SKRIPSI
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM ARSITEKTUR INTERIOR
DEPOK
JULI 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Arsitektur
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM ARSITEKTUR INTERIOR
DEPOK
JULI 2012
ii
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Nama
NPM
: 0806460401
Program Studi
: Arsitektur Interior
Judul Skripsi
Ditetapkan di
: Depok
Tanggal
: 6 Juli 2012
iii
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Tak disangka sampai juga akhirnya saat dimana saya menuliskan kata
pengantar dan ucapan terimakasih. Pertama-tama, puji Syukur saya panjatkan
kepada Tuhan Yesus Kristus atas kekuatan kasih dan karunia yang tak pernah
berhenti melimpah dalam hidup saya. Penulisan skripsi ini ditulis dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Arsitektur pada
Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Oleh sebab itu, ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya saya berikan kepada:
Ibu Ir. Evawani Elisa M.Eng., Ph.D. selaku dosen pembimbing sekaligus
dokter bebas biaya konsultasi yang sangat sabar membimbing dan
memberikan banyak masukan pada proses penyusunan skripsi ini.
Bapak Ir. Antony Sihombing MPD., Ph.D. dan Ibu Dr. Embun Kenyowati
Ekosiwi, S.S., M.Hum. selaku dosen penguji yang memberikan banyak
saran dan kritik terhadap skripsi saya.
Drs. Lastua Sinaga M.M., yakni ayah sekaligus ibu yang selalu
mendukung serta menyediakan waktu dan tenaga untuk saya. Terimakasih
atas kasih sayang dan doa yang selalu dipanjatkan untuk saya.
Lucia Dinar Maharani, sahabat yang sudah saya anggap sebagai saudara
kandung saya yang selalu memberikan semangat dan doa untuk saya.
Fritz Rendy Octavianus Sinaga S.Ars, kakak asuh sekaligus abang ketiga
saya yang selalu menyemangati, mendoakan, dan memberikan banyak
iv
Universitas Indonesia
saran untuk saya. Begitu juga untuk keempat adik asuh saya, Elky Andika,
Syifa Annisa Basri, Nata Tri Wardani, dan Amanda Gabriella.
Leta, Raranoor, Citra, Azka, Nina, Gita, Ajeng Nadia, Karin, Stella, Dory,
Siki, Dewi, dan Yayi, teman-teman sepermainan dengan segala kegiatan
random maupun terencana selama empat tahun masa perkuliahan.
Kosa Lazawardi S.Ars, sahabat tempat saya melimpahkan emosi suka dan
duka, serta Kurnia Fajar Agriza S.Ars yang selalu bersedia untuk bertukar
pikiran baik mengenai skripsi, musik, dan hal lainnya.
Senior Ars 2005, Ars 2006, Ars 2007, serta junior Ars 2009, Ars 2010,
dan Ars 2011 yang memberikan banyak bantuan selama empat tahun.
Nando, Mba Sri, Rachelle, Mas Edwin, Pak Ferry, dan teman-teman
majalah Home and Dcor Indonesia yang memberikan saya pengalaman
untuk belajar membagi waktu dan pikiran antara skripsi dan magang.
dapat bermanfaat bagi ilmu Arsitektur dan terutama bagi para pembaca. Akhir
kata, saya memohon maaf apabila ada kesalahan pada penulisan gelar atau nama.
Depok, 6 Juli 2012
v
Universitas Indonesia
NPM
: 0806460401
: Arsitektur
Fakultas
: Teknik
Jenis Karya
: Skripsi
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
vi
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama
: Yulia Vonny Sinaga
Program Studi : Arsitektur Interior
Judul
: Ruang dan Ritual Adat Pernikahan Suku Batak Toba
Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan
manusia sehingga tak jarang diselenggarakan sebuah perayaan untuk mengenang
peristiwa tersebut. Indonesia kaya akan beragam suku dengan ritual adatnya
masing-masing, termasuk dalam upacara pernikahan tradisional. Bagaimana ritual
adat berlangsung tentu tak terlepas dari ruang yang mengakomodasi proses
pelaksanaannya. Di sinilah ritual adat berperan dalam menciptakan setting dan
desain khusus pada interior ruang pernikahan. Setting dan kualitas ruang yang
terbentuk pun akhirnya mempengaruhi kualitas ritualnya. Batak Toba sebagai
salah satu suku di Indonesia memiliki ritual adat pernikahan yang unik dan
berbeda. Bagaimana perbedaan dan keunikan ritual adat pernikahan suku Batak
Toba mempengaruhi ruang pernikahannya akan dibahas pada skripsi ini.
Kata kunci :
Ritual, pernikahan, Batak Toba, setting ruang
ABSTRACT
Name
: Yulia Vonny Sinaga
Study Program : Interior Architecture
Title
: Place and Ritual of Traditional Wedding Ceremony in Batak Toba
Marriage is one of important things in human life, so made some
ceremony to commemorate marriage is not uncommon nowadays. Indonesia has
many tribes with their special ritual, including in traditional wedding ceremony.
How do the ritual take place would not be separated from the place which
accomodate the process. This is where the traditional ritual play a role in creating
the special setting and design of the interior of place. Setting and quality of place
that is formed also affect the quality of ritual. Batak Toba as one tribe in Indonesia
has unique and different wedding ritual. How do the uniqueness and differences
of the wedding ritual affect the place will be discussed in this thesis.
