Anda di halaman 1dari 104

PENERBIT PT KANISIUS

Menerima Misionaris Menjemput Peradaban


1016003046
© 2016-PT Kanisius

PENERBIT PT KANISIUS (Anggota IKAPI)


Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, INDONESIA
Telepon (0274) 588783, 565996; Faks (0274) 563349
E-mail : office@kanisiusmedia.com
Website : www.kanisiusmedia.com

Cetakan ke- 3 2 1
Tahun 18 17 16

Editor : Erdian
Desainer Sampul : Joko Sutrisno
Desainer Isi : Yustinus Saras

Ilustrasi sampul: Pos Perbatasan Pegunungan Bintang diolah dari https://id.wikipedia.org/wiki/


kabupaten_Pegunungan_Bintang

ISBN 978-979-21-4977-7

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apa pun, tanpa izin tertulis dari Penerbit

Dicetak oleh PT Kanisius Yogyakarta


Prakata

P uji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpah-
kan berkat yang melimpah sehingga buku Menerima Misionaris
Menjemput Peradaban: Sejarah Nama Pegunungan Bintang, Papua
& Awal Mula Peradaban Orang Asli Pegunungan Bintang dapat hadir
di tengah-tengah pembaca. Banyak dukungan dan bantuan datang dari
berbagai pihak dalam proses pembuatan buku ini. Untuk itu, terima
kasih kepada:
1. Bapak Costan Oktemka, S.IP, Bupati Kabupaten Pegunungan
Bintang, yang telah membantu mendanai penerbitan buku ini.
2. Bapak Drs. Theodorus Sitokdana, yang bersedia memberikan Kata
Pengantar, sekaligus menyempurnakan isi buku ini.
3. Bapak Drs. Paulus Sudiyo dan seluruh staf Yayasan Binterbusih
yang selalu mendukung dan mengarahkan penulis.
4. Civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana yang telah
mendukung penulis untuk mengabdikan diri sebagai peneliti dan
turut ambil bagian dalam misi mencerdaskan bangsa.
5. Para anggota Pusat Studi GMIT yang selalu memotivasi,
mendukung dan mengarahkan penulis untuk tak henti-hentinya
meneliti dan menulis.
6. Masyarakat Pegunungan Bintang.
4  Prakata

7. Masyarakat Papua di Tanah Papua maupun di luar negeri.


8. Mama Beatha Bidana dan Bapa Paskalis Sitokdana, atas kasih
sayang, perhatian, dan dukungan doanya.
9. Keluarga besar Komapo, Imppetang, dan Himppar di Salatiga.
10. Istri tercinta, Elka Mimin, S.Pd., yang selalu mendampingi dan
memberikan motivasi. Terima kasih untuk kasih sayang, perhatian,
dan dukungan doa yang selalu diberikan.
11. Anak-anak tercinta: Injilio Papuano Okbison Sitokdana dan Inri
Isla De Guinea Sitokdana, yang selalu menghibur dalam situasi
suka maupun duka.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis selama pendidikan dan
penyusunan buku ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa buku ini masih jauh dari


sempurna. Untuk itu, semua jenis saran, kritik, dan masukan yang
bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga buku ini dapat
memberikan manfaat dan memberikan wawasan tambahan bagi para
pembaca.

Penulis
Pengantar

uku Menerima Misionaris, Menjemput Peradaban: Sejarah Nama


B Pegunungan Bintang, Papua & Awal Mula Peradaban Orang
Asli Pegunungan Bintang ini merupakan sebuah hasil karya intelektual
dari seorang anak asli Pegunungan Bintang bernama Melkior N. N
Sitokdana, S.Kom, M.Eng.
Dilihat dari letak geografisnya, Pegunungan Bintang terbentang
dari barat ke timur Pulau Papua, tepatnya dari bagian timur Kabupaten
Yahukimo, Provinsi Papua sampai dengan Distrik Telefomin, Provinsi
Saundaun dan Tabubil, North Fly, Western Province, Papua New Guinea
(PNG). Meskipun demikian, buku ini tidak menguraikan secara kese-
luruhan sejarah peradaban modern bagi suku-suku bangsa asli yang
mendiami wilayah sentral dari hamparan dataran tinggi Pulau Papua
ini. Buku ini hanya terfokus pada suku-suku bangsa asli yang mendiami
wilayah Pegunungan Bintang dalam wilayah Indonesia (kini menjadi
sebuah daerah otonomi baru, Kabupaten Pegunungan Bintang).
Untuk pertama kali, sejarah nama Pegunungan Bintang dan kisah
awal mula peradaban modern bagi orang asli Pegunungan Bintang,
mulai dari kedatangan para misionaris serta keberadaan dan kehidupan
manusia asli Pegunungan Bintang, dapat dipublikasikan dalam bentuk
sebuah buku.
6  Pengantar

Buku tentang manusia dan daerah Pegunungan Bintang sangat


sedikit. Ada beberapa dokumentasi tertulis dalam bahasa Inggris dan
bahasa Belanda yang ditulis baik oleh para peneliti, ilmuwan maupun
oleh para misionaris berlatar belakang pendidikan geologi, teologi,
sosiologi dan antropologi. Namun, buku-buku itu belum diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini merupakan buku yang pertama
kali diterbitkan dan berisi tentang Pegunungan Bintang. Buku ini ditulis
oleh seorang intelektual dan akademisi anak asli Pegunungan Bintang.
Hampir tiga puluh tahun sebelum misionaris dari Gereja Katolik
menginjakkan kakinya di Tanah Aplim Apom, Pegunungan Bintang,
Papua pada tahun 1959 tepatnya di Lembah Sibil (kini dikenal Oksibil,
ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang), sudah ada perjalanan para
ilmuan Eropa ke wilayah Pegunungan Bintang pada tahun 1938-1939.
Namun, misi mereka tidak untuk mengintroduksi peradaban modern
kepada orang asli Pegunungan Bintang. Sebagai ilmuwan dan ahli geo-
logi, tujuan utama mereka adalah meneliti sebaran kandungan mineral
yang ada di dalam perut bumi daerah ini.
Dua puluh tahun kemudian, setelah perjalanan ilmiah para peneliti
(1959), misionaris Gereja Katolik dan Gereja Injili di Indonesia (GIDI)
menginjakkan kakinya di Lembah Sibil. Kedatangan para misionaris
Gereja Katolik (1959) dan GIDI, yang disusul Gereja Jemaat Reformasi
Papua (GJRP) pada tahun 1973 ke Tanah Aplim Apom, Pegunungan
Bintang, menjadi tonggak sejarah dimulainya peradaban modern bagi
kehidupan suku-suku bangsa asli yang sudah lama menetap (rata-rata
tujuh turunan). Ada dua suku bangsa asli yang besar di Pegunungan
Bintang (Suku Ngalum dan Suku Ketengban) serta beberapa sub-suku
lain (Murop, Kambom, Arimtap, Lepki, Omkai, Kimki, dan Una).
Pada intinya, ada tiga pokok bahasan yang diuraikan. Bagian per-
tama menguraikan tentang sejarah nama Pegunungan Bintang. Selain
eksplorasi referensi tertulis secara manual, penulis juga menjelajahi
Pengantar  7

dunia maya (internet) untuk menemukan sumber-sumber tertulis ten-


tang asal usul nama Pegunungan Bintang, baik literatur berbahasa
Inggris maupun berbahasa Belanda. Di bagian ini, penulis mengajak
dan mengantar pembaca untuk masuk menyelami sejarah masa lalu asal
mula penamaan Pegunungan Bintang.
Nama Pegunungan Bintang sebenarnya bukan sebutan yang digu-
nakan oleh penduduk asli yang telah lama mendiami wilayah yang kini
disebut Pegunungan Bintang ini. Orang asli yang hidup di wilayah ini
tidak tahu, bahkan tidak pernah menyebut dirinya orang Pegunungan
Bintang. Nama-nama tempat yang menjadi daerah kehidupan mereka,
baik untuk tempat tinggalnya maupun dusun yang menjadi hak ulayat
dalam mempertahankan hidupnya, disebut dengan nama yang umumnya
didominasi dengan awalan Ok atau Me/Mek, seperti: Oksibil, Oksop,
Okbi, Oknangul, Oktau atau Bime, Tanime, Borme, Eipumek, Pamek,
dan lain-lain.
Karena itu, nama Pegunungan Bintang merupakan hasil rekayasa
sejarah. Rekayasa itu diawali dengan kedatangan tim peneliti dari
Eropa (1938-1939) dan kemudian tim ekspedisi dari Kerajaan Belanda
(1957), yang diakhiri dengan pengibaran bendera Belanda di Puncak
Juliana atau Puncak Mandala (1959).
Bab I mengemukakan bahwa nama Pegunungan Bintang mengacu
pada penamaan yang mirip untuk sebuah gunung di Pegunungan Cascade,
Okangen, Barat Daya Washington, Amerika Serikat, yakni Silver Star
Mountain. Wilayah ini dinamakan Star Mountain (Pegunungan Bin-
tang) karena pola lima punggung menonjol yang memancar dari
puncak dalam bentuk bintang. Kedua puncak gunung mendominasi
cakrawala timur dari Vancouver, Washington. Sangat mungkin nama
Sterrengebergte atau Star Mountain di Papua, juga diberikan atas dasar
bentangan pegunungan yang menonjol berbentuk bintang, terdapat salju
(Puncak Mandala) pada puncaknya, dan memancarkan cahaya yang
mendominasi sebagian wilayah timur Pegunungan Tengah Papua.
8  Pengantar

Daerah ini kemudian menjadi bagian dari Wilayah Administrasi


Pemerintahan Kabupaten Jayawijaya setelah berakhirnya konflik politik
antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda
melalui penyelenggaraan suatu referendum yang dikenal dengan nama
PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969. Setelah
selama lebih dari 32 tahun menjadi “anak” Kabupaten Jayawijaya sejak
pemekarannya menjadi Kabupaten melalui UU No. 12 Tahun 1969,
pada tahun 2002 Pegunungan Bintang menjadi sebuah kabupaten baru
yang kini telah berusia 13 tahun masa pemerintahan.
Bagian kedua menjelaskan mengenai eksistensi dan kehidupan
suku-suku bangsa asli yang mendiami wilayah Punungan Bintang. Pada
bagian ini, pembahasan terfokus pada perspektif kebudayaan. Diuraikan
mengenai unsur-unsur hidup yang membentuk dan mencerminkan
identitas khusus, yang membedakan kehidupan manusia asli
Pegunungan Bintang dengan suku-suku bangsa asli lain yang mendiami
Pulau Papua. Misalnya, kehidupan religinya, sebaran suku bangsa
dan bahasanya, wilayah hak ulayatnya, sistem kepemimpinannya dan
kehidupan keseniannya. Ulasan-ulasan itu dirangkum dalam Bab II.
Bagian ketiga menguraikan mengenai awal mula peradaban
modern dalam kehidupan orang asli Pegunungan Bintang. Kedatangan
para misionaris dari Gereja Katolik dan Gereja Protestan dalam
kehidupan orang asli Pegunungan Bintang, menjadi tonggak sejarah
peradaban modern dalam kehidupan suku-suku bangsa asli yang sudah
lama menetap selama tujuh turunan di wilayah ini. Bagian ini dibagi
dalam tiga bab. Masing-masing bab menguraikan tentang peran tiga
Gereja yang berkarya di Pegunungan Bintang. Sejarah masuknya
Gereja Katolik dan karya pelayanannya di Pegunungan Bintang dibahas
di dalam Bab III. Sementara sejarah masuknya Gereja Kristen Injili di
Indonesia (GIDI) dan karya penginjilan serta pelayanannya di wilayah
Pegunungan Bintang dijelaskan dalam Bab IV. Sedangkan sejarah
Pengantar  9

pelayanan dan pekabaran Injil di Papua oleh Gereja Jemaat Reformasi


Papua (GJRP) diuraikan pada Bab V.
Penulis bukanlah seorang petugas Gereja atau juga bukan seseorang
yang bergelut di dunia sejarah. Ia seorang dosen ilmu informatika di
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah.
Karena distimulasi oleh rasa tanggung jawab dan kepekaan intelektual
serta keilmuannya untuk dapat mendokumentasikan secara ilmiah unsur-
unsur yang menunjukkan identitas manusia dan daerah Pegunungan
Bintang, buku ini ditulis. Karena itu, sangat welcome kepada semua
pihak untuk dapat mengkritisi buku ini demi menambah data, informasi
dan isi buku ini, khususnya dari perspektif sejarah dan kebudayaan.
Jika dipandang dari sudut kepentingan pendidikan dan pengetahuan
sejarah, khususnya bagi anak-anak asli Pegunungan Bintang kini dan
masa depan, buku ini sangat cocok untuk dapat diadopsi oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Pegunungan Bintang melalui Dinas Pendidikan
untuk dapat dijadikan sebagai buku sumber dalam merancang suatu
kurikulum muatan lokal dan dapat diajarkan di sekolah-sekolah.
Roda kehidupan manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang
terus bergulir. Saat itu pula kisah hidupnya ditorehkan: masa lalu,
masa kini. Namun, cakrawala kehidupan terus terpancar ke depan
menerangi perjalanan hidup sambil menjemput kisah masa depan yang
penuh misteri. Kisah hidupnya mengantar dan menyadarkan orang
asli Pegunungan Bintang untuk terus merefleksikan kisah perjalanan
hidupnya serta meninggalkan cerita-cerita dalam sebuah dokumentasi
bersejarah bagi anak cucunya.

Theo Sitokdana
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Pernah Menjadi Wakil Bupati
Pegunungan Bintang Periode 2005-2010
Daftar Isi

Prakata ...................................................................................... 3
Pengantar ...................................................................................... 5
Daftar Isi ...................................................................................... 11

Bab I
Sejarah Nama Pegunungan Bintang ......................................... 13
A. Proses Penamaan “Pegunungan Bintang” ............................ 14
B. Cakupan Wilayah & Expedisi di Pegunungan Bintang ........ 15
C. Pemerintahan Indonesia di Pegunungan Bintang ................. 20

Bab II
Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang ...... 27
A. Aplim-Apom, Juliana Top dan Puncak Mandala .................. 29
B. Korelasi Penamaan Puncak Mandala dan Spiritualitas
Aplim Apom ......................................................................... 31
C. Pengelompokan Suku, Bahasa dan Penempatannya............. 33
D. Kehidupan Manusia Aplim Apom ........................................ 38
12  Daftar Isi

Bab III
Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang ..................... 45
A. Sekilas Sejarah Gereja Katolik di Papua .............................. 46
B. Gambaran Umum Fransiskan di Papua ................................ 49
C. Fransiskan di Pegunungan Bintang ...................................... 51

Bab IV
Sejarah GIDI di Pegunungan Bintang ...................................... 75
A. Sekilas Sejarah GIDI di Papua ............................................. 75
B. Sejarah GIDI di Pegunungan Bintang .................................. 79

Bab V
Sejarah GJRP di Papua .............................................................. 85
Kronologis Sejarah Gereja Jemaat Reformasi Papua (GJRP) ...... 86

Daftar Pustaka ............................................................................... 97


Biodata Penulis ............................................................................ 101
Bab I
Sejarah Nama
Pegunungan Bintang

K abupaten Pegunungan Bintang merupakan nama sebuah


kabupaten di Provinsi Papua. Kabupaten ini dimekarkan dari
Kabupaten induk Jayawijaya pada tahun 2002 bersama dengan 13
kabupaten lain di Provinsi Papua berdasarkan UU No. 26 Tahun 2002.
Sebelum dimekarkan menjadi sebuah kabupaten, nama Pegunungan
Bintang atau Star Mountain sudah digunakan berbagai kalangan, baik
Gereja, Pemerintah maupun para peneliti dari berbagai bidang ilmu.
Wilayah ini terdapat di poros pulau Papua yang membentang dari
bagian timur Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua sampai di timur
Kabupaten Telefomin, Provinsi West Sepik dan Tabubil, North Fly,
Westen Province, Papua New Guinea (PNG).
Nama Pegunungan Bintang atau Star Mountain sebenarnya bukan
nama asli bagi penduduk pribumi yang sudah mendiami daerah ini
lebih dari tujuh turunan lamanya. Nama ini populer dan dapat diakses
dalam peta dunia karena proses sejarah. Karenanya, tidak hanya orang
yang baru datang ke Pegunungan Bintang saja, namun mereka yang
14  Bab I Sejarah Nama Pegunungan Bintang

berasal dari suku-suku asli di daerah ini, juga belum mengetahui


apa arti sebenarnya dari nama “Pegunungan Bintang”. Juga belum
diketahui siapa yang menamakannya, kapan, dan mengapa diberi nama
“Pegunungan Bintang”.

A. Proses Penamaan “Pegunungan Bintang”

Dari hasil penelusuran sejumlah literatur berbahasa Belanda dan


Inggris, ditemukan bahwa “Pegunungan Bintang” adalah terjemahan
dari Sterrengebergte (Bld.) atau Star Mountain (Ing.). Nama tersebut
dikenal pada zaman ekspedisi bangsa Eropa untuk wilayah Timur
Pegunungan Tengah Papua sampai di Papua New Guinea. Namun, arti
Sterrengebergte atau Star Mountain belum diketahui secara pasti.
Beberapa literatur tentang penamaan gunung di Amerika Serikat
mungkin bisa memberikan sedikit gambaran atas arti nama tersebut.
Nama tersebut mirip dengan nama sebuah gunung di Pegunungan
Cascade, Okangen, Barat Daya Washington, Amerika Serikat, yakni
Silver Star Mountain. Wilayah ini dinamakan Star Mountain karena
pola lima punggung menonjol yang memancar dari puncak dalam
bentuk bintang. Kedua puncak gunung mendominasi cakrawala timur
dari Vancouver, Washington. Besar kemungkinan nama Sterrengebergte
atau Star Mountain di Papua juga diberikan atas dasar bentangan
pegunungan yang menonjol berbentuk bintang; di puncaknya terdapat
salju (Puncak Mandala) dan memancarkan cahaya yang mendominasi
sebagian wilayah timur Pegunungan Tengah Papua.
Bab I Sejarah Nama Pegunungan Bintang  15

B. Cakupan Wilayah & Ekspedisi di Pegunungan


Bintang
Secara umum wilayah yang disebut sebagai Sterrengebergte
atau Star Mountain ini mencakup wilayah Papua New Guinea dan
Indonesia. Di Papua New Guinea, wilayah Pegunungan Bintang (Star
Mountain) terletak sebagian besar wilayah pegunungan yang nama
tempatnya diakhiri dengan akhiran Min dan Bil, umumnya berada di
wilayah Distrik Telefomin, Provinsi West Sepik dan wilayah North Fly,
Provinsi Western, yakni: Bimin, Faiwol, Mianmin, Setaman, Tifalmin,
Telefolmin, Urapmin, Tabubil dan Oksapmin. Sejumlah daerah yang
disebutkan di atas, dalam keseharian masyarakat Papua New Guinea
menyapa mereka sebagai orang “Star Mountain”. Penyebutan ini cukup
terkenal di Papua New Guinea setelah beroperasinya sebuah tambang
emas di wilayah North Fly, Distrik Tabubil, yakni “Ok Tedi Mining”
sepanjang pegunungan Star Mountain. Lokasi pertambangan ini
termasuk juga hak ulayatnya dari suku bangsa Ok di wilayah Indonesia.
Sedangkan Sterrengebergte atau Star Mountain di wilayah Indonesia,
yakni: wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang saat ini dan beberapa
wilayah di Kabupaten Yahukimo bagian timur, seperti Distrik Langda,
Distrik Bomela dan Distrik Sumtamon.
Wilayah yang termasuk Star Mountain ini merupakan jantung
Papua jika dilihat, baik dari sisi posisi peta seantero Pulau Papua
maupun dari sisi potensi sebaran kandungan mineralnya. Selain itu,
hulu 4 (empat) sungai besar yang menjadi poros dan menghidupkan
sebagian besar suku-suku bangsa yang mendiami pulau terbesar kedua
setelah Greenland ini, yakni Sungai Mamberamo dan Sungai Digul di
Provinsi Papua serta Sungai Sepik dan Sungai Fly di wilayah PNG,
berasal dari wilayah Pegunungan Bintang. Sungai Mamberamo dan
Sungai Sepik mengalir ke utara pulau Papua dan bermuara di lautan
16  Bab I Sejarah Nama Pegunungan Bintang

Pasifik, sementara Sungai Digul mengalir ke arah selatan dan bermuara


di lautan Arafura, wilayah Kabupaten Mappi, Provinsi Papua; sementara
Sungai Fly mengalir ke arah selatan PNG dan bermuara di wilayah
Daru, ibu kota Western Province.
Gugusan Star Mountain ini, menurut informasi di situs web The
Papua Insects Foundation terdiri atas beberapa puncak gunung, yaitu
Gunung Juliana 4700 meter (Puncak Mandala), Gunung Goliath 4595
meter (Puncak Yamin), Gunung Antares 4170 meter dan Gunung David
4581 meter1. Dari sejumlah puncak gunung tersebut, puncak Juliana
merupakan puncak tertinggi yang ada di gugusan Pegunungan Bintang.
Orang asli Pegunungan Bintang, yakni manusia Ngalum, Ketengban
serta sub-suku lainnya menyebut gunung ini dengan nama Aplim Apom.
Mereka memandang gunung ini sebagai gunung yang sangat sakral
baginya. Menurut mitos penciptaan, gunung ini dipercaya oleh orang
asli Pegunungan Bintang sebagai tempat penciptaan alam semesta,
termasuk manusia pertama oleh Atangki (Maha Pencipta). Oleh karena
itu, sejumlah suku dan sub-suku yang ada di bawah Kaki Gunung ini
menamakan diri sebagai manusia Aplim Apom.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, Gunung Aplim Apom
diberi nama Juliana Top (Puncak Juliana) oleh Tim Ekspedisi yang
dikirim dari Kerajaan Belanda. Nama puncak Juliana diambil dari nama
Ratu Belanda, Juliana Louise Emma Marie Wilhelmina. Ratu Juliana
diangkat menjadi Ratu Belanda pada tanggal 6 September 1948 karena
Ratu Wilhelmina menyerahkan kepemimpinannya kepada Juliana
sebagai penerus. Saat masa kepemimpinannya, dilakukan ekspedisi di
wilayah Sterrengebergte. Tim ekspedisi berhasil menaklukkan puncak
tertinggi itu, dan menamakannya Puncak Juliana (Juliana Top).
Ekspedisi Sterrengebergte diselenggarakan di bawah pimpinan
Leo Brongersma dan GF Venema sebagai pemimpin teknis dan logistik
bersama anggota ekspedisi dari berbagai bidang, yakni: J.C. Anceaux

1
Lih. ”Star Mountains”, diakses dari www.papua-insects.nl pada 24 Agustus 2015.
Bab I Sejarah Nama Pegunungan Bintang  17

(ahli bahasa/linguistik), Ch.B. Bar, H.J. Cortel, dan A.E. Escher (ahli
geologi), C. Van Heiningen dan J.J. Staats (ahli kulit binatang), C.
Kalkman dan Van Zanten (ahli botani), L.E. Nijenhuis (ahli biologi dan
spesialis darah), J. Pouwer (ahli antropologi budaya), J.J. Reijnders (ahli
tanah), H.Th. Verstappen (ahli geografi fisik), W. Vervoort (ahli zoology),
Van der Weiden (ahli kartografi), A.G. Liar (ahli antropologi fisik ), dan
B.O. Van Zanten (perwakilan pemerintah Anceaux Pouwer)2.
Ekspedisi ini diselenggarakan setelah mendapat laporan dari
perusahaan pertambangan NV Mijnbouw Maatschappij Nederlands
Nieuw Guinea yang telah melakukan survei pada tahun 1938-1939.
Insinyur P.F. de Groot dan M.G.M. Bartels pada waktu itu mengadakan
ekspedisi ke daerah hulu Sungai Digul. Pada kesempatan itu, mereka
juga mengunjungi Lembah Sibil3. Berdasarkan laporan dari perusahaan
tersebut pada tahun 1953 Nederlands Maatschappijk Onderzoek in
Oost-en West Indiẻ (perkumpulan untuk penyelidikan ilmiah dalam
hal keadaan alam) dan Het Koninklikj Nederlandsch Aardrijkskunding
Genootschap (persekutuan para geolog kerajaan Belanda) atas prakarsa
Prof. Vening Menesz, bersama-sama mengirim ekspedisi untuk
menyelidiki bagian timur dari wilayah pegunungan tengah untuk mengisi
bidang putih terakhir pada peta Niuew-Guinea. Persiapan untuk itu
berlangsung selama enam tahun. Pada tahun 1959, dibentuklah sebuah
yayasan tersendiri untuk ekspedisi tersebut, yaitu Stichting Expeditie
Nederlands-Nieuw-Guinea (Ekspedisi Nieuw Guinea Belanda).
Yayasan ini menunjuk Dr. L. Brongersma sebagai pemimpin umum dan
G.F Venema sebagai pemimpin teknis4.
Untuk pelaksanaan ekspedisi ini, kontrolir J.W. Shoorl, kepala
pemerintahan setempat di Mindiptanah (wilayah Boven Digoel) bagian
dari residensi Nieuw-Guinea Selatan, mendapatkan perintah untuk

2
Idem.
3
Schoorl, J.W. (Pim), 2011. Belanda di Irian Jaya (Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-
1962). Jakarta: Penerbit Garba Budaya.
4
Lih. ”Sterrengebergte-expeditie”, diakses dari https://nl.wikipedia.org/ pada 24 Agustus
2015.
18  Bab I Sejarah Nama Pegunungan Bintang

melakukan perjalanan ke Lembah Sibil, bagian utara dari Mindiptanah.


