Anda di halaman 1dari 6

Pergumulan Papua dan Protestanisme : Sebuah Tantangan bagi

Gereja Protestan di Indonesia .

Oleh : Pdt. Suarbudaya Rahadian1

Sunyinya percakapan tentang Papua

“Dalam Nama Allah kami menginjak kaki di Tanah ini" Inilah kalimat pertama yang
ucapkan oleh dua misionaris ke tanah Papua yakni Johan Gottlob Geissler dan C.W. Ottow,
Pada tanggal 5 Februari 1855 sesaat setelah Kapal Ternate membuang sauhnya di depan
pulau Manansbari (Mansinam) Manokwari -Papua barat2. 

Kini wilayah seluas 319,036 km² dengan populasi umat Kristen Protestan yang hampir dua
juta jiwa itu3 rupanya tidak terlalu banyak menarik perhatian umat Kristen Protestan di
Jawa dan Jakarta, sebagaimana hasrat Geissler dan Ottow,lebih dari seabad silam.

Sekalipun hari-hari ini ada begitu banyak isu penting yang mencuat di Papua (mulai dari
kekerasan aparat terhadap rakyat, issue agraria, kemiskinan, Epidemi HIV-AIDS, dan
terutama issue soal penentuan nasib sendiri) ,Gereja dan umat Protestan Indonesia
tampaknya tidak menganggap issue Papua layak di-arus utama-kan (mainstreaming) dalam
percakapan teologis dan politisnya.

Gereja Sunyi dan Senyap dihadapan isu Papua.

Atas dasar apa saya bisa lancang menarik kesimpulan tersebut ?

Dasarnya jelas, sampai tulisan ini dibuat belum ada pernyataan sikap terhadap situasi
Papua sejak pernyataan terakhir di bulan Oktober 20164 silam oleh lembaga keumatan
seperti PGI (Persekutuan Gereja Indonesia),PGPI (Persekutuan Gereja Pentakosta
Indonesia),PBI(Persekutuan Baptis Indonesia) dan lembaga keumatan Protestan lainnya.

Padahal jelas-jelas ada eskalasi suhu politik di Papua sepanjang tahun 2017 ini.

Dihadapan hoax terkini perihal “Penyanderaan warga desa Banti sampai Kimbeli di
wilayah Tembagapura oleh Kelompok Kriminal Bersenjata” , Gereja diam seribu bahasa.
Padahal kita sama-sama tahu ,kasus penyanderaan ini adalah kabar- kabur yang

1
Ketua Panitia Simposium peringatan 500 Tahun Reformasi Gereja.
2
Th.Van Den End, Ragi Carita 2, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1999, hal. 120-122
3
dari total penduduk 4,2 juta jiwa menurut sensus Disdukcapil Propinsi Papua Juni 2017
4
https://pgi.or.id/pgi-pemerintah-jangan-mengabaikan-fakta-adanya-pelanggaran-ham-di-papua/
direkayasa rezim hari ini dan diaminkan media mainstream5 . Ketimbang bersuara, apalagi
mengklarifikasi lembaga keumatan Protestan malah mengheningkan cipta.

Saya duga, gejala ini adalah sindrom lama yang secara akut diderita kaum Protestan yang
sudah mapan . Dalam terminologi kajian Sejarah Gereja ini dikenal sebagai modus vivendi
(baca: strategi bertahan hidup) dengan mengabdi pada penguasa. Dalam bahasa sosmed
yang lebih lugas ini disebut prinsip : “Asal Pakde Senang”, begitu kira-kira.

Padahal jika ditelusuri sejarahnya, Protestanisme memiliki tradisi yang kuat dalam
bersikap kritis pada kekuasaan6. Harusnya bukan cuma manut.Tapi apa boleh
buat,mungkin kita terlalu takut.

Oleh karena itu, peringatan 500 tahun Reformasi Protestan dapat menjadi momentum yang
amat baik bagi Gereja Protestan di Indonesia untuk kembali kepada khittahnya sebagai
gerakan pembaharu . Protestanisme Indonesia perlu anamnesis (pengenangan akan masa
lalu) yang dapat menjadi obat bagi amnesia sejarah yang konon menjadi penyakit
kambuhan umat . Melalui tulisan ini saya hendak menautkannya preskripsi itu dengan
pergumulan Papua, kemudian mengusulkan beberapa kemungkinan-kemungkinan yang
dapat dikerjakan Gereja Protestan di Indonesia terkait isu Papua.

Selayang Pandang Relasi Gereja dan Rakyat Papua

Sejak Gereja hadir di tanah Papua sampai hari ini telah berkembang rupa-rupa
dinamika antara gerakan Protestan dengan rakyat Papua. Sejarah mencatat, bahkan
sejak era Papua belum bergabung dengan NKRI , kehadiran Zending (badan misi
penginjilan protestan)7 senantiasa muncul dibawah bayang-bayang kepentingan
pemerintah kolonial.

Sebut saja, bagaimana badan misi Protestan, Christian And Missionary Alliance (CMA)
saat itu terlibat dalam upaya-upaya pengambil-alihan tanah rakyat di tahun 1950-an
yang berdampak pada konfrontasi rakyat dengan pemerintah kolonial dalam perang
Obano di tahun 1956 8 .
5
http://kbr.id/nasional/11-
2017/pengacara_lbh__polisi_mendistorsi_situasi_keamanan_di_tembagapura/93393.html
https://tirto.id/tpn-opm-di-timika-tidak-benar-ada-perkosaan-dan-penyanderaan-czYp
http://mobile.abc.net.au/news/2017-11-10/papua-separatists-dispute-indonesia-claim-of-hostage-
taking/9140340?pfmredir=sm

6
Ekspresi politik ini yang tercermin dalam sikap-sikap kaum reformasi radikal (kaum reformed baptis Inggris
pada abad 17) terhadap berbagai kebijakan pemerintah saat itu. Saking kritisnya terhadap pemerintah kaum
reformed baptist seringkali disebut juga sebagai kaum non conformist.
7
Zending merupakan istilah untuk para penginjil Protestan, dipakai untuk membedakan dengan para penginjil
Katolik yang cenderung diberi istilah ‘misionaris’. Penggunaan istilah zending di sini dipakai karena para
penginjil yang diserang dalam perang Obano berasal dari Christian and Missionary Alliance (C&MA, atau sering
disebut CAMA), yang notabene adalah pusat penginjilan Protestan yang berpusat di Amerika Serikat.
Penggunaan istilah ‘misionaris’ dalam tulisan ini karena itu akan dipakai untuk menyebut para pekerja
penginjilan secara umum, kecuali dinyatakan sebaliknya.
8
Albert Keiya. 1998. Perang Obano tahun 1956: Suatu Tinjauan Sejarah dan Pengaruhnya dalam Pertumbuhan
Gereja di Daerah Obano. Skripsi, Sentani: STT Walter Post Jayapura
Melalui penyelengaraan pendidikan yang didaku berkemajuan dan membawa peradaban,
badan misi CMA menanamkan ide pada masyarakat Protestan perdana di Paniai, bahwa
hanya dengan bekerjasama dengan sistem pengelolaan agraria ala pemerintahan kolonial
mereka dapat menghalau hama cacing yang memakan hasil panennya9.

Maka meminjam istilah Louis Althuser, kehadiran Christian Missionary Alliance di Paniai saat
itu, , telah menjadi Ideological State Apparatus (ISA). Sebuah kekuatan kultural yang
menyandera kesadaran rakyat banyak agar secara sukarela menyerah pada hegemoni
penjajah kolonial Belanda.

Terlepas dari permasalahan di era kolonial Belanda ,secara umum diketahui juga ada
banyak keganjilan di dalam masalah Papua dalam peta politik internasional . Sebagaimana
tercatat dalam agenda PBB, Papua adalah wilayah sengketa antara Belanda dan Indonesia.

Sengketa itu berlangsung selama sekitar satu dekade, 1949-1962. Dalam kurun waktu di
atas, Sekjen PBB pertama Dag Hammarskjold mempersiapkan proposal mengenai
penyelesaian Papua dengan judul "Papua for the Papuans" (lihat Greg Paulgrain dalam The
Incubus of intervention" hal 68.)

Dalam proposal itu disebutkan bahwa status Papua akan ditarik menjadi wilayah
Protektorat PBB untuk kemudian dipersiapkan untuk sebuah proses demokratis yakni Hak
Menentukan Nasib Sendiri "Right for Self Determination," seperti yang sudah berlangsung
sebelumnya dengan Kamerun, Afrika.

Proposal tersebut sedianya akan disampaikan dalam SU PBB (UNGA) Oktober 1961. Tepat
sebulan menjelang SU PBB Oktober 1961, Sekjen PBB dan rombongan, mengalami
‘kecelakaan’ pesawat di Ndola, Kongo. Dari hasil investigasi, ternyata, ditemukan bahwa
pesawat Dag Hammarskjold direkayasa untuk diledakkan dan dikatikan dengan CIA
dibawah pimpinan DCI Allen Dulels. Dalam pesawat sudah diletakkan 6 kg bom oleh agen
CIA. 10

Berbagai upaya menjegal perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri di
kemudian hari akhirnya memuncak dalam sebuah referendum yang penuh dengan
manipulasi, yang dikenal dengan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 196911.

Lewat Pepera yang amat bermasalah secara prosedural itu,12 Republik Indonesia akhirnya
memperoleh legitimasi internasional untuk menganeksasi Papua.

9
Cavalcanti, H.B. 2005. Human Agency in Mission Work: Missionary Styles and Their Political Consequences
dimuat dalam Sociology of Religion, Vol. 66, No. 4 (Winter, 2005), hlm. 381-398
10
http://foreignpolicy.com/2016/08/01/u-n-to-probe-whether-iconic-secretary-general-was-assassinated/
11
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) adalah referendum yang diadakan pada tahun 1969 di Papua Barat
untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara milik Belanda atau Indonesia. Pemilihan
suara ini menanyakan apakah sisa populasi mau bergabung dengan Republik Indonesia atau merdeka. Para
wakil yang dipilih dari populasi dengan suara bulat memilih persatuan dengan Indonesia dan hasilnya diterima
oleh PBB, meskipun validitas suara telah ditantang dalam retrospeksi
12
https://suarapapua.com/2015/03/03/pepera-1969-di-papua-adalah-sejarah-palsu-dan-cacat-hukum/
Sekalipun setiap Gereja di Papua saat itu tahu betapa curang13 dan bermasalahnya
referendum Pepera tersebut , tidak didapati ada lembaga Keumatan Protestan yang
terdengar menyuarakan protes atau setidaknya memberikan pernyataan keprihatinan.

Di tengah berbagai kemelut tersebut hanya ada segelintir pendeta yang masih memiliki
hati nurani dan akal sehat . Pendeta-pendeta Protestan itulah yang berani menyampaikan
masalah-masalah serius dalam Pepera.

Misalnya Pendeta Phil Karel Erari , yang melalui berbagai upayanya mendesak dunia
internasional dan berbagai forum Gereja untuk mendesak ditinjau kembalinya hasil dan
prosedur Pepera 196914. Atau sebut saja Pdt. Socratez S. Yoman dari Gereja Baptis Papua,
yang dengan gigih selama puluhan tahun menyuarakan agar sejarah Pepera dibongkar dan
rakyat Papua diberi kesempatan ulang untuk menentukan nasibnya sendiri15.

Tapi apa yang mereka kerjakan itu tidak terkoordinasi didalam gerakan keumatan skala
nasional . Secara umum ,pada saat itu Gereja-gereja Protestan di Indonesia membisu di
hadapan persoalan Pepera.

Sampai disini mari berhenti sejenak dan bayangkan : Apa jadinya jika di tengah carut marut
penindasan ini , di dalam pertaruhan hidup dan mati Pendeta Socratez, dan Pendeta Phil
Errari yang berdiri bagi rakyat Papua selama puluhan tahun - Gereja -gereja Protestan di
Jakarta malahan semakin menulikan telinga, memejamkan mata sambil memekikan slogan
NKRI harga mati sekeras-kerasnya?

Sejujurnya ,saya kehabisan metafora untuk menggambarkan sikap abai yang keblinger ini.

Sekalipun berbagai metafora gagal menampung kekecewaan saya , tapi paling tidak sikap
tak acuh Gereja-gereja Protestan Indonesia terhadap Papua secara teologis dapat dimaknai
sebagai sikap abai kepada Yesus Kristus sendiri.

Yesus mengatakan bahwa sikap abai terhadap nasib orang-orang yang tertindas dan
termarjinalkan adalah bentuk pengabaian terhadap diriNya sendiri :

Lalu merekapun akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau
haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak
melayani Engkau? Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala
sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak
melakukannya juga untuk Aku. Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi
orang benar ke dalam hidup yang kekal.”-Matius 25:40-46

13
Anak buah Benny Moerdani kala itu (Sarwo Edi, Sintong Panjaitan), berhasil mengummpulkan 1.026 kepala
suku ikut pepera. Mereka mengabaikan aturan PBB tentang satu orang satu suara. Dengan alasan geografis,
alasan perwakilan dijadikan alasan pelaksanaan penentuan pendapat rakyat Papua. Pengebirian hak demokrasi
itu, kini dipersoalkan.
14
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/pbb-papua-dan-penentuan-nasib-sendiri
15
http://suarabaptis.blogspot.co.id/2013/03/pendeta-socrates-akar-masalah-papua.html
Apa yang sekurang-kurangnya dapat Gereja Protestan responi terhadap isu Papua hari
ini ?

Jikalau kita menengok pada lini masa gerakan Protestan, dan menyimak fakta-fakta sejarah
bagaimana Gereja Protestan global pernah menjadi kekuatan sosial politik yang mengubah
jalannya peradaban dunia , maka gereja Protestan di Indonesia sebenarnya memiliki
referensi dan reservoir sejarah dan teologis yang cukup besar untuk memberi respons positif
bagi perjuangan rakyat Papua hari-hari ini.

Bagaimana caranya?

Pertama , Gereja Protestan Indonesia saat ini perlu bertobat dari sikapnya yang gemar
menelan bulat-bulat semua narasi politik rezim yang berkuasa. Dalam konteks menyikapi
isu Papua, Gereja-gereja Protestan di Indonesia pertama-tama harus belajar mendengar
jeritan rakyat Papua yang tertindas sebagai panggilan dari Allah untuk beraksi bagi
kerajaanNya di dunia saat ini.

Umat Protestan mesti belajar membedakan roh, menguji berbagai informasi , dan situasi
bangsa Papua berdasarkan kebenaran dan bukan berlandaskan propaganda nasionalisme
sempit (Bandingkan 1 Tesalonika 5:21).

Maka seharusnya bukan kepada jaringan televisi nasional apalagi kepada portal berita
populer yang berpihak pada rezim kita menemukan suara Allah. Melainkan pada
percakapan dan perjumpaan (encounter) dengan saudara-saudara kita yang berjuang dan
jelas-jelas berpihak pada rakyat Papua kita mesti menyendengkan telinga.

Kedua, Gereja Protestan mesti kembali kepada apa yang menggerakan dirinya sejak
permulaan, yaitu hasratnya akan kebenaran16 . Bagi orang Protestan, Kebenaran bukanlah
semata-mata perihal abstraksi ontologis yang berlagak netral. Kebenaran juga berdimensi
aksiologis17 . Hasrat akan Kebenaran adalah keinginan untuk menyaksikan terwujudnya
kerajaan Allah didunia ini,ketika kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan terbit bagi
segenap mahluk (bandingkan Yohanes 8:32, Roma 14:17-18).

