TENTANG
PIHAK-PIHAK YANG DIDUGA PELAKU KERUSUHAN POSO
DESEMBER 1998 & APRIL 2000
Dirangkum oleh: Pdt. Rinaldy Damanik.
1. MOMENTUM :
a. Momen Politik:
Pada saat suksesi (pergantian) Bupati Poso.
b. Momen Religius :
- Pada saat Umat Muslim melaksanakan Ibadah Puasa 1998.
- Pada saat Umat Kristen merayakan Natal Desember 1998.
c. Peristiwa Pemicu : Pada tanggal 25 Desember 1998 terjadi perkelahian pribadi
antara dua pemuda yaitu Roy Bisalemba (Kristen) dengan Akhmad Ridwan
(Islam) yang diprovokasi menjadi persoalan agama. Roy memakai parang
membacok Akhmad. Pemuda Kristen tersebut langsung diproses secara hukum
oleh kepolisian setempat. Isu yang beredar bahwa pemuda Kristen tersebut
menyerang seorang pemuda Islam di dalam Mesjid. Padahal perkelahian
tersebut terjadi di jalan.
d. Eskalasi Konflik:
- Pada tanggal 27 Desember 1998, penyerangan dilakukan oleh kelompok Muslim
terhadap rumah-rumah orang Kristen. Pada waktu itu belum ada tempat ibadah
yang diserang.
- Di beberapa tempat ada tulisan-tulisan yang melecehkan agama Kristen,
misalnya: “Yesus babi…” dan sebagainya. Juga beredar selebaran yang berjudul
“Daftar Gerombolan Pengacau Keamanan Kabupaten Poso”. Di dalam selebaran itu
disebut 10 nama pejabat (beragama Kristen) di lingkungan Pemda Poso.
- Pelecehan terhadap agama Kristen tersebut membuat massa Kristen marah dan
terjadi konflik massal di kota Poso, antara massa Islam dan massa Kristen;
korban berjatuhan dan sampai saat ini tidak ada data akurat tentang korban
yang tewas.
2. Drs. Agfar Patanga (adik kandung Arief Patanga, SH), terdakwa dalam kasus
kerusuhan Poso Desember 1998, karena terbukti membuat selebaran penghasut
massa yang berjudul “Daftar Gerombolan Pengacau Keamanan Kabupaten Poso
24 s/d 28 Desember 1998”, nama-nama dalam daftar tersebut adalah 10 nama
pejabat (beragama Kristen) di lingkungan Pemda Poso. Hasil penelitian forensik
POLRI menyatakan bahwa selebaran tersebut ditulis tangan oleh Drs. Agfar
Patanga. Tetapi Drs. Agfar Patanga hanya divonis 6 (enam) bulan penjara.
4. Letkol (Pol) Drs. Deddy Woeryantono (Kapolres Poso, 1998-1999), Letkol (Inf.)
FX. Suprapto (Dandim Poso, 1998-1999) perlu kembali diminta keterangannya,
minimal sebagai SAKSI.
Letkol (Pol) Drs. Deddy Woeryantono, Kapolres Poso pada waktu itu,
menyatakan bahwa massa yang beragama Kristen berkumpul tanggal 28
Desember 1998 sekitar pukul 05.00 wita setelah membaca tulisan di perempatan
Jln. A. Yani – Jl. Sudirman. Isi tulisan tersebut antara lain berbunyi: “Yesus babi”.
Kemudian sekitar pukul 07.00 wita terjadi kontak fisik antara massa beragama
Kristen dengan massa beragama Islam di sekitar jam kota Poso. Kontak fisik
baru berhenti sekitar pukul 13.00 wita. Sementara itu Letkol (Inf.) FX. Suprapto,
Dandim Poso pada waktu itu, menyatakan bahwa ia melihat Herman Parimo
(Kristen, warga GKST dan tokoh Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah), yang
menghalau massa, mencegah konflik (Surya, 19 dan 23 September 1999).
Dalam sidang kasus kerusuhan Poso di Pengadilan Negeri Palu, 15, 18, 22
dan 29 September 1999, salah satu hal yang dipertanyakan ialah mengenai massa
yang masuk ke kota Poso dan memicu eskalasi kerusuhan. Bupati Poso, Arief
Patanga tidak mengakui adanya massa (Muslim) yang datang dari Parigi dan
Ampana. Tetapi Arief Patanga mengakui bahwa rumah-rumah yang dibakar
adalah rumah-rumah warga beragama Kristen.
Letkol (Inf.) FX. Suprapto menyatakan bahwa pada tanggal 28 Desember
1998, massa (Muslim) dari Parigi dan Ampana sebanyak delapan truk masuk ke
Poso.
Letkol (Pol) Drs. Deddy Woeryantono menerangkan bahwa pada saat
kerusuhan tersebut, massa (Muslim) dari Parigi masuk ke kota Poso sekitar
pukul 10.00 wita dengan menggunakan tiga truk, lima mobil kijang dan
sejumlah sepeda motor. Massa (Muslim) dari Ampana tiba di kota Poso sekitar
pukul 14.00 wita. Massa (Muslim) dari kedua daerah itu membawa senjata tajam.
Yahya Patiro, Sekwilda Poso pada waktu itu, menjelaskan bahwa selain
massa yang ada di dalam kota Poso, ada massa dari luar kota, yakni dari
Tokorondo, Ampana dan Parigi yang jumlahnya mencapai 16 truk datang ke
kota Poso dan membuat keonaran; bahkan massa dari Ampana diantar oleh
pimpinan kecamatannya. Menurut Yahya, pada puncak kerusuhan, 28 Desember
1998 sekitar pukul 05.30, ia berada di rumah jabatan Bupati Poso. Pada saat itu
banyak massa (Muslim) di depan rumah jabatan tersebut, pada umumnya
berasal dari kelurahan Bonesompe-Poso. Situasi semakin memanas. Sekitar
pukul 09.00, Yahya bersama Bupati Poso dan keluarga keluar melalui pintu
belakang dan mengungsi ke desa Tiwaa, dan sore hari baru kembali ke kota
Poso.
Sementara itu, Herman Parimo menyatakan bahwa massa (Kristen) yang
berada di kota Poso berasal dari dalam kota Poso sendiri, yakni dari kelurahan
Kasintuwu, Lombugia dan Sayo. Sedangkan yang dari luar kota Poso berasal
dari desa Sepe dan Silanca.
Siapa penggerak massa? Letkol (Pol) Drs. Deddy Woeryantono, sebagai
Kapolres Poso, menyatakan bahwa banyak saksi mata yang melihat Damsyik
Ladjalani, (Muslim, Ketua Bappeda Poso pada waktu itu), yang juga adalah
salah satu kandidat Bupati Poso periode 1999-2004, berada di arena kerusuhan
Poso Desember 1998. Ia juga diduga keras terlibat mengerahkan massa dalam
kerusuhan tersebut.
Di samping itu, Damsyik Ladjalani juga diduga merekayasa kasus
penyerbuan Hotel Wisata Poso tempat Yahya Patiro, (Kristen, Sekwilda Poso,
menginap pada tanggal 20 Maret 1999. Ketika itu selaku pelaksana tugas
Sekwilda, Damsyik Ladjalani sudah diperintahkan oleh Bupati Poso, Arief
Patanga, untuk melaporkan kedatangan Yahya Patiro ke Polres Poso guna
pengamanan. Tetapi hal itu tidak dilakukannya dan baru dilaporkan sekita
pukul 20.00 wita, setelah sekelompok massa (Muslim) menyerbu hotel tersebut.
Selain itu, Damsyik Ladjalani menelepon istrinya yang sedang menghadiri
pesta pernikahan di Tentena, 57 Km dari Poso, agar tidak kembali ke Poso
karena akan terjadi keributan.