Pada bulan Desember 1955, dia memberikan laporan bernada positif
tetapi tidak semua orang meyakininya. Akhirnya, diputuskan untuk
melakukan sebuah ekspedisi pendahuluan demi menyelidiki Lembah
Sibil. Ekspedisi tersebut dilakukan tahun 1957, berdasarkan hasil
penelusuran mereka menyetujui membuka pos di Lembah Sibil. Setelah
pendekatan dengan penduduk di Lembah Sibil, tim ekspedisi dan
penduduk setempat bekerja selama beberapa tahun dibawah pimpinan
para ahli. Dibangunlah sebuah lapangan terbang, tepatnya pada 1
Januari 1958 (sekarang lapangan terbang Oksibil, ibukota Kabupaten
Pegunungan Bintang)5.

Gambar 1. Lapangan terbang Oksibil dahulu (Kuiłe, 1963)


(Sumber: hƩp://www.flickriver.com)

Ekspedisi yang direncanakan lebih awal belum juga berlangsung


karena mereka terlebih dahulu berkonsentrasi membuka lapangan
terbang untuk mempermudah ekspedisi lebih lanjut. Setelah lapangan
terbang selesai dikerjakan, tim melakukan perjalanan melalui Oksop
(Sungai Digul) untuk kepentingan ekspedisi dan pada akhirnya tanggal 9
September 1959 tim ekspedisi mengibarkan bendara Belanda di Puncak

5
Idem.
Bab I Sejarah Nama Pegunungan Bintang  19

Juliana (Aplim Apom/Puncak Mandala) oleh Herman Verstappen,


Arthur Escher, Max Tissing, Jan de Wijn dan Pietter Laag sebagai akhir
ekspedisi Sterrengebergte.6

Gambar 2. Tim Ekspedisi Sterrengebergte mengibarkan bendera


di Puncak Juliana/Mandala pada 9 September 1959
(Sumber: rozenbergquarterly.com)

Setelah itu, Brongersma (pemimpin ekspedisi) berkunjung ke


Hollandia (Jayapura), dan tinggal di sana beberapa hari. Pada tanggal
14 September 1959, ia kembali ke Lembah Sibil untuk menyelesaikan
pekerjaan yang belum diselesaikan. Pesawat yang ditumpangi
Brongersma diikutkan Pastor Jan Van De Pavert OFM. Para tim
ekspedisi memberikan sisa-sisa barang perlengkapan ekspedisi kepada
Pastor Jan Van De Pavert. Dengan barang itu, dia membangun tempat
tinggal di pos pemerintahan di Oksibil. Selanjutnya Pastor Jan Van De
Pavert OFM mulai membangun misi Fransiskan yakni menyebarkan
kabar keselamatan di seluruh lembah Sibil. Tidak hanya dia, ada Pastor
Herman Mous OFM dan Bruder Gabriel Roes OFM, mereka memiliki
peran yang sangat penting dalam penyebaran karya keselamatan di
Lembah Sibil. Di samping itu, dibuka Sekolah Dasar, tepatnya tanggal
25 Juli 1960 oleh Pastor Herman Mous OFM, dengan jumlah murid
43 orang.7 Dari situlah, mulai berkembang dan menyebar ke wilayah
lainnya, seperti Kiwirok dan Abmisibil. Dalam pengembangannya,

6
Lih. ”Sterrengebergte”, diakses dari http://www.npogeschiedenis.nl pada 24 Agustus 2015.
7
Jan Sloot, 2009, Fransiskan Masuk Papua. Jilid I: Periode Pemerintahan Belanda 1937-
1962. Kustodi Fransiskus Duta Damai, Papua, 2012.
20  Bab I Sejarah Nama Pegunungan Bintang

para misionaris tidak sendiri, mereka dibantu oleh para tenaga katekis
atau penginjil asal Keerom, Muyu, Paniai, dan lainnya.

C. Pemerintahan Indonesia di Pegunungan Bintang

Pada tahun 1960-an, konflik politik antara Pemerintah Kerajaan


Belanda dan Pemerintah Indonesia mulai memanas. Saat itu, sekolah-
sekolah diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia. Karena situasi
itulah, nama Sterrengebergte atau Star Mountain diubah dalam bahasa
Indonesia menjadi “Pegunungan Bintang” dan Puncak Juliana berubah
menjadi Puncak Mandala. Karena itu, nama Pegunungan Bintang di-
gunakan secara resmi oleh semua pihak yang memiliki kepentingan
dengan daerah ini. Misionaris dari Gereja Katolik dan GIDI menjadi
pemeran pertama dan utama dalam mengintroduksikan peradaban
modern kepada manusia Aplim Apom. Sejak itu pula, misionaris kedua
Gereja ini memopulerkan nama Pegunungan Bintang versi Bahasa
Indonesia kepada penduduk asli yang mendiami daerah ini.
Di pihak Pemerintah Provinsi Papua (waktu itu Irian Jaya)
maupun Pemerintah Kabupaten Jayawijaya, nama Pegunungan Bintang
diadopsi untuk digunakan, khususnya untuk urusan-urusan politik dan
pemerintahan. Diawali dengan pembentukan tiga kecamatan di wilayah
Pegunungan Bintang, yakni Kecamatan Oksibil, Kecamatan Okbibab
dan Kecamatan Kiwirok. Selama lebih dari 3 dekade (30 tahun lebih),
Pegunungan Bintang menjadi bagian integral dari Wilayah Administrasi
Pemerintah Kabupaten Jayawijaya.
Pada masa pemerintahan Bupati Jayawijaya, J.B Wenas (tahun
1990-1997), Pegunungan Bintang diusulkan untuk dapat diproses
menjadi sebuah Kabupaten Otonom Baru karena jangkauan pelayanan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan bagi penduduk yang
berada di wilayah Pegunungan Bintang sangat sulit dijangkau dari
Bab I Sejarah Nama Pegunungan Bintang  21

Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Badan Perencanaan dan


Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Jayawijaya merancang
beberapa kabupaten baru sebagai upaya pemekaran dari kabupaten
induk Jayawijaya dalam beberapa versi. Setiap versi selalu ada nama
calon Kabupaten Pegunungan Bintang.
Tokoh-tokoh masyarakat asli Pegunungan Bintang, khususnya
Engelbertus Kasipmabin, Hosea Uropdana dan Yohanes Kakyarmabin
yang saat itu menjadi anggota DPRD Kabupaten Jayawijaya (1990-an)
memberikan dukungan penuh untuk rencana pemekaran ini. Aspirasi
pemekaran pun mengkristal dari berbagai komponen masyarakat
Pegunungan Bintang, baik di Pegunungan Bintang, di Jayapura
maupun di Wamena. Drs. Theo B Opki dan Enos Kalakmabin, anggota
DPRD Jayawijaya (1999-2003), memberikan dukungan kuat terhadap
rencana pemekaran ini. Akhirnya Pemerintah secara resmi membentuk
14 Daerah Otonom Baru (DOB) di Provinsi Papua melalui UU Nomor
26 Tahun 2002; salah satunya Kabupaten Pegunungan Bintang, yang
secara resmi ditetapkan pada tanggal 12 April 2003.
Setelah pemekaran, ditunjuk penjabat bupati untuk seluruh kabu-
paten se-Provinsi Papua oleh Gubernur Papua Drs. Jacobus Perviddya
Solossa, M.Si. Kabupaten Pegunungan Bintang, ditunjuk Drs.
Wellington L. Wenda, M.Si. Tugas utamanya membentuk pemerintahan
Kabupaten Pegunungan Bintang yang definitif: yakni mempersiapkan
pemilihan Bupati dan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) definitif.
Setelah dilantik, Bupati Drs. Wellington L. Wenda, M.Si pertama
kali menginjakkan kakinya di Tanah Aplim Apom pada tanggal 5
Mei 2003. Ia menceritakan situasi dan kondisi ketika tiba di bandara
Oksibil.8

8
Lih. ”Dengan Iman dan Hati Saya Bangun Pegunungan Bintang”, dalam Majalah Oknews
Edisi Perdana Mei 2015, hlm. 8-14..
22  Bab I Sejarah Nama Pegunungan Bintang

”Saya datang ke Oksibil pada 5 Mei 2003. Manusia dan alam menyam-
but saya. Saat itu, udara cerah, pohon-pohon hijau, langit cerah. Saya
menangis.”

Ketika turun dari pesawat, ia disambut masyarakat dengan tarian


adat. Ia bersama rombongannya berjalan kaki. Tak jauh dari landasan
pesawat, di seberang jembatan kecil (sekarang sudah tidak ada),
berdiri dengan tegap, seorang lelaki berpakaian adat, penuh wibawa.
Dia adalah (alm.) Bapak Esau Uropmabin, Ketua Dewan Adat Aplim
Apom Sibilki yang siap menyambutnya. Sementara itu, di samping kiri
kanan, tarian adat pun digelar. Bapak Esau menjabat tangannya lalu
berkata demikian.9
“Adik, ko anak adat. Ko lahir dan besar di Honai. Ko belajar dari Honai.
Ko keluar dari Honai untuk pergi belajar sampai ko pintar. Sekarang ko
jadi pemimpin dan datang ke kampung untuk membangun kampung.
Membangun anak-anak di kampung ini. Dengan Takol Papi (Kapak Batu)
ini, ko membangun.

Dulu orang tuamu menggunakan kampak ini untuk menebang kayu,


belah kayu, bikin rumah, bikin kebun, dan lain-lain. Kami terbatas. Tapi
sekarang, ko orang sekolah. Ko pintar dan ko jadi pimpinan kami. Jadi
dengan Takol Papi ini, ko bangun anak-anak kami dan bangun kampung
kami.”

Setelah itu, Bapak Esau menyerahkan kapak batu (Takol Papi) itu.
Penyerahan Takol Papi ini sebagai simbol ungkapan filosofi masyarakat
adat Aplim Apom Sibilki. Dengan Takol Papi itu, mereka mau menya-
takan bahwa mereka masih hidup sederhana. Jadi penyerahan Takol Papi
itu, masyarakat mau menyatakan kepadanya: selamat datang peradaban.
Sekaligus sebagai simbol bahwa alam dan manusia menyambutnya.10
Setelah itu, ia mulai memperkenalkan diri ke masyarakat, ke
Distrik Borme, Bime, Kiwirok, Eipumek dan distrik lain. Di setiap
distrik ia disambut seperti saat tiba di bandara Oksibil. Para orang tua
adat di distrik masing-masing yang menyambut dan menyerahkan Takol

9
Idem.
10
Idem..
Bab I Sejarah Nama Pegunungan Bintang  23

Papi, pesannya sama semua. Melalui Takol Papi itu, mereka sampaikan
pandangan atau ungkapan-ungkapan yang penuh filosofis.11
Pada masa caretaker tahun 2003-2005, ia melaksanakan tugas dan
fungsinya dengan baik berlandaskan iman dan kasih. Pada pemilihan
umum pertama tahun 2005, ia kembali mendapat dukungan dari
masyarakat untuk memimpin Pegunungan Bintang untuk periode 2005-
2010. Ia didampingi wakilnya Drs. Theodorus Sitokdana. Sedangkan
ketua DPRD dijabat oleh Drs. Theo B Opki. Pada periode pertama
ini seluruh komponen bekerja keras untuk membangun Kabupaten
Pegunungan Bintang ke arah yang lebih baik, terbukti manfaat berbagai
kemajuan dapat dirasakan oleh masyarakat setempat.
Setelah berakhir masa jabatan bupati pada periode pertama, Drs.
Wellington L Wenda, M.Si kembali tampil mencalonkan lagi pada
periode kedua tahun 2011-2015. Hasilnya, masyarakat Pegunungan
Bintang masih memberikan kepercayaan kepadanya untuk memimpin
Pegunungan Bintang didampingi Yakobus Wayam, S.IP, M.Si sebagai
Wakil Bupati. Dengan demikian, ia memimpin selama 12 tahun di
Kabupaten Pegunungan Bintang, terhitung dari 2003 sampai masa
baktinya berakhir pada tahun 2015. Periode berikutnya ia tidak bisa
mencalonkan lagi karena regulasi membatasi hanya bisa memimpin
dua periode berturut-turut. Selama kurun waktu 12 tahun tersebut
banyak hal yang ia kerjakan, terutama pembangunan infrastruktur,
penataan pemerintahan, pembangunan ekonomi, pembangunan kese-
hatan dan pembangunan sumber daya manusia. Atas dasar itulah
Wellington dianugerahi gelar kehormatan Satyalancana Pembangunan
dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada HUT RI ke-64
(17 Agustus 2009) bersama 18 bupati seluruh Indonesia. Satyalancana
Pembangunan merupakan tanda kehormatan yang diberikan khusus
kepada Warga Negara Indonesia (WNI) yang berjasa besar bagi negara
dan masyarakat dalam bidang pembangunan. Kemudian tanggal 16

11
Idem.
24  Bab I Sejarah Nama Pegunungan Bintang

Desember 2009, ia mendapat penghargaan dari Rektor UGM, Prof. Ir.


Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D. atas prestasi dalam kategori memajukan
pembangunan.

Gambar 3. Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang Tahun 2005


(Sumber: hƩp://www.papua-insects.nl)

Gambar 4. Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang Tahun 2009


(Sumber: hƩp://www.panoramio.com)

Pada gambar di atas, tampak bahwa tahun 2005 wajah ibukota


Kabupaten Pegunungan Bintang masih sangat natural, namun dalam
kurun waktu 2005-2009 terjadi perubahan yang sangat signifikan. Oleh
karena keseriusan kepemimpinan Drs. Wellington L Wenda, M.Si dan
Drs. Theodorus Sitokdana dengan memanfaatkan Takol Papi yang
Bab I Sejarah Nama Pegunungan Bintang  25

diberikan Isomka Esau Uropmabin (alm), periode berikutnya (2010-


2015) Drs. Wellington L Wenda, M.Si dan Yakobus Wayam, S.IP.,
M.Si juga berhasil meningkatkan pembangunan di berbagai sektor.
Terbukti bahwa pembangunan semakin meningkat dari tahun ke tahun,
terutama jalan lintas Kabupaten Oksibil-Boven Digoel dan Oksibil
Yahukimo yang sudah hampir dirampungkan; di bidang lain juga terjadi
perkembangan yang berarti.
Setelah berakhirnya masa kepemimpinanya, muncullah ”Tahun
Rahmat Tuhan” melalui pesta demokrasi pemilihan kepala daerah
serentak seluruh Indonesia tanggal 9 Desember 2015. Di Kabupaten
Pegunungan Bintang terpilih anak asli Aplim Apom, yakni Costan
Oktemka, S.IP dan Decky Deal, S.IP. Dengan demikian, Costan
Oktemka merupakan bupati pertama, asli Aplim Apom. Kurang lebih
45 tahun sejak dimekarkannya Kabupaten Jayawijaya melalui UU No.
12 Tahun 1969 dan 12 tahun setelah pemekaran Kabupaten Pegunungan
Bintang, putra Aplim Apom tidak pernah dipilih menjadi bupati.
Namun, kesempatan akhirnya tiba pada tahun 2015. Untuk itulah,
Drs. Theodorus Sitokdana, mantan Wakil Bupati Pegunungan Bintang
periode pertama 2005-2010 dalam majalah OkNews edisi 2 tahun 2015
mengatakan bahwa ”Tahun Rahmat Tuhan Sudah Datang” karena tahun
tersebut menjadi tahun bersejarah bagi masyarakat Aplim Apom.12
Pesan perintis pembangunan Kabupaten Pegunungan Bintang,
Drs. Wellington Wenda kepada bupati terpilih dan bupati-bupati yang
akan datang sebagai berikut.13
”Pesan saya untuk orang-orang yang akan menjadi bupati ke depan:
harus menjadi diri sendiri. Para bupati harus jadi orang gunung dan
menjadi pemimpin untuk dirinya dan terpenting untuk rakyatnya. Mereka
harus menjadi orang Pegunungan Bintang. Mereka tidak boleh mengubah

12
Lih. ”Tahun Rahmat Tuhan Sudah Datang”, dalam Majalah Oknews Edisi II Juli 2015 (hlm.
38).
13
Lih. ”Dengan Iman dan Hati Saya Bangun Pegunungan Bintang”, dalam Majalah Oknews
Edisi Perdana Mei 2015, hlm. 8-14.
26  Bab I Sejarah Nama Pegunungan Bintang

dirinya. Dengan rasa saya terhadap dirinya, masyarakatnya pun akan


diperhatikan. Jati diri sebagai orang gunung, khususnya jati diri sebagai
anak dari Pegunungan Bintang harus dipertahankan dan diwujudkan dalam
program-program pemberdayaan terhadap masyarakat di seluruh wilayah
Pegunungan Bintang.”

Pesan ini merupakan penjabaran dari motto hidupnya, yakni ”


saya adalah mereka dan mereka adalah saya”.14 Untuk itu, harapannya,
pemimpin selanjutnya dapat melanjutkan Takol Papi yang diberikan
orang tua, apalagi sebagai orang asli pasti punya energi yang kuat untuk
mengangkat harkat dan martabat manusia Aplim Apom.

14
Idem..
Bab II
Mengenal Manusia Aplim
Apom di Pegunungan Bintang

P eradaban suku bangsa di dunia amat penting untuk ditelaah berda-


sarkan bukti-bukti historis dengan memanfaatkan kemajuan ilmu
pengetahun dan teknologi. Berbagai kajian dilakukan para ahli untuk
menggolongkan manusia dari berbagai aspek. Salah satunya aspek bio-
logis atau ras (warna kulit dan rambut), termasuk asal-usul suatu suku
bangsa menempati wilayah tertentu.
Kajian yang cukup terkenal tentang ras, etnik dan asal-usulnya
di kawasan Pasifik dilakukan oleh Alfred Louis Kroebe dan Dumont
d’Urville. Alfred Louis Kroebe, seorang antropolog Amerika keturunan
Jerman mengelompokkan manusia Papua dalam kelompok Ras Negroid.
Sementara itu, Dumont d’Urville merupakan seorang penjelajah
berkebangsaan Perancis di kawasan Pasifik dalam pertemuan Geography
Society of Paris pada tanggal 27 Desember 1831 mengelompokkan
manusia Papua dalam kelompok etnik Melanesia (artinya kepulauan
hitam) dengan ciri fisik kulit hitam dan rambut keriting sehingga
manusia Papua dikelompokan dalam “Melanesian Negroid”.
28  Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang

Oleh karena itu, orang asli Pegunungan Bintang juga bagian


dari komunitas manusia Melanesia Negroid. Meskipun demikian, ter-
lepas dari kajian ilmiah seperti yang dikemukakan dua ilmuwan di
atas, ataupun juga oleh para ilmuan berlatar belakang apapun, mun-
cul pertanyaan dari mana asalnya orang asli Pegunungan Bintang?
Pertanyaan ini tentu dapat dijawab oleh siapa saja sesuai perspektif dan
sudut pandangnya masing-masing. Namun, bagi orang asli Pegunungan
Bintang, jawaban yang berdasarkan pandangan religi-kosmologis dapat
memberikan gambaran atas pertanyaan ini.
Sebenarnya, pandangan religi kosmologi merupakan pandangan
yang dimiliki suku-suku bangsa asli di mana saja di belahan dunia ini
sebelum Tiga Agama Wahyu (Yahudi, Kristen, dan Islam) berkembang.
Seperti halnya mitos penciptaan yang dimiliki oleh berbagai suku
bangsa di dunia, orang asli Pegunungan Bintang juga memiliki mitos
penciptaan sendiri yang diyakini, dipegang dan diceritakan secara turun-
temurun. Mitos-mitos ini berkembang sebagai upaya untuk menjawab
pertanyaan mengenai asal-usul manusia dan tempat tinggalnya, atau
penyebab makhluk hidup berada di muka bumi. Hingga saat ini belum
ada bukti-bukti yang sangat kuat untuk membenarkan salah satu mitos
penciptaan di dunia. Namun demikian, dunia sudah terdoktrin dengan
mitos penciptaan suku bangsa Yahudi, yang kemudian didoktrin melalui
Tiga Agama Wahyu, bahwa manusia pertama adalah berasal dari suku
bangsanya.
Karena tak ada bukti yang bisa diterima secara ilmiah dari semua
mitos yang ada, tidak salah jika setiap suku bangsa di dunia mengkaji
peradabannya sendiri-sendiri sebagai wujud eksistensinya sebagaimana
dilakukan oleh Manusia Aplim Apom yang hidup di Pegunungan Bin-
tang, poros pulau Papua ini. Mereka meyakini bahwa nenek moyangnya
diciptakan oleh Atangki (Maha Pencipta) di puncak gunung Aplim dan
Apom, maka mereka menyebut dirinya sebagai manusia Aplim Apom.
Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang  29

A. Aplim-Apom, Juliana Top dan Puncak Mandala


Puncak gunung Aplim Apom pada masa penjajahan Belanda lebih
dikenal dengan nama Juliana Top atau Puncak Juliana. Kemudian
setelah pengalihan kekuasaan pemerintahan ke tangan NKRI diganti
dengan nama Puncak Mandala.

Gambar 5. Puncak Mandala (Puncak Apom) oleh ChrisƟan Stangl, 2012


(Sumber: wikipedia.org)

Nama Juliana Top diambil dari nama Ratu Belanda, Juliana


Louise Emma Marie Wilhelmina. Ratu Juliana diangkat menjadi Ratu
Belanda pada tanggal 6 September 1948 karena Ratu Wilhelmina me-
nyerahkan kepemimpinannya kepada Juliana. Selain itu, juga karena
kesediaan Juliana memimpin Belanda setelah melihat kehancuran
ekonomi sehabis perang di Indonesia. Sebelum menjadi ratu, Juliana
termasuk wanita yang sederhana dan dermawan serta menimba banyak
ilmu di luar negeri. Ia aktif menjadi pimpinan Palang Merah Belanda,
bahkan setelah menjadi ratu pun ia berbusana layaknya wanita Belanda
dan tak suka disebut sebagai Majesty tapi lebih suka sebutan Misses.
Ratu Juliana cukup membuat geger Belanda ketika 27 Desember
30  Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang

1949 menandatangani pengembalian kekuasaan Dutch-Indies kepada


Indonesia setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 23 Agustus
1949. Tak heran jika New York Times menyebut sang ratu sebagai “An
unpretentious woman of good sense and great goodwill”. Pada tanggal,
30 April 1980, Ratu Juliana resmi mengundurkan diri dan tugasnya
dilanjutkan oleh Ratu Beatrix. Setelah mengundurkan diri, ia disebut
Her Royal Highness Princess Juliana of the Netherlands dan meninggal
dunia di saat tidur, 20 Maret 2004.15
Nama Puncak Mandala diberikan oleh pemerintah Indonesia
setelah Papua berintegrasi ke wilayah NKRI. Maksud pemberian nama
tersebut tidak diungkap secara jelas dalam dokumen-dokumen seja-
rah. Dari perspektif filosofis, sangat relevan dan memiliki nilai spiri-
tual dengan mitos peradaban manusia yang diyakini oleh manusia
Aplim Apom. Dari definisinya, Mandala (Sansekerta) berarti diagram
yang melambangkan alam semesta, seni desain Asia Timur yang
melambangkan alam semesta dengan berpola pada lingkaran/titik
sumbu sebagai pusatnya atau terkait dengan kosmologi India kuno yang
berpusatkan di Gunung Meru, suatu gunung yang diyakini sebagai pusat
alam semesta. Di dalam Tantrayana, mandala juga menggambarkan
alam kediaman para makhluk suci, yang sangat penting bagi ritual atau
sadhana Tantra. Saat berlangsungnya sadhana, sadhaka akan menyusun
ulang mandala ini, baik secara nyata ataupun visualisasi.16
Sedangkan konsep mandala dalam kerajaan Sunda lama berarti
tempat suci untuk pusat kegiatan keagamaan. Di mandala ini, kelom-
pok masyarakat (pendeta, murid-murid, atau bahkan pengikut mereka)
hidup untuk membaktikan seluruh hidupnya bagi kepentingan kehidup-
an beragama (Kropak, Carita Parahiyangan). Beberapa kalangan menga-

15
Lih. “Ratu Juliana dari Belanda”, dipublikasikan pada Desember 2004 di www.yulian.
firdaus.or.id. Diakses pada 23 Agustus 2013.
16
Lih. “Sekilas Mengenal mengenai Mandala”, dipublikasikan pada Desember 2011 di www.
ruangkumemajangkarya.wordpress.com. Diakses pada 23 Agustus 2013.
Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang  31

takan bahwa konsep mengenai mandala ini sudah ketinggalan zaman.


Meskipun demikian, apabila dicermati lebih jauh, mandala sebenarnya
mengandung makna filosofis yang mendalam.17

B. Korelasi Penamaan Puncak Mandala dan Spiritualitas


Aplim Apom
Dari uraian tentang penamaan Puncak Mandala di atas, dapat
dikatakan bahwa nama Mandala memiliki korelasi dengan mitos
penciptaan manusia Aplim Apom secara filosofis dan dalam kaitannya
dengan agama kosmologi, meskipun secara historis memang tidak
memiliki hubungan langsung dengan Gunung Aplim Apom. Ada
kesamaan pandangan agama kosmologi antara nama Mandala dengan
mitos penciptaan manusia Pegunungan Bintang bahwa Gunung Aplim
Apom sebagai tempat di mana Atangki (Allah) menciptakan manusia
Pegunungan Bintang di Gunung Aplim Apom. Oleh karena itu, gunung
tersebut dipandang sebagai pusat alam semesta dan juga menggambarkan
alam kediaman Sang Pencipta.
Menurut mitos penciptaan manusia Aplim Apom, Pegunungan
Bintang, pada mulanya dunia ini hampa, tak berisi atau tanpa kehidupan.
Lalu Atangki berfirman, dan jadilah tanah (mangol), jadilah tumbuh-
tumbuhan (abenongmin), jadilah air beserta aneka biota air (okmin).
Diciptakannya segala jenis hewan, baik hewan berkaki maupun melata,
binatang buas maupun yang jinak dan juga beraneka macam binatang.
Atangki lalu menempatkan mereka di darat (Dong Kaer), di air (Ok
Kaer), dan di udara (Dam Kaer). Pada tahap akhir, Ia menciptakan ma-
nusia laki-laki dan menamakannya Kaka I Bea (Bapak segala bangsa)
dan Kaka I Onkora (Ibu segala bangsa). Sepasang manusia pertama

17
Moeis, Syarif, 2010. “Konsep Ruang Dalam Kehidupan Orang Kanekes (Studi Tentang
Penggunaan Ruang Dalam Kehidupan Komunitas Baduy Desa Kenekes Kecamatan
Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten)”. Makalah. Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
32  Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang

ini sering dilambangkan dengan kedua puncak gunung yang sakral


tersebut, yakni Aplim melambangkan Bapa segala bangsa dan Apom
sebagai Ibu segala bangsa.18
Sepasang manusia tersebut ditempatkan di sebuah lembah, yaitu
Bannal Bakon. Di tempat inilah Kaka I Bea dan Kaka I Onkora menu-
runkan 4 keturunan: Urop, Kasip, Kakyar, dan Kalak.19 Anak cucu
mereka kemudian membentuk klan/marga berdasarkan 4 keturunan be-
sar tersebut. Anak cucu tersebut mulai berkembang hingga menyebar
ke berbagai tempat dan membentuk suku-suku sendiri dengan bahasa
yang berbeda-beda. Namun, mereka memiliki mitos penciptaan yang
sama, yaitu berasal dari Aplim Apom. Hal tersebut dibuktikan dengan
kemiripan dalam sistem nilai, memiliki satu bahasa mantra (Masob)
walaupun berbeda-beda bahasa, memiliki keturunan yang sama walau-
pun penyebutan marga menggunakan bahasa yang berbeda-beda, ke-
samaan dalam aksesoris pakaian, dan sebagainya. Bisa saja hal ini
diperdebatkan atas dasar perbedaan suku dan bahasa. Namun, mitos
penciptaan yang diyakini tidak mudah untuk terbantahkan.
Anak cucu manusia Aplim Apom ini telah berkembang dan
membentuk berbagai suku dan sub-suku. Berdasarkan hasil Sidang II
Dewan Adat Daerah Aplim Apom (DAD AA) di Yip Nangul tahun 2006,
suku dan sub-suku di Pegunungan Bintang dibagi menjadi 6 (enam)
suku yang tergabung dalam Dewan Adat Suku (DAS) Aplim Apom,
meliputi: Dewan Adat Suku Ngalum (DAS Ngalum), Dewan Adat
Suku Ketengban (DAS Ketengban), Dewan Adat Suku Kambom (DAS
Kambom), Dewan Adat Suku Murob (DAS Murob), Dewan Adat Suku
Kimki (DAS Kimki), dan Dewan Adat Suku Lepki (DAS Lepki).20

18
Lih. Seri “Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak Tahun 2012: Etnik Ngalum Distrik Oksibil
Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua”. Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan
dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
19
Idem.
20
Lih. “Kabupaten Pegunungan Bintang”, diakses dari www.moslemwiki.com pada 23 Januari
2016.
Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang  33

C. Pengelompokan Suku, Bahasa dan Penempatannya


Para antropolog mengelompokkan sejumlah suku yang ada di
Pegunungan Bintang menjadi tiga kelompok besar: Keluarga Ok (baca
Ok, bukan Oke, berarti air dalam bahasa Ngalum), Keluarga Mek (Me
atau Mek, berarti air dalam bahasa Ketengban), dan Keluarga Omkai.
Penamaan Ok dan Mek bermakna filosofis, teologis, ekologis dan
ekonomis; mestinya dijadikan nama suku bangsa. Penamaan suku yang
ada, seperti suku Ngalum, biasanya untuk menyebut masyarakat yang
tinggal di bagian Timur sekalipun penyebutnya termasuk dalam suku
tersebut, seperti orang dari distrik Okbibab menyebut orang Kiwirok
adalah orang Ngalum, orang Kiwirok menyebut orang Okyip sebagai
orang Ngalum, dan seterusnya ke arah timur menyebut orang Ngalum
sampai di Telefomin, Papua New Guinea. Sebaliknya, orang Telefomin
menyebut orang di bagian barat adalah orang Kufelmin (berarti suku
Kupel atau Ketengban). Hal ini menunjukkan bahwa kata Ngalum
untuk menyebut orang di arah Timur; sama halnya dengan Ketengban.
Menurut bahasa setempat, Ketengban adalah matahari terbenam
(barat). Penyebutan Ketengban juga dari masyarakat setempat untuk
menyebut atau menyapa masyarakat bagian barat. Sementara itu,
masyarakat yang tinggal di bagian timur disebut Yalening (Orang
Ngalum) sekalipun mereka memiliki bahasa yang sama, misalnya
orang Bime menyebut orang Bame atau Okbab adalah orang Yaleneng.
Dengan demikian, penyebutan nama suku Ngalum maupun Ketengban
tidak tetap. Penyebutan asal-usul orang yang tetap atau permanen bagi
setiap individu maupun kelompok untuk menunjukkan eksistensi atau
asal-usul orang tertentu lebih cenderung ke nama tempat tinggalnya
yang diawali dengan kata Ok (Ngalum) dan akhiran Me atau Mek
(Ketengban). Misalnya saya atau dia orang Oksibil, Okbi, Okbem,
Okhika, Bime, Borme, Tanime, Eipomek, Pamek, dan sebagainya.
34  Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang

Istilah Ok dan Me atau Mek berarti sama, air. Pemaknaannya juga


sama sehingga disebut manusia Ok berarti mencakup seluruhnya atau
sebaliknya manusia Me atau Mek berarti seluruhnya juga. Perbedaan
hanya sebatas bahasa, sedangkan filosofinya sama. Karena penyebutan
nama tempat selalu diawali dengan Ok atau akhiran Me/Mek, dalam
suatu interpretasi penelitian para ahli antropologi disebutkan bahwa
manusia Aplim Apom adalah manusia pencari air karena selalu memilih
tempat tinggalnya berdasarkan lokasi-lokasi yang dipercaya dekat
dengan air, tempat mata air, di pinggir aliran sungai, dan tempat-tempat
yang mudah untuk mendapatkan air. Pernyataan tersebut didasarkan
pada penyebutan nama tempat tinggalnya yang selalu diawali dengan
Ok atau akhiran Me atau Mek, misalnya Oknangul, Okbi, Oklip, Bime,
Kirime, Borme, Kameme, Tanime, dan sebagainya. Bahkan beberapa
distrik di wilayah Pegunungan Bintang menggunakan kata Ok dan
Me/Mek, yakni: Distrik Bime, Distrik Borme, Distrik Weime/Kirime
Distrik Eipumek, Distrik Pamek, Distrik Nongme, Distrik Oksebang,
Distrik Oksop, Distrik Okbab, Distrik Oklip, Distrik Okhika, Distrik
Okbemtau, Distrik Okbape dan Distrik Okaom.
Atas dasar ini beberapa ahli antropologi mengelompokannya
sebagai suku bangsa Ok atau Me/Mek. Kedua suku bangsa ini terdapat
di poros tengah pulau Papua yang terbentang dari Sorong sampai di
Samarai, Papua New Guinea. Pembagian wilayah manusia Ok atau Me/
Mek, dapat merujuk pada penelitian Healey (1964) bahwa Ok Family
atau keluarga besar Ok terbagi dalam tiga wilayah: (1) Mountain
Ok, umumnya berada di wilayah Papua New Guinea), yakni: Bimin,
Setaman, Faiwol, Telefomin, Uropmin, Tifalmin, Mianmin, Atbalmin,
Fefolmin, dan Oksapmin; (2) Lowland Ok, yakni: Iwur, Yonggom,
North Muyu, South Muyu dan Ningrum; dan (3) Ngalum Ok.21

21
Alan Healey, 1964, The Ok Language Family in New Guinea. Canberra: Australian National
University. 271pp.
Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang  35

Gambar 6. Ok Family
Sumber: B.Craig & D.Hyndman (Eds.),1990 b,Oceania monographs: Vol.40. Children of Afek: TradiƟon and Change among the
Mountain-Ok of Central New Guinea (pp. 211, 212). Sydney, Australia: University of Sydney.

Mengenai kelompok Me/Mek, Stephen Wurm (1975)


mengelompokan berdasarkan bahasa dan dialeknya: (1) Eastern
Ketengban: Bame, Omban, Bime, Ony, Una (Goliath), dan Eipomek;
(2) Northern: Kosarek dan Yali, yakni Nipsan dan Nalca; (3) Western:
Korupun dan Sela, yakni Dagi, Sisibna dan Deibula.22

22
Wurm, S.A., 1975, New Guinea Area Languages and Language Study, Volume 1: Papuan
Languages and the New Guinea Linguistic Scene. Pacific Linguistics, Research School of
Pacific and Asian Studies, Australian National University, Canberra.
36  Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang

Gambar 7. Mek Family


(Sumber: Rühlemann, in Heeschen, 1994)

Sedangkan keluarga Omkai memiliki beberapa sub-suku yang


menyebar di wilayah utara Pegunungan Bintang, yaitu: Lepki, Kimki,
Yetfa, Kosadle, Kauru, Usku dan Tofamna.23

23
Andersen, Øystein Lund. 2007. The Lepki People of Sogber River, New Guinea.
Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang  37

Gambar 8. Kelompok Omkai


(Sumber: Andersen dan Øystein Lund, 2006)

Pengelompokan suku bangsa Ok atau Me/Mek oleh para ahli


antropologi hingga saat ini belum menyentuh pada makna filosofinya
karena konsentrasi kajiannya lebih tertuju ke bidang linguistik (bahasa)
dan etnografi (etnis). Untuk itu, penyebutan sebagai manusia Ok atau
Me/Mek perlu direkonstruksi ulang dengan pendekatan falsafah hidup
suku-suku bangsa asli di Pegunungan Bintang.
Bagi suku bangsa di Pegunungan Bintang, Ok atau Me/Mek
memiliki makna multidimensi. Ketika orang menyebut atau berpikir
tentang air, pemahaman dan pengertiannya akan memiliki makna yang
multitafsir dan berdimensi filosofis, teologis, ekologis, dan ekonomis.
Oleh karena itu, mereka selalu mengintegrasikan air dengan komponen
hidup utama yang lain: tanah, tanaman, alam dan ternak, dengan
menyebutnya Ok, Mong, Nal dan Mangol atau air, tanaman, alam,
ternak dan tanah.
38  Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang

Menurut penelitian Apolonaris Urpon (2008), air selalu dimaknai


sebagai sumber kesuburan dan kehidupan dengan menyebutnya seba-
gai Muk dan Ok. Muk berarti susu kehidupan. Ok melambangkan iden-
titas diri suatu klan dan simbol hakikat kehidupan itu sendiri karena
Ok mendatangkan dan menciptakan kehidupan yang hakiki, yakni:
kesuburan hidup bagi manusia, tumbuhan, tanaman dan ternak serta
menciptakan pembaharuan, kesejukan, perdamaian, keselamatan, kesu-
cian, ketenangan, ketabahan, ketentraman, kedewasaan dan nilai-nilai
hidup lainnya.24
Kata Ok atau Me/Mek sering digunakan dalam bentuk bahasa kiasan
untuk menunjuk atau menyebut sumber kehidupan. Dalam bentuk fisik,
dilambangkan dengan simbol gemuk babi dan perempuan sebagai awal
proses kehidupan bagi seorang manusia. Artinya, manusia dibentuk
oleh Atangki (Allah) dalam rahim perempuan dan dilahirkan ke dunia
untuk mencari kehidupan sejati. Upaya pencariannya tercermin dari
bahasa pertama yang diungkapkan oleh seorang bayi yakni ”Ok/Me”,
maksudnya ia meminta air sebagai sumber baginya untuk menjalani
kehidupan ini. Kemudian pada detik-detik terakhir hidupnya sebelum
menghadap sang Ilahi, manusia Aplim Apom selalu meminta Ok (air),
maksudnya meminta jalan menuju kehidupan kekal.

D. Kehidupan Manusia Aplim Apom


1. Ap Iwol

Manusia Ok atau Mek ini memiliki Ap Iwol (dalam bahasa


Ketengban Mem Ati) sebagai warisan dari manusia pertama di
Aplim Apom. Ap Iwol yang dimaksud secara harafiah dipilah
menjadi 3 kata, yaitu Ap (rumah), I (Mereka), Wol (Jalan). Menurut
susunan kata, rumah menempati urutan pertama kemudian diikuti

24
Urpon, Apolonaris, 2008, “Saya Pemimpin Karena Saya Kaya (Studi Tentang Kepemimpinan
Tradisional Suku Ngalum dan Perubahannya di Pegunungan Bintang-Papua)”. Magister
Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang  39

kata mereka dan diakhiri kata jalan. Meskipun demikian, kata Ap


Iwol bukan semata-mata persoalan bahasa (linguistik) atau permasalahan
akar kata (etimologi) atau permainan tata bahasa (gramatika). Namun,
kata Ap Iwol mengandung makna yang sangat luas dan mendalam. Kata
ini memiliki multimakna dan berdimensi filosofis, spiritual, ekologis,
ekonomis dan teologis. Bagi manusia Aplim Apom, Ap Iwol merupakan
rumah kehidupan sehingga rumah tersebut menjadi jalan menuju rumah
kehidupan yang sebenarnya. Penekanannya pada pengertian rumah
kehidupan. Pengertian ini memiliki makna yang sangat mendalam dan
mendasar bagi kehidupan manusia Aplim Apom. Tentu akan muncul
beragam interpretasi sesuai konteks, perspektif dan latar belakang sudut
pandang.25
Pengertian Ap Iwol secara luas sebagai sebuah suprasistem.
Artinya, induk dari berbagai sistem atau bagian dari sistem yang lebih
besar. Suprasistem tersebut sebagai pusat kehidupan (center of life) bagi
manusia, baik secara individu maupun kelompok. Sistem yang dimaksud
adalah kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, yang berada
dalam satu kesatuan dengan memiliki unsur-unsur penggerak, yaitu
masyarakat yang tergabung dalam klan/marga atau lintas klan/marga
atas dasar hubungan kekerabatan secara historis, terlebih keluarga atau
individu yang tergabung dalam Ap Iwol.
Secara fisik Ap Iwol dilihat sebagai sebuah rumah adat bagi klan
tertentu atau identitas klan dari kelompok masyarakat yang memiliki
hubungan historis menurut mitos dan peradaban manusia Aplim
Apom. Ap Iwol sebagai suprasistemnya, maka sistemnya adalah
sistem pemerintahan (government system), sistem politik (political
and leadership system), sistem sosial/hubungan kekerabatan (Social/
Kinship System), sistem ekonomi (economic system), sistem pendidikan
dan ilmu pengetahuan (educational and scientific system), sistem

25
Lih. “Revitalisasi Ap Iwol, Langka Membangun Identitas Diri”, dalam Majalah Oknews edisi
perdana Mei 2015, hlm. 43.
40  Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang

religi/teologi (religion system), sistem kesenian (art system), dan


sebagainya. Semua dikendalikan oleh sistem pemerintahan Ap Iwol
dengan tujuan menjaga kestabilan masyarakat yang tergabung dalam
Ap Iwol, menjaga tingkah laku masyarakat, menjaga fondasi Ap Iwol,
menjaga kestabilan keamanan, perekonomian, sosial, nilai-nilai religi
dan pemerintahannya.
Melalui Ap Iwol seluruh aspek sumber daya diatur dan dikelola,
terlebih wisdom dan mind yang diwariskan nenek moyang pertama
ketika Atangki menciptakan manusia Aplim Apom dan memberikan
“Wol” (Jalan Kehidupan). Gunung Aplim Apom yang disakralkan
ini sesungguhnya hanya sebatas tempat, sedangkan roh Aplim Apom
sesungguhnya ditempatkan di Ap Iwol pertama dan kemudian dibagikan
kepada anak cucunya. Roh yang dimaksud adalah “wisdom” atau “wol”
tentang rahasia-rahasia kehidupan untuk menjadi manusia yang “hidup”
di dunia dan di akhirat. Wisdom yang diberikan kepada manusia pertama
ini dibagikan kepada anak cucunya melalui Ap Iwol setiap marga atau
lintas marga yang memiliki hubungan kekerabatan.

2. Sistim Kepemimpinan

Layaknya sebuah organisasi pemerintahan modern yang dikelola


dan diatur seorang presiden/gubernur/bupati/walikota, seluruh aspek
kehidupan dikendalikan dan diatur oleh otoritas pemerintahan Ap Iwol
yang terdiri atas sejumlah Bigman (pria berwibawa) sesuai dengan
tugas dan fungsi masing-masing. Terdapat beberapa pemimpin (tokoh)
dalam sebuah Ap Iwol. Oksangki adalah tokoh adat yang bertanggung
jawab pada kesenian dan upacara-upacara sakral yang melibatkan tari-
tarian. Om Bonengki adalah tokoh adat yang bertangung jawab dalam
hal pengelolaan lahan kebun dan makanan pada suatu komunitas.
Secara khusus, jenis tanaman yang menjadi tanggung jawab tetua
Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang  41

adat ini adalah om (keladi) dan boneng (ubi rambat). Ap Iwol


adalah seorang pemimpin rumah adat pria. Ia mengatur masalah-
masalah keagamaan dan menjadi pemuka upacara dan ritus yang
berkenaan dengan daur hidup, dengan kekuatan-kekuatan di alam gaib
dan manusia. Ap Iwol sering kali dipandang sebagai tokoh adat yang
meneruskan berbagai pengetahuan yang diperolehnya dari generasi
sebelumnya. Kaka Nalkonki adalah tokoh adat yang bertanggung jawab
dalam hal keamanan masyarakatnya, ia menjadi panglima perang.
Dia tidak hanya berperan sebagai pemimpin perang, tetapi juga harus
mahir dalam mengatur taktik perang. Ia juga dapat menghentikan suatu
permusuhan yang berlarut-larut dengan jalan mendamaikan pihak-pihak
yang bermusuhan. Barki adalah tokoh adat yang berwenang menerima
warisan moyang dan berperan sebagai lakonis lagu sakral dalam setiap
upacara ritual. Basen/Lebuk Ngolki adalah tokoh adat yang bertanggung
jawab dalam pendidikan adat pada jenjang Top Level.26
Merupakan suatu keistimewaan bahwa sejumlah pemimpin
tersebut tidak dipilih oleh masyarakat layaknya cara-cara modern,
namun terseleksi secara alamiah. Seorang pemimpin akan kelihatan
secara alami karena terbentuk melalui pola pendidikan adat yang
tersistematisasi dari jenjang tingkat dasar hingga pada pendidikan
tingkat tinggi. Pendidikan tersistematisasi atau lebih dikenal dengan
istilah “pendidikan inisiasi adat” merupakan pendidikan terstruktur,
terprogram, dan berjenjang mulai dari dasar, menengah hingga
pendidikan tinggi yang diselenggarakan di bawah otoritas Ap Iwol
masing-masing klan ataupun gabungan klan atas dasar keturunan.
Pendidikan tersebut, yakni Kupet (pendidikan dasar), Kamil (pendidikan
menengah) dan Basen, Lebuk/Etildon (pendidikan tinggi) khusus untuk
kaum laki-laki.

26
Urpon, Apolonaris, 2008, Saya Pemimpin ....
42  Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang

3. Pola Pemukiman/Perkampungan

Penyebaran manusia Aplim Apom ke berbagai tempat sekaligus


membawah Ap Iwol sebagai “Wol” (Jalan Kehidupannya) mulai dari
Yahukimo Timur sampai ke Tabubil, North Fly, Western Province
(PNG) dan di Telefomin, Sandaun Province (PNG), yang ke Utara
keluarga suku Omkai dan ke Selatan (Iwur/Kawor) dikenal dengan
nama Murop-Kambom. Perbedaan penamaan Ap Iwol diakui hanya
sebatas bahasa dan bukan perbedaan sendi-sendi substansial. Setiap Ap
Iwol memiliki hak atas tanah ulayat yang pemiliknya melekat pada Ap
Iwol yang diatur oleh seorang pemimpin yang dipilih, bukan karena
turunan melainkan karena kapasitasnya yang matang secara intelektual,
emosional dan spiritual melalui pola pendidikan yang tersistematis.
Wisdom (Wol) yang diberikan Atangki diwujudnyatakan juga
dalam pola-pola pembangunan secara fisik, seperti pola pemukiman
manusia Aplim Apom yang mengatur manusia agar hidup sesuai
dengan aturan. Di setiap perkampungan, mereka membangun beberapa
rumah dengan fungsi masing-masing. Bokam Iwol merupakan rumah
untuk pembentukan karakter manusia melalui penyelenggaraan
pendidikan inisiasi adat, sebagai tempat menyimpan barang-barang
sakral dan sebagai kantor pemerintahan. Abip merupakan rumah
keluarga (bapa, ibu, anak-anak dan kakek/nenek) atau sebagai pusat
perekonomian keluarga. Seluruh aktivitas hidup keluarga inti, kerabat
dan sanak saudaranya terjadi di rumah ini. Ap Bokam merupakan rumah
khusus laki-laki remaja, layaknya asrama putra. Mereka dipisahkan
dari orang tua agar mereka hidup lebih mandiri, namun untuk urusan
perekonomian mereka datang ke Abip. Ap Sukam merupakan rumah
khusus untuk perempuan, sebagai tempat tinggal bagi perempuan yang
memasuki masa datang bulan (menstruasi) atau tempat persalinan.
Tempat ini digunakan juga sebagai tempat pembinaan dan pengajaran
bagi perempuan yang masih usia remaja atau ibu-ibu muda.
Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang  43

Gambar 9. Pola pemukiman suku Ngalum Ok, Pegunungan Bintang


(Sumber: Doc DAD. Aplim Apom Sibilki)

4. Kehidupan Kesenian

Berbagai suku dan sub-suku manusia Aplim Apom ini memiliki


bermacam karya seni. Di dalam satu suku, minimal terdapat 2 seni. Hal
ini membuktikan betapa kaya sumber daya seni di Pegunungan Bintang.
Mengenai seni tari, Suku Ngalum Ok memiliki Tari Oksang (tarian
kesuburan dan pendewasaan), Tari Bar (tarian pengucapan syukur)
dan Tari Kurip (tarian pengucapan syukur hasil kebun). Sedangkan
di Ketengban terdapat Tari Limne (tarian persahabatan), Tari Aimut
(tarian pengucapan syukur) dan Tari Seleng (tarian persahabatan). Di
wilayah Murob-Kambon, ada Tari Lok (tarian penyembuhan), Tari
Amsang (tarian pengucapan syukur), Tari Etol (tarian pengucapan
syukur), Tari Yambir/Jangkit (tarian penjemputan), Tari Komyom
(tarian pendewasaan) dan Tari Radukop (tarian penyuburan tanaman).
Di wilayah utara, Keluarga Omkai (Lepki dan Kimki) memiliki Tari
Ap Barwon (tarian pengucapan syukur), Tari Yasi (tarian mengantar
maskawin), Tari Wasuro (tarian untuk melamar perempuan), Tari
Koswal (tarian yang dilakukan setelah penyerahan maskawin), Tari
44  Bab II Mengenal Manusia Aplim Apom di Pegunungan Bintang

Halam Sorwal, Tari Kelasteramwal, Tari Usa dan Tari Bit (ketiganya
tarian pengucapan syukur). Masih banyak lagi tari-tarian yang belum
disebutkan. Semua tarian ini memiliki busana tari yang berbeda-beda
sebagai tanda betapa indahnya kekayaan seni di Pegunungan Bintang.
Mengakhiri bagian ini, penulis menyapa para pembaca yang
budiman dengan salam khas dari beberapa suku di Pegunungan
Bintang: Yepmum (Suku Ngalum), Telepe (Suku Ketengban), Lapmum
(Suku Murob), Asbe (Suku Kimki), Yelako (Suku Lepki), Seinekoto dan
Popdukane (Sub suku dari DAS Lepki).
Bab III
Sejarah Gereja Katolik
di Pegunungan Bintang

G ereja Katolik di Tanah Papua yang kemudian sampai di Tanah


Aplim Apom, Pegunungan Bintang dan eksis seperti sekarang ini
dimulai oleh misionaris dari beberapa ordo yang taat dan setia kepada
Gereja Katolik Roma. Kedatangan para misionaris itu melalui berbagai
tantangan dan pasang-surut perjalanan yang sangat memakan banyak
korban jiwa, waktu, fasilitas dan banyak hal lain.
Bagian ini secara khusus mengulas tentang sejarah Gereja Katolik
di Pegunungan Bintang. Kedatangan para misionaris Fransiskan (OFM)
di Pegunungan Bintang sekaligus membawa peradaban modern bagi
orang Aplim Apom. Kedatangannya menjadi titik awal perkenalan
orang Ngalum dan Ketengban serta sub-suku lainnya di Pegunungan
Bintang dengan dunia luar.
Namun, sebelum pembahasan yang terfokus pada awal mula misi
Gereja Katolik di Pegunungan Bintang, sebagai bagian dari Gereja
Katolik Papua, akan diuraikan Sekilas Sejarah Gereja Katolik di Papua
dan Sejarah Ordo Fransiskan di Papua.
46  Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang

A. Sekilas Sejarah Gereja Katolik di Papua


Dari beberapa referensi diketahui bahwa pada tanggal 19 Juli 1844,
Paus Gregorius XVI mengeluarkan Dekrit Ex Debito Pastoralis untuk
membentuk dua vikariat: Melanesia-Mikronesia yang berada dalam
wilayah seluas 125 km2-160 km2 meliputi Nova Guinea (Papua) dan
pulau-pulau sekitarnya.27
Hampir 50 tahun kemudian setelah dikeluarkannya dekrit Paus
itu, pada tahun 1892, Indonesia Timur dipisahkan dari Vikariat Jakarta
dengan nama Prefektur Apostolic Nederlands Nieuw Guinea, yang
berpusat di Langgur, pulau Kei Kecil, Maluku. Selanjutnya, pada tanggal
22 Mei 1895, seorang pastor Yesuit bernama C. Le Cocq Ardmanfile, SJ
(1846-1896) tiba di Fakfak. Ia meninggal karena mengalami kecelakaan
bersama perahu dalam perjalanannya menuju Kokonao, Kabupaten
Mimika pada tanggal 27 Mei 1896. Misinya tidak dilanjutkan lagi oleh
rekan seordonya. Hampir 10 tahun tidak ada pelayanan misi Katolik di
Tanah Papua semenjak Pastor Le Cocq mengalami kecelakaan.
Sebelum Pastor Le Cocq menginjakkan kakinya di Fak-Fak, pada
1892 di pantai Selatan sudah ada kunjungan dari seorang pastor Yesuit
lain, P. van der Heijden SJ, namun ia tidak tinggal di wilayah itu. Pada
1893 ia kembali lagi dan menetap di daerah ini, tetapi rencananya gagal
karena pos pemerintahan Belanda di Merauke telah ditutup.
Hampir 10 tahun kemudian, atas desakan Pemerintah Australia
Pemerintah Belanda membuka lagi pos pemerintahan pada tanggal
13 Ferbuari 1902 di sekitar muara Sungai Maro, Merauke. Pada
tahun itu juga, ada kunjungan misionaris Yesuit lain, Pater Martnes,
SJ. Namun, ia hanya datang ke Merauke untuk melayani para tentara

27
Keuskupan Agung Merauke. Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan. Merauke: Keuskupan
Agung Merauke. 1999. dan Mewengkang, Jus F. MSC, Bercermin Pada Wajah-Wajah
Keuskupan Gereja Katolik Indonesia, ed. F. Hasto Rosariyanto, SJ., Yogyakarta: Kanisius,
2011.
Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang  47

dan polisi katolik selama seminggu. Pada tahun yang sama (1902),
Asisten Residen di Merauke yang pertama, J.H. Kroesen mengundang
misionaris Hati Kudus Yesus (MSC) yang mulai berkarya di Indonesia
Timur dan berpusat di Langgur agar datang ke Papua Selatan untuk
pekerjaan misi Katolik.28
Sejak itu Ordo Hati Kudus Yesus (MSC) memulai karya misi
Kristus di pantai selatan Papua, khususnya di wilayah-wilayah yang
kini menjadi wilayah pemerintahan Kabupaten Merauke, Kabupaten
Mappi, Kabupaten Asmat dan Kabupaten Boven Digul. Salah satu
misionaris MSC yang kemudian menyebarkan Injil Kristus sampai ke
daerah pegunungan tepatnya di Paniai adalah Pater Tillemans, MSC.
Dalam perkembangan selanjutnya, Gereja Katolik di Papua
dilayani oleh beberapa ordo yang berbeda sesuai spiritualitas hidup para
pendirinya masing-masing. Ordo-ordo itu saling mengklaim wilayah
pelayanan dan pewartaan Injil Kristus.
Ordo merupakan suatu komunitas religius yang hidup bersama
dan menaati perjanjian hidupnya dengan menerapkan suatu semangat
(spiritualitas) hidup sesuai spiritualitas hidup pendirinya. Misalnya
Ordo Fratrum Minorum atau Ordo Saudara-Saudara Dina (OFM)
yang melayani umat Allah di Wilayah Keuskupan Jayapura merupakan
ordo yang didirikan oleh Fransiskus dari Asisi, Italia. Spiritualitas atau
semangat hidupnya adalah hidup miskin, mencintai perdamaian dan
bersahabat dengan alam.
Pada awalnya, setiap ordo yang datang ke Tanah Papua hanyalah
untuk melaksanakan dan menyebarkan Injil Kristus yang didorong oleh
semangat (spiritualitas) para pendiri ordo tersebut. Namun kemudian
basis pelayanan dan pewartaan Injil dari ordo-ordo itu dikembangkan
selanjutnya menjadi suatu wilayah kerja Keuskupan dalam hierarki
Gereja Katolik.

28
Idem.
48  Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang

Di Tanah Papua ada 5 Keuskupan: Keuskupan Agung Merauke


(merupakan wilayah kerja Ordo Hati Kudus Yesus atau Missionarii
Sacratissimi Cordis Iesu/MSC), Keuskupan Jayapura (merupakan
daerah kerja Ordo Fransiskan atau Ordo Fratrum Minorum/OFM),
Keuskupan Manokwari-Sorong (merupakan daerah kerja Ordo Santo
Agustinus/OSA), dan Keuskupan Agats (merupakan daerah kerja Ordo
Salib Suci atau Ordo Sacred Cross/OSC), serta Keuskupan Timika
(basis kerja Ordo Imam-imam Hati Kudus Yesus atau Sacré-Cœur de
Jésus/SCJ).
Gereja Katolik di Pegunungan Bintang termasuk dalam wilayah
pelayanan Keuskupan Jayapura karena wilayah ini dirintis oleh pastor-
pastor dari Ordo Fransiskan. Ordo ini didirikan Santo Fransiskus dari
Asisi pada tahun 1209. Sejak awal ordo, ada saudara-saudara yang
tinggal di biara-biara (conventus atau convent) dan ada juga yang
mengembara. Saudara-saudara yang tinggal di biara dikenal dengan
nama para konventual sedangkan para saudara yang mengembara
dikenal dengan nama spiritual. Kedua model hidup itu menjadi pola
hidup para saudara pada masa itu dalam menghayati pola hidup Santo
Fransiskus dari Assisi. Ordo Saudara Dina Konventual merupakan ordo
Fransiskan yang tertua dan ordo pertama pria yang kemudian menjadi
ordo mandiri pada tahun 1517. Sesuai dengan nama yang disandang,
Ordo Fransiskan Konventual memiliki tiga nilai hidup membiara:
fraternitas (persaudaraan), minoritas (kedinaan) dan konventualitas
(membiara). Oleh karena Pegunungan Bintang merupakan basis
pelayanan Ordo Fransiskan, buku ini mengkaji peran Ordo Fransiskan
dalam membuka basis penginjilan dan pelayanan karya sosial Gereja di
Pegunungan Bintang.
Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang  49

B. Gambaran Umum Fransiskan di Papua


Pada tanggal 29 Desember 1936, berangkatlah enam orang
Fransiskan Belanda (lima orang pastor dan seorang bruder) menuju tanah
misi di Nederlands Nieuw-Guinea (sekarang disebut Tanah Papua).
Sebelum berangkat, dirayakan upacara pengutusan dalam bentuk misa
agung di Gereja Hartenbrug di Leiden. Pastor Provinsial, Honoratus
Caminada, OFM menyerahkan sebuah salib misi kepada para misionaris
tersebut. Perayaan tersebut dilakukan pada hari biasa tetapi disiarkan
secara langsung oleh Radio Katolik Belanda. Hal ini menunjukkan
betapa pentingnya peristiwa tersebut bagi umat Katolik.29
Para Fransiskan tersebut menginjakkan kakinya di Nederlands
Nieuw-Guinea pada tanggal 18 Maret 1937. Karena itu, tanggal ini
dipandang sebagai titik permulaan kehadiran Fransiskan di Papua.
Pembagian wilayah misi Fransiskan antara lain: Moors dan Vendrig
ditentukan untuk Manokwari, sedangkan Louter dan Tettroo berangkat
ke Kaimana. Dari Kaimana mereka pergi ke Fakfak, tepatnya ke
Gewirpe. Pada tahun 1938 tibalah Pastor Frankenmon di Manokwari.
Kemudian dengan kapal KPM tiba di Hollandia. Di sana, dia menetap
dan melayani umat di Tanah Merah (Sentani Barat).30
Pada tahun 1939, Frankenmon membuka pos baru di Arso (sekarang
Kabupaten Keerom). Baru pada tanggal 1 September 1952, Fransiskan
mengambil alih daerah Mimika, dulunya merupakan wilayah pelayanan
Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC). Mereka (MSC) melayani
wilayah ini sejak tanggal 27 Mei 1972 melalui wilayah Kokonao. Di
wilayah danau-danau Wissel (Paniai, Tigi dan Tage) dengan dataran
Kamuu dan wilayah Mappia: sangat luas dan baru pada tahap pertama
perkembangannya. Daerah ini dipusatkan di Enarotali (sekarang ibu
kota Kabupaten Paniai). Perkembangan di sana mulai tampak ketika

29
Jan Sloot. 2009. Fransiskan Masuk Papua ... ..
30
Idem.
50  Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang

pada tanggal 11 November 1937 pesawat yang dipiloti Wessel mendarat


di Danau Paniai. Pada saat-saat itu, juga ekspedisi dimulai, dipimpin
oleh Van Eechoud. Kemudian Pater Tillemans, MSC bergabung ber-
sama mereka. Pater Tillemans, MSC telah berhasil membuka pos
misi di beberapa daerah di wilayah Paniai. Melalui kesepakatan Mr.
Grent (pimpinan MSC) dan pimpinan Fransiskan di Jayapura, akhirnya
misionaris Fransiskan diberi kesempatan bergabung bersama Pater
Tillemans MSC memperkuat misi Katolik.31
Pada akhir tahun 1951, wilayah Timika Pegunungan, seorang
misionaris bernama Misael Kammerer menjajaki penduduk setempat
yang disebut orang-orang Ugunduni atau sekarang lebih dikenal
dengan suku Amungme (sebelah selatan Pegunungan Carstensz). Misi
di daerah ini lebih berkembang pesat ketika ada dukungan dari putra
daerah asal suku Amungme, Mozes Kilangin. Atas jasanya pada Hari
Raya Paskah tahun 1988, Mozes memperoleh tanda kehormatan ‘Pro
Ecclesia et Pontifice’. Sang putera daerah tidak diizinkan Tuhan untuk
hidup lebih lama dalam menyebarkan Injil. Mozes Kilangin meninggal
dunia di Timika tahun 1998, kemudian namanya diabadikan sebagai
nama Bandara Timika.32
Di wilayah Suku Moni (saat ini Kabupaten Intan Jaya) dan daerah
Ilaga (kini ibukota Kabupaten Puncak), misi Katolik berkembang ketika
ada kunjungan dari Pastor Misael Kammerer tahun 1952.
Sementara itu, misi Fransiskan di Lembah Baliem (Wamena) mulai
dikembangkan ketika pada tanggal 19 Januari 1958. Pater Blokdijk,
OFM mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Lembah Baliem.
Blokdijk membawa dua orang pemuda dari Waris (Keerom) sebagai
pembantunya. Sebagai tempat tinggal, mereka memperoleh sebuah
tenda militer tua dari tentara Amerika di Wesagima/Wesaima, tidak jauh

31
Idem.
32
Keuskupan Agung Merauke. Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan ... .
Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang  51

dari pos pemerintahan. Pelan tetapi pasti, misi Katolik berkembang di


seluruh Lembah Baliem. Oleh karena itu, agama Katolik berakar kuat
di Lembah Baliem atau sering dikenal dengan nama Lembah Agung.33

C. Fransiskan di Pegunungan Bintang


1. Datangnya Tim Ekspedisi

Sebelum Gereja Katolik yang dirintis oleh para misionaris dari


Ordo Fransiskan (OFM) masuk di wilayah Pegunungan Bintang.
Daerah ini awalnya dimulai oleh beberapa organisasi untuk kepentingan
penyelidikan ilmiah. Kedatangan anggota tim ekspedisi dari beberapa
organisasi yang berbasis di Belanda itu menandai mulai masuknya
peradaban modern di negeri Aplim Apom, Pegunungan Bintang.
Dimulai dari survei tahun 1938-1939 oleh perusahaan pertam-
bangan NV Mijnbouw Maatschappij Nederlands Nieuw Guinea, de-
ngan mengutus Ir. P.F. de Groot dan M.G.M. Bartels untuk melakukan
ekspedisi ke daerah Pegunungan Bintang sampai di hulu Sungai
Digul. Pada kesempatan itu, mereka juga mengunjungi Lembah
Sibil.34 Berdasarkan laporan dari perusahaan tersebut, pada tahun
1953 Nederlands Maatschappijk Onderzoek in Oost-en West Indiẻ
(perkumpulan untuk penyelidikan ilmiah tentang keadaan alam) dan Het
Koninklikj Nederlandsch Aardrijkskunding Genootschap (persekutuan
para geolog kerajaan Belanda) atas prakarsa Prof. Vening Menesz
membentuk tim untuk melakukan kajian ilmiah. Pada tahun 1959,
dibentuklah sebuah yayasan tersendiri untuk ekspedisi tersebut, yaitu
Stichting Expeditie Nederlands-Nieuw-Guinea (Yayasan Ekspedisi
Nieuw Guinea Belanda). Yayasan ini menunjuk Dr. L. Brongersma
sebagai pemimpin umum dan G.F Venema sebagai pemimpin teknis.35

33
Jan Sloot, 2009, Fransiskan Masuk Papua ... .
34
Idem.
35
Lih. “Sterrengebergte-expeditie” ...
52  Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang

Sebelumnya untuk kepentingan ekspedisi tersebut kontroler


J.W. Shoorl, kepala pemerintahan di Mindiptanah (kini wilayah
kabupaten Boven Digoel) bagian dari residensi Nieuw-Guinea Selatan,
mendapatkan perintah untuk melakukan perjalanan ke Lembah Sibil
(sekarang Oksibil, ibukota kabupaten Pegunungan Bintang) pada tahun
1955. Nol Hermans, tokoh perintis lapangan terbang Oksibil juga ikut
dalam rombongan J.W. Shoorl. Sampai di Lembah Oksibil, Shoorl
mengusulkan untuk membuka lapangan terbang. Saat itulah, mulai
membangun lapangan terbang. Namun, karena keadaan tanah berawa dan
sungai sangat berkelok-kelok, yang terus-menerus berpindah alirannya,
pembangunan ditunda untuk dilakukan kajian terlebih dahulu oleh para
ahli. Akhirnya pada pertengahan tahun 1957, Nol Hermans bersama
sepuluh agen polisi, seorang pakar bandara, dan 234 kuli angkut yang
sekaligus untuk membantu pembangunan lapangan terbang berangkat
dari Mindiptanah melalui Jalan Kamka yang baru selesai dibuat. Sampai
di Lembah Sibil mereka mengerjakan lapangan terbang 1 tahun lebih.
Mereka juga dibantu masyarakat setempat. Akhirnya tanggal 1 Januari
1958 lapangan selesai dikerjakan dan didarati oleh sebuah pesawat jenis
Cessna dan tidak lama kemudian diikuti oleh Twin Pioneer bermesin
dua. Setelah lapangan berhasil dibangun, Nol Hermans pindah tugas ke
Afrika meninggalkan rekannya Sneep.36 Ketika Nol Hermans hendak
meninggalkan Lembah Sibil, Isomka Bomdoki menyampaikan pesan,
disaksikan oleh Sneep.
“Reman dan Snepki (panggilan untuk mereka dua) mengapa kalian
pergi? Engkau meningggalkan ibu kalian karena ia tidak dapat memberi
kalian makan. Kami selalu memberi kalian makan, mengapa kalian
kembali ke dunia yang tidak dapat mengurusi kalian dan yang telah kalian
tinggalkan?”37

36
Schoorl, J.W. (Pim), 2011, Belanda di Irian Jaya (Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-
1962). Jakarta: Penerbit Garba Budaya.
37
Idem.
Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang  53

Perkataan itu yang menurut Nol Hermans tidak akan pernah di-
lupakan dan sangat menentukan dalam tugas berikutnya di Afrika.
Berikut adalah kesannya selama ia tinggal di Lembah Sibil dari tahun
1955-1958.
“Di mata saya, hidup orang Sibil (Aplim Apom) berjalan teratur, dari
lahir sampai mati segala sesuatu diatur sampai mendetail. Bahkan perang
pun berjalan menurut pola yang tetap dan tradisional.”38

Setelah lapangan dibangun mulai berkonsentrasi untuk ekspedisi


lebih lanjut. Akhirnya pada tanggal 9 September 1959 tim ekspedisi
mengibarkan bendera Belanda di Puncak Juliana (Gunung Aplim) atau
Puncak Mandala sebagai tanda berakhirnya ekspedisi Sterrengebergte.39
Setelah itu, Brongersma (pemimpin ekspedisi) berkunjung ke Hollandia
(Jayapura). Di Jayapura, ia tinggal beberapa hari, kemudian pada tanggal
14 September 1959 kembali ke Lembah Sibil untuk menyelesaikan
pekerjaan yang belum diselesaikan. Pesawat ditumpangi Brongersma,
ikut pula Pastor Jan Van De Pavert, OFM.40
Para tim ekspedisi memberikan sisa-sisa barang perlengkapan
ekspedisi kepada Jan Van De Pavert. Dengan barang itu dia membangun
tempat tinggal di pos pemerintahan di sana. Setelah marinir berangkat
bersama tim ekspedisi, Van De Pavert berpendapat bahwa misi harus
memusatkan perhatian pada wilayah Oknangul (sekarang Kiwi).
Informasi sementara yang diperoleh itu rupanya menunjukkan bahwa
di wilayah-wilayah lain para penduduk sangat jarang dan terpencar-
pencar. Ternyata hal itu tidaklah benar.41

38
Idem.
39
Idem.
40
Jan Sloot, 2009, Fransiskan Masuk Papua ... .
41
Idem..
54  Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang

2. Karya Fransiskan di Wilayah Selatan Pegunungan Bintang

a. Paroki Roh Kudus Mabilabol Oksibil


Paroki Roh Kudus Mabilabol merupakan paroki induk dan
pusat penyebaran Agama Katolik di Pegunungan Bintang. Misionaris
Fransiskan (OFM) memulai karya pewartaan Injil Kristus di Pegunungan
Bintang dan bermula dari Oksibil. Dalam perkembangan selanjutnya,
Oksibil menjadi sebuah paroki; dalam hierarki Gereja Katolik setingkat
di bawah keuskupan setelah dekenat.
Beberapa pekan setelah Tim Ekspedisi dari Belanda meninggalkan
Oksibil, tibalah Pater Herman Mous, OFM, dan menjadi pastor resmi
di wilayah Oksibil menggantikan Pater Jan Van De Pavert. Dia mem-
peroleh beberapa pemuda Muyu sebagai katekis dengan maksud untuk
menempati pos-pos tetap di sana-sini. Alasannya, hadirnya dua orang
misionaris dari UFM (Unevangelized Field Mission), sebuah organisasi
zending yang sudah lebih dulu berada di Mabilabol, Oksibil. Awal tahun
1960, mata Mous mulai sakit dan ia harus pergi ke Rabaul (Papua New
Guinea). Pada permulaan Mei 1960, dia kembali. Selama masa itu, Van
De Pavert menggantikan dia.42
Untuk menetap dan memulai karya pastoralnya di Lembah Sibil,
Pastor Mous mulai membangun sebuah rumah sebagai pastoran. Karena
ia bukanlah seorang ahli bangunan, ia memanggil Bruder Gabriel
Roes, OFM dari Jayapura untuk tiba di Mabilabol, guna menolong
Mous menyelesaikan pastorannya. Bruder Gabriel tiba di Oksibil dan
membangun sebuah rumah sebagai pastoran dan merobohkan rumah
yang sudah dibangun sebelumnya oleh Van De Pavert. Pada tanggal
25 Juli, Pater Mous membuka sekolah dasar di Mabilabol dengan
43 orang murid. Sementara itu, dia telah mengadakan perjalanan ke
Lembah Bi-Bab (Okbi & Okbab). Pada perjalanan kembali, dia singgah
di Oksop (sepanjang Sungai Digoel) dan mendapati bahwa wilayah

42
Idem.
Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang  55

itu jauh lebih padat penduduknya daripada yang dipikirkan semula.


Pada perjalanannya dalam bulan November tahun itu, sampailah dia di
Oknangul dan menempatkan seorang katekis di sana.43
Berhubung daerah itu belum berada di bawah pemerintahan,
Pembantu Administrator, J.Born, mengingatkannya bahwa penempatan
orang-orang di Oknangul merupakan tanggung jawab pastor. Menjelang
akhir tahun 1961, beberapa orang katekis ditempatkan di Oknangul,
namun diputuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. Saat itu di-
manfaatkan oleh Unevangelized Field Mission (UFM) dari zending
yang sudah menetap sejak 1960 lebih leluasa menyebarkan misinya.
Para petugas Zending mulai membangun bandara di barat Sungai
Oknangul, yang kemudian diresmikan pada awal tahun 1961.44
Pada tanggal 9 Mei 1960, dilakukan baptisan pertama, atas nama
bayi Antonius Dumutu. Kemudian pada tahun 1961, ada lagi baptisan
kedua atas 4 bayi dan 1 orang dewasa. Pada bulan Januari 1961, tibalah
guru berijasah dan bersubsidi yang pertama di Mabilabol bersama
dengan Sibbele Hylkema yang nantinya ditempatkan di Abmisibil. Pada
bulan Juni 1961,Unevangelized Field Mission (UFM) menjual rumah-
rumah mereka di Mabilabol dan mereka pun pergi. Dalam tahun-tahun
berikutnya, misi berkembang dengan pesat. Menurut laporan Van De
Pavert sebagai pemimpin resort dan pengawas sekolah, pada September
1961, di daerah Lembah Sibil waktu itu sudah ada sekolah di Mabilabol
dan Kikonmirip (keduanya mendapatkan subsidi), di Lepengbon dan
Kukding; sementara di daerah sepanjang Oksop, sekolah terdapat di
Denmata, Bilumin, Yumakot, Domakot dan Alembakon. Jauh ke arah
selatan ada di Katem.45
Kemudian untuk memperkuat pendidikan di wilayah tersebut,
didatangkan guru-guru lulusan Sekolah Guru Bawah (SGB) dari
daerah Muyu (Boven Digoel), Kokonao (Mimika), dan Paniai.

43
Idem.
44
Idem.
45
Idem.
56  Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang

Sekolah tersebut diperkuat pada tahun 1970 ketika suster-suster KSFL


(Kongregasi Suster-Suster Fransiskanes Santa Lusia) tiba di Mabilabol.
Mereka menetap di Mabilabol dan fokus untuk mengajar di SD YPPK
Mabilabol yang sudah dibangun sejak tahun 1959 (kini bernama SD
YPPK Santo Vincensius Mabilabol).
Di wilayah Lembah Sibil dibuka juga SD YPPK Kukding pada
tahun 1962, dan SD YPPK Yapimakot pada tahun 1974. Kebutuhan
akan sekolah lanjutan tidak dapat dibendung lagi. Melihat kemampuan
ekonomi orang tua yang memprihatinkan jika anak di wilayah tersebut
dikirim ke daerah yang maju seperti Hollandia (Jayapura) atau Baliem
(Wamena), atas dukungan Pater Huub Swartjes, OFM, para suster-
suster KSFL membuka sekolah menengah di Mabilabol dengan nama
SMP YPPK Bintang Timur Oksibil pada tahun 1981.46
Penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York)
antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa, U Thant, dan Duta Besar Amerika Serikat
untuk PBB, Ellsworht Bunker dilakukan pada tanggal 15 Agustus
1962. Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan United Nations Temporrary
Executive Administrations (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara
PBB di Papua Barat menyerahkan kekuasaannya kepada Indonesia.
Selanjutnya Pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militer
dan pemerintah dalam jumlah besar di seluruh Tanah Papua. Tidak
ketinggalan pemerintah dan militer secepatnya menduduki wilayah
Oksibil.
Kehadiran pemerintah NKRI membuat masyakat lebih terancam
karena mereka mengambil gadis-gadis Oksibil tanpa membayar mas
kawin. Situasi dan kondisi semakin tidak kondusif ketika militer tiba
di wilayah Lembah Sibil. Pada bulan Maret 1965, datanglah Pastor
Frankenmolen, tetapi hanya tinggal sebentar. Sebenarnya Pater Piet
Van Der Stap, OFM sudah berada di sana sejak pertengahan 1963 untuk

46
Idem.
Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang  57

studi bahasa, namun baik Mous maupun Frankenmolen tidak sempat


untuk menguasai bahasa setempat. Di samping itu, hubungan antara
Frankenmolen dengan militer Indonesia juga tidak terlalu baik, terutama
setelah komandan mengeluarkan perintah dengan keras melarang para
guru melibatkan diri dalam perang (penduduk boleh saja berperang).
Pada akhir 1965, hampir seluruh aparat pemerintah di Mabilabol telah
menghilang (tersendat-sendatnya penyediaan kebutuhan pokok dan
kekurangan peralatan di segala bidang).47
Karya pastoral pertama di Oksibil dirintis oleh Pastor Herman
Mous, OFM. Pastor-pastor yang pernah berkarya di Paroki Mabilabol
adalah: Herman Mous, OFM (1965-1966), Frankemolen, OFM (1967-
1977), Ben de Geir, OFM (1977-1978), Loiz Zonggonao (seorang
pastor awam 1970-1980), Zwartjes, OFM (1980-1987), Kees Van Dijk,
OFM (1987-1993), Bert Hagendoorn, OFM (1993-1996). Selanjutnya
dilayani oleh imam-imam diosesan atau Projo (Pr.: presbyter, Lat.). Kini
istilahnya menjadi Romo Diosesan (Lat. RD: Reverendus Dominus).
Pastor Projo pertama yang bertugas adalah Rm. Wilhelmus Sinawil
Pr (1996-2002), dilanjutkan lagi oleh Rm. Andreas Trismadi Pr. Selain
itu Rm. Barnabas Daryono, Pr dan Rm Yulianus Mote, Pr juga pernah
berkarya di Oksibil.48 Sekarang Paroki Roh Kudus Mabilabol, yang
terletak di pusat kota Oksibil ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang
memiliki 3 stasi dan 15 kring/kombas. Banyak sarana ibadat, yaitu: 1
gereja induk, 3 gereja stasi, 1 kapel permanen, 5 kapel darurat.49

b. Paroki Iwur
Di wilayah selatan Oksibil, kini sudah dibentuk wilayah Paroki
Iwur. Mulanya wilayah ini, pada tahun 1962, Pastor Bert Coven, OFM
dari Mindiptanah datang mengunjungi guru-guru agama yang bertugas

47
Idem..
48
Idem..
49
Lih. “Profil Paroki Se-Keuskupan Jayapura”, diakses dari http://keuskupanjayapura.com
pada 24 Juni 2014
58  Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang

di daerah ini. Waktu itu Iwur masih masuk wilayah pelayanan dari
Keuskupan Agung Merauke.
Tanggal 23 April 1963 terjadi baptisan pertama di Iwur oleh Pastor
Odulf Mouse, OFM. Tahun 1969/1970 sudah mulai ada kapel di Iwur
dan tahun itu juga Iwur diserahkan kepada Keuskupan Jayapura. Iwur
menjadi salah satu stasi dari Paroki Roh Kudus Mabilabol, Oksibil.
Tahun 1977/1978, dibangun gedung gereja permanen kemudian
menyusul pastorannya dibangun tahun 1984 oleh Pastor Kees van Dijk,
OFM. Tahun 1984 terjadi gejolak politik menyebabkan sebagian besar
masyarakat lari mengungsi ke Papua New Guinea (PNG). Kejadian ini
sangat berdampak terhadap pelayanan Gereja bagi umat di daerah ini.
Hampir lebih 15 tahun lamanya, terjadi gangguan keamanan pelayanan
yang efektif dari Gereja di daerah ini. Tahun 1997 Pater Willem Sinawil,
Pr. kembali merenovasi pastorannya. Tahun 2001, Iwur berubah status
dari sebuah stasi menjadi paroki sendiri. Pastor Yulianus Bidau Mote,
Pr (putra asli Papua asal Paniai) ditugaskan sebagai Pastor Paroki Iwur.
Kemudian tahun 2006, Pastor Robertus L. Tingdilintin, Pr. melayani
umat di Paroki Iwur menggantikan Pastor Bidau. Tahun 2003 di Stasi
Dewok dan Kawor dibangun gedung gereja yang permanen.
Dalam perkembangan sejarah Gereja Katolik di wilayah selatan
Lembah Sibil, ada beberapa Guru Katekis yang sangat berjasa. Peran
mereka sangat besar dalam proses pekabaran Injil di daerah ini, di
antaranya: Yon Barat, Damianus Kambana, Karolus Timka, Titus Timka,
Marselus, Markus Kandam, Yoseph Kambana, dan Leo Warikimbirok.
Kemudian dilanjutkan oleh Willem Oropka di Iwur, Paul Wel di Dewok,
dan Barnabas Irka di Kawor.50
Di saat ini, Paroki Iwur memiliki 3 stasi, yakni Stasi Kawor, Stasi
Dewok dan Stasi Tarup. Dua stasi (Stasi Dewok dan Stasi Kawor) sudah
memiliki gedung gereja yang permanen.

50
Idem.
Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang  59

Umat di daerah selatan dari Oksibil rata-rata beragama Katolik.


Namun, sejak tahun 2008 di Kampung Tarup sudah mulai dilayani oleh
Zending asal Amerika dibantu 2 gembala dari Gereja Baptis. Selain
stasi, di Paroki Iwur juga ada beberapa Komunitas Basis (KOMBAS),
yang semula bernama BMK, yakni: BMK Ulkubi, BMK Ngetrin, BMK
Kaurok, BMK Tundungbon, dan BMK Nanumbakon. Anak-anak dari
wilayah tersebut rata-rata bersekolah di Mabilabol. Pada tahun 1981
ketika SMP YPPK dibuka di Oksibil bersama dengan dibangunnya
asrama putra, secara tidak langsung hal itu dapat memotivasi anak-
anak dari wilayah selatan Pegunungan Bintang untuk mengenyam
pendidikan di sana.51

3. Penyebaran Gereja Katolik di Wilayah Utara Pegunungan


Bintang

Misi pekabaran Injil Kristus oleh Gereja Katolik di wilayah utara


Pegunungan Bintang, dari wilayah Okbibab sampai ke arah timur wila-
yah Oklip-Nangul, dimulai dengan datangnya misionaris Fransiskan
(OFM), Pater Folkert Sibelle Hylkema, OFM pada tanggal 19 Februari
1961. Ia diantar langsung oleh Pater Mous, OFM dari Oksibil pada 15
Februari 1961.
Andy Urpon, seorang pastor awam asli Abmisibil, diberi tugas
pelayanan pastoral sebagai Pastor Paroki di Paroki Bintang Timur
Abmisibil (1982-1988) oleh Mgr. Herman Munninghoff, OFM, Uskup
Keuskupan Jayapura. Ia mencatat sejarah masuknya Gereja Katolik di
wilayah utara Pegunungan Bintang. Berikut ini kutipan catatannya yang
ditulis bertepatan dengan 25 tahun/Pesta Perak masuknya Injil Kristus
yang dirayakan pada tahun 1986 di Paroki Bintang Timur Abmisibil.

51
Idem.
60  Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang

Pada tanggal 15 Februari 1961, Pater F. Sibelle Hylkema, OFM di-


dampingi Pater Mous, OFM bersama 2 katekis dibantu 14 orang pemikul
barang berangkat dari Oksibil menuju Okbibab. Kedua misionaris itu
sampai di hulu Sungai Okbi pada tanggal 19 Februari 1961 dan kemudian
melanjutkan perjalanannya ke Bar Aip dan Kumdinin dengan harapan dapat
menemukan suatu tempat yang cocok untuk membangun sebuah lapangan
terbang yang bisa didarati pesawat tipe Cessna sesuai rencana sebelumnya
di Jayapura. Menurut berita dari Jayapura, daerah yang dimaksud adalah
daerah sekitar Baar Aip dan Kumdinin, tetapi sayang karena usahanya
tidak berhasil karena tempat yang dimaksud keliru. Nanti bulan Juni
barulah diketahui bahwa tempat yang dimaksud sesuai dengan gambar
peta Okbi diberi nama Okbab dan Okbab diberi nama Okbi. Tanggal 21
Februari, Pater Mous yang menemani Pater Hylkema kembali ke Oksibil.
Pater Hylkema tetap bertekad untuk mencari tempat yang cocok untuk
membuka lapangan terbang. Dari tanggal 23 Februari sampai 7 Maret
rencana pendropan barang tetapi gagal.Sementara dalam tugasnya itu, Pater
F. Hylkema jatuh sakit karena infeksi di tangannya, tetapi ia tetap bertahan
di Kumdinin dan mendapat pelayanan obat dari Oksibil. Tanggal 25 Maret,
beliau mendapat kunjungan dari Pendeta dari Kiwirok yang juga sedang
sakit perut. Tanggal 26 Maret Pater Mous mengunjungi mereka. Tanggal
4-5 April pendropan barang di Katopdam, Kumdinin. Banyak barang
yang di-drop, terutama alat-alat untuk mengerjakan lapangan terbang,
tetapi tidak ada tempat yang cocok untuk membuka lapangan terbang.
Tanggal 13 April, Pater Mous kembali ke Oksibil. Tanggal 5 Mei, Pater F.
Hylkema mencari lokasi lapangan terbang ke daerah Banara Badiki namun
tidak menemukan tempat yang cocok sehingga ia kembali ke Kumdinin.
Pada tanggal 15 Mei, ia kembali meneruskan mencari tempat yang cocok
untuk lapangan terbang di Okmik namun tidak berhasil juga. Tanggal 28
Mei, Pater Keizer datang dari Oksibil untuk menemani Pater Hylkema.
Tanggal 2 Juni, kedua Pater itu mendengar bunyi pesawat yang sedang
lewat tetapi tidak melihat karena tertutup awan. Pilot beritahukan bahwa
ia sedang terbang di daerah Okbab barulah Pater mengerti pada saat itu
bahwa tempat yang dicarinya di lembah yang keliru. Kedua misionaris itu
bersama rombongannya berangkat ke Okbi lewat Okngupel dan bermalam
di Atolbol. Dan hari berikutnya bermalam di Okbetel. Dari Okbetel Pater
lihat kampung Abmisibil yang menurut putunjuk pilot bahwa daerah atau
tempat ini cocok untuk membuka lapangan terbang. Tetapi sayang, kedua
kalinya beliau jatuh sakit lagi, ia diserang malaria sehingga ia bertahan
satu hari lagi di Okbetel dan diutusnya dua orang Katekis ke Abmisibil
untuk melihat dari dekat. Setelah mereka memeriksa tempat yang cocok
Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang  61

untuk membuka lapangan terbang, mereka kembali ke Okbetel dengan


berita bahwa lokasi yang cocok untuk membuka lapangan terbang sudah
diketemukan. Pada tanggal 5 Juni diadakan pen-droping-an barang di
Abmisibil. Ketika Pater Hylkema dalam perjalanan menuju Abmisibil,
ada perang saudara antara kampung Turkop-Sironaip dengan Ipurbakon/
Manunggal. Setibanya sampai di tempat perang, ia bertemu dengan
banyak orang yang berpakaian perang. Walaupun keadaan perang, ia
diterima dalam keadaan baik dan damai. Melihat keadaan itu, ada Kepala
Suku yang ternama, yakni Miminsine Uropmabin yang menjadi pemimpin
perang dari Kampung Ipurbakon, mengumumkan kepada mereka yang
sedang berperang dengan mengatakan, “tuan yepmin abarnek, ebona kotip
kaema depen semo yepmin batlokno”; artinya, mari kita berhenti berperang
karena seorang tuan yang membawa sesuatu yang baik sudah datang, kita
menerimanya dan bekerja untuk memperoleh hal-hal baik itu. Ketika itu
juga, masyarakat Abmisibil berhenti berperang dan kedua pihak bersatu
dan bersama-sama mencari dan mengumpulkan barang-barang yang sudah
di-drop oleh pesawat. Dengan langkah demikian, para misionaris pertama
masuk di daerah Okbibab.52

a. Dimulainya Karya Pastoral di Paroki Bintang Timur Abmisibil


Lapangan terbang, sebagai sarana yang sangat penting dalam me-
laksanakan karya pastoral Gereja Katolik di daerah ini, mulai dikerjakan
pada tanggal 19 Juni 1961. Pada tanggal 24 Juli 1962, Herman Psebo
(asal Keerom) datang ke Abmisibil sebagai katekis pertama sekaligus
menjadi pengawas pembangunan lapangan terbang. Atas dukungan
penduduk setempat, pada bulan Maret 1963 lapangan tersebut mulai
didarati pesawat bermesin tunggal, namun lapangan belum diselesaikan
dengan baik. Lapangan terbang selesai secara tuntas pada bulan April
tahun 1963 dan Pater Edmar mendaratkan pesawat jenis Cessna dengan
baik, ditemani Pater Mop Yansen dan Pastor Haudek. Lapangan di
Abmisibil adalah lapangan ketiga setelah Mabilabol dan Oknangul
untuk seluruh Pegunungan Bintang pada saat itu.53

52
Urpon Andy, 1985, Sejarah Masuknya Misi Katolik di Daerah Okbibab, Catatan pada
Perayaan Pesta Perak (25 tahun) Gereja Katolik di Okbibab, Pegunungan Bintang.
53
Idem..
62  Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang

Karya pastoral dilanjutkan dengan membuka sekolah dan peng-


ajaran agama. Sekolah yang pertama mulai dengan sekolah darurat di
Okbetel. Guru pertama adalah Guru Katekis Herman Psebo. Kemudian
dibuka lagi sekolah lain di Abmisibil dengan guru katekis pertama
Agustinus Ibee. Jumlah anak sekolah pertama di sekolah ini sebanyak
60 murid. Setelah itu, masih buka juga sekolah di Aplumding, Sikintaop/
Sabin dan Bumbakon (Borban). Kemudian didatangkan lagi beberapa
guru katekis baru dari Keerom, yakni Kasimilus Ibee untuk SD Sabin
yang berjumlah 30 murid dan Frans Muyasin untuk SD Bumbakon
(Borban). Sebenarnya SD Sabin sudah berjalan baik. Karena terjadi
pencurian barang milik guru Ibee, SD ini kemudian ditutup. Sesudah
itu masih didatangkan lagi dua guru katekis lain dari Kokonao. Mereka
masing-masing ditugaskan di SD Aplumding dan SD Sabin. Guru yang
bertugas di SD Aplumding agak lama berada di sana, sementara guru
yang bertugas di SD Sabin tidak lama kemudian kembali ke Kokonau.
Sampai dengan tahun 1970, guru-guru yang bertugas di daerah
ini berasal dari Keerom. Namun, pada tahun 1971-1972 berturut-turut
didatangkan juga guru asal Flores dan Paniai. Mereka adalah Ben Nong
yang mulanya ditugaskan di SD Okbetel namun kemudian pindah ke
SD Apmisibil karena jumlah murid di SD ini banyak. Selain itu masih
didatangkan lagi guru asal Keerom, Thomas Muyasin, untuk menambah
tenaga guru di SD ini. Didatangkan pula guru-guru asal Paniai: Paskalis
Pigay, Pius Tekege, Arnold You, Thomas You dan Herman Tekege.
Pius Tekege selanjutnya dipindah ke SD YPPK Okbetel sekaligus
membuka sekolah kecil di Emilsibil. Pada tahun-tahun yang sama (1971-
1973) didatangkan beberapa guru katekis baru untuk menambah jumlah
guru katekis yang sudah ada sebelumnya, yakni Thobias Pekey di SD
Sabin kemudian pindah ke SD Okbetel. Decky Dekme didatangkan
juga untuk menambah tenaga guru di SD Sabin, namun kemudian tahun
1975 ia kembali ke Akimuga. Urbanus Tatogo didatangkan untuk mem-
Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang  63

perkuat tenaga guru katekis di SD Okelwel. Vitalis Petege didatangkan


dan ditempatkan di SD kecil Atembabol, sementara Hiron Bukega di
SD kecil Emilsibil.
Selain itu juga ada guru-guru katekis asli Abmisibil hasil didikan
Pater Sybele Hylkema, yaitu: Klemens Kasipmabin (membantu Pius
Tekege di sekolah kecil di Emilsibil), Vitalis Kaladana dan Moses
Kasipdana (bertugas di SD Oksip), Leitus Setamanki dan Yan Kasipmbn
(bertugas di SD Okelwel).54

b. Nama Paroki Bintang Timur Abmisibil


Pada tahun 1972, melalui Pater Yan Dongkers, OFM, kepala biara
OFM di APO waktu itu, Pater Piet Van Der Stap, OFM yang menjadi
pastor paroki Abmisibil memanggil pulang Andy Urpon yang sedang
mengikuti pendidikan seminari menengah di Abepura. Permintaan itu
diperkuat lagi oleh Pater Ben De Hier, OFM, Pastor Paroki Oksibil.
Akhirnya pada tanggal 2 Februari 1974, Andy Urpon pulang ke
Abmisibil dan mulai membantu Pater Piet Van Der Stap, OFM. Pada
tanggal 10 Februari 1974, di Oksip terjadi perzinahan yang dilakukan
guru katekis. Akibatnya, mereka ditarik kembali dan digantikan oleh
Andy Urpon. Ia bertugas di Oksip hanya 4 bulan. Tidak lama kemudian
ia ditarik kembali ke paroki untuk membantu pastor paroki. Parokinya
sudah dibentuk, Pius Tekege menjadi Ketua Dewan Paroki. Meskipun
sudah dibentuk paroki dan dewan parokinya, namun nama Paroki ini
belum diberikan. Karena itu, pastor dan dewan paroki telah memilih
dan menentukan namanya, yakni Paroki Yohanes. Nama ini diusulkan
kepada Uskup Herman Munninghoff, OFM di Jayapura. Ia menolak
nama itu dan menggantikannya dengan nama Paroki Bintang Timur
Abmisibil. Nama ini merujuk pada nama Paroki Bintang Laut Kokonau.
Kalau di Kokonau ada paroki dengan nama Paroki Bintang Laut, di

54
Idem..
64  Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang

Pegunungan Bintang ada nama paroki dengan nama Paroki Bintang


Timur sesuai letak geografi daerah ini.55
Pater Sybelle Hylkema, OFM juga adalah seorang antropolog. Ia
memulai karya pastoral dengan menerjemahkan Kitab Suci ke dalam
bahasa Ngalum yang kemudian dikenal dengan nama YEP WENGA.
Penerjemahan itu dimulai tahun 1965. Andy Urpon waktu itu masih kelas
3 SD. Ia bersama Kletus Kasipmabin membantu Pater Hylkema, namun
masih muda dan belum dapat menyesuaikan dengan pekerjaan berat
membuat Kamus Bahasa Ngalum, maka Kletus tidak melanjutkannya.
Andy Urpon terus mengikuti dan membantu Pater Hylkema; akhirnya
Kamus Bahasa Ngalum berhasil dibukukan.
Semuanya dikerjakan di Pastoran Abmisibil; awalnya di lokasi
rumah Markus Urpon yang terbakar. Seluruh pelayanan pastoral dimulai
dari sini. Mulanya pelayanan liturgi menggunakan bahasa Latin, namun
setelah Konsili Vatikan II, sejak tahun 1968, pelayanan liturgi dalam
gereja menggunakan bahasa Indonesia.
Pembukaan sekolah dan kedatangan guru-guru perintis dari be-
berapa daerah yang berbeda menandai berjalannya karya pastoral Ge-
reja Katolik di daerah ini. Sekolah menjadi media unggulan dalam
mengajarkan pelajaran Agama Katolik. Hasilnya, pada tanggal 31
Mei 1964 dipermandikan 1 orang, kemudian dipermandikan lagi 15
orang pada Januari 1967. Tahun 1967 dibangun gedung gereja yang
bisa menampung banyak umat di Abmisibil dan mulai saat itu umat
sudah mulai bertambah banyak. Pada tahun 1968, jumlah penduduk di
Abmisibil sebanyak 507 orang: 93 orang pria (belum menikah), 139
orang wanita (belum menikah). Sedangkan yang sudah menikah ada
131 pasang. Kemudian ada 13 anak laki-laki yang datang dari wilayah
lain tinggal bersama keluarga di wilayah tersebut sehubungan dengan
pembangunan lapangan terbang.56

55
Idem..
56
Hylkema, S. 1974. Mannen in hetdradgnet; Mens-en wereldbeeld van de Nalum (Sterren-
gebergte). The Hague: Nijhoff.
Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang  65

Di wilayah Abmisibil terdapat enam klan (marga) atau “Kakadon”


(Bahasa Ngalum), yaitu: Uropmabin, Kasipmabin, Alwolka, Ningdana,
Setamanki, dan Urpon. Pada tahun 1968 ketika Sibbele Hylkema
mendata berdasarkan klan, yang terbesar adalah klan Uropmabin.
Perkampungan mereka ada di Ipurbakon. Klan Kasipmabin dan
Alwolmabin tersebar di Kampung Sikintil, Fisilkop dan Sironaip. Klan
Ningdana berada di kampung Oktanglap, Klan Setamanki tersebar di
Uldopom dan Sironaip, sedangkan klan Urpon berada di Beneyakwol.
Sampai pada tahun 1969 Sibbele Hylkema dengan tekun mengadakan
studi mengenai penduduk di Abmisibil.57
Tanggal 30 Maret 1969 Pastor Hykelma meninggalkan Abmisibil
dan menuju ke Paniai sebagai tempat tugas baru. Dia memperoleh izin
cuti studi selama satu tahun untuk menyelesaikan bukunya. Pada tahun
1974 buku itu pun terbit dengan prakata dari mantan gubernur yang ke-
mudian menjadi guru besar, Jan Van Baal, dengan judul Mannen in het
dragnet (Laki-Laki Dalam Noken). Pastor Sibbele Hylkema digantikan
oleh Pastor Huub Zwartjes, OFM. Dia bertugas 3 tahun (1969-1972) dan
membaptis 32 orang. Pater Huub Zwartjes digantikan oleh Ben De Gier
tahun 1972, kemudian mendapatkan bantuan tiga orang suster. Mereka
hadir di sana untuk memberikan kursus-kursus menjahit, memasak,
memelihara kebun dan menolang masyarakat yang sakit. Kemudian
diganti lagi oleh Pastor Piet Van der Stap, OFM. Pastor ini bertugas
selama 8 tahun, dan berhasil mempermandikan (membaptis) 339 orang.
Pada 2 Februari 1973, gereja di Abmisibil yang baru diberkati dengan
meriah, dengan sebuah upacara yang menyerap banyak unsur adat
setempat. Tahun 1981 Pastor Piet Van der Stap, OFM meninggalkan
Abmisibil menuju ke Jayapura sekaligus minta izin untuk pulang ke
Belanda. Ia digantikan oleh Diakon Louiz Songgonau selama satu bulan
dan membaptis 25 orang. Masa itu adalah masa peralihan sehingga

57
Idem.
66  Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang

wilayah Abmisibil dan Lembah Oksibil dirangkap oleh Pater Huub


Zwartjes, OFM sebagai kepala pastoral.58
Semenjak Fransiskan masuk ke wilayah Abmisibil (Okbibab),
mereka mulai fokus pada pelayanan pendidikan dan kesehatan, sambil
menyebarkan misi penginjilannya. Para Fransiskan membuka sekolah
di wilayah Abmisibil (sekarang SD YPPK Santa Maria Abmisibil) dan
kemudian seiring berjalannya waktu dibuka lagi di Okbifisil (SD YPPK
Okbetel). Misi pendidikan ini didukung oleh setiap pastor yang pernah
menetap di wilayah ini, seperti: Pater Sibbele Hylkema, OFM, Pater
Huub Zwartjes, OFM, Pater Ben De Gier, OFM, Pater Piet van der Stap,
OFM. Mereka tidak bekerja sendiri untuk mempercepat misi Katolik.
Mereka mendatangkan guru-guru katekis alumni seminari menengah
di Jayapura maupun lulusan Sekolah Guru Bawah (SGB) asal daerah
Paniai dan Keerom.
Mulai tahun 1970-an, anak-anak yang dididik di wilayah Oksibil
dan Abmisibil dikirim untuk melanjutkan studi ke Jayapura (SMP
YPPK St. Paulus Abepura) dan Wamena (SMP YPPK St. Thomas, SMP
Yapis). Setelah menyelesaikan pendidikan di SMP, mereka melanjutkan
studi di tingkat SLTA ke Jayapura, khususnya ke SPG Taruna Bhakti
Waena, SMA Gabungan Dok 5, SMA Taruna Darma Kotaraja, SMK
Kotaraja dan SGO Jayapura. Ada anak-anak yang berusaha sendiri dan
berangkat ke Wamena dan melanjutkan studinya di Wamena. Yang lain
diarahkan untuk melanjutkan studi di bidang kesehatan, seperti SPK
Wamena, SPK Jayapura, dan SPKC Abepura.
Pada tahun 1980-an, tidak semua anak yang dikirim ke Jayapura
dan Wamena berhasil dalam pendidikan. Namun mereka tetap membantu
misionaris membangun dan memperkuat pos-pos yang menjadi target
misi para Fransiskan. Menurut data keuskupun Jayapura tahun 2006,
umat Paroki Bintang Timur Abmisibil berjumlah 4.438 jiwa, yang

58
Lih. “Profil Paroki Se-Keuskupan Jayapura” ...
Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang  67

tersebar di 10 kring dan 4 stasi. Sekarang wilayah Paroki Bintang Timur


Abmisibil meliputi tiga wilayah: Stasi Okelwel (Distrik Okhika), Stasi
Sabin (Distrik Okbab), dan Stasi Aboy (Distrik Aboy).59

c. Paroki Oklip
Gereja Katolik Pegunungan Bintang memulai misi pelayanannya
di Oklip pada tahun 1982, ditandai dengan pembaptisan pertama yang
dilakukan oleh Pastor Huub Zwartjes, OFM. Pewartaan Injil di daerah
Oklip mulanya dilayani oleh misi Zending (GIDI). Pendeta pertama
adalah Tuan Akal. Ia memulai karya pelayanannya di Kampung Okaom.
Namun karena menurut pandangan penduduk bahwa misi yang dibawa
bertentangan dengan pandangan masyarakat setempat, terutama terkait
adat, sebagian besar umatnya pindah ke agama Katolik.
Beberapa tokoh masyarakat Oklip tidak menerima pendekatan
pelayanan GIDI, di antaranya: Agus Kakamut Bidana, Ben Setamanki,
Andy Yamhin, Levinus Uropmabin dan Amos Keletus Yamhin. Mereka
mengadakan pertemuan demi pertemuan dengan Pdt. Jack Hook, Camat
Kiwirok, dan tokoh-tokoh GIDI Kiwirok saat itu untuk memuluskan
maksud mereka pindah ke Gereja Katolik. Akhirnya, disepakati antara
semua komponen, baik GIDI Kiwirok, Pemerintah Kecamatan Kiwirok,
tokoh-tokoh umat GIDI Kiwirok, Pdt. Jack Hook dan tokoh-tokoh
masyarakat Oklip untuk beberapa kampung di Oklip bisa pindah ke
Gereja Katolik.
Karena kesepakatan itu, beberapa tokoh masyarakat Oklip men-
datangi Andy Urpon di Abmisibil, selaku Pastor Paroki Bintang Timur
Abmisibil agar Gereja Katolik dapat melayani Oklip. Di samping sebagai
pimpinan Gereja, Andy Urpon dan mamanya Kasmira Setamanki memi-
liki hubungan keluarga dengan masyarakat Oklip. Karena itu, mereka

59
Idem.
68  Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang

berdua mengajak Yan Kasipmabin untuk mengunjungi Oklip. Sebelum


ke Oklip, mereka bermalam di rumah keluarga guru Marten Taplo di
Kiwirok. Keesokan harinya menuju Oklip dan bermalam di Kampung
Kotaip, tepatnya di Oksang aip. Pada tanggal 6-7 Desember 1982, Andy
Urpon dan mamanya berada di Kotaip untuk mengadakan survei lokasi
pembangunan lapangan terbang. Andy Urpon dibantu Ukol Kasipdana
untuk menunjuk dan mengantarkannya dalam survei itu. Selain itu,
Andy Urpon menugaskan Yan Kasipmabin dibantu Andy Yamhin
berkunjung ke kampung-kampung untuk mendata jumlah penduduk,
khususnya penduduk di Kampung Omakasikin, Masikin, Oksemek,
Lerkum, Wimding dan Sungkading. Kemudian, pada tanggal 10-11
Desember 1982 kembali diadakan orientasi lokasi lapangan terbang di
hilir Sungai Oklip. Andy Urpon dengan langkah kakinya menghitung
panjang lokasi itu, sekitar sepanjang 600 meter.
Pada tanggal 12 Desember 1982, Andy Urpon bersama mamanya
Kasmira Setamanki didampingi Yan Kasipmabin kembali ke Abmisibil.
Sementara itu, tanggal 13-14 Desember 1982, di Kiwirok telah terjadi
kesepakatan bersama antara Pdt. Jack Hook, Camat Kiwirok, tokoh-
tokoh GIDI Kiwirok dan tokoh-tokoh masyarakat Oklip untuk wilayah
Oklip bisa dilayani Gereja Katolik. Kesepakatan itu dituangkan dalam
suatu Surat Pernyataan Bersama. Surat itu diantar ke Andy Urpon di
Abmisibil, Pater Huub Swartjes, OFM di Oksibil, dan Mgr. Herman
Muninghoff, OFM, Uskup Keuskupan Jayapura di Jayapura.
Pada tanggal 5 Juni 1983, Andy Urpon bersama Yan Kasipmabin
menjemput David Tepmul dan Leitus Setamanki di Okelwel untuk
selanjutnya ke Oklip. Bermula dari Kampung Pelepkon, Andy Urpon
menyurati Pater Huub Swartjes, OFM untuk mengirimkan alat-alat ker-
ja guna membangun lapangan terbang Oklip. Setelah peralatan kerja
tiba dari Oksibil, doa syukur diadakan di Pelepkon ditandai dengan
Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang  69

penyembelihan seekor babi milik mandor Sayuki Uropka untuk memulai


pengerjaan lapangan terbang Oklip.
Dalam waktu yang bersamaan, beberapa orang dikirim ke Oklip,
antara lain Hengki Kasipdana, Bernard Sipka untuk memperkuat tenaga
pengajar katekis. Kemudian dikirim guru-guru agama Katolik, yaitu
Engelbertus Kasipmabin dan Yohanes Lobia.
Menurut data statistik Paroki Oklip tahun 2005, umat yang sudah
dibaptis berjumlah 2.025. Paroki ini memiliki 10 kring, kini bernama
komunitas basis (Kombas). Pastor-pastor yang pernah bertugas di
Oklip, antara lain: Pastor Huub Zwartjes, OFM (1986), Pastor Kees
Van Dijk, OFM, Pastor Bert Hagendoorn, OFM (1997), RD Wilhelmus
Sinawil (1997-2002), RD Barnabas Daryana (1980-1987), RD. Petrus
Hamsi sebagai pastor paroki (2002-2008). Dilanjutkan oleh RD Yan
Aplukol Dou dan kini RD James Kossay.60

d. Stasi Okelwel
Pada tahun 1970, di Okelwel (wilayah barat dari Oknangul) ju-
ga dibuka pos pelayanan Gereja Katolik. Para guru katekis (Leitus
Setamanki, Yan Kasipmabin, dan David Tepmul) membuka pos pela-
yanan itu. Untuk memperkuat pos pelayanan tersebut, pada tahun 1972,
Pater Huub Swartjes, OFM juga mendatangkan seorang guru katekis
baru dari Paniai bernama Urbanus Tatogo. Mereka memulai dengan
Sekolah Kecil untuk membimbing anak-anak membaca, menulis, dan
berhitung sambil mengajarkan pelajaran Agama Katolik. Anak-anak
yang dianggap bisa membaca, menulis, dan berhitung dikirim untuk
melanjutkan sekolah kelas 4 ke atas di SD YPPK Abmisibil. Enos
Kalakmabin, Ananias Kalakmabin, Vincent Kalakmabin, dan beberapa
orang lain merupakan hasil pertama jebolan SD Kecil Okelwel. SD
Kecil itu telah di-inpres-kan sehingga berubah nama menjadi SD Inpres

60
Idem.
70  Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang

Kotyobakon. Beberapa sarjana hasil jebolan SD Inpres Kotyobakon kini


mengabdi sebagai PNS di Pemerintah Daerah Pegunungan Bintang.
Juga ada yang terlibat dalam kepengurusan partai politik dan ada juga
yang terjun ke dunia wiraswasta.

e. Stasi Sabin
Di wilayah barat dari Abmisibil, pada tahun 1962 di Kampung
Sabin (Distrik Okbab) dibuka pos pelayanan Gereja Katolik oleh katekis
asal Keerom, yakni Agustinus Ibee dan Herman Psebo. Sebenarnya pos
Sabin merupakan pos tertua di Paroki Bintang Timur Abmisibil. Namun
karena masyarakat mencuri barangnya guru katekis, guru-guru katekis
menutup Pos Sabin dan pindah ke Abmisibil.
Selain Sabin, juga dibuka pos pelayanan Bumbakon yang kini
menjadi Borban. Namun kemudian tahun 1970, GIDI masuk di Borban
sehingga sempat terjadi perang saudara antara penganut Katolik dan
GIDI di sepanjang Okbab. Borban kemudian dilayani oleh GIDI yang
kemudian mengembangkan misi pelayanannya di sepanjang Sungai
Okbab bagian barat.
Selain itu, tahun 1970 dibuka Pos Aplumding, kemudian pindah ke
Okbetel. Di pos pelayanan ini, bertugas dua guru katekis asal Kokonao.
Yang satu tidak lama kemudian kembali ke Jayapura sementara yang
lainnya bertugas lama di Aplumding. Juga dibuka pos-pos pelayanan
Gereja Katolik yang baru, yakni pos pelayanan Bumbakon (kini
Epoksikin), pos pelayanan Atembabol, pos pelayanan Okelwel dan pos
pelayanan Oksip.

f. Stasi Aboy
Setelah bencana alam akibat gempa bumi dahsyat yang melanda
daerah Pegunungan Bintang, pada tanggal 27 Juni 1976, Pater Piet van
der Staap, OFM dan Camat Wiro Watken mengutus Petrus Mumur
Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang  71

Payumka bersama beberapa orang untuk memantau daerah dataran ren-


dah yang layak dihuni orang di Aboy. Hasil pemantauannya dilaporkan
kepada Camat Watken dan Pater Piet. Setelah mengadakan beberapa
kali kunjungan, akhirnya lapangan terbang Aboy dibuka, yang dipimpin
langsung oleh Camat Watken. Mumur Payumka memainkan peran
penting pada saat itu. Ia berbicara bahasa Ketengban dan mempunyai
banyak keluarga Payumka di Aboy sehingga komunkasi menjadi lebih
lancar dan pendekatan dengan masyarakat berjalan lancar karena ada
keluarga Payumka yang tinggal di Aboy.
Gereja GIDI yang sudah masuk di daerah ini sebelumnya melarang
umat makan pinang dan merokok. Karena itu, umat di Aboy sudah
beberapa kali meminta melalui Mumur Payumka agar Gereja Katolik
bisa masuk di Aboy. Melihat antusiasnya umat Aboy, pada Pesta Perak
25 tahun masuknya Injil di Paroki Bintang Timur Abmisibil, 5 Juni
1986, umat Aboy diundang untuk menghadirinya. Pada kesempatan itu,
beberapa orang dari umat Aboy bertemu Uskup Keuskupan Jayapura,
Mgr. Herman Muningfoff, OFM. Uskup Herman tidak memberikan ja-
waban atas permintaan mereka pada kesempatan itu. Ia mengatakan
akan mempelajarinya setelah mendapat laporan dari Andy Urpon se-
telah mengunjungi umat Aboy. Andy Urpon pada saat itu diberikan ke-
wenangan oleh Uskup Herman untuk melayani Paroki Bintang Timur
Abmisibil sebagai pastor paroki non-imam. Pada tanggal 10 Agustus
1986, Pilot Tom Benoit (Alm) mengantar Andy Urpon didampingi
Kepala Kampung Abmisibil, Robert Ningdana (alm.) berangkat ke
Aboy. Pada saat itu, Camat Wiro Watken sudah memasukkan Aboy ke
dalam wilayah administrasi Kampung Abmisibil sehingga semua urus-
an pemerintahan diatur dalam administrasi Kampung Abmisibil.
Kedatangan Andy Urpon dan Roberth Ningdana disambut hangat
oleh Kepala Suku besar Walpa Bamu dan Thomas Ilapken Payumka
bersama Daniel Matongo, staf Kecamatan Okbibab yang sudah berada
72  Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang

di Aboy sebelumnya. Sebuah telur ayam hutan diberikan kepada Andy


Urpon oleh Kepala Suku Walpa. Pemberian telur ayam kampung ini
menjadi simbol penyerahan dusun untuk pengembangan Gereja Katolik
di wilayah Aboy. Kemudian pada tanggal 12 Agustus 1986, guru
katekis tua Herman Psebo dan seorang perawat bernama Demianus
Urpon (Alm) tiba di Aboy untuk orientasi pelayanan kesehatan bagi
masyarakat Aboy.
Tahun 1987, terjadi gejolak sosial yang mengganggu keamanan
di Kampung Yapil. Peristiwa ini terjadi di saat Kariso menjadi Camat
di Kecamatan Okbibab yang juga membawahi wilayah Aboy. Keadaan
ini berdampak terhadap gagalnya pembangunan gedung SD Inpres
Aboy. Daun senknya digunakan Andy Urpon selaku pastor awam di
Paroki Bintang Timur Abmisibil untuk membangun sebuah gedung
darurat setelah meminta izin kepada Camat Kariso. Gedung darurat
itu memiliki dua ruang yang digunakan masing-masing sebagai kapel
untuk kegiatan gereja dan ruang lain dimanfaatkan sebagai SD Kecil
untuk mengajarkan anak-anak Aboy membaca, menulis, dan berhitung.
Sekitar Mei 1987 gedung itu resmi dipakai. Daud Setamanki, Willem
Mimin dan Otto Uropmabin asal Sabin secara sukarela mengajar agama
dan membaca, menulis, berhitung kepada anak-anak Aboy.
Pada tanggal 11 November 1987 terjadi peristiwa pembunuhan
Kepala Suku Walpa. Peristiwa ini berdampak besar terhadap proses pem-
bangunan manusia Aboy yang sedang dimulai. Masyarakat yang mulai
ditata, yang mulai mengantar anak-anaknya ke sekolah dan mulai terlibat
dalam kegiatan Gereja secara mendadak lari ke hutan meninggalkan
Aboy. Melihat keadaan seperti itu, Andy Urpon mengirimkan 5 anak ke
SD YPPK Abmisibil. Salah satunya adalah Willem Nukaipra yang kini
menjadi Kepala Puskesmas Aboy.
Lama kemudian setelah terjadi peristiwa pembunuhan itu, terjadi
banjir tahunan besar yang juga sangat berdampak terhadap apa yang
Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang  73

sudah dimulai Gereja Katolik. Lapangan terbang yang sudah dibangun di


masa pemerintahan Camat Wiro Watken rusak dilanda banjir. Lapangan
tersebut sudah tidak layak untuk digunakan lagi.
Karena itu, pada tahun 1990, Sr. Agustina, KSFL yang berbasis
pelayanan di Oksibil bersama Andy Urpon kembali mengunjungi
Aboy untuk survei lokasi baru guna membuka lapangan terbang baru.
Akhirnya, lapangan terbang baru dibangun dan digunakan sampai saat
ini. Meskipun demikian, lebih dari 10 tahun lamanya aktivitas sekolah
belum berjalan secara efektif karena tidak ada tenaga guru. Pada tahun
2002, sekolah kembali dibuka. Vincent Kalaka menjadi tenaga sukarela
untuk mulai mengajar. Pada saat itu Pastor Paroki Bintang Timur
Abmisibil, RD Michael Mote, memberikan bantuan daun senk sehingga
mulai dibangun gedung sekolah baru.
Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan politik di tingkat
nasional yang berdampak terhadap perubahan kebijakan politik pem-
bangunan daerah. Sementara di tingkat lokal Papua terjadi peningkatan
eskalasi politik tuntutan Papua merdeka. Keadaan ini berimbas pada
terjadinya pemekaran 13 Daerah Otonomi Baru (DOB) di Provinsi
Papua berdasarkan UU No. 26 Tahun 2002. Salah satunya adalah Kabu-
paten Pegunungan Bintang. Sebagai sebuah kabupaten baru, meskipun
ada berbagai kendala dan keterbatasan, Pemerintah Daerah Kabupaten
Pegunungan Bintang berupaya keras melaksanakan berbagai kebijakan
pembangunan yang dapat dijangkau seluruh masyarakat, termasuk
masyarakat Aboy. Dampaknya, ada desakan masyarakat Aboy untuk me-
mekarkan wilayahnya menjadi sebuah distrik baru. Pemerintah Daerah
baik kalangan eksekutif maupun legislatif Kabupaten Pegunungan
Bintang merespon permohonan masyarakat ini secara positif. Aboy kini
berstatus Distrik Aboy, sebuah wilayah pemerintahan distrik baru yang
dimekarkan dari Distrik induk Okbibab.
74  Bab III Sejarah Gereja Katolik di Pegunungan Bintang

Kini Distrik Aboy berbenah diri. Sebuah lapangan terbang baru


yang panjang dan besar sedang dibangun di wilayah Distrik Aboy. Un-
tuk mengenang jasa Kepala Suku Walpa yang menerima kehadiran
peradaban bagi Suku Lepki, Suku Omkai, Suku Kimki dan Suku Yetfa
yang mendiami sepanjang Kali Sofker, lapangan terbang tersebut diberi
nama Lapangan Terbang Walpa Bamu. Sementara Gedung Gereja Kato-
lik di Aboy diberi nama Gereja Katolik St. Thomas, sekaligus untuk
mengenang nama Kepala Suku Thomas Payumka yang juga bersama
Kepala Suku Walpa menyambut kedatangan Andy Urpon di Tanah
Sofker, simbol kehadiran Gereja Katolik di Tanahnya Suku Lepki. Suku
Omkai, Suku Kimki dan Suku Yetfa.
Bab IV
Sejarah GIDI
di Pegunungan Bintang

A. Sekilas Sejarah GIDI di Papua

Pada abad ke-19, orang Papua secara umum masih menganut


agama asli, kecuali beberapa orang di daerah Raja Ampat dan sekitarnya
yang telah menganut ajaran agama Islam akibat pengaruh dari Kerajaan
Ternate dan Tidore di Maluku. Awal agama Kristen masuk di Tanah
Papua, pertama dirintis oleh para penginjil berkebangsaan Jerman, yaitu
Pdt. C.W. Ottow dan Pdt. J.G. Geissler. Mereka adalah hasil didikan
Pendeta Gossner dari Jerman, yang kemudian diutus ke Tanah Papua
atas kerja samanya dengan Pdt. Heldring dari Negeri Belanda. Pada
tahun 1852, mereka tiba di Batavia (Jakarta) menggunakan Kapal yang
bernama ABEL TASMAN dari pelabuhan Rotterdam Belanda. Karena
mereka bukan orang Belanda, mereka lama sekali harus menantikan izin
ke Tanah Papua. Pada tahun 1854, mereka berada di Ternate. Setelah
memperoleh izin dari Sultan Tidore, mereka mengadakan pelayaran tiga
76  Bab IV Sejarah GIDI di Pegunungan Bintang

minggu dengan sebuah kapal dagang dan mendarat di Pulau Mansinam


pada tanggal 5 Februari 1855 dengan mengucapkan doa sulung mereka
“In Gottes Namen Bettraten Wir Das Land” (artinya: dengan Nama
Tuhan kami menginjak tanah ini).61 Untuk mengenang sejarah tersebut
setiap tanggal 5 Februari seluruh denominasi gereja di Tanah Papua,
Protestan maupun Katolik memperingati Hari Pekabaran Injil di Tanah
Papua sebagai awal peradaban orang Papua.
Setelah itu, pada awal dan pertengahan tahun 1900-an para penginjil
dari berbagai organisasi gereja, baik Protestan maupun Katolik mulai
berdatangan dan membuka pos-pos penginjilan di seluruh pelosok
Tanah Papua, termasuk Unevangelised Fields Mission (UFM) dan Asia
Pacific Christian Mission (APCM) dari Australia dan Regions Beyond
Missionary Union (RBMU) dari Amerika, yang merupakan perintis dari
Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Tiga penginjil yang merintis GIDI di
Tanah Papua adalah Hans Veldhuis, Fred Dawson, dan Russel Bond.62
Awalnya, mereka mulai merintis pos di Senggi, Kabupaten
Keerom, termasuk membuka lapangan terbang pertama pada tahun
1951-1954. Pada tanggal 20 Januari 1955, ketiga misionaris beserta 7
orang pemuda dari Senggi terbang dari Sentani tiba di Lembah Baliem
di Hitigima menggunakan pesawat amfibi “Sealander”. Lembah Baliem
sudah ditempati oleh beberapa organisasi gereja sehingga mereka ber-
jalan kaki dari Lembah Baliem ke arah barat pegunungan Jayawijaya
melalui daerah Piramid. Dari Piramid bertolak menyeberangi Sungai
Baliem dan menyusuri Sungai Wodlo dan tiba di Ilugwa. Setelah mere-
ka beristirahat, perjalanan dilanjutkan ke arah muara Sungai Ka’liga
(Hablifura) dan akhirnya tiba di Danau Archbol pada tanggal 21
Februari 1955.63

61
Van den End dan J. Weitjens, 1993, Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 2 1860-an
sampai Sekarang.Jakarta: BPK Gunung Mulia.
62
Lih. “Sejarah GIDI”, diakses dari www.pusatgidi.org pada 24 Januari 2016.
63
Idem.
Bab IV Sejarah GIDI di Pegunungan Bintang  77

Di area Danau Acrhbold untuk pertama kali mereka mendirikan


Kamp Injili dan meletakkan dasar teritorial penginjilan dengan dasar
visi: “Menyaksikan Kasih Kristus Kepada Segala Suku Nieuw Guinea”,
didasarkan pada Kisah Para Rasul 1:8. Dalam tahun itu pula, pada
25 Maret 1955 pesawat jenis JZ-PTB Piper Pacer berhasil mendarat
di Danau Archbold. Mereka membuka lapangan terbang di Archbold
sambil mengadakan survei pengembangan pelayanan di sekitar Bokon-
dini dan Kelila. Nama Danau Archbold diambil dari nama seorang ahli
Zoologi dan dermawan yang mensponsori ekspedisi biologis untuk
New Guinea tahun 1907-1976 bernama Richard Archbold.64
Pada Maret 1955, Bert Power dan Ross Bertell tiba di Bokondini.
Selain misi UFM, Gesswein dan Widbin bersama Misi ABMS lainnya
meninggalkan Kamp Injili Archbol pada tanggal 28 April dan tiba di
Bokondini pada tanggal 1 Mei 1955. Di Bokondini membuka lapangan
terbang pertama tanggal 5 Juni 1965 dan Pilot Dave Steiger mendaratkan
pesawat pertama kali di Bokondini. Sejak itu, secara resmi dibuka Pos
UFM dan APCM di Bokondini sebagai basis penginjilan di seluruh
pegunungan tengah Papua. Pada 5 Juni 1957, pesawat MAF pertama
kali mendarat di Swart Valley (sekarang Karubaga Wilayah Toli, ibukota
Kabupaten Tolikara). Pada Agustus 1958 tiga orang UFM, yakni Ralph
Maynard, Bert Power dan Leon Dillinger, berjalan kaki dari Karubaga
menuju ke daerah Yamo membuka lapangan terbang di Mulia.65
Setelah membuka pos-pos penginjilan, Badan Misi UFM dan
APCM melakukan pembaptisan selam pertama di Kelila dan beberapa
tempat sebagai cikal bakal jemaat awal dalam sejarah Gereja Injili di
Indonesia (GIDI): Kelila (29 Juli 1962), Bokondini (16 September
1962), Karubaka (24 Februari 1963), Kanggime (27 Januari 1963),
Mulia (14 Juli 1963), dan Ilu (29 Mei 1963).66

64
Idem
65
Idem..
66
Idem..
78  Bab IV Sejarah GIDI di Pegunungan Bintang

Gereja pribumi ini semakin bertumbuh dan mengalami kemajuan


yang sangat pesat. Karenanya, para pendiri bekerja sama dengan Tiga
Badan Misi: APCM, UFM dan RBMU. Mereka bersepakat mendirikan
Gereja dengan nama sendiri (terpisah dari gereja-gereja dari luar).
Akhirnya, pada tanggal 12 Februari 1963 mereka bersepakat memberi
nama Gereja ini pertama kali disebut Gereja Injili Irian Barat (GIIB)
sampai 1971 dengan pusat Gereja di Irian Jaya. Pada tahun 1971, nama
GIIB diganti dengan GIIJ (Gereja Injili Irian Jaya) sampai 1988, sejalan
dengan masa peralihan Irian Barat ke wilayah NKRI di mana nama
Irian Barat diganti dengan Irian Jaya. Pada tahun 1988, nama Gereja
ini berubah menjadi Gereja Injili di Indonesia (GIDI) sesuai dengan
perkembangan dan pertumbuhan Gereja dari Tanah Papua merambah
hingga ke pulau-pulau seluruh Nusantara Indonesia.67
GIDI kini semakin berkembang dan melebarkan sayapnya ke
mana-mana. Untuk saat ini, secara keseluruhan terdiri atas 8 wilayah
pelayanan di seluruh Indonesia: 61 klasis dan 11 calon klasis. Tidak
hanya pelayanan umat di gereja, GIDI juga turut terlibat dalam pe-
layanan karya-karya sosial dengan membangun pendidikan dan pela-
yanan kesehatan kepada masyarakat. Misalnya, STAKIN, SAID dan
STT GIDI di Sentani. Juga mendirikan Sekolah Alkitab berbahasa
daerah (7 sekolah), TK-PAUD (5 sekolah), SMP dan SMU (9 sekolah),
yang tersebar di seluruh wilayah GIDI. Di bidang kesehatan terdapat
2 buah rumah sakit mini, yaitu Klinik Kalvari di Wamena dan Rumah
Sakit Immanuel di Mulia.68

67
Idem.
68
Idem.
Bab IV Sejarah GIDI di Pegunungan Bintang  79

B. Sejarah GIDI di Pegunungan Bintang


Berdasarkan kajian litaratur terhadap data-data sekunder,
dapat dikemukakan bahwa pembahasan mengenai sejarah GIDI di
Pegunungan Bintang sangat terbatas. Oleh karena itu, ke depan perlu
dilakukan eksplorasi sumber-sumber data primer maupun sekunder
untuk menulis sejarah GIDI di Pegunungan Bintang karena referensi
yang ada tidak mengungkap pelaku-pelaku sejarah sebagai pahlawan-
pahlawan pembangunan iman di daerah ini. Dalam penulisan sejarah,
pemuatan pelaku sejarah merupakan suatu penghormatan atas jasa-
jasanya. Jika tidak, para pelaku sejarah semakin terlupakan seiring per-
kembangan waktu oleh generasi masa kini dan mendatang.
Beberapa dokumen mengungkapkan bahwa sejarah GIDI di Pegu-
nungan Bintang dimulai oleh para penginjil dari Unevangelised Fields
Mission (UFM) tiba di Oksibil menggunakan transportasi udara melalui
lapangan terbang Oksibil yang sudah dibangun sejak 1 Januari 1958. Pos
yang dibuka di Oksibil ini awalnya untuk keperluan penyelidikan ilmiah
dengan membentuk Yayasan Stichting Expeditie Nederlands–Nieuw-
Guinea, lebih khusus misi ekspedisi Sterrengebergte (Pegunungan
Bintang). Sebelum ada ekspedisi, pembukaan pos pemerintahan atau-
pun lapangan terbang di Oksibil, masyarakat sekitar hanya sebentar
bersentuhan dengan tim ekspedisi berkebangsaan Eropa tahun 1938-
1939, yaitu Ir. P.F. de Groot dan M.G.M. Bartels dari perusahaan
pertambangan NV Mijnbouw Maatschappij Nederlands-Nieuw-Guinea.
Pada waktu itu, mereka mengadakan ekspedisi ke daerah hulu Sungai
Digoel, mengunjungi Lembah Sibil, namun tidak sampai membuka
pos, dan lain-lain.69
Unevangelized Field Mission (UFM) menetap di Oksibil sejak
1960. Ada dua penginjil, yaitu: J. Greenfield dan M. Heyblom. Mereka

69
Schoorl, J.W. (Pim), 2011, Belanda di Irian Jaya ...
80  Bab IV Sejarah GIDI di Pegunungan Bintang

hanya aktif di tempat yang belum mengenal Injil. Orang yang bertobat
dibiarkan memilih menjadi anggota lingkungan gereja yang mana.
Kebutuhan penginjil itu sehari-hari dikirim oleh Missionary Aviation
Fellowship (MAF), organisasi yang beranggota mantan pilot angkatan
perang yang terlatih baik dengan menggunakan pesawat Cessna.70
Selain mereka, Mr. Audi Lockhard dari Bokondini melalui Wamena
tiba di Oksibil bersama dua pengikut dari Bokondini. Sejak itu Mr.
Audi Lockhard bersama pengikutnya melakukan survei di wilayah
Oknangul, dalam proses survei beberapa kali ia kembali ke Oksibil.
Namun tidak berlangsung lama. Pada Juni 1961, para penginjil dari
Unevangelized Field Mission (UFM) melakukan perundingan dengan
misionaris Fransiskan, Pater Adolf Herman Mous guna membagi Wila-
yah Pekabaran Injil/Alkitab. Kedua pihak sepakat sehingga penginjil
dari UFM mulai fokus ke arah utara, sementara misionaris Fransiskan
memperkuat basis di wilayah Oksibil. Dengan demikian, mulai tanggal 1
Januari 1961, Audi Lockhard mulai menetap dan melakukan penginjilan
di wilayah Oknangul (sekarang Kiwi) dan dibantu oleh pemuda setempat,
yakni Kotan Taplo dan Manim Hiktaop.
Sambil melakukan penginjilan, mereka membuka lapangan
terbang yang bisa didarati pesawat jenis Cessna. Proses pengerjaan
lapangan terbang Kiwi selesai dalam 3 bulan (September 1961) dan 30
Desember 1961 didarati pesawat jenis Cessna. Pembukaan lapangan
di Kiwi ini merupakan pangkalan utama pos pekabaran Injil wilayah
Pegunungan Bintang. Semua pinginjil yang menyebar ke seluruh
pelosok Pegunungan Bintang lebih banyak melalui pos pelayanan di
Kiwi, termasuk akses transportasi dari Jayapura ke Pegunungan Bintang
untuk kepentingan pekabaran Injil.
Beberapa tahun kemudian disusul beberapa penginjil datang ke
Kiwi. Mereka adalah Mr. Dilingger, Mr. Dave Coll dan Mr. Manner.
Mereka mulai memperkuat basis penginjilan dan terus melakukan

70
Idem.
Bab IV Sejarah GIDI di Pegunungan Bintang  81

penginjilan ke arah barat Kiwi, yakni Okbab, Borme, Nalca, Puldama,


Emdomen, dan sekitarnya.71 Misi penginjilan ini dibantu oleh penginjil
dari Pacific Christian Mission (APCM) dan para penginjil lokal dari
Kelila dan Bokondini.
Baptisan pertama cara selam wilayah Pegunungan Bintang dilaku-
kan di Hihiabakon, Kiwi tahun 1968 oleh penginjil Audy Lockhard
terhadap peserta 9 orang penduduk setempat sebagai awal pembangunan
Jemaat GIDI Pegunungan Bintang. Sebelumnya Audy Lockhard
melakukan penginjilan ke wilayah timur dari Oknangul, tepatnya
di Distrik Okyob pada tahun 1966. Ia dibantu oleh 2 pemuda, yaitu
Aipunok Kalakamabin dan Hekweng Kalakmabin. Kemudian tahun
yang sama ia melakukan penginjilan ke wilayah Barat, Okhiika dan
Oktenang, tepatnya di Bitipokbakon, Tumbiakabakon dan Tuplumpom.
Penginjilan di daerah ini dibantu oleh pemuda lokal, yakni Darius
Mimin, Mapumbiiki dan Mapumkiwoki. Selanjutnya survei ke arah
barat lagi yang didiami oleh suku Ketengban, yakni Okbab, Yapil,
Borme, Omban, dan sekitarnya.
Pada tahun 1970 daerah ini diperkuat oleh penginjil dari Christian
and Missionary Alliance (CAMA) dengan membuka pos di Yapil, Okbab
dan di Omban pada tahun 1972. Pos Okbab diperkuat lagi oleh Zending
dari UFM tahun 1973. Sementara pada tahun yang sama, 1970-1973
Jack Hook dari Kiwi melakukan survei bagian utara, didampingi oleh
Yosep Daniel Tepmul, Mapumki Woki, dan Etilko Taplo. Setelah survei
balik ke Kiwi. Pos penginjilan di Batom mulai dilakukan penginjilan
pada tahun1973 dibantu oleh Tomi Hiktaop, Boas Murib, Yakob Taplo
dan beberapa pemuda.
Pada tahun 1974, para penginjil mengadakan survei dan membuka
pos di daerah Bime dan tahun 1976-1977 membuka pos penginjilan
di Eipomek. Sebelumnya masyarakat Eipomek pernah kontak dengan

71
Pagawak, Rony, 2007, Sejarah Masuk dan Lahirnya Gereja Injil di Indonesia, Wamena:
Lembaga P3 GIDI Wilayah Bogo.
82  Bab IV Sejarah GIDI di Pegunungan Bintang

dunia luar; tepatnya pada tahun 1959 dilakukan ekspedisi Pierre


Gaisseau dari selatan ke pantai utara Papua. Kebetulan orang-orang
yang melakukan ekspedisi melintasi wilayah Eipomek sehingga sempat
kontak dengan penduduk setempat. Pada bulan Juni 1974, para peneliti
dari Jerman melintasi pegunungan, sungai, hutan lebat hingga tiba di
Eipomek. Mereka melakukan penelitian interdisipliner yang diprakarsai
oleh Gerd Koch dan Klaus Helfrich dari Museum Für Völkerkunde di
Berlin dan didanai oleh Deutsche Forschungsgemeinschaft.72 Dengan
penelitian ini, sejumlah peralatan benda-benda warisan budaya suku
Mek didokumentasi di Berlin. Terkait hal ini pemerintah Pegunungan
Bintang beberapa kali berkunjung ke Jerman, dan pihak Jerman bersedia
mendukung pembangunan Pegunungan Bintang, khususnya bidang
pariwisata budaya.
Setelah pos penginjilan dibuka di Bime dan Eipomek, tahun 1976,
terjadi musibah gempa bumi dahsyat yang menewaskan ratusan pen-
duduk. Waktu itu akses informasi, komunikasi dan transportasi tidak
sepesat sekarang sehingga belum dipastikan berapa jumlah korban
musibah ini, namun berdasarkan sejumlah saksi bahwa korban diperkira-
kan ratusan mendekati seribu orang.
Pada tahun 1978-1979 penginjil lokal, Darius Uopmabin membuka
pos penginjilan bagian selatan yang didiami suku Kambom. Pada tahun
1982, Jack Hook beserta pemuda lokal dari Kiwirok membuka lapangan
terbang di daerah Mot, yang didiami Suku Murkim. Kemudian wilayah
Mot, Bias, dan sekitarnya dilakukan penginjilan tetap pada tahun 1992
oleh Jack Hook bersama Darius Mimin, Yosua Mimin dan Gad Tepmul.
Mereka juga melakukan survei dan membuka lapangan terbang dan
pos pelayanan di Bias, Suku Jefta tahun 1982 dan membuka lapangan
terbang pada tahun 1996.

72
Lih. “Reactions to cultural change: Among the Eipo in the Highlands of West-New Guinea”,
diakses dari https://civilisations.revues.org pada 24 Januari 2016.
Bab IV Sejarah GIDI di Pegunungan Bintang  83

Pada Tahun 1989 penginjilan mulai dirintis di wilayah lembah


Kower (bagian barat dari Oksibil) dan di Singsingbuk tahun 1993 oleh
penginjil Nong Tepmul. Pada tahun 2003 dilakukan survei di wilayah
Korowai dan Kosi Bungkus. Hasil surveinya membuahkan hasil akhir
mulai tahun 2008. Di bawah pimpinan Yokno Almenius Mimin dibuka
pos penginjilan di daerah ini.
Buah-buah roh yang ditanam di Tanah Aplim Apom ini tumbuh
subur di seluruh polosok Pegunungan Bintang, ditandai dengan
banyaknya penduduk yang memeluk agama Protestan (GIDI). Kurang
lebih 70% dari total jumlah penduduk Pegunungan Bintang merupakan
jemaat GIDI. Menurut data statistik tahun 2015 yang dikeluarkan Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Pegunungan Bintang, jumlah tempat
peribadatan agama protestan 179 buah dan jumlah rohaniwan 519
orang; sedangkan Katolik memiliki 22 buah tempat ibadah dan 26 orang
rohaniwan. Dari data-data ini menunjukkan betapa suburnya buah-buah
roh yang ditanam oleh perintis GIDI di Tanah Aplim Apom. Hingga
tahun 2015 GIDI di Tanah Aplim Apom sebagai wilayah pelayanan
sendiri yang dipimpin oleh seorang Kordinator Wilayah (Korwil), dan
memiliki 5 klasis definitif, yaitu: Klasis Kiwirok, Klasis Borme, Klasis
Okhiika, Klasis Bime dan Klasis Okbab. Setiap klasis kini ditempati
minimal 4 gembala daerah. Untuk mendukung pelayanan, GIDI wilayah
Pegunungan Bintang memiliki beberapa sekolah, yaitu Sekolah Alkitab
GIDI Imanuel Ngalum Okhiika dan Sekolah Alkitab GIDI Imanuel
Ketengban, tepatnya di Klasis Borme. Selain kedua sekolah tersebut,
di Oksibil dan Kiwirok sudah mulai dirintis perguruan tinggi GIDI. Hal
ini akan mendorong peningkatan pelayanan masyarakat nantinya.
Bab V
Sejarah GJRP di Papua

G ereja Jemaat Reformasi Papua (GJRP) adalah salah satu Gereja


Protestan yang menjalankan misi penginjilan dan pelayanan
kemanusiaan di Papua. Gereja ini tumbuh, berkembang dan menyebar
di wilayah otoritas Suku Yali, Kabupaten Yalimo; Suku Mek dan Suku
UKAM (Una, Kopkaka, Momuna) di daerah Kabupaten Yahukimo,
serta Suku Una dan Suku Arimtab di Kabupaten Pegunungan Bintang.
GJRP tidak begitu akrab bagi kebanyakan orang Papua, khususnya
masyarakat Pegunungan Bintang. Hal ini karena secara kuantitas umat
atau Jemaat GJRP tidak sebanyak Gereja Injili di Indonesia (GIDI)
dan Gereja Katolik yang sudah terlebih dahulu menjalankan misi pe-
layanannya di Pegunungan Bintang. Jemaat GJRP di Pegunungan
Bintang terpusat di Distrik Alimsom dan Distrik Awimbon. Jumlah
pemeluk GJRP di Pegunungan Bintang belum diketahui secara pasti.
Namun karena dua distrik tersebut mayoritas mengikuti GJRP, jumlah
jemaatnya bisa diketahui berdasarkan jumlah penduduk yang dike-
luarkan Badan Pusat Statistika (BPS) Kabupaten Pegunungan Bintang.
Menurut BPS Kabupaten Pegunungan Bintang yang terangkum dalam
buku Pegunungan Bintang dalam Angka Tahun 2015, jumlah penduduk
86  Bab V Sejarah GJRP di Papua

Distrik Alemsom sebanyak 2.169 jiwa dan Distrik Awimbon sebanyak


562 jiwa. Berdasarkan data tersebut, jumlah jemaat GJRP di Kabupaten
Pegunungan Bintang diperkirakan mencapai 3.000 jiwa pada tahun
2015. Data ini perlu dicek lagi dengan data internal GJRP tentang jum-
lah jemaatnya.
Perpaduan data jumlah penganut GJRP di Kabupaten Pegunungan
Bintang antara BPS dan internal GJRP diperlukan agar data tersebut
dapat digunakan, baik untuk kepentingan internal gereja maupun seba-
gai bahan dasar kajian dan pengambilan kebijakan pembangunan daerah
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pegunungan Bintang.
Gereja Jemaat Reformasi Papua (GJRP) merupakan embrio dari
Zending Gereformeerde Gemeenten (ZGG) dari Belanda. Gereja ini
termasuk anggota Gereja Reformasi. Dalam bahasa Belanda disebut
Gereformeerd atau Hervormd, yang merupakan denominasi Gereja
Kristen Protestan yang mengikuti teologi Calvinisme (sebuah sistem
teologis dan pendekatan kehidupan Kristen yang menekankan kedaulat-
an pemerintahan Allah atas segala sesuatu). Menurut sebuah survei
tahun 1999 ada 746 denominasi Hervormd di seluruh dunia, salah
satunya adalah Gereja Jemaat Reformasi Papua.73

Kronologis Sejarah Gereja Jemaat Reformasi Papua (GJRP)

Kronologis sejarah dihimpun dari situs resmi ZGG di Belanda.


Karya ZGG dimulai dengan misi pelayanan untuk pengungsi asal
Armenia. Ketika itu dibentuklah sebuah panitia yang dikomandani
oleh D.J. Benjamin pada tahun 1908. Setelah itu Mr. D.P. Polder pada
tahun 1950 mengusulkan perlu ada misi pelayanan. Usulan itu diterima
dan misi mulai dilakukan di Oosterkerk (Gereja Reformasi) di kota
Utrecht Belanda. Kemudian ZGG merencanakan untuk melakukan misi
pelayanan di beberapa negara di luar Belanda, yakni Papua (Indonesia),
Nigeria, Afrika Selatan, Ekuador dan Alabania.

73
Lih. “Gereja Reformed”, diakses dari www.id.wikipedia.org pada 20 Desember 2015.
Bab V Sejarah GJRP di Papua  87

Misionaris pertama dikirim ke Tanah Papua pada tahun 1962.


Kemudian dikirim misionaris kedua ke Igede, Nigeria pada tahun
1963. Misionaris ketiga dikirim di Afrika Selatan pada tahun 1973.
Selanjutnya ZGG mengirimkan misionarisnya ke Albania tahun 1994
setelah jatuhnya komunisme dan misionaris kelima dikirim ke Ekuador
tahun 1995.74
Dalam sejarah misi penginjilan ZGG, Papua tercatat sebagai daerah
misi pertama. Pendeta Gerrit Kuijt, yang kini terkenal sebagai tokoh
perintis GJRP di Tanah Papua menjadi misionaris pertama.75 Gerrit Kuijt
dibesarkan di Kota Katwijk, Belanda. Ia menyelesaikan pendidikan
kependetaan di Sekolah Teologi Gereja Reformasi di Rotterdam. Pada
15 Februari 1962, Gerrit Kuijt berangkat dari Rotterdam menggunakan
kapal “Orange”, untuk misi penginjilan di Tanah Papua.76 Tepat pada 28
Oktober 1963, Pdt. Gerrit bersama rombongan dari Wolo tiba di Kali
Bion, Lembah Abenaho (wilayah Kabupaten Yalimo sekarang). Pendeta
Gerrit Kuijt bersama keluarganya diterima dengan salam khas “wa, wa,
wa” oleh orang Suku Yali sebagai ungkapan selamat datang. Ungkapan
ini menunjukkan bahwa mereka diterima secara terhormat, walaupun
orang Yali tidak mengenal para penginjil sebelumnya. Peristiwa ini
menunjukkan campur tangan Tuhan dalam misi Penginjilan ini. Hari
pertama, Gerrit Kuijt bersama rombongannya bermalam di honai milik
Anggenma Nekwek. Setelah beberapa waktu di sana, beberapa orang
suku Yali menerima Injil, di antaranya Hogfan Nekwek, Sabonwarek
Nekwek, Kaharima Dabi, Helanma Wandik dan Hohol Wandik.77
Sambil melakukan pekerjaan penginjilan, Gerrit Kuijt bersama
masyarakat membangun lapangan terbang. Lapangan itu selesai diker-
jakan pada tahun 1964 dan didarati oleh pesawat MAF jenis Cessna.
Karena ada lapangan terbang ini, para misionaris dimudahkan untuk

74
Lih. “Uit de geschiedenis van ZGG”, diakses dari www.zgg.nl pada 20 Desember 2015.
75
Idem.
76
Lih. “Profil Gerrit Kuijt”, diakses dari www.nl.wikipedia.org pada 20 Desember 2015.
77
Lih. “Panti Asuhan Elisa - Maju Walau Terbatas”, diakses dari www.majalahlani.com pada
20 Desember 2015.
88  Bab V Sejarah GJRP di Papua

mengakses pengiriman kebutuhannya dari dan ke luar daerah ini. Pada


tahun 1967 Pos Penginjilan di Landikma dibuka secara resmi. Pos ini
dibantu oleh beberapa pemuda setempat yang telah dipersiapkan se-
belumnya untuk memudahkan pelayanan. Pada tahun 1968, dibuka
Sekolah Alkitab di Abenaho dengan tujuan menyiapkan para gembala
lokal untuk membantu pekabaran Injil ke beberapa daerah yang belum
mendapat sentuhan penginjilan. Pada Juli 1969, keluarga Fahner tiba
di Pass Valley atau Abenaho. Kehadiran keluarga Fahner membawa se-
mangat baru sekaligus menghilangkan kesepian keluarga Kuijt. Fahner
adalah seorang ahli bahasa. Ia dikirim ke Papua untuk menerjemahkan
Alkitab dalam bahasa daerah sehingga setelah tiba ia langsung mulai
dengan menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Yali. Pada tahun yang
sama Sekolah Dasar (SD) dibuka di Abenaho dan dilakukan pembaptisan
pertama terhadap 96 orang dewasa dan 51 anak-anak.78
Pada tahun 1970, tibalah dua perawat dari Belanda: Merry Van
Moolenbroek dan Jannie Hofland. Mereka membuka sebuah poliklinik
di Landikma. Kedatangan mereka sangat berarti dalam pelayanan ke-
sehatan. Banyak pesien tertolong. Pada tahun 1971, datanglah tenaga
teknik dan penerjemah Alkitab, yakni Looijen dan Louwerse. Pada
tahun itu ZGG melebarkan sayap pelayanan dan penginjilannya dengan
membuka pos penginjilan baru di wilayah Nipsan.79
Pada tahun 1973, terjadi baptisan pertama di Landikma dan dibuka
pos baru di Langda pada tanggal 12 Juni 1973. Untuk pembukaan pos
ini, Pendeta Kuijt bersama Louwerse dan empat puluh tenaga kerja dari
Pass Valley atau Abenaho datang ke Langda. Setelah itu Kuijt kembali
ke Pass Valley dan di Langda ditempati oleh Louwese. Selama setahun
Louwese membuat lapangan terbang, membangun sebuah gedung serba
guna, termasuk ruang polikliknik dan juga dibangun sebuah rumah
sederhana untuk keluarga Louwerse sendiri.80

78
Idem.
79
Kranendonk. B.W., dan A.F. van Toor (diterjemahkan oleh Barry van der Schoot, 2007).
Jejak seorang pekabar Injil di Papua, Gerrit Kuijt. Jakarta BPK Gunung Mulia
80
Idem.
Bab V Sejarah GJRP di Papua  89

Pada tahun 1974 keluarga Pendeta Vreugdenhil diutus ke Tanah


Papua. Pada tahun tersebut dibuka Sekolah Alkitab di Landikma, dan
Pos Nipsan sementara ditutup karena para penginjil di Nipsan dibunuh
oleh masyarakat setempat, tepatnya pada 11 Mei 1974. Mereka adalah
Imbad, Obed, Stafanus, Abraham, Mandi, dan pembantu Kuijt. Sebe-
lumnya pada waktu cuti di Pass Valley, Mandi mengatakan bahwa
dia siap melayani Nipsan. Ketika teman-temannya menasihati bahwa
daerah Nipsan sangat berbahaya, ia mengatakan, “Kalau saya terbunuh,
pasti hidup saya akan diserahkan Tuhan sebagai korban persembahan
yang menyenangkan hati Tuhan.” Jawabannya itu sangat menghibur
hati Pendeta Kuijt, meskipun di balik itu ada berbagai pertanyaan yang
berkecamuk di benak Kuijt.81
Pada tahun 1975 dibuka Sekolah Dasar di Langda, sambil dilaku-
kan survei di wilayah Bomela. Setelah beberapa kali melakukan kontak
dengan masyarakat setempat, Louwerse meminta Kuijt untuk membuka
Pos di Bomela pada tahun 1976 karena dia seorang perintis yang
mempunyai banyak pengalaman membuka pelayanan di daerah yang
belum pernah terjangkau Injil. Pendeta Kuijt pun setuju dan anggota
Tim Zending lain bersedia membantunya. Louwerse mengusahakan
pembangunan sebuah rumah sederhana di Bomela. Untuk itu, tugasnya
adalah meratakan tanah lokasi pembangunan rumah, sedangkan Looijen
dan Pendeta Vreugdenhil dan beberapa orang dari Langda berjalan kaki
ke Bomela dan membangun rumah sederhana kamar tiga, cukup untuk
keluarga Kuijt. Sejak awal, hubungan orang Bomela dengan Pendeta
Kuijt cukup baik. Keramahan itu mungkin dipengaruhi oleh sikap
kepala suku Yuan yang sejak pertemuan awal menawarkan kerja sama
dan kesediaan untuk menjalin persahabatan. Seperti yang dilakukan di
pos-pos sebelumnya, Pendeta Kuijt memulai dengan membuat sebuah
lapangan terbang di Bomela yang dibantu oleh beberapa orang dari
Landikma. Setelah delapan setengah bulan bekerja keras, akhirnya pilot

81
Idem.
90  Bab V Sejarah GJRP di Papua

Bob Breuker berhasil mendaratkan pesawatnya di Bomela pada 3 Mei


1977. Pada tahun 1975, terjadi gempa bumi yang dahsyat sepanjang
Pegunungan Tengah yang telah menewaskan ribuan jiwa. Di wilayah
Pegunungan Bintang terjadi gempa setelah pos penginjilan dibuka di
Bime dan Eipomek. Sementara itu, Alkitab Perjanjian Baru berbahasa
Yali yang diterjemahkan oleh Fahner, tercetak dan digunakan oleh
masyarakat setempat.82
Pada tahun 1978, pos di Nipsan dibuka kembali. Selama Pendeta
Kuijt berada di Pos Bomela, seringkali pikirannya melayang ke Nipsan.
Kuijt yakin bahwa orang Nipsan pada suatu hari akan menerima Injil
dan mengakui Allah. Untuk itu, Pendeta Kuijt berdoa setiap hari untuk
warga Nipsan. Berkat doa dan keberaniannya, Kuijt, Sabonwarek, tujuh
belas orang Kosarek dan beberapa orang dari Piramid Wamena dengan
berbagai cara akhirnya membuka kembali Pos Nipsan. Upaya yang
dilakukan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan
berbagai strategi dan langkah untuk mengambil hati orang Nipsan.
Akhirnya, doa seorang hamba Tuhan (Kuijt) terkabul. Pada tahun itu,
sembilan jemaat didirikan di Landikma, dipimpin oleh enam penginjil
dari Suku Dani. Pada tahun itu juga, baptisan pertama dilakukan di
Langda.83
Para penginjil melakukan survei di daerah Sumtamon (wilayah
pemerintahan Distrik Alimsom Kabupaten Pegunungan Bintang) tahun
1977-1978. Setahun kemudian, tepat pada tanggal 9 April 1979 pos
penginjilan di Sumtamon dibuka. Penginjil yang merintis wilayah ini
lebih banyak dari Langda, di antaranya: Nyonyo Nabyal, Karba Nabyal,
Yonas Balyo, Yusak Balyo, Leo Nabyal, Mianyi Balyo dan Nikodemus
Balyo. Baptisan pertama di wilayah ini adalah Kinon Alya, Hotongner
Alya dan Kwaningner Kipka.
Pada tahun 1979, tercatat juga 8 jemaat didirikan di Abenaho
dan Sekolah Alkitab baru didirikan di Landikma yang diikuti oleh

82
Idem.
83
Idem.
Bab V Sejarah GJRP di Papua  91

tujuh puluh mahasiswa. Datang juga seorang Zuster bernama Hermien


Tuinier dari Belanda.
Dua tahun kemudiaan, pada tahun 1981 angkatan pertama sekolah
Alkitab di Landikma tamat. Sementara masyarakat di Nipsan, yang
awalnya menolak orang asing masuk di daerah mereka, disadarkan
melalui kuasa Firman Tuhan sehingga mereka membakar seluruh
peralatan tradisional yang mengandung unsur-unsur gaib. Selain itu,
untuk mendukung pengembangan sumber daya manusia di bidang
pendidikan nonformal, datanglah keluarga Janse dari Negeri Belanda.
Selain itu, juga ada penambahan seorang pilot asal Amerika untuk
membantu penginjilan, yaitu Pilot Meeuwse, dan Kapita Selekta dari
penerjemahan Alkitab dalam bahasa Una dibuat.
Tahun 1982 dilakukan pembakaran alat-alat tradisional yang me-
ngandung gaib (alat-alat berhala) di Lembah Bo (Ikmok). Pos peng-
injilan waktu itu ada di Seramong, yang dibuka pada Oktober 1979 atas
perintah Kuijt. Kurang lebih ada empat orang pinginjil yang didatangkan
untuk pelayanan di Lembah Bo. Pada tahun itu, para misionaris ZGG
dan penginjil lokal melakukan banyak hal, yakni: menyelenggarakan
ujian terhadap sejumlah gembala pertama yang siap diterjunkan untuk
pelayanan di setiap pos penginjilan, melakukan pembaptisan perdana
di pos penginjilan Bomela dan Sumtamon, dibuat Kapita Selekta dari
penerjemahan Alkitab Perjanjian Lama bahasa Yali, dan dibentuklah
sebuah yayasan pendidikan bernama Yayasan Kristen Pelayanan Ma-
syarakat Indonesia (YAKPESMI), dengan tujuan membangun sumber
daya manusia putra-putri dari wilayah pelayanan ZGG.
Pada tahun 1983, orang dari suku Yali memulai tradisi baru dengan
menguburkan jenazah orang meninggal. Sebelumnya, orang suku Yali
juga sama seperti Suku Dani, mempunyai tradisi pembakaran jenazah,
menguburkan abu jenazah dan menghanyutkan abu jenazah ke sungai.
Namun, dengan adanya para misionaris, masyarakat setempat mulai
menguburkan jenazah. Pada tahun ini pula, keluarga Jan Lock tiba di
92  Bab V Sejarah GJRP di Papua

Tanah Papua untuk bekerja di bidang pertanian. Menjelang akhir tahun


1983 terjadi bencana kekurangan pangan akibat kekeringan dan kemarau
panjang. Terhitung dari Oktober-Desember 1983, di Desa Nipsan
Kecamatan Kurima (Kabupaten Jayawijaya sebelum pemekaran), 36
orang tewas sedangkan 5.000 orang terancam rawan pangan waktu
itu.84 Pada tahun itu dilakukan pembaptisan di Sumtamon atas 25 orang:
15 laki-laki dan 10 perempuan.
Buah-buah roh yang ditanam oleh para misionaris ZGG mulai
kelihatan hasilnya. Pada 25 Juni 1984, Sidang Sinode pertama dilaku-
kan di Abenaho dan mendirikan Gereja Jemaat Protestan di Irian Jaya
(GJPI) sebagai bentuk nasionalisasi gereja. Sepanjang tahun 1984
sampai dengan awal 2000-an nama gereja sering diubah-ubah, namun
berdasarkan sidang Sinode AM di Abenaho pada tahun 2012 ditetapkan
menjadi Gereja Jemaat Reformasi Papua (GJRP).
Setelah mendirikan GJPI tahun 1984, mulailah perintisan misi di
bagian Seradala. Selanjutnya, pada tahun 1985 terjadi kontak pertama
para misionaris dengan orang di wilayah Samboga. Kemudian menyusul
tahun berikutnya GJRP memulai misi penginjilan di wilayah Lelambo.
Sementara itu, misi penginjilan di wilayah Una mulai berkembang.
Pada tahun 1987, tibalah Dick Kroneman dengan tujuan melakukan
penelitian. Ia juga melakukan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa
Una. Salah satu judul penelitiannya adalah “Aman dalam Perlindungan
Tuhan: Penelitian Eksegetis, Sosiologis, dan Misiologis Mengenai
Perlindungan Allah Terhadap Kuasa-Kuasa Gelap Menurut Mazmur 91
dan Menurut Pandangan Masyarakat Una di Papua”.85
Selanjutnya, Keluarga Ten Hove bergabung. Semula mereka
mengajar di sekolah internasional, tetapi selanjutnya mulai membantu
mengembangkan sumber daya manusia melalui pendidikan formal untuk
anak-anak dari wilayah penginjilan. Setahun kemudian di daerah-daerah

84
Lih. “Kelaparan di Irja: Depsos Segera Kirim Bahan Makanan”, diakses dari www.library.
ohiou.edu pada 28 Desember 2015.
85
Lih. “Profil Dick Kroneman, Ph.D”, diakses dari http://www.sil.org pada 28 Desember
2015.
Bab V Sejarah GJRP di Papua  93

baru yang telah dilakukan kontak atau pendekatan dengan masyarakat,


yakni Samboga dan Lelambo, dibuka dan dilakukan baptisan pertama
di daerah Nipsan. Sebelum melakukan pembaptisan, banyak di antara
mereka yang sungguh-sungguh mengakui dosa dan dengan menangis
menyesali perbuatannya.
Pada tahun 1989, Alie Buijert, seorang tenaga medis, didatangkan
untuk membantu pelayanan kesehatan di wilayah penginjilan. Setahun
kemudian menurut pantauan para misionaris, kegiatan di Seradala
semakin bertambah dan meningkat, pertanda kuasa Tuhan bekerja
untuk menumbuhkan iman masyarakat setempat. Pada tahun 1990
juga para penginjil melakukan kontak atau hubungan pertama dengan
orang Awimbon, arah selatan Oksibil. Kemudian untuk memudahkan
pelayanan penginjilan di wilayah penginjilan, didatangkan seorang
pilot muda, bernama Van Wingerden. Sementara di Pass Valley, tibalah
Van Kranenburg untuk bekerja sebagai tenaga pengajar sekolah alkitab
dan Zuster M. Altena tiba dan bekerja di Sumtamon. Penginjilan di
daerah ini dibantu oleh sejumlah penginjil dari Suku Dani dan beberapa
penginjil dari Langda.
Pada tahun 1991, secara resmi para penginjil membuka pos di
Awimbon sehingga pelayanan penginjilan di daerah ini bertumbuh
dan berkembang ke beberapa kampung, yakni Awimbon, Kawe, Mikir,
Nanum dan Yelobib. Tahun berikutnya keluarga Van Der Maas tiba dari
Belanda. Ia datang untuk membantu pembinaan jemaat dan penginjilan.
Pada tahun itu pula, kantor administrasi GJRP dibuka di Jayapura.
Pada tahun 1993 keluarga Stock datang untuk membantu bidang
pertanian, sambil bekerja di administrasi GJRP. Dilakukan pula baptis-
an pertama di Lelambo dan Ikmok. Penginjilan di Lelambo dimulai
tahun 1984, sedangkan penginjilan di Ikmok, tempat dimana pernah
dilakukan pembakaran alat tradisional yang mengandung gaib (alat-
alat berhala) dimulai tahun 1982. Setahun kemudian Sinode GJRP
94  Bab V Sejarah GJRP di Papua

membentuk Komisi Pekabaran Injil dan Pembinaan Jemaat. Pada


saat itulah pengindonesiaan semakin kuat. Kemudian pada waktu itu
pelayanan bidang kesehatan masih kurang sehingga didatangkan Zuster
A. Vader sebagai tenaga program kebidanan.
Pada tahun 1995, baptisan pertama dilakukan di Ilugwa, wilayah
Kurulu. Dulu daerah ini sering berperang dengan Suku Wolo atau
Ndomeli. Saat Kuijt tiba di daerah ini, perang suku sedang terjadi.
Namun tidak terjadi apapun terhadap Kuijt. Malah ia diterima dengan
ramah, bahkan disediakan honai untuk mereka tidur. Daerah inilah yang
pernah diklaim oleh zending UFM sebagai daerah penginjilannya. Pada
tahun 1995, juga dilakukan peresmian gedung Gereja GJRP di Wamena
dan A. Van Well tiba di Tanah Papua. Ia datang untuk membantu
pertanian dan pembangunan daerah. Tahun berikutnya Majelis Jemaat
diteguhkan di daerah Nipsan dan Ny. Alinda Paul mulai dengan literasi
di daerah Nipsan. Sementara itu, Ny. A. Methorst bekerja sebagai tenaga
kesehatan dan pembinaan kaum ibu-ibu.
Pada tahun 1997, GJRP dan Nederland Reformed Congregations
(NRC) melakukan penandatanganan kontrak kerja sama. NRC adalah
konggregasi reformasi dari Belanda yang turut berperan dalam peng-
injilan di wilayah UNA, seperti di Bomela, Langda, Sumtamon dan
sekitarnya. Pada tahun 1997, dilaksanakan peresmian kantor GJRP
baru di Wamena dan dilaksanakan pembaptisan pertama di Bari dan
Samboga. Pada tahun 1998, dilakukan revisi terhadap tata tertib GJRP
yang memuat tentang ketentuan-ketentuan yang bersifat mengikat
setiap komponen baik pihak administrasi, penginjil, pendeta, maupun
umat agar seluruh aktivitas organisasi GJRP berjalan dengan tertib. Pada
tahun tersebut, juga diterbitkan majalah Yosia. Pada tahun 1999-2000,
dilakukan beberapa kegiatan dalam hal penginjilan: pembakaran alat-
alat berhala di Lukun, misi penginjilan mulai dirintis di Burukmakot,
dan dilakukan baptisan pertama di Seradala (tahun 2000).
Bab V Sejarah GJRP di Papua  95

Buah-buah roh yang ditanam di poros pulau Tanah Papua ini kini
tumbuh dan berkembang. Sekarang terdapat 1 (satu) Sinode AM, 2 (dua)
Sinode wilayah, yakni Sinode Wilayah YAMEWA dan Sinode Wilayah
UKAM. Kemudian ada 6 (enam) Klasis dan 15 (lima belas) Wilayah Pos
Penginjilan, yakni Klasis Abenaho (Abenaho, Landikma, Jemaat Heben
Haezer Wamena dan Jemaat Maranatha Elelim), Klasis Nipsan (Nipsan,
Lelambo dan Jemaat Filadelfi Jayapura dan Petra Sentani dan pos-pos
lain), Klasis Bomela (Bomela, Samboga dan Jemaat Maranatha Dekai),
Klasis Langda (Langda dan Seradala), Klasis Sumtamon (Sumtamon/
Alimsom, Awimbon dan Jemaat Eklesia Oksibil). Wilayah pelayanan
tersebut di atas terdapat di Kabupaten Yalimo, Kabupaten Yahukimo,
Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten
Mamberamo Tengah, Kota Jayapura, dan Kabupaten Jayapura.
Di tahun 2000-an ini, GJRP semakin kokoh dan mandiri sehingga
tongkat estafet kepemimpinan Pdt. Gerrit yang telah tiada pada 2002
dilanjutkan oleh Pdt. Ongga Yare, Pdt. Habel Mabel, Pdt. Yen Kombo,
Pdt. Pieter Wabdaron, Pdt. Matas Kepno, dan Pdt. Sabon Warek Wande.86
Selain misi penginjilan atau pembangunan gereja, Yayasan YAKPESMI
telah mendorong pembangunan sumber daya manusia Papua melalui
pendidikan formal, yakni: telah mendirikan Taman Kanak-Kanak
(TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) berpola
asrama di Wamena dan Kabupaten Yahukimo, serta pengembangan
Sekolah Menengah Atas (SMA). Sedangkan Yayasan Pendidikan
Reformasi Papua (YPRP) telah mendirikan STT Reformasi di Wamena
dan Sekolah Menengah Teologi Kristen (SMTK) di Abenaho. Selain
itu, untuk menunjang pendidikan bagi pelajar dan mahasiswa dari
wilayah pelayanan GJRP, telah dibangun asrama permanen di Wamena
dan Jayapura, yaitu asrama putra Gerrit Kuijt, asrama putri Hanadan,
asrama putri Ruth dan asrama putra Elisa. Dengan menerapkan

86
Lih. “Panti Asuhan Elisa - Maju Walau Terbatas” ...
96  Bab V Sejarah GJRP di Papua

pendidikan berpola asrama, kini telah muncul intelektual-intelektual


muda Papua yang potensial, tanda bahwa Gereja ini lebih berhasil
dalam menyiapkan sumber daya manusia Papua. Untuk itu, perlu ada
perhatian dari pemerintah terhadap program-program pelayanan, pem-
bangunan dan kesejahteraan dari GJRP maupun YAKPESMI agar anak-
anak ini semakin diberdayakan melalui proses pendidikan.
Di ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang, anggota GJRP dari
kalangan pelajar, masyarakat umum dan PNS di Oksibil semakin banyak.
Oleh karena itu, telah dibentuk sebuah Jemaat pada tahun 2014-2015.
Pembentukan Jemaat itu dilakukan oleh Pdt. Nebius Maling, S.Th. dan
meneguhkan beberapa orang sebagai Badan Majelis Jemaat, sekaligus
dilakukan sakramen perjamuan kudus. Upaya mendirikan Gereja
ini didukung oleh Bapak Andi Balyo, S.PAK. Ia adalah putra daerah
asli Langda, hasil dan kader binaan langsung dari GJRP. Ia dikenal
sebagai perintis di kursi legislatif Kabupaten Pegunungan Bintang dari
anggota Gereja Jemaat Reformasi Papua (GJRP) sekaligus sebagai
perintis pembangunan gereja di Oksibil dengan nama Jemaat “Eklesia”
Oksibil.
Kontribusi GJRP dan YAKPESMI bagi Kabupaten Pegunungan
Bintang telah mulai tampak sejak awal kabupaten ini hadir. Beberapa
tokoh intelektual muncul, yakni: Andi Balyo, S.PAK (DPRD Pegunung-
an Bintang selama tiga periode), Alm. Esap Aruman, S.E., M.M. (Kepala
Distrik Weime). Juga ada intelektual muda lain, seperti: Kalep Alimdam
(Kepala Distrik Alimsom), Akmin Kisamlu (PNS di Kementerian
Sosial RI), Yan Balyo (Dosen UNIPA). Sejumlah intelektual muda ini
menjadi cermin keberhasilan karya sosial yang diemban GJRP melalui
lembaga pendidikan YAKPESMI di Tanah Papua sehingga apresiasi
dan dukungan perlu dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan
agar organisasi ini lebih eksis dan dapat memberikan manfaat yang
lebih besar dalam proses pembangunan ke depan.
Daftar Pustaka

-----, “Dengan Iman dan Hati Saya Bangun Pegunungan Bintang”.


Majalah Oknews edisi Perdana Mei 2015, hlm. 8-14.
-----, “Gereja Reformed”, diakses dari www.id.wikipedia.org pada 20
Desember 2015.
-----, “Kabupaten Pegunungan Bintang”, diakses dari www.moslemwiki.
com pada 23 Januari 2016.
-----, “Kelaparan di Irja: Depsos Segera Kirim Bahan Makanan”, diakses
dari www.library.ohiou.edu pada 28 Desember 2015.
-----, “Panti Asuhan Elisa - Maju Walau Terbatas”, diakses dari www.
majalahlani.com pada 20 Desember 2015.
-----, “Profil Dick Kroneman, Ph.D”, diakses dari http://www.sil.org
pada 28 Desember 2015.
-----, “Profil Gerrit Kuijt”, diakses dari www.nl.wikipedia.org pada 20
Desember 2015.
-----, “Profil Paroki Se-Keuskupan Jayapura”, diakses dari http://
keuskupanjayapura.com pada 24 Juni 2014.
-----, “Ratu Juliana dari Belanda”, dipublikasikan Desember 2004 di
yulian.firdaus.or.id, diakses pada 23 Agustus 2013.
98  Daftar Pustaka

-----, “Reactions to cultural change: Among the Eipo in the Highlands


of West-New Guinea”, diakses dari https://civilisations.revues.org
pada 24 Januari 2016.
-----, “Revitalisasi Ap Iwol, Langka Membangun Identitas Diri”.
Majalah Oknews edisi perdana Mei, hlm. 43.
-------, 1999, Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan, Keuskupan
Agung Merauke
-----, “Sejarah GIDI”, diakses dari www.pusatgidi.org pada 24 Januari
2016.
-----, “Sejarah Masuknya Misi Katolik di Daerah Okbibab”. Dokumen
pribadi Andi Urpon. Dibacakan dalam Perayaan Pesta Perak (25
tahun) Gereja Katolik di Abmisibil, Pegunungan Bintang Tahun
1987.
-----, “Sekilas Mengenal mengenai Mandala”, dipublikasikan Desember
2011 di www.ruangkumemajangkarya.wordpress.com, diakses
pada 23 Agustus 2013.
-----, “Star Mountains”, diakses dari www.papua-insects.nl pada 24
Agustus 2015.
-----, “Sterrengebergte”, diakses dari http://www.npogeschiedenis.nl
pada 24 Agustus 2015.
-----, “Sterrengebergte-expeditie”, diakses dari https://nl.wikipedia.org/
pada 24 Agustus 2015.
-----, “Tahun Rahmat Tuhan Sudah Datang”, Majalah Oknews edisi II
Juli 2015, hlm. 38.
-----, “Uit de geschiedenis van ZGG”, diakses dari www.zgg.nl pada 20
Desember 2015.
Alan Healey, 1964, The Ok Language Family in New Guinea. Canberra:
Australian National University. 271pp.
Andersen, Øystein Lund, 2007, The Lepki People of Sogber River, New
Guinea. Jayapura: Cenderawasih University.
Daftar Pustaka  99

F. Hasto Rosariyanto, SJ. (ed), Bercermin Pada Wajah-Wajah Keuskupan


Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Hylkema, S, 1974, Mannen in hetdradgnet; Mens-en wereldbeeld van
de Nalum (Sterren-gebergte), The Hague: Nijhoff.
Jan Sloot, 2009, Fransiskan Masuk Papua. Jilid I: Periode Pemerintahan
Belanda 1937-1962. Jayapura: Kustodi Fransiskus Duta Damai
Papua.
Kranendonk. B.W. dan A.F. van Toor, 2007, Jejak seorang pekabar Injil
di Papua, Gerrit Kuijt, diterjemahkan oleh Barry van der Schoot
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kurniawan, Aan, 2012. Etnik Ngalum: Distrik Oksibil Kabupaten
Pegunungan Bintang, Provinsi Papua (Seri: Etnografi Kesehatan
Ibu dan Anak). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI
Moeis, Syarif, 2010, “Konsep Ruang Dalam Kehidupan Orang Kanekes
(Studi Tentang Penggunaan Ruang Dalam Kehidupan Komunitas
Baduy Desa Kenekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten
Lebak Banten)”. Makalah. Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan
Indonesia Bandung.
Pagawak, Rony, 2007, Sejarah Masuk dan Lahirnya Gereja Injil di
Indonesia, Wamena, Lembaga P3 GIDI Wilayah Bogo.
Schoorl, J.W. (Pim), 2011, Belanda di Irian Jaya (Amtenar di Masa
Penuh Gejolak 1945-1962). Jakarta: Penerbit Garba Budaya.
Urpon, Apolonaris, 2008, “Saya Pemimpin Karena Saya Kaya
(Studi Tentang Kepemimpinan Tradisional Suku Ngalum dan
Perubahannya di Pegunungan Bintang-Papua). Thesis Magister
Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
100  Daftar Pustaka

Van den End dan J. Weitjens, 1993, Ragi Carita: Sejarah Gereja di
Indonesia 2 1860-an sampai Sekarang. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Wurm, S.A. (editor), 1977, (first published 1975). New Guinea Area
Languages and Language Study. Volume 1: Papuan Languages
and the New Guinea Linguistic Scene, Pacific Linguistics,
Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National
University, Canberra (out of print).
Biodata Penulis

Data Pribadi
Nama : Melkior Nikolar Ngalumsine Sitokdana,
S.Kom., M.Eng
Tempat, Tanggal Lahir : Abmisibil, 18 Mei 1987
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Katolik
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Purisatya Blok IV No. 17, Salatiga
Handphone : 081229553542
102  Biodata Penulis

Latar Belakang Pendidikan

Formal
1995 – 2001 : SD YPPK Abmisibil Kabupaten Pegunungan
Bintang Papua
2001 – 2004 : SMP N Okbibab Kabupaten Pegunungan Bintang
Papua
2004 – 2007 : SMA YPPK Asisi Sentani Jayapura
2007 – 2012 : Jurusan Teknologi Informasi, Universitas Kristen
Satya Wacana, Salatiga
2013 – 2015 : Pascasarjana Teknik Elektro, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta

Non-Formal
2008 : Kursus Operator Komputer Bisnis di Stekom PAT
Salatiga
2009 : Kursus Desain Komputer Grafis di Stekom PAT
Salatiga
2010 : Pelatihan Jurnalistik di Bernas Yogyakarta
2011 : Kursus Administrator Jaringan Satya Bina Bangsa
Salatiga
2012 : Kursus Pemograman Visual di Stekom PAT Salatiga
Dan masih banyak pelatihan dan kursus yang diikuti

Pengalaman Berorganisasi
2009-2011 : Sekjen Komunitas Mahasiswa Pelajar Pegunungan
Bintang Se-Jawa, Bali, dan Sulawesi
2009 : Pendiri Media Mahasiswa Pegunungan Bintang:
Komapo News (Online dan Cetak)
Biodata Penulis  103

2011 : Ketua Panitia Seminar Nasional Kerja Sama


Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga
2012-2015 : Pembina Mahasiswa Pegunungan Bintang

Penghargaan
2009 : Juara I Pidato dan Sebagai Peserta Terbaik Latihan
Dasar Kepemimpinan Mahasiswa Papua
Diselenggarakan Yayasan Binterbusih Semarang
2011 : Juara II Sebagai Peserta Terbaik Latihan
Kepemimpinan Tingkat Lanjut Mahasiswa Papua
Diselenggarakan Yayasan Binterbusih Semarang

Karya Ilmiah dan Kegiatan Sosial


1. Pemakalah Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Multimedia
(SEMNAS TEKNOMEDIA) STMIK Amikom Yogyakarta tahun
2015, dengan judul makalah “Rencana Strategis Pengembangan
e-Government Pemerintah Provinsi Papua”.
2. Pemakalah Seminar Nasional Teknolologi Informasi dan Komu-
nikasi (SENTIKA) Universitas Atmajaya Yogyakarta tahun 2015,
dengan judul makalah “Digitalisasi Kebudayaan di Indonesia”.
3. Publikasi jurnal di Universitas Atmajaya Yogyakarta tahun 2015,
dengan judul tulisan “Evaluasi Implementasi e-Government
pada Situs Web Pemerintah Kota Surabaya, Kota Medan, Kota
Banjarmasin, Kota Makassar dan Kota Jayapura”.
4. Publikasi jurnal di Universitas Kristen Maranatha Bandung tahun
2016, dengan judul tulisan “Strategi Pembangunan e-Culture di
Indonesia”.
5. Membangun website: www.knpipegbintang.com (offline),
www.komapo.org, www.himppar.com, www.ngapdonpapua.
104  Biodata Penulis

com (offline), www.imppetang.com, www.oksnews.com, www.


ngalumtourism.com

Buku
1. Strategi Pembangunan Pemerintahan Berbasis Elektronik (Sebuah
Langkah untuk Mewujudkan Papua Bangkit, Mandiri dan
Sejahtera)
2. Sejarah Nama Papua & Asal Usul Manusianya: Dari Penemuan ke
Peradaban, Dari Gereja ke Politik.

Pengalaman Kerja
- Staf Laboratorium Komputer Fakultas Teknologi Informasi Univ.
Kristen Satya Wacana, tahun 2009.
- Pendamping mahasiswa Papua di Yayasan Binterbusih Semarang
2012 hingga sekarang.
- Staf pengajar (dosen) tetap di Universitas Kristen Satya Wacana,
Salatiga 2015 hingga sekarang.

Anda mungkin juga menyukai