Anda di halaman 1dari 9

DATA & ANALISA

TENTANG
PIHAK-PIHAK YANG DIDUGA PELAKU KERUSUHAN POSO
DESEMBER 1998 & APRIL 2000
Dirangkum oleh: Pdt. Rinaldy Damanik.

A. KERUSUHAN POSO 27 DESEMBER 1998

1. MOMENTUM :
a. Momen Politik:
Pada saat suksesi (pergantian) Bupati Poso.
b. Momen Religius :
- Pada saat Umat Muslim melaksanakan Ibadah Puasa 1998.
- Pada saat Umat Kristen merayakan Natal Desember 1998.
c. Peristiwa Pemicu : Pada tanggal 25 Desember 1998 terjadi perkelahian pribadi
antara dua pemuda yaitu Roy Bisalemba (Kristen) dengan Akhmad Ridwan
(Islam) yang diprovokasi menjadi persoalan agama. Roy memakai parang
membacok Akhmad. Pemuda Kristen tersebut langsung diproses secara hukum
oleh kepolisian setempat. Isu yang beredar bahwa pemuda Kristen tersebut
menyerang seorang pemuda Islam di dalam Mesjid. Padahal perkelahian
tersebut terjadi di jalan.
d. Eskalasi Konflik:
- Pada tanggal 27 Desember 1998, penyerangan dilakukan oleh kelompok Muslim
terhadap rumah-rumah orang Kristen. Pada waktu itu belum ada tempat ibadah
yang diserang.
- Di beberapa tempat ada tulisan-tulisan yang melecehkan agama Kristen,
misalnya: “Yesus babi…” dan sebagainya. Juga beredar selebaran yang berjudul
“Daftar Gerombolan Pengacau Keamanan Kabupaten Poso”. Di dalam selebaran itu
disebut 10 nama pejabat (beragama Kristen) di lingkungan Pemda Poso.
- Pelecehan terhadap agama Kristen tersebut membuat massa Kristen marah dan
terjadi konflik massal di kota Poso, antara massa Islam dan massa Kristen;
korban berjatuhan dan sampai saat ini tidak ada data akurat tentang korban
yang tewas.

2. NAMA-NAMA YANG SEHARUSNYA DIPROSES


KEMBALI SECARA HUKUM:

1. Arief Patanga, SH , sebagai Bupati Poso pada waktu itu(1989-1999), harus


bertanggungjawab dan diperiksa kembali; karena sebagai Bupati, dia paling
bertanggungjawab terhadap kondisi rakyat Bupati Poso, apalagi momen politik
pada waktu itu ialah suksesi (pergantian/pemilihan) Bupati Poso. Catatan:
beberapa hal yang mengindikasikan keterlibatannya dalam kerusuhan Poso,
diuraikan dalam poin-poin berikutnya.

2. Drs. Agfar Patanga (adik kandung Arief Patanga, SH), terdakwa dalam kasus
kerusuhan Poso Desember 1998, karena terbukti membuat selebaran penghasut
massa yang berjudul “Daftar Gerombolan Pengacau Keamanan Kabupaten Poso
24 s/d 28 Desember 1998”, nama-nama dalam daftar tersebut adalah 10 nama
pejabat (beragama Kristen) di lingkungan Pemda Poso. Hasil penelitian forensik
POLRI menyatakan bahwa selebaran tersebut ditulis tangan oleh Drs. Agfar
Patanga. Tetapi Drs. Agfar Patanga hanya divonis 6 (enam) bulan penjara.

