Anda di halaman 1dari 3

ANOMALI PENANGANAN POSO

Oleh : Shiddiq Amien

Poso, sebuah kota terpencil yang terletak di pinggir laut dengan luas 30 kilometer persegi
dan dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 390 ribu orang. Untuk mencapai Poso dari
kota Palu Ibu kota Sulawesi Tengah dengan perjalanan darat butuh waktu sekitar 6 jam
melewati pegunungan dan menyusuri pesisir pantai berliku. Kota Poso adalah kota yang
cukup indah, tenang, dan nyaman. Sekilas tak nampak bibit-bibit konflik sosial . Konflik
yang dilatar belakangi oleh perbedaan etnis menjadi sangat kecil kemungkinannya, karena
disana tidak ada suku asli. Mereka yang mengaku pribumi , sebenarnya orang jawa yang
telah puluhan tahun mukim disana. Demografis Poso yang cenderung membangun garis
demarkasis, antara penduduk pantai yang didominasi muslim, dengan penduduk pegunungan
yang mayoritas Kristen, membuat peta politik di Poso menjadi terbelah pada kepentingan-
kepentingan yang berbeda. Konflik horizontal yang terjadi sejak tahun 1998 bermula dari
konflik antar pemeluk Islam dan Kristen, yang kemudian bergeser menjadi konflik vertikal
antara pihak muslim dengan aparat keamanan. Korban jiwa sudah lebih dari seribu orang
yang berasal dari dua wilayah agama. Basis muslim di daerah pesisir seperti : Toyado,
Madale, Parigi, dan Bungku. Basis Kristen di wilayah pedalaman seperti : Lage, Tokorando,
Tentenan, Taripa dan Pamona.

Konflik Poso meletus pertama kali pada Natal 1998. Saat itu Roy Runtu Bisalemba, pemuda
Kristen dari Pamona membacok Ridwan Ramboni pemuda muslim di mesjid Darusalam,
kelurahan Sayo sambil menghina Islam. Penganiayaan dan penghinaan itu memicu
kemarahan komunitas muslim, mereka lantas menyantroni dan merusak tempat tinggal Roy
serta menyerang toko dan diskotek di Poso. Aksi ini dibalas oleh masa Kristen keesokan
harinya, sejumlah pemukiman dan toko hancur. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.
Kejadian serupa terjadi pada 15 April 2000, ketika pemuda muslim dari kelurahan
kamayanya berkelahi dengan pemuda Kristen dari lambogia di terminal Poso. Perkalihan
tersebut memicu bentrokan masa dari dua desa yang memakan tiga korban jiwa, dan hampir
300 rumah terbakar. Pada tanggal 23 Mei 2000 penyerangan dilakukan Pasukan Krsiten ala
ninja yang dikenal sebagai “ Pasukan Kelelawar Hitam “ berkalung salib dan berikat kepala
merah menyerang kampung muslim Kayamanya. Ketika dikejar oleh kaum muslimin mereka
masuk dan bersembunyi di Gereja Katolik Maengkolama, yang kemudian gereja itu dibakar.
Pada akhir Mei 2000 terjadi lagi serangan pasukan merah Kristen yang juga melibatkan
beberapa oknum aparat keamanan ke komplek Pesantren Walisongo di desa Sintuwulemba,
kecamatan Lage, yang dihuni sekitar 300-an orang Ustadz, santri, pembina, anak-anak dan
istri para ustadz. Mereka diikat, disiksa dan digiring ke tepi sungai Poso, lalu dibantai dengan
sadis dan biadab, sebagian dipenggal kepalanya, lalu mayat-mayatnya dihanyutkan ke sungai
Poso, sehingga air sungai Poso berubah warna menjadi merah. Tak seorangpun yang tersisa
di komplek Pesantren itu. Bangunan madarasah, masjid, dan pondok dibakar, sehingga yang
tersisa hanya puing-puing saja.

Konflik Poso juga dipicu oleh konflik politik lokal. Perebutan jabatan bupati Poso Desember
1998. dimana Herman Parino, tokoh Kristen gagal merebut jabatan bupati tersebut. Parino
dan para pendukungnya menuduh Arif Patangga bupati yang hendak digantikannya, (seorang
muslim), merekayasa gagalnya Parino. Konflik ini memicu bentrokan para pendukung kedua
kubu yang bersaing tersebut. Persaingan dan konflik ini ibarat bara dalam sekam. Konflik
Poso juga diperparah oleh beragam kepentingan aparat keamanan, baik TNI maupun Polri,
mulai dari sentimen antar angkatan dan Polri, hingga keterlibatan oknum dari TNI dan Polri
dalam mengambil keuntungan dari konflik yang ada.. Tak terkecuali banyaknya pihak yang
sengaja mengambil untung dengan cara memasok senjata ke wilayah konflik. Ini bisa
dibuktikan dengan ditemukannya beragam sejata organik, bukan rakitan, termasuk senjata
dan amunisi buatan PT Pindad Bandung. Belum lagi dengan masuknya kekuatan-kekuatan
dari luar Poso yang datang untuk mendukung kedua belah pihak yang bertikai, seperti Laskar
Jihad, Laskar Jundullah dan Mujahidin yang menyokong kaum muslimin. Sementara Legiun
Christum dan Brigade Manguni datang untuk mendukung kaum Kristen.
Pengadilan telah berhasil mengungkap peran Vabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus
da Silva sebagai aktor di lapangan yang melakukan pembantaian sadis terencana terhadap
warga Komplek Pesantren Walisongo. Ketiganya divonis mati oleh Pengadilan Negri Palu
pada 5 April 2001. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Sulteng pada tgl. 17 Mei 2001.
Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung juga ditolak pada 11 Oktober 2001. Upaya
Peninjauan Kembali (PK) ditolak tgl 31 Maret 2004. Demikian juga Grasi yang diajukan
Mei 2005, pada tgl 10 Nopember 2005 ditolak Presiden SBY. Meski vonis mati itu ditentang
mati-matian oleh lembaga gereja dan komunitas Kristen tak terkecuali oleh Paus Benediktus
XVI yang sengaja mengirim surat kepada Presiden SBY yang meminta presiden untuk
membatalkan hukuman mati pada Tibo Cs, tapi akhirnya ketiganyapun dieksekusi mati pada
Jum’at dini hari 22 September 2006 di Desa Paboya. Palu Selatan oleh tiga regu tembak
Brimob Polda Sulteng.