Pertanyaannya , bagaimana jika rezim yang berkuasa memunggungi kebenaran ? Jelas


tradisi Protestan meninggalkan banyak suri teladan perihal pembangkangan sipil18
didalam sejarah perjuangannya19. “Kita (Orang Protestan) membangkang karena kita lebih
16
Theodore Dwight Bozeman, Protestants in an Age of Science: The Baconian Ideal and Antebellum American
Religious Thought, UNC Press Books, 2012,hal.3-5.
17
Bandingkan dengan Deklarasi Accra di Ghana pada tahun 2004, dimana pada saat itu World Alliance of
Reformed Churches (WARC) menggali kekayaan teologi Protestan dan mengkonstruksi ulang dogma-dogma
Protestan dimasa lampau (yang dahulu didaku sebagai sumber kebenaran) , untuk menjadi kekuatan melawan
penindasan dan ketidakadilan yang disebabkan oleh sistem ekonomi neo liberal yang memiskinkan dunia Asia
dan Afrika. Lihat :http://wcrc.ch/accra
18
Civil disobedience is the active, professed refusal of a citizen to obey certain laws of the state, and/or
demands, orders, and commands of a government, or of an occupying international power. Civil disobedience
is sometimes defined as having to be nonviolent to be called civil disobedience. Civil disobedience is
sometimes, therefore, equated with nonviolent resistance- J Morreall (1976), "The justifiability of violent civil
disobedience", Canadian Journal of Philosophy, Canadian Journal of Philosophy, 6 (1): 35–47, JSTOR 40230600

19
María José Falcón y Tella, Civil Disobedience, Martinus Nijhoff Publishers, 2000,Hal.111
mencintai kebenaran dari pada ketentraman semu ”, kata John Knox sang Reformator dari
Skotlandia berabad silam. Bagaimana dengan orang Protestan di Indonesia?

Ketiga, Gereja Protestan mesti keluar dari pendekatannya yang subjektif-individual pada
Alkitab (solo Scriptura) dan kembali kepada pembacaan komunal-intersubjektif (sola
Scriptura) .

Menurut Luther, Alkitab perlu dibaca,ditafsirkan dan dihayati bersama-sama dengan


segenap umat, alih-alih dibaca dan direnungkan dalam pengalaman subjektif individual.
Maka konkretnya, seorang Protestan Indonesia di abad ke 21 yang membaca Alkitab,
secara tak terhindarkan harus juga menyertakan pengalaman penderitaan dan pergumulan
rakyat Papua dalam proses pembacaan serta penafsiran Kitab sucinya .

Pada landasan biblika yang berkoresponden dengan situasi sosial politiklah, teologi kaum
Protestan dibentuk . Inilah yang dalam istilah Martin Luther disebut Sola experientia facit
theologum 20.

Menginsyafi ini semua, maka panitia Simposium 500 tahun Reformasi Gereja
memberanikan diri untuk mengangkat tema Protestanisme dan isu Papua pada sesi
penutupnya minggu ini. Sebuah langkah kecil dengan satu harapan besar: Agar suara dari
Papua yang selama ini senyap bisa secara jernih hadir di dalam percakapan menggereja
kaum Protestan di Indonesia.

20
Inilah penjelasan Martin Luther yang menghubungkan Sola Scriptura dengan pengalaman penafsiran
intertekstualitas,yang membedakan dengan kekeliruan kebanyakan kaum protestan konservatif yang
melakukan pendekatan Solo Scriptura ,dimana Alkitab dibaca, ditafsirkan dan diaplikasikan semata-mata
berdasarkan subjektifitas sang pembaca. Bandingkan Robert Kolb(ed), The Oxford handbook of Martin Luther
Theology, OUP Oxford,2014,hal.469.

Anda mungkin juga menyukai