Keyword :
Ritual, wedding, Batak Toba, setting of place
vii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... vi
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................ xiv
BAB 1 PENDAHULUAN .....................................................................................1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan .........................................................................................3
1.4 Batasan Permasalahan ..................................................................................3
1.5 Metode Penulisan ........................................................................................3
1.6 Sistematika Penulisan .................................................................................4
1.7 Kerangka Berpikir .......................................................................................5
BAB 2 MANUSIA, RITUAL, DAN SUKU BATAK TOBA ..............................6
2.1 Manusia dan Ritual ......................................................................................6
2.1.1 Manusia sebagai Makhluk Individu ..............................................6
2.1.2 Manusia sebagai Makhluk Sosial .................................................7
2.1.3 Ritual, Pernikahan, dan Maknanya ..............................................8
2.1.4 Pernikahan Tradisional ..............................................................10
2.2 Suku Batak Toba .......................................................................................12
2.2.1 Bahasa dan Keseharian ..............................................................12
2.2.2 Agama dan Kepercayaan ...........................................................13
2.2.3 Konsep Kekerabatan ..................................................................15
2.2.4 Konsep Adat ...............................................................................16
2.2.5 Konsep Pernikahan ....................................................................17
viii
Universitas Indonesia
ix
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Pembagian Prosesi Pemberian Ulos pada Upacara Pernikahan ...........20
Tabel 4.1 Hubungan Ruang dan Ritual Upacara Adat Pernikahan Batak Toba....62
x
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 2.6
Gambar 2.7
Gambar 2.8
Gambar 2.9
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Gambar 3.5
Gambar 3.6
Gambar 3.7
Gambar 3.8
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Gambar 4.9
Gambar 4.10 Skema ruang ritual saat penyerahan tanda makanan adat .............40
Gambar 4.11 Hiburan musik saat makan bersama ..............................................41
Gambar 4.12 Suasana saat makan bersama ........................................................41
Gambar 4.13 Skema posisi duduk tamu saat makan bersama .............................42
Gambar 4.14 Skema posisi duduk di pelaminan saat makan bersama ...............42
Gambar 4.15 Arah pandangan dari pelaminan ....................................................42
Gambar 4.16 Suasana di pelaminan saat makan bersama ..................................43
Gambar 4.17 Skema posisi pelaku ritual saat bersalaman ...................................43
Gambar 4.18 Suasana meriah saat ritual salam-salam ........................................43
Gambar 4.19 Skema ruang ritual ketika pengantin mengambil tumpak ..............44
Gambar 4.20 Suasana saat prosesi pengambilan tumpak ....................................45
Gambar 4.21 Arah pandangan saat pengantin mengambil tumpak .....................45
Gambar 4.22 Skema ruang saat penyerahan panggoh ........................................46
Gambar 4.23 Suasana setting 1 saat orang tua pihak laki-laki menghampiri
saksi ...............................................................................................47
Gambar 4.24 Tamu tidak fokus pada ritual ........................................................47
Gambar 4.25 Arah pandangan ketika orang tua pihak laki-laki memberikan
sinamot ke orang tua pihak perempuan .........................................47
Gambar 4.26 Suasana saat prosesi pemberian panggoh .....................................47
Gambar 4.27 Skema ruang saat proses penyerahan panandaion di pelaminan ...48
Gambar 4.28 Suasana penyerahan panandaion ...................................................48
Gambar 4.29 Skema ruang ritual penyerahan tintin marangkup ........................49
Gambar 4.30 Suasana prosesi penyerahan tintin marangkup .............................50
Gambar 4.31 Skema ruang saat prosesi pemberian ulos pertama dan ketiga ......51
Gambar 4.32 Pelaminan sebagai latar saat prosesi pemberian ulos ....................51
Gambar 4.33 Ulos sebagai elemen utama ...........................................................51
Gambar 4.34 Skema ruang saat prosesi pemberian ulos ketiga ..........................52
Gambar 4.35 Setting ruang yang tidak teratur saat prosesi pemberian ulos .......53
Gambar 4.36 Orang tua dan pengantin memberi ucapan terimakasih ................54
Gambar 4.37 Penyerahan uang olop-olop ...........................................................54
Gambar 4.38 Skema ritual pemberian uang olop-olop .......................................55
xii
Universitas Indonesia
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISTILAH
Boru
Dongan tubu
Hula-hula
Jambar
Olop-olop
Panandaion
Pariban
Parmalim
Pasu-pasu
: doa restu
Raja parhata
Setting
Sinamot
Suhut
Tumpak
xiv
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
dari kebudayaan yang ada pada zaman dulu. Sayangnya saat ini tak sedikit arsitek
maupun arsitek interior yang melewatkan unsur kebudayaan dalam penciptaan
maupun penerapan desain. Padahal unsur kebudayaan sebenarnya dapat menjadi
identitas utama suatu daerah, misalnya dalam penataan ruang upacara adat.
Masyarakat Batak merupakan salah satu kelompok etnis yang masih kuat
mempertahankan tradisi ritual adat dalam berbagai tahapan peristiwa, termasuk
dalam peristiwa pernikahan. Dalam menjalankan ritual adat, masyarakat Batak
tidak hanya melibatkan pihak keluarga dekat namun juga seluruh kerabat yang
bersangkutan. Oleh sebab itu, ritual adat pada upacara pernikahan suku Batak
membutuhkan ruang dengan penataan khusus agar dapat berlangsung dengan
baik. Yang menarik, banyaknya masyarakat Batak yang mulai berpindah ke kotakota
besar
ternyata
tidak
menjadi
penghambat
mereka
untuk
tetap
mempertahankan tradisi. Di Jakarta, saat ini terdapat lebih dari sepuluh gedung
yang ditata khusus untuk ritual adat pernikahan suku Batak. Berikut ini adalah
beberapa gedung yang digunakan untuk upacara adat pernikahan Batak Toba.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
memiliki beberapa rangkaian acara. Pada skripsi ini, saya membahas mengenai
upacara pesta unjuk (pesta adat) yang menjadi inti dari seluruh rangkaian acara.
Studi kasus yang dipilih adalah pesta adat yang berlangsung di Gedung Raja,
Kebon Nanas, Jakarta Timur pada bulan Februari sampai Mei 2012.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
pernikahan kebudayaan lain untuk mendukung analisis studi kasus. Saya juga
menggunakan hasil rekaman video upacara pernikahan adat Batak Toba di
Jakarta. Dengan data dari hasil studi literatur, survey, observasi, serta pengamatan
video, saya berharap dapat mengumpulkan bahan untuk mendukung analisis saya.
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan secara kualitatif, dengan
pengumpulan data primer (observasi, survey) dan sekunder (studi literatur).
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
PERMASALAHAN
Bagaimana ritual adat mempengaruhi setting
dan kualitas ruang dan akhirnya
mempengaruhi kualitas ritualnya? Apakah
ruang memiliki peran utama?
TUJUAN
Mengungkap dan membahas hubungan ruang dan ritual adat.
Masukan bagi dunia arsitektur interior mengenai pengaruh
ritual dalam penataan interior.
Mengangkat makna dan nilai budaya pada aspek desain
ruang di era moderenisasi melalui pemeliharaan warisan
kebudayaan.
KAJIAN TEORI
Manusia
Ritual dan pernikahan
Ruang dan manusia
METODE
Studi Literatur :
Masyarakat dan kebudayaan suku Batak Toba
Studi Kasus :
Pernikahan adat Batak Toba di Jakarta
Kasus Pembanding :
Pernikahan adat Jepang
ANALISIS
Peninjauan studi kasus
berdasarkan teori
KESIMPULAN
Gambar 1.1 Kerangka Proses Berpikir (Sumber : pribadi)
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
BAB 2
MANUSIA, RITUAL, DAN SUKU BATAK TOBA
saling
mempengaruhi
antarindividu
maupun
individu
dengan
masyarakat. Interaksi sosial terjadi ketika ada kontak sosial dan komunikasi
antar individu (Simmel, 2001, hal.110). Interaksi sosial sifatnya dinamis,
sehingga akan membentuk adanya kelompok sosial dengan latar belakang
yang beragam.
Kelompok sosial terbentuk dari kesamaan kebutuhan antar individu
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di sinilah budaya menjadi salah satu
bagian dari lingkungan yang diciptakan manusia dalam berinteraksi.
Kebudayaan menjadi salah satu landasan dalam pembentukan pola hidup
masyarakat dan lingkungan sehingga pada akhirnya menjadi identitas suatu
kelompok sosial. Kebudayaan dan kehidupan manusia saling berinteraksi dan
saling mempengaruhi. Kebudayaan terbentuk dari hasil interaksi sosial antar
individu yang berkembang menyesuaikan perubahan yang terjadi. Perubahan
tersebut pun akan mempengaruhi kebudayaannya dan begitu pula sebaliknya.
We know that you cannot explain a city-or any other
environment-until you understand the kinds of people who live in
it: their ethnic and social backgrounds, their cultural habits,
income levels, and general scheme of values. (Dempsey, 1974,
hal. 11).
