SELEKSI KULTUR
STUDI FERMENTASI
Enzim Ekstraselular
Amiiase : Hidrolisis pati dalam agar dapat dilihat dengan
terbentuknya zonasi jernih di sekitar koloni
pertumbuhan setelah diwarnai dengan larutan
yodium.
Protease : Solubilisasi protein target pada derajat keasaman
yang spesifik dalam suspensi agar yang terlihat
sebagai zonasi terang; likuifikasi gel gelatin
(kolagenase). .
Lipase : Perombakan emuisi lemak target dalam agar yang
ditunjukkan dengan zonasi terang atau presifitasi
dari asam lemak yang dihasilkan dalam proses di
atas oleh ion kalsium di dalam agar.
Enzim Ekstraselular
Pektinase : Likuifikasi gel pektat; agar pektin yang diberi bufer
(pH 5 atau 7) memperlihatkan zonasi terang
dengan setiltrimetil-ammonium bromida (CTBA)
secara berturut-turut untuk endopoligalakturoni-
dase atau pektat liase.
Karboksimetilselulase : Zonasi jernih di atas CMC dengan CTBA seperti
pada pektinase.
Selulase : Pelepasan warna ke dalam agar yang jernih berisi
pewarna azur selufosa.
Xylanase : Seperti karboksimetilselulase.
Urease : dengan menggunakan indikator pH (fenol merah)
dalam urea agar.
Nuklease : Presipitasi asam nukleat (RNA, DNA) yang tidak
terhidrolisis dengan penambahan HCL;
fluoresensi ultraviolet dari asam nukleat yang tidak
terhidrolisis dengan akridin oranye.
Phosphatease : agar dengan phenolphtalein difosfat sebagai
substrat yang dikombinasikan dan indikator pH.
Inhibitor Enzim
Pada umumnya menggunakan prosedur seperti di atas yang
dimodifikasi misalnya dengan menggunakan agar berisi enzim.
NAD
Bioautografi menggunakan mikroba auxotropik (auksionografi)
Inhibitor Enzim
produk lainnya
Serupa dengan prosedur yang sebelumnya dengan
menggunakan warna yang spesifik, pH atau reaksi bioassay.
Seleksi antimikrobial
Selama dua warsa pertama (1940 - 1950an) dari masa ramainya
ditemukan antibiotik (antibioticera) proses seleksi pendahuluan dengan
menggunakan cawan petri (crawdedplate technique) sudah cukup balk
untuk dapat menemukan substansi kimia antimikrobial yang baru.
Seleksi modern untuk mendapatkan substansi antimikrobial baru
yang langka dan antibiotika yang lebih berdaya guna telah sampai pada
suatu proses yang kompleks. Seleksi sederhana dengan menggunakan
cawan petri kemudian menjadi terbatas pemakaiannya.
Saat ini, kebanyakan antibiotika yang diseleksi ditujukan kepada
pencarian jenis-jenis aktinomisetes yang langka (marga aktinomisetes
selain streptomyces dikatagorikan sebagai jenis yang langka yang secara
kolektif jumlahnya masih tidak lebih dari 5 persen dari total populasi
aktinomisetes di dalam tanah) ciri utama dari mikroba tanah langka ini
adalah mempunyai kecepatan tumbuh yang rendah, kebutuhan,
nutriennya lebih eksak, sporulasi sangat sedikit (miskin) dan stabilitasnya
dalam populasi di tanah rendah. Inilah yang mungkin menjadi penyebab
mengapa mikroba ini jarang terdeteksi. Padahal menurut hasil studi,
mikroba langka Ini telah membuahkan banyak hasil seperti terlihat pada
Tabel 2.4. Pada tahap awal proses seleksi substansi anti mikrobial yang
mempunyai broad range terhadap berbagai mikroorganisme patogen,
berbagai jenis mikroba yang mempunyai ketahanan spesifik atau
hipersensitif dipergunakan. Beberapa jenis mikroba yang mempunyai sifat
hipersensitif dipertelakan dalam Tabel 2.5.
