Anda di halaman 1dari 29

Ketika Pendeta Irianto Kongkoli pejabat Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah

(GKST) tertembak mati 16 Okt 2006 lalu, media massa cetak dan elektronik jorjoran
memberitakannya, bahkan pejabat TNI-Polri termasuk pemerintah sigap merespon dan memberi
komentar. Tidak sampai dua kali duapuluh empat jam pasca penembakan terhadap Kongkoli, Menko
Polhukam Widodo AS dan Kapolri Jenderal Polisi Sutanto usai rapat tertutup dengan Tim pemantau
Kasus Poso DPR RI di Gedung DPR/MPR Jakarta, mengatakan, pelaku penembakan terhadap
Pendeta Irianto Kongkoli merupakan bentuk teror. Bandingkan, ketika dua warga muslim dibunuh
oleh amuk massa di Poso, 2 Sep 2006, sehari pasca eksekusi mati Tibo dilaksanakan, kejadian itu
hampir terlewatkan begitu saja dari pemberitaan media cetak dan elektronik.

BELUM genap sehari, peristiwa penembakan misterius terhadap Kongkoli, Wakil Kepala Divisi Mabes
Polri Brigjen Anton Bahrul Alam mengatakan, bahwa Mabes Polri segera mengirim sebuah tim yang
dipimpin oleh Brigjen Bekto. Tim seluruhnya beranggotakan Detasemen Khusus (Densus) 88
Antiteror Mabes Polri.

Bukan main. Ketika yang jadi korban seorang pendeta, meski hanya satu orang, Polri begitu
tanggap dan dalam waktu sangat singkat, Polri sudah mampu mengidentifikasi kasus itu sebagai
bentuk teror yang harus dihadapi oleh Densus 88 yang dipimpin seorang Jenderal bintang satu.
Tetapi mengapa sikap tanggap Polri tidak tampak ketika yang menjadi korban adalah warga Muslim
meski dengan jumlah yang jauh lebih banyak? Apakah karena istri sang Pendeta, Ajun Inspektur
Satu Rita Kupa adalah anggota Polwan di Polsek Palu Timur? Kesigapan aparat kepolisian itu
dikhawatirkan, sikap diskriminatif yang telanjang terhadap warga Muslim Poso.

Sebelum terjadi kasus penembakan misterius terhadap Pendeta Irianto Kongkoli, Menteri
Koordinator Politik dan Keamanan Widodo Adi Sutjipto menganggap kondisi keamanan Poso tidak
parah. Padahal ketika itu, warga Poso cemas akibat berkeliarannya kelompok ala ninja di tengah-
tengah mereka. Menurut laporan warga, kelompok berpenutup kepala ala ninja beraksi Senin
malam (2 Okt 2006) menghadang mobil sewaan di rute Parigi-Makassar. Sebelumnya, Sabtu (30
Sep 2006) dini hari hingga malam terjadi empat ledakan bom di Poso. Pada Sabtu (30 Sep 2006)
malam juga terjadi pelemparan granat oleh dua orang tak dikenal terhadap kerumunan orang di
Kelurahan Kawua, Kecamatan Poso Kota. Sedangkan pada Jumat siang (29 Sep 2006), terjadi
empat ledakan bom yang disusul pecahnya kerusuhan massa dengan membakar pos polisi,
membakar truk, serta mobil patroli aparat keamanan. Menurut catatan, sejak 22 September sampai
25 Oktober 2006 telah terjadi 11 kali ledakan bom, lima kali penemuan bom, 16 kali pembakaran,
dan 10 kali perusakan yang terjadi di Poso. Dua di antara bom yang meledak menewaskan dua
warga Poso.

Brigadir Jenderal Polisi Oegroseno, mantan Kapolda Sulawesi Tengah, pernah mengingatkan bahwa
konflik di Poso tidak bisa dianggap selesai karena suatu saat akan meledak lagi. Hal itu
disampaikannya seusai menyerahkan jabatan Kepala Polda Sulawesi Tengah kepada Komisaris Besar
Badrudin Haiti di Mabes Polri, Jakarta (31 Agt 2006) siang. Selanjutnya, Kepala Polri Jenderal
Sutanto menempatkan Oegroseno sebagai Kepala Pusat Informasi dan Pengolahan Data Divisi
Telematika Mabes Polri. Brigadir Jenderal Polisi Oegroseno dimutasi dari jabatan Kapolda pada saat
ia secara diam-diam merintis penyelidikan terhadap ke-16 nama yang disebut Tibo sebagai dalang
kerusuhan Poso III.

Masyarakat tentu belum lupa, semasa menjabat Kepala Polda Sulteng Brigadir Jenderal (Pol)
Oegroseno secara maraton telah memeriksa dan mempertemukan 16 orang yang diduga dalang
kerusuhan Poso III dengan Vabianus Tibo (60), Dominggus da Silva (39), dan Marinus Riwu (48),
terpidana mati kasus kerusuhan Poso III. Namun hingga kini tidak ada kejelasan tentang
keterlibatan ke-16 nama tokoh yang disebut Tibo dkk sebagai dalang pembantaian Poso III.

Wapres Jusuf Kalla tak mau ketinggalan mengkaitkan kasus penembakan terhadap Kongkoli sebagai
teror. Beberapa hari setelah pernyataan Menko Polhukam Widodo AS dan Kapolri Jenderal Polisi
Sutanto, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla, Jumat (20 Okt 2006) siang mengatakan, kejadian di
Poso adalah teror. Hal senada dipertegas Kalla saat open house Idul Fitri di rumah pribadinya di
Makassar bahwa kasus yang terjadi di Poso adalah teror. Berikutnya, Wapres menganjurkan agar
aparat menggunakan UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, karena
kasus Poso menimbulkan rasa takut masyarakat Poso untuk keluar rumah. Seharusnya, penerapan
UU Terorisme untuk kasus Poso dapat merujuk kepada realitas yang ada, selama ini UU Terorisme
justru menimbulkan masalah yang tidak perlu, karena UU tersebut hanya membidik pion bukan
para master dari kekerasan yang terjadi.
Sebelum menjadi Wapres, Kalla adalah salah satu Menko pada pemerintahan Megawati yang
dipercayakan menyelesaikan kasus Poso. Kalla sama sekali tidak mengatakan pembunuhan massal
yang menewaskan 1000 jiwa lebih, termasuk pemusnahan warga pesantren Walisongo, sebagai
teror. Ia hanya menempuh upaya damai berupa Deklarasi Malino, yang ditandatangani pada 20
Desember 2001.

Deklarasi Malino adalah model alternatif dalam rangka penyelesaian konflik, selain pendekatan
militer yang biasa diterapkan. Terkesan, Deklarasi Malino hanya untuk mendongkrak image
pemerintah pusat agar dinilai serius di dalam penyelesaian konflik di Poso. Namun kenyataannya,
belum benar-benar mampu memberikan kesadaran terbuka kepada publik untuk menghentikan
konflik. Sebabnya, perumusan konsep kesepakatan dibuat tergesa-gesa dan belum dipahami secara
baik oleh setiap delegasi. Apalagi, peran elit politik dalam delegasi Malino jauh lebih dominan
dibandingkan delegasi lain. Begitu juga dengan janji proyek ekonomi pasca Malino yang ternyata
lambat realisasinya, semakin memudarkan kepercayaan masyarakat luas akan efektifitas perjanjian
Malino dalam upaya penyelesaian konflik.

Akibatnya, meski sudah ada Deklarasi Malino, kasus Poso tetap saja bagai tak ada ujungnya. Meski
Polri sudah menerjunkan pasukan Brimob ke wilayah Sulawesi Tengah, kerusuhan Poso belum juga
reda. Kini, Polri bukan saja menurunkan Brimob tetapi juga Densus 88 Anti Teror. Hasilnya, dalam
tempo relatif singkat (sampai 21 Okt 2006) sudah 11 orang diperiksa. Dan sejumlah nama
dinyatakan masuk DPO (Daftar Pencarian Orang). Wakil Ketua Komisi III DPR yang membidangi
hukum dan HAM, Almuzzammil Yusuf, mengkritik kepolisian soal pengumuman sejumlah nama pada
daftar pencarian orang (DPO) ini. Menurutnya, pengumuman DPO itu memunculkan kesan polisi
sedang menyudutkan umat Islam; seolah umat Islam berada di balik berbagai pelanggaran di Poso.

Warga DPO

Penyebutan kelompok DPO yang menunjuk sejumlah nama dari daerah kantong Muslim di Poso,
mengesankan polisi tengah melakukan stigmatisasi sistematis terhadap umat Islam. Apalagi, diduga
nama-nama itu tidak akurat. Inilah yang menjadi sebab utama terjadinya bentrokan antara anggota
Brigade Mobil (Brimob) dengan warga pada Ahad (22 Okt 2006) dan Senin (23 Okt 2006). Menurut
Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, terjadinya bentrokan tersebut
karena polisi memang sangat tidak sensitif terhadap umat Islam. Sehingga umat Islam mendesak
pasukan Brimob ditarik dari Poso. Ini merupakan buntut dari tindakan Brimob yang berlebihan dan
telah melukai hati umat Islam di Poso. Senada dengan itu, Ketua Forum Silaturahim Perjuangan
Umat Islam Poso Adnan Arsal, menyatakan polisi melakukan pengepungan terhadap Tanah Runtuh,
Gebang Rejo, yang merupakan Kompleks Pesantren Amanah pimpinannya. Akhirnya terjadi
bentrokan antar polisi dan warga Gebang Rejo yang mengakibatkan seorang warga tewas
tertembak.

Penolakan terhadap pasukan Brimob, bukan sekali ini saja terjadi dan bukan hanya terjadi di Poso.
Ketika kasus Ambon meledak, masyarakat Muslim juga mendesak agar Brimob ditarik mundur.
Bahkan menurut warga Muslim yang ikut berperang di Maluku, kedamaian dan ketenteraman di
bumi manise kian kondusif setelah umat Islam di sana berhasil menyerbu markas Brimob dan
melemahkan mereka. Jangan lupa, ketika kasus penembakan terhadap mahasiswa Trisakti, dalam
kerusuhan Mei 1998, masyarakat menduga hal itu dilakukan oleh sniper dari kesatuan Brimob.

Stigmatisasi sistematis terhadap umat Islam pasca tewasnya Kongkoli, nampaknya bukan isapan
jempol. Terbukti, sebagaimana informasi yang bersumber dari badan intelijen, Densus 88 Anti Teror
telah merekrut mantan Panglima Laskar Jihad, Ja?far Umar Thalib untuk menjadi false flag dalam
kasus Poso. Polri menyadari tingginya resistensi terhadap Brimob, maka mereka pun menyusupkan
anggotanya ke dalam tubuh Laskar Jihad. Apapun bisa terjadi, termasuk menjadikan Laskar Jihad
sebagai kambing bego hitam, apabila kerusuhan Poso terus bergulir terutama menjelang dan pada
saat kedatangan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush ke Indonesia pada pekan ketiga
November 2006.

Pemanfaatan Ja?far Umar Thalib dan laskarnya sebagai false flag sudah pernah terjadi di Ambon.
Mereka menjadi sasaran kebencian umat Nasrani Ambon, bahkan menjadi tumpuan kebencian umat
Nasrani di Indonesia, karena dianggap sebagai provokator dan pembantai umat Nasrani di Maluku.
Padahal, yang dilakukan Ja?far Umar Thalib dan laskarnya hanya mejeng sambil menenteng-
nenteng pedang dan melakukan bakti sosial saja, bukan perang. Bahkan di Maluku pasukan Laskar
Jihad bentrok dengan para Mujahidin yang membela umat Islam dari serangan kaum Nasrani.
Akibatnya, mereka dan pasukannya dimusuhi para Mujahidin Ambon. Laskar Jihad akhirnya
membubarkan diri. Kini, mereka hendak dihidupkan kembali oleh Densus 88 Anti Teror Mabes Polri,
tentu bukan tanpa maksud.