Dengan demikian, kehidupan sosial berkaitan erat dengan interaksi antar
individu, antar kelompok, antara kehidupan sosial dengan lingkungan hidup
dan alam sekitar, serta antara berbagai hal yang timbul dari aktivitas manusia.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
10
Universitas Indonesia
11
nikah yang dijalani, mulai dari masa dipiare, siraman, tangas atau
kum, dan ngerik atau malem pacar. Rangkaian ini memiliki makna
untuk kelancaran acara akad nikah. Acara paling penting dalam
sebuah pernikahan adalah akad nikah dimana pengantin disatukan
secara agama. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan acara negor dan
pulang tige ari, yaitu acara dimana pengantin laki-laki mulai
diizinkan menginap di rumah pengantin perempuan.
12
13
Universitas Indonesia
14
Universitas Indonesia
15
Universitas Indonesia
16
Universitas Indonesia
17
peranan penting di setiap upacara. Tanpa adanya unsur tersebut, upacara adat
tidak terlaksana dengan baik sehingga kehadiran unsur pelaku adat tersebut
sangat diharapkan di seluruh upacara adat. Dapat disimpulkan bahwa
hubungan kekerabatan yang dilibatkan dalam upacara adat menjadi bukti
pentingnya peran manusia sebagai makhluk sosial.
2.2.5 Konsep Pernikahan
Sebagai manusia, masyarakat Batak Toba mengalami daur hidup sejak
lahir sampai mati dan pernikahan adalah salah satunya. Pernikahan suku
Batak bermakna sebagai penyatuan dua marga yang terlibat melalui
pelaksanaan upacara adat. Masyarakat Batak percaya upacara adat dapat
mempererat hubungan antarkeluarga yang bersangkutan sampai ke generasi
selanjutnya. Pada suku Batak Toba, jika seorang laki-laki akan menikah,
dianjurkan agar calon istrinya berasal dari marga yang sama dengan sang Ibu
(dikenal dengan istilah pariban) agar semakin mendukung hubungan
kekerabatan dengan keluarga sang Ibu (hula-hula).
Sesuai dengan konsep Dalihan Na Tolu, terdapat tiga peran penting
dalam upacara adat pernikahan Batak Toba.
Hula-hula
Hula-hula adalah sapaan terhadap orang tua dan saudara laki-laki dari
pengantin perempuan, terdiri dari tulang, tulang rorobot, bona tulang,
bona ni ari, dll.
Dongan tubu
Dongan tubu adalah orang-orang yang memiliki marga sama dengan
suhut (keluarga yang menggelar acara).
Boru
Pada acara adat, boru adalah para suami dari anak pihak perempuan
suhut dan suami dari anak perempuan dongan tubu.
Seorang istri yang baru menikah memiliki kepemilikan atas marga sang
suami tetapi biasanya mereka tetap mencantumkan marga asli mereka di
belakang marga suami, misalnya Ibu Rosa Simanjuntak, br. Sidabutar
Universitas Indonesia
18
(Simanjuntak adalah marga sang suami, dan Sidabutar marga asli). Hal ini
penting untuk mempererat hubungan kekeluargaan, terutama hula-hula.
Dulu masyarakat Batak menikah saat berumur 20 tahun dan biasanya
melalui rencana keluarga terutama orang tua (sistem perjodohan). Pernikahan
tanpa sistem perjodohan biasanya dikarenakan sudah ada pilihan dari kedua
calon pengantin itu sendiri. Di sini, kedua calon pengantin dibebaskan
memilih pasangan karena dianggap memiliki tingkat kedewasaan yang
memadai pada tahap maturity (gambar 2.1) dan tahap adulthood (gambar
2.2).
Satu-satunya
batasan
dalam
memilih
pasangan
adalah
tidak
diperkenankannya memilih pasangan dari marga yang sama. Aturan ini tidak
boleh dilanggar karena akan berdampak pada hubungan kekerabatan
keluarga. Di daerah pedesaan, pemilihan pasangan biasanya didominasi
kesamaan daerah asal. Hal ini dipengaruhi karena mereka sudah saling
mengenal dan terdapat hubungan sosial antar kedua orang tua. Orang tua
memiliki peranan penting dalam hubungan calon mempelai sebab ketentuan
proses pernikahan biasanya diserahkan sepenuhnya kepada orang tua.
Bagi masyarakat Batak Toba, hal penting dalam proses perkenalan
antara kedua pihak adalah saat melakukan negosiasi harga mahar calon
pengantin perempuan. Proses negosiasi terdengar seolah-olah seperti proses
pembelian, namun dalam kenyataannya hal ini merupakan sebuah
kompensasi untuk keluarga pengantin perempuan karena anak perempuannya
akan diserahkan ke pihak laki-laki setelah menikah. Harga mahar (sinamot)
ditentukan berdasarkan status sosial orang tua dan kualitas pendidikan calon
pengantin
perempuan.
Semakin
tinggi
status
sosial
dan
kualitas
pendidikannya, semakin tinggi harga mahar yang harus dibayar pihak lakilaki. Proses ini merupakan proses awal dari rangkaian pernikahan adat Batak
Toba. Hubungan yang tercipta antarkeluarga tidak hanya mempengaruhi
hubungan pengantin saja, tetapi juga hubungan kedua keluarga. Inilah
sebabnya, perceraian jarang terjadi pada masyarakat Batak.
Universitas Indonesia
19
Universitas Indonesia
20
Universitas Indonesia
21
2. Musik Gondang
Menurut tradisi Batak, gondang adalah seperangkat alat musik,
ansambel musik, serta komposisi lagu. Gondang umumnya dimainkan
beserta tari tor-tor. Komposisi musik gondang tergolong unik.
Walaupun terbagi dalam tangga nada yang sama dengan musik pada
umumnya, penyusunan nada pada gondang berbeda dan hanya memiliki
lima tingkatan nada.
Berbagai jenis lagu yang dimainkan biasanya tergantung niat dan
tujuan pemimpin adat. Anggapan sakral terhadap gondang membuat
para pemusik gondang mendapat penghormatan tinggi. Gondang
digunakan hampir dalam semua kegiatan tradisional Batak, seperti pesta
kelahiran, kematian, pernikahan, dll. Selain sebagai hiburan, gondang
juga memiliki nilai magis. Namun masuknya agama dan pengaruh
budaya modern telah merubah banyak hal. Di sebagian besar
pertunjukan, gondang hanya dimainkan sebagai hiburan. Kesakralan
gondang mulai luntur dan banyak dari mereka yang tidak mengerti
makna permainan gondang.
3. Tari Tor-tor
Tari tor-tor adalah tarian tradisional Batak Toba yang gerakannya
seirama dengan iringan musik gondang. Tradisi menari tor-tor pada
umumnya berlangsung pada masyarakat Batak di wilayah Samosir,
Toba. Menurut sejarah, tari tor-tor hanya digunakan dalam ritual
Universitas Indonesia
22
2.3 Kesimpulan
Kelompok etnis Batak Toba adalah salah satu bentuk peran manusia
sebagai individu dan sosial. Hidup bersosialisasi dianggap penting sehingga
sistem ini diterapkan dalam setiap peristiwa kehidupan. Peran keluarga pun
menjadi bagian penting di dalamnya. Tak dipungkiri bahwa tanpa keluarga,
makna dalam setiap peristiwa sulit diperoleh. Itulah sebabnya mereka memegang
kuat konsep kekerabatan dan konsep adat sebagai bentuk dari interaksi sosial.
Dalam upacara adat, konsep adat memiliki peranan penting, dalam bentuk
ritual dan sarana adat. Sebagai contoh, penggunaan kain ulos sebagai sarana adat
dalam upacara pernikahan. Ulos tidak hanya digunakan sebagai sarana adat tetapi
memiliki makna sebagai bentuk perwujudan dari hubungan kekerabatan baru
antara dua keluarga yang terbentuk dari ikatan pernikahan. Dengan demikian,
hubungan konsep kekerabatan yang mereka miliki tetap tercapai. Selain itu,
kesenian tradisional yang mereka miliki seperti musik gondang dan tari tor-tor
juga kerap digunakan walaupun sudah mengalami pergeseran makna seiring
dengan masuknya agama.
Universitas Indonesia
BAB 3
RUANG DAN MANUSIA
merupakan
indera
yang
paling
dominan
dalam
23
Universitas Indonesia
24
Universitas Indonesia
25
sama,
tergantung
perkembangan
pemikiran
manusia
terhadap
lingkungannya.
Universitas Indonesia
26
Bentuk
Penataan ruang terbagi menjadi dua, yaitu ruang sosiopetal dan ruang
sosiofugal (Laurens, 2004, hal. 120). Tatanan sosiopetal merujuk pada
tatanan yang mampu memfasilitasi interaksi sosial, misalnya tatanan
Universitas Indonesia
27
meja makan yang berhadapan satu sama lain sehingga pengguna dapat
berinteraksi. Berlawanan dengan sosiopetal, tatanan sosiofugal justru
dapat mengurangi interaksi sosial, misalnya tatanan tempat duduk
yang saling membelakangi pada ruang tunggu. Selain itu, penataan
yang terbentuk juga dapat menjadi batasan pada ruang itu sendiri.
cenderung
menghasilkan
kualitas
ruang
lebih
hangat
Universitas Indonesia
28
Kepadatan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu kepadatan ruang atau
kepadatan sosial. Kepadatan ruang terjadi karena luas ruangan yang terlalu sempit
untuk jumlah individu di dalamnya, sedangkan kepadatan sosial terjadi karena
jumlah individu yang terlalu banyak untuk ruang yang tersedia. Itulah sebabnya,
perhitungan mengenai tingkat kepadatan lebih baik tidak dihitung dari jumlah
individu per unit area tetapi dari jumlah dan kedekatan seseorang dalam suatu
komunitas pada suatu area (Knowles, 1979).
Kepadatan berbeda dengan kesesakan. Menurut Stokols (1972), kepadatan
(density) adalah kendala keruangan (spatial constraint) sementara kesesakan
(crowding) lebih mengarah kepada respon tiap individu terhadap sebuah ruang.
Kepadatan sifatnya lebih objektif dan terukur, sedangkan kesesakan lebih merujuk
pada persepsi dan pengalaman tiap individu sehingga sifatnya lebih subjektif.
Sebagai contoh pada tingkat kepadatan yang sama, seseorang merasa sesak namun
orang lain belum tentu merasakan hal yang sama atau misalnya pada tingkat
kesesakan yang sama, perempuan biasanya cenderung lebih bisa menahan tingkat
emosi dibandingkan laki-laki. Oleh sebab itu, kepadatan tidak selalu berbanding
lurus dengan kesesakan dan begitu juga sebaliknya.
Universitas Indonesia
29
2004). Oleh sebab itu, perilaku manusia perlu menjadi pertimbangan dalam
menciptakan ruang. Behavior setting (setting perilaku) merupakan bentuk
perwujudan dari hubungan tatanan lingkungan fisik dengan pola perilaku
manusia.
Menurut Laurens (2004), setting perilaku dapat terbentuk dengan beberapa
kriteria, antara lain:
Terdapat satu atau lebih pola perilaku dari kegiatan yang berulang
(standing pattern of behavior).
Universitas Indonesia
30
Sistem tempat atau ruang (system of setting), yaitu rangkaian unsur fisik
atau spasial yang saling berhubungan sehingga dapat digunakan untuk
suatu kegiatan tertentu.
Dari pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa sebuah setting memiliki suatu
struktur internal yang menjadikan suatu kegiatan dan pelakunya memiliki makna
(Laurens, 2004, hal 177). Dengan pola perilaku yang muncul, peran setiap orang
pun dapat terlihat. Terlihat pada gambar 3.5, pemimpin rapat menempati posisi di
bagian tengah sehingga dapat melihat dan dilihat oleh peserta rapat. Dengan
begitu peran pemimpin rapat sebagai pusat perhatian dan pemegang kendali pada
aktivitas tersebut dapat terlihat. Contoh lainnya terlihat pada setting pasar yang
mengatur perilaku penggunanya sebagai pembeli dan penjual (gambar 3.6).
yaitu sama-sama
31
menuntut manusia untuk bergerak dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya. Ruang,
peristiwa, dan pergerakan memiliki hubungan dalam membentuk suatu karya
arsitektur. Ruang hadir untuk mengakomodasi kegiatan dan setiap pola kegiatan
yang terbentuk akan menciptakan karakter dan kualitas ruang itu sendiri. Untuk
menghadirkan kualitas sebuah bangunan atau kota, kita harus memulai dengan
memahami bahwa setiap tempat hadir dengan karakternya yang terlihat dari pola
kegiatan yang berlangsung di dalamnya (Alexander, 1979, hal 54).
Arsitektur bukanlah kondisi dari sebuah desain tetapi desain dari sebuah
kondisi (Tschumi, 1999, hal 259). Hal ini dapat terlihat dari kesamaan antara
ruang dan bunga. Untuk menghasilkan bunga berkualitas baik, kita tidak dapat
memperolehnya hanya dengan menggabungkan setiap bagiannya satu per satu.
Kita perlu menanam dan merawatnya setiap hari. Begitu juga dengan sebuah
ruang. Ruang tidak dapat membentuk kualitasnya sendiri hanya dengan bentuk
fisik maupun ornamen di dalamnya. Bagaimana manusia membentuk kualitas
dalam setiap kegiatan dan situasi pun menjadi unsur penting untuk menghadirkan
ruang yang berkualitas.
3.6 Kesimpulan
Ruang dan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Oleh sebab itu segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia secara tidak
langsung memiliki pengaruh terhadap ruang. Bagaimana manusia berperilaku dan
berapa banyak jumlah individu yang terlibat tanpa disadari akan mempengaruhi
ruang, baik bentuk maupun kualitasnya. Tidak hanya itu, kualitas ruang yang
terbentuk pun juga mempengaruhi perilaku dan kegiatan manusia di dalamnya.
Namun kualitas sebuah ruang hadir tergantung persepsi manusia terhadap ruang
tersebut melalui indera yang dimiliki. Kualitas ruang dikatakan baik jika dapat
memberikan kualitas pada kegiatan yang berlangsung, dan begitu juga sebaliknya.