Dugaan yang begitu kuat terhadap keterlibatan Damsyik Ladjalani
dalam kerusuhan Poso Desember 1998, mengakibatkan tokoh-tokoh masyarakat
di tiga kecamatan, Lore Utara, Ampana Tete dan Tojo, mengirim surat
pernyataan kepada Menteri Dalam Negeri. Pernyataan tersebut berisi
permintaan agar nama Damsyik Ladjalani digugurkan dari pencalonan Bupati
Poso periode 1999-2004 karena ia dinilai terlibat langsung saat terjadi kerusuhan
Poso.
Indikasi keterlibatan Damsyik Ladjalani, menurut Kapolres Poso pada
waktu itu, juga dari pernyataan beberapa saksi yang melihat Damsyik Ladjalani
turut serta mengedarkan selebaran bernada provokasi. Selebaran tersebut
berjudul “Daftar Gerombolan Pengacau Keamanan Kabupaten Poso 24 s/d 28
Desember 1998”. Dalam selebaran tersebut tertulis 10 nama pejabat (beragama
Kristen) dilingkungan Pemda Poso, termasuk Yahya Patiro, Sekwilda Poso. Isi
selebaran itu juga dituliskan pada dinding kantor dan tembok -tembok pagar.
Selebaran tersebut juga menjadi penyulut kerusuhan Poso 1998. Mengenai
pembuat selebaran tersebut, Agfar Patanga, telah diuraikan pada poin 2, di atas).
Berdasarkan berbagai dugaan tersebut, Damsyik Ladjalani diperiksa oleh
Polres Poso selama 9 jam pada tanggal 29 Mei 1999. Ternyata proses hukum
tersebut tidak berlanjut, tetapi terhenti begitu saja. Satu hal yang pasti bahwa
tidak lama kemudian Letkol (Pol) Drs. Deddy Woeryantono dimutasikan dari
jabatan Kapolres Poso. Ironisnya, justru Damsyik Ladjalani “naik pangkat”
menjadi Wakil Ketua Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah. Sekarang Damsyik
Ladjalani menjadi Bupati Kabupaten Tojo-Una Una Propinsi Sulawesi Tengah.
a. Momen politik :
- Pergantian Sekretaris Kabupaten Poso
- Dua hari sebelum kerusuhan ada “ancaman” dari H. Haelani Umar
(anggota DPRD Sulteng fraksi Partai Islam: PPP) yang menyatakan bahwa
jika Damsyik Ladjalani (Muslim) tidak menjadi Sekretaris Kabupaten
Poso, maka Kerusuhan Poso yang lebih besar akan terjadi lagi. Hal ini
diberitakan dalam Surat Kabar Lokal: Mercusuar, edisi 15 April 2000.
Ternyata “ancaman” itu menjadi kenyataan, kerusuhan Poso II yang lebih
dahsyat terjadi mulai tanggal 17 April 2000.
b. Momen Religius :
- Pada saat umat Kristen merayakan Paskah April 2000.
- Pada saat umat Muslim akan melaksanakan MTQ Nasional di Palu Sulawesi
Tengah.
c. Peristiwa Pemicu : Perkelahian pribadi antar dua pemuda (mabuk miras) yang
berbeda agama (Kristen & Muslim) yang diprovokasi menjadi persoalan agama.
Tanggal 16 April 2000, sekitar pukul 22.15, di sekitar Terminal Poso, seorang pemuda bernama: Deddy
(Islam) memukul seorang pemuda (Kristen). Pertengkaran berkelanjutan. Kemudian Deddy kembali ke
rumahnya, ia membalut tangannya dan mengatakan kepada warga Islam bahwa tangannya dilukai oleh
pemuda Kristen. Mendengar informasi tersebut, massa (Muslim) mulai melempar dan membakar rumah-
rumah penduduk Kristen, Gereja dan Sekolah-sekolah Kristen. Kemudian peristiwa itu meluas menjadi
kerusuhan Poso yang berkepanjangan.
d. Eskalasi konflik :
- Memakai simbol-simbol agama.