Sebenarnya bukan cuma Brimob yang ditolak warga Poso, tetapi juga Densus 88. Ini mengingat
sepak terjang mereka yang tidak adil, bukan saja di Poso tetapi juga di Ambon. Densus 88 di bawah
arahan Gories Mere terbukti tidak professional. Buktinya di Maluku, hanya laskar Islam dan
aktivisnya saja yang dikejar, sedang laskar Kristen tidak dikejar. Di Poso juga demikian,
sebagaimana terjadi pada kasus Ipong dan Yusuf yang dituduh sebagai bagian dari pelaku teror di
Poso. Ketika itu, Ipong diculik dan dibawa ke Jakarta oleh anggota Densus 88 atas perintah Gories
Mere. Ia ditendang hingga muntah darah. Sedang Yusuf ditelanjangi dan disetrum listrik.
Kemaluannya juga disetrum.

Fakta yang tidak boleh diabaikan adalah, masyarakat Poso bukan takut kepada sosok yang
dinisbahkan sebagai ?teroris? oleh aparat, tapi justru mereka lebih takut kepada aparat keamanan
yang dengan overacting berkeliaran di tengah-tengah kampung, jalan-jalan, dan gang-gang kecil
lengkap dengan senjata serbu laras panjangnya. Selain aparat berseragam, di Poso berkeliaran
aparat tak berseragam dengan ciri-ciri membawa-bawa senjata. Mereka inilah anggota Densus 88.

Puncak kebencian warga Poso terhadap sepak-terjang anggota Densus 88 yang tidak professional,
diskriminatif, dan semena-mena terhadap umat Islam berujung pada insiden penyerangan terhadap
empat orang anggota Densus 88 pada tanggal 8 Mei 2006. Insiden penyerangan terjadi Senin pagi
selepas Subuh. Waktu itu, anggota Densus 88 hendak menangkap seorang warga Kelurahan
Lawanga, Kecamatan Poso Kota, Poso, yang bernama Taufik Bulaga (24 tahun).

Taufik yang keluar rumah selepas Subuh, langsung dibuntuti empat orang dan kemudian diborgol
begitu saja, tanpa ada pemberitahuan apa-apa, juga tanpa surat tugas. Taufik ditangkap dengan
tuduhan membunuh istri seorang anggota TNI pada tahun 2000. Karena merasa posisinya
terancam, Taufik pun melawan. Salah satu motor yang dikendarai keempat orang itu ditendang.
Taufik kemudian juga berteriak minta tolong. Teriakan Taufik ini membuat warga kelurahan tersebut
berhamburan keluar, kemudian menyerang orang yang hendak menangkap Taufik itu. Setelah
sempat dihajar warga, keempatnya berhasil meloloskan diri. Dua motor mereka yang tertinggal
kemudian dibakar.

Wapres Kalla dan Bisnis

Sikap ?tegas? Kalla mewakili pemerintah ?sebagaimana juga sikap ?tegas? Kapolri dan
Menkopolhukam? pasca terbunuhnya Kongkoli, dengan mengkategorikan kasus tersebut sebagai
bagian dari terorisme (yang dikaitkan dengan kalangan Islam), nampaknya tidak bisa dihindarkan
dari rencana kedatangan George ?The King of Terrorist? Bush ke Indonesia, pekan ketiga November
2006.

Kematian Kongkoli seharusnya tidak begitu saja dikaitkan dengan kalangan Islam Poso, mengingat
posisi sosial Kongkoli yang sedemikian rupa, bukan mustahil elemen-elemen yang menghendaki
kematian Kongkoli datang dari berbagai kalangan. Apalagi Kongkoli tidak hanya menjalankan peran
sebagai pendeta, tetapi juga secara sadar atau tidak, ia telah merambah kawasan politik praktis
sebagaimana tercermin melalui melalui pernyataannya di media massa.

Sekedar mengingatkan, Pendeta Irianto Kongkoli yang saat itu masih menduduki posisi sebagai
Sekretaris Gereja Sulawesi Selatan sering tampil bersama masyarakat dalam aksi protes eksekusi
Tibo. Kongkoli juga hadir saat eksekusi Tibo dan kawan-kawannya dilaksanakan. Dia menggantikan
Pendeta Damanik yang ?mengundurkan diri? setelah terpidana mati kasus Poso Tibo cs dieksekusi
mati. Kongkoli juga yang memimpin acara pemakaman Pendeta Susianti Tinulele di Pekuburan
Kristen Talise, Palu Timur, 20 September 2004 lalu. Pendeta Susianti Tinulele ditembak pria tidak
dikenal ketika sedang memimpin ibadah di Gereja Efatha di Jalan Banteng, Palu Selatan, 18 Juli
2004 lalu.
Pendeta Irianto Kongkoli ketika diwawancarai Sinar Harapan edisi 2 Oktober 2006 lalu, antara lain
mengatakan, bahwa situasi rusuh di Poso sepertinya memang diciptakan oleh pihak ketiga yang
mengambil manfaat dengan kondisi tidak menentu di Poso dan sekitarnya. Salah satu contoh yang
disodorkan Kongkoli adalah kasus pelemparan granat di bekas Pos Penjagaan Brimob di Kelurahan
Sayo, Poso Kota, 29 September 2006 lalu. Terhadap kasus itu Kongkoli mengatakan, ?Kita tahulah
tidak mungkin warga sipil mempunyai peralatan militer seperti itu, apalagi pelontar granat,?
katanya.

Sikap ?tegas? Kalla boleh jadi merupakan bagian dari kepribadian dirinya dan pemerintah.
Mengingat sikap ?tegas? serupa itu pernah ia tunjukkan kepada Ustadz Adnan Arsal pengasuh
Ponpes Amanah, Poso. Ketika itu Sabtu, 29 Oktober 2005, beberapa jam setelah ditemukan mayat
tiga siswi SMUK GKST Poso, Kalla menelpon Ustadz Adnan Arsal. Dengan nada keras dan penuh
sinis Kalla berkata, ?Siapa yang membunuh!? Tentu saja Ustadz Adnan merasa kaget dan sangat
terhina.

Ketika itu, Kalla tidak hanya menuduh tanpa bukti, tetapi lebih lanjut ia menghardik Adnan Arsal, ?
Bukannya kamu di situ (Poso) banyak orang aliran keras dan kamu tahu dengan kelompok
pesantren Ngruki. Masak kamu tidak tahu? Berarti Anda sudah mengaku salah dong??

Kalla juga dengan tanpa tedeng aling-aling menuding, bahwa pelaku pembacokan ketiga siswa
SMUK GKST Poso pastilah perbuatan anak-anak Ustad Adnan Arsal. ?Siapa lagi yang potong-potong
orang kalau bukan kalian. Siapa lagi yang membunuh kalau bukan orang yang berambisi masuk
syurga!?

Setelah kejadian itu, Ustadz Adnan Arsal mengaku pesantrennya sering disatroni satgas anti teror
Mabes Polri, baik berseragam maupun preman. Padahal, pondok pesantren yang dianggap radikal
itu ternyata saat itu dihuni oleh 16 santri putri, 47 santri usia taman kanak-kanak, dan 65 santri
putra seusia sekolah menengah pertama yang KTP saja belum punya.

Para santri pesantren Amanah kebanyakan berasal dari pondok pesantren Walisongo, Poso, yang
dibumihanguskan oleh pasukan Merah pimpinan Tibo di tahun 2000. Para santri itu dengan susah
payah lari menyelamatkan diri, masuk keluar hutan, demi menjaga akidah dan kehormatannya dari
kejaran para pembunuh biadab pasukan Merah. Kini para santri itu merasa aman di pesantren
Amanah. Namun, mereka kini dicurigai oleh Kalla dan disamakan dengan teroris. Betapa biadab dan
tidak berprikemanusiaan!

Ustadz Adnan Arsal juga masih belum bisa tenang, karena pasca terbunuhnya Kongkoli, Pihak
kepolisian (Polri) menuntutnya untuk "mengumpulkan" dan menyerahkan para tersangka buronan
dalam sejumlah kasus teror di Poso, Sulawesi Tengah. Ini jelas bagian dari stigmatisasi yang
sistematis. Hingga kini polisi telah mendata sekitar 29 buronan, yaitu 26 orang dari kelompok Tanah
Runtuh dan 3 dari Kompak Kayamanya. Di luar itu, polisi telah menangkap 32 tersangka berbagai
peristiwa teror di Poso. Sehubungan dengan hal ini, Ustadz Adnan Arsal menyatakan, dia
sebenarnya tidak berkomitmen menyerahkan para buronan kepada polisi. Tepatnya, ia hanya
mengimbau ke-29 orang itu, jika memang betul berbuat, untuk menyerahkan diri. Adnan Arsal
merasa tidak punya wewenang untuk menyerahkan mereka.

Sebagai muslim, Kalla telah mengamalkan Al-Qur?an secara terbalik dan salah. Ia menerapkan
asysyidda-u bainahum ruhama-u alal kuffar (keras terhadap sesama Muslim dan berkasih
sayang dengan orang kafir). Buktinya, pernahkah Wapres Kalla menghardik pendeta Damanik yang
telah menjadi salah satu creator sosok sadis seperti Tibo melalui doktrinnya? Keberhasilan Damanik
adalah ketika Tibo dkk yang semula akrab dengan anak-anak dan warga muslim lainnya, tiba-tiba
berubah total menjadi bagaikan seekor binatang buas-ganas yang tega membunuh umat Islam
dengan sadis dan dalam jumlah banyak.

Kalla juga tidak pernah menghardik dan membentak Yanis Simangunsong, Paulus Tungkanan, Eric
Rombot, Lempa Deli, dan Angki Tungkanan yang disebut-sebut Tibo dkk ikut memimpin Pasukan
Merah saat melakukan penyerangan dan pembantaian terhadap umat Islam pada kasus Poso III.
Peranan Lempa Deli menurut pengakuan Dominggus da Silva adalah memaksa perempuan di Kilo
Sembilan (kompleks Pesantren Walisongo Poso) untuk menanggalkan pakaiannya alias bugil. Di
persidangan, Dominggus juga menguraikan peranan Yanis Simangunsong yang berkeliling ke desa-
desa memobilisasi massa sambil menyatakan 'Kita Benar'.
Sikap ?tegas? Kalla boleh jadi bukan saja karena faktor watak, akhlaq dan kepribadian semata,
tetapi lebih utama didorong oleh kepentingan ekonomi dan bisnis. Menurut informasi, Kalla punya
saham di sebuah megaproyek senilai tiga trilyun rupiah di Tentena, kota basis Kristen di dekat
Danau Poso.

Kalla tidak sepantasnya bersikap curiga yang berlebihan terhadap pesantren dan aktivis Islam.
Karena, ada banyak kepentingan di Poso. Ada kepentingan pihak Kristen yang juga punya banyak
laskar terlatih dan ini bahkan belum disentuh sama sekali oleh aparat keamanan. Ada kepentingan
para koruptor, kepentingan oknum TNI-Polri, ada pula kepentingan pejabat-pengusaha yang ingin
mengamankan asetnya.

Masyarakat Poso juga bertanya, adakah kehadiran aparat keamanan sungguh-sungguh untuk
menciptakan keamanan, atau malah diam-diam untuk memelihara statusquo. Kekhawatiran itu
merupakan hal yang wajar, karena di dalam bumi Poso dan Sulawesi Tengah tersimpan kandungan
kekayaan alam yang melimpah yang masih perawan. Bahkan di atas tanahnya, Poso dikenal sebagai
penghasil ?emas hitam? kayu eboni terbesar di Indonesia.

Oleh karena itu, menjadikan umat Islam sebagai satu-satunya faktor penyebab kerusuhan Poso
adalah merupakan perbuatan nista. Mereka yang makan nangka, umat Islam yang kena getahnya.

Sumber Konflik dan Solusi

Untuk menyelesaikan konflik berdarah di Poso, pemerintah harus jujur dan benar-benar mengetahui
akar masalahnya. Selain adanya berbagai kepentingan sebagaimana disebutkan di atas, pemerintah
juga harus melihat fakta-fakta yang selama ini sudah terpampang dengan jelas.

Kasus Poso, sebagaimana juga kasus Ambon, diprakarsai oleh umat Kristen. Di Poso, yang
mengawali kasus serial berdarah-darah ini adalah seorang pemuda Kristen yang dalam keadaan
mabuk melakukan tindak kekerasan dengan senjata tajam terhadap pemuda muslim di lingkungan
Mesjid.

Menurut catatan Tempo Interaktif, pada 25 Desember 1998 Roy Runtu yang bergama Kristen dalam
kondisi mabuk membacok Ridwan (Muslim) yang sedang berada di sebuah masjid. Keduanya
mengadu ke kelompok masing-masing. Bentrokan pun terjadi. Korban atau kerugian yang terjadi
adalah 100-an orang luka-luka, tiga sepeda motor dibakar dan sejumlah rumah penduduk rusak.
Tersangka: 8 orang provokator ditangkap aparat

Itulah awal petaka yang hingga kini tragedi berdarah terjadi bagaikan cerita bersambung.

Bayangkan, saat gembala Kristiani seharusnya menjalankan ibadahnya dalam rangka menyambut
Natal, 25 Desember 1998, seperti melakukan kebaktian di Gereja, Roy Runtu malah mabuk-
mabukan di jalan berdekatan dengan Masjid. Tidak sekedar mabok, ia malah mendatangi Masjid
dan membacok Ridwan.

Seharusnya, tokoh agama menasihati Roy agar tidak bermabuk-mabukan apalagi sampai
membacok orang lain, karena pasti akan mendapat perlawanan. Yang terjadi, justru Roy
mengadukan ia dipukuli orang Islam, sehingga berhasil memprovokasi domba-domba Kristiani
lainnya untuk melakukan serangan terhadap umat Islam.

Akar permasalahannya jelas, pertama, mabuk-mabukan. Artinya, pemerintah harus


mengharamkan peredaran dan penjualan minuman keras. Kedua, pemerintah dan aparat kepolisian
harus bertindak tegas terhadap warga yang terlihat mengkonsumsi barang haram di sembarang
tempat. Ketiga, kaum Kristiani disuruh minta maaf kepada umat Islam, karena memang merekalah
yang mengawali terjadinya kerusuhan berdarah ini. Mengapa justru umat Islam-lah yang dituding
sebagai biang keladi?

Anehnya pemerintah percaya begitu saja. Bahkan dunia internasional pun percaya, sebab mereka
merasa aneh bila yang menjadi biang keladi adalah umat Kristen padahal Indonesia mayoritas
Islam. Opini yang selama ini berkembang adalah, mustahil orang Kristen berani membacok umat
Islam, apalagi di masjid, dan memulai kerusuhan horizontal di Indonesia karena mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam. Faktanya, Kristen-lah yang memulai konflik, baik di Ambon
maupun di Poso. Bahkan, menurut tokoh Islam Poso, Daeng Raja, cikal-bakal kerusuhan Poso sudah
coba dibangkitkan sejak tahun 1992, tatkala Rusli Labolo, Sth yang murtad memancing kemarahan
umat Islam lewat tulisan skripsinya yang menghujat dan menghina Nabi Muhammad SAW.

Selama ini pihak Kristen jangankan mau minta maaf, merasa bersalah saja tidak. Jangankan
merasa bersalah, mereka justru memfitnah, dan memutarbalikkan fakta, antara lain dengan
menerbitkan ?Buku Putih? Crisis Centre Majelis Sinode GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah),
sejak pertengahan Juni 2000 yang ditandatangani oleh Pendeta Rinaldy Damanik dan M. Papasi.

Keempat, pemerintah dan aparat keamanan harus bertindak tegas terhadap para provokator kasus
Poso termasuk ke-16 nama yang disebut Tibo dan lain-lainnya, seperti Yanis Simangunsong, L
Tungkanan, Eric Rombot, Mama Wanti, Luther Maganti, Drs. J. Santo, J. Kambotji, Drs. Sawer
Pelima, Pendeta Renaldy Damanik, Paulus Tungkanan, Angki Tungkanan, Lempa Deli, Yahya Patiro
(mantan Sekab Poso), dan sebagainya. Termasuk peranan Melly, istri kedua konglomerat Taipan
terkenal Eka Tjipta Wijaya (bos Sinar Mas group), yang pada awal-awal konflik Poso bergulir ia
disebut-sebut sebagai salah seorang pemasok dana untuk pihak Kristen.

Menurut MAL (Mingguan Al-Chairaat edisi 07 Tahun ke-29 Minggu II September 2000) sebagaimana
dikutip AL BUNYAN edisi 20 September 2000, sepekan sebelum pecah kerusuhan Poso akhir Mei
2000, warga setempat melihat dua buah helikopter terbang rendah ke arah Tentena. Hari itu sekitar
pukul 10:00 waktu setempat. Rupanya, helikopter itu membawa Melly bersama rombongan antara
lain dua orang wanita dan seorang bule asal Belanda. Rombongan itu dibawa dengan mobil ke
Debua, lalu ke Sangginora Poso Pesisir. Di sana Melly wanita kelahiran Malei Poso ini, menemui
massanya. Kedatangan ibunda pengusaha Jimmy Wijaya itu ke Sangginora diembeli dalih mau
mencari ?anak tunggal?.

Tibo dkk juga pernah mengungkap beberapa nama yang disebutnya dengan panggilan ?jenderal?
seperti jenderal H, jenderal R dan jenderal T. Jenderal H menurut pengakuan Tibo dkk berperan
sebagai aktor intelektual di balik pertikaian berdarah di Poso. Sebagaimana dikatakan oleh
Kaditserse Polda Sulteng (ketika itu) Superintendent Andi Ahmad Abdi, usai pemeriksaan terhadap
Tibo dkk, ia membenarkan nama H disebut-sebut sebagai dalang penyerangan kantong-kantong
permukiman muslim di lima kecamatan dalam wilayah Kabupaten Poso, termasuk di Kota Poso
sendiri (lihat Antara 9 Agustus 2000, juga Kompas 10 Agustus 2000).

Kelima, pemerintah juga harus bersikap tegas terhadap aparat yang bermain api, ikut
memanaskan situasi. Termasuk para pati dan atau purnawirawan seperti mantan Bupati Poso dua
periode (1974-1984) Letkol Purn Drs. R.P.M.H Koeswandhi, Sth yang kini berdomisili di Jakarta.

Keenam, pemerintah dan aparat keamanan juga jangan terbelenggu dengan opini salah kaprah
yang mengatakan bahwa ?pada dasarnya semua agama melarang kekerasan?. Ini tidak benar,
karena dalam kitab suci Kristiani jelas terdapat ajaran kekerasan.

Misalnya, pada Matius 10:34 dikatakan: ?Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk
membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa DAMAI, melainkan PEDANG.?

Pada Lukas 2:51 dikatakan: ?Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa DAMAI di atas
bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan PERTENTANGAN.?

Pada Yosua 6:21 dikatakan: ?Mereka menumpas dengan mata pedang segala sesuatu yang di
dalam kota itu, baik laki-laki maupun PEREMPUAN, baik TUA maupun MUDA, sampai kepada LEMBU,
DOMBA, dan KELEDAI.?

Pada I Samuel 15:2-3 dikatakan, ?Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah
segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan kepadanya. Bunuhlah semuanya, laki-
laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba,
unta maupun keledai.?

Berdasarkan beberapa rujukan di atas, bisa dimengerti mengapa laskar kristus, pasukan merah dan
sebagainya begitu tega membantai anak-anak yang masih menyusui sekalipun, karena ada
pembenarannya di dalam kitab suci mereka. Orang-orang seperti Tibo dkk tentu tidak banyak tahu
tentang kandungan alkitab mereka, tapi orang-orang seperti Pendeta Damanik tentu tahu dan
bahkan ia bisa memanfaatkannya untuk menjadi salah satu materi doktrin sehingga Tibo dkk buas,
beringas dan sadis, karena perbuatan yang mereka laksanakan adalah ?kebenaran? yang ada
sandarannya pada kitab suci mereka.

Cobalah amati jenazah korban Poso atau Ambon. Bila mayat itu rusak berat, tercabik-cabik,
terkoyak-koyak, bahkan tidak utuh lagi, maka bisa dipastikan itu adalah mayat warga Muslim.

Ketujuh, pemerintah dan aparat keamanan juga harus menyadari bahwa selama ini umat Islam
merupakan pihak yang diperlakukan tidak adil dan diskriminatif. Padahal umat Islam adalah korban
serta tidak pernah memulai pertikaian horizontal. Janganlah pemerintah dan aparat keamanan
justru menyudutkan umat Islam, apalagi pada kenyataannya aparat suka bersikap berat sebelah
dengan berpihak kepada warga Kristen. Hentikan sikap seperti ini, karena akan memperluas
ekstensi kerusuhan.

Kita semua tentu tidak berharap terjadinya tindak kekerasan terhadap kaum Kristen di tempat-
tempat yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sebagai ekspresi bentuk kekecewaan, protes
dan balas dendam atas perlakuan aparat dan pemerintah terhadap umat Islam di Poso maupun
Ambon serta berbagai tempat lainnya. Ketidak-adilan dan diskriminasi pemerintah serta aparat
terhadap umatIslam di dalam menyelesaikan konflik horizontal, akan menjadi pupuk subut bagi
aksi-aksi kekerasan serupa Bom Bali I, Bom Bali II dan sebagainya.

Bila kelak terjadi Bom Bali III dan sejenisnya di tempat lain, pemerintah harus bertanggung-jawab.
Jangan lagi salahkan umat Islam atau ulama seperti Adnan Arsal dan Abu Bakar Ba?asyir. Jangan
salahkan pesantren dan kurikulumnya, tetapi salahkanlah kebijakan yang zalim dan tidak adil.
Bukankah selama ini, pemerintah dan aparat keamanan tidak pernah menyalahkan pendeta, pastor
juga gereja dan materi khotbahnya serta doktrin yang mereka ajarkan kepada sosok seperti Tibo
dkk?

Istilah SARA muncul pada masa orde baru. Saat itu yg bisa mengancam kehancuran
kekuasaan ada 4 hal pokok:
-perpecahan suku
-konflik antar agama
-perseteruan ras
-pertikikaian antar golongan

Pengertian SARA itu bukan sbg 4 faktor S-A-R-A yg berdiri sendiri tetapi saling
mempengaruhi, sehingga jika salah satu faktor bergejolak akan memicu terjadinya
gejolak faktor lain.

Jadi SARA = Suku, Agama, Ras & ANTAR GOLONGAN. Pada jaman itu adat istiadat
bukan satu faktor yg harus diwaspadai oleh pemerintah.
1. Menhankam LB Moerdani/ 30.05.91/Dikpol Generasi Muda DPP KNPI,
Cibubur.

Dibutuhkan perhatian yang serius terhadap masalah SARA (suku, agama, ras, dan
antar golongan) serta ketahanan nasional. Karena ketahanan terhadap dua hal itu
belum teruji dengan keras, seperti halnya pada masalah politik, ekonomi, dan
ideologi. Jika selama ini gangguan terhadap masalah SARA dan ketahanan
nasional sosial teratasi, itu karena mekanisme pengendalian dan kesiagaan ABRI.
Karenanya pada era mendatang, aktualisasi ketahanan nasional dalam bentuk
pembangunan sosial budaya perlu mendapat perhatian. Bahkan beberapa waktu
yang lalu saya sarankan agar dijadikan salah satu logo pembangunan mendatang.

2. Dr. Kuntowijoyo/02.06.91/Yogyakarta.

Mudah terbakarnya isu-isu yang berkaitan dengan SARA sebenarnya tidak


karena perbedaan diantara segmen-segmen dalam masyarakat yang
berhubungan dengan SARA, melainkan karena kesenjangan ekonomi, politik,
maupun budaya yang melatarbelakanginya. Untuk mengatasi masalah SARA
tidak bisa hanya menekan gejalanya saja. Dalam kaitan ini meliter tidak akan
mampu mengatasi akar-akar persoalan SARA secara sendirian. Karena dibawah
isu-isu SARA yang muncul ke permukaan, sebenarnya ada persoalan-persoalan
lain, dan itulah yang harus dicarikan pemecahannya. Dalam hal ini masalah
kesenjanganlah yang harus cepat diatasi. Sebagai ilustrasi ia mencontohkan di
Bangka dan Kalbar, tidak pernah muncul kasus-kasus SARA karena tingkat
kesejahteraan ekonomi antara golongan keturunan Cina dan pribumi relatif
sama. Pluralisme yang kita anut adalah pluralisme yang positif. Semua kelompok
bebas mengekspresikan diri. Perbedaan ekspresi tidak bisa dikatakan
sektarianisme.

Mantan Gubernur Lemhanas, Sayidiman Suryohadiprojo/02.06.91/Yoygakarta.

Ketahanan nasional Indonesia terhadap masalah SARA dan sosial sangat


tergantung kepada kondisi dinamis bangsa kita yang didalamnya ada
ketangguhan dan keuletan.

3. KH Abdurrachman Wahid/07.07.91/seminar sosialisasi antar etnis.

Untuk mempercepat pembauran antar etnis di Indonesia, maka persamaan


pandangan, saling belajar, dan saling menghormati antar kelompok etnis sangat
diperlukan. Karena hingga kini secara historis, masalah pembauran golongan
peranakan etnis Tionghoa, India, dan Eropa masih sulit membaur dengan
mayoritas pribumi. Sulitnya tiga golongan etnis ini untuk membaur, tidak hanya
persoalan budaya maupun sejarah. Juga karena politik Belanda yang memecah
belah, sehingga dikalangan etnis pribumi maupun etnis Cina menjadi trauma dan
ketakutan yang berlebihan. Pembauran antar etnis tidak berarti melakukan
dinosidi (pembunuhan budaya besar-besaran) terhadap budaya golongan etnis
minoritas. Disinilah perlunya sarana atau peluang untuk memahami budaya luhur
kedua belah pihak, karena dengan saling memahami budaya luhur antar etnis itu,
akan lebih mempercepat pembauran.

Kesenjangan budaya dan ekonomi maupun politik antara etnis mayoritas pribumi
dengan etnis minoritas, merupakan permasalahan bersama yang masih harus
dicarikan jalan keluarnya.

Golongan pribumi Islam mayoritas sekarang ini jauh tertinggal, sehingga


menimbulkan rasa rendah diri. Ketertinggalan ekonomi golongan pribumi
mayoritas bisa diperbaiki bersama-sama, asal saling membuka diri.

Ketua Bakom PKB Dati I Jawa Timur Prof Lukas Widiyanto /07.07.91/
Surabaya.

Bila masalah etnis tidak ditangani secara benar, maka masalah etnis akan tetap
menjadi permasalahan yang menghambat pembauran. Tidak bisa ditangani
sepihak, karena masalahnya cukup kompleks.

Bangsa Indonesia tidak pernah merasa rasialistik, sekalipun ada yang mengatakan
seperti itu. Secara Antropologis Bangsa Indonesia berasal dari Bangsa Negrito,
namun realitasnya sekarang berbeda " ganteng-ganteng ".

Sulitnya golongan peranakan Tionghoa membaur dengan golongan mayoritas


karena peranakan ya tetap peranakan. Dengan Indonesia sukar membaur, dengan
Cina sendiri sukar.

Mengenai golongan minoritas peranakan Tionghoa yang status sosial ekonominya


lebih tinggi dibanding golongan mayoritas karena sebenarnya perantau-perantau
Cina tersebut tidak punya keahlian khusus, sehingga salah jalan satu-satunya
adalah berdagang.

4. Menpan Sarwono Kusumaatmadja/09.07.91/Seminar Perkoperasian DPP


Golkar, Bandung.

Dalam mengatasi kesenjangan ekonomi, Bangsa Indonesia jangan terjebak pada


pola pikir dikotomis yang membedakan bentuk badan usaha maupun sentimen
primordial berdasar SARA (Suku, Agama, Ras dan antargolongan). Disamping
akan mengaburkan faktor utama yang jadi sumber kesenjangan ekonomi, pola
pikir dikotomis cenderung mengancam kesatuan persatuan bangsa dan keutuhan
negara.

Pembangunan berkelanjutan secara politis hanya bisa dijamin oleh basis


ekonomi yang kuat dan lebar.
5. Wakil Ketua CCPIT ( Dewan Promosi Perdagangan Internasional Cina), Cui
Yushan. Dalam pertemuannya dengan Presdir PT Bakrie &
Brothers/09.08.91/Jakarta.

Pengusaha RRC menyatakan sangat mengerti adanya masalah SARA yang


muncul seiring dengan perkembangan dalam perekonomian Indonesia. Sebab itu,
untuk sedikit meredam permasalahan, pengusaha RRC ( Republik Rakyat Cina )
akan bersedia melakukan kerja sama bisnis dengan pengusaha pribumi Indonesia,
bukan hanya dengan nonpri.

Aburizal mengatakan agar pengusaha RRC jangan hanya melakukan usaha


patungan dengan pengusaha nonpri tetapi juga dengan pengusaha pribumi.

6. Pangab Jenderal Try Sutrisno/11.11.92/ Situbondo.

Minta kepada masyarakat untuk menghindarkan timbulnya berbagai bentuk


wawasan yang cenderung mengotak-ngotakan masyarakat ke dalam suatu
pandangan yang sempit atas dasar asal usul keturunan, suku, agama, profesi dan
lain sebagainya.

Adanya isu memecah belah antar umat beragama maupun interen agama masing-
masing hendaknya terus diwaspadai, karena tidak mustahil memang sengaja
dihembuskan oleh oknum atau kelompok yang ingin mengacaukan suasana
ketentraman yang telah berhasil dicapai demi kepentingan politik mereka sendiri.

7. Basis Susilo Dosen Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas


Airlangga/26.11.92/Jakarta.

Kerusuhan masyarakat yang ditimbulkan kesenjangan sosial ekonomi yang bisa


terjadi bila pembangunan nasional tidak berhasil memperkecil ketidakadilan
sosial ekonomi.Yang mendorong kemungkinan timbulnya separatisme di
Indonesia bukan campur tangan asing dalam arti suatu negara, melainkan dalam
bentuk desakan-desakan ide-ide yang muncul dari masyarakat negara lain.

Potensial separatisme di Indonesia diakui Basis masih cukup besar. Titik


rawannya pada masalah SARA yang dilokalisasi secara geografis. Artinya, bila
masalah SARA kemudian dikembangkan dan ditumpangtindihkan dengan
dimensi geografis dapat muncul separatisme.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia pernah ada hal semacam ini . Contoh
munculnya isu SARA yang kemudian dilokalisir di daerah Aceh, Maluku
menyebabkan lahirnya gerakan separatisme. Disinilah Basis menegaskan perlunya
perhatian terhadap masalah Indonesia bagian timur (IBT). Ketertinggalan secara
ekonomis dan sosial daerah IBT bisa menyebabkan kekecewaan yang akhirnya
terpintal pada ideologi separatisme.

8. PANGDAM V Jaya Mayjen K. Harseno/09.12.92/ Jakarta.

Mengajak para alim ulama dan pemuka agama di Jakarta ikut menjaga
kestabilan dan keamanan. Dalam melaksanakan tanggung jawab itu yang
mendesak sekarang adalah menenteramkan para pelajar . Sebab ada petunjuk
para pelajar diadu domba dengan isu agama, sehingga sangat rawan jika tidak
bisa dikendalikan dan diyakinkan bahwa meraka dijadikan korban adu domba
oleh tangan-tangan jahil. Isyu agama yang dikembangkan untuk menyulut
perkelahian, yakni dibakarnya kitab suci, setelah diselidiki oleh yang berwajib,
ternyata tidak benar.

9. Ketua PP Muhammadiyah H.A. Azhar Basyir, MA/13.12.92/ Rapat


Pleno/Jakarta.

Menghimbau umat Islam dan seluruh komponen bangsa lainya untuk tetap
menjaga keutuhan dan persatuan nasional. Berkaitan dengan itu pula PP
Muhammadiyah mengharapkan agar masyarakat tidak terpengaruh atau
terpancing oleh isyu dan usaha provokatif yang bertujuan menggoyahkan
kesatuan bangsa, khususnya kerukunan umat beragama.

10. Kepala Staff AD Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar/12.01.94/ Acara malam .


gembira bersama masyarakat Sulawesi Selatan/ Ujung Pandang.

Mengantisipasi, dalam tahun-tahun mendatang, setidaknya lima tahun kedepan,


kepentingan pribadi maupun golongan akan begitu menonjol. Masalah agama
tampaknya juga akan dipergunakan sebagai alat pemicu perpecahan bangsa.

Prof Dr Mochtar Kusuma Atmadja, mantan Menlu /22.04.94/ Malam


Silaturahmi Masyarakat Hukum/Jakarta.

Pernyataan Kemlu RRC mengenai kerusuhan berbau SARA di Medan, yang


intinya meminta agar pemerintah Indonesia memperhatikan dan menjaga
keselamatan para warga negara Indonesia keturunan Cina, dinilai wajar dan
bukan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.

Menteri Luar Negeri Ali Alatas

Dalam tanggapannya terhadap penyataan jubir Kemlu RRC mengharapkan agar


pemerintah Cina tidak meragukan tekad dan kemampuan RI menyelesaikan
kerusuhan di Medan.

Tekad untuk segera meredakan kekacauan itu dapat dilihat dari pernyataan
Presiden dan pejabat tinggi terkait lainya agar pihak berwenang segera
mengambil tindakan tegas, karena aksi unjuk rasa pekerja itu menjurus pada
pengrusakan dan pertentangan SARA.

11. Wang Guangying, Kemlu RRC/21.04.94/ Jumpa Pers mingguan/ Jakarta.

Kemlu RRC meminta , agar Indonesia meredam demonstrasi dan kekerasan anti
Cina terhadap urusan dalam negeri RI. Permintaan itu justru menunjukan
perhatian Cina, karena adanya hubungan baik RI-Cina.

12. Prof. Dr. Mursal Esten,Guru Besar FPBS IKIP Padang/11.06.94/ Seminar
Sastra/ Bengkulu.

Sentimen kesukuan dan perbedaan etnis sebetulnya tidak perlu terlalu


dikhawatirkan lagi sebagai ancaman. Justru yang harus diwaspadai adalah
terjadinya kesenjangan sosial yang cukup tajam di masyarakat.

Masalah kesukuan sudah banyak berubah. Perubahan ini tidak saja dalam hal
kebisaan, tetapi juga terhadap tata pergaulan dan masalah sosial budaya lainnya.

Dalam kondisi seperti itu, yang perlu dikhawatirkan dan diwaspadai adalah
masalah kesenjangan sosial. Oleh karenanya peningkatan kesejahteraan dan
pemerataan tetap dikedepankan. Jika tidak, inilah yang bakal mengundang
kerawanan dan reaksi sosial.

13. Prof. Samuel P. Huntington/16.08.94/ Jakarta.

Untuk dapat tampil sebagai negara maju dan kuat Indonesia harus mewaspadai
potensi-potensi konflik tersebut dan mendeteksinya secara cermat untuk kalau
mungkin mengubahnya menjadi unsur kesatuan yang memperkokoh negara
Indonesia yang merdeka dan demokrati

Dalam hal mengantisipasi dia lebih memfokuskan analisisnya pada kles (Clash)
peradaban daripada kles ideologi dan ekonomi.

Perdaban yang dimaksud adalah entitas kultural yang unsur-unsurnya berupa


bahasa, sejarah agama, adat istiadat, lembaga-lembaga yang menentukan
indentitas manusia.

14. Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara ( Kabakin),


Sudibyo/14.01.95/Jakarta

Masalah primordialisme hingga saat ini diperkirakan akan tetap merupakan


kerawanan yang perku diwaspadai.

15. Tarmizi Taher, Menteri Agama/19.09.95/Bandung.


Forum komunikasi dan konsultasi antarumat beragama di Timor Timur,
kemungkinan besar akan segera diwujudkan. Pembentukan Forum itu akan
didorong oleh pemerintah untuk membicarakan sekaligus menyelesaikan
masalah-masalah yang mungkin timbul dalam hubungan antarumat beragama di
Timtim.

16. Menteri Agama, Tarmizi Taher /18.09.95/Acara peringatan ulang tahun ke-18
Badan Koordinasi Pemuda Remaja Mesjid Indonesia (BKPRMI)/Bandung.

Menyesalkan dan mengutuk pembakaran rumah Ibadah. Tidak satu pun agama
dan Tokoh Agama dapat membenarkan perusak dan pembakar Rumah Ibadah.
Namun sebagai manusia dan bangsa yang beragama kita masih terus bersyukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa kasus SARA Timtim dapat segera diatasi
dan dilokalisir.

17. Prof Dr Juwono Sudarsono, Guru Besar FiSIP-UI dan Wakil Gubernur
(Lemhanas) /01.11.95/Jakarta.

Usaha mengembangkan Civil Society (masyarakat warga) sebagai prasyarat


demokrasi memang harus terus menerus dilakukan. Namun dalam rangka
pengembangan kehidupan demokrasi yang lebih sehat, pengembangan
masyarakat warga itu harus disertai pula oleh usaha pengembangan civil
competence (kemampuan untuk menjadi warga) yang intinya adalah toleransi.

Toleransi berarti menghargai perbedaan pendapat, tidak serta merta mencuigai


kelompok lain, menghargai perbedaan orang lain, baik perbedaan profesi,
maupun perbedaan suku, agama dan ras, karena semuanya adalah sesama
anggota dalam suatu masyarakat warga.

Berkembangnya masyarakat warga yang tidak disertai peningkatan kemampuan


untuk menjadi warga, justru akan menimbulkan gangguan atau ancaman
terhadap kehidupan demokrasi yang sehat.

Selain itu juga menimbulkan konflik berlarut-larut, misalnya seperti yang terjadi
di India. Usaha mengembangkan masyarakat warga sejajar dengan peningkatan
kemampuan warga itu akan lebih terasa lagi urgensi dalam masyarakat yang
bersifat majemuk, seperti halnya masyarakat Indonesia.

18 Kapuspen ABRI Brigjen TNI, Suwarno Adiwijoyo/29.12.95/Pertemuan


Seksi Hankam/ Jakarta.

Pihak ABRI menilai tahun 1996 mendatang pihak-pihak tertentu akan terus
memanfaatkan isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) untuk memecah
belah Bangsa. Dinamika masyarakat, khususnya aktivitas LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat) diperkirakan juga akan tetap meningkat.
Semua itu, tentunya meminta peningkatan kewaspadaan seluruh lapisan
masyarakat.

Dan khusus mengenai kegiatan LSM, ABRI juga sesungguhnya tidak selalu
bersilang pendapat. Yang tidak dikehendaki ABRI adalah kegiatan SLM yang
merugikan pemberdayaan masyarakat. Yakni, yang kegiatannya mengarah pada
penanaman rasa kebencian dan bersifat destruktif.

19. Wakil Presiden, Try Sutrisno /04.07.96/Seminar Nasional Tantangan dan


Peluang Pemuda Indonesia menghadapi Era Globalisasi/ Jakarta.

Hal yang paling rawan dan mudah menggoyahkan persatuan dan kesatuan
Bangsa adalah permasalahan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan).
Sebab itu, setiap permasalahan SARA harus dapat diselesaikan secara tuntas
sedini mungkin, dengan lebih dulu memahami akar permasalahannya oleh semua
pihak yang terkait secara arif dan bijaksana melalui cara musyawarah untuk
mencapai mufakat.

20. Mensesneg, Moerdiono/10.10.96/ Situbondo.

Pemerintah sangat menyesalkan peristiwa kerusuhan yang terjadi di Situbondo,


Jawa Timur.

Untuk itu Pemerintah mengharapkan, masyarakat dapat menahan diri, tidak


mudah terpancing oleh isu, hasutan maupun desas desus yang menyesatkan, serta
meminta seluruh pemimpin umat masing-masing untuk mencegah terjadinya
peristiwa serupa.

Ditegaskan, peristiwa Situbondo itu bisa merusak kerukunan hidup beragama


yang selama ini sudah dibangun, dipelihara dan dikembangkan dengan sungguh-
sungguh sebagai pengamalan Panccasila, tepatnya sila pertama ketuhanan Yang
Maha Esa.

Oleh karena itu, pemerintah sangat menyesalkan kejadian tersebut dan


mengharapkan agar peristiwa seperti itu tidak terulang kembali di mana pun dan
kapan pun.

Kebebaasan beragama merupakan hak asasi manusia yang paling asasi.

Kebebasan itu juga bukan pemberian pemerintah ataupun golongan. Karena itu,
Pemerintah sungguh-sungguh mengharapkan agar masyarakat dapat menahan diri
dan tidak mudah terpancing oleh isu, hasutan maupun desas desus yang
menyesatkan.
Sedang kepada seluruh pemimpin umat, pemerintah mengharapkan pula agar
mereka dapat lebih meningkatkan lagi pembimnaan umatnya masing-masing
untuk mencegah terjadinya peristiwa serupa dikemudian hari.

21. Menteri Agama, Tarmizi Taher/15.01.97/Munas VII Badan Komunikasi Pemuda


Remaja Mesjid Indonesia (BKPRMII)/Bandung.

Penyiaran agama dengan agresivitas tinggi merupakan salah satu pemicu


timbulnya peristiwa SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Dalam kaitan
itu, para Tokoh Agama di Indonesia perlu lebih memasyarakatkan kerangka
teologis di rumah masing-masing demi terjaminnya kerukunan hidup antarumat
beragama.

Asospol ( Kaasospol ) ABRI Mayjen TNI, Budi Harsono

Mensinyalir masalah agama - disamping suku- sebagai isu yang paling sensitif
dijadikan alat pemicu keonaran. Rentetan kasus Situbondo, Tasikmalaya dan
Sangau Ledo (Sambas) dicontohkannya sebagai peristiwa yang semula
bertendensi agama dan suku.

22. PanglimaKodam II Sriwijaya Mayjen TNI, Susilo Bambang Yudhoyono/


17.01.97/Pertemuan tertutup dengan semua perwira se garnizun/ Plembang.

Munculnya kelompok yang berkeinginan untuk melakukan perombakan


(reformasi) dakam tatanan dan sistem politik yang berlaku, dan kelompok yang
ingin menciptakan kerusuhan-kerusuhan seperti yang terjadi belakangan ini, perlu
diwaspadai. Sebab, ancaman yang akan menganggu pelaksanaan Pemilu 1997 dan
Sidang Umum MPR 1988, diperkirakan datang dari itu.

Dalam menghadapi tantangan dan kemungkinan ancaman yang diperkirakan itu,


pihaknya berkepentingan mengamati akar-akar konflik dan kantung-kantung
masalah yang mungkin mengganggu tegaknya stabilitas dan keamanan di wilayah
Sumbangsel (Sumatera bagian Selatan yang meliputi Jambi, Bengkulu, Sumatera
Selatan dan Lampung).

Mempelajari dan mengevaluasi kasus-kasus yang berkaitan dengan aspek politik


dan keamanan seperti kejadian di Situbondo, Tasikmalaya dan Sangau Ledo,
sudah saatnya seluruh prajurit meningkatkan langkah antisipasi, deteksi dini dan
cegah dini.

23. Wakil Presiden, Try Sutrisno/23.01.97/Kunjungan Departemen Pertahanan


Keamanan / Jakarta.

Berbagai bentuk gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas),


seperti pelanggaran disiplin, pelanggaran hukum, perkelahian antar pelajar dan
kenakalan antar remaja, intensitasnya semakin tinggi.
Begitu pula masalah kerusuhan yang ditimbulkan oleh masalah suku, agama, ras
dan antar golongan (SARA), mulai menggejala, karena adanya campur tangan
dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Semua itu menuntut kita untuk
semakin meningkatkan kewaspadaan, melalui peningkatan deteksi dini,
penyebarluasan informasi dan komuikasi sosial, serta memperkukuh
kemanunggalan ABRI - rakyat.

24. Ketua Bakorstanasda Sumatra Bagian Selatan (Sumbangsel), Mayjen


TNI Susilo Bambang Yudhoyono/ 24.01.97/Rapat Berkala Bakorstanasda
Sumbangsel.

Permasalaha SARA di Bengakulu sudah diatasi dengan baik, dalam arti cepat dan
tepat. Begitu juga dengan benturan antara Perusahaan kelapa sawit dan penduduk
lokal di Bangka dan Musirawas (Sumsel, unjukrasa di Jambi, unjukrasa angkutan
kota di Lampung dan Palembang).

25. Asisten Sosial Politik Kepala Staf Sosial Politik (Assospol Kasospol) ABRI,
Mayjen TNI Budi Harsono/26.01.97/ Ceramah dihadapan umat Budha di
Megamendung/ Bogor.

Keragaman Budaya dan agama yang dimiliki Bangsa Indonesia ditinjau dari
kaca mata stabilitas nasional, berpotensi timbulkan konflik.

Sebab itu, kerukunan, baik intern antarumat beragama maupun antarumat


beragama dengan pemerintah, merupakan sesuatu yang sangat penting yang
perlu terus dibina.

26. Kepala Staf TNI AD (KASAD), Jenderal TNI R. Hartono/17.02.97/Acara


Halal Bihalal dengan seluruh jajaran Sipil dan Militer/ Jakarta.

Konflik SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) menyusul kerusuhan yang
terjadi di Kalimantan Barat, ternyata juga diakibatkan hasutan oknum-oknum
yang sengaja datang dari Jawa Timur. Konflik SARA itu telah mengakibatkan
sekitar 300 warga tewas, dan menimbulkan kerugian material yang besar. Bahkan
hingga kini masih terdapat puluhan ribu pengungsi yang harus ditangani oleh
pemerintah untuk selanjutnya dikembalikan ke daerah asalnya masing-masing di
Kalimantan Barat.

