. Penutup
Pembangunan pariwisata Lembata tidak dapat dilepaskan dari pembangunan
kepariwisataan nasional. Dalam TAP MPR RI No. X Tahun 1988, disebutkan bahwa
bidang kepariwisataan diarahkan “Untuk mendayagunakan potensi kepariwisataan
sebagai sumber devisa negara, … mengembangkan objek dan daya tarik wisata termasuk
seni budaya dengan peningkatan partisipasi dan kemitraan, serta pemberdayaan ekonomi
rakyat dengan memperhatikan nilai-nilai budaya, agama, dan pelestarian lingkungan”.
Tampak di sini adanya semacam “paradigma baru” keberpihakan pada ekonomi
rakyat. Pemerintah tidak lagi bertindak sepenuhnya sebagai pelaksana. Sebaliknya,
peranserta swasta dan masyarakat diharapkan akan semakin dominan. Patut disadari
bahwa di abad ke-21 ini telah terjadi Revolusi 3 T (Revolution of Triple T): Transportasi,
Telekomunikasi, dan Turisme, yang berdampak pada meningkatnya mobilitas manusia
umumnya dan pariwisata khususnya. Mari kita jadikan momentum ini sebagai curahan
karunia Tuhan bagi Lewotanah Lembata tercinta.
DAFTAR ACUAN
Ardika, I Gede, 1999. „Kebijakan Pembangunan Kepariwisataan” Makalah Kunci
Seminar Nasioanal Ekonomi Pariwisata Menggali Potensi Ekonomi
Borobudur Sebagai Wisata Ziarah. Yogyakarta, 18 Mei 1999.
Kompas, “Paradigma Baru Pembangunan Pariwisata”. Jakarta, 7 Desember 1999.
Lindsay, Jennifer, 1998. “Strategi Kebudayaan Indonesia Menghadapi Industri Budaya
Abad XXI”. Makalah Seminar Kebudayaan Mengkaji Wacana Kebudayaan
Indonesia Menuju Abad XXI. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.
Halaman 7
Ritchie, J.R. Brent and Zine, Michel, 1978. “Culture as Determinant of the Attractiveness
of a Tourism Region” dalam Annals of Tourism Research Vol. V, No. 2
(April/June, 1978)
Spillane, James J., 1998. “Pemberdayaan Seni dan Tradisi Budaya Indonesia Menuju
Abad XXI”. Maskalah Seminar Kebudayaan Mengkaji Wacana Kebudayaan
Indonesia Menuju Abad XX. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.
Tim Konsorsium Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas
gadjah Mada, 1997. Studi Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata
Nasional Buku 3 Kawasan Lembata.
*) Yoseph Yapi Taum, Center for Tourism Research and Development, Sanata
Dharma University, Mrican Tromol Pos 29, Yogyakarta 55002, Telpon (62-0274) 513301
Ext. 422, Fax (62-0274) 562383. E-mail: yoseph1612@ yahoo.com
Halaman 8