- Intervensi milisi-milisi dari luar (Laskar Jihad masuk ke wilayah Poso).
e. Proses Penegakan Hukum
- Proses hukum tidak menjangkau aktor intelektual dan pelaku-pelaku konflik
di lapangan.
Pertanyaan:
Mengapa H. Haelani Umar dan Damsyik Ladjalani tidak diproses secara hukum?
(lihat poin a Momen Politik). Mengapa dan dari mana dia mengetahui akan
terjadi kerusuhan Poso II ? Siapa yang merencanakan? Pertanyaan ini
tidak pernah terjawab sampai sekarang.
6. Sementara itu, Farichin Ibnu Yasir (seorang tahanan kasus senjata dalam
kaitan kerusuhan Poso) memberikan informasi bahwa Omar Al-Farouq
pernah ke Poso bulan Desember 2001 dan berada di rumah Akram
Kamarudin , Ketua DPRD Poso, dan pernah beberapa hari di Pesantren
Hidayatullah Tondo, Palu. Bahkan Yasir mengatakan bahwa Omar Al-Farouq
sering memimpin doa penyerangan serta turut serta di barisan terdepan dalam
penyerangan terhadap komunitas Kristen, antara lain penyerangan desa Sepe.
Informasi ini berkorelasi dengan berita Radar Sulteng, 30 September
2002: Mabes Polri berhasil menemukan dokumen berupa film dan surat-surat. Di
dalamnya terdapat rekaman kegiatan kelompok sipil bersenjata yang sedang melakukan
latihan perang. Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Irjen Pol. Saleh
Saaf menyatakan bahwa dokumen tersebut terkait dengan berbagai kerusuhan di Poso,
dan wilayahnya memang di Poso. Dijelaskan bahwa dokumen tersebut disita dari Seyam
Reda, reporter TV Al-Jazirah yang ditangkap oleh Polri pada tanggal 19 September 2002
di Kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dijelaskan bahwa di dalam dokumen
tersebut juga ditemukan indikasi keterlibatan oknum-oknum tertentu, tetapi Saleh Saaf
tidak menjelaskan siapa dan dari mana oknum tersebut. Ia menyatakan bahwa hal itu
masih menjadi rahasia polisi, sebab polisi sedang membuktikan keterkaitan oknum-
oknum tersebut dengan berbagai kerusuhan di Poso.
Sehubungan dengan itu, Tempo, edisi 30 September – 6 Oktober 2002
memberitakan: Asisten Khusus Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Muchyar Yara,
menyatakan telah menyaksikan rekaman video tentang konflik berdarah di Poso yang
disita dari Seyam Reda, keturunan Arab, warga Negara Jerman. Di dalam rekaman
video tersebut nampak Umar Al-Farouq yang sementara memberikan pelatihan dan
komando untuk bertempur. Rekaman video tersebut telah dipertontonkan oleh Kepala
BIN, Hendropriyono kepada para anggota DPR RI dari Komisi Pertahanan dan Luar
Negeri. Bahkan diberitakan bahwa Presiden Megawati juga telah menyaksikan
rekaman video tersebut. Ditambahkan bahwa beberapa waktu yang lalu Hendropriyono
menyatakan bahwa pihaknya telah menemukan bekas kamp pelatihan Al-Qaedah di Poso.
Selanjutnya:
Mengapa Fabianus Tibo (55 tahun, Kristen), Dominggus (37 tahun, Kristen) dan
Marinus (43 tahun, Kristen) yang divonis Hukuman Mati dengan tuduhan
pimpinan, pelaku dan dalang Kerusuhan Poso? Padahal Tibo Cs baru berada di
wilayah Poso pada tanggal 23 Mei 2000.