3. Ada tekanan orang-orang tertentu (Muslim ) agar Drs. Agfar Patanga


dibebaskan. Hari Senin, 9 Agustus 1999, suasana Poso begitu tegang setelah ada
informasi akan masuk tujuh truk orang dari luar kota untuk membuat rusuh di
kota Poso, bila Agfar Patanga tidak dibebaskan. Sementara itu delapan orang
warga Poso (Muslim), yakni Bilong Musafir, Andi Ridwan, Hasan
Muslaini, Achmad Laparigi, Yusuf Dumo, Ilham, Maro Tompo, dan
Baco Talib , bertemu wakil Bupati Poso, Abdul Malik Syahadat (Muslim).
Mereka mendesak agar POLRES (Poso) segera membebaskan Agfar Patanga,
kalau tidak akan terjadi kerusuhan lagi. Mendapat ancaman itu, Abdul Malik
Syahadat menghubungi Bupati Poso. Selanjutnya, Abdul Malik Syahadat
menghubungi KAPOLRES Poso dan KAPOLDA Sulawesi Tengah. Keesokan
harinya, Agfar Patanga terlihat bebas di luar tahanan. (Harian Surya, 15 Agustus
1999). Sedangkan yang dituduh menjadi tersangka utama ialah Herman Parimo
(Kristen) yang kemudian divonis 14 tahun penjara.
PERTANYAAN:
Mengapa Herman Parimo (Kristen) yang divonis 14 tahun ? Mengapa Agfar
Patanga (Islam) hanya divonis 6 bulan ? Oleh karena itu, Agfar Patanga harus
diperiksa kembali, terutama untuk mengusut siapa dan kepentingan apa yang
mendorong Agfar Patanga membuat selebaran itu ? Mengapa delapan orang
warga Poso (Muslim), tersebut di atas, yakni Bilong Musafir, Andi Ridwan,
Hasan Muslaini, Achmad Laparigi, Yusuf Dumo, Ilham, Maro Tompo, dan
Baco Talib, tidak diproses secara hukum ? Mengapa wakil Bupati Poso, Abdul
Malik Syahadat (Muslim) tidak diproses secara hukum? Mengapa Pejabat
Bupati Poso waktu itu, tidak diproses secara hukum? Apa yang terjadi dengan
Kapolres Poso dan Kapolda Sulawesi Tengah pada waktu itu ?

4. Letkol (Pol) Drs. Deddy Woeryantono (Kapolres Poso, 1998-1999), Letkol (Inf.)
FX. Suprapto (Dandim Poso, 1998-1999) perlu kembali diminta keterangannya,
minimal sebagai SAKSI.
Letkol (Pol) Drs. Deddy Woeryantono, Kapolres Poso pada waktu itu,
menyatakan bahwa massa yang beragama Kristen berkumpul tanggal 28
Desember 1998 sekitar pukul 05.00 wita setelah membaca tulisan di perempatan
Jln. A. Yani – Jl. Sudirman. Isi tulisan tersebut antara lain berbunyi: “Yesus babi”.
Kemudian sekitar pukul 07.00 wita terjadi kontak fisik antara massa beragama
Kristen dengan massa beragama Islam di sekitar jam kota Poso. Kontak fisik
baru berhenti sekitar pukul 13.00 wita. Sementara itu Letkol (Inf.) FX. Suprapto,
Dandim Poso pada waktu itu, menyatakan bahwa ia melihat Herman Parimo
(Kristen, warga GKST dan tokoh Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah), yang
menghalau massa, mencegah konflik (Surya, 19 dan 23 September 1999).
Dalam sidang kasus kerusuhan Poso di Pengadilan Negeri Palu, 15, 18, 22
dan 29 September 1999, salah satu hal yang dipertanyakan ialah mengenai massa
yang masuk ke kota Poso dan memicu eskalasi kerusuhan. Bupati Poso, Arief
Patanga tidak mengakui adanya massa (Muslim) yang datang dari Parigi dan
Ampana. Tetapi Arief Patanga mengakui bahwa rumah-rumah yang dibakar
adalah rumah-rumah warga beragama Kristen.
Letkol (Inf.) FX. Suprapto menyatakan bahwa pada tanggal 28 Desember
1998, massa (Muslim) dari Parigi dan Ampana sebanyak delapan truk masuk ke
Poso.
Letkol (Pol) Drs. Deddy Woeryantono menerangkan bahwa pada saat
kerusuhan tersebut, massa (Muslim) dari Parigi masuk ke kota Poso sekitar
pukul 10.00 wita dengan menggunakan tiga truk, lima mobil kijang dan
sejumlah sepeda motor. Massa (Muslim) dari Ampana tiba di kota Poso sekitar
pukul 14.00 wita. Massa (Muslim) dari kedua daerah itu membawa senjata tajam.
Yahya Patiro, Sekwilda Poso pada waktu itu, menjelaskan bahwa selain
massa yang ada di dalam kota Poso, ada massa dari luar kota, yakni dari
Tokorondo, Ampana dan Parigi yang jumlahnya mencapai 16 truk datang ke
kota Poso dan membuat keonaran; bahkan massa dari Ampana diantar oleh
pimpinan kecamatannya. Menurut Yahya, pada puncak kerusuhan, 28 Desember
1998 sekitar pukul 05.30, ia berada di rumah jabatan Bupati Poso. Pada saat itu
banyak massa (Muslim) di depan rumah jabatan tersebut, pada umumnya
berasal dari kelurahan Bonesompe-Poso. Situasi semakin memanas. Sekitar
pukul 09.00, Yahya bersama Bupati Poso dan keluarga keluar melalui pintu
belakang dan mengungsi ke desa Tiwaa, dan sore hari baru kembali ke kota
Poso.
Sementara itu, Herman Parimo menyatakan bahwa massa (Kristen) yang
berada di kota Poso berasal dari dalam kota Poso sendiri, yakni dari kelurahan
Kasintuwu, Lombugia dan Sayo. Sedangkan yang dari luar kota Poso berasal
dari desa Sepe dan Silanca.
Siapa penggerak massa? Letkol (Pol) Drs. Deddy Woeryantono, sebagai
Kapolres Poso, menyatakan bahwa banyak saksi mata yang melihat Damsyik
Ladjalani, (Muslim, Ketua Bappeda Poso pada waktu itu), yang juga adalah
salah satu kandidat Bupati Poso periode 1999-2004, berada di arena kerusuhan
Poso Desember 1998. Ia juga diduga keras terlibat mengerahkan massa dalam
kerusuhan tersebut.
Di samping itu, Damsyik Ladjalani juga diduga merekayasa kasus
penyerbuan Hotel Wisata Poso tempat Yahya Patiro, (Kristen, Sekwilda Poso,
menginap pada tanggal 20 Maret 1999. Ketika itu selaku pelaksana tugas
Sekwilda, Damsyik Ladjalani sudah diperintahkan oleh Bupati Poso, Arief
Patanga, untuk melaporkan kedatangan Yahya Patiro ke Polres Poso guna
pengamanan. Tetapi hal itu tidak dilakukannya dan baru dilaporkan sekita
pukul 20.00 wita, setelah sekelompok massa (Muslim) menyerbu hotel tersebut.
Selain itu, Damsyik Ladjalani menelepon istrinya yang sedang menghadiri
pesta pernikahan di Tentena, 57 Km dari Poso, agar tidak kembali ke Poso
karena akan terjadi keributan.
Dugaan yang begitu kuat terhadap keterlibatan Damsyik Ladjalani
dalam kerusuhan Poso Desember 1998, mengakibatkan tokoh-tokoh masyarakat
di tiga kecamatan, Lore Utara, Ampana Tete dan Tojo, mengirim surat
pernyataan kepada Menteri Dalam Negeri. Pernyataan tersebut berisi
permintaan agar nama Damsyik Ladjalani digugurkan dari pencalonan Bupati
Poso periode 1999-2004 karena ia dinilai terlibat langsung saat terjadi kerusuhan
Poso.
Indikasi keterlibatan Damsyik Ladjalani, menurut Kapolres Poso pada
waktu itu, juga dari pernyataan beberapa saksi yang melihat Damsyik Ladjalani
turut serta mengedarkan selebaran bernada provokasi. Selebaran tersebut
berjudul “Daftar Gerombolan Pengacau Keamanan Kabupaten Poso 24 s/d 28
Desember 1998”. Dalam selebaran tersebut tertulis 10 nama pejabat (beragama
Kristen) dilingkungan Pemda Poso, termasuk Yahya Patiro, Sekwilda Poso. Isi
selebaran itu juga dituliskan pada dinding kantor dan tembok -tembok pagar.
Selebaran tersebut juga menjadi penyulut kerusuhan Poso 1998. Mengenai
pembuat selebaran tersebut, Agfar Patanga, telah diuraikan pada poin 2, di atas).
Berdasarkan berbagai dugaan tersebut, Damsyik Ladjalani diperiksa oleh
Polres Poso selama 9 jam pada tanggal 29 Mei 1999. Ternyata proses hukum
tersebut tidak berlanjut, tetapi terhenti begitu saja. Satu hal yang pasti bahwa
tidak lama kemudian Letkol (Pol) Drs. Deddy Woeryantono dimutasikan dari
jabatan Kapolres Poso. Ironisnya, justru Damsyik Ladjalani “naik pangkat”
menjadi Wakil Ketua Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah. Sekarang Damsyik
Ladjalani menjadi Bupati Kabupaten Tojo-Una Una Propinsi Sulawesi Tengah.