Konflik Poso ternyata tidak berhenti dengan dibuatnya Perjanjian Damai Malino 1 dan 2.
atas prakarsa Wakil Presiden. Bahkan Pasca eksekusi Tibo Cs. Eskalasi konflik menjadi
meluas. Hal ini tentu disebabkan karena jika kita mengurai anatomi konflik Posos, aktornya
tidak hanya Tibo Cs. Beberapa aktor intelektualnya yang bersembunyi pada institusi
keagamaan dan kemasyarakatan, masih bebas berkeliaran. Oleh sebab itu tidak heran ketika
Pemerintah dan aparat keamanan menetapkan 29 nama dalam Daftar Pencarian Orang (DPO)
yang semuanya dari pihak muslim, dan diperintahkan untuk menyerahkan diri, mereka tidak
mematuhinya. Apalagi dengan diturunkannya pasukan Brimob yang di BKO-kan serta
pasukan Densus 88 Anti Teror, sebagai sebuah organisasi “ Super body “ telah
mengindikasikan bergesernya issue dari konflik antar muslim dan Kristen, menjadi issue
teroris, dengan sasaran pihak muslim. Pihak muslim menjadi merasa sangat dipojokkan.
Puncaknya adalah tragedi 22 Januari 2007 dimana 15 orang termasuk seorang polisi tewas
tertembak, 4 orang diantaranya anak-anak di bawah usia 10-15 tahun, dan hampir semuanya
tidak termaktub dalam DPO.

Masyarakat muslim di Poso mempertanyakan keengganan Aparat penegak hukum dan


pemerintah untuk mengsusut 16 nama yang disebut-sebut Tibo Cs sebagai orang-orang yang
lebih bertanggung jawab. Mereka itu : Paulus Tungkanan, Ladue, Theo Manjayo,( ketiganya
purnwirawan TNI.), Limpadeli, Erik Rombot, Edy Bungkudapu, Yahya Patiro, Obed Tampai,
Ruagadi Son, (Semuanya PNS.), Angky Tungkaran, HX Sagilipu, Ganis Simangunsong,
Vence Angkou, Herry Banibi, Sarjun Gode dan Guntur Tarinje. Vabianus Tibo juga
mengungkapkan keterlibatan Majlis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah ( GKST ) yang
berpusat di Tentena, kota kecil di tepian danau Poso, secara langsung dalam konflik Poso.
Pasukan merah “ Kelelawar Hitam “ yang akan menyerang komunitas muslim didoakan dan
diberkati di halaman GKST oleh para pendeta, seperti pendeta Leniey dan pendeta Rinaldy
Damanik. Kesemuanya itu sampai saat ini bebas berkeliaran, tidak dimasukan dalam DPO,
apalagi diburu seperti yang dilakukan terhadap DPO dari kalangan muslim. Mereka seperti
tak tersentuh hukum.

Upaya penegakkan hukum di Poso oleh aparat Polri dengan dukungan TNI, dinilai tidak
berjalan dengan baik, bahkan cenderung membuat persoalan semakin sulit. Pola pendekatan
yang dilakukan oleh Polri, khususnya Brimob cenderung kurang menampakkan watak polisi
sipil, yang terjadi cenderung mengarah kepada pendekatan militeristik. Sehingga realitas
yang kita saksikan, keberadaan ratusan aparat kepolisian, bukan malah menciptakan rasa
aman dan tentram bagi masyarakat, tapi cenderung dirasakan sebagai ancaman dan pemain
baru dalam konflik Poso.. Koordinasi antara aparat TNI denga Polri yang tidak menampakan
kebersamaan. Polri yang memegang kendali operasi relatif kesulitan membangun koordinasi
dengan TNI, telah melahirkan berbagai problem turunan.

Keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan konflik Poso, keseriusan masyarakat Poso untuk
mengakhiri Konflik, dan keadilan aparat penegak hukum dalam mengadili para aktor
kerusuhan dan kekejian, kiranya akan menjadi kunci penting, bagi terciptanya kedamaian di
ranah Poso. Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai