Anda di halaman 1dari 181

TOMAGASA MANULE, ROMAN MANULE, MATHIUS MOTILAY

SEJARAH
SUKU PADOE

MOKOLE /TADULAKO SALIWU


ABAD XVI – XVII
PAHLAWAN SUKU PADOE
BUPATI LUWU TIMUR
KATA SAMBUTAN
Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat memahami dan
mengetahui sejarah bangsanya. Begitupun suku yang besar adalah suku
yang dapat memahami dan mengetahui sejarah sukunya. Tanpa
memahami sejarah bangsa dan sukunya maka bangsa dan suku tersebut
menjadi bangsa dan suku yang kerdil dan tidak mungkin dapat maju
menjadi besar. Oleh karena itu pemahaman dan kesadaran sejarah perlu
mendapat perhatian yang sungguh –sungguh dalam kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Seperti yang pernah
diungkapkan oleh Presiden Bung Karno, Presiden pertama Republik
Indonesia, yaitu “JASMERAH” (Jangan sekali - kali melupakan sejarah).
Oleh karena itu, dalam rangka menelusuri Sejarah Suku Padoe,
maka Sejarah Suku Padoe disusun dan ditulis sebagai ilmu pengetahuan
tentang peristiwa- peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau dalam
kehidupan umat manusia, untuk dijadikan pelajaran membangun manusia
seutuhnya masa kini dan masa depan yang lebih baik.
Kami sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Tim
penulis, yang telah mewujudkan terbitnya Sejarah Suku Padoe ini.
Kami mengharapkan Sejarah Suku Padoe ini akan menambah
khazanah Sejarah di Kabupaten Luwu Timur dan di Tana Luwu Provinsi
Sulawesi Selatan, serta bermanfaat bagi Masyarakat Hukum Adat Padoe
dan bagi masyarakat bangsa dan negara Indonesia.

Malili, Februari 2022


BUPATI LUWU TIMUR.

Drs. H. BUDIMAN, M.Pd

i
KETUA DPRD LUWU TIMUR
KATA SAMBUTAN
Sejarah adalah percakapan yang tiada putus - putusnya antara
masa kini dengan masa lampau. Mengandung makna bagi kita yang hidup
masa kini, untuk senantiasa mempelajari peristiwa - peristiwa masa
lampau untuk dijadikan pelajaran membangun masa kini dan masa depan
yang lebih baik.
Karena pentingnya sejarah itu dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara, maka perlu disusun serta ditulis sejarah suku-
suku di Luwu Timur, seperti sejarah Suku Padoe. Sejarah Suku Padoe,
telah mencatat peristiwa- peristiwa masa lampau, yang sangat bermanfaat
bagi pembangunan umat manusia dan merupakan pelajaran yang sangat
berharga bagi generasi penerus, yang akan melanjutkan pembangunan
bangsa di segala bidang.
Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada Tim Penulis Sejarah Suku Padoe, yang telah berusaha
sedemikian rupa sehingga dapat menerbitkan suatu karya dalam bentuk
Sejarah Suku Padoe.
Kami mengharapkan agar Sejarah Suku Padoe ini akan
menambah khazanah Sejarah di Kabupaten Luwu Timur dan di Tana
Luwu Provinsi Sulawesi Selatan dan bermanfaat bagi Masyarakat Hukum
Adat Padoe dan masyarakat bangsa dan Negara Indonesia tercinta.

Malili, Februari 2022


KETUA DPRD LUWU TIMUR

ARIPIN, S.Ag.

ii
LEMBAGA ADAT PADOE
KATA SAMBUTAN
Sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala
peristiwa yang terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia.
Sejarah berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia dari
tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih maju atau modern. Untuk
mengikuti perkembangan sejarah, diperlukan kesadaran sejarah bagi kita
terutama bagi generasi penerus, supaya sejarah dapat dimanfaatkan bagi
pembangunan manusia di segala bidang, baik masa kini maupun masa
yang akan datang.
Suku Padoe hanya dapat dikenal melalui sejarahnya. Di dalamnya
kita mendapat informasi tentang Suku Padoe masa lampau sampai masa
sekarang. Sejak kehadiran Suku Padoe pada kurun waktu antara awal
abad Masehi sampai abad X Masehi di Tana Luwu, telah mencatat
banyak peristiwa yang menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi
generasi Suku Padoe berikutnya.
Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi -
tingginya kepada Tim Penulis yang telah bekerja keras menulis Sejarah
Suku Padoe yang kita dambakan bersama.
Dengan kehadiran Sejarah Suku Padoe ini, diharapkan akan
menambah khazanah sejarah di Kabupaten Luwu Timur dan Tana Luwu
Provinsi Sulawesi Selatan dan bermanfaat bagi Masyarakat Hukum Adat
Padoe khususnya dan masyarakat lainnya pada umumnya.

Wasuponda, Juli 2021


LEMBAGA ADAT PADOE
MOHOLA PADOE

MERIBAN MALOTU, BA

iii
DEWAN ADAT PADOE PUSAT
KATA SAMBUTAN
Kehadiran Sejarah Suku Padoe di tengah-tengah masyarakat yang
sementara berkembang dan membangun, merupakan hal yang sangat
penting, karena mendapat pelajaran dan pengataman dari peristiwa-
peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau. Dari Sejarah Suku Padoe,
kita mengenal lebih dalam kapan Suku Padoe di Tana Luwu, di mana
Suku Padoe berada pada waktu mula - mula di Tana Luwu, Siapa Suku
Padoe, mengapa Suku Padoe dan bagaimana Suku Padoe.
Merupakan tanggung jawab kita bersama untuk meneruskan cita-
cita yang luhur dari para leluhur untuk membangun daerah kita yang
tercinta, sehingga masa depan lebih baik dari pada hari ini dan hari ini
lebih baik dari pada hah kemarin.
Kepada Tim Penulis Sejarah Suku Padoe, kami menyampaikan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya yang telah bekerja
keras menulis Sejarah Suku Padoe yang kita dambakan bersama.
Kami mengharapkan agar Sejarah Suku Padoe ini, akan
menambah khazanah sejarah di Kabupaten Luwu Timur, dan di Tana
Luwu Provinsi Sulawesi Selatan dan bermanfaat bagi Masyarakat Hukum
Adat Padoe dan masyarakat umum lainnya.

Wasuponda, Juli 2021


DEWAN ADAT PADOE PUSAT
KETUA,

MASARATI LAMAINDI

iv
KATA PENGANTAR PENULIS
Buku Sejarah Suku Padoe tahun 2021 ini, merupakan Revisi dari
Buku Sejarah Suku Padoe tahun 2018. Untuk mempersiapkan penulisan
Buku Sejarah Suku Padoe ini, telah diadakan pengumpulan data,
penelitian, analisa, melalui sumber data ( nara sumber), fakta sejarah,
buku, dokumen, literatur, pengalaman penulis yang dialami langsung,
yang kegiatannya dimulai sejak tahun 1995, sampai dengan tahun 2021.
Sejarah adalah percakapan yang tiada putus-putusnya antara
masa kini dengan masa lampau., mengandung makna bahwa manusia
yang hidup masa kini senantiasa mempelajari peristiwa - peristiwa masa
lampau untuk dijadikan pelajaran untuk membangun masa kini dan masa
depan yang lebih baik.
Sejarah Suku Padoe ini telah mencatat peristiwa - peristiwa
penting masa lampau yang telah terjadi dan dialami, yang menceritakan
dan menuliskan bermacam-macam kejadian yang menyangkut kehidupan
dan penghidupan umat manusia.
Dengan terbitnya Buku Sejarah Suku Padoe ini, penulis
menyampaikan terima kasih kepada Tomanumpa Melalo, Tomasuku
Ndelawa, S.Pd, Tomasede Mbotengu, Thomas Lasampa, Amd, Meriban
Malotu, BA, Pdt. Dr. Asyer Tandapai Sigilipu, MTh, Pdt. Haritje Lombu’u,
Sm.Th, Gaspar Tandumai, SH, Mertin Manule, S.Pd, Drs. Yasmon
Lemako, M.Si, Masarati Lamaindi, yang telah membantu dalam penulisan
Buku Sejarah Suku Padoe ini.
Dengan harapan, agar Buku Sejarah Suku Padoe ini, menambah
khazanah Sejarah di Tana Nuha, Kabupaten Luwu Timur dan di Tana
Luwu Provinsi Sulawesi Selatan, dan bermanfaat bagi Masyarakat Hukum
Adat Padoe dan masyarakat umum lainnya.
Makassar, Juli 2021
Tim Penulis,
Tomagasa Manule, Roman Manule,Matius Motilay

v
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA SAMBUTAN i
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI vi
SEJARAH SUKU PADOE 1
BAB I PENDAHULUAN 1
A. PENGERTIAN SEJARAH 1
B. MANFAAT BELAJAR SEJARAH 2
C. JENIS-JENIS SEJARAH 3
D. CIRI-CIRI SEJARAH 5
E. METODOLOGI PENULISAN SEJARAH 6
F. DASAR-DASAR PENULISAN SEJARAH 7
G. TEORI KEHIDUPAN Dl BUMI. 11
H. PRINSIP DASAR DALAM PENELITIAN SEJARAH
LISAN 13
I. ZAMAN BATU 13
J. BAHASA AUSTRONESIA DAN TEORI IMIGRASI 14
K. TEORI-TEORI IMIGRASI 15
L. TEORI-TEORI LAINNYA. 16
M. PERPINDAHAN ANTAR PULAU DAN ANTAR
WILAYAH 18
BAB II SEJARAH SUKU PADOE 19
1. ASAL MULA SUKU PADOE 19
2. PENYEBARAN SUKU PADOE 29
3. PERISTIWA KANTA / KAYAKA 29
4. PERISTIWA TAWI BARU 33
5. KORONCIA 34
6. LAKARAI 34
7. PERISTIWA PALOPO 36
8. MATANGGOA 38
9. KAWATA. 41
10. LEMBO WEULA 41
11. WAWONDULA, LIOKA DAN MATOMPI 43
12. TABARANO 44
13. WASUPONDA 46
14. KERAJAAN LUWU 47
15. KERAJAAN MATANO 47

vi
16. PENDUDUKAN WILAYAH 49
BAB III FAKTA SEJARAH 52
1. USSU 52
2. CEREKANG 53
3. BUKIT PUNSI MEWUNI 53
4. PABETA 54
5. ANGKONA 55
6. MALILI 56
7. KORE- KOREA 57
8. LARO'EHA 58
9. TOLE – TOLE 59
10. LASULAWAI 59
11. TOGO 60
12. TAWAKI 60
13. MOLIO 61
14. BALAMBANO 61
15. LIOKA 61
16. WAWONDULA 63
17. LINTUMEWURE 72
18. MATOMPI 74
19. TIMAMPU 75
20. DANAU TOWUTI 75
BAB IV. PENGALAMAN SUKU PADOE 78
1. PENGHARGAAN DATU LUWU KEPADA SUKU
PADOE 78
2. UPETI KEPADA ISTANA DATU LUWU 79
3. TO KONDE 79
4. TO KINADU 80
5. TO WEULA 81
6. TO RO'UTA 81
7. SUKU - SUKU KECIL 81
8. MOKOLE/TADULAKO SALIWU PAHLAWAN SUKU
PADOE 82
9. MASUKNYA INJIL KE TANAH NUHA 83
10. PERISTIWA PEMBERONTAKAN Dl /TII 86

vii
11. BATAS WILAYAH ADAT / TANAH ADAT SUKU
PADOE 104
BAB V SEJARAH ORANG WEULA, ORANG RO'UTA DAN SUKU
PADOE Dl TANA NUHA 107
1. ASAL MULA PENDUDUK LEMBO WEULA DAN DATA
2. RAN TlNGGl WEULA 107
3. ORANG WEULA Dl KEMOKOLEAN RAHAMPU'U
MATANO 108
4. ORANG WEULA DAN ORANG RO'UTA Dl TANA
NUHA 110
5. SUKU PADOE Dl TANA NUHA. 112
6. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG WEULA
Dl LEMBO WEULA DAN DATARAN TlNGGl WEULA 115
7. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG WEULA
Dl KEMOKOLEAN ANDOMO, LEWEHUKO,
TULAMBATU DAN KUASI 118
8. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG EPE. 121
9. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG MORI
Dl DOLUPO 124
10. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG RO'UTA
Dl DANAU TOWUTI 124
BAB VI. ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA 126
1. HUKUM ADAT PADOE 126
2. ADAT ISTIADAT PADOE 126
3. FUNGSI HUKUM ADAT DALAM PEMBANGUNAN
HUKUM 127
4. PEMINANGAN ADAT PADOE 127
5. PERKAWINAN ADAT PADOE 129
6. PELANGGARAN HUKUM ADAT PADOE 130
7. BUDAYA PADOE 133
8. TUJUAN MEMPELAJARI BUDAYA 133
9. MANFAAT MEMPELAJARI BUDAYA 134
10. RUMAH TRADISIONAL PADOE 134
11. RUMAH ADAT PADOE 135
12. MANFAAT RUMAH ADAT PADOE 140
13. PAKAIAN ADAT PADOE 140
14. BENDA-BENDA BUDAYA 143

viii
15. BENDA-BENDA BUDAYA ALAT PERANG 143
16. ALAT - ALAT OLAH RAGA TRADISIONAL 144
17. SENI TARI 145
18. MUSIK TRADISIONAL 148
19. MAKANAN DAN MINUMAN KHAS PADOE 149
BAB VII. KESIMPULAN 153
1. KAPAN SUKU PADOE BERADA Dl TANA LUWU
(WHEN ) 153
2. Dl MANA SUKU PADOE BERADA Dl TANA LUWU
(WHERE) 153
3. SIAPA SUKU PADOE (WHO ) 153
4. MENGAPA SUKU PADOE (WHY ) 154
5. BAGAIMANA SUKU PADOE ( HOW) 155
DAFTAR PUSTAKA 165
DAFTAR SUMBER DATA 167
TENTANG PENULIS 168

ix
SEJARAH SUKU PADOE
BAB I
PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN SEJARAH
1. Menurut I Wayan Badrika, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia dan
Umum tahun 2004, kata sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu
syajaratun yang berarti pohon. Menurut Bahasa Arab, sejarah sama
artinya dengan sebuah pohon yang terus berkembang dari tingkat
yang sangat sederhana ke tingkat yang lebih kompleks atau ke tingkat
yang lebih maju/modern. Sebuah pohon berkembang dari akar sampai
ranting yang terkecil. Sejarah Arab diambil dari silsilah raja-raja Arab.
Bagan /diagram dari silsilah raja itu mulai dari raja terus ke anak, cucu,
cece dan seterusnya kalau dibalik menyerupai pohon. Dalam bahasa
Inggris kata sejarah yaitu history berarti masa lampau umat manusia.
Sedangkan dalam bahasa Jerman yaitu geschicht berarti
sesuatu yang telah terjadi. Kedua kata ini dapat memberikan arti yang
sesungguhnya tentang sejarah yaitu sesuatu yang telah terjadi pada
waktu lampau dalam kehidupan umat manusia. Dengan demikian
sejarah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia, bahkan
berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia dari
tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih maju atau modern.
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia keluaran Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan terbitan Balai Pustaka menyebutkan bahwa sejarah
mengandung tiga pengertian sebagai berikut:
a. Sejarah berarti silsilah atau asal usul (keturunan).
b. Sejarah berarti kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi
pada masa lampau.
c. Sejarah berarti ilmu pengetahuan yaitu uraian tentang peristiwa-
peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi pada
masa lampau.
Kesimpulan dari uraian-uraian tentang sejarah di atas ialah

1
sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala
peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalam
kehidupan umat manusia.
3. Edward Halett Carr merumuskan pengertian sejarah adalah
percakapan yang tiada putus-putusnya antara masa kini dengan masa
lampau. Pengertian rumusan sejarah ini adalah para sejarawan masa
kini senantiasa mempelajari peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian
masa lampau untuk dijadikan pelajaran membangun masa depan yang
lebih baik.
4. Sejarah sebagai ilmu dan sebagai seni.Sejarah adalah ilmu
pengetahuan tentang peristiwa atau kejadian-kejadian yang telah
terjadi yang disusun menurut hukum sebab akibat dan
metode ilmiah atau alamiah. Sejarah mengandung rasa yang dapat
disusun dengan baik dan indah, sehingga menimbulkan perasaan
indah, mengasyikkan dan mengagumkan.

B. MANFAAT BELAJAR SEJARAH


1. Dengan mempelajari sejarah kita dapat mengenal bagaimana
kehidupan masyarakat atau bangsa terdahulu.
2. Memberikan gambaran dan dijadikan pedoman oleh masyarakat
atau suatu bangsa untuk membangun kehidupannya pada masa
kini dan masa yang akan datang.
3. Dapat membangkitkan kesadaran sejarah baik secara subyektif
(perseorangan) maupun secara obyektif / kolektif (kelompok).
Kesadaran sejarah adalah kesadaran bahwa pengetahuan akan
peristiwa-peristiwa dan kejadian- kejadian yang telah terjadi pada
masa lampau berguna untuk membangun masa kini dan masa
depan yang lebih baik.
4. Sejarah dapat menjadi penghubung antara generasi sekarang
dengan generasi terdahulu.

2
C. JENIS-JENIS SEJARAH
Sejarah sebagai suatu ilmu pengetahuan mencatat berbagai
peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalam ruang
lingkup manusia. Peristiwa-peristiwa itu atau kejadian-kejadian dalam
sejarah itu dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis sejarah.
Akibatnya pembahasan sejarah lebih terfokus pada suatu masalah
walaupun pembahasannya itu meninggalkan masalah lainnya. Jenis-jenis
sejarah yang dimaksudkan itu adalah sebagai berikut:
1. Sejarah lokal.
Sejarah lokal mengandung pengertian bahwa suatu peristiwa sejarah
yang terjadi itu tidak menyebar ke daerah-daerah lain. Peristiwa
sejarah itu berlaku pada daerah sempit. Contoh: Kerajaan Luwu,
Kerajaan Bone. Kerajaan Goa. Suku Padoe merupakan suku kecil
yang terdapat di Tana Luwu. Jadi Sejarah Suku Padoe bisa disebut
sejarah sub lokal.
2. Sejarah Nasional
Sejarah Nasional mengandung pengertian bahwa peristiwa sejarah
yang terjadi mencakup wilayah yang lebih luas dari sejarah lokal atau
meliputi suatu negara misalnya Sejarah Indonesia.
3. Sejarah dunia.
Sejarah dunia adalah sejarah yang meliputi seluruh dunia,
(internasional).
4. Sejarah geografi.
Sejarah geografi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
geologi (ilmu tanah), flora (ilmu tumbuhan) dan fauna (ilmu hewan).
5. Sejarah ekonomi.
Sejarah ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari adanya
usaha manusia untuk memenuhi seluruh kebutuhannya. Orang
Indonesia mengembangkan ekonominya mulai dari masa bercocok
tanam (zaman prasejarah sebelum masuknya pengaruh Hindu,
Budha).Sistem pertukaran yang dilakukan pada saat itu adalah sistem
barter, misalnya pisang ditukar dengan singkong.

3
6. Sejarah ketatanegaraan dan politik pemerintahan
Sistem pemerintahan di Indonesia, berawal dari zaman prasejarah.
Banyak ahli yang mencoba mengungkapkan melalui berbagai
penafsiran karena pada zaman prasejarah bangsa Indonesia belum
mengenal tulisan. Diperoleh kesimpulan bahwa sistem pemerintahan
pada zaman prasejarah berbentuk sistem pemerintahan kesukuan
yang dipimpin oleh Kepala Suku. Pemerintahan seorang Kepala Suku
tidak dapat diturunkan kepada keturunannya. Para penggantinya
haruslah berasal dari anggota kelompok suku bersangkutan setelah
melalui proses pemilihan yaitu perang tanding antara para calon
kepala suku. Yang menang dalam perang tanding itu, yang diangkat
menjadi Kepala Suku.
Syarat seorang Kepala Suku haruslah seorang yang tangguh
atau kuat dan dapat berhubungan dengan roh nenek moyangnya.
Alasannya Kepala Suku bertanggung jawab terhadap keselamatan
dan ketenteraman kelompoknya, atau harus mampu mengusir roh-roh
jahat yang mengganggu kelompok sukunya. Akibatnya seorang Kepala
Suku sangat dihormati dan perintahnya dipatuhi oleh kelompok
sukunya. Setelah masuk pengaruh Hindu-Budha, sistem pemerintahan
seorang Kepala Suku digantikan dengan sistem pemerintahan seorang
raja. Wilayah kekuasaan Kepala Suku dijadikan wilayah kekuasaan
seorang raja atau wilayah kerajaan. Penggantian raja tidak lagi melalui
perang tanding melainkan secara turun temurun.
Dalam upaya menjaga keamanan masyarakat, terdapat
berbagai peraturan yang harus ditaati oleh semua warga masyarakat
termasuk para pegawai istana kerajaan. Pelaku tindak kejahatan
dikenakan hukuman badan yang berat, bahkan sampai hukuman mati.
Pada masa perkembangan pengaruh Islam di Indonesia, sistem
pemerintahan kerajaan disesuaikan dengan tradisi Islam, bahkan tidak
jauh berbeda dengan sistem pemerintahan zaman Hindu-Budha.
Hanya saja gelar Raja disebut "Sultan " (gelar ini biasanya dipakai oleh
Raja-raja dari Arab Saudi).

4
Selanjutnya ketika Wilayah Indonesia dijajah oleh bangsa-
bangsa Eropa (Belanda, Inggris) sistem pemerintahan dipegang
langsung oleh pemerintah Kolonial, sedangkan raja dan bangsawan di
bawah pengawasan pemerintah Kolonial. Sedangkan setelah
Indonesia Merdeka, maka pemerintahan dipegang langsung oleh
seorang Presiden dan seorang wakil Presiden dibantu oleh para
Menteri yang duduk dalam Kabinet yang dipimpin oleh Presiden.
7. Sejarah sosial.
Sosial berarti masyarakat. Sejarah Sosial mengalami proses
perkembangan dan tingkat yang paling sederhana ke tingkat yang
lebih maju seperti sekarang ini. Misalnya ketika manusia hidup
bercocok tanam dan jumlahnya bertambah besar, sistem sosial
masyarakat mulai tumbuh gotong royong dirasakan sebagai kewajiban
yang mendasar dalam menjalani berbagai kegiatan hidup seperti
merambah hutan , menanam padi dan memotong padi dan lain
sebagainya. Kisah di atas ini hanya sebuah contoh Sejarah Sosial.

D. CIRI-CIRI SEJARAH
Dalam kehidupan manusia, peristiwa sejarah merupakan suatu
peristiwa yang abadi, unik dan penting.
1. Peristiwa yang abadi.
Peristiwa sejarah merupakan suatu peristiwa yang abadi, karena
peristiwa tersebut tidak berubah-ubah dan tetap dikenang sepanjang
masa.
2. Peristiwa yang unik.
Peristiwa sejarah merupakan peristiwa yang unik karena hanya
terjadi satu kali dan tidak pernah terulang persis sama untuk kedua
kalinya.
3. Peristiwa penting.
Peristiwa sejarah merupakan peristiwa yang penting karena dapat
dijadikan momentum dan mempunyai arti dalam menentukan
kehidupan orang banyak.

5
E. METODOLOGI PENULISAN SEJARAH
Mencari jejak-jejak sejarah,
Sejarah sebagai suatu peristiwa yang telah terjadi dalam kehidupan
manusia di masa lampau akan meninggalkan goresan-goresan atau
bekas-bekas baik positif maupun negatif. Goresan yang bersifat positif
atau negatif itu membekas dalam kehidupan masyarakat, bahkan ada
yang sudah diceritakan secara turun temurun. Kadang-kadang menjadi
cerita rakyat legenda atau mitos informasi sejarah dimulai dari cerita-
cerita rakyat, legenda atau mitos. Sumber-sumber sejarah itu kadang-
kadang ditemukan begitu saja tanpa sumber-sumber lain yang
mendukungnya. Kebanyakan sumber-sumber sejarah itu tidak dapat
ditemukan tanpa adanya sumber-sumber sejarah yang mendukungnya.
Pengumpulan sumber-sumber sejarah dapat dilakukan melalui sumber
lisan, sumber tertulis maupun sumber benda. Goresan atau bekas-bekas
peristiwa sejarah yang terdapat dalam masyarakat itu disebut jejak-jejak
sejarah, yang di Indonesia terdiri dari:
1. Folklore yaitu adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang
diwariskan secara turun temurun tetapi tidak dibukukan (lisan).Pada
zaman tulisan sudah dikenal, folklore berbentuk tulisan.
2. Mitologi
Masyarakat Indonesia sebelum mengenal tulisan atau sebelum
masuknya pengaruh Hindu-Budha, telah mengenal cerita-cerita
mitologi. Mitologi adalah ilmu tentang kesusasteraan yang
mengandung konsep tentang dongen suci, kehidupan para dewa dan
makhluk halus dalam suatu kebudayaan. Mitologi juga berarti cerita
tentang asal mula alam semesta, manusia, dan bangsa yang
diungkapkan dengan cara-cara gaib dan mengandung arti sangat
dalam. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki mitologi biasanya
terkait dengan sejarah kehidupan di suatu daerah. Umumnya
dimitoskan bahwa ada tokoh yang kuat dan sakti yang dulu memimpin
masyarakat menempati daerah itu.

6
3. Legenda.
Legenda adalah sebuah cerita rakyat pada masa lampau yang masih
memiliki hubungan dengan peristiwa-peristiwa sejarah atau dengan
dongeng-dongeng, seperti cerita tentang terbentuknya suatu negeri,
danau, gunung dan sebagainya. Legenda itu diwariskan secara turun
temurun. Legenda biasanya berisi petuah atau petunjuk mengenai apa
yang salah dan apa yang benar. Dalam legeng da dimunculkan
berbagai karakter manusia dalam menjalani kehidupannya Contoh
Legenda di Indonesia: Legenda Banyuwangi Legenda Gunung
Tangkubanperahu, Legenda Sangkuriang.
4. Upacara
Sebelum mengenal tulisan dan sebelum masuknya pengaruh Hindu-
Budha masyarakat Indonesia telah mengenal berbagai upacara.
Upacara adalah rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada
aturan-aturan tertentu berdasarkan adat istiadat agama ataupun
kepercayaan. Jenis-jenis upacara di Indonesia yang dikenal adalah:
Upacara penguburan, upacara perkawinan upacara pengukuhan
Kepala Suku, upacara sebelum perang. Upacara penguburan
merupakan upacara yang pertama kali muncul dalam kehidupan
manusia di Indonesia sebelum mengenal tulisan atau sebelum
masuknya pengaruh Hindu- Budha.
Upacara penguburan muncul karena kepercayaan bahwa roh orang
yang meninggal akan pergi ke suatu tempat yang tidak jauh dari
lingkungan di mana ia pernah tinggal dan sewaktu – waktu roh itu
dapat dipanggil untuk menolong apabila masyarakat berada dalam
keadaan bahaya misalnya wabah penyakit.

F. DASAR-DASAR PENELITIAN SEJARAH


1. Tahap penelitian sejarah.
Sejarah sebagai ilmu pengetahuan mempelajari peristiwa-peristiwa
atau kejadian-kejadian yang terjadi pada masa lampau dalam ruang
lingkup kehidupan umat manusia. Peristiwa-peristiwa atau kejadian-

7
kejadian itu menjadi unsur utama dalam penelitian yang dilakukan oleh
ahli-ahli sejarah. Biasanya ahli-ahli peneliti sejarah membuat tahap-
tahap penelitian seperti berikut:
a. Mencari jejak-jejak sejarah, seperti diuraikan dalam metodologi
penulisan sejarah diatas.
b. Mengumpulkan sumber-sumber sejarah.
2. Heuristik dalam sejarah
Heuristik merupakan bagian dari penelitian sejarah. Heuristik adalah
upaya penelitian yang mendalam untuk menghimpun jejak-jejak
sejarah atau mengumpulkan dokumen-dokumen agar dapat
mengetahui segala bentuk peristiwa atau kejadian-kejadian bersejarah
di masa lampau. Jejak-jejak atau dokumen-dokumen yang berhasil
dikumpulkan itu merupakan data-data yang sangat berharga sehingga
dapat dijadikan dasar untuk menelusuri peristiwa-peristiwa sejarah
yang telah terjadi pada masa lampau. Namun untuk menemukan jejak-
jejak sejarah atau dokumen-dokumen bersejarah itu tidaklah mudah.
Para ahli atau sejarawan mulai dengan mengumpulkan peristiwa
sejarah yang akan ditelitinya. Mencari jejak sejarah tidak jauh berbeda
dengan mencari jejak binatang buruan. Seorang pemburu hendaknya
telah mengetahui kearah mana binatang buruannya berjalan sehingga
mereka dapat melakukan penghadangan pada jalan-jalan yang akan
dilalui oleh binatang buruan itu. Begitu pula dalam mencari jejak
sejarah. Seorang ahli atau sejarawan hendaknya telah memiliki suatu
informasi yang akurat tentang keberadaan dan kebenaran suatu
peristiwa sejarah. Jejak-jejak sejarah biasanya dapat ditemukan
secara kebetulan oleh masyarakat . Banyak benda-benda budaya
peninggalan masa lampau ditemukan secara tidak sengaja. Jejak-jejak
sejarah masa lampau yang berupa berbagai bentuk perhiasan,
peralatan rumah tangga, peralatan kerja bahkan puing-puing
bangunan kuno seperti candi yang masih berserakan sering ditemukan
secara kebetulan. Dari informasi penemuan itulah akhirnya para ahli
atau sejarawan melakukan penelitian lebih lanjut. Bahkan tanpa

8
informasi yang berhasil diterima dari masyarakat para ahli atau
sejarawan sangat sulit untuk menemukan jejak-jejak sejarah tentang
masa lampau.
3. Verifikasi dalam sejarah.
Verifikasi dalam sejarah memiliki arti pemeriksaan terhadap kebenaran
laporan tentang suatu peristiwa sejarah. Untuk mengetahui kebenaran
sejarah itu dibentuk panitia yang bertugas meneliti dan menentukan
kebenaran suatu laporan. Verifikasi diperlukan untuk meneliti kembali
data-data atau laporan-laporan dari suatu peristiwa yang telah terjadi.
Para peneliti diharapkan dapat bersikap obyektif jangan bersikap
subyektif. Contoh dalam sejarah Indonesia, kalau orang Belanda yang
ditanya, Siapa itu Diponegoro, jawabannya: Diponegoro adalah
pemberontak. Kalau orang Indonesia yang ditanya jawabannya:
Diponegoro adalah pejuang.
4. Interpretasi dalam sejarah
Interpretasi dalam sejarah memiliki arti penafsiran terhadap suatu
peristiwa sejarah atau memberikan pandangan teoritis terhadap suatu
peristiwa sejarah.
5. Sumber-sumber sejarah
Peristiwa yang terjadi di masa yang lalu dapat terungkap jika ada
sumber-sumber sejarah yang mendukungnya. Sumber-sumber sejarah
terdiri atas:
a. Sumber lisan yaitu keterangan langsung dari para pelaku dan
saksi-saksi sejarah. Pelaku sejarah adalah orang yang terlibat
langsung dalam peristiwa sejarah. Sedangkan saksi-saksi sejarah
adalah orang-orang yang melihat langsung atau mendengar
tentang suatu peristiwa sejarah. Bekas-bekas yang ditinggalkan
sejarah disebut jejak-jejak sejarah terdiri dari:
a.1. Folklore (lisan dan tulisan),
a.2. Mitologi .
a.3. Legenda

9
a.4. Upacara
a.5. Lagu-lagu daerah.
b. Sumber-sumber tertulis yaitu peninggalan tertulis, misalnya
prasasti, dokumen, naskah dan rekaman.
c. Sumber benda-benda budaya seperti kapak ( dari batu ),berbagai
perhiasan dan manik-manik.
6. Bukti dan fakta sejarah
Bukti dan fakta sejarah dari sumber primer yaitu bukti dan fakta
sejarah yang diuraikan oleh pelaku atau saksi sejarah yang mengalami
atau menyaksikan, mendengar, melihat tentang peristiwa sejarah.
Bukti dan fakta sejarah yaitu peristiwa sejarah itu bukan diuraikan oleh
pelaku atau saksi-saksi sejarah, akibatnya kebenaran dari peristiwa
sejarah semakin berkurang.
7. Artefak dalam sejarah.
Artefak adalah peralatan atau alat-alat yang dibuat oleh manusia untuk
membantu kehidupannya. Peralatan atau alat-alat itu merupakan hasil
kebudayaan manusia yang dapat menunjukkan bahwa manusia
memiliki kelebihan dari makhluk lainnya. Kelebihan yang dimiliki oleh
manusia itu adalah berupa akal dan pikiran untuk berkembang
melebihi generasi terdahulunya. Hal ini tampak dari perkembangan
hasil kebudayaannya yang semakin maju dan terus berkembang. Lihat
perkembangan kebudayaan BATU.
1. Kebudayaan Paleolitikum
a. Kebudayaan Pacitan
b. Kebudayaan Ngandong.
2. Kebudayaan Mesolitikum.
a. Kjokken Moddinger
b. Bacson Hoabinh
c. Abris Sous Roche
d. Kebudayaan Bandung
e. Kebudayaan Toala

10
3. Kebudayaan Neolitikum
a. Kapak persegi
b. Kapak lonjong.
4. Kebudayaan Megalitikum
a. Menhir, tugu dari batu peringatan nenek moyang
b. Dolmen (budaya prasejarah berupa batu datar ditopang tiang)
c. Sarkofugus (peti mayat dari batu)
d. Kubur batu
e. Waruga (badan, tubuh)
f. Arca (patung dari batu)
g. Punden berundak-undak (kuburan keramat bertingkat-tingkat).

G. TEORI KEHIDUPAN Dl BUMI


Bumi sebagai tempat berpijak manusia, telah lama ada.
Perkembangan bumi ini dapat diketahui melalui penelitian geologi, yaitu
penelitian tentang lapisan kulit bumi. Berdasarkan penelitian tentang
lapisan kulit bumi atau menurut geologi dilakukan pembagian zaman
sebagai berikut:
1. Zaman Arkaekum, kurang lebih 2500 Juta tahun lalu.
2. Zaman Palaeozoikum, kurang lebih 340 juta tahun lalu.
3. Zaman Mesozoikum, kurang lebih 140 juta tahun lalu.
4. Neozoikum, kurang lebih 60 juta tahun lalu
Zaman Arkaekum yaitu zaman tertua diperkirakan 2500 juta tahun
lalu. Pada zaman ini keadaan bumi belum stabil. Kondisi bumi dan udara
masih panas. Kulit bumi masih dalam proses pembentukan. Dalam
keadaan seperti itu maka pada zaman ini, belum ada tanda-tanda
kehidupan.
Zaman Palaeozoikum berusia sekitar 340 juta tahun. Pada zaman
ini, keadaan bumi masih belum stabil dan masih terus berubah-ubah.
Namun demikian tanda-tanda kehidupan sudah mulai tampak yaitu
mahluk hidup bersel satu atau mikro organisme. Di samping itu pada

11
zaman itu, sudah mulai muncul makhluk lainnya sejenis ikan ampibi, reptil
dan Iain-Iain. Sehingga zaman ini disebut zaman primer atau zaman
pertama.
Zaman Mesozoikum berusia sekitar 140 juta tahun. Pada zaman ini
kehidupan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Makhluk hidup
yang hidup pada zaman ini adalah binatang-binatang dalam bentuk yang
sangat besar seperti jenis-jenis binatang dinosaurus, atlantosaurus, serta
jenis-jenis burung dalam bentuk yang sangat besar. Zaman mesozoikum
disebut juga zaman reptil, karena makhluk hidup yang muncul dan
berkembang pada zaman ini adalah sejenis reptil. Zaman ini disebut
zaman sekunder atau zaman ke dua.
Zaman Neozoikum atau Kainozoikum berusia sekitar 60 juta tahun
lalu. Zaman ini dibedakan dalam dua zaman yaitu :
1 .Zaman tertier atau zaman ke tiga. Pada zaman ini kehidupan dari
jenis-jenis binatang besar mulai berkurang dan telah hidup jenis-jenis
binatang menyusui yaitu sejenis kera dan monyet.
2. Masa kuarter atau masa ke empat.
Zaman ini berusia sekitar 600.000 tahun lalu. Pada zaman ini mulai
muncul tanda-tanda kehidupan dari manusia purba. Zaman ini dibagi dua
kala:
a. Kala Plestosin atau dilluvium berlangsung sekitar 600.000 tahun lalu.
Zaman ini disebut juga zaman es atau glasial. Pada zaman es atau
glasial wilayah Indonesia bagian Barat menjadi satu dengan Asia.
Sedangkan wilayah Indonesia bagian Timur menjadi satu dengan
daratan Australia. Pada zaman es/glasial karena suhu sangat rendah
Asia Utara, Amerika Utara dan Eropa Utara ditutupi es. Pada waktu
suhu bumi naik, es yang menutupi kutub utara mencair lalu mengalir
ke laut dan menyebabkan permukaan air laut naik dan wilayah bagian
Barat dan bagian Timur menjadi terpisah dengan Asia dan Australia.
Bagian bekas darat yang menghubungkan Indonesia Barat dengan
daratan Asia disebut Paparan Sunda dan bekas daratan yang

12
menghubungkan Indonesia Timur dengan dataran Australia disebut
Paparan Sahal.
b. Kala Hoiosin atau zaman Alluvium, berlangsung sejak 20.000 tahun
lalu. Pada zaman ini mulai hidup jenis Homo Sapiens yaitu jenis
manusia seperti manusia sekarang.

H. PRINSIP DASAR DALAM PENELITIAN SEJARAH LISAN


1. Sumber berita dari pelaku sejarah.
2. Sumber berita dari saksi sejarah
3. Tempat peristiwa sejarah
4. Latar belakang munculnya peristiwa sejarah
5. Pengaruh dan akibat dari peristiwa sejarah.
Yang dimaksud dengan sejarah lisan adalah suatu peristiwa yang
telah terjadi di masa lampau, diberitakan secara lisan dari suatu generasi
ke generasi selanjutnya. Dalam pengumpulan peristiwa-peristiwa sejarah,
peiaku sejarah memegang peranan penting yang mengerti benar peristiwa
itu. Pelaku peristiwa sejarah lebih tahu sebab-sebab terjadinya peristiwa
itu tahu pengaruh dan akibatnya. Saksi sejarah lain sedikit dari pelaku
sejarah. Pelaku sejarah lebih akurat dari saksi sejarah. Saksi sejarah lebih
besar kemungkinan lupanya dari pada pelaku sejarah. Satu hal yang
penting dan tidak boleh dilupakan adalah tempat terjadinya peristiwa
sejarah. Dengan mengetahui tempat peristiwa maka sejarawan akan
bertanya – tanya pada penduduk yang tinggal di sekitar tempai itu.

I. ZAMAN BATU
Prasejarah Indonesia diwarnai oleh zaman batu dan Zaman logam.
Karena zaman batu cukup panjang maka para ahli membaginya menjadi:
1. Zaman Batu Tua (Palaeolitikum)
2. Zaman Batu Madya ( Mesolitikum)
3. Zaman Batu Muda (Neolitikum)

13
4. Zaman Batu Besar (Megalitikum).
Sedangkan zaman logam dibagi:
1. Zaman Tembaga
2. Zaman Perunggu
3. Zaman Besi
Karena zaman tembaga tidak pernah berkembang di Indonesia, maka
Indonesia mengenal zaman Logam, berasal dari zaman Perunggu.

J. BAHASA AUSTRONESIA DAN TEORI IMIGRASI


Bahasa Austronesia dan teori-teori imigrasi perlu diketahui karena
dapat dipakai untuk menentukan asal usul bangsa Indonesia atau asal
usul suku-suku bangsa Indonesia. Bahasa Austronesia adalah salah satu
bahasa yang diturunkan dari klasifikasi berdasarkan genetis atau
geneologis atau berdasarkan garis keturunan bahasa-bahasa itu. Artinya
suatu bahasa berasal atau diturunkan dari bahasa yang lebih tua. Menurut
teori klasifikasi genetis ini, suatu bahasa proto (bahasa tua, bahasa
semula) akan pecah dan menurunkan dua bahasa bam atau lebih. Lalu
bahasa-bahasa pecahan ini akan menurunkan pula bahasa-bahasa lain.
Kemudian bahasa-bahasa lain itu akan menurunkan lagi bahasa-bahasa
berikutnya. Umpamanya, katakanlah ada bahasa proto A .Bahasa A ini
misalnya terpecah menurunkan tiga bahasa baru , yaitu bahasa A1,A2
dan A3.Kemudian bahasa-bahasa A1.A2 dan A3 ini pecah lagi dan
menurunkan bahasa-bahasa baru. Dari A1 terpecah menjadi A1.1.A1.2,
A1.3. Dari A2menjadi A2.1.A2.2, A2.3. Dari A3 menjadi A3.1, A3.2 dan
A3.3 .dan seterusnya. Bahasa proto A pecah jadi banyak karena pemakai
bahasa proto A itu pindah tempat/ bermigrasi. Batas-batas wilayah bahasa
Austronesia.
1. Sebelah Utara : Pulau Taiwan.
2. Sebelah Selatan : Kepulauan .Indonesia
3. Sebelah Barat : P. Madagaskar
4. Sebelah Timur : P.Paskah di pantai Amerika Latin.

14
K. TEORI-TEORI IMIGRASI
Untuk menentukan asal usul bangsa Indonesia termasuk suku-
suku bangsa di seluruh Indonesia , teori- teori imigrasi yang dikemukakan
oleh ahli-ahli linguistik memegang peranan penting. Untuk asal usul
bangsa Indonesia ada dua pendapat.
Pertama : Asal usul penduduk Indonesia adalah dari Ras pulau
Mongoloid yang berbahasa Austronesia dan berasal dari
Yunan, Cina Selatan.
Kedua : Menyebutkan bahwa penduduk asli Indonesia adalah Ras
Negrito dan Ras Widdide.

Dari kedua Ras tersebut terjadi percampuran, yang selanjutnya terjadi lagi
percampuran dengan pendatang lainnya sehingga dapat dikatakan tidak
ada lagi penduduk asli Indonesia. Pendapat pertama didasari antara lain
oleh pendapat DR.J.L. Brandes ahli bahasa dari Belanda yang melakukan
penelitian linguistik pada tahun 1884.1a berpendapat bahwa penduduk
yang berdiam di daerah- daerah antara pulau Taiwan di Utara Indonesia di
Selatan, Madagaskar di Barat, dan pulau- pulau di Samudra Pasifik
sampai Amerika Latin di Timur, semuanya berbahasa dengan akar kata
yang sama. Penelitian yang sama dilakukan oleh Prof. DR.H.Kern pada
tahun 1889.1a berpendapat bahwa semua penduduk di wilayah tersebut
diatas, dahulu adalah satu, mereka adalah pendukung bahasa
Austronesia dan tempat kediaman mereka yang terakhir adalah di Tonkin.
Kesimpulan Kern didasarkan atas perbandingan penyebutan
tumbuh-tumbuhan dan binatang.
Menurut Kern terdapat kemiripan vokal dalam penyebutan
tersebut. Sebagai contoh kemiripan dalam penyebutan padi (Melayu,
Indonesia dan Batak), pari (Jawa), page (Sunda), pare (Makassar) page
(Nias), pae (Bare'e,Mori,Bungku,Tolaki, Padoe) dan lain sebagainya.
Peneliti lainnya Von Heine Geldern berkesimpulan bahwa
pendukung kebudayaan yang menggunakan peralatan kapak persegi

15
adalah bangsa Austronesia. Mereka tersebar di Yunan, Cina Selatan dan
di hulu sungai-sungai besar seperti Yang Tse Kiang, Mekong. Minan dan
Salwin. Pendukung kebudayaan kapak persegi kemudian berpusat di
Tonkin yang letaknya dekat pantai. Hal ini kemudian melakukan
kepandaian dalam membuat perahu bercadik, yang merupakan ciri khas
dari pendukung kebudayaan kapak persegi. Melalui kepandaian membuat
perahu, mereka melakukan imigrasi secara bertahap ke arah Selatan.
Imigrasi tersebut diperkirakan berlangsung secara bergelombang dan
dimulai lebih kurang 200 SM.

L. TEORI-TEORI LAINNYA
1. Max Muller menyatakan bahwa bangsa Incdonesia berasal dari
Asia Tenggara. Namun dari pendapat Max Muller ini tidak begitu
jelas alasannya. Barangkali Max Muller hanya terpengaruh pada
pendapat orang lain.
2. Willem Smith menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari
Asia. Willem Smith membagi bahasa-bahasa yang dipakai di Asia
yaitu bahasa Togon (bangsa yang berbahasa Togon), bangsa
berbahasa Jerman, dan bangsa yang berbahasa Austria. Kemudian
bangsa yang berbahasa Austria dibagi dua yaitu bangsa yang
berbahasa Austro Asia dan bangsa yang berbahasa Austronesia.
Bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia ini mendiami wilayah
Indonesia, Melanesia dan Polinesia.
3. Hogen mengatakan bahasa bangsa yang mendiami daerah pesisir
Melayu berasal dari Sumatra. Bangsa itu bercampur dengan
bangsa Mongol yang kemudian disebut bangsa Proto Melayu dan
Dentro Melayu (Melayu Muda).Proto Melayu (Melayu Tua)
menyebar di wilayah Indonesia sekitar tahun 1300 SM - 1500 SM.
Sedangkan Detro Melayu (Melayu Muda) menyebar di wilayah
Indonesia sekitar tahun 1500 SM-500 SM.
4. Drs. Moh. Ali menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari
daerah Yunan. Pendapat Moh. Ali ini dipengaruhi oleh pendapat

16
Mens yang berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari
daerah Mongol dan terdesak oleh bangsa-bangsa yang lebih kuat.
Akibat terdesak mereka menyebar ke arah Selatan hingga sampai
ke wilayah Indonesia. Namun menurut Moh. Ali menyatakan bahwa
bangsa Indonesia berasal dari hulu sungai-sungai besar di Asia dan
kedatangannya di Indonesia secara bergelombang. Gelombang
pertama dari tahun 3000 SM-1500 SM. Dan gelombang kedua dari
tahun 1500 SM-500 SM.

Ciri-ciri gelombang pertama adalah berkebudayaan


Neolitikum dengan jenis perahu bercadik satu. Gelombang kedua
menggunakan perahu bercadik dua.
5. Prof.DR.Kern menyatakan bahwa asal usul bangsa Indonesia dari
daerah Cina Tengah, karena pada daerah Cina Tengah terdapat
sumber-sumber sungai besar mereka menyebar ke Indonesia
sekitar tahun 2000 SM-1500 SM.
6. Mayundar menyatakan bahwa bangsa-bangsa yang berbahasa
Austronesia berasal dari India, kemudian menyebar ke Indo Cina
terus ke daerah Indonesia dan fasifik. Pendapat Mayunder ini
didukung oleh penelitiannya berdasarkan bahasa Austroasia, yang
merupakan bahasa Muda di India Timur.
7. Prof. Moh. Yamin menentang semua pendapat yang dikemukakan
oleh para ahli. Moh. Yamin berpendapat bahwa asal bangsa
Indonesia dari daerah Indonesia sendiri. Bahkan bangsa-bangsa
lain yang ada di wilayah Asia, ada yang berasal dari daerah
Indonesia. Pendapat Moh Yamin didukung oleh pernyataannya
tentang Blood und Breden Unchro yang berarti adalah darah dan
tanah bangsa Indonesia berasal dari Indonesia sendiri. la
menyatakan bahwa fosil dan artefak itu lebih banyak dan lebih
lengkap ditemukan di Indonesia, dibandingkan dengan daerah-
daerah lainnya di Asia. Misalnya dengan penemuan manusia purba

17
sejenis Homo Soloensis, Homo Wajakensis dan sebagainya.

M. PERPINDAHAN ANTAR PULAU DAN ANTAR WILAYAH


Selain perpindahan yang terjadi dari daerah luar seperti dari
Yunan, Tonkin, India Madagaskar ke Indonesia. Adalagi perpindahan
antar pulau di Indonesia karena datangnya ke Indonesia secara
bergelombang dan saling menggusur. Ada lagi perpindahan antar
wilayah yang masih luas seperti dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi
Tengah dan sebaliknya. Juga perpindahan lokal seperti dari Luwu
Utara ke Luwu Timur.
Albertus Christian Kruyt, pada zaman megalistik mencatat tiga
tahap perpindahan penduduk dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi
Tengah dan dari Sulawesi Tengah ke Sulawesi Selatan:
1. Dari Pilipina menuju Minahasa, terus melalui darat lewat Gorontalo,
lalu melalui Teluk Tomini sampai di Poso. Dari Sulawesi Tengah
berpindah ke Sulawesi Selatan
2. Diperkirakan dari sungai Sadang menuju daerah Palu, Padang
Besoa, Napu, Donggala. Didukung oleh kebudayaan yang oleh
Kruyt disebut Steen Houwers (pemecah batu ).
3. Dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Tengah dari suatu tempat antara
Malili-Wotu menuju Sulawesi Tengah membawa kebudayaan
keramik (depotten bekkers).

18
BAB II
SEJARAH SUKU PADOE

1. ASAL MULA SUKU PADOE


Pada zaman prasejarah, penyebaran populasi penutur bahasa
Austronesia yang memiliki warisan genetik Mongoloid diperkirakan mulai
berlangsung sekitar tahun 4000 Sebelum Masehi (SM). Saat itu beberapa
kelompok orang, bermata pencaharian sebagai peladang melakukan
ekspansi ke arah Selatan dari Taiwan melalui Filipina (BELLWOOD, PRE
HISTORY : 88 )
Pendatang Austronesia Ras Mongoloid pertama yang tiba di
Sulawesi Selatan kemungkinan berasal dari Filipina Selatan, lewat
Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah kira-kira pada tahun 3000 - 2500
Sebelum Masehi. (BELLWOOD, PRE HISTORY : 223-8).
Menurut Christian Pelras mengungkapkan bahwa dari Analistis
linguistik menunjukkan bahwa penghuni Austronesia pertama di Sulawesi
Selatan itu memiliki hubungan dengan mereka yang saat ini menghuni
Bagian Tengah dan Bagian Tenggara Sulawesi. Mereka itu menggunakan
bahasa yang tergolong ke dalam kelompok bahasa Kaili-Pamona,
Bungku-Mori dan Muna-Buton. Bahasa mereka itu merupakan substratum
bagi bahasa-bahasa yang kini digunakan oleh penduduk Sulawesi
Selatan.
Menurut Ahmad Faidi1 mengatakan bahwa ditinjau dari bentuk
tubuh seperti mata, rambut, warna kulit dan bahasa, Suku Tolaki hampir
sama dengan penduduk yang pindah pada zaman prasejarah yang
berasal dari Yunan (China Selatan) dan Riukiyu (Jepang). Mereka
berpindah ke Selatan menuju Taiwan dan Filipina, kemudian ke Sulawesi
Utara dan pesisir Sulawesi Timur. Lalu menuju daratan Sulawesi
Tenggara melalui muara sungai Lasolo dan sungai Konawe'eha, menuju
permukiman pertama di hulu sungai itu, yaitu pada suatu lembah yang
luas dinamakan Andolaki di Sulawesi Tenggara ( Sarasin 1905 : 374 ;
1
Ahmad Faidi, Suku Tolaki, Suku seribu kearifan, Tahun 2015 h.51 - 54

19
Kruyt 1921: 428) Mereka yang bermukim di Andolaki tersebut menamakan
dirinya Orang Tolaki.
Pada mulanya Tolaki menamakan dirinya Tolahianga, yang
memiliki arti bahwa mereka adalah orang-orang dari langit atau China,
karena ada kemiripan bahasa Tolaki dengan bahasa China oleh M.Granat
( Needhan 1973 : 53).
Orang Tolaki mengadakan penyebaran dari Andolaki, karena
pertama, di daerah tersebut sudah sering terjadi peperangan antar
kerajaan. Kedua, karena bencana yang membawa penyakit menimpa
kerajaan besar Konawe dan Mengkoka yang digambarkan berupa biawak
raksasa, kerbau berkepala dua dan burung garuda (kongga). Ketiga,
karena bencana alam. Sesuai dengan teori perpindahan penduduk lokal
yang mengatakan bahwa perpindahan penduduk lokal disebabkan oleh
bencana alam, epidemi penyakit dan peperangan antar suku, hal
tersebut dikemukakan oleh Wolter Kaudern.
Diperkirakan pada zaman prasejarah (sebelum Masehi) dari
Andolaki terjadi penyebaran orang Tolaki, ada yang ke Utara sampai
Ro’uta. Ke Selatan sampai di Olo - Oloho atau Konawe, lewat Ambekaefi
dan Asinua, meliputi wilayah Kendari Selatan di Pu'unggaluku, Tinanggea,
Kolono dan Moramo, dan ada yang menyeberang ke Pulau Wawoni'i.
Ke Timur sampai di Latoma dan Asera meliputi wilayah muara sungai
Konawe'eha dan sungai Lasolo. Ke Barat sampai Konde'eha, lewat
Mowewe dan Lambo kemudian ada yang sampai di Mekongga (Kolaka)
Sulawesi Tenggara (Pingak 1963).
Dari orang Tolaki yang ke Barat tersebut ada kelompok Tolaki dari
Kolaka terus ke pantai Teluk Bone, meneruskan perjalanan berlayar
sepanjang pantai ke Utara Timur Teluk Bone. Lalu mendarat di
daerah Bukit Punsi Mewuni di pinggir pantai Teluk Bone. Kemudian
masuk ke Ussu, melalui Sungai Ussu, masuk ke Lakarai (Cerekang)
melalui Sungai Cerekang. Terakhir kelompok tersebut bermukim di
daerah Bukit Punsi Mewuni Sulawesi Selatan dan mereka
menamakan dirinya orang / Suku Padoe.

20
Peta Penvebaran orang Tolaki dari Andolaki

PETA: 4. PENYEBARAN ORANO TOLAKl SKALA 1.2000000

21
Peta Penyebaran orang Tolaki ke Bukit Punsi Mewuni

22
Orang Tolaki yang berdiam di wilayah Kerajaan Mekongga di
Kabupaten Kolaka sekarang, menamakan dirinya orang Mekongga, dan
mereka yang berdiam di wilayah Kerajaan Konawe, yakni bagian wilayah
Kabupaten Kendari sekarang, menamakan dirinya orang Konawe, dan
mereka yang berdiam di wilayah pesisir hulu sungai Konawe'eha
bagian utara Kerajaan Konawe dan bagian utara Kerajaan Mekongga
menamakan dirinya orang Laiwui.
Perpindahan pendatang Austronesia Ras Mongoloid ke Sulawesi
Tenggara secara singkat perjalanannya diurut sebagai berikut:
1. Dari Yunan (China Selatan) dan Riukiyu (Jepang ), terus ke Taiwan. Ke
Filipina Selatan, ke Sulawesi Utara, ke pantai pesisir Sulawesi Timur,
lalu ke pantai pesisir Sulawesi Tenggara.
2. Kemudian dari pesisir pantai Sulawesi Tenggara, masuk ke daratan
Sulawesi Tenggara, melalui muara Sungai Lasolo dan Sungai
Konawe'eha, kemudian bermukim di Andolaki, mereka menamakan
dirinya orang Tolaki.
3. Dari Andolaki, orang Tolaki menyebar ke sebelah Utara, ke sebelah
Selatan, ke sebelah Timur dan ke sebelah Barat, menjadi orang Ro'uta,
orang Laiwui, orang Konawe, dan orang Mekongga (Mengkoka).
Kebiasaan orang Tolaki, kalau menyebar, selalu dalam bentuk
kelompok sekitar tiga puluh atau empat puluh orang/keluarga dan setelah
berada di wilayah yang baru, nama suku Tolaki berubah nama sesuai
dengan wilayah di mana mereka berada.
Suku Padoe, pada mulanya berasal dari orang Tolaki di daerah
Andolaki Sulawesi Tenggara. Mereka menyebar ke Barat sampai di
Mekongga dengan ibukota Kolaka, kemudian dari Kolaka terus
berlayar ke Utara Timur Teluk Bone kemudian mendarat di daerah
Bukit Punsi Mewuni Sulawesi Selatan, dalam kurun antara awal Abad
Masehi sampai abad X Masehi. Di sana mereka menamakan dirinya
sebagai orang / suku Padoe. Tempat tersebut kemudian terkenal
dengan nama daerah segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi Mewuni.

23
Suku Padoe berada di Tana Luwu pra Kedatuan Luwu yaitu dalam
kurun antara awal Abad Masehi sampai abad X Masehi. Berdasarkan
hasil penelitian dalam buku Kedatuan Luwu Edisi kedua, Perspektif
Arkeologi, Sejarah dan Antropologi halaman 155. Lebih lanjut hal tersebut
dapat diketahui dan dapat dipelajari berdasarkan penelitian yang
dilakukan dengan hasil – hasil penelitian Ali Fadillah2 (1998 : 12) dengan
merujuk telaah Pelras (1995/1996) yang meletakkan periode proto sejarah
dalam kurun antara awal Abad Masehi sampai abad X Masehi. Rentang
periode yang sangat panjang ini, masih cukup gelap karena hampir semua
tidak dilukiskan teks klasik. Dari bukti arkeologis sebelum dinasti Kerajaan
Luwu terbentuk, di banyak titik telah ada sejumlah kantong pemukiman
masyarakat kecil (bands) sejak periode neolitik.
Kantong komunitas kecil dalam wilayah Luwu diantarany terdapat
di zona Matano yaitu Wotu, Padoe, Bajo, Toraja, Rongkong dan
beberapa lokasi di Sulawesi Tenggara dan Tengah yang sekarang
dikenal sebagai suku Tolaki, Mekongga, To Limolang. Kantong
komunitas kecil ini mendapat pembuktian arkeologis sejak zaman
neolitik dan semakin jelas dalam fase paleometalik.
Menurut Nawawi Sang Kilat3 suku Padoe di kerajaan Luwu, berasal
dari Kerajaan mula-mula yaitu dari kerajaan Ware pertama era To
ManurungE berlokasi didaerah segitiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi
Mewuni di Kecamatan Malili dan Kecamatan Angkona, Kabupaten Luwu
Timur sekarang ini.
Tempat mula-mula Suku Padoe di daerah Luwu Sulawesi
2
Dari buku Kedatuan Luwu.edisi ke 2, Perspektif Arkeologi, sejarah dan Antropologi, 2006, hal.
155, Ali Fadillah (1998:12) dengan merujuk telaah Pelras (1995 /1996) meletakkan periode proto
sejarah dalam kurun awal abad Masehi sampai abad X Masehi, rentang periode yang sangat
panjang ini, masih cukup gelap, karena hampir semua tidak dilukiskan teks klasik. Dari bukti
arkeologis sebelum Dinasti kerajaan Luwu terbentuk, di banyak titik telah ada sejumlah kantong
permukiman masyarakat kecil ( bands) sejak periode neolitik. Kantong komunitas kecil dalam
wilayah Luwu di antaranya terdapat di Zona Matano, Wotu, Padoe, Bajo, Toraja, Rongkong dan
beberapa lokasi di Sulawesi Tenggara, dan Tengah yang sekarang dikenal sebagai suku Tolaki,
Mekongga, To Limolang. Kantong komunitas kecil ini, mendapat pembuktian arkeologis sejak
zaman neolitik dan semakin jelas dalam fase Paleo metalitik
3
Catatan ringan Tana Luwu, makalah pada hari Peringatan Perjuangan Rakyat Luwu menentang
penjajah tanggal 23 Januari 1946

24
Selatan, yaitu berada di daerah Bukit Punsi Mewuni. Hal tersebut
dapat diketahui, setelah mempelajari tradisi lisan yang bisa membantu
mengetahui lokasi dan memahami pentingnya tempat-tempat yang
disebut dalam teks I La Galigo. Salah satu tempat seperti itu adalah Bukit
Punsi Mewuni yang dipercaya sebagai tempat Batara Guru, pendiri
Kerajaan Luwu, turun dari kayangan. Bukit Keramat tersebut terletak di
kawasan Ussu. (Bagian atas Teluk Bone), di antara Sungai Cerekang
dengan Sungai kecil Keramat Wae Mami.
Bukit ini4 dijaga oleh Komunitas mistis yang tertutup dan tidak boleh
dimasuki oleh orang luar, terdiri atas sekitar 40 keluarga yang hidup di
permukiman kecil di Cerekang. Penutur bahasa Bugis itu, yang
tinggal di tengah - tengah penutur Mori ( Bahasa Kinadu dan Padoe)
membentuk inti sebuah jaringan pengikut yang disebut Tossu' (dari kata
To Ussu' yang berarti orang Ussu) dan tersebar di seluruh Luwu. Dari
uraian tersebut di atas, menyatakan bahwa Suku Padoe pada mulanya
terdapat dan bermukim di daerah Bukit Punsi Mewuni.
Di sekitar Bukit dan Pantai Ussu, terdapat beberapa tempat yang
berhubungan dengan beberapa Episode I La Galigo, menyusul turunnya
BATARA GURU dari langit, tumbangnya pohon raksasa Welenreng,
maupun tenggelamnya perahu Sawerigading ke dasar laut.
Menurut tradisi lisan, Istana Batara Guru dulu berdiri di Puncak
Bukit Punsi Mewuni itu, yang hanya boleh didatangi oleh To ussu lapisan
atas. Sementara hutan yang mengelilingi Bukit, merupakan hutan
Keramat, dan tidak boleh ditebang oleh siapapun.
Menurut Christian Pelras, mengatakan bahwa bahasa Mori
termasuk kelompok bahasa Bungku-Mori, yang merupakan substratum
bahasa di Sulawesi Selatan, di mana bahasa Padoe di Sulawesi Selatan
hampir sama dengan bahasa Mori di Sulawesi Tengah.

4
Bukit ini dijaga oleh komunitas mistis yang tertutup dan tidak boleh dimasuki orang luar, terdiri
atas sekitar 40 buah keluarga yang hidup dipermukiman kecil di Cerekang. Penutur bahasa Bugis
itu yang ditengah - tengah penutur Mori (bahasa Kinadu dan Padoe ).Dalam buku Manusia Bugis
yang ditulis Christian Pelras pada masalah Siklus I La Galigo dan tradisi lisan hal. 68.

25
Dari daerah segitiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni, Suku
Padoe untuk pertama kali menyebar ke daerah sekitamya mencakup
Pabeta, Angkona. Tampina, Lakarai (Cerekang), Ussu, Laa Mao,
Matanggoa, Kawata, Malili, Kore-Korea, Laro'eha, Labose, Lampia, untuk
berkebun dan bersawah.
Menurut para peneliti asing yang meneliti buku I La Galigo,
mengatakan bahwa penduduk yang mendiami dataran rendah di daerah
sekitar Malili sampai dataran sekitar Wotu dan Takolekaju, dan daerah
segitiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni terdiri dari empat suku yaitu
suku Wotu, suku Pamona, suku Padoe dan suku Mengkoka
(Mekongga).
Menurut Anthon A.Pangerang Opu Daeng Malipu5 dan Andi
Abdullah Sanad Kaddiraja6 menyatakan bahwa Luwu merupakan suatu
kerajaan yang memiliki dua belas Suku dan mempunyai sembilan bahasa
sebagai berikut:To Ware,To Ala, To Ugi, To Raja, To Rongkong. To
Seko, To Limolang / To Sassa, To Pamona, To Padoe, To Wotu, To
Bajo, To Mengkoka.
Menurut penelitian David E.Mead (1999) waktu mengadakan
penelitian terhadap rumpun budaya dan bahasa di wilayah Sulawesi
Tengah, Timur dan Tenggara. Khususnya antara budaya dan bahasa
Padoe yang telah berakulturasi dengan budaya dan bahasa
Mengkoka (Mekongga), Pamona, Wotu dan Bugis.Perkembangan
budaya dan bahasa telah terjadi dalam ratusan tahun sampai
terbentuknya budaya dan bahasa Padoe.
To Padoe berasal dari kata To, Paado dan E. To berarti
orang/suku, Paado berarti jauh (di sana), sedangkan E berarti kata
panggilan (kata sandang) yang menunjukkan keakraban relasi yang
lebih dekat dengan orang lain.
Jadi To Padoe artinya orang/suku yang berasal dari tempat
5
Anthon A.Pangerang Opu Daeng Mallipu,"Mappacekke Wanua sub judul Mappatarenre Onro
Tune Lipu'e tahun 2008.
6
Andi Abdullah Sanad Kaddiraja," Perjuangan Rakyat Luwu" tahun 2018.

26
yang jauh dari pusat kekuasaan, yang dipanggil sangat akrab
relasinya dengan orang lain. Sehingga akhirnya To Padoe terkenal
dipanggil saudara/sahabat dari jauh. Dalam bahasa Bugis.To Padoe,
disebut To Belae yang artinya orang/saudara dari tempat jauh. Akhirnya
To Padoe terkenal disebut To Belae.
Suku Padoe merupakan salah satu suku yang tertua di
Sulawesi Selatan yang pusat permukiman mula-mula berada di daerah
Segitiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni. Suku Padoe sudah berada
di daerah Luwu pra Kedatuan Luwu pada kurun waktu antara awal Abad
Masehi sampai abad X Masehi.
Setelah penyebaran pertama, kemudian Suku Padoe menyebar
dari Matanggoa ke Kawata, membangun Kawata sebagai kampung
pertama Suku Padoe di Tana Nuha. Kemudian dari Kawata Suku Padoe
menyebar kembali secara luas ke Lasulawai, Wasuponda, Togo, Molio,
Umodo, Tabarano, Wawontamba, Lioka, Langkea, Wawondula, Matompi,
Timampu, Petea'a, Lere'ea, Epe, Bea'u, Lambatu, Lengkobale, Lo'eha
dan Larona di Kabupaten Luwu Timur. Dan sebahagian migran ke
Mayakeli dan Taliwan di Sulawesi Tengah dan tempat - tempat lain di
Indonesia, karena kekacauan yang diakibatkan pemberontakan DI/TII di
daerah Nuha dan Sulawesi Selatan 1950-1965.
Pernah ada pendapat yang mengatakan bahwa Suku Padoe,
berasal dari Tana Mori yaitu dari Kanta dekat Tomata Sulawesi
Tengah. Pendapat tersebut hanya berdasarkan pada lokasi dan
keberadaan suku Padoe pada saat itu. Tidak memperhatikan asal
usul suku Padoe dari mana datangnya sebelum ada di Tana Mori.
Suku Padoe berada di daerah tersebut, tidak secara tiba-tiba atau
turun dari kayangan, tetapi ada asal usulnya. Mereka hanya
mengetahui bahwa Suku Padoe pernah berada di Tana Mori sejak
abad XIV-XV. Dan karena peristiwa perang dengan orang Pamona
tahun 1450, Suku Padoe mengundurkan diri kembali ke Lakarai
bergabung dengan keluarga besar Suku Padoe yang sudah ada

27
antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi di Sulawesi Selatan.
Dengan adanya kehadiran Suku Padoe dari Tana Mori tersebut,
mereka menganggap bahwa Suku Padoe berasal dari Tana Mori.
Tetapi mereka tidak mengetahui bahwa kelompok Suku Padoe
yang berada di Tana Mori, sebenarnya pada mulanya berasal dari
segi tiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni Sulawesi Selatan yang
migran ke Sulawesi Tengah sekitar abad XII—XIV, karena daerah
asalnya sudah padat, dan keadaan tidak nyaman karena adanya
saling mengayau antara suku Padoe dengan orang Pamona.
Jadi pendapat tersebut yang mengatakan bahwa Suku Padoe
berasal dari Tana Mori Sulawesi Tengah, hanya berdasarkan kata
orang dan cerita dari mulut ke mulut. Tidak berdasarkan hasil
penelitian ilmiah, dan bukti arkeologis, serta bersumber pada bukti
sejarah dan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sekaligus membetulkan panggilan Mori Padoe, yang artinya
Padoe berasal dari Mori juga tidak benar, dan yang benar adalah
panggilan Suku Padoe, karena Suku Padoe (To Padoe) berasal dari
Bukit Punsi Mewuni yang terkenal disebut daerah segi tiga Ussu-
Cerekang-Bukit Punsi Mewuni Sulawesi Selatan.
Kesimpulannya pendapat tersebut yang mengatakan Suku
Padoe berasal dari Tana Mori Sulawesi Tengah, terbantahkan dan
tidak benar berdasarkan hasil penelitian ilmiah yang dilakukan oleh
Ali Fadillah (1998 :12 ) dengan merujuk telaah Pelras (1995 /1996)
dalam Buku Kedatuan Luwu, Edisi ke 2, Perspektif Arkeologi, Sejarah dan
Antropologi oleh editor Iwan Sumantri yang dilakukan oleh Lembaga
penelitian Dalam Negeri (Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi,
Balai Arkeologi, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Jurusan
Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin dan Lembaga
Penelitian Luar Negeri (Wennergren Foundation, Australian National
University dan University of Hull). Serta referensi dari Buku Manusia Bugis
halaman 68 oleh Christian Pelras tahun 2006.

28
2. PENYEBARAN SUKU PADOE
Menurut Dr. A.C.KRUYT, di zaman batu, ada dua kali migran dari
Sulawesi Selatan ke Sulawesi Tengah:
Pertama, dari Sungai Sadang, terus melalui daerah Mamuju, terus
masuk ke Sulawesi Tengah. Kedua, dari Teluk Bone bagian Utara melalui
sungai-sungai yang terdapat antara Malili-Wotu masuk ke Sulawesi
Tengah, Yang melakukan migrasi tersebut adalah pendukung Potten
Bekkers (Pembuat Tembikar).
Karena di daerah segi tiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni
sudah padat maka sekitar abad ke XII sampai abad XIV, sekelompok
suku Padoe migran ke Sulawesi Tengah. Kelompok migran tersebut
mengikuti sungai Kalaena sekitar Wotu sampai ke hulu, lalu mengikuti
sungai-sungai ke arah Danau Poso. Dari Danau Poso lalu ke kampung-
kampung di sekitar Danau Poso. Sekelompok suku Padoe pada mulanya
tinggal di daerah Kanta atau daerah sungai Kala'e. Setelah sekian lama
bersama-sama dengan orang Kala'e kemudian suku Padoe memisahkan
diri, naik ke Bukit Kayaka untuk berkebun dan membangun kampung
Kayaka dipimpin oleh Kepala Suku Laonga, yang tinggi badannya dua
setengah meter. Suku Padoe hidup berdampingan dengan orang Kala'e
yang letaknya di Kanta dekat Tomata, Mori Atas Sulawesi Tengah.
Menurut Masi Langguna7 kehidupan nenek moyang pada waktu itu
masih saling kayau mengayau, sehingga Suku Padoe di Kanta mendirikan
Komali (Tondoha), yaitu tempat penempaan alat-alat perang seperti
ponai, kasai, kanta berbesi dan Iain-Iain. Kesiapan Kanta ini terdengar
sampai ke daerah Pebato (Pamona) dan daerah sekitarnya.

3. PERISTIWA KANTA / KAYAKA


Untuk mengetahui kesiapan Komali di Kanta, Pebato mengutus
mata-mata bernama Tetembu Malegongga untuk menyelidiki semua

7
Masi Langguna, Siapa dan dari mana Suku Mori Padoe itu, tahun 1998 h.1

29
keadaan. Hal ini diketahui oleh rakyat Kanta dan Kayaka, dan keadaan ini
sangat berbahaya. Akibatnya Tetembu Malegongga dibunuh, agar
rahasia kerja Komali jangan bocor.
Menurut Santona Tamu'u8, Tetembu Malegongga ditangkap
kemudian dimasukkan ke dalam lubang yang selesai digali dan ditimpa
dengan tiang tengah Langkanae yang sedang dibangun dalam rangka
pesta sesudah panen (Padungku).
Karena Tetembu Malegongga belum kembali ke Pebato, maka
Pebato mengirim penyelidik ke Kanta dan Kayaka. Kegiatan penyelidik
ternyata berhasil, setelah mendengar dalu-dalu dari anak-anak yang
mengatakan : Ohayo-Ohayo Tetembu Malegongga Naruncu Nono ri
Tongonya, secara singkat artinya, bahwa Tetembu Malegongga sudah
mati dibunuh. Para penyelidik segera kembali melaporkan keadaan ini
kepada pemimpin mereka.
Berdasarkan laporan ini Pebato menyiapkan pasukan penyerang,
kemudian mereka berangkat menuju Kanta dan Kayaka. Setelah tiba di
Kanta dan Kayaka, mereka menyerang tiba-tiba, menyebabkan banyak
korban dan keadaan kocar kacir di kedua belah pihak. Sebahagian
penduduk Kanta mengundurkan diri ke Wawombau dan penduduk
Kayaka mengundurkan diri ke Selatan. Akhir perang ini tidak ada yang
menang dan tidak ada yang kalah, terjadi tahun 1450.
Menurut Santona Tamu'u9, mengatakan bahwa Kepala Suku
Padoe yang bernama Laonga, memiliki tinggi badan dua setengah
meter, terbunuh sebelum perang Kanta dan Kayaka terjadi dengan cara
orang Pebato mengambil daun sagu tengah malam dan ditumpuk di
depan rumah Laonga secara berlapis - lapis. Kemudian pukul tiga malam
mereka datang dengan senjata lengkap sambil berteriak memaki - maki
Laonga. Laonga marah sambil membawa pedangnya lalu melompat di
depan rumahnya. Laonga terjatuh di tengah - tengah daun sagu dan tidak

8
Santona Tamu'u, Sejarah Suku Padoe, tahun 2007, h.3
9
Santona Tamu'u, Sejarah Suku Padoe, tahun 2007, h.3

30
bisa bergerak karena tumpukan daun sagu. Orang Pebato (orang
Pamona) merampas pedangnya dan membunuhnya dengan pedangnya.
Setelah perang, sisa orang Pebato, kembali ke Pebato, yang
mengundurkan diri ke Wawombau, kembali ke Kanta dan menjadi
penduduk Mori Atas hingga sekarang ini. Mereka inilah kemudian dinamai
suku Molio'a. Yang mengundurkan diri ke Selatan adalah suku Padoe.
Sebagai bukti fisik bahwa di daerah itu pernah ada kampung
Kayaka, peninggalan suku Padoe tahun 1500, pertama kali ditemukan
oleh Lahuse Labaro tahun 1985 berupa satu tiang rumah masih berdiri
dan satu rumpun sagu. Selain itu sampai sekarang masih ada padi
To Padoe yang dikembangkan terus oleh suku Molio'a yang disebut
Benggiwata dari kampung Tanduweangga (Kayaka).
Kemudian ada Tim kedua tanggal 26 Agustus 2006, menemukan satu
tiang rumah bekas peninggalan suku Padoe tahun 1500. Tim tersebut
terdiri dari sembilan orang sebagai berikut:
1. R.Mpila (pensiunan Polisi),
2. T.Mbaro (Sekretaris Dewan Hadat Kp.Tabarano),
3. M.Paliono,
4. T.Latendengan, (Ketua Hadat Kp.Wawondula),
5. M.R.Sepena,
6. Y.Melalo,
7. Lahuse Labaro, (beliau penemu tiang),
8. M.P.Sepena,
9. L.Labaro.

31
Tim Penemu Tiang Rumah dan Rumpun Pohon Sagu

Foto Tiang Rumah abad XV

32
Menurut Santona Tamu'u10 mengatakan bahwa perjalanan suku
Padoe ke Selatan dipimpin oleh Singka Liwu ayah dari Saliwu, melalui
hutan rimba, gunung dan lembah, sungai melewati Gunung Takolekaju
dan akhirnya tiba di Tawi Baru. Di Tawi Baru suku Padoe mengalami
perlakuan yang kurang baik dengan penduduk Tawi Baru.
Dan selanjutnya mereka ke Koroncia dekat Mangkutana, terakhir mereka
tiba di Lakarai (Cerekang), Tampina dan Angkona sekitar tahum 1600.
Berdasarkan sejarah perjalanan migran sekelompok suku Padoe
dari Lakarai Sulawesi Selatan sekitar abad XlI sampai dengan abad XIV,
menuju ke Kanta dan Kayaka Mori Atas Sulawesi Tengah. Setelah suku
Padoe selama ratusan tahun berada di Kanta dan Kayaka, terjadi
Peristiwa peperangan antara suku Padoe dengan orang Pamona di
Kanta dan Kayaka, sehingga mereka mengundurkan diri ke Selatan dan
kembali ke Lakarai, bergabung dengan keluarga besar Suku Padoe
saudara lama sebelum berpisah memang sudah ada di sana.Selama
perjalanan itu Saliwu diperkirakan lahir di Koroncia pada tahun 1590.

4. PERISTIWA TAWI BARU


Setiba suku Padoe di Tawi Baru, suku Padoe bertemu dengan
penduduk Tawi Baru, yang bernama To Lampu , suku Bare'e pedalaman.
Pada mulanya suku Padoe merasa aman bergaul dengan Suku Bare'e
ini.Sehingga suku Padoe menanam sagu di pinggir Sungai Maliwongi.
Kehidupan suku Padoe di tempat ini belum begitu baik, dibandingkan
dengan kehidupan To Bare'e.
Sedangkan yang mengatur Tata Hukum dan Tata Hidup agama
suku, sangat berbeda dengan To Bare'e. Suku Padoe dipimpin oleh
seorang koordinator yang bernama Singka Liwu.
Akhirnya pergaulan hidup berujung saling mencurigai, bahkan
sampai saling menyerang kecil-kecilan. Untuk menghindari hubungan
tegang yang lebih parah, maka koordinator memerintahkan suku Padoe
untuk meneruskan perjalanan menuju Lakarai.
10
Santona Tamu'u, Sejarah Suku Padoe, tahun 2007, h.3

33
5. KORONCIA
Karena perjalanan cukup melelahkan melalui hutan rimba, naik
turun gunung dan lembah di pegunungan Takolekaju dan jaraknya yang
cukup jauh maka rombongan suku Padoe memutuskan singgah di
Koroncia dekat Mangkutana. Rombongan suku Padoe menetap di
Koroncia, sambil berkebun, menanam tanaman jangka pendek untuk
kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Mereka tinggal sekian lama, untuk
memulihkan kesehatan dan kelelahan mereka dari perjalanan panjang,
lama dan melelahkan dari Kayaka-Tawi Baru dan tiba di Koroncia.
Diperkirakan perjalanan masih sepertiga perjalanan lagi sampai di
Lakarai. Perjalanan suku Padoe dibagi menjadi tiga etafe. Pertama,
Kayaka-Tawi Baru, Kedua, Tawi Baru - Koroncia dan ketiga,
Koroncia-Lakarai.
Pada waktu suku Padoe di Koroncia. Saliwu lahir diperkirakan
tahun 1590.Setelah Saliwu berumur lima tahun baru suku Padoe
melanjutkan perjalanan ke Lakarai dan tiba di Lakarai tahun 1600.
Mereka tiba di Lakarai dan di daerah Angkona sekarang. Semua
kegiatan diatur oleh Koordinator, sehingga dapat dilihat dan dirasakan oleh
pengikutnya. Karena keberhasilan tersebut memberikan kegembiraan yang
luar biasa kepada pengikutnya. Umur Saliwu pada waktu itu sekitar tiga
puluh tahun dan telah mendapatkan pelatihan, pendidikan dan pembinaan
dari ayahnya yang bernama Singka Liwu di Lakarai. Karena kehebatan
dan keperkasaan Saliwu sehingga mereka memberi gelar yang tidak
resmi kepada Saliwu sebagai Mokole Ntii. Hal tersebut terdengar sampai
ke Datu Luwu di Palopo. Istilah Mokole Ntii (dari kayangan) lebih tinggi dari Raja
di dunia. Datu Luwu marah dan memanggil Saliwu menghadap di Palopo.

6. LAKARAI
Kampung Lakarai, sekarang namanya Cerekang sangat penting
posisinya dalam keberadaan dan perjalanan suku Padoe, karena
menyimpan sejarah suku Padoe:

34
1. Antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi, suku Padoe sudah
berada di segitiga Ussu-Cerekang (Lakarai)-Bukit Punsi Mewuni, Tana
Luwu, pra Kedatuan Luwu.
2. Karena daerah segitiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni sudah
padat maka sekelompok suku Padoe, migran dari Lakarai ke Kanta
dan Kayaka dekat Tomata Mori Atas Sulawesi Tengah. Tetapi karena
peristiwa perang Suku Padoe dengan orang Pamona di Kanta dan
Kayaka, maka suku Padoe mengundurkan diri kembali lagi ke Lakarai
bergabung dengan keluarga besar suku Padoe saudara lama yang
sudah ada dan sudah menyebar ke daerah sekitarnya.
3. Sebagian besar Suku Padoe, tetap berada di Lakarai dan sekitarnya
menjadi suku penyanggah kerajaan To ManurungE yang dipimpin
Batara Guru Ware I dan Batara Lattu Ware II. Batara Lattu II menata
kembali kerajaan, pertama, menetapkan Ussu sebagai pusat
pemerintahan dan Lakarai (Cerekang) dijadikan pusat keagamaan.
Kedua, Lakarai sebagai daerah keramat yang tidak boleh dimasuki
sembarang orang, kecuali para santri, Pemerintah, dan orang-orang
yang ditunjuk untuk memelihara lingkungan, ketiga, menetapkan
batas-batas pemerintahan Ware I yaitu sampai di Kolaka dan sampai
di Poso. Ware II berpusat di Wotu dan istananya di Bukit Lampenai.
4. Saliwu dipanggil dari Lakarai oleh Datu Luwu Pattipasaung ke Palopo
karena Datu Luwu marah sebab Saliwu dielu-elukan sebagai Mokole
Ntii. Setelah selesai diadili dan berhasil Saliwu memotong pohon
Langkanae dengan pedangnya sendiri sekali tebas, kemudian Saliwu
pulang kembali ke Lakarai
5. Saliwu membawa rakyat, rombongan/pasukan Suku Padoe dari
Lakarai, ke Matanggoa kemudian terus ke Kawata. Selanjutnya dari
Kawata ke arah Timur mulai dari, Lasulawai, Wasuponda, Togo,
Molio, Umodo, Tabarano, Wawontamba, Lioka, Langkea, Wawondula,
Matompi, Timampu, Petea'a, Lere'ea, Epe, Bea'u, Lambatu,
Lengkobale, Lo'eha dan Larona.

35
7. PERISTIWA PALOPO
Pada saat Saliwu berada di Lakarai, Saliwu dielu-elukan rakyatnya
sebagai Mokole Ntii. Berita itu terdengar oleh Datu Luwu Pattipasaung di
Palopo. Karena itu Datu Pattipasaung marah lalu memanggil Saliwu
menghadap Datu Pattipasaung di Palopo sekitar tahun 1620. Pada saat
itu pemerintahan Raja Pattipasaung (1615-1637) Raja Pattipasaung,
memindahkan ibu kota kerajaan Luwu dari Malangke ke Palopo tahun
1619.
Menurut Seketi Samuda11, Saliwu memenuhi panggilan Datu Luwu
di Palopo, dan ditemani Lamara tiba di Palopo, kemudian menghadap
Datu Luwu tahun 1622. Saliwu menghadapi persidangan berat mengenai
kedudukannya sebagai Mokole Ntii. Saliwu diancam hukuman berat dan
divonis hukuman mati. Saliwu minta keringanan tapi ditolak. Kemudian
Saliwu minta grasi, tetapi tetap tidak diterima Datu Luwu, kecuali jika
Saliwu dapat memotong pohon kayu besar (Langkanae) di halaman
Istana Datu Luwu di Palopo sekali tebas dengan pedangnya sendiri, maka
Saliwu tidak akan dihukum mati. Kalau begitu Saliwu terima tapi mohon
diberikan waktu sembilan hari. Bahasa Padoenya:
Moiko kaa au tai pinepate bau impahio kau langkanae ako owumu
pihe kaa. Sumangki ai Saliwu moiko kanggo ai poweaku tempo osio
olo.
Setelah itu Saliwu mulai hari pertama sampai dengan hari ke
sembilan momomaani mengelilingi pohon langkanae. Dan pada hari
kesembilan pohon langkanae terlihat besarnya seperti dui kemudian
Saliwu memotong pohon langkanae sekali tebas dengan pedangnya
sendiri, pohon tumbang dan Saliwu berhasil dan menang.
Keadaan dan situasi ini menggemparkan Kedatuan Luwu di
Palopo. Kedatuan Luwu mengadakan sidang luar biasa, karena
kematian berubah menjadi kehidupan. Sidang luar biasa dipimpin
langsung oleh Datu Luwu Pattipasaung di Palopo dan dihadiri oleh:

11
Seketi Samuda, Asal Usul Mori Padoe, Tahun 2007,h.2-3

36
1. Opu Patundrung, yang mewakili raja dalam menjalankan kebijakan
umum
2. Opu Tomarilalang, yang mengurus segala keperluan istana.
3. Opu Pabicara yang menegakkan keadilan.
4. Opu Balirante, yang mengatur sendi-sendi kesejahteraan rakyat,
memegang kendali Pemerintahan Rakyat, memegang kendali
Pemerintahan di daerah pelosok, dibantu oleh Kepala Wilayah dengan
hak otonomi yang disebut Anak TelluE yakni Madika Porang, Madika
Bua, dan Madika Baebunta. Madika Bua ditunjuk sebagai koordinator.
5. Opu Mincara.
Keputusan Sidang luar biasa :
1. Kemenangan Saliwu disaluti dan disanjung tinggi.
2. Saliwu dengan orang-orangnya diterima oleh Datu Luwu dan rakyatnya
sebagai sahabat dari jauh (To Belae).
3. Saliwu dengan pengikutnya dibebaskan mencari permukiman di
sebelah Timur Daerah Luwu.
4. Saliwu dilantik kembali menjadi Mokole dengan gelar Mokole
Motaha Ngangano.

Setelah kesemuanya selesai, Saliwu dengan Lamara, pulang dari Palopo


tahun 1622 ke Lakarai, dan tiba di Lakarai tahun 1624.

Dalam perjalanan pulang ini mereka singgah di Masamba. Mereka


tidak dengan sengaja bertemu dengan orang Rongkong tahun
1623.Mereka dicurigai orang Rongkong tentang keberadaan mereka,
setelah Mokole Saliwu menceritakan dan menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi, kemudian orang Rongkong paham dan mengerti,
malah sebaliknya orang Rongkong meminta kepada Mokole Saliwu, untuk
bergabung bersama dua puluh orang Rongkong lainnya. Usul orang
Rongkong itu diterima Mokole Saliwu. Dalam perkembangannya orang
Rongkong kemudian ditempatkan Mokole Saliwu di daerah Balambano
sebagai tempat permukiman.
Setiba Saliwu di Lakarai tahun 1624, Mokole Saliwu mengambil

37
keputusan untuk membawa rombongan/pasukan suku Padoe ke sebelah
Timur Daerah Luwu, sesuai dengan perintah Datu Luwu pada waktu
Saliwu berada di Palopo. Mokole Saliwu akan membawa rakyatnya,
rombongan/pasukannya ke suatu daerah yang terbentang dari Kawata
sampai ke danau Towuti yang belum padat penduduknya. Untuk
persiapan migran ke tempat tersebut Mokole Saliwu memilih dan
menyiapkan 400 orang tenaga yang kuat bersama keluarganya untuk
bersama-sama pindah ke Kawata.12
Dari perjalanan tersebut Mokole Saliwu membawa rombongan/
pasukan dari Lakarai ke Matanggoa tiba tahun 1626 untuk mengadakan
pertemuan dengan seluruh rakyat dari kampung-kampung suku Padoe
untuk membicarakan masa depan, wilayah dan strategi yang dipakai
sebagai pedoman untuk perjalanan selanjutnya ke Kawata dan daerah-
daerah lain disebelah Timur Daerah Luwu.

8. MATANGGOA
Mokole/Tadulako Saliwu mengumpulkan suku Padoe di Matanggoa
tahun 1629 yang letaknya antara Malili dengan Ussu.
Mereka mengadakan pertemuan dan berdiskusi tentang masa
depan dan wilayah mereka, dan menyepakati nama suku adalah suku
Padoe, tidak boleh yang lain, tidak boleh memisahkan diri dan membentuk
suku sendiri. Tidak boleh melepaskan diri dari pimpinan Mokole/Tadulako
Saliwu. Pertemuan dihadiri oleh suku Padoe dari Lakarai (Cerekang),
Angkona, Pabeta, Ussu, Malili, Kore-Korea, Laro'eha dan Kawata.
Menurut Santona Tamu'u13, mereka mengadakan pertemuan di
Matanggoa, dengan keputusan: Yang pertama, mengenai Suku Padoe
1. Nama suku yang di bawah pimpinan Mokole/Tadulako Saliwu bernama
suku Padoe (To Padoe).
2. Di manapun mereka mendirikan kampung, biarpun terpisah-pisah tetapi
tetap satu bernama suku Padoe (To Padoe), karena nama berfungsi
12
Seketi Samuda, Asal Usul Mori Padoe, Tahun 2007, h.3
13
. Santona Tamu'u Sejarah Suku Padoe, thn 2007, h.3

38
sebagai alat pemersatu.
3. Mokole Saliwu, ditetapkan merangkap sebagai Tadulako (Panglima
Perang) suku Padoe.
Yang kedua, mengenai pembagian kelompok/pasukan. Mokole/Tadulako
Saliwu, membagi suku Padoe yang ada di Matanggoa, menjadi empat
kelompok/pasukan:
Kelompok/Pasukan I : Dipimpin/Komandan oleh Saliwu merangkap
Koordinator semua kelompok / pasukan.
Kelompok/Pasukan II : Dipimpin/ Komandan oleh Paerako.
Kelompok/Pasukan III : Dipimpin / Komandan oleh Kalende.
Kelompok/Pasukan IV : Dipimpin / Komandan oleh Nggalene
Mokole/Tadulako Saliwu, meminta kepada pimpinan kelompok
menemaninya mengadakan penelitian dan survey ke daerah - daerah
antara Kawata sampai dengan Danau Tuwuti, untuk mencari tempat yang
baik dan subur untuk pertanian dan strategis untuk pertahanan dan
keamanan.
Mokole/Tadulako Saliwu membawa kelompok/pasukannya ke
daerah Kawata dan mendirikan benteng pertahanan di Wawo Une.
Paerako, membawa kelompok/pasukannya ke daerah Togo, dan
mendirikan benteng pertahanan di Bukit Amasi. Kalende, membawa
kelompok/pasukannya ke daerah Tabarano, dengan mendirikan benteng
pertahanan di Bukit Umodo dan di Bukit Wawontamba. Nggalene
membawa kelompok/pasukannya ke daerah Wawondula, dengan
mendirikan benteng pertahanan di Bukit Langkea.

39
Mokole / Tadulako Saliwu

40
9. KAWATA
Setelah suku Padoe mengadakan pertemuan di Matanggoa tahun
1629 dengan membuat keputusan strategis mereka melanjutkan
perjalanan tahun 1631 ke Kawata, dan tiba tahun 1632 di Kawata.
Di Wawo Une Kawata mereka mengadakan pertemuan, sebelum
bergerak selanjutnya dengan keputusan:
a. Mokole Saliwu ditetapkan menjadi Panglima Perang disebut Tadulako,
untuk seluruh orang Padoe.
b. Tariondo, ditunjuk sebagai Sulia, yang memegang semua
aturan/Gau/Hukum Adat dan Gaumpesomba Lahumoa (agama suku)
pada saat itu.
c. Para, ditunjuk menjadi Mia Mohola.
d. Lagampi, ditunjuk menjadi Pongkiari.
e. Mencari tempat- tempat yang strategis.
Kawata merupakan kampung Padoe yang pertama dan sekaligus
sebagai Ibu kota Pertama. Suku Padoe membangun dan mengatur
Kawata menjadi kampung besar, padat dan ramai serta teratur. Saliwu
menjadi Mokole dan sekaligus sebagai Tadulako (Panglima Perang),
pembangunan selesai tahun 1637. Daerah kekuasaannya dari Kawata
sampai ke Danau Towuti. Setelah sekian lama di Kawata, Suku Padoe
bergerak ke arah Lembo Weula/dataran tinggi Weula, tahun 1637 yang
sekarang ini disebut Wasuponda. Dalam perjalanan ini mereka memakai
petunjuk sesuai dengan keputusan bersama di Matanggoa dan hasil
penelitian serta survey yang telah dilakukan.

10. LEMBO WEULA


Setelah pertemuan dan pembangunan Kawata selesai, maka
perjalanan rombongan dan pasukan suku Padoe tahun 1637 ke daerah
Lembo Weula dan dataran tinggi Weula, di daerah Wasuponda dan
sekitarnya sekarang ini.
Lembo Weula berasal dari kata Lembo artinya tanah rata dan

41
Weula artinya orang Weula. Lembo Weula terkenal karena daerah ini
sebagai pusat kemokolean Weula masa silam. Orang Weula ini berasal
dari Tolaki Sulawesi Tenggara. Sifatnya sangat bengis, jahat dan suka
berperang. Mereka migran secara berkelompok dan bersenjata. Akhir
sejarahnya, di mana-mana mereka tercerai berai, lemah dan kalah
perang, sehingga punah.
Mokole/Tadulako Saliwu menghadap Mokole Weula bernama Tei-
Tei tahun 1640 di Konda-Kondara untuk meminta agar Mokole Weula
mengizinkan rakyat Saliwu, bermukim di wilayah orang Weula, serta
mencari penghidupan dengan menggarap tanah pertanian, memelihara
ternak dan mengambil hasil hutan. Mokole Weula meminta kepada
Mokole/Tadulako Saliwu, agar Mokole/Tadulako Saliwu mencari sendiri
tempat, supaya sesuai dengan keinginan, tetapi harus membayar upeti
(inda wute). Mokole/Tadulako Saliwu menyatakan persetujuannya, maka
terjadilah kesepakatan antara kedua Mokole. Persetujuan bersama
10% untuk pemilik tanah (orang Weula) dan 90% untuk penggarap
tanah (suku Padoe).
Kemudian pada tahun 1642 Mokole/Tadulako Saliwu dan
kelompok/pasukannya mengadakan penelitian dan survey wilayah
dipimpin Mokole/Tadulako Saliwu yang tetap tinggal di Kawata.
Sedangkan kelompok yang dipimpin Paerako bermukim di Bukit Amasi
Togo, kelompok yang dipimpin Kalende bermukim di Bukit Umudo dan di
Bukit Wawontamba Tabarano, sedangkan kelompok yang dipimpin
Npgalene bermukim di Bukit Langkea Wawondula.
Setelah ada hasil penelitian dan survey lokasi, suku Padoe mulai
menempati tempat-tempat yang subur dan strategis kemudian mulai
menanam tanaman dan mengolah pertanian sehingga mulai berproduksi
sekitar tahun 1646.
Menurut Sipantu Larobu14 orang Weula dan suku Padoe hidup
berdampingan selama lima tahun dan membayar upeti secara teratur,

14
Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, tahun 1982.h.2

42
tetapi kemudian hubungan tidak baik karena kecemburuan, dan kejahatan
orang Weula terhadap suku Padoe berhubungan dengan hal-hal sebagai
berikut:
1. Mengingkari kesepakatan antara Mokole/Tadulako Saliwu dengan
Mokole Weula di Konda-Kondara yaitu suku Padoe membayar upeti
(Inda Wute) kepada Mokole Weula 10% dari penghasilan, Mokole
Weula menaikkan secara sepihak menjadi 50%
2. Kalau suku Padoe mengambil kayu atau rotan di hutan harus dibagi
dua, sebelah disimpan untuk orang Weula dan sebelah dibawa pulang
suku Padoe.
3. Kalau suku Padoe berburu, maka buruan yang didapat harus dibagi
dua antara orang Weula dengan suku Padoe
4. Kalau binatang buruan suku Padoe lari dan mati, di wilayah orang
Weula, buruan itu menjadi milik orang Weula.
5. Kalau orang Weula meletakkan tongkatnya melintang di jalan yang
sering diialui suku Padoe, dan kalau tongkat itu dilangkahi suku Padoe,
maka suku Padoe itu dipukuii dan barang yang dibawanya dirampas
orang Weula.
Berdasarkan perbuatan tersebut, terjadilah Perang antara suku Padoe
dengan orang Weula sekitar tahun 1651, yang dimenangkan suku
Padoe.Orang Weula kalah dan punah, dan semua tanah Weula di Lembo
Weula dan di dataran tinggi Weula dikuasai oleh suku Padoe.

11. WAWONDULA, LIOKA DAN MATOMPI


Menurut Seketi Samuda15 mengatakan bahwa kemokolean kecil
Weula terdiri dari kemokolean Andomo merupakan kemokolean palili dari
kemokolean Weula di Lembo Weula. Kemokolean Lewehuko, di bawah
kemokolean Andomo.
Kemokolean Tulambatu di bawah kemokolean Kuasi, dan
Kemokolean Kuasi. Mereka diserang oleh suku Padoe dari Wawondula

15
Seketi Samuda, Asal Usul Mori Padoe, Tahun 2007

43
yang dipimpin oleh Mokole/Tadulako Saliwu sekitar tahun 1700.
Peperangan dimenangkan oleh suku Padoe. Banyak orang Weula yang
mati, sisanya ditawan dan Mokolenya dikirim ke Ternate (atas permintaan
Mokole tersebut) Dengan kemenangan ini seluruh tanah orang Weula di
daerah Lioka, Wawondula, Matompi sampai dengan separuh Danau
Towuti dikuasai oleh suku Padoe

12. TABARANO
Menurut penutur lokal mengatakan bahwa Tabarano berasal dari
kata Tebora yang artinya terbelah, hal tersebut terjadi karena peristiwa
goncangan gempa bumi yang dahsyat, sehingga di daerah tersebut
terbelah dua, kemudian air dari danau ( rano ) Wasuponda mengalir
keluar, melalui tanah yang terbelah sehingga airnya mengering. Pada
akhirnya daerah yang tanahnya terbelah tersebut disebut Tabarano.
Menurut Malupu Meoko dan Laribu Meoko, menuturkan bahwa
dahulu hampir tiap hari masyarakat di Bukit Wawontamba, mencuci
daging Anoang di kali yang mengalir ke arah Halu Morini (Tabarano
sekarang), dan terus mengalir ke Rano (rawa berbentuk danau) di
sekitarnya. Di atas air yang ada di Rano, banyak Taba yang
mengambang. Dari kata Taba dan Rano akhirnya menjadi
Tabarano.Kemudian tempat tersebut disebut Tabarano. Sebelumnya
tempat tersebut bernama Halu Morini (air pancuran yang dingin),
kemudian berubah namanya menjadi Tabarano. Pemerintah Hindia
Belanda, mengganti Mokole Andi Halu tahun 1927 dengan Mokole
Lasemba Malotu sebagai Mokole Kerajaan Nuha. Mokole Andi Halu telah
memerintah sebagai Mokole Kerajaan Nuha berpusat di Sorowako
kemudian pindah ke Timampu. Mokole Andi Halu berkuasa dari tahun
1905 - 1927. Setelah pergantian Mokole dari Mokole Andi Halu kepada
Mokole Lasemba Malotu, kemudian ibukota Kerajaan Nuha dipindahkan
oleh Pemerintah Hindia Belanda dari Timampu ke Tabarano. Mokole
Lasemba Malotu dibantu oleh Sulewatang Sangkedapo Tengkano yang

44
dilantik sejak tahun 1925. Beliau pernah dialihtugaskan menjadi Mantri
Pertanian untuk mengisi kekosongan pada saat itu maka jabatan
Sulewatang dipegang oleh Mompe Bokilo. Ketika Mompe Bokilo berhenti,
maka jabatan Sulewatang dipegang kembali oleh Sangkedapo Tengkano.
Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari terutama pemungutan pajak
masyarakat, Mokole dibantu pula oleh Kepala Kampung Tomange
Manule, setelah berhenti diganti oleh Landangi Meoko. Pada tahun 1950,
Mokole Lasemba Malotu, dibunuh pada peristiwa pemberontakan DI/TII.
Selanjutnya diganti oleh putranya Tinampa Malotu.yang memerintah dari
1950 -1953. Pada tahun 1953, Tinampa Malotu dibunuh pada peritiwa
DI/TII. Selanjutnya diganti oleh Mesa Mariesa.
Setelah pemerintahan Distrik Nuha dipusatkan di Tabarano, maka
seluruh kegiatan pemerintahan berlangsung di tempat ini. Kampung
Tabarano menjadi pusat administrasi Distrik, yang menyelesaikan
masalah sosial kemasyarakatan. Selain itu menyelesaikan perkara tingkat
lokal. Tetapi apabila tidak bisa diselesaikan di tingkat Distrik, maka proses
penyelesaian lanjutan akan dilakukan di Malili, sebagai pusat Onder
Afdeling. Di Malili seluruh keputusan final tentang perkara peradilan dan
sanksi hukum diputuskan. Untuk kelancaran komunikasi, maka Tabarano
satu-satunya kampung di Distrik Nuha yang memiliki sambungan telpon
langsung dari Malili dan dari Makassar.
Pada waktu perubahan pemerintahan menjadi Kecamatan Nuha
maka Tabarano, tetap menjadi Ibu kota Kecamatan Nuha. Dan setelah
berbagai pertimbangan maka Kecamatan Nuha dipindahkan dari
Tabarano ke Wasuponda. Dahulu Tabarano selain pusat Pemerintahan
tingkat Distrik juga sebagai pusat pendidikan dan adat, budaya serta
kesenian. Sering dilaksanakan perlombaan musik bambu dan
perlombaan permainan tradisional. Pada saat itu Sekolah Rakyat tingkat
kelas Empat sampai dengan kelas Enam yang terkenal disebut Sekolah
Sambungan, hanya ada di Tabarano, di tempat lain hanya ada kelas Satu
sampai dengan kelas Tiga Sekolah Rakyat.

45
Dahulu kampung Tabarano sangat ramai dan padat karena
kedudukannya sebagai ibukota Kerajaan Nuha kemudian menjadi Distrik
Nuha pada waktu itu.

13. WASUPONDA.
Wasuponda berasal dari kata Wasu dan Ponda (bahasa Padoe).Di
tempat itu ada batu besar dan di atasnya tumbuh nenas. Biarpun tidak
ada tanah di atas batu, tetapi nenas tetap tumbuh baik musim panas
maupun musim hujan. Akhirnya kampung tersebut dinamakan
Wasuponda. Artinya nenas yang tumbuh di atas batu yang besar. Nenas
yang tumbuh diatas batu tersebut, sudah menjadi ikon budaya bagi Suku
Padoe di Wasuponda.
Wasuponda pada mulanya berasal dari Danau yang luas dan
dalam yang luasnya hampir sama dengan Danau Maholona. Danau
tersebut menjadi kering, karena peristiwa gempa bumi yang sangat
dahsyat, sehingga danau menjadi kering karena airnya keluar melalui
tanah yang terbelah dan runtuh, sehingga menjadi suatu dataran yang
luas, yang dalam bahasa Padoe disebut Lembo.
Menurut penutur lokal, ketika gempa bumi terjadi sangat dahsyat
sehingga mengakibatkan orang-orang yang duduk muntah-muntah
karena bumi bergoncang sangat dahsyat. Gunung yang ada disekitar
daerah tersebut berguncang-guncang, sehingga batu-batu dari gunung
berjatuhan dan berhamburan. Begitupun pepohonan tumbang
bergelimpangan. Akibatnya gunung dekat Mohainga bergoyang-goyang
dan berbunyi, akhirnya gunung tersebut dinamakan Gunung Ledu-Ledu,
yang artinya berguncang-guncang. Peristiwa gempa itu mengakibatkan
air danau Wasuponda keluar melalui tiga jurusan. Pertama melalui tanah
terbelah di Tabarano, kedua melalui tanah yang runtuh di Tawaki Togo,
ketiga, melalui tanah yang runtuh di Tete Beta (wute tebeta), yang artinya
tanah yang runtuh. Setelah peristiwa itu Danau Wasuponda kering dan
berubah menjadi dataran rendah yang rata (Lembo) dan dataran tinggi

46
yang luas.
Orang yang pertama menduduki wilayah tersebut adalah orang
Weula, sehingga tempat tersebut terkenal dengan nama Lembo
Weula/dataran tinggi Weula. Kemudian tempat tersebut disebut
Wasuponda.
Lembo Weula/dataran tinggi Weula, merupakan pusat permukiman
orang Weula yang luas dan tempat peperangan antara suku Padoe
melawan orang Weula yang pertama. Orang Weula kalah dan punah dan
seluruh tanah orang Weula di Lembo Weula dan dataran tinggi Weula
dikuasai Suku Padoe.
Wasuponda kemudian menjadi ibu kota Kecamatan Nuha,
pindahan dari Tabarano. Seiring dengan perkembangan pemerintahan
Luwu Timur, kemudian Wasuponda menjadi Ibu kota Kecamatan
Wasuponda sampai sekarang.

14. KERAJAAN LUWU


Menurut Sipantu Larobu16, pada abad XVIII terjadi peperangan
antara Baebunta, Larompong dan Malangke, melawan Kerajaan Luwu,
karena kerajaan Luwu mau mengadakan ekspansi ke Pamona Poso
dihalangi oleh Baebunta, Larompong dan Malangke.
Suku Padoe dengan kekuatan pasukan 1000 orang yang dipimpin
Panglima Perang Nike anak dari Mokole Saliwu, membantu kerajaan
Luwu, atas permintaan kerajaan Luwu, untuk berperang melawan
Baebunta, Malangke dan Larompong. Berkat bantuan suku Padoe
tersebut., perang dimenangkan oleh Kerajaan Luwu.

15. KERAJAAN MATANO


Pada tahun 1700 Datu Luwu menugaskan anaknya yang bernama
Andi Opu untuk menjadi Raja di daerah Padoe wilayah Matano Nuha
Sulawesi Selatan. Wilayah Matano telah dikuasai suku Padoe pada tahun
1600-an. Sedangkan sebelum tahun 1600-an Wilayah Matano dikuasai
16
Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982, h.11

47
oleh orang ToLaki dari Kerajaan Lelewawo dan Kerajaan Kendari. Raja
Andi Opu memilih tempat dan membangun rumah kediaman yang diberi
nama Rahampu'u yang artinya rumah pertama. Raja Andi Opu tinggal di
rumah Rahampu'u sebagai istana Raja bersama budaknya orang Bugis.
Kebiasaan orang Padoe di tempat itu, setiap selesai panen, selalu
membuat pesta Padungku, yang upacaranya harus diadakan di Bantaea
(langkanae ). Tetapi pesta belum bisa dilangsungkan sebelum ada kepala
orang musuh yang diambil sebagai dasar pesta.
Pada suatu waktu suku Padoe pergi monga'e (memenggal kepala)
di kampung Ronta Mori, lalu mengambil satu kepala yang dipenggal mati,
dan seorang gadis yang bernama Wenamba dibawa hidup-hidup,
kemudian. baru pesta padungku dilaksanakan. Gadis Wenamba
ditempatkan di Subario, di antara kampung Sorowako dengan kampung
Matano. Kemudian Wenamba kawin dengan suku Padoe bernama
Tarampu'u dan anak pertama mereka bernama Mbe'ae.
Pada tahun 1800, penduduk makin bertambah banyak karena ada
tambahan penduduk dari Mori yaitu To Karunsi'e dan To Tambee.
Raja memerintahkan kepada rakyatnya untuk mengumpulkan
beras. Untuk kepentingan Raja, mereka bergotong royong berkebun
menanam padi. Setelah selesai panen, dan padi sudah kering, rakyat
bergotong royong kembali mengumpulkan bahan bangunan untuk
membangun lumbung tempat padi tersebut (si'e/tuo’ra) dengan
pembagian tugas:
To Karunsi'e, bertugas mengambil tiang lumbung (karu)
To Tambee, bertugas mengambil gelagar lumbung (tambei)
To Padoe, bertugas mengambil tiang penyanggah lumbung (salambei)
Setelah semua bahan bangunan terkumpul, kemudian lumbung
dibangun secara bergotong royong dan menyimpan padi di lumbung.
Suatu keajaiban yang pernah terjadi di rumah Andi Opu
Rahampu'u Matano pada tahun 1800, pada waktu Raja Andi Opu
memerintahkan rakyat (masyarakat) suku Padoe, agar setiap rumah

48
tangga mengumpulkan potongan-potongan besi dan diisi pada tiga
keranjang besar (landaka), sampai penuh dan diletakkan diatas lantai.
Pada waktu Raja Andi Opu bangun pagi, Raja kaget, karena melihat tiga
pucuk senjata besar tergeletak di atas lantai, sedangkan tiga keranjang
besar yang berisi potongan-potongan besi lenyap (sudah tidak ada lagi). .
Nama-nama tiga pucuk senjata besar itu ialah:
1 Tanduwo'a, untuk suku Padoe di Selatan.
2. Lagulandi, untuk Raja Marunduh dibawa ke Mori.
3.Toringgoko, untuk anak Raja Andi Opu yang menjadi Raja di Kendari,
Pada pemerintahan Hindia Belanda, Andi Halu diangkat sebagai
Mokole Kerajaan Nuha tahun 1905,berkedudukan di Sorowako. Kemudian
digantikan oleh Mokole Lasemba Malotu pada tahun 1927. Mokole
Lasemba Malotu berakhir tahun 1950. Selain sebagai Mokole, Lasemba
Malotu juga melakukan tugas sebagai Kepala Distrik, dibantu oleh
seorang Sulewatang, yang berfungsi sebagai Wakil Kepala Distrik yang
bernama Sangkedapo Tengkano. lbukota Kerajaan Nuha pertama di
Sorowako, kemudian dipindahkan ke Timampu pada saat Mokole Andi
Halu berkuasa. Pada saat Pemerintahan Mokole Lasemba Malotu,
Ibukota Kerajaan Nuha dipindahkan Hindia Belanda ke Tabarano. Setelah
perubahan Pemerintahan, Kerajaan Nuha berubah menjadi Distrik Nuha
berkedudukan di Tabarano. Kemudian dengan perubahan pemerintahan
selanjutnya Distrik Nuha menjadi Kecamatan Nuha. Dengan
pertimbangan tertentu melalui musyawarah, Ibukota Kecamatan Nuha
dipindahkan dari Tabarano ke Wasuponda.

16. PENDUDUKAN WILAYAH


Menurut Johan Kruyt17 tahun 1924, mengadakan penelitian
mengenai suku-suku yang ada di seluruh Mori, dengan membagi Mori
17
De Merenstreek van Malili. Tenslotte widen we in het derde gebiedivier stammen
wonen. Aan den oever van het Matano meer wonen de To Matano. Het noordelijkste
deel van dit gebied bezetten de To Tambee, deze zijn geheel dezelfde menschen als de
zooeven genoemde To Oeloe Oewoi, zij zijn echter naar het zuiden uit de bergen
getogen, de laatstgenoem den near het oosten. De To Karoensi’e bewonen de hooge
bergen, die aan den zuidwestelijken oever van het Matano - meer liggen, terwijihet
woongebied der To Padoe zich van de Weoela vlakte tot aan het Towoeti - meer
uitstrekt Terdapat dalam buku "De Mories van Tinompo (Oostelijk Midden Celebes)
hal.35

49
menjadi tiga kawasan yaitu Mori bawah, Mori Atas dan Mori Selatan
(sekitar Danau Matano). Menurut Johan Kruyt, menyatakan bahwa ada
empat suku yang mendiami kawasan Matano:
Yaitu pertama, suku Matano, yang mendiami daerah pinggir danau
Matano. Kedua, suku Tambee, yang mendiami daerah Barat Laut Danau
Matano, ketiga, suku Karunsi'e yang mendiami atas gunung daerah
Selatan Danau Matano, Keempat, Suku Padoe, yang mendiami daerah
Lembo Weula, sampai dengan Danau Towuti. Hal tersebut diketahui pula
dalam buku tulisan terjemahan W.F.Taroreh18 tahun 1992.
Menurut Seketi Samuda19 dan Masi Langguna20, Suku Matano,
migran dari Tinompo, Ngusumbatu Tana Mori Sulawesi Tengah ke daerah
Nuha Sulawesi Selatan pada abad XVIII. Suku Tambee, migran dari Ulu
Uwoi, Undoro, Dolupo, Poona, Tana Mori Sulawesi Tengah ke daerah
Nuha Sulawesi Selatan pada abad XVIII. Suku Karunsi'e, migran dari
Mobahono, Lintumewure, Ulu Anso, Kumpi Tana Mori Sulawesi Tengah
ke daerah Nuha Sulawesi Selatan pada abad XVIII. Sedangkan Suku
Padoe migran dari Lakarai (Cerekang) yaitu daerah segitiga Ussu-
Cerekang-Bukit Punsi Mewuni Sulawesi Selatan ke daerah Nuha
Sulawesi Selatan pada abad XVI.

18
Daerah danau Malili. Akhimya kita mendapati empat suku yang mendiami kawasan
yang ke tiga ini. Di tepi danau Matano, terdapat suku To Matano. Di bagian paling utara
kawasan ini, bermukim suku To Tambee, mereka ini sama asal usulnya dengan suku To
Ulu Uwoi, hanya saja mereka berpindah ke arah selatan dari pegunungan, yang tersebut
akhir berpindah ke arah Timur. Suku To Karunsi'e menghuni pegunungan yang tinggi
terletak pada tepi Selatan Barat Daya danau Matano. Sedang suku To Padoe mendiami
dataran yang terbentang dari dataran weula sampai danau Towuti. Terdapat dalam buku
Himpunan bahan tentang negeri dan kepahlawanan rakyat Mori Sulawesi Tengah
melawan penjajahan.
19
Seketi Samuda, Asal Usui Suku Mori Padoe, tahun 2007,h.11.
20
Masi Langguna, Siapa dan dari mana Suku Mori Padoe itu, tahun 1998,h. 11

50
Peta wilayah
Suku Matano, Suku Tambee, Suku Karunsi’e, Suku Padoe di Kawasan
Matano oleh Johan Kruyt, 1924

51
BAB III
FAKTA SEJARAH
1. USSU
Ussu terletak sekitar 10 km dari kota Malili. Terkenal akan posisi
istimewanya dalam Epik I La Galigo, dan kedudukan magisnya bagi
penguasa Luwu (REID 1990 :108) sebagai pusat nyata Luwu (BULBECK
dan PRASETYO 1997). Lokasinya berada di dasar kaki Bukit di
pedalaman di mana sungai Ussu melebar dan bercabang menjadi sungai
Malili. Survai sebelumnya (BULBECK 1995) mengidentifikasikan bahwa
Tamalipa (daerah Keramat) yang membentang di kedua sisi sungai Ussu,
begitu meninggalkan kaki Bukit adalah Pusat Ussu Lama. Usu merupakan
tempat permukiman awal dibuktikan dengan artefak pekuburan islam tua
dan serpih keramik. Menurut tutur lokal mengatakan bahwa kampung
Ussu masa sekarang, dulu adalah pelabuhan merupakan terminal bagi
perdagangan hulu dan hilir sungai Ussu, sebab sungai ini lumayan
lebarnya,
Ussu terkenal karena tempat suku Padoe yang mula-mula berada
yang tercakup daiam segitiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni dalam
kurun antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi.
Di Desa Ussu, terdapat satu pertigaan (simpang tiga), di mana di
tempat itu ada peristiwa sejarah yang dialami suku Padoe pada tahun
1946, ratusan pemuda dari berbagai kampung termasuk pemuda-pemuda
Padoe dari Distrik Nuha berkumpul di sekitar jembatan yang terletak di
simpang tiga Ussu, untuk menghadang Tentara Belanda (NICA) yang
ingin berkuasa lagi di Indonesia. Gerakan ini disebut Gerakan merah
putih.
Pada tahun 1954, penduduk Distrik Nuha yang terdiri suku Padoe,
Karunsi'e, Tambee dan Iain-Iain, karena ada pergolakan DI/TII,
mengungsi, ke Malili dan ditempatkan di Malaulu sekitar 5 km sebelah
Selatan Ussu, atas bantuan Tentara Brawijaya.

52
2. CEREKANG
Cerekang masa sekarang berbatasan dengan sederetan tempat-
tempat keramat, hutan primer hingga sekunder, yang berasosiasi dengan
peristiwa dalam epik I LA GALIGO, (CALDWELL, 1993, 1994)
perhatiannya tertarik tentang bagaimana Sungai Cerekang dapat dilayari
kapal besar ke hulu hingga Bukit Pensimoni, di mana Sawerigading turun
dari langit, menurut kepercayaan lokal, dan diduga bahwa bukit ini adalah
sebuah bukit alami, sebuah tempat terlindung dengan baik untuk
mengadakan perdagangan dengan orang dari seberang laut, dan dengan
dataran-dataran tinggi di belakang Cerekang.
Di Cerekang sampai sekarang masih dijumpai adanya tradisi yang
bercitra Hindu-Budha yang dicirikan adanya kepercayaan terhadap
gunung dan sungai yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya para
Dewa. Di daerah ini epik I La Galigo yang isinya banyak mengadopsi
istilah-istilah Hindu-Budha yang masih sangat kuat mempengaruhi konsep
hidup masyarakatnya.Tempat-tempat Keramat selalu dihubungkan
dengan tokoh-tokoh legenda seperti To Manurung, Sawerigading, dan
Sangiang Seri,
Daerah Cerekang yang dahulu disebut Lakarai, sebagai tempat
keberadaan suku Padoe yang mula-mula di Tana Luwu pra Kedatuan
Luwu, dalam kurun antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi yang
meliputi daerah segitiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni. Daerah ini
menjadi pusat perkembangan dan penyebaran suku Padoe ke daerah-
daerah sekitarnya,

3. BUKIT PUNSI MEWUNI


Dalam teks I La Galigo, pada buku Manusia Bugis yang ditulis
oleh Chritian Pelras, terdapat tempat yang disebut Bukit Punsi
Mewuni, yang dipercayai sebagai tempat Batara Guru pendiri Kerajaan
Luwu, turun dari Kayangan. Bukit Keramat itu terletak di kawasan Ussu,
di antara sungai Cerekang dengan sungai kecil keramat Wae Mami. Bukit

53
ini di jaga oleh komunitas mistis yang tertutup dan tidak boleh dimasuki
oleh orang luar, terdiri dari sekitar 40 keluarga yang hidup di
permukiman kecil di daerah Cerekang. Penutur bahasa Bugis, yang
tinggal di tengah-tengah penutur Mori (bahasa Kinadu dan Padoe)
membentuk inti sebuah jaringan pengikut yang disebut Tossu' (dari kata
To Ussu yang berarti orang Ussu) dan tersebar di seluruh Luwu.
Menurut tradisi lisan, Istana Batara Guru, dulu berdiri di puncak
Bukit Punsi Mewuni, yang hanya boleh didatangi oleh To Ussu lapisan
atas. Bukit tersebut dikelilingi oleh hutan keramat dan pohon -pohonnya
tidak boleh ditebang oleh siapapun.
Menurut penulis, yang dimaksud orang Mori, adalah orang Padoe
karena bahasanya hampir sama dengan orang Padoe. Sedangkan orang
Mori sendiri berada di Tana Mori Sulawesi Tengah. yang waktu itu
Kerajaan Mori belum terbentuk. Karena Kerajaan Mori baru terbentuk
pada tahun 1580 dengan Raja/Mokole Marunduh I, Mokole Moiki yang
memerintah tahun 1580-1620. Begitupun mengenai To Kinadu yang
sebenarnya adalah orang Padoe juga. To Kinadu adalah orang Padoe
yang pernah terkurung pada saat peperangan antar suku. Jadi yang ada
di daerah Bukit Punsi Mewuni pada waktu itu adalah orang / suku Padoe.
Dengan kehadiran penutur bahasa Padoe di tempat itu
membuktikan bahwa daerah Bukit Punsi Mewuni adalah tempat
mula- mula suku Padoe berada di Tana Luwu pra Kedatuan Luwu
daiam kurun antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi,
Menurut ALI FADILLAH (1998 :12) dengan merujuk telaah PELRAS
(1995 /1996)

4. PABETA
Di daerah Pabeta, muncul anggapan yang keliru seakan-akan ada
perbedaan, antara orang Padoe dengan orang Kinadu, namun
sesungguhnya orang Kinadu adalah orang Padoe juga. To Kinadu bukan
nama suku melainkan nama tempat/lokasi yang muncul karena situasi

54
perang pada saat itu. Mereka adalah suku Padoe yang terkurung pada
saat perang antar suku. Perang terjadi di daerah Pabeta, Angkona dan
Laro’eha. Pada saat perang sebagian kecil suku Padoe yang terpaksa
karena terkurung/dikurung (tekadu/kinadu) pada waktu perang dan tidak
bisa keluar bergabung/bersatu dengan pasukan/kelompok induk suku
Padoe. Jadi To Kinadu adalah nama panggilan/julukan bagi suku Padoe
yang tekadu/kinadu (terkurung/dikurung) pada saat perang waktu itu,
bukan nama suku.
Dan bahasanya adalah bahasa Padoe, adatnya adalah adat
Padoe, budayanya adalah budaya Padoe, tanahnya/wilayahnya adalah
tanah Padoe.
Persyaratan utama suatu suku harus memiliki bahasa sendiri, adat
sendiri, budaya sendiri dan tanah sendiri
Oleh karena pengaruh akulturasi budaya setempat maka suku
Padoe yang berada di Pabeta, dipengaruhi budaya Bugis, sehingga
dalam kehidupan bermasyarakat memakai dua bahasa, yaitu bahasa
Padoe dan bahasa Bugis. Pabeta adalah tempat/lokasi yang dekat
dengan pusat pengembangan/penyebaran suku Padoe mula-mula di
tanah Luwu pra kedatuan Luwu, dalam kurun antara awal abad Masehi
sampai abad X Masehi menurut ALI FADILLAH (1998 :12), dengan
merujuk telaah PELRAS (1995/1996).

5. ANGKONA
Di daerah Angkona muncul pula anggapan yang keliru seakan-akan
ada perbedaan antara orang Padoe dengan orang Kinadu. Namun
sesungguhnya orang Kinadu adalah orang Padoe juga. To Kenadu bukan
nama suku melainkan nama tempat/lokasi yang muncul karena situasi
perang pada saat itu. Mereka adalah sekelompok suku Padoe yang
terkurung pada saat perang antar suku. Hal tersebut terjadi di daerah
Pabeta dan Laro’eha. Pada saat perang sebagian kecil suku Padoe yang
terpaksa terpisah karena tekadu/kinadu (terkurung,dikurung) pada waktu

55
perang dan tidak bisa keluar bergabung/bersatu dengan pasukan/
kelompok induk suku Padoe. Jadi To Kinadu adalah nama panggilan/
julukan bagi suku Padoe yang pernah tekadu/kinadu (terkurung/dikurung
pada saat perang waktu itu. Dengan demikian jelas bahwa To Kinadu
bukan nama suku. Bahasanya adalah bahasa Padoe, Adatnya adalah
adat Padoe, budayanya adalah budaya Padoe, tanahnya adalah tanah
Padoe. Persyaratan utama suatu suku harus memiliki bahasa sendiri, adat
sendiri, budaya sendiri dan tanah sendiri. Oleh karena pengaruh akulturasi
budaya setempat, maka suku Padoe yang berada di Angkona,
dipengaruhi budaya Pamona Sehingga dalam hidup bermasyarakat
memakai dua bahasa, yaitu, bahasa Padoe dan bahasa Pamona.
Angkona adalah tempat/lokasi yang dekat dengan pusat pengembangan/
penyebaran suku Padoe mula-mula di Tana Luwu pra Kedatuan Luwu,
dalam kurun antara awal abad Masehi sampai Abad X Masehi menurut
ALI FADILLAH (1998 : 12 ) dengan merujuk telaah PELRAS (1995/1996).

6. MALILI
Malili terletak di sisi sungai yang berasal dari Larona, tepatnya
sebelum bertemu dengan sungai Ussu, untuk membentuk sungai Malili,
yang muaranya terdapat pelabuhan dalam, terlindung dan dalam, Kapal
yang cukup besar dapat berlayar masuk hingga Malili, bahkan lebih jauh
lagi ke hulu.
Suku Padoe dari daerah segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi
Mewuni menyebar ke Malili pada abad XII - XIV
Setelah ada peristiwa gerombolan DI / TII yang menimbulkan
kekacauan, pembunuhan, pemaksaan agama dari agama Kristen masuk
agama Islam dan pembakaran kampung/Desa di daerah Distrik Nuha
mulai tahun 1950 sampai 3 Februari 1965, dimana Qahar Mudzakkar
berhasil ditembak mati oleh TNI dalam operasi penumpasan di muara
Sungai Lasolo, dekat Desa Lawali Sulawesi Tenggara. Maka Malili
menjadi pusat perhatian dan terkenal karena menjadi pusat penampungan

56
pengungsi masyarakat dari Distrik Nuha, tempat permukiman suku Padoe.
Menurut Latupu Sinampu21 dengan bantuan keamanan TNI, Masyarakat
berbondong-bondong mengungsi ke Malili dengan beberapa rombongan
seperti berikut:
1. Desa Kawata, pada tanggal 17 Oktober 1953
2. Desa Lasulawai, pada tanggal 23 Oktober 1953
3. Desa Landangi, pada tanggal 30 Mei 1954
4. Desa Dongi, pada tanggal 1 Juni 1954
5. Desa Tabarano, pada tanggal 4 Juni 1954,
6. Desa Togo, pada tanggal 4 Juni 1954,
7. Desa Balambano, pada tanggal 4 Juni 1954,
8. Desa Matompi, pada tanggal 4 Juni 1954,
9. Desa Wasuponda, pada tanggal 8 Juni 1954,
10.Desa Wawondula, pada tanggal 10 Juli 1954,
11.Desa Lioka, pada tanggal 10 Juli 1954,
12.Desa Koropansu, pada tanggal 20 Juli 1955.

Kota Malili digempur dan dibumihanguskan oleh DI/TII bergabung Dengan


PERMESTA, pada tanggal 9 Januari 1959, pertempuran berlangsung
selama 40 jam, dan menguasai Malili selama 8 hari 8 jam, kemudian
mereka diusir oleh TNI dengan bantuan pesawat terbang tanggal 17
Januari 1959. Masyarakat Nuha yang masih tinggal pada saat peristiwa
Malili terdiri dari Desa Togo, Balambano dan Lasulawai, kemudian
diangkut dengan kapal laut mengungsi ke Padang Alipan, 12 km dari kota
Palopo.

7. KORE-KOREA.
Kore-Korea terletak di sisi kiri Sungai Malili tetangga dekat dengan
Malili. Perkembangan Kore-Korea seirama dengan perkembangan Malili,
karena masyarakatnya saling kait mengait dan merupakan satu rumpun
bertetangga namun tempatnya terpisah satu sama lain, karena Sungai
21
Latupu Sinampu, Sejarah Desa resetlemea, Tahun 1994, h,15

57
Malili. Oleh karena pengaruh akulturasi budaya Bugis, maka suku Padoe
yang berada di Kore-Korea, dipengaruhi budaya Bugis, sehingga dalam
kehidupan bermasyarakat, memakai dua bahasa, yaitu Bahasa Padoe
dan Bahasa Bugis.
Kore-Korea adalah suku Padoe, hasil penyebaran pada abad XII
sampai abad ke XIV dari pusat suku Padoe mula-mula di daerah segitiga
Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni. Suku Padoe menyebar melalui
Matanggoa, Malili dan kemudian Kore-Korea.

8. LARO'EHA
Laro'eha, terkenal karena berada di dekat empang/kolam/rawa ikan
yang luas dan hutan sagu yang disebut Tambunga. Menurut cerita
penutur lokal kolam ikan dan hutan sagu tersebut disiapkan oleh
pemerintah Distrik Nuha untuk mengatasi kalau ada paceklik terjadi. Kalau
ada paceklik, masyarakat dengan bebas mengambil ikan dan mengolah
sagu untuk dimakan. Laro'eha terkenal dengan istilah Bou Bengko.
Karena ikan yang sudah ditangkap, dibengkokkan dan dikeringkan /
dijemur / ditapa, lalu dibawa kemana - mana atau dijual di pasar. Hal yang
sama di Epe, Togo dan Lioka ada hutan sagu, untuk mengatasi paceklik.
Suku Padoe yang berada di Laro'eha berasal dari penyebaran
suku Padoe dari suku Padoe mula-mula di daerah segitiga Ussu-
Cerekang-Bukit Punsi Mewuni. Menurut ALI FADILLAH (1998 : 12)
merujuk telaah PELRAS (1995/1996) dalam kurun antara awal abad
Masehi sampai abad X Masehi suku Padoe sudah berada di Tana Luwu
pra Kedatuan Luwu.
Isu yang berkembang adanya To Kinadu, sebenarnya masyarakat
salah pengertian karena To Kinadu bukan nama suku melainkan nama
tempat/lokasi yang muncul karena situasi perang antar suku pada saat
itu. Mereka adalah suku Padoe yang terkurung pada saat perang antar
suku. Perang terjadi pula di daerah Angkona, dan Pabeta . Pada saat
perang sebagian kecil suku Padoe yang terpaksa terpisah karena

58
tekadu/kinadu (terkurung/dikurung) pada waktu perang dan tidak bisa
keluar bergabung/bersatu dengan pasukan/kelompok induk Suku Padoe.
Jadi To Kinadu adalah nama panggilan/julukan bagi suku Padoe yang
tekadu/kinadu (terkurung/dikurung) pada saat perang waktu itu, bukan
nama suku. Bahasanya adalah bahasa Padoe, adatnya adalah adat
Padoe, budayanya adalah budaya Padoe,
Persyaratan utama suatu suku harus memiliki bahasa sendiri, adat
sendiri, budaya sendiri dan tanah sendiri. Oleh karena suku Padoe di
Laro'eha , sudah mengalami akulturasi dengan budaya suku Bugis, maka
dalam hidup masyarakat memakai dua bahasa yaitu bahasa Padoe dan
Bahasa Bugis.

9. TOLE-TOLE
Tole-Tole, adalah kampung kecil yang terletak pada persimpangan
jalan ke Laro'eha dan ke Kawata serta persimpangan ke Landangi dan ke
Kawata. Kampung tersebut sebahagian besar terdiri dari suku Bugis. Dan
sudah terjadi akulturasi budaya antara suku Bugis dan suku Padoe,
karena berada dekat kampung Kawata, sebagai kampung pertama suku
Padoe.

10. LASULAWAl.
Lasulawai adalah kampung pengembangan atau pindahan dari
kampung Kawata, karena Kawata sudah terlalu padat. Sehingga untuk
membangun rumah sebagai tempat tinggal sudah sangat sulit dan hampir
tidak ada tanah yang tersedia. Apalagi setelah diadakan pembangunan
kampung Kawata yang dipimpin oleh Mokole/Tadulako Saliwu sebagai
kampung pertama suku Padoe dan sekaligus menjadi Ibukota pertama
Suku Padoe. Pada mulanya Lasulawai berada di daerah padang yang
dalam bahasa Padoe disebut sebagai daerah konde, dan dalam bahasa
Padoe Kawata disebut pada. Setelah kampung terbentuk, maka yang
menjadi Kepala Kampung pertama adalah D. Sinaba, bapaknya Sinaba
Ntahu.

59
Ini berarti bahwa suku Padoe yang ada di Lasulawai, adalah suku
Padoe yang berpindah dari Kawata. Memang ada julukan pada saat itu,
mengatakan bahwa suku Padoe yang berada di padang (konde), karena
Lasulawai berada di daerah yang masih dikelilingi padang luas, mereka
dipanggil to konde, artinya orang yang berada di konde (padang luas).
Jadi konde menandakan situasi lokasi di mana mereka berada. Bukan
merupakan suku tapi panggilan/julukan terhadap suku Padoe yang
berada di padang. Kawata dan Lasulawai adalah suku Padoe.

11. TOGO
Togo terkenal karena di dekatnya ada Benteng pertahanan suku
Padoe yang bernama Bukit Amasi, sebagai tempat pertahanan yang
dipimpin oleh Paerako sebagai Pemimpin kelompok suku Padoe di daerah
Togo dan sekitarnya. Terutama menghadapi orang Weula di Lembo
Weula dan dataran tinggi Weula Wasuponda. Setiap saat dapat bergerak
dengan cepat sesuai dengan perintah Pemimpin kelompok.,
Sebelah Timur Togo kurang lebih satu setengah kilo meter dari
Togo dahulu ada kampung kecil namanya See- See. Kampung itu
merupakan tempat pertama Pendeta Yakob Ritsema membangun Pos
Pekabaran Injil, sekarang kampung See-See sudah tidak ada lagi, dan
sudah menyatu dengan kampung Togo. Kemudian tahun 1926, Pos
pekabaran Injil di See-See di pindahkan ke Kawata.

12. TAWAKI
Tawaki, artinya bagian kami yang diberikan Mokole Lasemba
Malotu adalah kampung yang berstatus sebagai batas tanah antara orang
Rongkong Balambano dengan suku Padoe di daerah Togo. Kampung
Tawaki berada di sebelah Barat Togo, dan sudah ditinggalkan
penduduknya setelah peristiwa pergolakan DI/TII tahun 1950, sehingga
sekarang ini kampung Tawaki sudah menjadi hutan, sisa ada beberapa
pohon kelapa sebagai tanda bahwa di tempat itu pernah ada kampung
Tawaki

60
13. MOLIO
Molio adalah kampung yang berada di lembah yang rata, subur
ada sungai dan mata air yang sangat cocok untuk perkampungan dan
pertanian. Di sana banyak pohon sagu dan buah-buahan. Suku Padoe
yang berada di Tabarano, Wasuponda dan Togo, ada juga yang tinggal di
kampung Molio. Pada Perkembangannya sebagai kampung suku Padoe,
Molio pernah menjadi Ibu Kota III, Kerajaan Suku Padoe, dengan Mokole
Ta'elu.
Karena Mokole Ta'elu, diminta orang Mori, menjadi Raja di Mori,
maka Molio ditinggalkan tanpa ada Mokole. Kemudian Ibu kota pindah
kembali ke Langkea Wawondula. Sejak itu Molio sudah mulai sepi, dan
sebahagian masyarakatnya pindah ke Togo, Tabarano, Lioka dan
Wasuponda.

14. BALAMBANO
Balambano, adalah daerah yang diberikan oleh Suku Padoe
melalui Mokole Saliwu pada waktu pertemuan orang Rongkong dengan
Mokole Saliwu di Masamba sekitar tahun 1623. Waktu itu Mokole Saliwu
yang didampingi Lamara pulang dari Palopo hendak ke Lakarai. Mereka
singgah di Masamba dan secara tidak sengaja bertemu dengan orang
Rongkong. Pada mulanya orang Rongkong curiga akan keberadaan
Mokole Saliwu, tetapi setelah Mokole Saliwu menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi, orang Rongkong mengerti bahkan orang Rongkong
minta bergabung dengan Mokole Saliwu. Mokole Saliwu menyetujui dan
menerima dua puluh orang Rongkong resmi bergabung dengan Mokole
Saliwu. Kemudian Mokole Saliwu, memberi tanah daerah Balambano
sebagai tempat permukiman orang Rongkong.

15. LIOKA
Di sebelah Selatan Langkea terpampang sebuah hamparan
memanjang dari Palatua (Lioka) sampai Timampu, kurang lebih 12 km.
Hamparan ini diduduki 4 Kerajaan kecil Weula. Keempat kerajaan kecil

61
ini, mempunyai Daerah dan Pemerintahan sendiri.
Untuk Kerajaan Andomo di Palatua, (Lioka sekarang)
Inie Mpu'uno : Nangka Olota
Sungai – Sungainya : Sungai Meruruno, S. Mata, Buntu,S. Mata
Tabarano, S. Mpu'u Wesu, S.Mosilu, S.Sule.
Batas : Tamungku Tinambo dengan Konda - Kondara.

Kerajaan Andomo bersama tiga kerajaan kecil lainnya kalah,


hancur lebur pada saat perang melawan suku Padoe yang dipimpin
Mokole/Tadulako Saliwu tahun 1700. Menurut Seketi Samuda 22. Hal ini
terjadi karena pada masa kegiatan pertanian bersamaan, rakyat Kuasi
membakar lahan pertanian secara bersama-sama mengakibatkan udara
penuh abu pembakaran mengotori udara di atas hamparan itu, dari atas
Bakara sampai di atas Kerajaan Andomo. Kebetulan raja Andomo
sementara makan dalam suatu pesta syukuran terganggu karena
makanan tercemar kotoran asap. Keadaan ini menjadikan Raja Andomo
marah kepada Raja Kuasi. Raja Kuasi juga tidak terima baik kemarahan
raja Andomo. Maka hubungan kedua kerajaan menjadi tegang yang
akhirnya berujung pada perang total.
Berdasarkan kesetiakawanan maka kerajaan Lewehuko membantu
kerajaan Andomo, sedang kerajaan Tulambatu membantu kerajaan Kuasi.
Dengan keperpihakan kedua kerajaan ini maka perang total lebih ganas.
Memperhatikan keadaan perang ini pemerintah Suku Padoe di
Wawondula menyarankan agar berdamai, tetapi tidak dihiraukan, malah
mereka membalas dengan kata-kata menjengkelkan dan menyinggung
perasaan suku Padoe. Kejengkelan suku Padoe ini diterima Mokole/
Tadulako Saliwu dengan memerintahkan suku Padoe untuk siap
berperang.
Selanjutnya suku Padoe menyerang keempat kerajaan kecil Weula
dan semua rakyatnya. Keempat kerajaan kecil Weula itu kalah. Dan

22
Seketi Samuda, Asal Usui Mori Padoe, Tahun 2007, h.7

62
seluruh tanah milik Weula dikuasai dan dimiliki oleh Suku Padoe. Tanah
tersebut meliputi daerah Lioka. Langkea, Wawondula dan Matompi
sampai dengan Danau Towuti.
Di sekitar Lioka ada Mpu'u Wesu sebuah tempat yang dikenal
sebagai gua Andomo. Di gua tersebut Mokole Saliwu dan pongkiari
Lagampi dikuburkan. Mokole Saliwu digantikan oleh anaknya Nike dan
Pongkiari Lagampi digantikan anaknya Taluari. Selain itu Gua Andomo,
juga tempat penguburan tokoh - tokoh nenek moyang suku Padoe
lainnya, seperti Kalende, Manule dan lain - lain.
Sementara Kalende berkuasa di Umodo, dia didatangi dua orang Karua
utusan dari Mori Sulawesi Tengah yaitu Tarumba - Rumba dan
Rorahako. Mereka disuruh untuk meminta tenaga yang bisa menjadi
raja karena selalu kacau akibat tidak ada yang mampu untuk mengatur
mereka, jadi dibutuhkan orang yang bisa mempersatukan seluruh Mori.
Kalende menyetujui dan memberikan seorang suku Padoe yang
bernama Ta'elu.

16. WAWONDULA
Wawondula terdiri dari kata Wawo dan Mandula. Pohon Mandula
yang tumbuh diatas bukit yang berbentuk dula. Akhirnya tempat itu diberi
nama Wawondula oleh Mokole / Tadulako Saliwu.
Menurut Kate Dewi, Tolesa dan Karumi, mengatakan bahwa ketika
Mokole/ Tadulako Saliwu dengan rombongannya menyusuri Bangkano
Asuli, mereka sampai pada suatu tempat yang paling strategis untuk
permukiman, yaitu satu bukit yang berbentuk dula dinui diatasnya
rata dan tumbuh di tengah - tengahnya pohon mandula yang besar.
Mokole / Tadulako Saliwu memberi nama tempat itu Wawondula.
Mokole/Tadulako Saliwu menyuruh Para mengatur Wawondula menjadi
kota pusat kekuasaan Suku Padoe, terjadi pada tahun 1700. Pada zaman
Belanda Wawondula dipindahkan oleh Belanda ke Lembah Koro Apundi
dan Koro Lingaru, dan Langkea dijadikan lapangan bola kaki (pasar

63
sekarang).
Menurut Matius Motilay mengatakan, Bukit Wawondula, sebagai
benteng pertahanan pada waktu itu, bukit itu dikelilingi bulutui yang
ditanam sebagai benteng. Di dalamnya banyak pohon kelapa dan
langsat ( lasa ue )
Menurut Noo dan Dewi seorang karyawan Belanda yang
pekerjaannya menggali tambang Nikel, mereka mendengar dari orang
Belanda, mengatakan bahwa di dalam Bukit Wawondula ada emas
sebesar kerbau.
Menurut Lagoi, mengatakan bahwa di dataran Bukit Pinuai ada
batu yang berbunyi gong dan di dekatnya ada batu mesau.
Menurut penutur lokal, apabila ada musuh (uweli) datang, Pongkiari
segera berlari pergi memukul batu (wasu meuni) dan orang yang ada
di kebun lari ke Pa'ano Wawondula. Bunyi batu ini kedengaran
sampai di Tabarano, Lioka, Langkea, Matompi. Semua orang lari ke
kubu pertahanan masing-masing. Wasu Mesau berputar ke arah
musuh yang datang ketika Pongkiari duduk di bawahnya.
Menurut Kate, Tolesa, mengatakan Mokole Saliwu dari Pa'ano
Wawondula, dan rombongannya menyusuri Koro Mo'are (sungai hanya
berair pada waktu musim hujan) bermuara di Para'ahua. Tiba di
Para'ahua di sana mereka mendapatkan dataran rendah yang terhampar,
yang cocok untuk dijadikan persawahan. Di tempat itu muncul mata air
besar dari mulut Gua Taiponiki yang merupakan hulu Koro Apundi.
Perjalanan diteruskan sampai di Langkea, disana Mokole/Tadulako
Saliwu melihat tempat itu baik untuk tempat perburuan.
Mokole/Tadulako Saliwu membangun rumah tempat istirahat
mengayun-ayunkan kaki ke depan (ulua melangkea soe- soe nggare),
dan dibuat juga tempat mandi Mokole/Tadulako Saliwu di Koro Noei.
Menurut Dasangko Larobu23, pada zaman dahulu suku Padoe
mengalami beberapa kali perpindahan Ibukota di daerah kerajaan

23
Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nahu, Tahun 1986, h. 7

64
Nuha. Begitupun perubahan bentuk pemerintahan mulai dari
kerajaan, lalu menjadi Distrik dan kemudian menjadi Kecamatan. .
Pada zaman itu mulanya adalah zaman Kerajaan Suku. Raja kerajaan
Suku disebut Mokole. Oleh karena itu Raja Kerajaan yang ada pada
saat itu disebut Mokole.
Ibukota I adalah Kawata, Kawata adalah kampung pertama suku
Padoe. Kemudian dalam perkembangannya berkedudukan sebagai
ibukota I kerajaan Nuha dengan Mokole Saliwu. Mokole Saliwu
merangkap sebagai Tadulaku (Panglima Perang). Sebagai Mohola adalah
Horobata.
Ibukota II adalah Wawondula, menurut Dasangko Larobu24 Ibu
kota ini adalah pindahan dari Kawata didirikan oleh Mokole/Tadulako
Saliwu, setelah peperangan suku Padoe dengan orang Weula di Lembo
Weula selesai, ketika Mokole/Tadulako Saliwu masih berada di Kawata.
Sebagai Mohola adalah Lamehawa. Pimpinan agama suku (Melahumoa)
adalah Sipantu.
Pada saat Ibu kota di Wawondula, Sumba Oleo turun sebagai Mia
Ntii di Matano di daerah kekuasaan Kerajaan Nuha di Wilayahnya Mokole
Saliwu.
Sumba Oleo datang bersama 7 orang bawahannya jadi semuanya
8 orang di Matano mendirikan kerajaan Federasi yang berpusat di
Matano. Istananya bernama Rahampu'u di Matano..Sumba Oleo sebagai
Mokole I Kerajaan Federasi di Matano. Mereka berasal dari Kerajaan
Lelewawo dan Kerajaan Kendari, Tolaki, To Landewa/Mopute, To
Wawonii/ Kulisulu. Opu Toparalasa / Opu Totondiaji, sebagai Mokole II,
orang Bugis, di Kerajaan Federasi di Matano. Andi Halu, sebagai Mokole
III, seorang perempuan Bugis, di kerajaan Federasi Matano.
Raja Latulambi ( adik / bawahan Sumba Oleo), dari Matano
menjadi Raja Longgohu dan kemudian menjadi Raja Kerajaan Baebunta
dengan ibukotanya Baebunta. Sebab pada saat itu di Kerajaan Baebunta,

24
Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nahu, Tahun 1986, h. 7- 8

65
tidak ada yang berketurunan Raja. Sehingga Raja Latulambi yang
namanya diubah menjadi Labombo artinya Sisetan dalam bahasa
Rongkong, Latulambi akhirnya menjadi Raja Kerajaan Baebunta yang
pertama.
Pada saat Ibukota di Wawondula, perpindahan Suku Tambee,
Suku Karunsi'e dan Taipa Matano, pada abad XVIII dari Tana Mori
Sulawesi Tengah migran ke daerah Nuha di wilayahnya
Mokole/Tadulako Saliwu (suku Padoe) kampung Matano, berada di
daerah Nuha, termasuk seluruh Danau Matano.
Ketika ke tiga suku ini ke daerah itu, daerah itu sudah dikuasai
Saliwu (Suku Padoe) Dan semua nama-nama tempat daerah Weula itu
yang sudah direbut Suku Padoe, nama aslinya diganti dengan nama
bahasa Padoe.
Menurut Dasangko Larobu25, Tambee, artinya orang-orang yang
dipindahkan. Pindah dari Ulu Uwoi, Undoro, Dolupo Tana Mori Sulawesi
Tengah, pada abad XVIII.
Karunsi'e, artinya menghasilkan banyak padi, lumbung beras,
gudang padi. Pindah dari Mobahono, Lintumewure, Ulu 'Anso, Kumpi.
Tana Mori Sulawesi Tengah, pada abad XVIII.
Taipa, disebut Taipa sebab di kampung Taipa terdapat satu pohon
mangga yang bila berbuah lebat hanya terdapat satu buah saja yang
mempunyai biji untuk ditanam. untuk satu kali berbuah, pada abad XVIII.
Matano, disebut Matano karena di tempat itu terdapat mata air di
hulu Danau Matano, mengairi Danau Matano. Taipa Matano pindah dari
Tinompo, Ngusumbatu, Tana Mori Sulawesi Tengah, pada abad XVIII..
Menurut Dasangko Larobu26, Suku Padoe berperang dengan suku
Tambee, di Tamungku Sinambi. Suku Tambee dikalahkan suku Padoe.
Tambee memasang benteng kuat di gunung itu, dipagari dengan susunan
batu, yang berpintu hanya satu. Perang terjadi karena dua orang suku

25
Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuha, Tahun 1986, h.9
26
Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuha, Tahun 1986, h.9

66
Padoe dibunuh suku Tambee di tengah hutan pada waktu tidur malam di
tempat mengolah pohon sagu menjadi sagu, miliknya sendiri. Perang ini
terjadi dengan masing-masing Pongkiari Padoe bernama Taluari,
sedangkan dari Tambee bernama Kadoena. Pada mulanya mau
diselesaikan secara musyawarah, namun menemui jalan buntu, karena
Kadoena tetap bersikeras. Akhirnya perang terjadi. Tambee bertahan di
dalam bentengnya di Tamungku Sinambi. Karena tempat itu tinggi di
gunung, maka Padoe memutuskan hubungan makanan dan air
kebutuhan Tambee. Sehingga timbul kelaparan dan kehausan di dalam
benteng. Dengan keadaan ini akhirnya Tambee menyerah kalah. Perang
lokal berlangsung selama 6 bulan.Sesudah perang itu berakhir kemudian
diadakan pertemuan orang tua kedua belah pihak. Terakhir dengan
perdamaian kedua belah pihak.
Menurut Dasangko Larobu27, Suku Padoe berperang dengan suku
Karunsi'e di Benteloba. Benteloba itu kampung suku Karunsi'e di Gunung,
Kampung I. Dalam perang lokal itu, Karunsi'e dikalahkan Padoe, tanpa
melawan. Penyebabnya adalah seorang perempuan suku Padoe,
bernama Ungke, tinggal seorang diri di kebunnya, kebunnya berbatasan
dengan kebun Lamandesa suku Karunsi'e. Lamandesa itu laki-laki.
Sengketa mereka timbul, oleh karena sebatang pohon jagung rebah di
perbatasan kebun mereka, ketika hujan angin keras di malam hari.
Jagung itu rebah melintas hingga jatuh di kebunnya Ungke, jagung itu
milik Lamandesa.
Ketika Lamandesa tiba di tempat itu pada waktu siang, mereka
berdebat. Ungke seorang perempuan dan seorang diri, terpencil,
terdesak, lalu Lamandesa ikat tangannya, kakinya dan seluruh badannya
dari kaki hingga di leher dilingkari ikatan tali ijuk, diikat di tiang dapur, lalu
Lamandesa menyalakan api besar di sampingnya Ungke. Ungke dipanasi
dengan api besar itu sebagai jagung dibakar, sebagai pengganti
setongkol jagung rebah itu, sehingga seluruh badan Ungke, bengkak-

27
Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuha, Tahun 1986 h-10

67
bengkak akibat panas api besar itu, sudah hampir mati, lalu seorang laki-
laki suku Padoe mendapati Ungke, yang sedang tersiksa, kemudian anak
itu melaporkan secepatnya kepada Pongkiari Padoe bernama Taluari.
Taluari datang di tempat kejadian itu, Taluari langsung membuka semua
tali ikatan di badan Ungke serta menyelamatkannya. Ungke tak dapat
berkata -kata lagi pada saat itu, sebab hampir mati, bengkak - bengkak,
merah - merah terbakar, di samping tekanan kejiwaan yang menekan dan
menghantuinya.
Sesudah Ungke selamat, lalu Taluari mengadakan persesuaian
pendapat dengan Lamandesa. Tetapi hasilnya buntu. Taluari
mengundang seluruh tenaga - tenaga kuat dari suku Karunsi'e, bertemu di
tempat kejadian itu untuk berkelahi, dengan menyuruh Lamandesa ke
kampung Karunsi'e menyampaikan permintaan Taluari. Maksud berkelahi
di tempat itu, agar tidak dilakukan di dalam kampung, sebab jika di dalam
kampung Karunsi'e, bukan lagi disebut berkelahi, tetapi disebut perang
lokal. Perang tidak memilih mana anak - anak, nenek - nenek, kakek -
kakek, orang sakit, orang hamil, bila bertemu bisa saja dibunuh. Tetapi
orang-orang kuat dari Karunsi'e tidak mau datang di tempat itu dan juga
orang tua suku Karunsi'e tidak mau mengadakan penyelesaian urusan
Ungke itu. Mereka memandang remeh dan memandang enteng masalah
itu.
Beberapa hari kemudian Taluari bersama pasukannya berusaha
untuk mengembalikan harga dirinya dengan memasuki kampung
Benteloba, berperang memusnahkannya. Anak - anak, nenek - nenek dll
dibunuhnya, karena orang kuat mereka di pagi buta telah sepakat
menyingkir ke kebun dengan alasan pergi menugal padi, sehingga Taluari
dengan pasukannya hanya menemui anak - anak, nenek - nenek,
perempuan hamil, penjaga kampung, orang sakit, kakek -kakek berada di
dalam kampung Benteloba itu. Korban nyawa berhamburan, tanpa
perlawanan apa - apa. Perang hanya 6 jam dan dipandang sudah selesai.
Sesudah kejadian itu, barulah orang tua suku Karunsi'e

68
mendatangi orang tua suku Padoe untuk memohon maaf dan sekaligus
menyampaikan permohonan agar peristiwa semacam itu tidak berulang
kembali pada masa yang akan datang. Dan berakhir dengan perdamaian
kedua belah pihak.
Menurut Dasangko Larobu28, pada saat itu ada juga peristiwa
Perjanjian Perdamaian di Lintumewure antar suku Padoe dengan suku
Mori pada tahun 1800-an, untuk menghindari perang lokal secara
terbuka.
Penyebabnya adalah bahwa pada suatu waktu ada sembilan
orang suku Padoe, datang di sekitar Londi Tana Mori, untuk membeli
kerbau. Mereka membeli empat puluh delapan ekor kerbau. Pada waktu
sudah jauh malam mereka tertidur, besok rencana berangkat kembali ke
daerah Nuha. Pada saat mereka ketiduran pada malam hari, mereka
dibunuh oleh banyak orang, termasuk anak - anak dan ibu - ibu
menyaksikannya, sehingga tersisa satu orang yang bernama Landusa,
seorang kebal tidak bisa dimakan parang, tidak bisa dimakan pedang,
tombak, besi dan lain - lain.
Kemudian Landusa berusaha membunuh membabi buta, sehingga
menewaskan dua puluh satu orang laki - laki dan tiga orang perempuan,
pada akhirnya Landusa sangat lelah. Sebab Landusa sangat sedih
karena temannya yang delapan orang sudah mati dibunuh, maka ia
merasa tidak ada gunanya lagi pulang ke Nuha seorang diri. Lalu
Landusa menyuruh mereka membunuhnya dengan cara yang Landusa
tunjukkan. Selanjutnya empat puluh delapan ekor kerbau yang telah dibeli
oleh Landusa dan kawan- kawan diambil kembali oleh pemiliknya.
Sudah lama sembilan orang ini ditunggu - tunggu di Wawondula,
tapi tak juga kembali. Karena curiga maka Larobu seorang diri diutus dari
daerah Nuha ke daerah Mori, untuk menyelidiki masalah tersebut. Setelah
penyelidikannya cukup data, Larobu kembali Ke Nuha. Dalam
perjalanannya ke Nuha ia menewaskan dua orang laki - laki yang sedang

28
Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuha, Tahun 1986, h.10 -11

69
mengolah sagu di tengah hutan, dan kepala dua orang itu dibawa ke
Wawondula sebagai saksi. Setelah tiba di Wawondula, daerah Nuha,
semua bersatu berangkat menyerang ke daerah Londi Tana Mori
Sulawesi Tengah. Perang lokalpun berkobar untuk yang pertama kali.
Setelah perang lokal yang pertama berlalu, Mori menyerang
kembali ke Wawondula, Inilah perang lokal yang kedua. Mori mengintai
orang-orang kuat yang sedang ramai menugal padi di kebun Asuli
Wawondula. Kebun itu terletak di gunung dan sementara orang-orang
kuat Padoe minum mabok ketika makan siang sesudah selesai menugal
padi, lalu serangan Mori tiba- tiba datang dari pinggir hutan kebun itu.
Orang-orang yang lagi mabok itu, tak terkendalikan lagi, lalu tewas tujuh
puluh dua orang, sementara pasukan Mori yang tewas tiga orang. Lalu
kepaia tiga orang itu dibawa ke Wawondula dipestakan. Perang lokal
kedua ini sangat parah karena banyak suku Padoe yang tewas.
Ibu kota III, adalah Molio, terletak di sebelah Tenggara Tabarano.
Mokolenya adalah Ta'elu. Di Molio, Ta'elu mengangkat Kalende sebagai
Mia Mohola dan Mia Mosu’o (Hukum Tua), yang bertugas di Molio,
Tabarano, Togo, dan Lioka. Sedangkan pimpinan agama Melahumoa
(agama suku) adalah Sipantu.
Ibukota di Molio ini tidak lama, sebab Mokole Ta'elu dipinjam oleh
Kerajaan Mori, atas permintaan tokoh-tokoh masyarakat kerajaan Mori,
Dengan Utusan Kerajaan Mori, dua orang Karua yaitu Tarumbarumba
dan Rorahako. Alasannya adalah di daerah Mori, tidak ada Raja yang
mempunyai darah keturunan Raja, sudah tujuh orang Raja di Mori dari
suku Mori yang mereka lantik sendiri tetapi selalu mereka bunuh, karena
tidak bisa memerintah sebagai seorang Raja.
Hal itu membuat pemuka-pemuka masyarakat Mori sangat sedih,
sehingga mereka mempunyai kesepakatan, untuk meminjam seorang
Raja dari kerajaan lain yang berdarah bangsawan dan berkepribadian
menonjol untuk menjadi Raja Kerajaan Mori yang dapat mempersatukan
seluruh keinginan masyarakat kerajaan Mori.Ta'elu menjadi Raja

70
Kerajaan Mori, sampai umur tua. Kemudian digantikan anaknya
Marunduh. Setelah Marunduh wafat digantikan anaknya Owolu.
Ibukota IV, adalah Wawondula di Bukit Langkea Wawondula.
Menurut Dasangko Larobu29,lbukota di Molio dipindahkan kembali ke
Wawondula, karena Mokole Ta'elu dipinjam dan ditugaskan menjadi
Mokole Kerajaan Mori. Kampung Molio menjadi bubar dan rakyatnya
berpindah kebeberapa kampung di sekitarnya.Wawondula menjadi
ibukota kerajaan Nuha hingga tahun 1906. Sesudah itu Belanda masuk
dengan politik imperialnya, kolonialnya dan politik Devide Et Impera
(politik pemecah belah).
Ibukota V adalah Sorowako. Pada tahun 1906 Belanda sudah
mulai berkuasa memerintah, dengan Kontroleur Tuan Petor
berkedudukan di Malili.Atas politik Belanda, Raja kerajaan Federasi di
Matano dipecat Belanda, dan Kerajaan Federasi di Matano dibubarkan
Belanda, juga Raja / Mokole Andi Halu disuruh Belanda agar
meninggalkan Matano, dan Andi Halu pindah ke Sorowako. Raja/Mokole
Andi Halu adalah Raja terakhir di Matano. Kemudian Andi Halu diangkat
menjadi raja/Mokole Kerajaan Nuha yang berpusat di Sorowako. Pusat
Kerajaan Nuha di Sorowako tidak lama, kemudian pindah ke Timampu
sekitar tahun 1920. Kampung Timampu berdiri tahun 1902, oleh
pedagang-pedagang damar orang Bugis.
Ibukota VI, adalah Timampu (asalnya Timampu'u) yang artinya
pelabuhan pertama suku Padoe di Danau Towuti sebagai tempat bongkar
muat damar. Andi Halu, memerintah Kerajaan Nuha dan tinggal di Timampu.
Kemudian Andi Halu diberhentikan oleh Belanda pada tahun 1927.
Ibukota VII adalah Tabarano. Menurut Dasangko Larobu30,
Ibukota Kerajaan Nuha berpusat di Tabarano dari tahun 1927 hingga 17
Agustus 1945. Karena pada 17 Agustus 1945, telah berubah dari
Kerajaan menjadi Republik.

29
Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuhajahun 1986, h.17
30
Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuha, Tahun 1986, h. 18 -19

71
Pada tahun 1927 Belanda mengangkat Lasemba Malotu sebagai
Mokole Nuha, menggantikan Mokole Andi Halu yang diberhentikan tahun
1927. Mokole Lasemba Malotu berkedudukan di Tabarano. Jabatan
sebagai Mokole dipegang hingga tahun 1950, karena sesudah itu nama
Mokole diganti namanya menjadi Kepala Distrik.
Ibukota VIII adalah Wasuponda. Setelah sekian lama Ibukota
Distrik berada di Tabarano, kemudian sesudah tgl 17 Agustus 1950,
diadakan musyawarah mengenai tempat ibu kota Distrik. Hasil
musyawarah menetapkan Wasuponda sebagai tempat Ibukota Distrik
Nuha dengan pertimbangan terletak ditengah-tengah dan strategis serta
bentuk permukaan tanah yang mendatar mudah dibangun. Selanjutnya
diadakan Pembentukan Kecamatan dalam persiapan pada tahun 1962
sampai tahun 1966,sebelum Kecamatan Nuha pindah ke Wasuponda.
Pada tahun 1966 daerah Nuha sudah aman, maka Distrik Nuha berubah
menjadi Kecamatan yang diperintah oleh Camat.

17. LINTUMEWURE
Menurut Dasangko Larobu31, terjadi Perjanjian Perdamaian antara
Suku Mori dengan Suku Padoe, sekitar abad XVIII dengan tujuan untuk
menghindari perang lokal terbuka terjadi lagi seperti yang pernah terjadi
pada perang lokal pertama di Londi dan perang lokal kedua di Asuli
Wawondula. Lintumewure terletak di perbatasan Sulawesi Tengah
dengan Sulawesi Selatan.
Pada saat Raja Marunduh, memerintah di Kerajaan Mori, terjadi
perjanjian di Lintumewure antara Kerajaan Mori dengan Kerajaan
Nuha (antara Suku Mori dengan suku Padoe).
Kedua Raja dan kedua kerajaan ini (Marunduh & Tengkano)
membuat Perjanjian Perdamaian yang diperkuat dengan nazar dan
sumpah agar tetap aman dan damai terpelihara dengan baik yang berlaku
untuk selamanya.

31
Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuha, h.13-14

72
Kedua raja dari Kedua kerajaan ini, ditumpangkan tangan di atas
kepalanya, dipegangkan sebutir telur ayam putih bersih, kemudian
dipecahkan bersama, Sulia Larobu berdiri di samping kedua Raja, sebagai
ahli agama suku, memberi aba-aba pemecahan. Sesudah itu Sulia Larobu
membacakan sumpah. Isi sumpah:
Tinanga (nazar), Tinonao (janji), Tando ( sumpah). Su'ului manu pineha
kontuwua, Sowi tinanu, nazar, janji, sumpah. Telur ayam dipecahkan,
sowi tinanu. Barang siapa melanggar sumpah akan terkutuk (motopu
lahumbeuno). Barang siapa pergi menyerang mereka akan dikalahkan.
Barang siapa yang memasuki wilayah temannya atau merampas wilayah
temannya itu akan punah (roopu). Sumpah ini dikenakan pada seluruh
wilayah Mori dan wilayah Padoe, dan dikenakan sampai anak cucu (ana
ue) yang tidak mematuhinya bahkan sampai akhir zaman. Acara
perdamaian selesai dengan damai, dan sebagai tanda persaudaraan
mereka makan bersama. Untuk memberi tanda perdamaian itu Raja
Marunduh menanam balongkere di sebelah sungai di wilayah Mori,
dan Mokole Tengkano menanam balongkere di sebelah sungai di
wilayah Padoe.
Setelah selesai acara, mereka berpisah. Sejak itu tidak ada lagi perang
antara Mori dengan Padoe.
Pada waktu Perjanjian Perdamaian itu dibuat, kedua Raja dari
kedua Kerajaan itu masing-masing membawa pasukannya yang banyak,
membawa pengawalnya yang lengkap dengan peralatan perang, pasukan
pilihan siap perang, untuk sekaligus sebagai pengamanan terlaksananya
Perjanjian Perdamaian itu, agar dapat terlaksana dengan baik. Pimpinan
pasukan perang dari Kerajaan Mori, dipimpin oleh Pongkiari bernama
Saluente, orang dari Ronta/To Watu.
Pimpinan pasukan perang dari Kerajaan Nuha, dipimpin oleh
Pongkiari bernama Adipu dan Taluari, dari Wawondula suku Padoe.
Taluari sudah tua, tetapi harus hadir.
Raja dari Kerajaan Mori, bernama Marunduh. Mokole/Tadulako
dari Kerajaan Nuha bernama Tengkano. Mereka semua itulah yang hadir

73
di tempat Perjanjian Perdamaian itu dilaksanakan. Hadir pula Pimpinan
Upacara Perjanjian Perdamaian itu bernama Larobu.
Awal dari Perjanjian Perdamaian itu, sedikit ruwet. Sebab Saluente
sengaja datang terlambat, karena menurutnya belum setuju untuk dibuat
Perjanjian Perdamaian antara Kerajaan Mori dengan Kerajaan Nuha,
Saluente terkenal hebatnya menghadapi peperangan, demikian juga
Taluari dan Adipu. Ketiga orang Pongkiari ini, sama - sama terkenal
hebatnya. Adipu mempunyai kehebatan bawaan lahiriah yang tidak
dimiliki oleh dua orang lainnya itu, yaitu mempunyai kesanggupan
mendengus sekuat bunyi sembilan ekor kerbau dan dengan perisainya
dipasangnya melintang dapat menubrukkan ke depan lawan-lawannya sebagai
buldozer yang tak tertahankan,sehingga membuat kacau-balau dan tunggang-
langgang, di samping dengusnya yang menyebabkan bulu roma berdiri,
suaranya menggemuruh keras bagai halilintar, karena itu sering menghalau
musuh begitu saja dan pergi melarikan diri karena takut.

18. MATOMPI
Matompi adalah Pos terdepan bagian Timur yang dipimpin oleh
Mbomua terletak di wilayah Pekaloa (Tompatete). Pada saat itu dikuasai
oleh Kemokolean Kuasi dari Kerajaan Weula.
Kemokolean Kuasi :
Inie mpu'uno : Bakara
Batas dengan Tulambatu : Koro Mpewasu'a
Sungai – sungainya : Koro Noel, Koro Ngkonduwe, Laa Momapu
dan separuh Danau Towuti.

Matompi merupakan kampung suku Padoe di bagian Timur


Wawondula di mana ada tanah adat yang bernama One-One, yang
terletak antara Wawondula dengan Matompi. Matompi memiliki wilayah
kekuasaan ke Timur yaitu Timampu sampai separuh Danau Towuti,
sebelum perang Epe. Tetapi setelah perang Epe, kita menguasai sampai
ke Gunung perbatasan antara Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Selatan
dan perbatasan Sulawesi Tenggara dengan Sulawesi Selatan.

74
Wilayah kekuasaan Matompi, meliputi Timampu, Petea'a, Lere'ea,
Epe, Bea'u, Lambantu, Lengkobale, Lo'eha dan Larona.

19. TIMAMPU
Menurut Dasangko Larobu32, Timampu pada awalnya disebut
Timampu'u yang artinya adalah pusat pelabuhan pertama suku Padoe.
Berasal dari bahasa Padoe terdiri dari kata tii, ma dan pu'u. Di mana tii
artinya turun atau pelabuhan, sedangkan pu'u artinya tempat pertama,
sehingga artinya menjadi pelabuhan pertama. Pelabuhan tersebut sangat
terkenal dengan hasil damar.Timampu didirikan oleh pedagang Bugis
tahun 1902. Tetapi ada juga hasil-hasil lain seperti kelapa, pinang, sirih,
nangka dan sukun. Wilayah Timampu dan Danau Towuti adalah wilayah
kekuasaan Suku Padoe. Kemudian suku Bugis berkampung di Timampu
tahun 1902, ketika datang membeli hasil - hasil dari suku Padoe di
pelabuhan pertama di Timampu. Jadi Timampu adalah kampung pertama
dari suku Bugis di Nuha.

20. DANAU TOWUTI


Menurut Sipantu Larobu33,Towuti berasal dari bahasa Padoe, yang
terdiri dari kata Towu dan tii, yang artinya tebu yang tiba-tiba ada. Jadi
Towuti, adalah rumpun tebu yang ada tanpa ditanam orang. Tebu tumbuh
sekeliling Danau Towuti, antara Timampu, dengan Lengkono Burangga
(teluk dengan pasir halus hitam).
Di dalam Danau Towuti, ada tujuh pulau yaitu :
1. Pulau Lo'eha yaitu Tanjung memanjang, pulau terbesar di Danau
Towuti.
2. Pulau Boko yaitu Tanjung Bulat.
3. Pulau Molaa yaitu Tanjung Bundar telur
4. Pulau Olepe yaitu Tanjung Lipan
5. Pulau Otede yaitu Tanjung Kecil.

32
Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuha, Tahun 1985, h.17
33
Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982, h.10 -11

75
6. Pulau Sau yaitu Tanjung Topi.
7. Pulau Bilo yaitu Tanjung Kerdil

Penghuni Danau Towuti yaitu orang Kuasi ( orang Weula ) di


bagian Barat dan orang Ro'uta di bagian Timur pada saat itu. Hasil - hasil
Danau Towuti adalah: Ikan gabus, Gete - gete, ikan Botini, ikan Bungo,
ikan Pangkila, ikan Mboe - mboe, ikan Mokonui, ikan Opudi, udang,
kepiting dan banyak buaya.

Arti / Tempat-tempat bersejarah / istilah-istilah:


1. Petea'a artinya tempat perkelahian/pertempuran suku Padoe melawan
orang Ro'uta,
2. Kadeapi artinya musuh dikepung dan dibakar sehingga semua pedang
terbakar dan orang Ro'uta mati,
3. Paka artinya kayu,
4. Lenea, artinya semacam kayu,
5. Larona, artinya hol panjang.
6. Lengko, artinya jantan yang terkenal dalam penyabungan ayam.
7. Pomea, artinya tanah merah.
8. Lengkobale, artinya teluk yang banyak patok tinggi, dan sebagai
tempat orang menyelam mencari ikan, siput dan kepiting,
9. Bea'u, artinya ada pohon kemiri besar,
10. Lambatu, artinya banyak bulu batu,
11. Lemo-lemo, artinya dahulu ada di situ lemo pae yang tumbuh sendiri,
12. Lamobeta, artinya sungai runtuh,
13. Lono, artinya nama satu teluk, bahasa Bugis,
14. Tapu Manu, adalah suatu nama tempat di mana orang Ro'uta dibunuh
oleh suku Padoe. Tapu Manu adalah tempat Kramat,
15. Tominanga, adalah orang yang dibunuh oleh Lahere orang Padoe dari
Wawondula (anak dari Tarakai dengan Tapu Landuwe),
16. Lo'eha, adalah pulau terbesar dari beberapa pulau di tengah Danau
Towuti. Artinya Tanjung memanjang dan berkeramat bahasa Padoe,

76
17. Tanjung Sumombo berarti mengintip musuh-musuh dari Ro'uta,
18. Tanjung Pesumea yaitu tempat mengintai musuh-musuh,
19. Hol (teluk ) Lengko Mesombori dari Pulau Lo'eha yaitu tempat
Panglima Perang orang Ro'uta bernama Lawuruane dan keluarganya
sekitar tahun1800. Lawuruane dibunuh suku Padoe pada waktu
perang di tengah Danau ia jatuh ke Danau lalu lehernya dipotong suku
Padoe. Sejak itu Pulau Lo'eha dikuasai oleh suku Padoe.
20. Tanjung Biu- biu yaitu tempat kayu kuning yang banyak daunnya
Lengko bentuknya karena ada taku yang hidup sendiri, tanjung ini
terdapat di dalam Pulau Lo'eha, yang berisi damar kurang lebih
sepuluh ribu pohon kepunyaan Larobu (Suku Padoe). Selain itu
ada hasil lainnya seperti nangka, kelapa, pinang, sirih dan sukun,
21. Tapu Limbo yaitu Tanjung yang sunyi karena musuh - musuh dari
Ro'uta tidak berani lagi datang mengintai,
22. Tu'ora yaitu lumbung tempat penampungan ikan- ikan, yang terbanyak
ikan pangkila.

77
BAB IV
PENGALAMAN SUKU PADOE

1. PENGHARGAAN DATU LUWU KEPADA SUKU PADOE


Menurut Sipantu Larobu34, Datu Luwu memberi penghargaan
kepada Suku Padoe karena pertama, keberhasilan Saliwu memotong
pohon Langkanae sekali tebas dengan pedangnya sendiri di halaman
istana Datu Luwu pada tahun 1622 Karena peristiwa tersebut Datu Luwu
Pattipasaung melalui Sidang Luar Biasa yang dihadiri oleh Opu
Patundrung, Opu Tomarilalang, Opu Pabicara, Opu Balirante, Opu
Mincara memberi keputusan kepada Saliwu ( Suku Padoe ) sebagai
berikut:
1. Kemenangan Saliwu disaluti dan disanjung tinggi,
2. Saliwu dengan orang - orangnya diterima oleh Datu Luwu dan
rakyatnya sebagai sahabat dari jauh (To Belae),
3. Saliwu dengan pengikutnya dibebaskan mencari permukiman di
sebelah Timur Daerah Luwu,
4. Saliwu dilantik kembali menjadi Mokole dengan gelar Mokole
Motaha Ngangano.
Kedua, karena jasa-jasa Suku Padoe membantu Datu Luwu dalam
perang melawan Baebunta, Malangke dan Larompong pada abad XVIII.
Sehingga peperangan dimenangkan oleh Kedatuan Luwu. Karena
peristiwa tersebut Datu Luwu mengangkat Suku Padoe, sebagai saudara
dan sahabat. Datu Luwu memberi gelar kepada Suku Padoe, sebagai
orang kuat, tetap setia kepada Datu Luwu di Palopo dan sebaliknya
Datu Luwu mengharapkan bantuan kepada Suku Padoe pada saat
diperlukan.
Atas keberhasilan dan jasa-jasa tersebut Datu Luwu memberi
penghargaan kepada suku Padoe, apabila Suku Padoe mau
menghadap Datu Luwu, maka Suku Padoe bebas masuk Istana Datu
Luwu kapan saja, dengan segala perlengkapan yang ada dan tidak

34
Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982, h.11-12

78
perlu duduk bersila (mesuleka) dan boleh berbicara sambil berdiri di
hadapan Datu Luwu dan duduk di samping Datu Luwu pada acara -
acara tertentu.

2. UPETI KEPADA ISTANA DATU LUWU.


Menurut Sipantu Larobu35,pada zaman dahulu, upeti (mekasuwia)
yang diserahkan kepada Istana Datu Luwu setiap tahun berupa: makanan,
seekor ayam betina putih yang putih kakinya, beras pulut putih, sebutir
telur ayam putih, damar dimasak dalam bambu satu ruas putih sekali,
beras biasa satu kg, macam-macam hasil kebun. Juga bersama pinang
muda, buah sirih, kapur dan tembakau.Yang menyerahkan upeti adalah
Ketua Adat / sando atau ahli Dewa, sambil memakai pakaian Adat. Jikalau
baju warna putih, maka merah di pinggir di bawah, leher baju, ujung
tangan baju, juga merah, Kalau celana atau bajunya merah maka
pinggirnya putih, demikian juga pakaian perempuan semuanya berpakaian
putih.
Khusus untuk Suku Padoe, dibebaskan dari kewajiban
menyerahkan upeti kepada Datu Luwu, karena jasa-jasanya, kepada
Datu Luwu.

3. TO KONDE
Menurut Sejarah Suku Padoe dari dahulu tidak pernah ada Suku
Konde. Dan sudah diputuskan melalui pertemuan Suku Padoe, tahun
1629 di Matanggoa, bahwa tidak boleh ada Suku lain hanya ada satu suku
namanya suku Padoe Pertemuan dipimpin oleh Mokole/Tadulako Saliwu.
Kemudian menurut hasil survey dan pengumpulan data dari orang
- orang tua, tokoh -tokoh masyarakat dan tua-tua Adat yang berumur
tujuh puluh tahun keatas pada saat itu yang ada di Kawata, maupun di
luar Kawata, tanggal 10 Maret 2018, terdiri dari ST.Barapadang, 84 tahun,
Galio Palunsu, 83 tahun, M.Luke, 81 tahun, Halima, 81 tahun, Karima
Pobuti, 77 tahun, M.Laula, 76 tahun, Redy Palunsu, 71 tahun, Hasina, 71
35
Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982, h.12

79
tahun, Jhon Palunsu, 70 tahun, Padema Laula, 71 tahun menyatakan
bahwa to konde tidak ada dari dahulu kala sampai sekarang, to
konde hanyalah panggilan sindiran atau ejekan suku Padoe yang
berada di daerah padang di luar kampung Kawata, bukan suku.
Jelasnya To Konde bukan nama suku tapi nama panggilan sindiran
pada saat itu, bagi suku Padoe yang berlokasi di padang (mia henu
moia ai konde)
Sebagai perkampungan baru yang pindah dari Kawata karena
Kawata sudah padat pada saat itu, apalagi setelah Kawata dibangun
dan dipimpin oleh Mokole/Tadulako Saliwu. Jadi To Konde adalah
suku Padoe.
Kehadiran to konde, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945, pasal 18 B ayat (2), Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya,
sepanjang masih hidup, sedangkan fakta di lapangan to konde tidak ada
sejak dahulu di Kawata dan sekitarnya, baru dibentuk yang baru dengan
rekayasa tertentu. Ini berarti Negara hanya mengakui suku atau
masyarakat hukum adat yang ada sejak dahulu dan sampai sekarang
masih hidup berdasarkan fakta di lapangan, bukan bentukan baru.

4. TO KINADU
Menurut Sejarah Suku Padoe dari dahulu tidak ada To Kinadu. Dan
sudah diputuskan melalui pertemuan Suku Padoe tahun 1629 di
Matanggoa bahwa tidak boleh ada suku lain, hanya ada satu Suku
namanya suku Padoe. Kemudian menurut tokoh-tokoh masyarakat di
Angkona, Pabeta dan Kore-Korea, menyatakan tentang nama to Kinadu.
Mereka menceritakan bahwa to Kinadu adalah nama panggilan /sindiran
ejekan suku Padoe terhadap suku Padoe yang terkurung pada saat
peperangan antar suku terjadi. Mereka tidak bisa keluar pada saat itu,
mereka terkurung (mia henu tekadu).Sehingga suku Padoe memanggil
suku Padoe yang terkurung namanya to kinadu (mia henu tekadu). Jadi

80
bukan suku tetapi keadaan lokasi yang terkurung karena situasi yang
bersifat sementara dan situasional. Jadi to kinadu bukan suku tetapi nama
panggilan suku Padoe yang terkurung pada saat perang antar suku
( Tekadu). Jadi To Kinadu adalah suku Padoe.

5. TO WEULA
Berdasarkan sejarah, orang Weula adalah orang yang bersifat jahat,
bengis, dan suka berperang, telah kalah dan punah setelah perang
melawan suku Padoe baik di Lembo Weula dan dataran Tinggi Weula,
tahun 1651, di daerah Lioka, Wawondula, Matompi tahun 1700 dan di
daerah Matano dan Sorowako tahun 1600- an. Sejak itu orang Weula
sudah tidak ada lagi di Tanah Nuha. Orang Weula adalah orang Tolaki
dari Sulawesi Tenggara.

6. TO RO'UTA
Berdasarkan sejarah orang Ro'uta adalah orang yang bersifat jahat,
bengis dan suka berperang, telah diusir oleh Mokole Rahampu'u Matano
dari Tana Nuha. Kemudian orang Ro'uta dikalahkan suku Padoe pada
saat perang di Danau Towuti pada tahun 1800, Panglima Perangnya yang
bernama Lawuruane dipotong lehernya pada saat pertempuran antar
perahu di tengah Danau Towuti. Orang Rou'ta kalah oleh suku Padoe dan
sejak itu orang Ro'uta sudah tidak ada lagi di Tana Nuha. Orang Ro'uta
adalah orang Tolaki dari Sulawesi Tenggara.

7. SUKU-SUKU KECIL
Dahulu setelah peperangan suku Padoe melawan orang Weula di
Lembo Weula dan Dataran tinggi Weula, di Kemokolean Andomo,
Lewehuko, Tulambatu, Kuasi dan daerah Matano / Sorowako serta
perang Suku Padoe dengan orang Epe, serta perang dengan orang
Ro'uta di Danau Towuti maka semua tanah-tanah Weula dan tanah
Ro'uta dikuasai Suku Padoe. Begitupun semua tanah orang Ro'uta di
seberang Danau Towuti sampai puncak Gunung perbatasan Sulawesi

81
Tengah dengan Sulawesi Selatan dan perbatasan Sulawesi Tenggara
dengan Sulawesi Selatan dikuasai oleh Suku Padoe. Jadi semua nama-
nama kampung, sungai, Tanjung, Teluk, dan tempat-tempat lain yang
pakai bahasa Ro'uta dan Weula, diganti dengan nama bahasa Padoe.
Jadi kampung-kampung itu bukan suku, tapi hanya nama kampung. Jadi
nama suku berbeda dengan nama kampung, dengan demikian tidak
benar kalau nama kampung dijadikan menjadi nama suku. Sedangkan
untuk menjadi Suku harus memenuhi persyaratan memiliki bahasa
sendiri, Adat dan budaya sendiri, Hukum Adat sendiri, Lembaga Adat
sendiri, sejarah sendiri dan tanah Adat / wilayah Adat sendiri, bukan
menumpang di Wilayah Adat orang lain.

8. MOKOLE /TADULAKO SALIWU PAHLAWAN SUKU PADOE.


Atas keberhasilan / kemenangan dan jasa Mokole / Tadulako (Panglima
Perang) Saliwu dalam memimpin suku Padoe berperang melawan orang
Weula pada abad XVI - XVII, dan keberhasilan Saliwu memotong sekali tebas
pohon Langkanae di halaman Istana Datu Luwu di Palopo pada tahun 1622,
dan pelantikan Saliwu sebagai Mokole dengan gelar Mokole Motaha Ngangano
1622 oleh Datu Luwu Pattipasaung, sebagai seorang pejuang dan patriotis,
maka Suku Padoe memberi gelar kepada Mokole / Tadulaku Saliwu sebagai
Pahlawan Suku Padoe
Mokole/Tadulako Saliwu, selama hidupnya, selalu berjuang untuk
kepentingan rakyatnya, pasukannya dan rombongannya, tidak pernah
mengenal lelah, sampai tuanya. Mokole/Tadulako Saliwu, mengemban
perintah dari Datu Luwu Pattipasaung yang mengatakan bahwa "pergilah
bawa rakyatmu, pasukanmu mencari sendiri tempat yang subur
untuk pertanian dan yang baik untuk mencari kehidupan dan
penghidupan ke sebelah Timur Daerah Luwu". Dan ternyata
kesemuanya itu Mokole/Tadulako Saliwu telah melaksanakannya dengan
baik dan membawa Suku Padoe menjadi suku yang berhasil, besar, kuat
dan terkenal.

82
Salah satu semboyan Suku Padoe, yang dipegang teguh dalam
menghadapi perjuangan, pergumulan serta tantangan yaitu bersatu kita
teguh bercerai kita runtuh (Tepo'aso Kato Memoroso, Teposuangako
Kato Tekokale). Itulah salah satu semboyan yang dipakai
Mokole/Tadulako Saliwu dalam memimpin peperangan melawan musuh.

9. MASUKNYA INJIL KE TANA NUHA


Menurut Tomagasa Manule36, menceritakan dan menguraikan
perkembangan masuknya Injil ke Tana Nuha secara singkat sebagai
berikut:
a. Pada tahun 1913-1914, Albertus Christian Kruyt, mengunjungi daerah
Wotu, Malili dan Lembo, memutuskan menjadi wilayah pelayanannya.
A.C. Kruyt seorang penginjil yang berasal dari Negeri Belanda, yang
memimpin penginjilan di Sulawesi Tengah dan daerah Wotu serta
Malili di Sulawesi Selatan.
b. Pada tahun 1913 penginjil J.Ritsema. ditempatkan di Taripa ( Onda'e )
dan Van Eenlen di Sampalowo (Mori).
c. Pada tahun 1915 Kytenbelt ditempatkan di Wotu dan J.Ritsema
dipindahkan dari Taripa ke Kawata (Malili).
d. Pada tahun 1920 -1924, anak A.C.Kruyt, Johan Kruyt bertugas di
daerah pelayanan Malili ( Kawata), dan berkedudukan di See-See
dekat Togo.
e. Pada tahun 1921 A. Kooistra mendampingi J.Ritsema di Kawata.
f. Pada tahun 1927, dilakukan pembaptisan pertama empat orang
Padoe, yaitu Lasemba Malotu, Ntara'i Tadehari, Tangkeku Komile dan
Labebu Masu'u. Beberapa bulan setelah pembaptisan, Lasemba
Malotu diangkat menjadi Mokole Nuha dan Kepala Distrik Nuha .
g. Pengaruh dari empat orang tersebut diatas, terutama pengaruh
Mokole, pada tahun 1930, mulai diadakan pembaptisan besar -
besaran yang dilakukan oleh J.Ritsema terhadap orang

36
Tomagasa Manule, Silsilah Orang Padoe, Tahun 2008, h. 144-147

83
tua, pemuda dan anak - anak. Kemudian disusul dengan pemberian
pelajaran katekisasi.
h. Setelah Sangkedapo Tengkano dibaptis dan diangkat jadi Sulewatang
(Wakil Mokole), ia diminta oleh J.Ritsema untuk mendekati orang Karunsi'e
dan Tambee, supaya mereka secepatnya dibaptis, supaya tidak
terpengaruh oleh agama lain. Hasilnya orang Karunsi'e dan Tambee
menerima baptisan secara besar- besaran sekitar tahun 1930,
i. J.Ritsema sudah mengenal Sangkedapo Tengkano di Taripa. Karena
itu sesudah tamat Sekolah Rakyat, Sangkedapo Tengkano, Landangi
Meoko dan Mompe Bokilo pergi ke Taripa dengan maksud mau
Sekolah Pendeta. Untuk itu J.Ritsema mempersiapkan Sekolah Guru
dan Sekolah Pendeta di Taripa. Tetapi karena persiapan Sekolah
Guru dan Sekolah Pendeta belum selesai, maka mereka pulang ke
Tabarano, dengan tidak ada hasil. Sebagai oleh-oleh Mompe Bokilo,
membawa istri gadis Taripa. Sedang Sangkedapo Tengkano,
membawa tiga nama yang akan dipakai menjadi nama anaknya yang
laki- laki. Temyata tiga nama anak itu berkaitan dengan asal usul
orang Padoe yang didengar dari orang-orang tua Taripa. Nama-nama
itu ialah Padoe, Saliwu dan Onda'e.
j. Pada tahun 1939, J.Ritsema pulang cuti ke Negeri Belanda, dan tidak
bisa pulang kembali ke Indonesia karena Perang Dunia. Semua
penginjilan asal Negeri Belanda pulang ke Negerinya.
k. Untuk menyelamatkan Jemaat yang ditinggal, diambil tindakan semua
Jemaat mengangkat Majelis Jemaat dan semua wilayah pelayanan
mengangkat Ketua Klassis.
l. Pada tahun 1942 -1946, guru S. Mokalu diangkat menjadi Ketua
Klassis pertama di wilayah Malili / Lembo, berkedudukan di Kawata.
m. Pada tahun 1947, S. Mokalu meninggal, dan digantikan oleh Pendeta
dari Mori.
n. Pada tahun 1949, Pendeta dari Mori meninggal dan digantikan oleh
guru sekolah Tangkeku Komile.

84
o. Pada tahun 1939, dua pemuda kepercayaan lama (agama suku),
menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamatnya, yaitu seorang Sese
Wute, bernama Tonabu dan seorang Woli'e Mpu'u bernama Boloki
Ngginoo (seorang wanita). Mereka dibaptiskan oleh S.Tanonggi, guru
Jemaat Wawondula karena Misionaris J.Ritsema sedang cuti ke
Eropa.
p. Setelah J.Ritsema ditempatkan di Kawata tahun 1915, pada tahun
1917, ia mulai mendirikan Sekolah Rakyat di Tabarano dan di
Sorowako, kemudian menyusul kampung-kampung lain seperti
Kawata, Landangi, Kaporesa, (kemudian menjadi Pae - Pae) dan
Wawondula. Guru - guru didatangkan dari Minahasa yang sudah
menjadi Kristen. Mereka mempunyai tugas rangkap, di sekolah
mereka mengajar dan pada hari Minggu mengadakan pertemuan
kampung di gedung Sekolah. Pertemuan itu bermaksud
memperkenalkan Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat dan penebus
dosa, sesuai dengan yang tertulis dalam Alkitab,
q. Pada tahun 1922, sudah mulai ada anak-anak tamatan Sekolah
Rakyat, dari suku Padoe, Karunsi'e dan Tambee dikirim untuk belajar
menjadi guru Kristen di Sekolah Guru Pendolo, yang dipimpin oleh Dr.
Albert Christian Kruyt. Hal tersebut dipersiapkan untuk menggantikan
guru - guru yang berasal dari Minahasa. Nama - nama guru yang
tamat dari Pendolo adalah Lahuntangge Hode, Tangkeku Komile,
Mowendu, Ntahu, Solewai Tanonggi, Pongkede Tongko dan
Tomasada Tamu'u,
r. Di zaman penjajahan Jepang, guru - guru sekolah tidak diperbolehkan
merangkap menjadi gembala Jemaat. Juga dilarang menggunakan
gedung sekolah untuk tempat kebaktian atau pertemuan keagamaan
yang lain. Untuk mengatasi larangan Pemerintah Jepang tersebut
maka setiap kampung (Jemaat) memilih seorang Penatua yang senior
dan berpengalaman dan mengangkatnya menjadi gembala. Untuk
dapat beribadah mereka menggunakan Gedung Gereja darurat.

85
Berikut ini adalah daftar nama - nama penatua yang diangkat menjadi
gembala Jemaat dan yang menyampaikan Firman Tuhan setiap Hari
Minggu di gedung Gereja darurat.
Penatua Pora Gembala Jemaat Matompi.
Penatua Tawoti Gembala Jemaat Lioka
Penatua Tara'i Gembala Jemaat Tabarano
Penatua Tosingke Gembala Jemaat Wawondula
Penatua Paparako Gembala Jemaat Kawata
Penatua Koru Gembala Jemaat Landangi
Penatua Ranti Gembala Jemaat Wasuponda
Penatua Masolu Gembala Jemaat Dongi
Penatua Kamude Gembala Jemaat Tawaki

s. Pada masa Kemerdekaan kebebasan kembali diberikan kepada guru-


guru untuk bekerja secara rangkap, mengajar dan menjadi guru
Jemaat dan gembala Jemaat.

10.PERISTIWA PEMBERONTAKAN DI/TII.


Gerakan perjuangan kedaerahan yang menentang kekuasaan
Pemerintah Pusat, seperti perjuangan Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia (DI/TII), disatu pihak merupakan rongrongan terhadap
Kedaulatan Negara dan pihak lain yang tidak terhindari bahwa gereja
menjadi pihak yang dijadikan korban. Khusus Sulawesi Selatan yang
menjadi pusat gerakan perjuangan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia
di bawah pimpinan Qahar Mudzakkar, bencana kemanusiaan telah
menjadi identitas peradaban. Gereja mendapat perlakuan yang tidak
manusiawi, bangunan-bangunan Gereja, sekolah - sekolah dibumi
hanguskan, bahkan dipaksakan untuk beralih keyakinan pindah ke agama
Islam serta tidak sedikit dari mereka yang memilih mengorbankan
nyawanya demi mempertahankan keyakinan iman mereka sebagai
penganut agama Kristen.

86
Menurut Asyer Tandapai Sigilipu 37, Pimpinan DI/TII di Sulawesi
Selatan, Qahar Mudzakkar yang nama aslinya La Domeng, lahir di Luwu,
tahun 1920. la masuk ke sekolah Desa di daerah kelahirannya dekat
Palopo, Ibu kota Luwu, dan kemudian pergi ke Solo (Surakarta) untuk
masuk sekolah guru Islam, Muallimin Muhammadiyah. Di sana ia
memperoleh nama yang membuat terkenal, yang digubah dari nama
seorang guru kesayangannya, seorang Pemimpin Muhammadyah Abdul
Qahar Mudzakkir. Setelah menikah dengan puteri Solo, Qahar kembali ke
kota kelahirannya, dan aktif dalam gerakan kepanduan Islam.
Di Luwu, Qahar memimpin gerakan penghapusan sistem
aristokrasi dalam masyarakat feodal.
Akibat perbuatannya, pada tahun 1943, ia diusir dari Tana Luwu,
yang oleh Hukum Adat masyarakat Bugis disebut" ripaoppangi tana ",
yang mengandung ancaman adikodrati bahwa kalau ia menginjakkan kaki
di Tana Luwu, Tuhan akan menghancurkannya. Dari Luwu, Qahar kembali
ke tempat keluarga istrinya di Solo. Selama perang Kemerdekaan (1945 -
1950) Qahar Mudzakkar memainkan peran terkemuka dalam Kebangkitan
Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), yang didirikan di Jakarta, pada 8
Oktober 1945 oleh A.Zus Ratulangie, Mr. Maramis, termasuk Qahar
Mudzakkar dan mayoritas Pengurusnya dinominasi pemuda-pemuda asal
Minahasa. Anhar Gonggong dalam tulisannya juga memberi riwayat
tentang Qahar, yakni di tengah upaya perang mempertahankan
kemerdekaan menghadapi Belanda bulan April 1949 Qahar Mudzakkar
berinisiatif melakukan reorganisasi kelaskaran pejuang Sulawesi Selatan
dengan mengutus Letnan Satu Saleh Sjaban.
Bulan Agustus 1949 dalam konferensi di Maros, terbentuklah
Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan ( KGSS ) yang berkekuatan 10
Batalyon dan menetapkan Qahar Mudzakkar sebagai Komandan Divisi.
Qahar menginginkan anggota gerilya yang tergabung dalam KGSS

37
Asyer Tandapai -Sigilipu,Pergumulan GKST di Luwu masa Darul Islam - Tentara Islam
Indonesia, Tahun 2005, h.26-29

87
diterima secara keseluruhan tanpa mempersoalkan persyaratan yang
dapat diterima sebagai anggota Angkatan Perang Republik Indonesia
(APRI). Proposal penyelesaian Laskar KGSS menimbulkan ketegangan
yang berkepanjangan. Dan untuk mencari jalan penyelesaian atas izin
Pimpinan APRI sekitar bulan Juni 1950, Qahar Mudzakkar kembali ke
Makassar bersama Letkol Mursito. Setelah bertemu dengan Kolonel Alex
Kawilarang, ia melanjutkan perjalanannya ke daerah-daerah pedalaman
menemui kelompok-kelompok gerilya yang berada dalam satu organisasi
yang bernama Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Kelompok
gerilya yang telah ikut berjuang dalam perang dan mempertahankan
kemerdekaan.
Kehadiran Qahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan memunculkan
pertentangan dengan Panglima Daerah Militer Kolonel Alex Kawilarang
mengenai anggota-anggota laskar, sebab tidak semua dari mereka yang
memenuhi syarat untuk diterima menjadi anggota Tentara Nasional
Indonesia (TNI).
Pendekatan-pendekatan yang dilakukan kelihatannya akan
membawa hasil, setelah Qahar Mudzakkar sendiri diberi pangkat Letnan
Kolonel. Sehingga pada tanggal 17 Agustus 1951, dipersiapkan upacara
kebesaran Militer untuk menggabungkan Qahar Mudzakkar dengan
pasukan gerilya yang dikendalikannya. Tetapi menjelang pelantikan,
mereka melarikan diri dengan membawa sejumlah truk, senjata dan
amunisi lalu melanjutkan perjuangan dengan membuat kekacauan di
banyak tempat dan berlangsung hingga tahun 1965.
Pada tanggal 20 Januari 1952, Qahar Mudzakkar mengirim surat
kepada Kartosuwiryo yang isinya "menerima pengangkatan sebagai
Panglima Tentara Islam Indonesia, untuk Sulawesi." Dalam disertasi
Pergumulan Islam di Indonesia, B.J. Boland, mengutip catatan Bahar
Mattalioe, mengatakan bahwa mungkin tanggal 7 Agustus 1953 yaitu
pada ulang tahun pertama Negara Islam, barulah gerakan perjuangan
Qahar Mudzakkar mendapat legalitas menjadi Tentara Islam Indonesia

88
yang dinyatakan sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia
Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Wilayah perjuangan DI/TII Sulawesi Selatan-Sulawesi Tenggara
dan juga pengaruhnya sangat terasa di Sulawesi Tengah, secara resmi
pendeklarasiannya dilaksanakan di Makalua daerah Palopo Selatan
(daerah Wajo sekarang), sebagaimana terungkap dalam beberapa
bagian dalam keputusan yang termuat dalam Piagam Makalua. Suku
Padoe yang diundang dalam Deklarasi di Makalua sebagai berikut:
1. Tinampa Malotu (Kepala Distrik Nuha),
2. Tangkeku Komile (Pendeta Klasis Malili-Nuha),
3. Mangania (Penatua Jemaat Tabarano),
4. Poko Podengge (Penatua Jemaat Wasuponda)

Rapat berlangsung mulai tanggal 10-20 Agustus 1953 dengan keputusan:


1. Terhitung mulai tanggal 25 Agustus 1953, semua agama lain sudah di
islamkan,
2. Bagi agama Kristen diberi waktu seminggu memotong babinya dan
dimakan. Tetapi lewat tanggal 25 Agustus 1953, masih ada babi atau
daging dihukum mati.

Selain itu pembakaran gedung-gedung gereja dan buku-buku berbau


kerohanian mulai tanggal 17-25 Agustus 1953. Gedung Gereja yang tidak
hangus dibakar adalah Gedung Gereja Wawondula dan alkitab yang tidak
hangus dibakar adalah alkitab di Wawondula.
Lebih lanjut kegiatan DI/TII, dalam perjuangannya memiliki
semboyan DAS yang artinya Dunia Akhirat Satu, menyebabkan
penderitaan dan kekacauan masyarakat di daerah Nuha, Kabupaten Luwu
pada saat itu, Sulawesi Selatan. Telah terjadi peristiwa - peristiwa yang
sangat memilukan seperti tersebut sebagai berikut:

89
1. Pembunuhan tokoh-tokoh / pimpinan-pimpinan Masyarakat.
Menurut kisah Rambaga Tomana38 mengatakan, langkah pertama
kegiatan DI/TII, mengadakan pembunuhan pemimpin masyarakat
tanggal 16 Desember 1950 di sekitar sungai Petea'a sebagai korban
pertama adalah :
a. Lasemba Malotu, Mokole (Kepala Distrik Nuha),
b. Mantade Lasampa, penatua di Jemaat Tabarano,
c. Rio-Rio, pemimpin Pandu,
d. Pongkede Tongko, Kepala Sekolah di Timampu.
e. Dg. Mangaliki, beragama Islam, korban tertuduh bahwa ada
kerjasama dengan orang Kristen dan membocorkan rencana
pembunuhan tersebut. Selanjutnya disusul pembunuhan kedua,
pada tahun 1951 bagi para Penatua di Jemaat Tabarano dibantai
di Jln. Setapak ke Larona. Kemudian disusul Dara Sumba, wakil
Kepala Kampung Wawondula, bersama seorang penatua dari
Kawata dan Lagasi, pegawai Kehutanan. Mereka disiksa dan
kemudian dicincang, mayatnya ditemukan di padang, di luar
kampung Wawondula.
2. Pemaksaan agama.
Menurut Rambaga Tomana39, mengatakan, tepat pada tanggal 17
Agustus 1953, bertempat di Timampu, saat itu rakyat dikumpulkan dari
kampung-kampung yang ada di Nuha, ketika itu dikumandangkan
proklamasi perjuangan DI/TII, bahwa seluruh wilayah Distrik Nuha
tidak ada lagi agama lain selain agama Islam. Serangkaian deklarasi
tersebut, juga dikeluarkan amanat yang berlaku efektif selama
seminggu, bahwa hingga batas akhir tanggal 25 Agustus 1953, semua
telah masuk Islam, karena itu harus segera dilaksanakan antara lain:
1. Bagi mereka yang memelihara babi, diberikan kesempatan untuk
dipotong,

38
Rambaga Toman a, seorang Tokoh masyarakat yang mengalami langsung peristiwa 1950.
39
Rambaga Tomana, seorang Tokoh masyarakat yang mengalami langsung peristiwa 1953.

90
2. Semua buku-buku yang berbau Kristen harus dikumpulkan dan
dibakar,
3. Para imam akan masuk ke kampung-kampung melaksanakan
upacara massal masuk Islam yang disebut " Dipasyada " yaitu
imam mendiktekan ayat Al Qur'an, kalimat syahadat, kemudian
diikuti oleh orang-orang, dengan selesainya upacara demikian,
maka seseorang dianggap sah sebagai orang Islam, kemudian
diwajibkan untuk melaksanakan sembahyang.
3. Pembantaian
Aksi penangkapan tokoh-tokoh masyarakat di Nuha diperkirakan
berjumlah 78 orang. Mereka ditawan di dua tempat yaitu Lambatu dan
Bea'u (di pesisir Danau Towuti) dan berlangsung selama tiga bulan,
Menurut informasi dari Marambangi Lakapi 40 yang juga ikut ditawan,
mereka dicurigai sebagai pengkhianat karena itu berada dalam status
sebagai tahanan politik. Pada tanggal 17-23 Desember 1953, satu
persatu para tahanan menjalani proses penyidikan, yang dipisahkan
atas tiga golongan, yaitu : tawanan politik, tawanan mata-mata
musuh, tawanan kejahatan sosial agama.
Berdasarkan hasil penyidikan maka pada tanggal 21 Desember 1953,
sejumlah 19 orang tahanan dijatuhi hukuman mati. Tempat
pelaksanaan eksekusi untuk pertama mengambil lokasi di Lengkobale
yang dilangsungkan tanggal 24 Desember 1953, para korban adalah :
Tonese, Deledele, Kontao, Lahuoruo, Tapehe, Taganti, Bengesi, Kilo,
Koro, Ngiwa, Soali, Hanapia, Pombale, Padiri, Siali, Wai.
Eksekusi kedua bertempat di Bea'u pada tanggal 25 Desember 1953,
antara lain mereka yang korban adalah : Tinampa Malotu (Kepala
Distrik Nuha), Landangi Meoko, (Kepala Kampung Tabarano), Sarita
Tudon (Mantan Polisi).

40
Marambangi Lakapi, mantan pejabat sementara Kepala Distrik Nuha yang menggantikan
sementara Tinampa Malotu. Pada saat penculikan tokoh - tokoh masyarakat, beliau minta bantuan
keamanan ke Malili.

91
Menurut Rambaga Tomana yang menyaksikan peristiwa
pembantaian tersebut, dalam catatannya, menuliskan ucapan terakhir
Landangi Meoko, pada saat bersama para sahabat berjalan beriringan
menuju lubang yang telah disiapkn untuk menjadi tempat pembantaian
mereka, " Inilah kami diperlakukan seperti kerbau, digiring ke
tempat pembantaian sebagai buah salib Kristus "
Keyakinan mereka menunjukkan konsistensi hidup sebagai
pemimpin, sekalipun bayangan kematian telah di depan mata untuk
tidak berhianat. Mereka menjadi bukti sejarah sebagai pemimpin-
pemimpin yang rela dikorbankan demi keselamatan masyarakatnya.
4. Gelombang kekacauan dan pengungsian.
Menurut Asyer Tandapai Sigilipu41 tindakan kejahatan terhadap
kemanusiaan yang dilakukan oleh gerombolan DI/TII, mengakibatkan
kerugian yang besar, rumah-rumah penduduk, Gedung Gereja,
gedung-gedung sekolah, gedung-gedung pemerintah dibakar, hingga
pembantaian manusia yang tidak mengerti apa-apa.
Pada bulan April 1954, tentara Brawijaya mengadakan operasi
pengamanan di kampung-kampung yang ada. Kawata merupakan
kampung yang pertama dijangkau. Kemudian pada bulan Juni 1954,
Tentara Brawijaya, berhasil menguasai Tabarano, Timampu,
Sorowako, dan kampung - kampung sekitarnya. Saat itu masyarakat
sedang dalam persiapan untuk menuju satu lokasi di sebelah Utara
Danau Towuti yang bernama Buangin, wilayah yang disiapkan oleh
gerombolan untuk menjadi tempat pengungsian. Bahkan sudah ada
kelompok-kelompok masyarakat yang menyeberang, seperti kelompok
yang dikoordinir Guru Ruru yang bertugas di Sorowako. Kehadiran
Tentara Brawijaya, akhirnya berhasil mengevakuasi masyarakat untuk
mengungsi ke Malili. Gelombang kekacauan oleh aksi gerombolan
menciptakan deretan panjang iring - iringan masyarakat terpaksa

41
Asyer Tandapai-Sigilipu, Pergumulan GKST di Luwu masa Darul Islam - Tentara Islam
Indonesia, Tahun 2005, h.42-43

92
meninggalkan tanah tumpah darah tempat mereka dilahirkan dan
hidup. Di Malili mereka ditempatkan di kamp- kamp pengungsian yang
tersebar di dalam hingga di luar kota yaitu perkampungan pengungsi di
Malaulu, sekitar tujuh kilometer dari kota Malili. Selain memberi
perlindungan keamanan dan mengurus pemukiman, Juga bagi
masyarakat yang sebelumnya memeluk agama Kristen namun telah
diislamkan, oleh gerombolan Dl /TII, Pemerintah memberi pilihan
kepada mereka untuk tetap bertahan sebagai pemeluk agama Islam
atau kembali ke agama Kristen. Menurut Rambaga Tomana,
keseluruhan masyarakat Nuha yang diungsikan ke Malili menyatakan
diri untuk kembali, kecuali sekelompok masyarakat Padoe yang tinggal
di kampung Matompi, kampung yang berbatasan dengan Timampu,
tetap memeluk agama Islam.
5. Aksi Bumi Hangus.
Dalam aksi gerombolan DI/TII menaklukkan wilayah, tempat dan
kampung mereka bertindak sapu rata dengan cara membakar atau
membumihanguskan tempat atau kampung sehingga masyarakat
setempat kehilangan tempat tinggal dan ekonomi masyarakat hancur,
rakyat menderita, kacau dan lari menyelamatkan diri.
Perjuangan gerombolan DI/TII, cukup lama sejak tahun 1950 dan
berakhir tanggal 3 Februari 1965, setelah Qahar Mudzakkar berhasil
ditembak mati di Muara Sungai Lasolo, dekat Desa Lawali Sulawesi
Tenggara. Kematian Qahar Mudzakkar, menjadi simbol berakhirnya
perjuangan DI/TII.
6. Pengungsian masyarakat Nuha ke Malili dan ke Pakatan.
Menurut Latupu Sinampu42 Di Malili dibentuk Panitia
pemindahan rakyat Distrik Nuha ke Malili,dengan susunan sebagai
berikut:
1. Pobinti Latendengan (Guru),
2. Solewai Tanonggi (guru)

42
Latupu Sinampu, Sejarah Desa Resetlemen, Tahun 1994, h.13,15,16,22,23

93
3. PH. Ndeira (PU),
4. Malupu Meoko
5. Mesa Mariesa ( Kepala Distrik)
6. Rambaga Tomana (Guru)
7. Siampe Sinampu
Setelah ada pertemuan antara utusan dari Nuha :
1. T. Latendengan, 3. Ade Samuda,
2. Nggaro Samuda, 4. Barumbu Samuda.

Dengan Panitia Pemindahan Rakyat Distrik Nuha bersama


dengan Tentara Nasional Indonesia memutuskan memindahkan
masyarakat Nuha ke Malili secara bertahap sebagai berikut:
1. Desa Kawata 17 0ktober 1953
2. Desa Lasulawai 23 Oktober 1953
3. Desa Landangi 30 Mei 1954
4. Desa Dongi 1 Juni 1954
5. Desa Tabarano 4 Juni 1954
6. Desa Togo 4 Juni 1954
7. Desa Balambano 4 Juni 1954
8. Desa Matompi 4 Juni 1954
9. Desa Wasuponda 8 Juni 1954
10. Desa Wawondula 10 Juli 1954
11. Desa Lioka 10 Juli 1954
12. Desa Koropansu 20 Juli 1954

Pemerintahan Distrik Nuha di Malili sebagai berikut:


1. Kepala Distrik Nuha Mesa Mariesa
2. Sulewatang Sangkedapo Tengkano
3. Kepala Kantor Marambangi Lakapi

94
Kelompok Pemerintahan dibagi dua Desa yaitu:
I. Desa Malaulu
1. Kepala Kampung Tabarano Roba Sinta.
2. Kepala Kampung Togo Tonangi Malanti
3. Kepala Kampung Wasuponda Denge Bambu
4. Kepala Kampung Matompi Rage Maso
Dengan Gembala Jemaat Poko Podengge

II. Desa Malili:


1. Kepala Kampung Kawata R. Laula
2. Kepala Kampung Lasulawai Tangke Pesi
3. Kepala Kampung Landangi Larota Koleba
4. Kepala Kampung Koropansu Dangari Paliwo
5. Kepala Kampung Balambano Katapi Mabarang
6. Kepala Kampung Wawondula Goronti Nggalene
7. Kepala Kampung Lioka Gaporo Lemako
8. Kepala kampung Dongi Towue Lanande
Dengan Gembala Jemaat Pilipus Ndeira
Dibantu Pobinti Latendengan

Di Wotu/Mangkutana dibentuk Panitia Pemindahan masyarakat Nuha


untuk penempatan di Pakatan.
1. PE. Latendengan
2. S.Tengkano
3. S.Tanonggi
4. Letnan Sinaga (Bagian Pengangkutan)

Di Desa Pakatan, Pemerintahan sebagai berikut:


1. Kepala Distrik Nuha Mesa Mariesa
2. Tata Usaha Thomas Kenda (Tomarepe)

95
Dengan kampung - kampung sebagai berikut:
1. Kepala Kampung Malupu Meoko.
Tabarano
2. Kepala Kampung Denge Bambu
Wasuponda
3. Kepala Kampung Tomalena Kombu
Wawondula
4. Kepala Kampung Dangari Paliwo
Landangi
5. Kepala Kampung Lioka Gaporo Lemako
6. Kepala Kampung Rage Maso
Matompi
7. Kepala Kampung Kawata Laga Doinga.
8. Kepala Kampung Ruben Laula
Lasulawai

Dengan Majelis Jemaat sebagai berikut:


1. Gembala Jemaat Labiasa Tandumai
2. Penatua Pako Podengge
3. Penatua Rambaga Tomana
4. Penatua Hama Tudon
5. Penatua Sigilipu Tadehari
6. Penatua Laposu Lantiunga
7. Penatua Daha Maso
8. Penatua Ruben Laula
9. Penatua Randi Mbano
10. Penatua Basa

Dengan terbentuknya SDN Pakatan:

96
1. Kepala Sekolah Solewai Tanonggi
2. Pembantu Rambaga Tomana
3. Pembantu Tomasada Tamu’u
4. Pembantu Peturu Montalili
5. Pembantu Barahi
6. Pembantu Manggeta Palunsu

7. Penyebaran masyarakat Nuha


Menurut Asyer Tandapai Sigilipu 43, Penderitaan, ketakutan dan
kemiskinan menjadi realitas hidup para pengungsi selama berada di
kamp-kamp pengungsian. Situasi di pengungsian yang dekat
pengawasan pihak keamanan tetap beium memberi rasa aman.
Masyarakat tetap ketakutan untuk mencari bahan makanan, karena
gerombolan masih sering mengintai mereka. Beberapa orang korban
di lokasi pengungsian Malaulu, antara lain: Magumagu, Butahi,
Lambatu, Metusalah, Kube, Wedame, Bato, Kadoena, Lasuni, Mono,
Langgo, umumnya ditemukan tewas ketika mencari bahan makanan.
Untuk menolong mengurangi beban masyarakat dari keadaan
yang memprihatinkan, khusus pengungsi masyarakat Nuha di Malili,
Pemerintah Kecamatan Malili, yang bekerjasama dengan pihak
keamanan mengambil kebijakan untuk memindahkan para pengungsi
ke daerah Mangkutana yang memungkinkan untuk berusaha.
Kebijakan tersebut disambut baik oleh sebagian besar pengungsi dan
sebagiannya bertahan di Malili. Pada tanggal 14 Agustus 1955,
pemberangkatan pertama dilaksanakan. Pada awal Januari 1956,
pemberangkatan kedua dilaksanakan.
Lokasi penampungan yang menempati wilayah Desa Maleku,
mulanya diberi nama Kampung Gotong Royong, karena latar belakang
43
Asyer Tandapai-Sigiiipu, Pergumuian GKST di Luwu masa Darul Islam-Tentara Islam
Indonesia, Tahun 2005, h.49-50

97
terbentuknya berkat partisipasi dari berbagai pihak.
Setahun kemudian, yaitu 17 Juli 1957, ketika masyarakat
berangsur-angsur bangkit berusaha membangun kehidupan yang lebih
baik, dilaksanakan Ibadah Pengucapan Syukur Jemaat
dirangkaikan peresmian tanggal 17 Juli 1957, lokasi yang diberi
nama PAKATAN sebagai singkatan dari Padoe, Karunsi'e,
Tambee, Nuha, yaitu inisial kelompok-kelompok suku di Nuha
yang menempati lokasi tersebut.
Tetapi gerombolan masih terus melakukan pembakaran,
penculikan, dan pembunuhan, sehingga akhirnya pada tanggal 24
Oktober 1958, Mangkutana, dan Wotu yang menjadi pusat konsentrasi
pengungsi dan kekuatan pengamanan, mendapat serangan
gerombolan DI/TII yang telah bekerjasama dengan Tentara
PERMESTA membakar perkampungan penduduk. Masyarakat panik
dan berlari menyelamatkan diri ke hutan - hutan Sebagian besar
masyarakat Pamona, Nuha dan Jawa yang ada di Mangkutana,
mengungsi ke Sulawesi Tengah. Dan masyarakat Pamona di Wotu
diangkut oleh kapal milik Tentara ke Kota Palopo.
Gerombolan DI/TII yang telah bersekutu dengan Tentara
PERMESTA dan memiliki persenjataan lengkap, melakukan gerak
cepat menyerang kota Malili dan tanggal 9 Januari 1959 Malili yang
menjadi Pusat Koordinasi Pengamanan dan Pemerintahan jatuh ke
tangan pemberontak. Seluruh masyarakat dengan tidak lagi
membedakan identitas agama, mereka berhamburan lari
menyelamatkan diri di hutan-hutan. Seminggu kemudian, tanggal 17
Januari 1959 pihak keamanan yang dikirim dari Palopo bersama
kekuatan rakyat, kembali merebut Malili. Dan untuk menghindari
korban yang lebih besar, Pemerintah mengambil kebijakan untuk
memindahkan semua masyarakat ke kota Palopo, termasuk pengungsi
dari Nuha yang sudah lima tahun meninggalkan kampung halaman
mereka. Setelah Malili dikosongkan gerombolan melampiaskan nafsu
kebiadaban mereka dengan membakar bangunan-bangunan yang

98
ada. Kota Malili menjadi lautan api yang menyisakan reruntuhan dan
puing-puing. Dalam peristiwa di Malili, bangunan yang disisakan
hanyalah Mesjid Raya dan Rumah Sakit. Masyarakat Nuha dan
Pamona yang beragama Kristen yang diungsikan ke Palopo
ditempatkan di Padang Alipan (diluar kota Palopo).
Masyarakat Nuha yang ikut dalam pengungsian, tersebar di
beberapa wilayah di Sulawesi Tengah 44 yang hingga saat ini tidak
kembali ke kampung halaman mereka. Wilayah - wilayah penyebaran
mereka meliputi:
Kecamatan Poso Kota, mulanya mereka bermukim di daerah
pegunungan yaitu kampung Patende Sayo kemudian turun membaur
dengan masyarakat lainnya. Mayoritas berdiam di lorong Sawerigading
Sayo, Poso.
Kecamatan Mori Atas, mulanya mereka membangun permukiman di
Kampung Dangkati, lalu tersebar lagi ke beberapa perkampungan baru
di Tomata. Kepala Distrik Tomata R.Ento bersama tokoh - tokoh
pengungsi yang terdiri dari: D. Bambu, Mesa Mariesa dan Pilipus
Ndeira, berangkat Ke Kolonodale, melaporkan kedatangan masyarakat
Nuha di Tomata, pada Asisten Wedana Kolonodale Mainda Rumampou
dan KPN Abdul Rabie.
Kedatangan utusan ini disambut baik oleh Pemerintah
Kolonodale serta memberikan kebebasan untuk memilih tempat dalam
wilayahnya. Sekembalinya utusan, sebagian besar pengungsi memilih
wilayah Distrik Tomata, sebagian lagi di Desa Londi dan Ensa. Dan
keluarga yang pulang adalah Mesa Mariesa dan Malupu Meoko.
Untuk memikirkan masa depan pengungsi Masyarakat Nuha,
dibentuk suatu organisasi yang disebut Panitia Pengumpulan Rakyat
Distrik Nuha disingkat PAPERDIN dengan susunan Pengurus sebagai
berikut:
Penasihat M.Rumampou (Wedana Kolonodale)

44
Latupu Sinampu, Sejarah Desa Resetlemen, 1994, h.31-42

99
Ketua I S.Tanonggi
Ketua II D. Bambu.
Sekretaris I R.Tomana
Sekretaris II M.Ruka
Bendahara S.Tamu'u
Pengangkutan R.Ento ( Kepala Distrik Tomata)
Pembantu Umum, Semua mantan Kepala Kampung di Pakatan

Desa TALIWAN
Berdasarkan hasil survey untuk Desa Tabarano, Lioka dan Wawondula,
hasilnya sebagai berikut:
1. Dataran Pekolo cukup luas, sebagai areal pertanian dan diairi oleh
sungai Korodolo, untuk persawahan.
2. Sungai Korodolo, airnya cukup untuk keperluan penduduk.
3. Dataran Pekolo, cukup dekat dengan Tomata ibu kota Distrik Tomata
Mori Atas.
Taliwan diresmikan oleh R.Ento Kepala Distrik Tomata, 10 Oktober
1960 dengan Nama Taliwan (Tabarano, Lioka , Wawondula, Nuha).
Taliwan terdiri atas tiga Desa yaitu, Desa Tabarano, Desa Lioka dan Desa
Wawondula tahun 1960. Tetapi atas kehendak sendiri Lioka bergabung
dengan Wawondula tahun 1961, pada saat ditinjau Kepala Distrik Tomata
pada penetapan pajak kepala pada tahun 1961. Sejak itu tinggal dua
Desa di Taliwan, yaitu Desa Tabarano dan Desa Wawondula.

Tugu di Taliwan
Tugu di Taliwan dibangun, untuk mengenang isi hati orang tua kita
setelah mengalami betapa Agungnya dan indahnya perbuatan Allah yang
telah menolong dan membimbing sepanjang perjalanan yang penuh
dengan tantangan sejak dari Nuha hingga tiba di Taliwan untuk memulai
dan menatap hidup di tempat yang baru. Keyakinan dan isi hati para
orang tua itulah yang diungkapkan seperti tertulis pada Tugu Peringatan
Berdirinya Desa Taliwan (UE YESU BABA KAMI UMBU I NUHA HAWE

100
ENDEA MOTILALO HAWE I SURUGA), tanggal 10 Oktober 1960. Di
daerah Tomata mereka menyebar menurut rumpun suku mereka masing -
masing seperti: Taliwan, singkatan dari Tabarano, Lioka, Wawondula
(umumnya suku Padoe). Kampung Lanumor dan kampung Ta'ende,
bahagian Barat (umumnya suku Tambee ) serta kampung Tiwaa
(umumnya suku Karunsi'e).
Kecamatan Pamona Utara, kampung Mayakeli (umumnya suku Padoe).
Setelah Tentara yang dibantu oleh Gerakan Pemuda Sulawesi
Tengah (GPST) perlahan - lahan berhasil memulihkan keamanan dan
melakukan pengejaran terhadap gerombolan DI/TII dan Tentara
PERMESTA, awal tahun 1960-an Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu di
Palopo mengizinkan rakyatnya untuk kembali ke daerahnya masing-
masing. Khusus masyarakat Nuha yang mengungsi ke Padang Alipan,
karena daerah Nuha masih dikuasai gerombolan, mereka diberi kebijakan
untuk mengisi kampung Pakatan di Mangkutana, yang telah ditinggalkan
oleh saudara-saudara mereka yang mengungsi ke Sulawesi Tengah.
Menurut Santona Tamu'u dan Laribu Meoko 45 secara singkat dapat
disampaikan masa pengungsian masyarakat Nuha sebagai berikut:
1. Pada bulan September 1953, warga Desa Kawata, Lasulawai, Tole -
Tole, mengungsi ke Malili kota. Disusul warga Desa Ussu, Kore -
Korea, Pabeta dan Angkona.
2. Pada bulan Juni 1954, warga Desa Tabarano, Wawondula, Togo,
Tawaki, Lioka, Matompi, Landangi, Koropansu, mengungsi ke Malili,
dan ditempatkan di Malaulu,
3. Pada bulan Juli 1954, warga Desa Wawondula yang ketinggalan,
mengungsi ke Malili,
4. Pada tahun 1955, warga Desa Dongi mengungsi ke Soluro, dan tahun
1956, di jemput Tentara di Soluro, lalu diungsikan ke Pakatan,
5. Pada tahun 1956, Suka Damai dibangun, kemudian diresmikan 17 Juli
1957, menjadi Desa PAKATAN (Padoe, Karunsi'e, Tambee, Nuha),
6. Pada tahun 1957, warga Dongi pindah dari Pakatan ke Sulawesi
45
Santona Tamu'u dan Laribu Meoko, tokoh masyarakat dan tokoh Adat Padoe

101
Tengah dan menetap di Desa Gontara,
7. Desa Pakatan yang sudah diresmikan tanggal 17 Juli 1957, diserang lagi
tanggal 23 Oktober 1958 oleh DI/TII. Demikian juga Wotu dan
Mangkutana, terjadi lagi pengungsian. Sebagian mengungsi ke Padang
Alipan, dekat Palopo, dan yang lebih banyak mengungsi ke Sulawesi
Tengah. Sebagian mengarah ke Poso, dan sebagian menuju Tomata
dan Pamona Utara.
8. Di Daerah Tomata dan Pamona Utara berdiri Desa baru yang
terdiri dari:
a. TALIWAN (Padoe, Lioka, Wawondula, Nuha) diresmikan 10
Oktober 1960;
b. LANUMOR (Landangi, Nuha, Mori), perkampungan mayoritas
Tambee
c. Tiwaa (perkampungan orang Karunsi'e);
d. Mayakeli (perkampungan orang Padoe), diresmikan 16 Oktober
1962.

Desa Mayakeli.
Pada mulanya Desa Mayakeli Kelurahan Sangele Tentena, didiami
oleh tujuh keluarga asal Matompi sekitar tahun 1957, dan diterima secara
resmi oleh Pemerintah Kelurahan dan Kepala Distrik. Kehadiran mereka
ini mengikuti pendahulu mereka Tahe Lara 1953 dan Sipantu Larobu
1954 yang telah lebih dahulu berada di Tentena Tanah Pamona Poso.
Untuk kehidupan dan penghidupan masa depan, masyarakat
Padoe memerlukan tanah dan tempat untuk dijadikan kampung/Desa dan
tanah pertanian. Hal tersebut diinisiasi oleh Tahe Lara, Sipantu Larobu
dan Masi Langguna, BA. tahun 1958. Mereka menemui Kepala Distrik
Tentena, untuk meminta ditunjukkan dan diberi tanah untuk dijadikan
kampung/Desa dan tanah pertanian. Dan mereka memberikan pemyataan
sikap yang terdiri dari 15 Kepala Keluarga dan 66 jiwa, yang telah datang
secara bertahap, untuk siap diterima menjadi warga Pamona.
Dari hasil inisiasi tersebut, Pemerintah telah menunjukkan dan

102
memberikan sebagian Wilayah Desa Buyumpondoli untuk permukiman
dan tempat bertani dan berkebun. Atas kerjasama Kepala Distrik Tentena
dan Kepala Desa Buyumpondoli, maka ke 15 KK dengan 66 jiwa orang
Padoe, diterima oleh Kepala Desa dan masyarakat Pamona sebagai
saudara dan saudara seiman, yang telah mengungsi karena
mempertahankan iman dan kepercayaan kepada Tuhan Yesus. Setelah
itu ada pula keluarga pengungsi yang datang menyusul.
Setelah penunjukan wilayah untuk Desa, maka masyarakat Padoe
berusaha untuk membentuk Jemaat dan Desa yang definitif. Masyarakat
Padoe yang ada segera membentuk Kelompok Kebaktian di bawah
Jemaat Induk Buyumpondoli, dan langsung mengadakan kebaktian/
lbadah rutin.
Untuk menjalankan roda Pemerintahan maka dibentuklah
Pemerintah Desa di bawah Desa Induk Buyumpondoli. Masyarakat
menunjuk Rage Maso, sebagai Kepala Desa Pertama, karena beliau
mantan Kepala Desa Matompi di Distrik Nuha Sulawesi Selatan.
Setelah kehidupan dan penghidupan masyarakat Padoe berjalan
dengan baik, kemudian masyarakat mengadakan rapat umum untuk
menentukan dan menetapkan waktu berdirinya Desa Mayakeli.
Berdasarkan kesepakatan melalui rapat umum, ditetapkan bahwa Desa
Mayakeli mulai berdiri pada 16 Oktober 1962. Yang bertepatan dengan
hari Padungku sebagai hari pengucapan syukur Jemaat, dengan Kepala
Desa I adalah Rage Maso.
Atas segala tuntunan dan penyertaan Tuhan, masyarakat Desa
Mayakeli, baik yang telah berpulang ke pangkuan Bapa di Sorga, dan
bagi yang ada sekarang, menyampaikan terima kasih banyak kepada
semua pihak antara lain;
a. Pemerintah Kabupaten Poso,
b. Kepala Distrik Tentena,
c. Kepala Desa Buyumpondoli,
d. Gembala Jemaat Buyumpondoli,

103
e. Masyarakat Pamona di Tana Poso,
f. Semua pihak yang telah menerima kami, orang Padoe menjadi warga
Kabupaten Poso.

Orang Padoe yang ada di Desa Mayakeli sekarang ini adalah sekitar 700
jiwa terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak.

Sebagai tanda penerimaan dari penduduk asli (Pamona) :


Madago, katarima komi ri kalau'ka raya mami yang artinya baik, kami
menerima kalian dengan suka cita, gembira penuh ketulusan.
Ucapan terima kasih dari orang /suku Padoe:
Tarima kase oto ai tarima kami ka ai powekami wute gagi po'ianga
mami, Umbori I Ue tumulungi kito lowo yang artinya Terima kasih
karena sudah menerima kami dan memberikan tanah untuk tempat
tinggal, Tuhan Yesus menolong kita semua.

9. Pada tanggal, 9 Januari 1959, DI/TII bergabung dengan Permesta


membumi hanguskan kota Malili.

11.BATAS WILAYAH ADAT / TANAH ADAT SUKU PADOE


Berdasarkan Sejarah Suku Padoe dari dahulu kala, di mana
berkembang dan mengalami kemenangan dalam peperangan baik antar
suku, maupun bantuan perang yang diberikan kepada Kedatuan Luwu,
atas permintaan Datu Luwu. Setelah Saliwu berhasil memotong pohon
Langkanae di Istana Datu Luwu, kemudian Datu Luwu, mempersilakan
mencari sendiri tempat yang cocok untuk pertanian dan mencari
penghidupan dan kehidupan sesuai dengan keinginan masyarakat suku
Padoe, kesebelah Timur Daerah Luwu.
Kampung - kampung / permukiman suku Padoe sejak kurun antara
awal Masehi sampai abad X Masehi menurut Ali Fadillah (1998 : 12 ) dan
merujuk telaah Pelras (1995/1996) meliputi Angkona, Pabeta, Tampina,
Lakarai (Cerekang), Bukit Munsi Mewuni, Ussu, Matanggoa, Malili, Kore-

104
Korea, Kawata, Laro'eha, Lasulawai, Wasuponda, Togo, See-See, Amasi,
Tawaki, Molio, Umodo, Tabarano, Wawontamba, Lioka, Wawondula,
Langkea, Asuli, One - One, Matompi, Timampu, Petea'a, Lere'ea, Epe,
Bea'u, Lambatu, Lengkobale, Lo'eha dan Larona.
Berdasarkan wilayah perkampungan dan tempat - tempat tersebut
di atas maka batas -batas wilayah Adat dan Wilayah tanah Adat, Suku
Padoe, berdasarkan Sejarah Suku Padoe sejak dahulu, sebagai berikut:
Sebelah Utara:
Meliputi wilayah Angkona, Pabeta, Cerekang, Laro'eha,Tole-Tole,
Kawata, Lasulawai, Tetenona, Sungai Tanggoloe (Koro Langkai),
Wasuponda, Koro Manu-Manu, Pobingkua, Lembololo, Palumba, Asuli,
Enggano, terus melaiui pinggir Danau Maholona, Petea'a, Lere'ea, Epe,
lalu ke pegunungan mengikuti patok Batas Sulawesi Selatan dengan
Sulawesi Tengah.
Sebelah Selatan:
Meliputi pegunungan mengikuti patok batas wilayah Sulawesi Selatan
dengan Sulawesi Tenggara, mengikuti patok batas dari Timur ke Barat,
sampai ke pinggir pantai wilayah Lampia.
Sebelah Timur :
Meliputi pegunungan mengikuti patok batas Sulawesi Selatan dengan
Sulawesi Tengah, sampai dengan patok batas, Sulawesi Selatan dengan
Sulawesi Tenggara.
Sebelah Barat :
Meliputi wilayah pantai Angkona, wilayah pantai Pabeta, Wilayah pantai
Bukit Punsi Mewuni wilayah pantai Cerekang, wilayah pantai Ussu,
Wilayah pantai Malili, Wilayah panta Lembo Lemao, Wilayah pantai Kore-
Korea, Wilayah pantai Labose, Wilayah pantai Lampia, sampai dengan
patok batas Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tenggara.

105
PETA BATAS WILAYAH ADAT/TANAH ADAT SUKU PADOE

106
BAB V
SEJARAH ORANG WEULA, ORANG RO'UTA DAN
SUKU PADOE DI TANA NUHA

1. ASAL MULA PENDUDUK LEMBO WEULA DAN DATARAN TINGGI WEULA


Pada mulanya kata Weula tidak dikenai di daerah ini, karena orang
Tolaki yang berasal dari Andolaki ( Sulawesi Tenggara ) datang di daerah
ini, tidak ada yang bernama Weula, baik nama suku / kelompok maupun
nama daerah. Begitu juga nama Lembo Weula / Dataran tinggi Weula.
Pertama kali, daerah atau tempat tersebut dipakai untuk
menempatkan penjahat-penjahat yang ditangkap oleh Pemerintah
Kedatuan Luwu dan Pemerintah Daerah Malili, yang banyak ditampung di
daerah Wotu / Takolekaju dan daerah Ussu dengan kaki dirantai, menurut
J.Kruyt dan Ritsema.
Yang kedua, untuk menempatkan sekelompok orang dari Andolaki
(orang Tolaki) eks perang yang jiwanya sudah terganggu menjadi orang
jahat bersifat garang, kejam dan suka berperang.
Mengingat akan teman-teman mereka yang sudah berhasil di
rantau di daerah Lere'ea yartu orang Ro'uta, mereka berangkai ke arah
Utara, menuju daerah Ro'uta. Setiba mereka di Lere'ea, Pemerintah
Ro'uta yang sudah mengenal tempat - tempat yang masih luas untuk
permukiman, mengantarkan teman - teman mereka yang baru. Sebagian
mengantarkan teman mereka ke daerah Lembo Weula / dataran tinggi
yang luas yang kemudian disebut sebagai Lembo Weula / dataran tinggi
Weula. Dalam rombongan tersebut, terdapat Mokole yang akan menjadr
Mokole di daerah tersebut.Perjalanan mereka mengikuti jalur Wawondula,
Molindowe, mengikuti sungai ke arah Ledu-Ledu, Mohainga, melalui
Modaso, tembus ke Konda-Kondara.
Mokole I bernama Labunta mendirikan tempat permukimannya di
Mohainga, karena banyak lubang batu sebagai pertahanan. Mokole II
mendirikan tempat permukimannya di Konda-Kondara karena tempat itu

107
cocok untuk pertahanan yang dilengkapi dengan benteng dari tanah.
Sebahagian orang Ro'uta mengantar sekelompok orang Tolaki ke
daerah Mori. Di daerah Mori mereka mendirikan kampung Watu Api. Sifat
mereka yang jahat, kejam dan garang dan suka berperang, mereka
sering menyerang kampung-kampung orang Mori tetangga mereka,
merampas harta terutama bahan makanan. Mereka mencuri sagu di
hutan sagu yang disebut tambunga, dengan pengawalan bersenjata.
Orang Mori melaporkan peristiwa tersebut kepada para Pongkiari yang
punya pasukan yang kuat. Mereka diserang, senjata mereka dirampas,
akhirnya mereka lemah dan tidak kuat lagi berperang. Mereka diusir lalu
tercerai berai di antara kampung-kampung di Mori. Ada yang masuk
kampung, termasuk di kampung Tinompo, untuk minta perlindungan
pada Pongkiari yang ada di kampung itu. Mereka dipanggil-panggil
dengan ejekan Wionggo yang berarti tercerai-berai karena diusir (Johan
Kruyt).
Orang Mori memanipulasi kata Wionggo dengan cara mencari
sinonim kata Wionggo dalam bahasa To Molongkuni, karena bahasa
orang-orang yang diejek dengan nama orang Wionggo itu mirip bahasa
To Molongkuni. Dua kata sinonim yang mereka ketemukan yaitu
Tewiangka dan Wianga, yang artinya tercerai berai karena diusir.
Orang Mori memanipulasi kata Wionggo, Tewiangka dan Wianga
menjadi kata-kata yang tidak enak didengar seperti kata Meonggo,
Inonggo dengan tali (ula), sehingga kata Wionggo menjadi kata Wiula.
Wianga menjadi Wenga, sehingga menjadi Weule. Seterusnya dengan
kata Weule berubah menjadi kata Weula. Akhirnya Mori Bawah, Mori Atas
dan Mori Selatan sudah terbiasa memanggil orang Wionggo (ejekan)
menjadi orang Weula.

2. ORANG WEULA DI KEMOKOLEAN RAHAMPU'U MATANO


Orang Ro'uta ingin kembali ke daerah mereka di Lere'ea melalui
Matano dan diikuti oleh orang Weula. Setiba mereka di Matano, mereka

108
diterima oleh Mokole Rahampu'u Matano dan mereka diberi kesempatan
mencari penghidupan di daerah kemokolean Rahampu'u Matano asal
tidak mengganggu keamanan Setelah beberapa lama Orang Weula
mendirikan kampung di Mohainga sebelah Selatan Matano. Mereka
menculik seorang' perempuan keturunan Mia Ntii yang dijadikan Mokole
mereka. Perempuan itu disembunyikan di istana supaya tidak dilhat
orang.
Mokole perempuan itu belum bersuami, diketahui oleh Karua
Numunuo di Mori. Ketika Mia Ntii yang menjadi Mokole di Mori ingin kawin
dengan turunan Mia Ntii. Karua Numunuo membawa pasukan untuk
menculik Mokole perempuan itu (Johan Kruyt). Peristiwa inilah yang
menyebabkan ada hubungan antara kemokolean Rahampu'u Matano
dengan kemokolean di Mori. Penguasa kampung Mohainga yaitu orang
Weula, sering menyerang kampumg-kampung di tetangganya dan
merampas harta benda mereka. Akibatnya kampung bersatu menyerang
Mohainga dan menghancurkan sampai rata tanah,orang Weula banyak
mati. Orang Weula yang masih hidup melarikan diri ada yang menuju ke
Ussu lalu berdiam antara Ussu dengan Tole-tole dan sebahagian ke
Lembo Weula /dataran tinggi Weula bergabung dengan teman-temannya.
Orang Ro'uta yang diikuti oleh orang Weula meninggalkan Matano
terus sampai ke daerah Sorowako dan Otuno. Dari Otuno sepanjang
pesisir danau Matano sampai dekat ke arah Sorowako Sedangkan orang
Weula yang ikut, juga ikut berkebun menyambung kebun orang Ro'uta
sampai suatu tempat yang bernama Helai dekat Sorowako. Demikian juga
orang Ro'uta bersama orang Weula yang pulang dari Mori melalui Bungku
tembus ke danau Maholona sebagian terus ke Lere'ea dan sebagian lagi
berkebun bersama-sama teman mereka dari Otuno sampai ke Helai.
Orang Matano dan suku Padoe yang mencari ikan di cabang-
cabang sungai yang keluar dari danau Maholona, menuju danau Towuti
sering diserang secara tiba-tiba oleh orang Ro'uta dan orang Weula.
Mokole Rahampu'u Matano marah lalu mengusir orang Ro'uta dan orang

109
Weula. Orang Ro'uta lari ke Lere'ea dan mengundurkan diri mendiami
pesisir Timur danau Towuti. Orang Weula melarikan diri ke arah Lembo
Weula /dataran tinggi Weula Wasuponda karena mereka tahu sudah ada
teman mereka di sana. Setelah berkumpul dengan teman mereka, mereka
menjelaskan bahwa di Mori mereka diberi nama Weula dan menganjurkan
supaya orang Tolaki yang tinggal di Lembo / dataran tinggi Wasuponda
dinamai orang Weula. Seterusnya dipakai nama-nama seperti orang
Weula, Mokole Weula dan Lembo Weula.
Ada juga suatu peristiwa ketika suku Padoe pergi mencari /
menangkap ikan di salah satu anak sungai dari sungai yang keluar dari
Maholona. Mereka membawa senjata lengkap. Ketika orang Ro'uta
datang mengganggu, mereka melawan dan berhasil menewaskan
beberapa orang Ro'uta. Anak sungai tersebut diberi nama Koro Petea'a
( sungai perkelahian, atau tempat pertempuran)

3. ORANG WEULA DAN ORANG RO'UTA Di TANA NUHA


Sebelum terjadi kekacauan di daerah Andolaki, Konawe dan
Mekongga orang Ro'uta sudah meninggalkan daerah itu menuju daerah
Kemokolean Ro'uta dengan inia mpu'u Lere'ea. Setelah terjadi kemelut di
daerah tersebut antara beberapa kerajaan kecil maka sekumpulan orang
Tolaki yang sudah terganggu jiwanya menuju ke Utara mencari teman
mereka orang Ro'uta . Setelah mereka tiba mereka diantar sebahagian ke
dataran tinggi Wasuponda dan menetap disana. Sebahagian diantar ke
daerah Mori dan pertama kali mereka berkampung di Watu Api.Mereka
sering menyerang kampung-kampung orang Mori, merampas makanan,
harta benda dan mencuri sagu dihutan sagu (tambunga) dengan
pengawalan bersenjata.
Kejadian ini dilaporkan kepada Pongkiari yang memiliki banyak
pasukan. Para pencuri itu diserang dan dikalahkan dan senjata mereka
dirampas. Dalam keadaan tidak berdaya pencuri-pencuri diusir sehingga
mereka tercerai berai diantara kampung-kampung orang Mori.

110
Orang Weula yang tidak bermukim di kampung Mohainga
mengikuti orang Ro'uta yang pulang ke daerahnya melalui Sorowako
Otuno sampai ke Lere'ea. (Johan Kruyt). Sesampai di Otuno, orang
Ro'uta berkebun dari Otuno mengikuti tepi danau Matano dan disambung
dengan kebun orang Weula sampai dekat Sorowako. Kemudian orang
Ro'uta kembali ke daerahnya melalui Bungku tembus ke danau
Maholona. Mereka juga bergabung berkebun.
Orang Weula adalah orang Tolaki dari Sulawesi Tenggara yang
masuk ke Lembo Weula Tana Nuha dan sebagian lagi ke Mori. Kemudian
ada lagi orang Weula yang datang dari Mori ke Tana Nuha karena diusir
dari Mori. Mereka migran secara berkelompok dengan membawa senjata,
mencari tempat untuk permukiman, pertanian, perburuan, pengumpulan
hasil hutan, makanan dan lain sebagainya. Sifat orang Weula jahat,
bengis, dan suka berperang.
Wilayah orang Weula di daerah Nuha sebelah Barat meliputi
pertengahan Ussu-Tole-Tole sampai dengan separuh Danau Towuti.
Orang Weula berasal dari Suku Tolaki, Sulawesi Tenggara.
Wilayah orang Ro'uta, di daerah Nuha sebelah Timur meliputi
separuh Danau Towuti sampai dengan puncak gunung tinggi perbatasan
Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Selatan dan perbatasan Sulawesi
Tenggara dengan Sulawesi Selatan. Orang Rou'ta berasal dari Suku
Tolaki Sulawesi Tenggara.
Pusat kemokolean Weula di Tana Nuha berada di Lembo Weula sekarang
ini disebut Wasuponda.
Memiliki benteng pusat pertahanan di Wawo Ao dengan
membawahi benteng pertahanan di Mohainga daerah Modaso.
Menurut Todarisa46 Mokolenya bernama Labunta. Mokole ini adaiah
kakak, yang sifatnya sangat jahat, dia yang membuat peraturan yang
mempersulit Suku Padoe, seperti kalau suku Padoe mengambil rotan di
hutan, maka hasilnya harus dibagi 50% untuk orang Weula dan 50%
untuk suku Padoe dibawa pulang.
46
Todarisa, seorang tokoh masyarakat dan tokoh Adat Wawondula

111
Menurut Masi Langguna, Benteng pertahanan di Konda - Kondara,
Mokolenya bemama Tei-Tei adalah adik dari Labunta. Selanjutnya
Benteng pertahanan yang ketiga berada di Kasidula di sebelah Barat
Wasuponda (antara Wasuponda dengan Tanggoloe).

4. SUKU PADOE DI TANA NUHA


Pada tahun 1620, Saliwu dipanggil oleh Datu Pattipasaung, Datu
Luwu. Datu Luwu marah karena Saliwu dielu-elukan rakyatnya sebagai
Mokole Ntii. Tindakan tersebut seakan-akan ingin menyaingi Kedatuan
Luwu.Saliwu dipanggil sekaligus mau diuji apakah betul memiliki darah
kebangsawanan yang punya kesaktian.
Kemudian tahun 1622, Saliwu tiba di Palopo memenuhi panggilan
Datu Pattipasaung menghadap Datu Luwu di Palopo, ditemani oleh
Lamara. Saliwu diadili dan dihukum mati. Kecuali Saliwu tidak dihukum
mati kalau Saliwu dapat memotong pohon Langkanae dengan sekali
tebas dengan pedangnya sendiri di halaman Istana Datu Luwu. Saliwu
minta waktu persiapan sembilan hari. Setelah sembilan hari momomaani
mengelilingi pohon Langkanae di halaman istana, setelah pohon
Langkanae terlihat seperti dui kemudian Saliwu memotong pohon
Langkanae sekali tebas dengan pedangnya sendiri dan berhasil.
Kedatuan Luwu geger dan kemudian mengadakan sidang luar biasa yang
dipimpin oleh Datu Pattipasaung sendiri dan dihadiri oleh: Opu
Patundrung, Opu Tomarilalang, Opu Pabicara, Opu Balirante, dan Opu
Mincara, dengan keputusan sidang sebagai berikut:
1. Kemenangan Saliwu disaluti dan disanjung tinggi,
2. Saliwu dengan orang-orangnya diterima oleh Datu Luwu dan
rakyatnya sebagai sahabat dari jauh (To Belae),
3. Saliwu dengan pengikutnya dibebaskan mencari permukiman di
sebelah Timur Daerah Luwu,
4. Saliwu dilantik kembali menjadi Mokole dengan gelar Mokole
Motaha Ngangano.

112
Datu Luwu Pattipasaung yang berkuasa pada tahun 1615-1637
memerintahkan kepada Mokole Saliwu pada saat Saliwu di Palopo, agar
membawa rombongan/pasukan dari Lakarai ke arah Timur Daerah Luwu
untuk mencari tempat pertanian yang baik dan subur. Berdasarkan
perintah Datu Luwu ini, setiba Mokole Saliwu di Lakarai dari Palopo tahun
1624, kemudian Mokole Saliwu membawa rombongan / pasukan ke
Matanggoa.
Menurut Santona Tamu'u selama di Matanggoa Mokole Saliwu
mengadakan pertemuan tahun 1629 dengan semua suku Padoe dari
Angkona, Tampina, Pabeta, Lakarai (Cerekang) Ussu, Malili, Kore-Korea,
Laro'eha, Kawata dan kampung-kampung lainnya untuk membicarakan
masa depan dan wilayah serta hal-hal yang penting sebelum berpencar
menjadi beberapa kampung, mereka memutuskan:
Yang pertama mengenai suku Padoe.
1. Nama suku yang di bawah pimpinan Mokole / Tadulako Saliwu
bemama Suku Padoe.
2. Di manapun mereka mendirikan kampung, biarpun terpisah-pisah
tetapi tetap satu bernama Suku Padoe (To Padoe), karena nama suku
Padoe berfungsi sebagai alat pemersatu.
3. Mokole Saliwu ditetapkan sebagai Tadulako. atau Panglima Perang
Suku Padoe.

Yang kedua mengenai pembagian kelompok/ pasukan


Membagi kelompok/pasukan suku Padoe menjadi empat yaitu:
1. Kelompok / pasukan l dipimpin oleh Mokole/Tadulako Saliwu,
merangkap koordinator semua kelompok/ pasukan dengan mendirikan
kampung Kawata dilengkapi benteng pertahanan di Wawo Une
2. Kelompok/pasukan II dipimpin oleh Paerako dengan mendirikan
kampung di Togo dengan benteng pertahanan di Bukit Amasi
kemudian dipindahkan ke Togo.
3. Kelompok/pasukan III dipimpin oleh Kalende, mendirikan kampung /

113
benteng pertahanan di Bukit Umodo dan Bukit Wawontamba
kemudian dipindahkan ke Tabarano.
4. Kelompok/Pasukan IV dipimpin Nggalene, mendirikan kampung
Langkea, dengan benteng pertahanan Bukit Langkea kemudian
dipindahkan ke Wawondula.

Sebagai penjelasan bahwa pada waktu zaman Belanda, semua


kampung yang berada di atas bukit dipindahkan ke tanah datar yang di
pinggir jalan. Seperti Amasi di pindahkan ke Togo, Umodo dan
Wawontamba dipindahkan ke Tabarano. Dan Langkea dipindahkan ke
Wawondula.
Setelah selesai pertemuan Suku Padoe di Matanggoa, kelompok/
pasukan berpindah ke Kawata, dan menjadikan Kawata sebagai kampung
pertama suku Padoe. Mereka membangun Kawata menjadi kampung
yang ramai dan teratur. Kemudian sesudah itu mereka meneruskan
perjalanan ke daerah Lembo Weula / dataran tinggi Weula Wasuponda.
Sebelum Mokole/Tadulako Saliwu, membawa kelompok/pasukan
memasuki Lembo Weula /dataran tinggi Weula Wasuponda, Mokole /
Tadulako Saliwu menghadap Mokole Weula di Konda-Kondara yang
bernama Tei-Tei, sekitar tahun 1640. Dalam pertemuan itu
Mokole/Tadulako Saliwu meminta kepada Mokole Weula, supaya
mengizinkan suku Padoe bermukim di wilayah orang Weula, serta
mencari penghidupan dengan menggarap tanah pertanian, memelihara
ternak dan mengambil hasil hutan. Kemudian Mokole Weula mengatakan
kepada Mokole/Tadulako Saliwu, untuk mencari sendiri tempat supaya
sesuai dengan keinginan, tetapi dengan syarat harus membayar upeti
(Inda wute), sebesar 10 % untuk pemilik tanah (orang Weula) dan 90 %
untuk penggarap tanah (suku Padoe).
Mokole/Tadulako Saliwu menyatakan persetujuannya, maka
terjadilah kesepakatan antara dua Mokole. Pada sekitar tahun 1642
Mokole/Tadulako Saliwu dan rombongannya mengadakan penelitian

114
untuk mendapatkan tempat dan wilayah yang baik dan subur untuk
pertanian dan strategis untuk pertahanan dan keamanan. Sesudah
kesepakatan tersebut, hubungan antara suku Padoe dengan orang Weula
berjalan dengan baik. pertanian Suku Padoe mulai berproduksi dan mulai
membayar upeti kepada Mokole Weula pada tahun 1646
Di daerah Wawondula, Lioka dan Matompi ada empat kemokolean
kecil Weula yang terdiri dari Mokole Andomo, Mokole Lewehuko, Mokole
Tulambatu, dan Mokole Kuasi.
Kemudian ada pula wilayah orang Ro'uta di Lere'ea, yang berada
dari separuh Danau Towuti sampai dengan puncak Gunung tinggi di
perbatasan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Selatan dan perbatasan
Sulawesi Tenggara dengan Sulawesi Selatan. Sebagian orang Ro'uta
yang ada di daerah tersebut, adalah suku Tolaki yang diusir dari Matano
dan Otuno, oleh Mokole Rahampu'u Matano, karena perbuatannya yang
jahat, bengis dan suka berperang.

5. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG WEULA DI LEMBO


WEULA DAN DATARAN TINGGI WEULA
Menurut Sipantu Larobu47 setelah lima tahun suku Padoe bersama-
sama dengan orang Weula, maka sekitar tahun 1651 pecah perang
antara suku Padoe dengan Orang Weula selama sembilan bulan
lamanya.
Penyebabnya adalah karena kejahatan-kejahatan orang Weula
terhadap Suku Padoe. Mokole Weula mengingkari kesepakatan antara
Mokole/Tadulako Padoe dengan Mokole Weula di Konda-Kondara
Pelanggaran tersebut meliputi:
1. Mokole Weula menaikkan upeti dari 10% menjadi 50% secara sepihak;
2. Kalau suku Padoe mengambil kayu atau rotan di hutan maka hasilnya
harus dibelah dua, sebelah disimpan untuk orang Weula dan sebelah
dibawa pulang oleh suku Padoe,

47
Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982, h.3

115
3. Kalau suku Padoe berburu, maka hasil buruan harus dibagi dua antara
suku Padoe dengan orang Weula,
4. Kalau binatang buruan suku Padoe lari dan mati di wilayah orang
Weula. maka binatang tersebut menjadi milik orang Weula,
5. Kalau orang Weula meletakkan tongkatnya melintang di jalan yang
biasa dilalui suku Padoe, jikalau tongkat itu dilangkahi suku Padoe,
maka suku Padoe dipukuli dan barang yang dibawanya dirampas oleh
orang Weula.

Setelah lima tahun suku Padoe membayar upeti (inda wute),


kepada Mokole Weula, Mokole Weula mulai iri hati, karena pertanian dan
peternakan suku Padoe sangat berhasil. Begitu juga suku Padoe sangat
rajin mengumpulkan hasil hutan. Mokole Weula menaikkan upeti secara
sepihak menjadi 50 %. Berdasarkan hal tersebut Mokole/Tadulako Saliwu
menghadap Mokole Weula, meminta supaya upeti diturunkan kembali
seperti perjanjian semula 10 % untuk orang Weula. Terjadi perdebatan
antara dua Mokole, dan akhirnya Mokole/Tadulako Saliwu mengatakan
kalau upeti tidak diturunkan kembali seperti semula yaitu 10%, untuk
orang Weula, akan terjadi peperangan antara suku Padoe dengan orang
Weula. Tantangan Mokole/Tadulako Saliwu tersebut diterima Mokole
Weula dengan optimis pasti menang kalau perang.

Orang Weula mengadakan ritual kepada Dewa-dewa mereka,


dengan menyembelih seorang budak Mokole Weula, yang bernama
Karedui. Sebelum Karedui disembelih, Karedui minta bicara,
mengucapkan sumpahnya Kalau benar ada aturan adat orang Weula
dari dulu mempersembahkan manusia kepada dewa-dewa kalau mau
berperang, dan untuk kepentingan orang Weula, bukan untuk
kesombongan, maka orang Weula akan memenangkan peperangan,
dan orang Weula akan semakin berkembang dan jaya. tapi kalau
tidak ada aturan adat mempersembahkan manusia kepada dewa-

116
dewa sebelum perang dan hanya untuk kesombongan, maka orang
Weula akan kalah perang dan punah.
Mokole/Tadulako Saliwu, mengerahkan pasukannya dari Laro'eha,
Kawata, Wawo Une ditambah dengan pasukan suku Padoe yang sudah
ada di Lembo Weula, seperti Amasi, Togo, See-See, Molio, Umodo,
Wawontamba, Tabarano, Langkea, Lioka, Wawondula dan Matompi
sebanyak 2000 orang Mereka membawa meriam pendek (80 cm sampai
1 meter), dan senapan-senapan laras panjang, yang dibeli dari orang
Portugis yang berkunjung ke daerah Malili, Ussu dan Cerekang, untuk
menggempur pertahanan orang Weula.
Menurut Sipantu Larobu48 dalam peperangan selama Sembilan
bulan lamanya, semua kediaman Mokole Weula hancur luluh berantakan
dan lenyap. Dan orang Weula mengalami kekalahan total mayat orang
Weula yang mati di mana-mana karena perang sapu rata oleh pasukan
suku Padoe .Benteng pertahanan di Mohainga dibakar, sehingga mereka
terkurung dalam lubang batu persembunyian, sehingga orang Weula
mudah diserang oleh pasukan suku Padoe, mencincang dan menusuk
orang Weula dilubang batu persembunyian. Benteng pertahanan Weula di
Konda - Kondara, hancur akibat lemparan batu - batu besar oleh seorang
suku Padoe yang tinggi besar bernama Latowo, orang Weula kalah total.
Setelah itu semua tanah milik orang Weula, dikuasai oleh suku Padoe. Pada
peperangan tersebut dilakukan sendiri oleh pasukan suku Padoe yang dipimpin
Mokole/Tadulako Saliwu, tanpa bantuan dari suku-suku lain.
Menurut Sipantu Larobu49, menjelaskan bahwa dalam peperangan
itu semua orang Weula mati dan punah karena kalah perang dan sesuai
dengan sumpah (tonao) Karedui. Kecuali satu keluarga karena menyerah
bernama Nampera beserta istri dan dua orang anaknya.
Setelah peperangan di Lembo Weula / Dataran tinggi Weula dan
sekitarnya, sudah selesai, maka semua tanah milik orang Weula dikuasai

48
Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982, h.3
49
Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982, h.3-4

117
oleh suku Padoe. Selanjutnya tanah di Lembo Weula dibagikan kepada
suku Padoe oleh Saliwu dan Kalende.
Sedangkan di daerah Togo, Amasi dibagikan oleh Paerako. Di
daerah Mohainga dibagikan Kalende kepada Lawati dan Sinta. Daerah
Modaso dan Wawo Ao dibagikan Kalende kepada Manule. Sedangkan
daerah Konda-Kondara dibagikan Kalende kepada Mbotengu.

6. PERANG SUKU PADOE, MELAWAN ORANG WEULA DI


KEMOKOLEAN ANDOMO,LEWEHUKO,TULAMBATU DAN KUASI
Menurut Seketi Samuda50, menjelaskan bahwa kemokolean
Andomo, kemokolean Lewehuko, kemokolean Tulambatu dan
kemokolean Kuasi, diserang oleh suku Padoe dari Wawondula sekitar
tahun 1700, yang dipimpin oleh Mokole /Tadulako Saliwu. Setelah perang
antara suku Padoe dengan orang Weula di Lembo Weula / dataran tinggi
Weula antara Wasuponda dengan Tabarano, Mokole/Tadulako Saliwu,
mencari daerah perluasan ke daerah lembah, menuruni Bangkano Asuli
menuju dataran Apundi. Mokole/Tadulako Saliwu menempati dua tempat
yaitu Apundi dan Langkea. Mokole/Tadulako Saliwu mendirikan rumah di
Langkea dekat mata air Koro Lingaru, tempatnya mandi. Rakyat
Mokole/Tadulako Saliwu, menempati kedua tempat itu yang dipimpin oleh
Para, sebagai kepala Pemerintahan, menjadikan Wawondula sebagai
kota pusat kekuasaan suku Padoe pada saat itu.
Pada sekitar tahun 1700,mereka mendapatkan sebuah hamparan
yang memanjang dart Palawatua (Lioka sekarang) sampai denganTowuti
(Timampu sekarang) sepanjang kurang lebih 12 km. Hamparan ini
diduduki orang Weula, yang terdiri dari empat kemokolean kecil Weula,
yaitu kemokolean Andomo, kemokolean Lewehuko, kemokolean
Tulambatu, dan kemokolean Kuasi. Masing-masing kemokolean
mempunyai daerah dan pemerintahan sendiri meliputi:
a. Kemokolean Andomo di Palawa Tua ( Lioka sekarang ).

50
Seketi Samuda, Asal Usul Mori Padoe Tahun 2007, h.6-7

118
Inie mpu'uno : Nangka Olota
Sungai-sungainya : S. Meruruno, S.Mata Buntu, S.Mata Tabarano,
S.Mpu'u Wesu, S.Mosilu, S. Sule, dengan Bukit
Tinambo, batas Konda- Kondara.

b. Kemokolean Lewehuko
Inie mpu'uno : Lapoko
Batas Andomo : Sungai Sule
Sungai-sungainya : S. Sora, S. Apundi, S. Inie, S.Balaba
Membayar upeti 10 % ke Weula Pusat

c. Kemokolean Tulambatu
Inie mpu'uno : IU - IU
Batas Lewehuko : Sungai Lewehuko
Sungai-sungainya : S. Wua Remo, S.Rowa, S.Lolowi, S.Raa-Raa,
S.Haluntinako
Batas Kuasi : S. Mpewasu'a.
Tidak menyetor upeti

d. Kemokolean Kuasi
Inie mpu'uno : Bakara
Batas Tulambatu : Sungai Mpewasu'a
Sungai-Sungainya : S. Noei, S. Ngkonduwe, Laa Momapu dan
D.Towuti.
Suatu waktu, rakyat Kuasi membakar lahan pertanian secara bersama-
sama mengakibatkan udara menjadi kotor karena abu dan arang
pembakaran, meliputi hamparan dari atas Bakara sampai dengan
wilayah Andomo.

Pada saat itu Mokole Andomo sementara makan dalam suatu


pesta syukuran menjadi terganggu, karena makanan tercemar dengan
abu dan kotoran asap dan makanan menjadi rusak. Keadaan ini
menjadikan Mokole Andomo marah kepada Mokole Kuasi. Mokole Kuasi

119
tidak terima baik kemarahan Mokole Andomo. Maka hubungan kedua
Mokole ini tegang yang akhimya berujung menjadi perang total.
Berdasarkan kesetiakawanan, maka Mokole Lewehuko membantu
Mokole Andomo. Sedangkan Mokole Tulambatu membantu Mokole
Kuasi. Dengan keberpihakan kedua Mokole ini, maka terjadi perang total
yang semakin lebih ganas, diantara ke empat kemokolean kecil Weula itu
saling menghancurkan dan saling membunuh.
Memperhatikan keadaan perang ini, maka Mokole / Tadulako
Saliwu, menyarankan agar mereka berdamai. Tetapi tidak dihiraukan,
malah mereka membalas dengan kata-kata yang menjengkelkan dan
menyinggung perasaan suku Padoe. Berdasarkan hal tersebut
Mokole/Tadulako Saliwu memimpin perang menyerang dan
menghancurkan keempat kemokolean kecil Weula yang terdiri dari
Andomo, Lewehuko, Tulambatu dan Kuasi. Saliwu dan
pasukannya.menyerang dengan sistem sapu rata, sehingga banyak sekali
yang korban dan sebagian melarikan diri ke Lere'ea, dan ada Mokole
yang ditawan dan mereka minta dikirim ke Ternate.
Dengan kemenangan ini, maka seluruh daerah hamparan sampai
dengan separuh Danau Towuti menjadi daerah kekuasaan orang Padoe.
Kemudian Para sebagai Pemerintah yang berkedudukan di Wawondula
mengadakan pembenahan wilayah, dengan membagi wilayah kekuasaan
menjadi:
1. Wilayah Pekaloa/Tompatete (Matompi sekarang), sebagai pos depan
Bagian Timur, dipimpin Mbomua.
2. Wilayah Apundi (Wawondula), menjadi Pusat Pemerintahan, dipimpin
oleh Para sendiri, sebagai Mia Mohola.
3. Wilayah Palawa Tua, adalah Lioka sekarang.
4. Wilayah Halu Morini, adalah Tabarano - Umodo sekarang. Untuk
mengatur Pemerintahan di Umodo , Saliwu melantik Kalende sebagai
Mohola, memerintah di Umodo dan Bangkano Kalende.

120
Setelah kesemuanya seiesai diatur, Mokole/Tadulako Saliwu
meninggal dunia, maka jabatannya diteruskan oleh Nike anaknya.
Demikian pula Pongkiari Lagampi meninggal, maka jabatannya diteruskan
oleh Taluari anaknya. Saliwu dan Lagampi dikuburkan di Gua Andomo di
kaki gunung Molindowe.

7. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG EPE


Menurut Seketi Samuda51, Panglima Perang Nike bersama
Pongkiarinya Taluari mengatur kehidupan masyarakat suku Padoe di
daerah Wawondula dan sekitarnya. Tiba-tiba datang utusan dari Mokole
Ro'uta Lere'ea untuk menyampaikan permintaan bantuan kepada suku
Padoe untuk membantu mereka berperang melawan Mokole Epe dan
pasukannya. Perang ini terjadi karena orang Epe yang berasal dari
Bungku dan Tolaki, telah merampas tanah pertanian kepunyaan orang
Ro'uta Lere'ea yang paling subur. Panglima Perang Nike bersama
Pongkiarinya Taluari mengadakan pertemuan dengan Pasukan orang
Padoe, dan memutuskan untuk menerima permintaan bantuan, tetapi
dengan syarat tidak bergabung dengan pasukan Ro'uta Lere'ea, hanya
minta satu orang mata jalan.
Sebelum peperangan dilaksanakan, Mokole Ro'uta Lere'ea berjanji, kalau
Epe bisa dikalahkan dan tanah yang dirampas Epe,bisa dikembalikan
Epe, maka akan menyerahkan sebagian tanah milik Mokole Ro'uta
Lere'ea kepada suku Padoe, yang terletak di sebelah Timur dan Timur
Laut Danau Towuti, mulai dari pertengahan Danau Towuti sampai ke
puncak Gunung perbatasan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Selatan
dan perbatasan Sulawesi Tenggara dengan Sulawesi Selatan.
Sesudah itu Panglima Perang Nike mengatur pasukannya
berangkat menuju sasaran. di suatu tempat strategis mereka membuat
markas sementara.
Pada malam pertama sementara tidur, datanglah seorang nenek
memberikan suatu benda keramat kepada Panglima Perang Nike dan

51
Seketi Samuda, Asal Usul Suku Mori Padoe, 2007, h, 8-9

121
mengatakan kepada Panglima Perang Nike, supaya pergilah ke medan
perang dan bawa benda keramat itu. Lalu Panglima Perang Nike
membangunkan temannya Pongkiari Taluari dan Mbala adiknya serta
seorang mata jalan. Mereka berangkat menuju sasaran, melewati pos
penjagaan, yang penjaganya semua tertidur lelap, sehingga tidak ada
kegaduhan. Mereka langsung menuju ke suatu tempat yang sementara
ramai-ramai, karena orang sementara dalam pesta Pewoli'ea yaitu pesta
mengiring arwah nenek moyang menuju ke Wawonango I Nirwana
menurut adat agama suku. Pesta itu dipusatkan pada suatu bangunan
besar berlantai dua. Lantai bawah tempat kegiatan masak dan makan,
sedangkan lantai atas tempat bangsawan - bangsawan dan orang- orang
terhormat seperti tua - tua suku menyaksikan dan mendengarkan
pemukulan gong yang memilukan kedengarannya. Dari lantai bawah ada
tiga tangga untuk naik ke lantai atas. Panglima Perang Nike memberikan
instruksi rahasia kepada temannya, bahwa Panglima Perang Nike naik ke
lantai atas dan bilamana dia mulai beraksi, mereka masing-masing
menjaga satu tangga, dan langsung mencincang setiap orang yang lari
turun. Maka naiklah Panglima Perang Nike ke lantai atas langsung
meminta mengganti pemukul gong yang paling besar. Setelah Panglima
Perang Nike mulai memukulnya dan sangat memilukan sehingga suasana
tenang sekali dalam ruangan itu. Kesempatan itu digunakan Panglima
Perang Nike memadamkan lampu damar yang besar dan terang sekali di
tengah, sehingga seluruh ruangan itu menjadi gelap, kemudian Panglima
Perang Nike mulai memarangi semua orang yang ada di dalam ruangan.
Kegaduhan dan keributan terjadi, orang berebutan menuruni tangga,
sedangkan penjaga tangga menjemput mereka dengan cincangan.
Beberapa saat kemudian suasana sunyi sekali di tempat itu. Panglima
Perang Nike turun menanyakan keselamatan teman-temannya dan
semua selamat. Mereka segera kembali membawa satu orang anak laki-
laki namanya Damera. Mereka pulang ke markas mereka, di mana
teman-teman mereka sudah menyediakan makanan.

122
Sesudah mereka makan, mereka bersiap berangkat menyerang
Epe. Mereka tiba di ujung jalan masuk kampung, telah berdiri disitu
Mokole Epe, mengangkat tangan berarti ia sudah menyerah, serta alat-
alat perang seperti tombak ditancapkan ke tanah. ponai dan kanta
diletakkan terbalik di tanah, tanda tidak melawan serta berkata \silakan
masuk dan ambil apa saja yang mau diambil, tetapi janganlah bunuh kami
lagi karena sudah cukup banyak tadi malam yang korban. Jalan-jalan di
dalam kampung itu sudah dibabari dengan kain putih, di sisi jaian sudah
disediakan kelapa muda siap diminum airnya dan makanan-makanan lain,
penyampaian Mokole ini diterima Panglima Perang Nike bersama
pasukannya, mereka masuk ke dalam kampung Epe menjarah alat-alat
perhiasan dari tembaga seperti gong, belanga kuningan, sempedawa dan
alat-alat perhiasan lain dari kuningan. sebelum mereka kembali, Panglima
Perang Nike menyampaikan kepada Mokole Epe, bahwa tanah rakyat
Ro'uta Lere'ea yang dirampas Epe harus dikembalikan kepada Routa
Lere'ea, dan jangan mengganggu Ro'uta Lere'ea.
Setelah itu pasukan suku Padoe pimpinan Panglima Perang Nike
kembali langsung ke Wawondula. Kemudian diadakan pembicaraan
dengan Mokole Ro'uta Lere'ea mengenai kemenangan perang suku
Padoe melawan orang Epe. Hasilnya semua tanah milik Mokole Ro'uta
Lere'ea, yang dirampas Epe dikembalikan oleh Epe, dan berjanji tidak
akan mengganggu Ro'uta Lere'ea lagi. Mokole Ro'uta Lere'ea memenuhi
janjinya dan menyerahkan sebagian daerahnya termasuk Danau Towuti
menjadi kekuasaan Suku Padoe dan batas wilayah dipindahkan ke
puncak gunung dengan ketentuan bila hujan, air mengalir dari puncak ke
arah dataran Nuha menunjukkan daerah wilayah suku Padoe. Pada
tahun 1906,Belanda masuk tanah Nuha dan demi kepentingan wilayah,
Belanda mengukur luas daerah Tana Nuha dari puncak Gunung
kelilingnya, 2936 km dan semua batas di puncak gunung dibuat patok
dari beton.

123
Setelah kemenangan peperangan suku Padoe melawan orang
Epe, pihak Mokole Ro'uta Lere'ea menyerahkan sebagian tanahnya
kepada suku Padoe dan menjadi hak milik suku Padoe dan semua nama
tanjung, gunung, bukit, lereng, dataran, rawa, mata air, sungai, danau,
pulau, teluk, dll, diubah namanya dari bahasa Ro'uta, menjadi bahasa
Padoe, sebagai bukti bahwa tanah di daerah tersebut telah dikuasai oleh
suku Padoe.

8. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG MORI DI DOLUPO


Menurut Masi Langguna52, menyatakan bahwa terjadi peperangan
antara orang Mori dengan suku Padoe, di Dolupo Sulawesi Tengah pada
abad XVIII. Perang itu terjadi Karena orang Mori dan Raja Mori tidak
senang, curiga dan marah kepada suku Padoe dan menuduh sebagai
penyebab sehingga terjadi perpindahan orang Karunsi'e dan orang
Tambee, dari Tana Mori Sulawesi Tengah ke daerah Rahampu'u Matano
Tana Nuha Sulawesi Selatan. Oleh karena peristiwa tersebut
menyebabkan ketegangan antara orang Mori dengan suku Padoe
akibatnya peperangan tidak dapat dihindarkan, maka terjadilah
peperangan antara suku Padoe dengan orang Mori di Dolupo. Dalam
peperangan tersebut Suku Padoe dibantu oleh orang Rongkong dari
Balambano. Akhirnya peperangan dimenangkan oleh Suku Padoe.
Sejarah mencatat bahwa Suku Karunsi'e dan Suku Tambee
migran dari Tana Mori Sulawesi Tengah ke Matano Tana Nuha Sulawesi
Selatan pada abad XVIII. Sedangkan Suku Padoe migran dari daerah
Segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi Mewuni Sulawesi Selatan ke
Tana Nuba Sulawesi Selatan pada abad XVI

9. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG RO'UTA DI DANAU


TOWUTI
Menurut Sipantu Larobu53 telah terjadi peperangan antara suku

52
Masi Langguna, Sejarah Suku Mori Padoe, tahun 2007,h.11-12
53
Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982 h 8-9

124
Padoe, melawan orang Ro'uta pada abad XVIII di tengah Danau Towuti.
Panglima Perang orang Ro'uta, yang tinggal di Lengko Mesombori pulau
Lo'eha, bernama Lawuruane, memimpin perang melawan suku Padoe.
Lawuruane orangnya tinggi besar, berani dan mempunyai pedang yang
panjangnya tujuh meter. Peperangan terjadi antar dua puluh perahu Suku
Padoe melawan perahu orang Ro'uta. Karena perahu suku Padoe
banyak, maka perahu Lawuruane, dikepung dan diumpan ke tengah
Danau Towuti yang dalam. Air Danau Towuti yang dalam berombak besar
pada saat itu, mengakibatkan perahu Lawuruane terbalik, sehingga ia
jatuh ke Danau Towuti. Kesempatan itu digunakan suku Padoe memotong
leher Lawuruane Panglima Perang Ro'uta, orang Ro'uta kalah.
Sejak kekalahan orang Rou'ta tersebut, pulau Lo'eha dikuasai Suku
Padoe. Begitupun semua daerah dan kampung orang Ro'uta yang berada
disebelah Timur Danau Towuti sampai di perbatasan Sulawesi Tengah
dengan Sulawesi Selatan dan perbatasan Sulawesi Tenggara dengan
Sulawesi Seiatan dikuasai suku Padoe. Orang Ro'uta lainnya melarikan
diri ke Sulawesi Tenggara.

125
BAB VI
ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA

1. HUKUM ADAT PADOE


Suku Padoe, memiliki Falsafah adat, yaitu nilai, norma atau kaidah
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Adat sejak dahulu kala
yang dijunjung tinggi sebagai aturan dan petunjuk yang mengandung inti:
a. Etika adalah aturan dan petunjuk tentang nilai dan perilaku.
b. Moral adalah aturan dan petunjuk tentang pola hidup dan pola tindak
yang baik (budi pekerti yang baik).
c. Etiket adalah aturan dan petunjuk tentang sopan santun dan akhlak
dalam pergaulan.
d. Adab adalah aturan dan petunjuk tentang tatakrama kesopanan dan
akhlak yang baik.
e. Jati diri adalah aturan dan petunjuk tentang identitas dan kpribadian.
f. Harga diri adalah aturan dan petunjuk tentang martabat dan
kehormatan.
Falsafh Adat adalah pandangan hidup (ponggito'a tuwua) atau way of
life yang menjadi panutan, aturan dan petunjuk dalam pola pikir, pola
sikap dan pola tindak masyarakat Adat.

2. ADAT ISTIADAT PADOE


Adat istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah dan
keyakinan sosial yang bertumbuh dan berkembang bersamaan dengan
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan atau satuan
masyarakat lainnya, serta nilai atau norma lain yang masih dihayati dan
dipelihara masyarakat adat sebagaimana terwujud dalam berbagai pola
kelakuan yang merupakan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan
masyarakat Adat. Adat istiadat Masyarakat Hukum Adat Padoe, adalah
nilai, norma atau kaidah yang tumbuh dan berkembang sejak dahulu kala
yang dijunjung tinggi karena mengandung etika, moral, adab, etiket, jati
diri dan harga diri sebagai perwujudan peranan Hukum Adat yang sangat

126
luas dalam pelestarian dan pengembangan Adat istiadat Masyarakat
Hukum Adat Padoe, maka lebih lanjut pada perkembangannya memiliki
Hukum Adat Padoe, sebagai dasar dan petunjuk dalam pola pikir, pola
sikap dan pola tindak sehari - hari.
Hukum Adat Padoe ini, memuat aturan dan petunjuk tentang
Peminangan Adat Padoe, Perkawinan Adat Padoe, dan penyelesaian
masalah dalam masyarakat Adat Padoe, seperti Pelanggaran suami istri,
pelanggaran karena kesalahan, pelanggaran karena tindakan, pemberian
sanksi denda, hubungan orang muda dengan orang tua, hubungan suami
istri, hubungan sesama manusia. tatakrama, sopan santun, larangan,
etika, etiket, moral, adab, jati diri, harga diri, dan budaya (kebiasaan-
kebiasaan masyarakat).

3. FUNGSI HUKUM ADAT DALAM PEMBANGUNAN HUKUM


Dalam masyarakat Hukum Adat, kita mengenal beberapa fungsi pokok
Hukum Adat dalam pembangunan Hukum, yaitu:
a. Hukum Adat atau hukum tidak tertulis, berfungsi sebagai pola untuk
mengorganisasikan serta memperlancar proses interaksi dalam
masyarakat,
b. Hukum Adat tetap berfungsi secara efektif dalam mengatur kehidupan
masyarakat, walaupun Hukum tertulis dalam perkembangannya telah
mengatur bagian terbesar dalam aspek kehidupan masyarakat.
c. Hukum Adat memegang peranan merumuskan keteraturan perilaku,
dengan segala akibat-akibatnya,
d. Hukum Adat memberikan solusi dalam pola penyelesaian sengketa
yang kadang-kadang bersifat simbolis.

4. PEMINANGAN ADAT PADOE


a. Peminangan Adat Padoe adalah kegiatan yang mengupayakan
terjadinya hubungan perjodohan antara seorang laki - laki dengan
seorang perempuan,
b. Peminangan Adat Padoe dilaksanakan apabila ada persetujuan

127
antara seorang laki - laki dan seorang perempuan. Juga harus ada
persetujuan antara anak laki- laki dan anak perempuan dengan
orang tua kedua belah pihak,
c. Sebelum peminangan Adat Padoe dilaksanakan, orang tua laki -
laki mengunjungi orang tua perempuan untuk membicarakan
rencana pelaksanaan Peminangan Adat Padoe, dan persiapan
lainnya yang harus diketahui bersama.
d. Cara peminangan Adat Padoe
Orang tua dan keluarga laki-laki berkunjung ke orang tua dan
keluarga perempuan membawa/menaikkan/menyerahkan materi
peminangan Adat Padoe (posoro pesikeno) dengan memakai
tatacara peminangan Adat Padoe yang telah baku,
e. Materi peminangan Adat Padoe
Materi peminangan Adat Padoe, terdiri dari buah pinang, daun
sirih, kapur sirih, tembakau/rokok yang diletakkan dalam suatu
bingka (taru-taru). Selain itu kalung emas, cincin emas, anting-
anting emas dan gelang emas yang diletakkan dalam suatu salapa.
Kemudian pisau dapur, yang diletakkan di luar/di samping salapa,
Kesemuanya diletakkan di dalam sempedawa dan dibungkus
dengan kain putih, disiapkan terlebih dahulu dan dibawa keluarga
laki-laki pada waktu pelaksanaan peminangan Adat. Sedangkan
arti materi peminangan Adat dan sanksi sesudah peminangan
Adat, akan dijelaskan pada waktu pelaksanaan peminangan Adat.
f. Pelaksanaan Peminangan Adat Padoe.
Pada saat pelaksanaan peminangan Adat Padoe, laki-laki dan
perempuan harus hadir karena ada acara pemasangan cincin dan
kalung dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Setelah
selesai peminangan Adat Padoe ditanda tangani Berita Acara
Serah Terima Materi Peminangan Adat Padoe.

128
5. PERKAWINAN ADAT PADOE
a. Tujuan perkawinan.
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha esa.
b. Perkawinan dapat dilakukan dengan syarat berdasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai.
c. Suami istri memikul kewajiban luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
d. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat.
e. Perkawinan Adat Padoe ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri. Dan menurut
Hukum Adat Padoe tentang perkawinan, maka sebagai masyarakat
Adat, dilakukan Perkawinan Adat Padoe sesuai dengan Hukum
Adat Padoe dengan maksud memperkokoh dan melengkapi
Perkawinan melalui Pencatatan Sipil, Gereja maupun KUA.

f. Materi perkawinan Adat Padoe


Dalam pelaksanaan perkawinan Adat Padoe disiapkan materi
perkawinan Adat Padoe (mas kawin) atau Pentoroano Gau
Pesombori'a yang terdiri dari:
* Satu ikat mas kawin berisi satu potong kain rok, satu potong
kain baju, satu lembar handuk dan satu lembar kain sarung
untuk Ibu (tia ine).
* Satu ikat mas kawin berisi satu potong kain celana, satu potog
kain baju, satu lembar handuk, satu lembar kain sarung untuk
ayah (tia uma)
* Satu ikat mas kawin berisi satu potong kain rok, satu potong

129
kain baju, satu lembar handuk, satu lembar kain sarung untuk
istri (tia sombori)
* Kesemuanya dibungkus menjadi satu dengan kain putih.
* Arti materi perkawinan Adat Padoe dan sanksi, akan dijelaskan
pada saat pelaksanaan perkawinan Adat Padoe.

g. Pelaksanaan perkawinan Adat Padoe


Penyerahan bungkusan mas kawin atau materi perkawinan Adat
dari Ibu laki-laki kepada pelaksana Adat Padoe.
Pelaksana Adat Padoe membuka bungkusan mas kawin lalu
menghitung dan member! penjelasan dan tuntunan. Dan
selanjutnya acara dipimpin langsung oteh Pelaksana Adat
Padoesampai selesai. Dalam pelaksanaan perkawinan Adat Padoe
ditandatangani Surat Kawin Adat Padoe

6. PELANGGARAN HUKUM ADAT PADOE.


a. Pelanggaran karena perzinaan.
Apabila seorang laki-laki atau perempuan yang belum kawin
berzina dengan seorang istri atau suami orang lain, suaminya atau
istrinya keberatan dan menjadikan perkara, tetapi dalam
penyelesaian perkara, masih bersedia menerima kembali istrinya
atau suaminya (tidak cerai), maka laki-laki atau perempuan yang
berzina dikenakan sanksi denda dua ekor kerbau/sapi. Kalau
terjadi perceraian, maka dikenakan sanksi denda, sekurang-
kurangnya tiga ekor kerbau/sapi dan setinggi-tingginya lima ekor
kerbau/sapi.
b. Pelanggaran karena penghamilan
Apabila seorang laki-laki yang belum kawin menghamili seorang
perempuan yang belum kawin dan tidak mau mengawininya, maka
dikenakan sanksi denda setinggi-tingginya tiga ekor kerbau/sapi,
sekurang-kurangnya dua ekor kerbau/sapi.
c. Pelanggaran karena merusak nama baik masyarakat / kampung.

130
Apabila seorang laki-laki belum kawin tapi sudah kawin kumpul
kerbau (suami istri yang tidak resmi), dengan seseorang
perempuan yang belum kawin, atau sebaliknya (perempuan belum
hamil), maka harus segera dikawinkan, namun kalau tidak mau,
maka laki-laki atau perempuan yang tidak mau dikawinkan, akan
dikenakan denda dua ekor kerbau/sapi. Tetapi kalau perempuan
sudah hamil, maka ditambah sanksi denda satu ekor kerbau/sapi
berbulu kain yang ditanggung oleh laki-laki dan perempuan yang
mau kawin, karena sama-sama sudah melakukan pelanggaran,
sehingga perempuan menjadi hamil. Apabila suami istri yang masih
terikat dalam perkawinan, mereka mau cerai, karena ada
pelanggaran yang dilakukan suami atau istri, maka yang melanggar
akan dikenakan sanksi denda menurut berat ringannya
pelanggaran yang diputuskan oleh Dewan Adat. Apabila seorang
perempuan dan seorang laki-laki telah melakukan hubungan
sebagai suami istri, tetapi belum kawin secara resmi, sehingga
perempuan hamil, tetapi mereka sama-sama tidak mau kawin
secara resmi, maka laki-laki dan perempuan dikenakan sanksi
denda, satu ekor kerbau/sapi hidup yang ditanggung bersama, dan
satu ekor kerbau / sapi berbulu kain. Apabila seorang laki-laki
membawa lari seorang perempuan, padahal mereka belum kawin
resmi di hadapan orang tua dan keluarga kedua belah pihak dan di
hadapan Dewan Adat, biarpun kemudian mereka kawin, tapi
mereka sudah melakukan pelanggaran berat. Untuk itu laki-laki
dikenakan sanksi denda tiga ekor kerbau/sapi.
d. Pelanggaran karena perselingkuhan.
Apabila seorang suami/istri masih terikat dalam perkawinan
berselingkuh dengan istri/suami yang masih terikat dalam
perkawinan dan apabila suami/istri berkeberatan dan menjadikan
perkara, tetapi suami/istri yang berselingkuh masih mau diterima
kembali oleh suami/istri masing-masing, maka yang berselingkuh

131
dikenakan sanksi denda tiga ekor kerbau/sapi yang ditanggung
oleh yang berselingkuh.
Apabila suami dan istri yang berselingkuh, tidak mau lagi diterima
oleh suami dan istri masing-masing (cerai), maka yang
berselingkuh dikenakan sanksi denda berat, lima ekor kerbau/sapi
yang ditanggung oleh yang berselingkuh.
e. Pelanggaran karena pencurian.
Apabila salah seorang suami/istri mencuri dan yang tidak mencuri
mengadukan untuk minta cerai, namun yang mencuri bersedia
didenda asalkan tetap sebagai suami istri, artinya mereka
berdamai, maka yang mencuri akan dikenakan sanksi denda
berupa satu lembar kain sarung sebagai penutup malu, dan barang
curian dikembalikan atau diganti kalau sudah dipakai. Apabila
salah seorang suami/istri mencuri dan yang tidak mencuri
mengadukan untuk minta cerai, dan tetap tidak mau damai berarti
tetap minta cerai, maka yang mencuri akan dikenakan sanksi
denda berupa satu ekor kerbau/sapi berbulu kain yang nilainya
sama dengan empat potong kain, masing-masing dua meter dan
satu lembar kain sarung serta tinggalkan rumah tanpa membawa
apa-apa.
f. Pelanggaran karena merusak hewan dan tanaman.
Apabila seseorang menciderai/membunuh/mencuri hewan orang
lain, maka orang tersebut dikenakan sanksi denda dengan
mengganti atau membayar hewan yang diciderai, dibunuh, dicuri
kepada pemilik hewan.
Apabila ada hewan seseorang merusak/memakan tanaman orang
lain, maka pemilik hewan tersebut dikenakan sanksi denda dengan
mengganti atau membayar tanaman yang dirusak/dimakan kepada
pemilik tanaman.
Apabila seseorang merusak tanaman orang lain, maka orang
tersebut dikenakan sanksi denda dengan mengganti atau

132
membayar tanaman yang dirusak kepada pemilik tanaman.

7. BUDAYA PADOE
Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi atau akal. Jadi budaya
adalah daya dari budi berupa karya, cipta dan rasa.
Kebudayaan berasal dari kata budaya (budhayah). Jadi
kebudayaan adalah hasil dari karya, cipta dan rasa manusia yang hidup
bersama.
Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan
kebendaan, yang diperlukan dan digunakan manusia untuk menguasai
alam sekitarnya.
Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir
manusia menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Rasa meliputi jiwa manusia mewujudkan kaidah dan nilai - nilai
kemasyarakatan yang diperlukan untuk mengatur manusia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang / masyarakat dan diwariskan dari
generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang bersifat kompleks/ rumit
berupa segala kegiatan manusia mencakup mengolah dan menguasai
alam, akal budi, pikiran, agama / kepercayaan, politik, adat istiadat,
bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, karya seni, pengetahuan, moral,
hukum, hasil karya, rasa dan cipta masyarakat, olah raga, makanan,
tabiat, akhlak, watak, daya upaya, kebaikan dan kemampuan -
kemampuan lainnya.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh, kompleks, abstrak,
luas, bertujuan membantu manusia untuk menimbang mana yang baik
dan yang buruk dan membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.

8. TUJUAN MEMPELAJARI BUDAYA.


Kita perlu mempelajari budaya, agar kita mengenal perilaku dan

133
keragaman budaya, dengan pengertian dan pemahaman yang
mendalam, tentang apa yang sudah dimiliki, dipakai dan diterapkan sejak
dahulu kala oleh nenek moyang atau para leluhur.
Dengan maksud untuk melestarikan, memberdayakan, dan
mengembangkan budaya yang ada, sehingga budaya yang telah ada,
tetap dipertahankan, dan dipelihara disesuaikan dengan perkembangan
zaman.

9. MANFAAT MEMPELAJARI BUDAYA


1. Untuk mengetahui dampak akulturasi, adalah suatu proses yang
timbul manakala suatu kelompok manusia, dengan kebudayaan
tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.
Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur
kebudayaan kelompok itu sendiri.
2. Untuk mengetahui dampak modernisasi, adalah perubahan-
perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan tradisional atau
dari masyarakat pra modern, menuju masyarakat modern, dengan
kemajuan yang rasional dan tinggi nilai peradabannya.
3. Untuk mengetahui dampak multiculturalisme, adalah pandangan
manusia tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan
kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap
adanya keragaman dan berbagai macam budaya, dalam kehidupan
masyarakat menyangkut nilai - nilai, sistem, budaya, kebiasaan dan
politik.

10. RUMAH TRADISIONAL PADOE


Rumah tradisional Padoe, adalah rumah yang dipakai oleh nenek
moyang orang Padoe, dahulu kala. Memiliki bentuk, ukuran, motif khas
yang konstruksinya sangat erat hubungannya dengan zaman dan lokasi
pada waktu dibangun.
Rumah tradisional Padoe, memiliki ciri khas, yaitu memiliki ruang

134
bawah kolong (totodolo), serambi bawah depan (topoka), serambi atas
depan ( ulua ), ruang tamu ( ulu kombia), ruang keluarga (kombia), ruang
dapur (ponahua, awu, tonga), tingkap (tinungga), pintu (ono), jendela
(pemoa), tangga (ise), kayu batas antara ulu kombia dengan kombia
(tudua), lantai (horo), dinding (rere), tempat barang di bagian atas dinding
(sambi), loteng (tonete), atap (ato), bubungan (wuwunge), batu / beton
dudukan (umpak), serta listplank.
Rumah tradisional yang berada di kebun, sawah bentuk dan
konstruksinya sangat sederhana. Tiang dan tangganya dari kayu bulat,
Lantainya dari bahan bambu dan batang pinang, dinding dan atapnya dari
daun rumbia atau bahan bambu, mempunyai pintu, jendela, tingkap, dan
ukurannya relatif lebih kecil. Tinggi tiang rumah antara dua meter sampai
dengan tiga meter, jarak antara lantai dengan plafon antara dua setengah
meter sampai dengan tiga meter, dan jarak antar tiang antara tiga meter
sampai dengan tiga setengah meter. Panjang dan lebar bangunan
tergantung kebutuhan dan situasi.
Rumah tradisional Padoe, yang berada di kampung, bentuk dan
konstruksinya lebih baik dari pada yang di kebun atau di sawah, halus dan
kuat. Tiang dan tangganya dari kayu balok dan papan tebal. Lantainya
dan dindingnya dari papan. Atapnya dari daun rumbia tua yang dijahit,
ditata / disusun secara rapat, sehingga tebal dan tahan lama, tidak rusak
bertahun-tahun lamanya. Tetapi sebahagian lagi masyarakat mulai
memakai atap seng (Rumah Mokole). Mempunyai pintu dan jendela dari
papan yang tebal dan kuat. Bentuk konstruksinya ukurannya lebih besar
dan kuat dibandingkan dengan rumah tradisional Padoe yang ada di
kebun/sawah.

11. RUMAH ADAT PADOE


Rumah Adat Padoe, bentuknya rumah panggung, tiangnya tinggi
tiga meter dari tanah/lantai dasar ke lantai dua.
Asal mulanya pada zaman dahulu, kuda berada di bawah kolong

135
rumah dan kalau pemilik kuda mau naik kuda untuk bepergian atau mau
berperang, maka ia naik kuda langsung dari bawah kolong rumah.
Begitupun kalau pemilik kuda pulang dari bepergian atau berperang,
maka ia turun langsung di bawah kolong rumah. Supaya kepala tidak
kena lantai, maka tiang rumah harus memiliki tinggi tiga meter. Selain itu
pula untuk kepentingan keamanan para pemangku Adat/pemilik rumah
pada saat itu, sehingga terhindar dari gangguan musuh.
Bagian-bagian serta bentuk Rumah Adat Padoe, mempunyai nilai
filosofi, makna dan simbol yang menggambarkan ciri khas Adat, budaya,
seni dan peradaban masyarakat Adat Padoe.
Rumah Adat Padoe dibangun berdasarkan arsitek yang
mengandung filosofi angka sebagai berikut:
Tinggi tiang, tiga meter dari lantai dasar sampai lantai dua mengandung
filosofi bahwa angka tiga melambangkan jiwa dan surga, melambangkan
sifat venus, cinta, artistik, pengertian dan sebagai alat pemersatu,
perlindungan, ketenangan, keamanan dan keselamatan.
Tinggi bangunan dari lantai dua sampai plafon, empat meter
mengandung filosofi bahwa angka empat melambangkan bumi dan
tubuh, melambangkan sifat bumi, sabar, telaten, kreatif dan cekatan.
Tinggi bangunan dari lantai dasar sampai plafon, tujuh meter,
mengandung filosofi bahwa angka tujuh melambangkan angka
kesempurnaan dari maha sempurna, keamanan dan keselamatan,
penopang, sebagai simbol alam rohani dan spiritualitas, angka yang
memperlihatkan dimensi metafisika, angka kepenuhan, angka syukur dan
tiang syukur serta sebagai simbol yang menyatakan langit dan bumi.
Mempunyai banyak tiang yang tingginya tiga meter dari lantai
dasar/tanah ke lantai dua bangunan dengan ukuran tiang, lebar 25 x 25
cm, 20 x 20 cm, 18 x 18 cm (bisa dipilih) dan jumlahnya disesuaikan
dengan panjang dan lebar bangunan.
Kalau panjang tiang masih ada kayu yang panjangnya 7 meter
dapat dibuat tiang langsung dari lantai dasar sampai ke plafon yang

136
tingginya, tujuh meter, Mengandung makna bahwa Rumah Adat berdiri
dengan kokoh karena didukung tiang yang banyak. Mengandung filosofi,
bahwa kita kuat kalau didukung orang banyak.
Bangunan terdiri dari tangga, serambi bawah depan (topoka), yang
tingginya satu setengah meter dari lantai dasar, bangunan serambi atas
depan (ulua), bangunan tengah dan bangunan belakang.
Ukuran bangunan Rumah Adat Padoe (panjang x lebar),
disesuaikan dengan keadaan dan luas tanah serta biaya yang tersedia.
Ukuran bangunan dapat dipilih 15mx6m; 15mx7m; 17,5mx7m; 18mx9m;
21mx9m, 21mx12m
Jumlah tiangnya tergantung pada panjang dan lebar bangunan
dengan jarak antar tiang 3 m x 3 m atau 3,5 m x 3,5 m (bisa dipilih). Tiang
rumah memakai alas/dudukan (umpak) dari beton dengan tinggi 20 cm
atau 30 cm (bisa dipilih)sesuai dengan kebutuhan.
Mempunyai tangga naik ke serambi bawah depan (topoka) dan ke
serambi atas depan (ulua) dan naik ke bagian belakang bangunan (untuk
bangunan yang panjangnya di atas dua puluh meter).
Mempunyai serambi bawah depan (topoka) yang tingginya satu
setengah meter dari dasar dan serambi atas depan (ulua) yang tingginya
satu setengah meter dari serambi bawah depan (topoka). Mulanya tujuan
serambi bawah depan (topoka), sebagai tempat lesung untuk menumbuk
padi dan menampi beras.
Filosopinya menyatakan bahwa untuk naik ke Rumah Adat harus
melalui proses, penyaringan dan pengawasan kemudian naik ke lantai
dua Rumah Adat, mengikuti tangga serta bertahap, dan berurutan, harus
meminta izin sebelumnya dan menghormati tatakrama yang ada pada
Rumah Adat.
Mempunyai serambi atas depan (ulua) untuk tempat menerima
tamu dan meminta izin sebelum masuk ke dalam Rumah Adat.
Filosopinya menyatakan bahwa harus meminta izin sebelum masuk
ke dalam Rumah Adat sesuai dengan tatakrama yang ada.

137
Mempunyai pintu yang lebar dan tinggi di depan dan di belakang
(untuk bangunan yang panjangnya di atas dua puluh meter),
melambangkan hati yang lapang, terbuka dan memiliki harga diri.
Mempunyai jendela yang lebar dan tinggi, di dinding sebelah kiri
kanan, depan dan belakang , melambangkan hati yang lapang, terbuka
dan memiliki harga diri.
Mempunyai tingkap, di sebelah kiri dan kanan atap, yang berfungsi
sebagai lubang penerangan, ventilasi udara dan tempat menikmati
panorama/pemandangan dari tempat ketinggian. Juga digunakan untuk
tempat memantau, mengintip, mengawasi apa yang terjadi disekitarnya.
Filosopinya, tingkap merupakan lambang pengayoman, perhatian,
perlindungan dan pengawasan serta pemantauan. Mempunyai atap, di
mana punggung/bubungan rumah berbentuk pelana. Atap berfungsi untuk
mengayomi dan melindungi orang atau barang yang ada di dalamnya/
dibawahnya.
Filosofinya adalah sebagai pengayoman dan perlindungan. Atap
bubungan mempunyai listplank berbentuk tanduk kerbau. Di mana kerbau
sering dipakai petani pada saat membajak. Filosopinya adalah sebagai
lambang kerja keras, tangguh dan suka menolong.
Pada zaman dahulu, atap dibuat dari daun rumbia, kemudian
menyusul atap sirap (atap dari kayu ulin), dan terakhir dari atap seng,
sesuai dengan perkembangan zaman.
Rumah Adat Padoe bagian depannya berbentuk payung yang
terbuka. Atap bagian atas dekat bubungan berbentuk segitiga kecil sama
kaki, sedangkan atap bagian bawahnya berbentuk trapesium. Tepi ujung
atap rumah induk bersambung langsung dengan tepi atap depan yang
berbentuk trapesium. Yang bentuknya seperti payung terbuka.

138
Rumah Adat Padoe

139
12. MANFAAT RUMAH ADAT PADOE.
Rumah Adat Padoe dimanfaatkan sebagai tempat acara dan atau
upacara Adat Padoe, tempat menerima tamu khusus, tempat peminangan
Adat Padoe, tempat perkawinan Adat Padoe, dan tempat penyelesaian
masalah pelanggaran Hukum Adat Padoe, tempat pertemuan khusus dan
musyawarah Adat Padoe.
Selain itu Rumah Adat Padoe dapat pula digunakan untuk kegiatan
sanggar seni dan budaya serta pagelaran Adat, budaya dan seni.
Disamping itu Rumah Adat Padoe, sebagai tempat memamerkan benda -
benda budaya (museum), peralatan dan perlengkapan Adat, budaya,
kesenian dan menjadi tujuan wisata .
Rumah Adat Padoe adalah lambang, simbol atau ikon peradaban
dan Adat budaya Masyarakat Hukum Adat Padoe.

13. PAKAIAN ADAT PADOE


Pakaian Adat Masyarakat Hukum Adat Padoe, dipakai pada saat
acara / upacara Adat, peminangan Adat, perkawinan Adat, acara-acara
resmi, acara kesenian, pagelaran budaya dan kesenian.
Pakaian Adat Mohola, Baju model jas tutup, warna merah maron,
pakai asesoris/renda mas/hiasan lain, celana hitam dan pakai pasapu.
Pakaian Adat Dewan Adat (pemangku Adat). Untuk laki - laki, baju
model jas tutup, warna hitam, pakai asesoris/renda mas/hiasan lain,
celana hitam, pakai pasapu. Untuk perempuan, baju model jas tutup,
warna hitam, pakai asesoris/renda mas/hiasan lain, pakai topi khusus.
Rok dari kain sarung warna kehitam-hitaman dan motif menyesuaikan.
Filosofi pakaian Adat Pemangku Adat (Dewan Adat):
1. Dua renda emas yang melingkari keliling leher, dada, perut, lengan
tangan menggambarkan pagar yang merupakan koridor yang
membatasi segala sesuatu. Yang memiliki filosofi yang menyatakan
bahwa segala tindakan dan perbuatan harus sesuai dengan Hukum
Adat Padoe.

140
2. Batu permata putih dan bambu ulir kuning yang menghubungkan
permata-permata tersebut, yang ada di dalam dua pagar,
menggambarkan orang -orang yang sedang bergandengan tangan
molaemba. Hal tersebut memiliki filosofi yang menyatakan
bahwa setiap pekerjaan/kegiatan dilakukan secara bersama-sama,
bersifat gotong royong, mengutamakan kebersamaan, persatuan dan
kesatuan.
3. Daun Matanggoa yang bergerigi enam yang ada di dada, perut dan
lengan tangan menggambarkan enam buah falsafah Adat, meliputi
moral, etika, adab, etiket, jati diri dan harga diri. Hal tersebut memiliki
filosofi yang menyatakan bahwa dalam setiap tindakan dan perbuatan
harus selalu memperhatikan Hukum Adat Padoe yang menjunjung
tinggi moral, etika, adab, etiket, jati diri dan harga diri.
4. Renda putih yang menghubungkan dua daun Matanggoa,
menggambarkan hubungan yang lurus, bersih antara dua daun
Matanggoa. Hal ini memiliki filosofi, yang menyatakan bahwa dalam
setiap tindakan dan perbuatan harus dilakukan dengan jujur, bersih
dan bijaksana.
5. Mengapa memakai daun Matanggoa, karena nama Matanggoa.ada
hubungannya dengan sejarah suku Padoe, sebagai tempat pertemuan
pertama suku Padoe untuk membicarakan rencana masa depan suku
Padoe sekitar abad ke enam belas. Daun Matanggoa sangat berguna
bagi manusia, sebagai alat pembungkus sayuran dan Iain-Iain biar
awet, dan sebagai tudung apabila hujan atau panas. Filosofinya
adalah sebagai alat pemersatu dan pelindung.

Pakaian Adat Pengantin, untuk laki- laki, baju model jas tutup,
warna putih/merah/kuning/hitam, pakai asesoris, renda mas hiasan lain
dan topi khusus. Celana panjang menyesuaikan, dengan warna
putih/merah/kuning/hitam. Untuk perempuan, baju model kebaya, warna
menyesuaikan, dengan pasangannya dan kain sarung, pakai asesoris,
renda mas dan hiasan lainnya dan topi khusus.
Pakaian Adat, untuk masyarakat umum suku Padoe, Laki - laki,

141
baju model jas, tanpa renda mas dan hiasan lainnya, Warna hitam,
celana hitam dan pakai topi khusus atau pasapu, Celana hitam. Untuk
perempuan, baju model jas, tanpa renda mas dan hiasan lainnya. Rok
warna kehitam - hitaman atau menyesuaikan, dengan topi khusus.
Pakaian Adat untuk kesenian Padoe, untuk laki-laki, baju model
biasa, tangan pendek atau tangan panjang, warna merah atau kuning,
atau warna lainnya sesuai kebutuhan dengan asesoris dan celana
pendek atau panjang warna merah, kuning atau hitam, pakai topi khusus.
Untuk perempuan, baju model kebaya, tangan pendek atau tangan
panjang, warna kuning, merah, putih, hitam atau warna lainnya sesuai
kebutuhan dan pakai asesoris. Pakai topi khusus.

Pakaian Adat Padoe

142
14. BENDA - BENDA BUDAYA.
Dari sekian banyak benda-benda budaya, ada beberapa benda
budaya yang sering digunakan antara lain:
Taru-taru (bingka), yaitu sejenis anyaman yang pada bagian atas
(mulutnya) bundar dan pada dasarnya persegi empat. Terbuat dari daun
pandan hutan. Gunanya sebagai tempat beras, sayur dan bahan - bahan
lainnya.
Salapa, yaitu sejenis peralatan rumah tangga berbentuk kotak
persegi panjang dan ada juga yang bulat, ada yang besar dan ada yang
kecil. Terbuat dari kuningan/tembaga dan perak. Digunakan untuk tempat
daun sirih, buah pinang yang sudah dibelah-betah, kapur sirih, dan tempat
materi peminangan (kalung emas, anting-anting emas, cincin emas, dan
gelang emas) pada waktu peminangan Adat

15. BENDA - BENDA BUDAYA ALAT PERANG


Benda-benda budaya alat perang Padoe, sudah langka ditemukan,
sehingga sekarang ini sudah dilindungi (cagar budaya). Yang masih ada
sampai sekarang:
a. Ponai (pedang besar dan panjang), sejenis peralatan perang,
berbentuk parang panjang yang dibuat khusus dari besi khusus,
memakai hulu (tangkai) dari tanduk atau kayu. Besi khusus berbeda
dengan besi biasa, karena tidak bisa ditempa lagi. Gunanya untuk
senjata berperang dan untuk mempertahankan diri
b. Kasai (tombak), yaitu sejenis peralatan perang berbentuk lembing
dengan ujung besi yang tajam, ada yang lurus, dan ada pula yang
berkait. Ujung besi yang tajam disambung dengan kayu lurus, yang
panjangnya kira - kira 1,5-2 meter, sebagai tangkainya untuk tempat
memegang pada waktu menombak. Bahannya terbuat dari besi yang
berujung tajam atau berkait dan sepotong kayu lurus sebagai tangkai
atau tempat pegangan. Gunanya sebagai alat berperang, dan berburu
binatang.