27. Dr. TH Sumartana, Ketua Interfidei/ Lembaga Dialog Antar Agama (Dian),
17.02.97/ Aula NU Situbondo.

Agama dan para pemeluknya diharapkan bisa memberi sumbangan terbaik guna
menciptakan masyarakat yang demokratis, dialogis, terbuka dan komunikatif.
Dengan demikian, dialog antar seluruh warga masyarakat, khususnya dialog
antaragama menjadi amat relevan.
Beberapa tampat di negeri ini dilanda kerusuhan massal yang mengandung
aspek SARA. Peristiwa Dili, Sangau Ledo, Rengasdengklok,Tasikmalaya dan
Situbondo merupakan peristiwa yang perlu dicermati dengan seksama. Kejelian
kita dalam memandang perisrtiwa-peristiwa tersebut akan sangat menentukan
bagaimana memahami dan menyingkapi kejadian tersebut.

Melalui dialog antaragama akan dapat membuka komunikasi pada tatanan


kehidupan agama secara menyeluruh, baik pada tingkat lembaga, doktrin
maupun tingkat kehidupan umat. Dialog adalah sebuah cara yang paling cocok
dengan nilai-nilai keagamaan yang amat menghargai kemanusiaan.

Dalam perspektif peristiwa-peristiwa kerusuhan tersebut di atas, maka agaknya


perlu ditambahkan kerukunan yang ke empat. Yaitu kerukunan di antara elit di
negeri ini, baik elit ekonomi, maupun sosial dan politik.

Sebab, apabila elit politik tersebut tidak mampu rukun dan saling menjegal satu
dengan yang lain maka yang akan menjadi korban adalah rakyat banyak. Jadi
ancaman yang paling berbahaya dari republik ini, apabila kalangan elite sudah
tidak mampu menghidupkan semangat kerukunan di antara mereka sendiri.

28. Prof. Dr Loekman Soetrisno, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta/ 29.07.97/Diskusi Forum Wacana Muda Interfidei/ Yogyakarta.

Suatu hal yang menarik di Indonesia adalah, birokrasi merupakan bagian dari
suatu organisasi sosisl politik (orsospol) tertentu. Padahal ketidaknetralan
birokrasi itu dapat memancing ketegangan sosial, yang manifestasinya pada
tindakan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

SARA adalah bagian dari bangsa dan negara Indonesia yang tidak dapat dihindari.
Tetapi ia berpendapat, SARA dapat dicegah agar tidak menjadi sumber
kerawanan. Pencegahannya misalnya, dalam membangun perekonomian harus
secara tegas menempuh pendekatan affirmative action, yakni memberikan
kesempatan sebesar-besarnya kepada penduduk pribumi untuk berkembang.

Selain itu, Pemerintah harus menciptakan aparat Pemerintah yang netral dari segi
politis. Korpri harus dianggap sebagai organisasi profesional PNS, dan bukan
sebagai mesin perolehan suara dalam pemilu.

Hotman Siahaan,

Kerusuhan atau perlawanan massa terjadi bukan soal agama, tetapi diakibatkan
karena longgarnya struktur sosial yang tercipta dalam masyarakat. Kekerasanbisa
datang dari atas, masalahnya sangat sulit bagi kita untuk mendeteksinya. Kita
hanya mampu berprasangka. Jika ada kesadaran pada masyarakat, itu bukan
karena kesadaran struktural tetapi karena birokrasi. Dikatakan, kerusuhan yang
terjadi di Indonesia merupakan realitas sosial sebagai upaya perlawanan
hegemini.

29. Ketua Cabang Jawa Timur Yayasan Haji Karim Dei, Hj Leony Fatimah Putri
Wong Kam Fu/21.09.97/Penyerahan Surat Keputusan/ Surabaya.

Pembauran merupakan salah satu bentuk jawaban bagi upaya menghapus


perbedaan pribumi dan non pribumi. Masyarakat bisa ikut mendorong upaya
dalam kehidupan sosial atau profesional, dan bukan malah dikucilkan. Sejak
semula pembauran merupakan bentuk jalan keluar yang baik untuk menuntaskan
perbedaan. Terutama perbedaan etnis, agama dan asal usul yang mengakibatkan
timbulnya perbedaan pribumi dan nonpribumi.

30. Kepala Staf TNI AD (KSAD), Jenderal TNI Wiranto/09.02.98/ Acara


Penyerahan Penghargaan Kepada Pembina dan Kader Penegak Disiplin (KPD)
terbaik tahun 1998.

Mengingatkan kepada seluruh kalangan masyarakat agar dalam


menghadapi masa keprihatinan bangsa karena krisis ekonomi akibat
gejolak moneter saat ini, hendaknya tidak menyebarkan sentimen suku,
agama, ras danantargolongan (SARA). Ini penting karena, sejak awal
bangsa ini telah sepakat untuk hidup bersama dalam kebhinekaan, untuk
membangun bangsa dan negara.

Kalau sampai ini dilakukan, ini keliru. Kita harus lawan dan
menetralisirnya.

Sentimen SARA itu tidak boleh. Bangsa kita telah menjadi bangsa yang
besar dan bisa membangun karena telah berhasil menyatukan berbagai
perbedaan suku, agama maupun ras dalam satu kesatuan yang utuh.
Jangan rusak ini karena kepentingan-kepentingan yang sempit.

Perbedaan-perbedaan yang ada dalam bangssa Indonesia baik itu


perbedaan etnik, agama, ras, perbedaan derajat maupun kondisi ekonomi,
telah berhasil disatukan pemerintah selama ini sebagai kekuatan untuk
membangun bangsa dan negara seperti sekarang ini. Kalau ada langkah-
langkah, hasutan-hasutan serta keinginan untuk kembali mengkotak-
kotakkan masyarakat, kan ini jelas keliru.

Semua isu yang beredar serta berkembang di masyarakat perlu dianggap


sebagai sampah. Keadaan sekarang tidak terlalu rawan. Namun ada
berbagai pihak yang berusaha menyebarkan isu kepada masyarakat,
sehingga membuat terpecah belah. Karenanya anggap saja isu itu sebagai
sampah.
Yang dikhawatirkan, bila isu tersebut masuk dalam opini masyarakat. Ini
sangat berbahaya. Karena yang namanya isu, itu tidak benar dan
sumbernya tidak jelas. Yang namanya rumours, isu serta selebaran gelap,
itu kan sumbernya dari pihak yang berniat menjelek-jelekkan.

Kalau niat menjelekan diterima lantas mendapat tanggapan, tentunya hal


itu mengikut kehendak penyebar isu. Langkah inilah yang tidak bagus.
Karena itu kita semua perlu membentengi masyarakat dari isu-isu tersebut.

Untuk menghindari perpecahan perlu dilakukan penyatuan secara utuh


dari berbagai perbedaan baik etnis, agama, ras, derajat dan kondisi
ekonomi. Bangsa kita merupakan bangsa yang sudah besar sekaligus
sudah bisa membangun. Dari perbedaan itu, telah disatukan di dalam
Bhineka Tunggal Ika. Meski

Akhir-akhir ini kerusuhan yang terjadi bertubi-tubi di Indonesia banyak


dikaitkan dengan masalah SARA, dan dengan amat biadabnya para elite
politik yang berebut kekuasaan dan kepentingan memanfaatkan dan dengan
canggihnya merekayasa bahwa SARA lah sebagai pemicunya, dan ia akan
selalu menjadi sarana yang penting untuk terus dijadikan alat yang
handal oleh bandit-bandit politik untuk mengacaukan situasi politik
dimasa mendatang di Republik ini, marilah kita meneliti dan
memperhatikan secara seksama, kenapa masalah SARA ini begitu gampang
untuk disulut dan dijadikan pemicu, antara lain adalah sebagai berikut
:

1. Selama ini nampak bahwa bangsa Indonesia yang sangat dikenal


religius dan berkeTuhanan Yang Maha Esa hanya memahami, menghayati,
dan mengamalkan ajaran2 agamanya sebatas ritual saja, artinya orang
hanya baru sebatas memiliki agama saja, belum sampai kesikap
religiusitas atau ber Iman, contohnya amat sederhana saja, kita semua
sudah melihat bahwa di-mana mana telah banyak dibangun tempat-tempat
Ibadah, baik itu mesjid maupun gereja, dijaman ORBA ini
perkembangannya amat menakjubkan, dan juga terlihat bahwa masyarakat
pun ber bondong-bondong melaksanakan Ibadahnya sesuai keyakinannya
masing-masing, tapi dengan terjadinya beberapa kasus SARA ini terlihat
bahwa pada kenyataanya masyarakat semakin terkikis atau tererosi
sikap-sikap kemanusiannya terhadap sesama, dan ajaran-ajaran agama yang
telah di “ beri “ kan ternyata tidak ada manfaatnya, pada kenyataannya
bahwa Agama hanya menjadi kosmetik saja, sedang ke IMAN an sama sekali
tidak tersentuh, nilai-nilai Universal yang mestinya dijunjung tinggi
juga telah ditinggalkan.

2. Masih sangat berkembangnya dan bahkan tumbuh dengan sangat suburnya


sikap-sikap “ Primodialisme-Eksklusifistik “ ditengah-tengah kehidupan
masyarakat, primodial adalah suatu sikap sangat cintanya terhadap
sesuatu, entah itu terhadap suatu agama, etnis, maupun golongan, dan
kebudayaan dll, sikap primodial akan membawa dampak positif bila
diterapkan secara terbuka dan mau menghargai sikap dan pendapat lain,
tapi sebaliknya akan menjadi sangat negatif kalau diterapkan secara
tertutup dan eksklusif, contohnya yaitu, misalnya, agama saya Islam,
adalah yang “terbaik “, etnis saya Cina adalah “tertinggi “ dan
sebagainya, sehingga anggapan mereka bahwa selain itu adalah jelek
atau dibawahnya.
Suatu contoh keterkaitannya dengan point satu diatas adalah, masih
sangat dominannya peran-peran tokoh-tokoh agama dalam masyarakat yang
secara tidak sadar telah mendidiknya menjadi primodial-primodial yang
sangat eksklusif, Lihatlah hubungan antara Ulama dan Ummatnya,
terutama di Jawa, banyak masyarakat dari ummat Islam lebih banyak
mendengarkan ajaran dan petunjuk para Kyai nya daripada mempelajari dan
melaksanakan hukum-hukum Islam yang tertera dalam Al Quran, sehingga
para Kyai amat besar pengaruhnya pada masyarakat, sehingga pengkultusan
terhadap seseorang berkembang amat pesat dan turun temurun, ditambah
lagi dengan perkembangan mental dan moral masyarakat yang sudah lama
terjajah mulai dari jaman Belanda, Jepang dan terakhir di “ jajah “
oleh rezim ORBA, menyebabkan sikap-sikap primodial ini makin berkembang
kearah negatif.
Sikap primodial ekls. ini diperparah lagi dengan perasaan-perasaan “
Superior “ yang melengkapinya, lihatlah di daerah-daerah yang mayoritas
Islam, maka ada anggapan bahwa mereka lah yang perkasa, sebaliknya di
Indonesia Timur yang mayoritasnya Kristen, beranggapan hal yang sama,
dan sikap-sikap superior ini pun tidak boleh terusik sedikitpun,
sehingga kalau ada anggota masyarakat khususnya dari golongan minoritas
telah berbuat yang sedikit menyinggung perasaan kaum Mayoritas, maka
gesekan-gesekan akan amat mudah terjadi, lihatlah kasus Theo Syafii
karena dia seorang Kristen, maka begitu ada kritik terhadap Umat Islam
yang seharusnya direnungkan dengan kepala dingin, maka segera terdengar
prote-protes keras dengan sikap manajement by “ Pokok-e “, jadi pokok-e
yang mengritik Islam adalah musuh nya, sebaliknya kalau se orang GUS
DUR atau bahkan si Proletar yang sama-sama Islam mengkritik, tidaklah
begitu besar gaungnya, sikap-sikap seperti itulah telah dipelajari
dengan jitu oleh si ahli strategi Bandit Politik sehingga dengan mudah
menyuruh para “ provokator “ untuk menyulutnya.