Jadi, kualitas ruang menjadi jawaban dan kunci utama untuk memenuhi
kebutuhan manusia terhadap sebuah ruang.
Universitas Indonesia
BAB 4
RUANG DAN RITUAL ADAT PERNIKAHAN BATAK TOBA
DI JAKARTA
33
Gambar 4.1 Interior ruang pernikahan adat Batak Toba (Sumber : Pribadi)
Universitas Indonesia
34
Gambar 4.2 Denah interior ruang pernikahan Batak Toba (Sumber : Pribadi)
Pada acara ini penataan ruang dibagi menjadi empat bagian, yaitu untuk
keluarga pihak laki-laki, keluarga pihak perempuan, ruang ritual, serta pelaminan.
Pada gambar 4.1, penggunaan karpet merah di bagian tengah menjadi penanda
Universitas Indonesia
35
ruang ritual utama. Hal ini juga didukung dengan adanya drop ceiling dan
penggunaan lampu gantung yang semakin mempertegas posisi ruang ritual. Plafon
tinggi dengan luas ruangan yang besar, serta penggunaan warna putih yang
dominan menghadirkan kesan megah dan luas pada ruangan. Dengan setting yang
terbentuk, area bagian tengah terlihat sebagai area yang aktif dengan pergerakan
dan perpindahan saat ritual berlangsung. Hal ini juga didukung dengan adanya
alur yang mengatur arah pergerakan, baik menuju pelaminan maupun menjauh
dari pelaminan.
Adanya penataan khusus untuk kursi dan meja juga mengarahkan orientasi
pandangan ke bagian tengah ruang ritual. Selain itu, level pelaminan dibuat
sengaja lebih tinggi agar pelaminan tempat orang tua dan pengantin duduk
sebagai pelaku utama ritual dapat terlihat dengan jelas. Setting tersebut
sebenarnya juga memungkinkan munculnya peran mereka sebagai objek yang
melihat. Namun sesuai teori behavior setting, populasi juga mempengaruhi peran
dalam sebuah setting. Karena jumlah mereka lebih sedikit, secara psikologi
mereka akan tertekan dengan jumlah populasi tamu sebagai pengamat sehingga
mereka lebih berperan sebagai objek yang dilihat.
Gambar 4.3 Skema dan orientasi pada interior gedung pernikahan Batak Toba
(Sumber : Pribadi)
Universitas Indonesia
36
Gambar 4.4 Orientasi pandangan pada setting 1 di bagian bawah (Sumber : Pribadi)
Universitas Indonesia
37
Selain levelnya yang dibuat lebih tinggi, pelaminan juga didesain dengan latar
berbentuk rumah adat Batak dengan motif dan pemilihan warna cerah. Hal ini
menegaskan setting pelaminan sebagai ruang utama yang secara tidak langsung
menghadirkan kualitas ruang khusus sekaligus penanda identitas adat Batak Toba.
38
Terlihat pada gambar 4.7, posisi ritual secara tidak langsung menjadikan
pelaminan sebagai latar pada ritual ini. Desain pelaminan sebagai latar yang
dilengkapi dengan tarian tor-tor dari para penari menjadi elemen utama dalam
menghadirkan kualitas ruang. Penggunaan kain ulos dengan warna beragam,
gerakan tari tor-tor, serta iringan musik Batak Toba saat ritual ini berlangsung
semakin membangkitkan suasana budaya Batak Toba pada pernikahan ini. Prosesi
yang dilakukan di bagian tengah pun membuat fokus para tamu terarah ke bagian
tengah.
Prosesi ini juga membangun pengalaman ruang dan adaptasi ruang oleh
para individu. Keluarga dan pengantin secara tidak langsung diperkenalkan
sebagai pelaku ritual utama. Apa yang dirasakan para pengamat ritual tentu akan
berbeda jika keluarga dan pengantin langsung duduk di tempatnya masing-masing
tanpa ada prosesi memasuki gedung. Tidak ada musik gondang dan tari tor-tor
yang menghidupkan suasana pada awal acara pernikahan.
Universitas Indonesia
39
Pelaminan sebagai latar serta kain ulos yang digunakan para pelaku ritual terlihat
dominan. Elemen lain juga berperan dalam menghadirkan kualitas ruang secara
nonvisual, misalnya bau dari makanan adat serta ucapan doa dalam bahasa Batak
Toba. Hal ini mempengaruhi pengalaman ruang melalui indera penciuman dan
pendengaran sehingga suasana pernikahan Batak Toba semakin terasa kuat.
Universitas Indonesia
40
Gambar 4.10 Skema ruang ritual saat penyerahan tanda makanan adat
(Sumber : Pribadi)
Pada gambar 4.10, ruang ritual berada di bagian depan pelaminan. Pelaku ritual
berdiri di sebelah kiri (pihak laki-laki) dan kanan (pihak perempuan) tanda
makanan adat. Pada ritual ini, tamu lain tidak ikut berperan sehingga fokus utama
hanya pada ruang ritual yang terbentuk. Setting yang terbentuk menghasilkan
respon dan persepsi ruang yang berbeda antarindividu. Mereka yang berada di
belakang hanya memperoleh informasi dengan cara mendengar apa yang
diucapkan para pelaku ritual. Selain itu, suara yang mereka dengar dari jarak yang
jauh susah untuk ditangkap. Dengan kondisi tersebut, makna ritual yang mereka
dapat akhirnya tidak sebaik mereka yang dapat melihat ritual dengan jelas sebab
apa yang ditangkap mata lebih dominan daripada yang didengar telinga.
41
Pada ritual Batak Toba, tempat duduk tamu ditata saling berhadapan dan
bersebelahan. Penataan dan penyajian makanan yang langsung berada di meja
masing-masing terlihat seperti jamuan makan di kerajaan Eropa. Sesuai dengan
teori Laurens (2004), penataan tempat duduk seperti ini menggunakan tatanan
sosiopetal sehingga mampu memfasilitasi interaksi sosial. Selain karena penyajian
makanan yang memang dibagi secara berkelompok sehingga memicu terjadinya
interaksi, penataan tempat duduk yang saling berhadapan pun ternyata
mendukung interaksi tersebut.
Universitas Indonesia
42
Gambar 4.13 Skema posisi duduk tamu saat makan bersama (Sumber : Pribadi)
Universitas Indonesia
43
Gambar 4.17 Skema posisi pelaku ritual saat bersalaman (Sumber : Pribadi)
44
Universitas Indonesia
45
Pengalaman ruang bagi mereka yang melihat prosesi ritual ini sangat
dipengaruhi desain pelaminan sebagai latar serta kegiatan ritual sebagai objek
yang dilihat. Level pelaminan yang lebih tinggi juga memperjelas arah pandang
mereka sebagai objek yang melihat walaupun
pandang yang tidak sama. Dengan jarak yang jauh, apa yang ditangkap manusia
secara visual akan bekerja lebih baik dibandingkan apa yang ditangkap secara
nonvisual. Namun posisi raja parhata yang membelakangi para tamu
menghalangi pandangan mereka ke pengantin sebagai pelaku ritual utama. Bentuk
fisik ruang sebenarnya memungkinkan banyaknya pergerakan yang dilakukan tiap
individu untuk dapat mengalami ruang. Namun setting yang diatur membuat
pergerakan pada akhirnya terbatas sehingga mereka.
Universitas Indonesia
46
kepada orang tua pengantin perempuan. Sebelum sinamot diberikan kepada orang
tua pengantin perempuan, sinamot diserahkan kepada saksi kedua pihak untuk
diperiksa dan dibubuhi daun sirih di atasnya.
Ruang ritual terbentuk mengikuti pergerakan orang tua dan beberapa keluarga
pengantin perempuan sebagai pelaku utama. Acara dimulai saat pelaku utama
turun ke bawah menghampiri saksi kedua pihak. Pada posisi ini, pelaminan tetap
terlihat sebagai latar utama pada ritual ini karena levelnya yang lebih tinggi.
Selain itu, musik gondang dan tari tor-tor yang mengiringi prosesi serta
penggunaan kain ulos dengan warna beragam semakin menghadirkan suasana
Batak. Di sinilah peran desain pelaminan serta musik dan tari menjadi penting
dalam menghadirkan kualitas ruang, baik secara visual maupun nonvisual.
Pada ritual ini, fokus para tamu sebagai pengamat terlihat tidak terarah
sehingga mereka yang tidak bisa melihat ritual cenderung melakukan aktivitas
lain di luar ritual itu sendiri. Tidak adanya batasan masif semakin mendukung
interaksi sosial antar tiap individu sehingga memicu terjadinya aktivitas lain.
Dengan kondisi tersebut, mereka akhirnya tidak memaknai ritual secara
keseluruhan.
Universitas Indonesia
47
Gambar 4.23 Suasana setting 1 saat orang tua pihak laki-laki menghampiri saksi (Sumber : Pribadi)
Gambar 4.25 Arah pandangan ketika orang tua pihak laki-laki memberikan sinamot
ke orang tua pihak perempuan (Sumber : Pribadi)
48
Saat berada di pelaminan, peran mereka sebagai objek yang dilihat tercapai pada
ritual ini karena level pelaminan yang lebih tinggi. Namun pada akhirnya karena
ritual yang mereka tangkap tidak utuh, pemaknaan ritual menjadi tidak sempurna.
Mereka hanya dapat melihat ritual ini tanpa melihat ritual yang terjadi
sebelumnya. Sama dengan prosesi sebelumnya, musik gondang, tari tor-tor, dan
warna kain ulos ikut mendukung kualitas ruang. Terlihat pada gambar 4.26, peran
sinamot sebagai objek utama yang selalu dibawa orang tua pihak laki-laki juga
tidak kalah penting dalam mengambil peran sebagai objek yang dilihat sehingga
ikut mempengaruhi kualitas ruang.
4.1.6 Penyerahan Panandaion
Penyerahan panandaion bertujuan memperkenalkan keluarga dekat pihak
perempuan kepada keluarga pihak pria. Secara simbolis, panandaion berupa uang
yang diserahkan di atas pelaminan kepada empat orang perwakilan yang disebut
dengan patodoan atau suhi ampang na opat. Mereka menjadi simbol pilar
kekuatan pada acara adat.
Universitas Indonesia
49
Gambar 4.29 Skema ruang ritual penyerahan tintin marangkup (Sumber : Pribadi)
Universitas Indonesia
50
Ruang terbentuk dari pergerakan orang tua kedua pihak sebagai pelaku
utama dari pelaminan sampai ke tempat hula-hula. Hampir sama dengan saat
penyerahan sinamot, walaupun ruang yang terbentuk tidak hanya di pelaminan,
latar utama yang terlihat pada ritual ini tetap pelaminan. Fokus utama ritual ini
sebenarnya berada saat penyerahan tintin marangkup di tempat hula-hula.
Jauhnya posisi hula-hula dengan pelaminan membuat latar utama ritual ini tidak
lagi pelaminan. Orang lain yang duduk sebagai objek yang melihat justru menjadi
latar pada kondisi ini. Oleh sebab itu, tintin marangkup dan kain ulos yang
digunakan menjadi elemen yang lebih dominan dalam menghadirkan kualitas
ruang. Iringan musik gondang dan kata-kata dalam bahasa Batak Toba juga
mempengaruhi suasana ruang.
Universitas Indonesia
51
Gambar 4.31 Skema ruang saat prosesi pemberian ulos pertama dan ketiga (Sumber : Pribadi)
Gambar 4.32 Pelaminan sebagai latar saat prosesi pemberian ulos (Sumber : Pribadi)
Penggunaan kain ulos sebagai sarana adat sangat mendominasi kualitas ruang.
Prosesi saat kain ulos dibawa dan kemudian diserahkan menjadi elemen utama
pada ritual ini. Hal ini semakin didukung dengan iringan musik gondang dan
ucapan doa dalam bahasa Batak Toba yang memengaruhi pengalaman ruang
manusia melalui pendengaran sehingga suasana terasa lebih meriah.
Universitas Indonesia
52
Gambar 4.34 Skema ruang saat prosesi pemberian ulos ketiga (Sumber : Pribadi)
Terlihat pada gambar 4.34, ulos diberikan dari pihak perempuan (sisi kiri) kepada
pihak laki-laki (sisi kanan) sehingga ruang terbentuk dari arah kanan ke kiri.
Dengan posisi seperti ini, latar pada ruang ritual ini tidak hanya pelaminan. Orang
yang duduk di belakang sebagai objek yang melihat pelaku ritual akhirnya juga
berperan sebagai latar ruang ritual.
Pemberian ulos ke-3 adalah prosesi pemberian ulos utama pada ritual ini.
Ulos diberikan kepada pengantin secara berturut-turut dari keluarga pihak
perempuan, hula-hula pihak perempuan, serta hula-hula pihak laki-laki.
Pemberian ulos ini bermakna sebagai ucapan berkat dan doa restu untuk
pengantin. Pemberi ulos berjalan berdampingan dengan pasangan masing-masing
menuju pengantin sebagai penerima ulos yang duduk di depan pelaminan. Ruang
yang terbentuk tidak berbeda dengan pemberian ulos pertama sehingga kualitas
ruang yang dirasakan juga tidak mengalami perubahan.
Universitas Indonesia
53
Ritual pemberian ulos adalah ritual yang paling penting pada upacara
pernikahan Batak Toba karena maknanya sebagai doa untuk pengantin dan
keluarga. Oleh sebab itu, saat ritual ini berlangsung banyak orang yang berdiri
dari tempat duduknya untuk dapat melihat prosesi ritual dengan jelas. Tak jarang
juga orang yang memindahkan kursinya ke tempat yang lebih dekat. Terlihat
adanya respon yang dilakukan manusia terhadap setting ruang sehingga
ketidakteraturan tersebut akhirnya membuat setting awal menjadi tidak berlaku.
Namun hal ini tidak menjadi masalah selama tidak mengganggu prosesi ritual
berlangsung. Pada kasus ini, pemaknaan ritual terlihat menjadi lebih penting
daripada setting ruang itu sendiri.
Gambar 4.35 Setting ruang yang tidak teratur saat prosesi pemberian ulos
(Sumber : Pribadi)
54
Gambar 4.36 Orang tua dan pengantin memberi ucapan terimakasih (Sumber : Pribadi)
Saat orang tua dan pengantin memberikan ucapan terimakasih, ruang ritual
terbentuk di pelaminan tempat orang tua dan pengantin berdiri. Tidak ada
pembentukan ruang yang berbeda karena pelaku ritual tetap berdiri bersebelahan
di tempat awal masing-masing. Mereka hanya bergerak dari posisi duduk menjadi
berdiri.
Desain pelaminan sangat mendominasi desain ruang pada ritual ini. Pelaku ritual
yang berperan sebagai objek yang dilihat berdiri tepat di depan latar pelaminan
sehingga fokus utama yang ditangkap mata mengarah ke pelaminan. Oleh sebab
itu, seluruh elemen yang ada di pelaminan menjadi elemen penentu kualitas
ruang, termasuk kain ulos yang digunakan para pelaku ritual.
Universitas Indonesia
55
Terlihat pada gambar 4.38, ruang ritual terbentuk mengikuti pergerakan pelaku
ritualnya. Saat raja parhata pihak laki-laki berjalan menghampiri raja parhata
pihak perempuan sambil membawa uang olop-olop, ruang ritual terbentuk dari
sisi pihak laki-laki ke pihak perempuan. Posisinya yang berada di depan
pelaminan membuat pelaminan menjadi latar utama. Namun karena levelnya yang
sama, orang yang duduk di belakang tidak bisa melihat jelas prosesi ritual
berlangsung sehingga mempengaruhi pengalaman ruang yang dirasakan.
Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa ruang tidak menjadi satu-satunya
elemen yang berperan dalam menghadirkan kualitas ruang dan ritual. Adanya
peran elemen lain seperti kain ulos, musik gondang, penggunaan bahasa Batak
Toba, serta sarana adat lain juga tidak kalah penting dengan peran ruang itu
sendiri.
Universitas Indonesia
56
57
Ruang yang dibutuhkan dalam pernikahan ritual Shinto pada umumnya tidak
berukuran besar. Namun agar ritual dapat berjalan lancar, interior ruang tetap
perlu memiliki penataan khusus. Terlihat pada gambar 4.39, penataan ruang
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu altar, ruang untuk tempat duduk keluarga dan
kerabat, serta ruang ritual. Penataan tersbeut secara tidak langsung juga
mengarahkan posisi ruang ritual di bagian tengah.
Bentuk ruang yang sederhana tanpa permainan ceiling maupun level
menghadirkan suasana kesederhanaan pada ruang pernikahannya. Hal ini juga
didukung dengan pemilihan warna coklat dan material kayu yang memberi kesan
hangat dan intim sehingga mendukung kesucian pernikahan ritual Shinto.
Ruang pernikahan ritual Shinto juga memiliki dua setting untuk tempat
duduk tamu dan keluarga seperti pernikahan adat Batak Toba. Namun karena
jumlah individu yang terlibat tidak sebanyak pernikahan Batak Toba, setting
tempat duduk hanya dibagi menjadi dua sampai tiga lapis. Oleh sebab itu,
perbedaan level tidak diterapkan pada ruang pernikahan ritual Shinto. Uniknya,
hal tersebut tidak menjadi masalah untuk setting ruang. Ukuran ruang yang kecil
Universitas Indonesia
58
membuat jarak pandang manusia tidak terlalu jauh dan mendukung peran ritual
sebagai suatu pertunjukkan yang dilihat. Selain itu, penggunaan meja panjang
juga tidak menjadi pilihan karena ruang yang tersedia mampu mewadahi jumlah
individu yang terlibat. Dengan begitu, peran pelaku sebagai objek yang dilihat
tercapai sehingga ritual tidak hanya dirasakan mereka tetapi juga dirasakan tamu
lain sebagai pengamat.
Universitas Indonesia
59
60
Gambar 4.46 Skema ruang saat ritual penyucian dan san-sankudo (Sumber : Pribadi)
Terlihat pada gambar 4.46, ruang ritual berada di depan altar tempat pengantin
dan shinto melakukan ritual sehingga desain altar kemudian menjadi latar utama
dan elemen utama pembentuk kualitas ruang. Adanya elemen lain seperti kimono,
sake, dan sarana adat lainnya juga mendukung suasana pernikahan dan kualitas
ruang yang digunakan.
4.2.3 Pengucapan Janji Pernikahan
Saat pengantin mengucap janji, kedua keluarga yang bersangkutan saling
berhadapan dan kemudian masing-masing anggota keluarga dan kerabat dekat
saling bergantian minum sake. Ritual ini memiliki makna sebagai lambang
persatuan kedua keluarga melalui ikatan pernikahan. Ruang ritual yang terbentuk
pada saat pengucapan janji pernikahan ini tidak mengalami perubahan dengan
ruang ritual sebelumnya. Kegiatan ritual yang dilakukan memang berubah namun
tidak terjadi perpindahan. Oleh sebab itu, kualitas ruang yang hadir juga tidak
berubah.
Universitas Indonesia
61
Tujuan ritual pemberian sesaji ini adalah mengusir roh-roh jahat dengan cara
pembersihan serta doa dan persembahan kepada Dewa Shinto.
Sama dengan ritual sebelumnya, ruang ritual pada acara penutup ini juga tidak
mengalami perubahan karena| tidak adanya perpindahan yang dilakukan. Terlihat
pada gambar 4.47, pengantin tetap duduk berdampingan dan berhadapan dengan
pendeta Shinto sebagai pemimpin ritual. Namun yang berbeda adalah peran
sakaki sebagai sarana adat. Prosesi saat pengantin perempuan memegang sakaki
serta bentuk ranting sakaki secara tidak langsung menghadirkan pengalaman
ruang yang berbeda.
Kesederhanaan ritual Shinto tidak terlalu mempengaruhi ruang ritual. Ritual tidak
menuntut adanya perpindahan posisi pelaku ritual sehingga kualitas ruang ritual
juga tidak berubah. Namun adanya elemen lain yang digunakan sebagai sarana
adat secara tidak langsung mendukung kualitas ruang yang tercipta.
Universitas Indonesia
62
4.3 Kesimpulan
Tabel 4.1 Hubungan Ruang dan Ritual Upacara Adat Pernikahan Batak Toba (sumber: pribadi)
Universitas Indonesia
63
Universitas Indonesia
64
menjadi salah satu alasan sehingga terdapat setting khusus untuk dapat
mengakomodasi seluruh individu. Namun setting tersebut tidak begitu didukung
dengan desain ruangnya. Contohnya kesamaan level antara ruang ritual dan
tempat duduk tamu seringkali menghambat peran tamu sebagai pengamat.
Jauhnya jarak pandang membuat orang yang berada di bagian belakang terhalang
orang di depannya. Dengan kondisi tersebut, fokus tamu menjadi tidak terarah dan
memicu mereka melakukan hal lain di luar ritual tersebut. Oleh sebab itu,
perbedaan dari apa yang diperoleh tiap individu menghasilkan persepsi yang tidak
sama sehingga pemaknaan ritual setiap orang berbeda. Selain itu, setting yang
dibuat berlapis-lapis untuk menghindari terjadinya kesesakan ternyata tidak
berlaku untuk ritual tertentu. Setting justru menimbulkan respon beberapa
individu terhadap kebutuhan ruang yang lebih luas untuk dapat memaknai ritual
tersebut. Mereka kerap melakukan usaha dengan memanipulasi ruang sehingga
mengubah setting yang ada dan setting awal menjadi tidak berlaku. Adanya
elemen lain seperti kain ulos, musik gondang, tari tor-tor, dll yang digunakan
ternyata tidak hanya berperan sebagai sarana adat. Secara tidak langsung elemen
tersebut membantu menghadirkan kualitas ruang, baik secara visual maupun
nonvisual, yang tidak didapatkan melalui elemen ruang itu sendiri.