143
c. Tobo (badik), yaitu sejenis peralatan perang atau pertahanan diri,
berbentuk keris, dengan tangkai dan tampi (sarung badik) khusus
yang ujungnya tajam dan kiri kanan tajam tapi ada juga yang hanya
kiri atau kanan yang tajam. Ukurannya lebih kecil atau lebih pendek
dari keris. Bahannya dari besi khusus dengan tangkai dan tampi
khusus. Gunanya dipakai alat perang dan pertahanan diri,
d. Kawali (keris), yaitu sejenis peralatan perang atau pertahanan diri,
berbentuk tobo (badik), tapi ukurannya lebih besar dan lebih panjang,
memilki bentuk dan tangkai khusus. Kiri kanan matanya tajam berukir
dan ujungnya tajam. Bahannya dari besi khusus dan tangkai kayu
khusus. Gunanya untuk pertahanan diri dan membunuh lawan.
e. Kanta (perisai), yaitu sejenis peralatan perang, berbentuk tameng.
Bentuknya seperti segitiga panjang yang memiliki pegangan sebagai
tempat berpegang orang yang berperang sambil memegang ponai
atau kasai pada tangan lainnya. Bahannya dari papan keras dilapisi
kulit kayu khusus atau kulit binatang yang kering dan diberi hiasan
ukiran khusus. Gunanya sebagai pelindung diri (perisai) pada waktu
perang atau berkelahi

16. ALAT - ALAT OLAH RAGA TRADISIONAL


Alat - alat olah raga tradisional yang sering dipakai antara lain :
a. Huloi (gasing),
Huloi adalah sejenis alat permainan menggunakan sepotong kayu
keras yang dibentuk khusus dan menggunakan koloro ewi yang dibuat
dari kulit kayu wunu yang dipintal sebagai alat pemutar huloi (gasing).
Ada gasing tinggi (Huloi medongke) dan gasing pendek (huloi
kadepe). Bahannya dari sepotong kayu keras seperti kayu hitam, kayu
langara, kayu gampu dan lain - lain serta seutas tali khusus (koloro
ewi huloi). Gunanya dipakai sebagai alat permainan masyarakat pada
saat selesai panen, pesta rakyat dan lain sebagainya.
b. Sambalako (Enggran),

144
Sambalako adalah seperangkat alat permainan menggunakan dua
batang kayu atau dua batang bambu, yang diberi tempat injak pada
batang tersebut yang diikat kuat dengan rotan atau tali.Orang naik
dengan kaki menginjak pada tempat injak yang tersedia dan berjalan
cepat atau lari bahkan bisa juga dipakai bermain bola sesuai dengan
aturan permainan yang tefah disepakati. Bahannya terbuat dari dua
potong kayu atau bambu yang kuat dengan ukuran sedang.
Panjangnya disesuaikan dengan kebutuhan.Tinggi rendahnya tempai
injak yang diikat pada kayu atau bambu disesuaikan dengan
kebutuhan. Tempat injak dibuat dari cabang kayu kuat dan diikat
dengan rotan atau tali yang kuat. Gunanya, dipakai alat permainan
untuk Iari dengan jarak tertentu atau untuk main bola.
c. Logo ( Melogo).
Logo adalah sejenis alat permainan bentuknya seperti gambar
jantung,(bentuk biasa), metindu satu, metindu dua, yang dibuat dari
tempurung kelapa, dan memiliki singku dari kayu atau belahan bambu
patu yang tebal sebagai alat pendorong / pemukul logo. Bahannya
terbuat dari tempurung kefapa yang tua, dan sepotong kayu atau
belahan bambu khusus sebagai singku (pendorong / pemukul logo).
Gunanya sebagai alat permainan laki - laki pada acara selesai panen.

17. SENI TARI


Beberapa seni tari, yang masih sering dipakai atau masih populer dewasa
ini:
a. Tari Ende ( Mo'ende) yaitu sejenis tarian yang hampir sama dengan
tari Laemba. Peserta / penari yang melakukan gerakan I tarian
(mo'ende) berbentuk lingkaran. Tari ende tidak berpegang tangan,
dan gerakan kakinya berbeda dengan laemba. Penarinya diiringi oieh
musik atau orang bernyanyi sambil berpantun yang diiengkapi dengan
tabuhan gendang dan gong. Gunanya untuk mengungkapkan rasa
gembira dan suka cita pada acara tertentu seperti padungku, pesta

145
kawin, pengucapan syukur, penerimaan tamu dan lain sebagainya.
b. Tari Laemba (Molaemba), kalau sudah melakukan tarian Laemba
disebut Molaemba, merupakan kata kerja yaitu sejenis tarian
tradisional yang populer dan sangat digemari oleh orang muda dan
orang tua Masyarakat Hukum Adat Padoe, bahkan sudah banyak
masyarakat umum yang tertarik akan tarian ini. Tarian ini hampir sama
dengan tarian ende, menari berbentuk lingkaran. Tari laemba
berpegang tangan, tangan digerakkan naik turun serta kaki menari ke
arah kanan, ikut irama musik. Diiringi tabuhan gendang dan gong.
Tarian bersifat masal dan bergembira ria. Dapat diikuti oleh banyak
orang terdiri dari orang muda, orang tua, laki - laki dan peremuan.
Tarian laemba diiringi musik, dengan tabuhan gendang dan gong,
sedangkan peserta menyanyi sambil berpantun, berbalasan dengan
beberapa orang. Gunanya untuk mengungkapkan rasa gembira dan
sukacita pada acara tertentu seperti, pada saat padungku, pesta
kawin, pengucapan syukur, penerimaan tamu dan lain sebagainya.
c. Tari Riringgo (Moriringgo).
Tarian ini sangat populer dan disenangi anak muda, sering
ditampilkan pada acara - acara tertentu. Pada mulanya tarian Riringgo
adalah tarian syukuran kepada sang pencipta, pemberi hasil pertanian
seperti padi. Pada saat panen, petani menumbuk padi, sebagian
menapis padi, sebagian lagi menari dengan memakai alu. Untuk
mengantar tarian supaya lebih meriah, maka lesung diketuk - ketuk
dengan alu sebagai gendang.
Pada perkembangannya, tarian Riringgo atau tarian
menghalangi merupakan tarian sukacita / kegembiraan atas
kemenangan atau keberhasilan tertentu dan menyambut tamu
misalnya menyambut pasukan perang yang menang. Tarian dan
materinya dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi.
Penari terdiri dari dua pasang muda mudi, atau lebih, yang meloncat -
loncat di antara tiga pasang alu, yang dipukul - pukulkan menutup

146
dan membuka (menghalang - halangi para penari yang meloncat di
antara tiga pasang alu).
Gendang dan gong yang ditabuh untuk memberi semangat
kepada para penari. Juga diiringi nyanyian yang berisikan syair puja
dan puji serta syukur kepada sang pencipta atas kemenangan dan
keberhasilan serta kekayaan alam yang dimiliki. Selain itu diiringi
nyanyian dengan syair lagu yang berisikan puja dan syukur kepada
sang pencipta yang telah menganugerahkan tanah kelahiran yang
indah, damai dan tidak pernah dilupakan.
Tarian Riringgo ditampilkan karena ada kegembiraan dan
syukur pada saat selesai panen. Selain itu ditampilkan karena ada
kegembiraan dan syukur pada saat menyambut pasukan perang
menang. Dewasa ini digunakan pula untuk menyambut tamu, para
pejabat, atau pada acara perayaan tertentu, seperti HUT Proklamasi
dan lain -lain.
d. Tari Kaliboe ( Mongkaliboe ) yaitu tarian berbentuk barisan bersaf,
berbanjar dan lingkaran. Mula - mula lingkaran kecil dan akhirnya
berbentuk lingkaran besar. Diiringi teriakan keras secara bersama -
sama. Pada saat penampilan, diiringi oleh satu orang pemegang
tombak, satu orang pemegang ponai, untuk momomaani. Para penari
memakai rambuti. Juga disiapkan babi untuk diinjak dan ditusuk pada
saat menari. Mongkaliboe, berarti menari sambil menginjak babi.
Tarian ini ditampilkan untuk menyambut pasukan dari medan perang.
Kalau menang (membawa kepala orang), suara teriakannya besar.
Dan kalau kalah suara teriakannya kecil. Juga dipakai untuk
menyambut Mokole atau tamu terhormat. Gerakan -gerakan tarian
menggambarkan walaupun kita berbeda - beda tetapi kita tetap satu.
Tepo'aso kato memoroso, teposuangako kato tekokale. Bersatu kita
teguh, bercerai kita runtuh.
e. Tari Momaani. ( Momomaani).
Tari momaani, adalah sejenis tarian perang yang memainkan ponai
(pedang) dan kasai (tombak) serta kanta (perisai) di tangannya serta

147
berjongkok sedikit dan meloncat-loncat sambil mengayung-ayungkan
pedang dan tombak serta perisai diiringi teriakan yang menyeramkan
seperti orang berkelahi. Memakai pakaian Adat tradisional dan
pasapu. Diiringi tabuhan gendang dan gong, yang memberi semangat
kepada penari. Tarian momaani, ada dua macam yaitu, momomaani
ponai dan momomaani kasai.
Pada saat menari, satu orang penari memegang ponai, dan
satu orang penari memegang kasai. Selain memegang ponai atau
kasai, juga memegang kanta dan berpakaian adat tradisional serta
diiringi satu orang penabuh gendang dan seorang penabuh gong.
Momomaani ponai, dipakai pada waktu menyambut pejabat,
Datu, pembesar, mokole, dan lain-lain. Sedangkan momomaani kasai,
dipakai pada waktu menyambut pasukan yang pulang dari medan
perang. Dan biasanya dilaksanakan momomaani bersamaan dengan
tarian mongkaliboe.

18. MUSIK TRADISIONAL.


a. Tambolo (musik bambu )
Tambolo, adalah seperangkat musik yang dibuat dari bambu, yang
terdiri dari suling kecil, suling besar, naturel, kruis, mol, bas kecil, bas
besar, kontra bas, terang bone, gendang dan dirigen. Musik ini
menyanyikan lagu mars, umum, dan lain sebagainya.
Musik ini terdiri dari tiga buah suling kecil, lima buah suling besar,
lima buah naturel (tenor), tiga buah kruis, tiga buah mol, tiga buah kontra
bas, lima buah bas setengah, lima buah bas kecil, satu buah terang bone,
satu buah gendang, seorang pembawa panji, dan seorang dirigen.
Pemain musik jumlahnya antara 34 -37 orang.
Musik ini ditampilkan pada saat menjemput tamu, pesta panen,
pesta rakyat, pesta Adat dan perlombaan kesenian.
b. Siloli (suling)
Siloli adalah alat musik dari bambu, yang memiliki satu lubang,
dekat ujung sebagai tempat meniup, dan di bagian tengah, memiliki enam

148
lubang dengan jarak tertentu, untuk mengatur nada, dengan memainkan
jari menutup dan membuka ke enam lubang. Terbuat dari bambu yang
kecil dan lurus, bulat dengan panjang tertentu.
Untuk mesiloli, (bersuling), menyanyikan lagu-lagu tertentu,
dilaksanakan dengan jalan meniup lubang yang pertama dan memainkan
jari - jari diatas enam lubang berikutnya sesuai dengan nada yang ada.
Mesiloli dapat dilaksanakan secara tunggal atau bisa bergabung dengan
Tim Tambolo. Mesiloli diharapkan dapat menghibur diri sendiri, maupun
orang yang mendengar.

19. MAKANAN DAN MINUMAN KHAS PADOE


1. Lehodo (Nasi dimasak di dalam bambu).
Lehodo adalah makanan yang terbuat dari beras ketan putih,
merah, atau ketan hitam, direndam, ditiriskan kemudian dimasukkan ke
dalam bambu yang telah diisi daun pisang yang muda Ialu diberi santan
yang telah diberi garam, dan perasan daun pandan. Kemudian bambu
yang berisi beras santan diangkat untuk dibakar pada tempat
pembakaran khusus yang sudah disiapkan. Nasi bambu yang sudah
matang, dibelah kemudian nasinya di taruh di piring siap dimakan.
2. Winalu (nasi bungkus dimasak di dalam bambu).
Winalu adalah beras dibungkus dengan daun khusus (lewe),
kemudian dimasukkan ke dalam bambu, Ialu dibakar. Beras yang
dibungkus ukurannya satu genggam satu bungkus. Setelah beberapa
bungkus selesai diisi beras, kemudian disatukan/diikat Ialu dimasukkan ke
dalam bambu secara bersusun. Ukuran bambunya lebih besar, dari pada
bambu lehodo. Setelah diisi air, kemudian bambunya dibakar sampai
matang. Setelah matang, bambunya dibelah dan nasi bungkusnya
disuguhkan di piring siap dimakan.
3. Winuho.
Winuho adalah makanan yang dimasak di dalam bambu, yang
terdiri dari bahan daging dicampur dengan daun ubi, tiwo dan sayur

149
lainnya ditambah dengan bumbu seperlunya. Selain winuho tersebut ada
juga winuho ikan.
Winuho daun ubi, adalah winuho dengan bahan dasar daging
dengan daun ubi. Daging dan daun ubi dipotong kecil-kecil, kemudian
daun ubi diojok, lalu daging, daun ubi, bawang merah, bawang putih,
lombok, serai muda dan jahe yang kesemuanya dihaluskan kemudian
ditambah daun jeruk, daun kemangi, dan daun bawang diiris-iris halus,
lalu dicampur dengan garam dan bumbu penyedap. Setelah kesemuanya
sudah dicampur, baru dimasukkan ke dalam bambu yang ukurannya lebih
besar dibandingkan dengan bambu lehodo. Lalu bambunya dibakar
sampai winuho matang. Setelah matang, isinya dikeluarkan dan
disuguhkan di piring, siap untuk dimakan.
Winuho Tiwo, adalah winuho dengan bahan dasar daging dengan
tiwo (batang pisang muda). Daging dipotong kecil-kecil dan batang pisang
muda (pisang kapok/manurung, pisang Australia, pisang monyet) diiris
halus, kemudian diojok dengan garam sedikit. Lalu daging, tiwo, bawang
merah, bawang putih, lombok, serai muda, jahe yang kesemuanya
dihaluskan kemudian ditambah daun jeruk, daun kemangi, dan daun
bawang diiris-iris halus, kemudian dicampur dengan bumbu penyedap.
Setelah kesemuanya sudah dicampur, bam dimasukkan ke dalam
bambu yang ukurannya lebih besar dibandingkan dengan bambu lehodo.
Lalu bambu winuho dibakar sampai matang. Setelah matang, isinya
dikeluarkan dari bambu dan disuguhkan di piring, siap untuk dimakan.
4. Sayur Padole
Adalah sayur, dari bahan pucuk muda pohon kelapa, pohon enau,
pohon sagu, yang diiris dan dipotong-potong halus. Kemudian dimasak
campur santan dan daging labu dll kemudian bumbu seperlunya.
5. Dinui (modui).
Dinui (kapurung) adalah makanan khas tradisional yang terbuat
dari tepung sagu (rombia) yang diseduh/dicampur dengan sedikit air
minum dingin di dalam baskom atau dulang (baskom kayu pada saat itu),

150
kemudian cairan tepung sagu disiram dengan air mendidih, sampai
matang lalu diaduk sampai tercampur secara merata. Pada saat
menyiram cairan sagu dengan air mendidih harus diatur sedemikian rupa
supaya jangan terlalu encer dan jangan terlalu kental.
Kemudian kita makan dinui dengan istilah yang dikenal modui,
dengan memindahkan dinui dengan dui (sumpit), dahulu dui dibuat dari
belahan bambu atau kayu yang dibuat halus seperti sumpit, ke dalam
piring yang diisi kuah sayur / ikan yang dicampur dengan garni (sambal).
Dinui diputar-putar dengan sumpit agar bentuknya bulat-bulat dan tidak
jatuh, kalau dipindahkan ke piring, kemudian dipotong-potong di dalam
piring yang sudah diberi sambal. Lalu bulatan dinui itu ditelan langsung
tanpa dikunyah. Supaya lebih mantap disediakan ikan dan sayur secara
terpisah untuk dimakan silih berganti dengan menelan bulatan dinui yang
tersedia di piring . Begitu selanjutnya sampai kenyang.
6. Woke (tape).
Woke adalah makanan yang terbuat dari beras ketan hitam, putih
atau merah yang dimasak lalu di didinginkan di nyiru, lalu dicampur
dengan ragi secukupnya. Setelah itu dimasukkan ke dalam bakul yang
telah dialas pada dasar dan dindingnya, dengan daun pisang kemudian
ditutup. Pada hari yang ketiga woke sudah matang, sedangkan airnya
yang sangat manis ditampung di bawah bakul. Ada dua macam woke
yaitu woke untuk dimakan dan woke untuk pongasi.
Woke untuk dimakan.
Woke untuk dimakan adalah woke yang dibuat dengan campuran ragi
dengan perbandingan tertentu. Prosesnya sama dengan pembuatan
woke pada umumnya.
Woke untuk pongasi.
Woke untuk pongasi adalah woke yang dibuat dengan campuran ragi
dengan perbandingan tertentu untuk pongasi. Prosesnya sama dengan
pembuatan woke pada umumnya. Hanya saja bahan woke dimasukkan
kedalam guci dan ditutup dengan daun pisang. Pada hari ketiga, woke

151
sudah matang. Kemudian wokenya diambil lalu diperas dan disaring,
kemudian airnya dimasukkan ke dalam botol, terkenal dengan nama mata
pongasi.
Kemudian wokenya dimasukkan kembali ke dalam guci dan
ditambah air minum yang matang dan dibiarkan satu malam. Kemudian
ditutup dan setelah dibiarkan satu malam, baru dibuka, kemudian
wokenya diperas dan disaring lalu airnya dimasukkan ke dalam botol,
terkenal dengan nama pongasi klas dua.Setelah itu diulang lagi untuk
ketiga kalinya dan airnya terkenal dengan nama pongasi klas tiga.
Pongasi adalah minuman khas suku Padoe, pada acara padungku (pesta
panen).

152
BAB VII
KESIMPULAN

Sejarah Masyarakat Hukum Adat Padoe, dengan nama Sejarah


Suku Padoe secara singkat disimpulkan sebagai berikut:

1. KAPAN SUKU PADOE BERADA DI TANA LUWU (WHEN )


Suku Padoe berada di Tana Luwu pada kurun waktu antara awal abad
Masehi sampai abad X Masehi pra Kedatuan Luwu bersama - sama
dengan masyarakat kecil lainnya ( bands) yaitu suku Wotu, Bajo,
Toraja, Rongkong, Padoe, Pamona dan beberapa suku di Sulawesi
Tenggara dan Tengah yang sekarang dikenal sebagai Tolaki.
Mekongga dan To Limolang, menurut Ali Fadillah (1998 12) dengan
merujuk telaah Pelras (1995/1996) dalam Buku Kedatuan Luwu, Edisi
kedua Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi, halaman 155
tahun 2006

2. DI MANA SUKU PADOE BERADA DI TANA LUWU (WHERE ).


Suku Padoe berada di Tana Luwu di daerah Bukit Punsi Mewuni yang
terkenal disebut daerah segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi
Mewuni, Sulawesi Selatan, sebagai tempat suku Padoe mula - mula,
menurut Christian Pelras, dalam Buku Manusia Bugis, halaman 68,
tahun 2006.

3. SIAPA SUKU PADOE (WHO).


a. Suku Padoe pada abad XVI disebut Datu Luwu sebagai To Belae
artinya saudara / sahabat dari jauh.
b. Suku Padoe pada abad XVIII, diangkat Datu Luwu sebagai
saudara dan memberi arti khusus kepada suku Padoe, sebagai
orang kuat yang tetap setia kepada Datu Luwu di Palopo dan
sebaliknya Datu Luwu bergantung (medoe) serta berharap penuh
kepada suku Padoe di tana Nuha.
c. Suku Padoe atau To Padoe, berasal dari kata To, Paado dan E. To

153
berarti orang / suku, Paado berarti jauh (disana), sedangkan E
berarti kata panggilan (kata sandang) yang menunjukkan
keakraban relasi yang lebih dekat dengan orang lain.
Jadi To Padoe artinya suku yang berasal dari tempat yang jauh
dari pusat kekuasaan yang dipanggil sangat akrab relasinya
dengan orang lain. Hingga akhirnya To Padoe terkenal
dipanggil saudara / sahabat dari jauh. Dalam bahasa Bugis, To
Padoe disebut To Belae, yang artinya saudara / sahabat dari
jauh. Sehingga akhirnya To Padoe terkenal juga disebut To
Belae.
d. Suku Padoe pada mulanya berasal dari orang Tolaki di daerah
Andolaki Sulawesi Tenggara, yang menyebar ke Kerajaan
Mekongga yang dahulu disebut Mekongka di Kolaka,
Kemudian dari Kolaka terus ke Bukit Punsi Mewuni Tana Luwu
Sulawesi Selatan pada zaman prasejarah (Wolter Kaudern).
e. Suku Padoe memiliki Mokole pertama yang dilantik Datu Luwu
Pattipasaung di Palopo tahun 1622.

4. MENGAPA SUKU PADOE (WHY)


a. Suku Padoe berstatus sebagai penyanggah / pendukung Kedatuan
Luwu bersama – sama suku - suku lainnya tergabung dalam 12
suku dan 9 bahasa sebagai berikut: To Ware, To Ala, To Ugi, To
Raja, To Rongkong, To Seko, To Limolang / To Sassa, To
Pamona, To Padoe, To Wotu, To Bajo, To Mengkoka.
b. Suku Padoe membantu Kedatuan Luwu dalam peperangan
melawan Baebunta, Malangke dan Larompong, dan Kedatuan
Luwu menang. Karena itu suku Padoe mendapat penghargaan dari
Datu Luwu, pada abad XVIII.
c. Suku Padoe melalui Saliwu, berhasil memotong pohon Langkanae,
sekali tebas dengan pedangnya sendiri di halaman Istana
Kedatuan Luwu, pada tahun 1622. Saliwu dan suku Padoe
mendapat penghargaan dari Kedatuan Luwu.

154
d. Suku Padoe berperang melawan orang Weula, di daerah Lembo
Weula dan Dataran tinggi Weula, tahun 1651. Weula kalah dan
punah, semua tanah Weula dikuasai Suku Padoe.
e. Suku Padoe berperang melawan orang Weula di daerah Lioka,
Wawondula dan Matompi tahun 1700. Weula kalah dan punah,
semua tanah Weula dikuasai Suku Padoe.
f. Suku Padoe berperang melawan orang Epe di daerah Lere'ea,
pada abad XVII. orang Epe kalah dan tanah milik Ro'uta diberikan
kepada suku Padoe.
g. Suku Padoe berperang melawan orang Mori pada abad XVIII, di
Dolupo, dimenangkan oleh suku Padoe.
h. Suku Padoe berperang melawan orang Ro'uta pada abad XVIII di
Danau Towuti, dimenangkan oleh suku Padoe, semua tanah Ro'uta
dikuasai suku Padoe.

5. BAGAIMANA SUKU PADOE ( HOW).


a. Menyebar.
Suku Padoe menyebar dari Bukit Punsi Mewuni yang terkenal
dengan sebutan daerah segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi
Mewuni, ke Angkona, Pabeta. Cerekang (Lakarai), Ussu,
Matanggoa, Malili, Kore - korea, Kawata dan Laro'eha.
Oleh karena daerah segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi
Mewuni, sudah padat, maka sekelompok suku Padoe migran ke
Kanta dan ke Kayaka, Mori Atas dekat Tomata Sulawesi Tengah.
Tetapi karena ada peristiwa peperangan dengan orang Pamona di
Kanta dan Kayaka, sekelompok suku Padoe tersebut kembali lagi
ke Lakarai Sulawesi Selatan bergabung kembali dengan keluarga
besar suku Padoe kawan lama. Tahap selanjutnya menyebar dari
Kawata ke Lasulawai, Wasuponda, Togo, Molio, Umodo, Tabarano,
Wawontamba, Lioka, Langkea, Wawondula, Matompi, Timampu,
Petea'a, Lere'ea, Epe, Bea'u, Lambatu, Lengkobale, Lo'eha, dan
Larona. Karena peristiwa DI / TII, ada yang ke Pakatan, kemudian

155
ke Taliwan dan Mayakeli Sulawesi Tengah.
b. Memiliki batas wilayah Adat / tanah Adat berdasarkan sejarah
suku Padoe.
Sebelah Utara.
Meliputi Wilayah Angkona, Pabeta, Cerekang, Laro'eha, Tole -
Tole, Kawata, Lasulawai, Tetenona, Sungai Langkai (Koro
Langkai), Wasuponda, Koro Manu - Manu, Pobingkua, Palumba,
Lembololo, Asuli, Enggano, terus lewat pinggir Danau Maholona,
Petea'a, Lere'ea, Epe, terus kepegunungan patok batas Sulawesi
Selatan dengan Sulawesi Tengah.
Sebelah Selatan.
Meliputi pegunungan patok batas wilayah Sulawesi Selatan dengan
Sulawesi Tenggara, ikut patok batas dari Timur ke Barat, sampai ke
pinggir pantai wilayah Lampia.
Sebelah Timur.
Meliputi pegunungan patok batas Sulawesi Selatan dengan
Sulawesi Tengah, sampai dengan patok batas Sulawesi Selatan
dengan Sulawesi Tenggara.
Sebelah Barat.
Meliputi wilayah pantai Angkona, Wilayah Pantai Pabeta, wilayah
Pantai Cerekang, Wilayah pantai Bukit Punsi Mewuni, Wilayah
pantai Ussu, pantai Malili, Lembo Lamao, Kore - Korea, Labose,
Lampia sampai dengan patok batas Sulawesi Selatan dengan
Sulawesi Tenggara.
c. Suku Padoe menerima penghargaan dari Kedatuan Luwu.
1. Karena jasa - jasa suku Padoe membantu Kedatuan Luwu
dalam peperangan dengan Baebunta, Malangke dan
Larompong, pada abad XVIII.
2. Karena keberhasilan Saliwu Suku Padoe, memotong pohon
Langkanae sekali tebas dengan pedangnya sendiri di halaman
Istana Kedatuan Luwu pada tahun 1622, maka Datu Luwu

156
memberi penghargaan kepada Suku Padoe yaitu memanggil
Suku Padoe, sebagai Saudara / Sahabat dari jauh (To
Belae), dan apabila suku Padoe mau menghadap Datu
Luwu, maka suku Padoe bebas masuk kapan saja, dengan
memakai perlengkapan yang ada dan tidak perlu duduk
bersila (mesuleka) dan boleh berbicara sambil berdiri di
hadapan Datu Luwu, dan duduk di kursi di samping Datu
Luwu, pada acara - acara tertentu.
d. Suku Padoe memiliki persyaratan utama sebagai suatu suku.
1. Suku Padoe, memiliki bahasa sendiri, yaitu Bahasa Padoe.
2. Suku Padoe, memiliki Adat sendiri, yaitu Adat Padoe.
3. Suku Padoe, memiliki budaya sendiri, yaitu Budaya Padoe.
4. Suku Padoe, memiliki Sejarah sendiri, yaitu Sejarah Suku
Padoe.
5. Suku Padoe, memiliki Hukum Adat sendiri, yaitu Hukum Adat
Padoe.
6. Suku Padoe, memiliki Kamus sendiri, yaitu Kamus Indonesia-
Padoe
7. Suku Padoe, memiliki Lembaga Adat sendiri, yaitu Lembaga
Adat Padoe.
8. Suku Padoe, memiliki Struktur Lembaga Adat sendiri, yaitu
Struktur Lembaga Adat Padoe.
9. Suku Padoe, memiliki Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah
Tangga sendiri, yaitu Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah
Tangga Lembaga Adat Padoe.
10. Suku Padoe, memiliki wilayah Adat / Tanah Adat sendiri, yaitu
yang tercakup dalam peta wilayah Adat Padoe, berdasarkan
Sejarah Suku Padoe masa lalu, sejak penyebaran Suku Padoe
mulai abad XI - XIX.
11. Suku Padoe, memiliki Rumah Adat sendiri, yaitu Rumah Adat
Padoe, yang bernama "PATUDU "di Wasuponda.

157
e. Mengalami perkembangan Kerajaan Suku Padoe masa lalu
sejak antara awal Abad Masehi sampai abad XIX Masehi
1. Antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi, suku Padoe
disebut komunitas kecil (bands) berada di Bukit Punsi Mewuni,
yang disebut daerah Segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi
Mewuni.
2. Abad XI - abad XV, suku Padoe menyebar ke daerah - daerah
sekitar daerah segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi Mewuni,
lalu terbentuk kampung - kampung.
3. Abad XVI - abad XVIII, terbentuk kerajaan Suku Padoe.
4. Abad XIX, terbentuk Kerajaan Nuha (tahun 1905-1945).
5. Abad XIX, terbentuk Distrik Nuha (tahun 1945 -1966)
6. Abad XIX, terbentuk Kecamatan Nuha (mulai tahun 1966)
f. Ibukota Kerajaan Suku Padoe, Kerajaan Nuha, Distrik Nuha,
pada abad XVI – XIX
1. Kawata Ibu Kota I
Mokole / Tadulako Saliwu (1632-1651)
Mohola Para dan Horobata.
Pongkiari Lagampi
Sulia Tariondo.
2. Wowondula Ibu Kota II
Mokole / Tadulako Saliwu (1651-1750)
Mohola Lamehawa
Pongkiari Lagampi
Sulia Sipantu
3. Molio Ibu Kota III
Mokole / Tadulako Ta'elu (1750-1760)
Mohola Kalende
Mia Mosu’o Kalende
Pongkiari Taluari
Sulia Sipantu

158
4. Wowondula Ibu Kota IV
Mokole / Tadulako Tengkano (1760-1905)
Mohola Para
Pongkiari Taluari dan Adipu
Sulia Sipantu
5. Sorowako Ibu Kota V
Mokole Nuha Andi Halu (1905-1920)
6. Timampu Ibu Kota VI
Mokole Nuha Andi Halu (1920 - 1927)
Sulewatang Sangkedapo Tengkano (1925-1927)
7. Tabarano Ibu Kota VII
Mokole Nuha Lasemba Malotu (1927-1945)
Sulewatang Sangkedapo Tengkano (1927-1945)
Kepala Distrik Nuha, Lasemba Malotu (1945 -1950)
Sulewatang Sangkedapo Tengkano (1945-1950)
Kepala Distrik Nuha, Tinampa Malotu (1950 -1953)
Sulewatang Sangkedapo Tengkano (1950-1953)
8. Tabarano Ibu Kota VIII
Kepala Distrik Nuha, Mesa Mariesa (1953-1954 )
Sulewatang Sangkedapo Tengkano 1953-1954 )
9. Malili/Pakatan Ibu Kota IX
Kepala Distrik Nuha, Mesa Mariesa (1954-1966)
Sulewatang Sangkedapo Tengkano(1954-1966)

159
g. STRUKTUR KEPEMIMPINAN KERAJAAN SUKU PADOE ABAD
XVI-XIX

MOKOLE

MIA MOHOLA TADULAKO

MIA MOSU’O SULIA PONGKIARI

SESEWUTE SANDO

Penjelasan:
Garis Komando
Garis Koordinasi

160
Penjelasan
1. Mokole adalah Raja, sebagai kepala Pemerintahan dan Pimpinan
tertinggi Angkatan Perang dan Keamanan.
2. Tadulako adalah Panglima Perang, sebagai Pimpinan Angkatan
Perang, yang bertugas memimpin Perang dan mengatur
Keamanan. Bertanggung jawab langsung kepada Mokole.
3. Dalam kepemimpinan Kerajaan suku Padoe, Mokole merangkap
sebagai Tadulako untuk mempercepat proses pengambilan
keputusan baik rencana maupun pelaksanaan perang.
4. Mia Mohola adalah Kepala Suku yang bertugas mengatur
Pemerintahan, mengatur rakyat dan masyarakat agar dapat
melakukan kegiatan kemasyarakatan dengan baik. Mia Mohola
diberi wewenang sebagai Jaksa Agung / Mahkamah Agung, yang
bisa mengadili siapa saja. Bertanggungjawab langsung kepada
Mokole..
5. Mia Mosu'o adalah orang tua atau yang dituakan dalam
masyarakat, berkedudukan sebagai Pemimpin Adat, Tua-tua Adat,
Tua-tua masyarakat yang bertugas mengatur Adat istiadat,
tatakrama, ketertiban dan yang dapat memberikan nasihat, petuah
dan pemecahan masalah. Bertanggungjawab langsung kepada Mia
Mohola.
6. Dalam Kepemimpinan Kerajaan Suku Padoe, Mia Mohola
membawahi langsung Mia Mosu’o. Dalam hal - hal tertentu, Mia
Mohola merangkap menjadi Mia Mosu’o
7. Pongkiari adalah seorang hulubalang, jago perang, hebat, pintar,
kuat berperang dan berkelahi, mempunyai ilmu gaib dan mistik,
serta ilmu kebal sehingga tidak terkalahkan. Bertugas sebagai
pemimpin dalam pertempuran dan perkelahian serta penyerangan
terhadap musuh. Bertanggungjawab langsung kepada Tadulako.
8. Dalam Kepemimpinan Kerajaan Suku Padoe, Pongkiari di bawah
Komando langsung Tadulako.

161
9. Sulia, bertugas untuk mengatur agama suku (Melahumoa) yaitu
mengadakan penyembahan kepada Lahumoa ( Dewa ), mewolie,
montuila, meloboti. Sulia bertanggungjawab atas pelaksanaan
upacara - upacara besar agama suku. Bertanggungjawab langsung
kepada Mia Mohola.
10. Sesewute, bertanggungjawab di bidang pertanian, mengadakan
ritual berkaitan denge-kegiatan pertanian, tata tanam misalnya
sebelum mengerjakan sawah, dan sebelum menuai padi, moimo,
meruru manu, padungku, tanam padi, motasu dan Iain-lain.
Bertanggungjawab langsung kepada Sulia.
11. Sando, bertanggungjawab mengadakan ritual /doa, seperti
montuila, di pangkal pohon besar, di batu besar, di mata air, dan
lain - lain untuk menolak bala, supaya setan – setan tidak
mengganggu manusia. Bertanggungjawab langsung kepada Sulia.
12. Dalam Kepemimpinan Kerajaan Suku Padoe, Sulia membawahi
langsung Sesewute dan Sando.

162
h. STRUKTUR LEMBAGA ADAT PADOE ABAD XIX SAMPAI
SEKARANG

MOHOLE
PADOE

WAKIL MOHOLA
PADOE

BIDANG BIDANG SOSIAL


PERENCANAAN

DEWAN ADAT PADOE


PUSAT

DEWAN-DEWAN
ADAT PADOE
WILAYAH

163
Penjelasan:
1. Mohola adalah Kepala Suku, sebagai pimpinan tertinggi Lembaga Adat
Padoe, membawahi langsung Dewan Adat Padoe Pusat. Dalam
tugasnya dibantu oleh Wakil Mohola.
2. Wakil Mohola adalah wakil Kepala Suku, sebagai wakil pimpinan
tertinggi Lembaga Adat Padoe membawahi langsung Dewan Adat
Padoe Pusat. Dalam tugasnya membantu dan bekerjasama dengan
Mohola.
3. Dalam tugas Mohola dan Wakil Mohola dibantu oleh Bidang
Perencanaan dan Bidang Sosial..
4. Bidang Perencanaan meliputi kegiatan Perencanaan, Penelitian dan
Pengembangan.
5. Bidang Sosial meliputi kegiatan Pendidikan, Kesehatan, Tenaga Kerja
dan Sosial.
6. Dewan Adat Padoe Pusat adalah Pimpinan Dewan Adat Padoe di
tingkat Pusat dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan Hukum Adat
Padoe di tingkat Pusat. Bertanggungjawab kepada Mohola dan Wakil
Mohola.
7. Dewan Adat Padoe Wilayah terdiri dari beberapa Dewan Adat Padoe
Wilayah, adalah Pimpinan Dewan Adat Padoe di tingkat Wilayah dan
bertanggungjawab dalam pelaksanaan Hukum Adat Padoe di tingkat
Wilayah. Bertanggungjawab kepada Dewan Adat Padoe Pusat.

164
DAFTAR PUSTAKA

1. Christian Pelras (2006)," Manusia Bugis"


2. Iwan SumantrI (2006), " Kedatuan Luwu " Edisi ke- 2 Perspektif
Arkeologi, Sejarah dan AntropologI
3. Anthon A. Pangerang Opu Daeng Mallipu ( 2008 ), " Mappacekke
Wanua sub Judul Mappatarenre Onro tune' Lipu'e “
4. Edward L Poelinggomang (2008) “ Kerajaan Mori" Sejarah dari
Sulawesi Tengah.
5. J.Kruyt (1924) " De Moriers van Tinompo" (Oostelijk Midden Celebes).
6. W.F. Taroreh ( 1992 ) "Himpunan Bahan tentang Negeri dan
Kepahlawanan Rakyat Mori Sulawesi Tengah melawan Penjajahan".
7. M. Akil AS (2008), "Luwu" Dimensi Sejarah, Budaya dan Kepercayaan.
8. M Akil AS (2008),” Batara Guru ManurungE Ri Luwu"
9. Nawawi Sang Kilat ( 2008 ), " Catatan Ringan Tana Luwo " Makalah
pada Hari Peringatan Perjuangan Rakyat Luwu menentang penjajah
tanggal 23 Januari 1946.
10. Andi Abdullah Sanad Kaddiraja (2018)," Perjuangan Rakyat Luwu"
11. Abdurrauf Tarimana (2015 )," Kebudayaan Tolaki".
12. Ahmad Faidi ( 2015)," Suku Tolaki" Suku Seribu Kearifan”.
13. I Wayan Badrika (2004)," Sejarah Nasional Indonesia dan Umum".
14. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka, 1989.
15. Roman Manule dkk, (2012)," Kamus Bahasa Indonesia - Bahasa
Padoe.
16. Tahe Lara, Sipantu Larobu, Paula Vuorinen, Marjo Karhunen (1991),
Program Kerjasama (UNHAS - SIL," Kamus Padoe - Indonesia -
Inggris ".
17. Sipantu Larobu, (1982)," Sejarah Asli Suku Padoe “
18. Dasangko Larobu, (1986 )," Bagaimanakah Daerah Nuha".
19. Santona Tamu'u, (2007)," Sejarah Suku Padoe".

165
20. Masi Langguna, (2007)," Sejarah Suku Mori Padoe".
21. Seketi Samuda, (2007), "Asal Usul Mori Padoe".
22. Masi Langguna, (1998)," Siapa dan dari mana Suku Mori Padoe itu "
23. Latupu Sinampu, (1994)," Sejarah Desa Resetlemen"
24. Tomagasa Manule, (2008)," Silsilah Orang Padoe"
25. Tomagasa Manule, (2011)," Selayang Pandang Sejarah Kerajaan
Luwu".
26. Tomagasa Manule, (2015), "Sejarah Singkat Padoe",
27. Musyawarah Adat Padoe, (2015)," Hukum Adat Padoe".
28. Roman Manule dkk, (2015)," Buku Budaya Padoe".
29. Asyer Tandapai Sigilipu, (2005)," Pergumulan GKST di Luwu masa
DI/TII 1950-1965".

166
DAFTAR SUMBER DATA ( NARA SUMBER).

1. IPDA Tomagara Manule, sesepuh suku Padoe, Luwuk.


2. Malupu Meoko, sesepuh Adat Padoe, Pakatan.
3. Marota Balea, sesepuh suku Padoe, Toli-Toli.
4. Pdt. Sumanda Mbotengu, S.Th, sesepuh suku Padoe, Manado
5. Pdt. Yohanes Lasampa, S.Th, sesepuh suku Padoe, Palu
6. Saliwu Tengkano, sesepuh Adat Padoe, Wasuponda.
7. Laribu Meoko.BA, sesepuh suku Padoe, Jakarta.
8. Pasoni Lagamu, BA, sesepuh suku Padoe, Makassar.
9. Torama Malotu, BA, sesepuh Adat Padoe, Makassar.

167
Tentang Penulis
Tomagasa Manule, lahir di Tabarano Malili,
Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi
Selatan, 07 Agustus 1933. Menyelesaikan
pendidikan Jurusan Bahasa Indonesia tahun 1964
dan Jurusan Ekonomi tahun 1973 di Universitas
Indonesia Jakarta. Memiliki putera puteri 1).
Satriani Martasari Manule, ST, 2). Merry
Siskawati Manule, SE,Ak,MSi, 3). Martina
Yudianti Manule, SE, 4).Oscar Kumiawan Manule,
S.Kom.
Bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai guru SMP
Negeri dan SMP Swasta, Guru SMA Negeri dan SMEA Swast a. Jabatan
terakhir sebagai Wakil Direktur SMA Negeri 8 Bukit Duri Jakarta (tahun
1983 - 1993 ) dan Direktur SMEA Rahmani Manggabesar Jakarta (tahun
1993 - 2001). Pensiun sebagai PNS tahun 1993.
Hasil karya dan kegiatan Kemasyarakatan meliputi : Penyusun / Penulis
Kamus Bahasa Indonesia - Bahasa Padoe, Penyusun / Penulis Sejarah
Suku Padoe, Penyusun / Penulis Silsilah Suku Padoe, Ketua Dewan Adat
Padoe Wilayah Jakarta yang pertama ( pelopor), Penasihat Dewan Adat
Padoe Wilayah Jakarta,, Pendiri Ikatan Keluarga Masyarakat Nuha
(IKMAN ) Jakarta dan Majelis Jemaat GPIB Salom Depok 1978 – 1988.

168
Tentang Penulis
Roman Manule, lahir di Malili Kabupaten Luwu
Timur Provinsi Sulawesi Selatan, 10 Agustus
1940. Menyelesaikan Pendidikan Jurusan
Teknik Sipil tahun 1968 dan Jurusan
Ketataniagaan dan Ketatanegaraan tahun
1979, UNTAG Jakarta. Memiliki putera puteri:
1). Doktor Rhommy Reynald Macley Manule,
S.Sos, M.Si, 2 ). Recky Wilson Manule, SE,
MM. 3). Rolan Manule, SE,Ak. 4 ). Dokter
Yolanda Manule, Sp.PA. Bekerja di
Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Pengairan tahun 1969
-1999. Berpengalaman di bidang Counterpart pada Konsultan IBRD,
Survey and Design, Superviser, Hidrologist, Instruktur for Training Audio
Visual, Training Officer, Evaluation and monitoring, Finance and
Administration. Pensiun sebagai PNS tahun 1999.
Hasil karya dan kegiatan kemasyarakatan meliputi: Penyusun / Penulis
Kamus Bahasa Indonesia - Bahasa Padoe, Penyusun / Penulis Sejarah
Suku Padoe, Penyusun / Penulis Silsilah Suku Padoe, Penyusun / Penulis
Hukum Adat Padoe, Penyusun / Penulis Buku Budaya Padoe. Perencana
dan Pengawas Pembangunan Rumah Adat Padoe, Bidang Perencanaan,
Penelitian dan Pengembangan Lembaga Adat Padoe, Ketua Dewan Adat
Padoe Wilayah Makassar, mulai tahun 2000 sampai sekarang, Wakil
Mohola Padoe mulai tahun 2004 sampai sekarang. Majelis Jemaat GPIB
tahun 1973 -1998 dan Majelis Jemaat GPIL di Tabarano 2003 - 2007.

169
Tentang Penulis
Matius Motilay, lahir di Wawondula
Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi
Selatan, 15 Mei 1948. Menyelesaikan
Pendidikan Agama Kristen tahun 1970 di
Tentena Sulawesi Tengah Memiliki putera
puteri: 1).Fitri Nela Motilay, S.Pd., 2 ). Windra
Wati Motilay, A.Ma Pus. 3). Oktavin Motilay,
S.Kep.Ns. 4 ). Lina Theresia Motilay, S.Hut.
Bekerja sebagai Guru Injil ( 1971 -1974 ) dan
sebagai Gembala Jemaat ( 1974 -1976 ).
Sebagai Guru agama PNS ( 1978 – 2009 ).Pensiun sebagai PNS tahun
2009. Hasil karya dan kegiatan kemasyarakatan meliputi: Penyusun /
Penulis Kamus Bahasa Indonesia - Bahasa Padoe, Penyusun / Penulis
Sejarah Suku Padoe, Penyusun / Penulis Buku Budaya Padoe. Ketua
Dewan Adat Padoe Wilayah Mayakeli, mulai tahun 2010 sampai
sekarang, Anggota Tim Penerjemah Alkitab Bahasa Indonesia ke dalam
Bahasa Padoe, mulai tahun 2019 sampai sekarang.

170
171

Anda mungkin juga menyukai