Catatan: Seharusnya nama-nama yang telah disebutkan tersebut, sekarang harus


kembali diperiksa.

Dalam hubungan dengan kasus Herman Parimo (warga Gereja Kristen


Sulawesi Tengah dan salah seorang tokoh Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah).
Kapolres Poso, Letkol (Pol) Drs. Deddy Woeryantono dalam kesaksiannya di
pengadilan menyatakan bahwa tgl 27 Desember 1998, ia bertemu tiga kali
dengan Herman Parimo di Jln. A. Yani, SMA Kristen dan di Jln. Kalimantan
Poso. Pada saat itu Herman Parimo sementara berusaha membubarkan massa
yang konflik. Kapolres mengemukakan bahwa kedatangan Herman Parimo ke
Poso bersama rombongannya dari Tagolu adalah untuk pawai perayaan Natal
(setiap tahun dilaksanakan pawai tersebut), sehingga terjadi konflik. Pada hari
yang sama, Herman Parimo sempat ke rumah jabatan Bupati Poso untuk
menawarkan pengamanan kepada Bupati Poso. Sementara itu Letkol (Inf.) FX.
Suprapto, Dandim Poso, dalam kesaksiannya menerangkan bahwa ia melihat
Herman Parimo di bundaran dekat jembatan Poso, Herman sementara
membubarkan massa yang saling berhadapan.
Di pengadilan terjadi perbedaan informasi saksi. Saksi Mandor Pahe
(Muslim) menyatakan bahwa pada saat konflik, Herman Parimo memakai baju
kotak-kotak hitam putih lengan panjang sedang memimpin massa. Sedangkan
saksi Aliamsah Marro Tompo, Lilis Juraejo dan Rizal Pantoi (semua
Muslim) menyatakan bahwa pada waktu yang sama, Herman Parimo
mengenakan baju loreng Pemuda Pancasila. Sementara itu, Letkol (Pol) Drs.
Deddy menyatakan bahwa Herman Parimo memakai baju hitam dan jaket
hitam.
Pada sisi lain, dalam kerusuhan tersebut D.A. Lempadeli (Kristen),
mantan asisten II Setwilda Poso, justru ditangkap dan ditahan oleh Mandor
Pahe, Daeng Raja, Aliamsah Marro Tompo dan Yus Mangun di
rumah Mandor Pahe selama tiga hari tiga malam. (Kesaksian D.A. Lempadeli).

Persoalannya, mengapa Herman Parimo dituduh dan divonis dengan delik


subversi dalam kerusuhan Poso 1998? Mengapa massa yang merusak, menjarah
dan membakar rumah-rumah warga beragama Kristen bebas dari tuntutan
hukum?

5. Sepanjang tahun 1999, umat Kristen kembali membangun rumah-rumah yang


terbakar secara mandiri. Bantuan OECF (Jepang) Rp. 2,5 Milliar yang disalurkan
melalui Pemerintah Daerah (Pemda) Poso untuk rehabilitasi rumah-rumah
korban, tidak pernah diterima oleh masyarakat. Mengapa kasus ini belum
pernah diproses secara hukum ?

B. KERUSUHAN POSO 17 APRIL 2000

a. Momen politik :
- Pergantian Sekretaris Kabupaten Poso
- Dua hari sebelum kerusuhan ada “ancaman” dari H. Haelani Umar
(anggota DPRD Sulteng fraksi Partai Islam: PPP) yang menyatakan bahwa
jika Damsyik Ladjalani (Muslim) tidak menjadi Sekretaris Kabupaten
Poso, maka Kerusuhan Poso yang lebih besar akan terjadi lagi. Hal ini
diberitakan dalam Surat Kabar Lokal: Mercusuar, edisi 15 April 2000.
Ternyata “ancaman” itu menjadi kenyataan, kerusuhan Poso II yang lebih
dahsyat terjadi mulai tanggal 17 April 2000.

b. Momen Religius :
- Pada saat umat Kristen merayakan Paskah April 2000.
- Pada saat umat Muslim akan melaksanakan MTQ Nasional di Palu Sulawesi
Tengah.
c. Peristiwa Pemicu : Perkelahian pribadi antar dua pemuda (mabuk miras) yang
berbeda agama (Kristen & Muslim) yang diprovokasi menjadi persoalan agama.
Tanggal 16 April 2000, sekitar pukul 22.15, di sekitar Terminal Poso, seorang pemuda bernama: Deddy
(Islam) memukul seorang pemuda (Kristen). Pertengkaran berkelanjutan. Kemudian Deddy kembali ke
rumahnya, ia membalut tangannya dan mengatakan kepada warga Islam bahwa tangannya dilukai oleh
pemuda Kristen. Mendengar informasi tersebut, massa (Muslim) mulai melempar dan membakar rumah-
rumah penduduk Kristen, Gereja dan Sekolah-sekolah Kristen. Kemudian peristiwa itu meluas menjadi
kerusuhan Poso yang berkepanjangan.
d. Eskalasi konflik :
- Memakai simbol-simbol agama.
- Intervensi milisi-milisi dari luar (Laskar Jihad masuk ke wilayah Poso).
e. Proses Penegakan Hukum
- Proses hukum tidak menjangkau aktor intelektual dan pelaku-pelaku konflik
di lapangan.

Pertanyaan:
Mengapa H. Haelani Umar dan Damsyik Ladjalani tidak diproses secara hukum?
(lihat poin a Momen Politik). Mengapa dan dari mana dia mengetahui akan
terjadi kerusuhan Poso II ? Siapa yang merencanakan? Pertanyaan ini
tidak pernah terjawab sampai sekarang.

CATATAN PENTING: (minimal, ada enam tambahan catatan penting)

1. Ketika Gubernur Sulawesi Tengah pada waktu itu mengunjungi pengungsi


Kristen di Tagolu (18 April 2000), Gubernur tersebut mengatakan bahwa
peristiwa kerusuhan itu adalah “Takdir Tuhan”.

2. Dalam kunjungan Wakapolda SULTENG, Zainal Abidin Ishak, hari Jumat, 5


Mei 2000, sekitar pukul 20.00 Wita di aula Polres Poso yang dihadiri oleh sekitar
100 orang, Syarifuddin Lukman (Wakil Ketua PAN cabang Poso)
mengungkapkan bahwa skenario kerusuhan Poso April 2000 telah direncanakan
oleh pihak-pihak tertentu.
Dalam wawancara dengan salah seorang wartawan/reporter Morowali Pos
tanggal 25 April 2000, Syarifuddin Lukman menceriterakan secara gamblang
apa yang diketahuinya mengenai agenda Kerusuhan Poso:
MP (Morowali Pos) : Anda sebagai salah satu Tokoh masyarakat Muslim Kota
Poso sangat menentang/mengutuk tindakan para perusuh itu.
SL (Syarifuddin Lukman) : Benar….. memang benar…..
MP : Apakah anda bisa memberikan keterangan..?
SL : Saya bersedia. Bukan hanya sebatas memberikan keterangan, sampai menjadi
saksipun saya bersedia. Sebab yang menyuruh saya berbicara adalah
malaekat…….
MP : Apa yang anda ketahui tentang kerusuhan itu….
SL : Semua itu adalah sandiwara yang dimainkan oleh sekelompok orang-orang
yang saya sebut sebagai “pelacur-pelacur ekonomi” dan “pelacur-pelacur
Politik”, sebab semua ini sudah direncanakan sebelumnya.
MP : Apa yang anda ketahui tentang rencana-rencana itu..?
SL : Mereka pernah membuat pertemuan di Masjid Agung Baiturahman Poso.
Yang dibicarakan pada saat itu bagaimana membebaskan Agfar Patanga
dari tuduhan pembuat selebaran berbau SARA pada Kerusuhan Desember
’98. Saat itu disepakati bahwa thema spanduk “Tegakan Kebenaran Dan
Keadilan, Bebaskan Agfar Patanga”. Nama-nama mereka yang ikut hadir
pada saat rapat itu adalah: Drs. H. Adnan Arsal, Drs. Hasan
Lasiata, Kasmad Lamuka, Aliansah Marro Tompo,
Mukhtar Lapangasa, Yusup Dumo, Ahmad Laparigi, Daeng
Raja, Mandor Pahe serta beberapa pemuda Risma Baiturahman.
Nama-nama ini sudah saya serahkan pada Kapolda.
MP : Selain itu apa ada pertemuan-pertemuan lagi…?
SL : Sering….. Tapi yang dapat saya ketahui jelas pertemuan berikutnya terjadi di
rumahnya Aliansah MarroTompo alias Marro.
MP : Apa inti pertemuan mereka…?
SL : Itu tadi…. Tetap merencanakan membuat kerusuhan, membebaskan Agfar
Patanga dari Tuduhan. Bukan hanya itu… memaksakan Damsik
Ladjalani jadi Sekretaris Kabupaten Poso dan ditarik dari jabatannya
sebagai wakil ketua BAPPEDA Provinsi Sulteng.
MP : Selain itu apa lagi yang dibicarakan….?
SL : Ini dia yang paling penting…. Untuk memancing massa pada saat
sidang Agfar Patanga digelar akan dibakar sebuah Masjid
di Lawanga kemudian dibakar pula satu buah Gereja yang
ada di Lawanga juga supaya dibilang bahwa ada
perlawanan. Selain itu.. dalam pertemuan itu juga dibahas
sampai mendatangkan orang-orang dari Ambon yang
khusus membuat senjata rakitan yang dapat diledakan
sebanyak 3 kali. Ini khan ide gila……. sama dengan merencanakan mau
membunuh kita semua….
MP : Bagaimana anda dapat mengetahui rencana mereka ini…..
SL : Pertemuan pertama di Masjid Baiturahman itu ada orang saya didalam yang
saya suruh untuk ikut. Kemudian pertemuan berikutnya yang terjadi di
rumahnya Marro, informasinya saya peroleh dari salah seorang kelompoknya
yang memberitahukan pada saya dan ia juga ikut pada saat itu. Hal itu cepat
saya laporkan pada Kapolres hingga cepat di antisipasi.
MP : Selanjutnya… bagaimana tanggapan anda melihat kerusuhan yang ke- dua
ini…?
SL : Seperti yang saya katakan tadi, ini semua adalah sandiwara yang dimainkan
oleh Marro dan kelompoknya. Sebaiknya petugas segera tangkap dia dan
periksa… jangan dibiarkan berkeliaran sebab akan mempengaruhi orang lain
yang tidak tahu menahu dengan rencana-rencana mereka. Pelakon-
pelakon pada kerusuhan kedua (April 2000) ini juga
pelakon-pelakon pada kerusuhan pertama Desember 1998.
MP : Jadi kesimpulannya.. kerusuhan pertama dan kedua ini telah direncanakan
sebelumnya oleh kelompok yang anda maksudkan tadi…?
SL : Iya….. Yang sudah jelas keterlibatannya adalah Marro. Tapi justru dia
(Marro-red) malah diangkat jadi Ketua Badan Kontak Pemuda Sintuwu
Maroso. Yang pilih dia sudah jelas kroni-kroninya. Ini semua khan.. sudah
diatur. Dan saya perlu tegaskan bahwa Marro itu tidak punya Massa,
Pemerintah tidak perlu takut sama dia.
MP : Kalau menurut anda.. apa tujuan kelompok ini membuat kerusuhan..
SL : Ya… itu…. ada 4 point tujuan mereka…. Untuk mencapai tujuan ini
dimanfaatkan konflik SARA dengan menyatakan bahwa ini adalah
JIHAD… Saya katakan ini bukan JIHAD… tapi ini tindakan setan…
Semua ini sama dengan mau merusak citra agama kita, agama Islam.
Untuk itu saya himbau untuk tidak terpancing dengan issu itu…
MP : Apa saja ke-4 point itu….
SL : Yang pertama, membebaskan Agfar dari tuduhan… yang kedua,
memaksakan Damsik Ladjalani jadi Sekretaris Kabupaten Poso. Ketiga,
menggantikan Kapolres Poso dan ke-empat, Yahya Patiro harus dicopot dari
jabatannya sebagai Asisten IV Sekprov Sulawesi Tengah.
MP : Apa alasan ke-4 point itu…?
SL : Begini…. Point pertama, kalau Agfar masuk penjara…. mereka
juga akan ikut sebab mereka itu adalah kroni-kroninya. Point kedua,
ada kepentingan sebagai Pejabat dan juga ada kepentingan sebagai
pengusaha…. intinya Proyek Pak…!! Point ketiga, karena Kapolres
(Mantan; Dedy Wuryantono-red) serius dalam mengusut
penyelewengan Koperasi Usaha Tani, sebab mereka akan tersangkut.
Dan point ke empat itu… karena mereka menganggap bahwa Yahya
Patiro sebagai orang yang dapat menghambat tujuan mereka.