3. Kalau kita mau memahami nilai-nilai kemanusiaan yang paling


mendasar, bahwa saat ini di Indonesia semakin hari semakin terabaikan,
martabat manusia dan hak-hak asasi yang layak di miliki dan di
anugrahkan oleh Tuhan kepada manusia semakin tak terlindungi dan tidak
terbela, bahkan sebagian besar justru dilanggar dan di tindas oleh
mereka yang seharusnya mendapat tugas dari negara untuk melindungi hak
asasi manusia yang hidup di bumi Indonesia, contoh-contoh sudah semakin
menumpuk, mulai dari kasus penembakan Trisakti, kerusuhan Jakarta,
Aceh, Santet Banyuwangi, peristiwa Semanggi, Ketapang, Kupang dan
terakhir Ambon, hingga sekarang tidak ada satupun yang berhasil di
ungkap, seolah-olah pemerintah ingin membiasakan rakyatnya untuk hidup
dengan kekerasan.

4. Belum dikembalikan “ kedaulatan “ kepada Rakyat, Suara-suara hati


Rakyat sampai hari ini, meskipun sudah ada perbaikan disana-sini, tapi
masih hanya sebatas “ didengar “, belum “ didengarkan “, artinya,
suara hati nurani Rakyat yang mempunyai kedaulatan teringgi hanya
didengar saja oleh pemerintah, dan tidak pernah dengan sikap
sungguh-sungguh, terbuka, dan besar hati menerimanya.
Contohnya, bagaimana “alergi “ nya pemerintah dan para wakil rakyat
yang duduk di DPR terhadap kritik-kritik Rakyat, khususnya dari para
Mahasiswa yang relatif masih murni perjuangannya, sehingga harus
dihadapi dengan kekerasan dan kebiadaban, sebaliknya terhadap tindakan
penjarahan dan kerusuhan yang benar-benar meresahkan kehidupan
masyarakat malah tidak tegas menghadapinya.

5. Jurang perbedaan antara Kaya dan Miskin, dan kurangnya sikap rasa
keterpedulian antar sesama mahluk hidup, kesenjangan sosial, serta
ketidak berhasilan pemerintah mengatasi jumlah Pengangguran, ditambah
lagi hasil-hasil produk ORBA yang amat kental dengan praktek KKN, telah
menjadi salah satu faktor pemicu yang tak kalah pentingnya dalam
peristiwa kerusuhan SARA ini

Itulah sedikit uraian dan juga keprihatinan saya mengenai kondisi


Indonesia saat ini, dan ini akan terus semakin berkembang hingga
Pemilu, kalau inipun jadi dilaksanakan, akan dibawa kemanakah bangsa
dan negara Indonesia tercinta ini ? akan mengalami hal dan nasib yang
samakah dengan negara-negara Timur yang terpecah belah? hanya dengan
kesadaran dari hati nurani yang paling dalam dari para tokoh
masyarakatlah nasib negara ini bergantung, semoga Tuhan memberikan
jalan yang terbaik.

"14 Mei HARI ANTI-SARA"

Suatu perkumpulan baik yang bersifat organisasi maupun yang berbau


agama berusaha dalam hal mencari pendukung/penganut/pengikut. Semakin
banyak pengikutnya semakin besar tumbuh perkumpulan tersebut.

Dengan segala cara akan ditempuh oleh pemimpinnya untuk mengembangkan


perkumpulan tersebut. Zaman kini merupakan zaman berdiplomasi bukan
zaman kekerasan. Setiap manusia berusaha mencari simpati dari yang
lainnya. Dengan adanya simpati tersebut akan diperoleh penggemar-
penggemarnya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan salah satu contoh "Pemilu". Setiap
partai tentu akan mencari pendukungnya. Sebagai pendukung yang
berpikiran rasional tentu akan memilih partai yang terbaik untuknya.
Sedangkan pendukung yang tak berpikiran rasional akan terpengaruh oleh
baik para fungsionaris-fungsionaris kampanye, maupun tokoh-tokoh
masyarakat.

Di saat musim kampanye setiap partai harus menunjukkan rasa simpati


dan kesanggupan memimpinnya dalam hal menangani masalah-masalah negara
tersebut untuk mencapai kestabilias politik dan ekonomi.

Demikian juga dengan pengembangan suatu agama. Setiap tokoh agama akan
berusaha mempengaruhi calon penganut agama tersebut dan akan
mempertahankan, agar penganut agama tersebut tidak meninggalkan agama
tersebut.

Umumnya manusia yang meninggalkan perkumpulan tersebut akan disebut


dengan penghianat. Hubungan mereka tentu akan dikurangi.
Setelah terjadinya sesuatu hal yang tidak diinginkan terhadap manusia
yang dianggap penghianat, kalangan perkumpulan tersebut pun akan
mengatakan: "kejadian itu merupakan hasil penghianatan".

Apabila salah seorang atau beberapa orang dari kalangan perkumpulan


tersebut melakukan kesalahan, maka kalangan tersebut tidak akan
mengakui sebagai pengikutnya. Umumnya suatu perkumpulan hanya ingin
didukung dan dilindungi oleh pengikut, bukan melindungi dan
mempertanggungjawabkan perlakuan pengikutnya. Hal ini diterapkan demi
mempertahankan nama baik perkumpulan tersebut, agar masih tetap
memiliki rasa simpati dari masyarakat dan pengikutnya.

Sebagai contohnya, kasus kerusuhan pada 6-15 Mei 1998 yang telah
mengambil korban yang banyak jumlahnya. Setiap perkumpulan mengatakan,
bahwa pelakunya bukanlah pengikutnya. Sehingga masyarakat menjadi
kurang jelas. Sebagian masyarakat mengatakan, bahwa pelakunya adalah
kaum muslimin. Sebagai kaum muslimin yang tidak melakukannya tentu
membantahnya. Sebagian lagi mengatakan, bahwa pelakunya adalah orang
pribumi. Tentu orang pribumi yang bukan kaum muslimin akan
membantahnya juga.

Sebagai contoh lainnya. Pemerintah orde baru telah memakai politik


"pengalihan perhatian rakyat" dengan mengatakan krisis ekonomi
merupakan dampak dari hutang-hutang swasta dan pelarian modal ke luar
negeri. Para Konglomerat yang telah bekerjasama dengan pemerintah orde
baru melakukan KKN umumnya merupakan WNI keturunan Cina. Tentu sebagai
ethnic Cina yang bukan konglomerat dan tidak melakukan KKN akan
membantahnya. Sehingga rakyat yang pada dasarnya telah mempunyai
perasaan sentimen terhadap Cina akan menyerang Cina-cina.

Dengan terjadinya kerusuhan-kerusuhan tentu perhatian rakyat untuk


mengkritik pemerintah dalam rangka penyelesaian politik dan ekonomi
akan teralihkan ke masalah penyelesaian SARA.

Untuk menghasut rakyat Indonesia memang mudah sekali. Hal ini juga
telah terbukti dari masa-masa penjajahan. Sebelum masa penjajahan
telah diketahui, bahwa sistem perkumpulan/organisasi rakyat indonesia
terutama sekali kepemimpinannya tidaklah bertanggungjawab, bahkan
selalu mencari kambinghitam dan mudah melakukan sesuatu tanpa
berpikir. Dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi hendaknyalah
pemerintah,tokoh-tokoh agama dan masyarakat mempertanggungjawabkannya.
Demikian juga hendaknyalah pemerintah Indonesia, tokoh agama dan tokoh
masyarakat tidak lagi menggunakan kalimat-kalimat yang bersifat
menghasut rakyat indonesia.

Kalimat-kalimat yang bersifat penuduhan terhadap konglomerat WNI


keturunan Cina, telah menghasut rakyat indonesia untuk membantai seluruh
Cina-cina di Indonesia. Sayang sekali pelaku kerusuhan tersebut tidak
diakui oleh tokoh-tokoh agamanya. Padahal rakyat Indonesia harus
memiliki agama.

Setelah peristiwa-peristiwa 6-15 Mei 1998 di Indonesia terjadi.


Korban-korban etnik Cina juga sepertinya didiamkan dan bahkan hendak
dirahasiakan. Agar dunia luar tidak mengetahuinya, maka diusulkanlah
agar sebutan terhadap "WNI keturunan Cina/Tionghoa" digantikan sebagai
"Suku Tionghoa". Dengan tujuan agar masalah pembantaian cina2
merupakan masalah dalam negeri saja. Sebenarnya rakyat Indonesia
membedakan cina atau bukan cina, bukanlah berdasarkan nomor KTP atau
sebutannya, melainkan berdasarkan warna kulit dan bentuk mata yang
sipit.

Korban-korban peristiwa 6-15 Mei 1998 umunmnya cina2. Akan tetapi


kalimat-kalimat dari pemerintah yang menegaskan, bahwa korban-korban
adalah cina tidaklah sebanyak kalimat-kalimat yang telah menghasut
rakyat untuk membantai cina. Padahal cina2 yang menjadi korban lebih
banyak daripada cina2 yang KKN.

Jika kalimat-kalimat pemerintah Indonesia yang telah mengakibatkan


pembantaian etnik cina perlu diteladani, maka pelaku kerusuhan seperti
pemerkosaan dan penjarahan yang disertai dengan kalimat "BANTAI CINA"
dan "ALLAHUAKBAR" merupakan "ORANG PRIBUMI YANG BERAGAMA
ISLAM".
Apakah pernyataan ini dapat dipertanggungjawabkan pemerintah dan
tokoh-tokoh agama islam yang telah berhasil mengumpulkan pengikut
sekitar 80%jumlah penduduk Indonesia ?

Sebelum ketahuan berbuat jahat, mereka dibangga-banggakan sebagai


pengikut perkumpulan tersebut. Karena pengikutnya banyak, perkumpulan/
organisasi tersebut pun ingin memasukkan ajaran2nya ke dalam
Undang-undang. Setelah ketahuan berbuat jahat, mereka para
pelaku kejahatan tidak lagi diakui dan tidak dibela serta tidak
dipertanggungjawabkan perkumpulan/organisasi tersebut, walaupun
sebelumnya berkat merekalah perkumpulan/organisasi yang bersangkutan
dapat berkembang.

Kalimat yang manakah, yang lebih benar?

1. kasus pemerkosaan pada 6-15 Mei 1998 dilakukan oleh:


a. Orang-orang pribumi
b. Orang-orng pribumi islam

2. Krisis ekonomi umumnya disebabkan oleh hutang-hutang swasta yang


ditangani oleh:
a. Konglomerat
b. Konglomerat WNI keturunan Cina

Ataukah kasus biadab tersebut harus ditanggungjawabkan oleh pribumi


"non-Islam" ?

Sebagai rasa ikut Anti-SARA dimohon oleh segenap bangsa di permukaan


bumi ini, agar kita selaku bangsa Indonesia menyebarluaskan foto-foto
dan berita-berita tentang kasus pembantaian kaum minoritas di Indonesia
"YANG SUNGGUH-SUNGGUH". Informasi-informasi untuk mengungkapkan
peristiwa 6-15 Mei 1998 di Indonesia sangat membantu dunia luar
bertujuan memperingati pemerintah Indonesia untuk tidak menunda-nunda
penyelidikan kasus tersebut. Misalnya pemerintah dapat menyelidiki
pelaku penjarahan yang fotonya terpampang di beberapa media pers maupun
televisi (contoh: CNN). Masyarakat yang telah menuliskan kalimat "MILIK
PRIBUMI/MUSLIM,BAKAR YANG CINA" di pintu-pintu rumah/toko seharusnya
diselidiki. Dengan menuliskan
kalimat2 tersebut masyarakat tersebut ingin hidup dengan cara menghasut
perusuh untuk membunuh minoritas.

Usulan agar 13 Mei merupakan hari peringatan "ANTI-SARA" untuk mengenang


korban-korban kerusuhan, pembunuhan, pemerkosaan/pelecehan sexual dan
perampokan terhadap minoritas. Martabat korban-korban SARA harus
dijunjung tinggi.
Mohon kepada korban-korban kerusuhan 6-15 Mei 1998, agar tidak berkecil
hati, karena secara internasional kalian sangat diharapkan sebagai
saksi-saksi korban SARA. Janganlah malu dan takut pada teror-teror yang
pernah/kini selalu ditujukan pada kalian setelah kalian menjadi korban,
melainkan cetuskanlah agar setiap bangsa
tahu, bahwa kalianlah yang telah menyelamatkan kaum minoritas yang tidak
tertindas saat 6-15 Mei 1998.

Pemerintah harus menjamin dan melindungi korban serta menjunjung tinggi


nama-nama korban kerusuhan terutama sekali kaum wanita korban
pemerkosaan/pelecehan sexual.

JANGAN TAKUT BICARA SARA

Sebuah diskusi menarik digelar di Lemhanas (Lembaga Ketahanan


Nasional) Kamis dua pekan lalu (9/11). Diskusi yang diselenggarakan
atas kerja sama Lemhanas dengan Perhimpunan Persahabatan Indonesia
Portugal ini menggelar tema "Strategi Pendayagunaan Potensi Etnik
dalam Pembangunan Nasional".

Inilah untuk pertama kalinya sebuah diskusi tentang SARA (Suku,


Agama,
Ras, dan Antargolongan) digelar oleh Lemhanas. Tapi bukan soal itu
yang istimewa. Yang menarik dari diskusi ini adalah munculnya
semacam
rekomendasi agar kita tidak lagi takut untuk membicarakan masalah
SARA
secara terbuka. "Halal bicara soal etnis," kata Kol (Purn) Drs.
Saafroedin Bahar, staf ahli Mensesneg dan anggota Komnas HAM yang
tampil sebagai pemakalah.

Pembicara lain adalah Kolonel Inf. J.B. Wenas, Bupati KDH Tk II


Wamena
Irian Jaya dengan makalah berjudul "Penanganan Aspek SARA dalam
Pembangunan Daerah Wamena, Irian Jaya". Beberapa tokoh yang hadir
dalam diskusi ini antara lain Aster Kasum ABRI Mayjen TNI Arie J.
Kumaat, mantan Pangdam Udayana Mayjen TNI Adang Ruchiyatna,
Direktur
PDBI Christianto Wibisono, dan Dubes Keliling Lopez da Cruz.

Menurut Saafroedin, diskusi tentang masalah etnis perlu dilakukan


secara terbuka demi mendayagunakan potensi etnis dalam pembangunan

bangsa. "Sampai saat ini pemerintah belum pernah menentukan


kebijakan
soal etnis secara eksplisit," katanya. Dalam pandangan Saafroedin,
sejak tahun 1983 masih ada kegamangan ketika orang tiba pada masalah
ini. "Kini sudah waktunya dibuka," tandasnya.

Menurut Saafroedin, munculnya kasus-kasus SARA yang bertendensi


politis belakangan ini, berawal dari belum tuntasnya penyelesaian soal
etnis dari sudut sosiologis dan antropologis. "Padahal sejak awal kita
menyadari negara ini terdiri atas banyak suku, dan kita ingin semua
suku hidup berdampingan," kata Saafroedin.

Karena itulah, menurutnya, pembahasan etnis -- seperti etnis Cina --


jangan dianggap sebagai tabu dan dibiarkan berlarut-larut. Etnis yang
oleh Saafroedin disebut memiliki sifat "urban" ini memiliki potensi
besar di bidang perdagangan dan keuangan. "Etnis ini pun memiliki
sikap saling percaya yang tinggi antarsesamanya. Karena itu, potensi
mereka harus dimanfaatkan seoptimal mungkin." Ajakan untuk secara
terbuka membicarakan SARA ini memang seolah bertentangan dengan
kecenderungan umum yang berlaku. Selama ini, jika muncul konflik
berdimensi SARA, pemerintah cenderung memperlakukannya sebagai
konflik
biasa. Pers pun yang berperan penting untuk menjelaskan persoalan
bersikap serupa, bahkan lebih memilih untuk menunda pemberitaannya
sambil menunggu situasi mereda. Akibatnya, informasi yang diperoleh
masyarakat sangat simpang siur. Dan bukan mustahil, kesimpangsiuran
itulah yang justru memancing makin panasnya situasi.

Mungkin karena itulah, Prof. Emil Salim sepakat dengan ajakan untuk
membicarakan soal ini secara terbuka. "Masalah SARA tak perlu
disembunyikan di bawah karpet," kata gurubesar UI ini dalam sarasehan
Gerakan Nasional Kesetiakawanan Sosial di Jakarta, Kamis (16/11)
pekan
lalu.

Menurutnya, SARA justru harus dijadikan faktor integrasi, bukannya


disintegrasi bangsa. "Sebab, faktor SARA ini mendapat peluang dalam
pluralisme bangsa," tandasnya. Ditekankannya, yang dibutuhkan sebuah
bangsa plural adalah menghilangkan feodalisme. Ini berarti lebih
menitikberatkan policy pada kebijaksanaan desentralisasi, otonomi
daerah, dan mengangkat hukum adat menjadi setingkat dengan hukum
nasional.

Sosiolog dari UGM, Dr. Nasikun, juga sepakat bahwa konflik SARA
harus
dikelola secara lebih positif. Nasikun menyesalkan cara peredaman
konflik yang selama ini dipakai, yaitu dengan mengabaikan seolah-olah
tidak ada konflik. "Kelihatannya selesai. Tetapi kenyataannya justru
seperti api dalam sekam," katanya (lihat "Strategi....." di halaman
ini).

Nasikun juga mengingatkan bahwa boleh jadi strategi pembangunan kita

yang sangat konsisten dengan paradigma pertumbuhan ikut


menyuburkan
potensi konflik. Penjelasannya, strategi pertumbuhan telah menyebabkan

alokasi sumberdaya terkonsentrasi pada struktur dan kelompok yang


potensial menimbulkan konflik. Akibatnya, suku tertentu dengan agama
tertentu mendapat peluang lebih besar dari strategi pembangunan
ekonomi kita. Sementara kelompok lain hanya mendapat peluang lebih
sedikit. "Masalah ini akan memudahkan terjadinya konflik," tandasnya.

Komentar senada dikemukakan Dr. Anwar Haryono. Bagi Anwar


Haryono,
konflik SARA pada dasarnya adalah masalah yang saling berkait dengan

faktor lain. Dengan kata lain, kata Ketua Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia ini, sebetulnya sulit menemukan konflik yang murni
berlatarbelakang SARA. Menurutnya, konflik-konflik yang muncul
adalah
letupan dari ketidakpuasan atas kondisi ekonomi, politik, dan hukum.
"Masalah SARA di situ hanya jadi pemicu," katanya (lihat "Islam tak
pernah..." di hal. 10).

Soal inilah yang juga dipertegas Dr. Ahmad Syafii Maarif. Menurut
Ketua PP Muhammadiyah ini, konflik SARA harus dilihat dengan
kacamata
utuh. Masalahnya, bisa saja konflik itu berasal dari sebab lain, tapi
memakai payung soal SARA. Maarif kemudian mencontohkan kasus
PRRI/Permesta tahun 50-60-an yang biasa dikaitkan dengan gerakan
separatis, atau anti-Jawa. "Padahal substansi masalahnya terutama soal
kesenjangan politik - sosial - ekonomi pusat dan daerah, di samping
protes terhadap Bung Karno yang melanggar konstitusi serta
memanjakan
PKI," kata dosen IKIP Negeri Yogyakarta ini (lihat "SARA, Pemicu
Konflik?" di hal 7).

Persoalannya, bila konflik SARA sebetulnya berdimensi yang lebih luas


dari sekadar persoalan suku, agama, ras, atau antargolongan, apakah
pembicaraan soal SARA secara terbuka bukannya malah destruktif?
Mengenai soal ini, Maarif mengingatkan bahwa pembicaraan yang
dilakukan harus secara terbuka, akademik, dan dalam lingkungan yang
memang sudah cukup kondusif untuk itu. Sedangkan untuk massa yang
belum layak untuk berbicara tentang SARA, kata Maarif, jangan dulu
diagendakan. "Diskusi tentang ini harus berjalan menurut pola dari
atas ke bawah. Jangan dibalik, sebab masalah ini banyak menyangkut
masalah tingkat pendidikan dan wawasan berbangsa dan bertanah air.
Perlu skala prioritas dalam membicarakannya," tegasnya.

Senada dengan Maarif, pendeta Dr. Victor Tanja menekankan


pentingnya
komunikasi dalam perbincangan soal SARA. Menurutnya, persoalan
SARA
harus dikomunikasikan pada masing-masing kelompok sehingga mereka

mengerti apa yang sedang terjadi. "Konfrontasi terjadi karena tidak


ada komunikasi. Orang Islam tidak mengenal apa itu Kristen. Orang
Kristen tidak mengenal apa itu Islam," katanya merujuk pada kasus
konflik keagamaan (lihat "Konflik bisa Besar...." di hal 9).

Sementara Dr. Nasikun tidak terlalu mempersoalkan apakah masyarakat


sudah siap atau tidak dalam perbincangan SARA secara terbuka.
Menurut
peneliti senior ini, yang lebih penting adalah tersedianya ruang untuk
mengungkapkan perbedaan-perbedaan perspektif yang ada. Cuma
masalahnya, ruang itu selama ini tidak ada. Akibatnya, masing-masing
kelompok menganggap satu sama lain tidak siap untuk diajak berbicara
terbuka. "Nah, saya kira kesiapannya akan dibentuk oleh cara bagaimana

kita saling membuka diri. Mereka harus ada kesadaran bahwa satu sama
lain mempunyai potensi konflik," tegasnya.

Kesadaran ini bagi Nasikun penting, bahkan merupakan syarat minimal


untuk melakukan pembicaraan terbuka soal SARA. Kesadaran itulah
yang
bisa digunakan untuk untuk memposisikan masing-masing pihak
sehingga
orang mengetahui apa yang diharapkan dan apa yang tidak diharapkan
orang lain. "Penyadaran itu dimaksudkan untuk menentukan batas
demarkasi sampai di mana orang melangkah dan harus berhenti," kata
Nasikun.

Begitulah. Rekomendasi seminar di Lemhanas itu mungkin terkesan


kontroversial. Betapa pun harus diakui bahwa soal SARA sampai
sekarang
masih merupakan soal peka. Penanganannya pun harus dengan hati-hati.
Tapi seperti ditegaskan Nasikun, penanganan konflik SARA dengan
bersikap seolah-olah konflik itu tidak ada tak akan pernah
menyelesaikan persoalan. Dari seminar di Lemhanas tersebut, paling
tidak kita bisa terpacu untuk merumuskan pendekatan baru dalam
penanganan konflik SARA. daru priyambodo [ISMAP]

Anda mungkin juga menyukai