Sebagai kasus pembanding, proses pernikahan ritual Shinto di Jepang
lebih singkat dan sederhana. Hal ini ditujukan agar makna kesucian janji
pernikahan kedua mempelai dapat tercapai. Tidak ada perpindahan yang
signifikan dari satu ritual ke ritual lain sehingga ruang ritual hanya berada di satu
titik. Selain itu, jumlah individu yang terlibat juga lebih sedikit. Itulah sebabnya
ruang pernikahan adat Jepang lebih sederhana dibandingkan pernikahan adat
Batak Toba. Dari penjelasan di atas, saya menyimpulkan bahwa perbedaan ritual
sangat memengaruhi bentuk fisik dan penataan ruang.
perbedaan tingkat kepadatan pelaku ritual sebagai pengguna ruang. Oleh sebab
itu, ritual adat pernikahan Batak Toba dapat berlangsung jika ruang memiliki
setting yang sesuai sehingga makna ritual dapat tercapai.
Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN
66
Yang disayangkan, setting tidak didukung dengan desain ruang itu sendiri.
Sebagai contoh, sebagian besar ritual adat pernikahan Batak Toba mengambil
ruang di bagian tengah. Hal ini tidak didukung dengan perbedaan level. Level
yang sama membuat orang yang duduk jauh dari ruang ritual tidak bisa melihat
dengan jelas. Dengan begitu apa yang ditangkap tiap individu akan berbeda
sehingga pemaknaan ritual dan ruang menjadi tidak sempurna. Hal ini memicu
mereka melakukan usaha untuk tetap dapat memaknai ritual tanpa menganggu
prosesi ritual, misalnya dengan berdiri atau memindahkan kursi. Setting yang
tidak didukung dengan desain ruang juga menimbulkan adanya kesesakan yang
dirasakan pengamat ritual pada ritual tertentu. Muncul respon mereka untuk tetap
dapat melakukan kegiatan yang diinginkan dengan memanipulasi ruang sehingga
membuat setting awal menjadi tidak berlaku. Maka dari itu, manusia sebagai
subyek perilaku seharusnya menjadi perspektif yang diutamakan. Oleh sebab itu,
setting ruang perlu didukung dengan desain ruang yang sesuai agar dapat
mendukung kegiatan yang berlangsung di dalamnya.
Dari hasil analisis studi kasus, saya mengambil kesimpulan bahwa
penggunaan gedung khusus pada upacara adat pernikahan Batak Toba merupakan
suatu kebiasaan masyarakat Batak Toba yang tinggal di Jakarta. Upacara adat
pernikahan Batak Toba tidak harus dilakukan di gedung khusus sebab pada
kenyataannya desain gedung tersebut belum tentu memberikan pemaknaan ritual
yang baik untuk seluruh individu yang terlibat, baik pelaku ritual maupun
pengamat ritual. Gedung lain dengan setting yang sesuai mungkin saja digunakan
agar ritual dapat dimaknai lebih baik. Dari penjelasan di atas, saya menyimpulkan
bahwa bukan hanya ritual yang membentuk setting dan kualitas ruang atau ruang
yang memberikan kualitas ritual, tetapi keduanya saling berperan dalam
pembentukannya masing-masing. Tidak hanya elemen pembentuk ruang itu
sendiri pula yang berperan dalam membentuk sebuah kualitas ruang, namun peran
elemen nonvisual yang digunakan juga dapat mendukung kualitas ruang.
Universitas Indonesia
67
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
68
Mead, George Herbert. (1934). Mind Self and Society from the Standpoint of a
Social Behaviorist. Chicago: The University of Chicago Press, Ltd.
Siahaan, Edward Tigor. (1999). Tapanuli Utara: New Life in Hills & Valleys.
Jakarta: Times Communications.
Sibeth, Achim. (1991). The Batak: People of the Island of Sumatra. London:
Thames and Hudson Ltd.
Simmel, Georg. (2001). The Problem of Sociology. In M. L. Anderson, et al.
Understanding Society (pp. 35-57). Belmont: The Wadsworth Publishing.
Sinaga, Drs. Richard. (1998). Perkawinan Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian
Utama dan KERABAT.
Sitompul, St. R.H.P. Bsc. (2009). Ulos Batak: Tempo Dulu-Masa Kini. Jakarta:
KERABAT.
Surya, Prof. DR. Mohamad. (2004). Psikologi Pembelajaran dan Pengajian.
Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Tschumi, Bernard. (1944). Architecture and Disjunction. Cambridge: MIT Press.
Tuan, Yi-Fu. (2005). Space and Place: The Perspective of Experience.
Minneapolis: University of Minnesota Press.
Van Gennep, Arnold. (1960). The Rites of Passage. London: Routledge & Kegan
Paul, Ltd.
Universitas Indonesia
69
Archie_media. (27 Mei 2007). Pengaruh Timbal Balik Perilaku dan Ruang.
http://arsitadulako.blogspot.com/2007/05/pengaruh-timbal-balik-danruang.html diakses tanggal 30 Mei 2012 pukul 13.55
Foster, Angga (2 Mei 2012). Gondang Batak, Sejarah Musik Batak yang
Terlupakan
http://dotuku.com/anggafoster/artikel/gondang-batak-sejarah-musik-batakyang-terlupakan diakses tanggal 5 Juni 2012 pukul 14.25
Kompasiana. (26 Agustus 2010). Sosbud.
http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/26/ diakses tanggal 24 April 2012
pukul 19.40
Monang Naipospos. (19 Agustus 2007). Tortor dan Ulos.
http://tanobatak.wordpress.com/2007/08/19/tortor-dan-ulos/ diakses tanggal 5
Juni 2012 pukul 17.50
Neng014s Blog. (27 April 2009). Perayaan Pernikahan di Jepang.
http://neng014.wordpress.com/2009/04/27/perayaan-pernikahan-di-jepang
diakses tanggal 8 April 2012 pukul 17.26
OBrien, Raymond. Embrace The Deception. (28 Oktober 2010). The Lush Life
Chronicles Volume 2: The Personal Bubble.
http://embracethedeception.blogspot.com/2010/10/lush-life-chroniclesvolume-2-personal.html diakses tanggal 15 Maret 2012 pukul 20.45
Sagala, Evi Cinra. (7 Oktober 2011). Perkawinan Tradisional Secara Shinto Pada
Masyarakat Jepang.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/29345 diakses tanggal 7 April
2012 pukul 20.05
TRAVIAN FORUM. (27 November 2009). Adat Pernikahan (over the world)
http://forum.travian.co.id/showthread.php?17555-Adat-Pernikahan-(over-theworld)/page2 diakses tanggal 7 April 2012 pukul 19.20
Universitas Indonesia