3. Dalam kronologis kerusuhan Poso II versi MUI SULTENG (dokumen yang


ditanda tangani oleh 36 Ormas Islam), yang menyatakan: Kerusuhan Poso II
dimulai dengan pertikaian antara kelompok pemuda Muslim dan Kristen.
Kemudian memicu perkelahian massa dan berlanjut pada pembakaran rumah-
rumah penduduk serta beberapa fasilitas umum. Hal ini menurut kronologis
tersebut dilakukan antara lain akibat kemarahan kelompok Muslim karena
anggota BRIMOB Sulteng yang telah melakukan penembakan terhadap dua
orang Muslim. (Nuansa Pos edisi 3 sampai 8 Juli 2000)
Pada awal kerusuhan Poso tanggal 17 April 2000, aparat keamanan
terkesan bertindak tegas, tetapi aparat melakukan penembakan terhadap 3 orang
dari kelompok massa Muslim yang melakukan kerusuhan. Akibatnya pihak
Muslim mendesak pemerintah untuk menarik aparat keamanan dari kota Poso.
Desakan tersebut dipenuhi. Aparat ditarik dan massa perusuh semakin leluasa
menghancur leburkan berbagai sarana umum, sarana ibadah dan rumah-rumah
masyarakat beragama Kristen. Masyarakat beragama Kristen terpaksa
mengungsi secara besar-besaran ke luar kota Poso. Bahkan banyak yang harus
melalui hutan dan kebun-kebun.
Pertanyaan: Mengapa apar at keamanan ditarik dari Poso, mengapa mereka
membiarkan umat Kristen diserang? Penanggungjawab keamanan pada
waktu itu harus diminta pertanggungjawaban hukum karena telah melakukan
“pembiaran” yang menyebabkan eskalasi konflik semakin tinggi.

4. Harian Mercu Suar, 19 Juli 2001, mengetengahkan berita yang berjudul:


“LASKAR JIHAD MASUK SULAWESI TENGAH”. Dalam
berita tersebut, Ayip Syafruddin , Ketua Forum Komunikasi Ahlus Sunnah
Wal Jamaah (FKAWJ)yang juga adalah mantan Komandan Laskar Jihad di
Ambon dan Maluku Utara, melakukan melakukan silaturahmi dengan
Gubernur Sulawesi Tengah dan Ketua DPRD Sulawesi Tengah. Setelah itu,
Ayip Syafruddin, menyatakan: “Kelompok Kristen, baik di Ambon, Timor-Timur,
dan Poso, memiliki Crisis Center. Tujuannya adalah melakukan internasionalisasi
dengan menyudutkan umat Muslim. Bagi kelompok Kristen musuh besarnya hanya dua,
yakni Muslim dan TNI, ini sesuai dengan ajaran guru mereka Paxter Big Kristen
Orthodoks Inggris yang radikal, salah satu muridnya ialah Rinaldy Damanik”.
Kemudian Ayip Syafruddin menegaskan: “Jangan bicara rekonsiliasi, rekonsiliasi
bagi mereka itu konsolidasi”.

Catatan: Mengapa Gubernur Sulawesi Tengah dan Ketua DPRD Sulawesi


Tengah pada waktu itu melakukan silaturahmi dengan Ayip Syafruddin ?
Mengapa mer eka tidak pernah diproses secara hukum ? Fakta bahwa setelah
kedatangan Laskar Jihad tersebut, semakin banyak desa-desa berpenduduk
Kristen yang diserang.

5. Hi. Adnan Arsal, Pegawai Pendidikan Agama Islam Departemen Agama


Kabupaten Poso, Ketua III Majelis Ulama Indonesia Poso, Ketua Yayasan Badan
Wakaf Ulil Albab Poso, Pembina Pondok Pesantren Amanah Poso dan sekarang
salah satu Deklarator Malino dan Wakil Ketua Kelompok Kerja Deklarasi
Malino, menyatakan: “Kalau kita bisa bicara dengan Damanik, jangan minta orang
luar. Kita sendiri yang menyelesaikan persoalannya kalau benar-benar jantan. Kalau
perlu kita bersama-sama minta agar TNI dan POLRI keluar. Kalau kita perang, jika
umat Islam habis, andalah yang kuasai Poso ini …...... mari kita selesaikan antara
umat Islam dan Kristen ……… Laskar lawan Laskar.” (Majalah Islam Sabili, No.
05 TH. X 19 September 2002 / 12 RAJAB 1423). Dalam majalah tersebut Hi. Adnan
Arsal: “Pada tahun 2001, mereka (maksudnya: orang Kristen) minta bantuan PBB.
Kofi Annan lantas mendesak Megawati supaya pasukan TNI turun ke Poso. Turunlah
empat batalyon. Setelah itu, barulah diadakan Deklarasi Malino yang pertama. Mereka
mendesak karena kepepet. Kurang lebih tinggal satu jam lagi umat Islam berjalan
kaki dari Sangginora – Dewua, tembus di jembatan air terjun Sulewana, lalu
masuk ke Tentena.”

6. Sementara itu, Farichin Ibnu Yasir (seorang tahanan kasus senjata dalam
kaitan kerusuhan Poso) memberikan informasi bahwa Omar Al-Farouq
pernah ke Poso bulan Desember 2001 dan berada di rumah Akram
Kamarudin , Ketua DPRD Poso, dan pernah beberapa hari di Pesantren
Hidayatullah Tondo, Palu. Bahkan Yasir mengatakan bahwa Omar Al-Farouq
sering memimpin doa penyerangan serta turut serta di barisan terdepan dalam
penyerangan terhadap komunitas Kristen, antara lain penyerangan desa Sepe.
Informasi ini berkorelasi dengan berita Radar Sulteng, 30 September
2002: Mabes Polri berhasil menemukan dokumen berupa film dan surat-surat. Di
dalamnya terdapat rekaman kegiatan kelompok sipil bersenjata yang sedang melakukan
latihan perang. Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Irjen Pol. Saleh
Saaf menyatakan bahwa dokumen tersebut terkait dengan berbagai kerusuhan di Poso,
dan wilayahnya memang di Poso. Dijelaskan bahwa dokumen tersebut disita dari Seyam
Reda, reporter TV Al-Jazirah yang ditangkap oleh Polri pada tanggal 19 September 2002
di Kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dijelaskan bahwa di dalam dokumen
tersebut juga ditemukan indikasi keterlibatan oknum-oknum tertentu, tetapi Saleh Saaf
tidak menjelaskan siapa dan dari mana oknum tersebut. Ia menyatakan bahwa hal itu
masih menjadi rahasia polisi, sebab polisi sedang membuktikan keterkaitan oknum-
oknum tersebut dengan berbagai kerusuhan di Poso.
Sehubungan dengan itu, Tempo, edisi 30 September – 6 Oktober 2002
memberitakan: Asisten Khusus Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Muchyar Yara,
menyatakan telah menyaksikan rekaman video tentang konflik berdarah di Poso yang
disita dari Seyam Reda, keturunan Arab, warga Negara Jerman. Di dalam rekaman
video tersebut nampak Umar Al-Farouq yang sementara memberikan pelatihan dan
komando untuk bertempur. Rekaman video tersebut telah dipertontonkan oleh Kepala
BIN, Hendropriyono kepada para anggota DPR RI dari Komisi Pertahanan dan Luar
Negeri. Bahkan diberitakan bahwa Presiden Megawati juga telah menyaksikan
rekaman video tersebut. Ditambahkan bahwa beberapa waktu yang lalu Hendropriyono
menyatakan bahwa pihaknya telah menemukan bekas kamp pelatihan Al-Qaedah di Poso.

Selanjutnya:
Mengapa Fabianus Tibo (55 tahun, Kristen), Dominggus (37 tahun, Kristen) dan
Marinus (43 tahun, Kristen) yang divonis Hukuman Mati dengan tuduhan
pimpinan, pelaku dan dalang Kerusuhan Poso? Padahal Tibo Cs baru berada di
wilayah Poso pada tanggal 23 Mei 2000.

Dirangkum oleh: Pdt. Rinaldy Damanik.

Anda mungkin juga menyukai