Marga Metabolit
Streptoalloteichus Tallysomycin A, B
Nebramycin, Faktor II, IV, V
Actinomadura Rifamycin O
Carminomycin
Maduromycin
Luzopeptin
Streptosporangium Bleomycin
PWeomycin
Sibiromysin
Chloramphenicol
Chainia Chainin
Aburamycin
Tabel 2.6 Contoh antibiotic beta laktam yang berhasil diproduksi oleh
bakteri dan aktinomisetes
CONTOH TANAH
KULTUR DIKOCOK
Perbaikan Proses
Pembekuan biasa
Pemeliharaan/preservasi mikroba dapat dilakukan dengan
menyimpan kultur di dalam lemari beku dengan kisaran suhu antara 0°C
dan -20°C. Hasilnya sangat beragam dan tergantung kepada jenis
mikrobanya. Secara umum, metoda ini tidak direkomendasikan karena
dapat merusak sel. Namun demikian, beberapa jenis bakteri ada yang
dapat disimpan sampai 6 bulan bahkan sampai 2 tahun dengan
menggunakan metoda ini.
Liopilisasi (Freeze-drying)
Liopilisasi adalah metode pemeliharaan mikroba yang paling
ekonomis dan efektif untuk pemeliharaan kultur dalam jangka waktu yang
lama. Berbagai jenis bakteri dan bakteriofag telah berhasil dipelihara
dengan metoda ini dan dapat tetap hidup walaupun sudah disimpan
selama 30 tahun. Kultur dalam jumlah besar dapat disimpan dengan
menggunakan metoda ini tanpa banyak membutuhkan tempat.
Pengerjaannya relatif mudah walaupun teorinya memang komplek.
Dalam metode ini terjadi proses pengeluaran air dari suspensi
bakteri yang mengalami proses pembekuan dengan proses sublimasi
dalam kondisi udara minim. Dengan proses ini air menguap tanpa melalui
fase cair. Sel yang dalam keadaan kering ini dapat disimpan dalam
periode waktu yang amat lama jika disimpan dalam keadaan bebas
oksigen, bebas kelembaban dan cahaya. Kultur-nya sendiri setiap saat
direhidrasi dan direstorasi.
Proses liopilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai
jenis alat dari yang sangat sederhana berupa desikator yang dapat
didinginkan sampai suspensinya membeku dan menghubungkan
desikator itu dengan alat penghampa udara sampai alat yang canggih.
Ultra beku
Proses preservasi mikroba untuk waktu yang lama dapat dilakukan
dengan cara kultur dalam keadaan beku dengan menggunakan suhu -
196°C dalam nitrogen cair atau pada suhu -150°C dalam tangki yang
terinsulasi dengan baik. American Type Culture Collection menggunakan
metoda ini dan mampu mempertahankan viabilitas dan sifat-sifat penotif
setelah disimpan selama lebih dari 15 tahun.
Penyimpanan dapat pula dilakukan dalam suhu -70°C. Metode ini
diketahui berhasil dengan untuk beberapa jenis bakteria. Suatu hal yang
perlu mendapat perhatian bahwa keadaan harus dijaga supaya arus listrik
tidak mati dan kompresor tetap jalan. Alat penyimpanan biasanya
dilengkapi dengan alarm sehingga dapat dideteksi dengan cepat.
DAFTAR PUSTAKA
Bu'lock, J. and B. Kristiansen. 1987. Basic Biotechnology. Academic
Press. London.
Crueger, W. and AyCrueger. 1984. Biotechnology ( A textbook of
Industrial Microbiology Science Tech., Inc).Madison
Gherna, R. L 1981. Preservation. In Manual of Methods for General
Microbiology. American Soc. Microbiology pp:208- 217.
Johnston, J. R. 1975. Strain Improvement and Strain Stability in
Filamentous Fungi. In the Filamentous Fungi: Industrial Mycology
(Smith, J. E. and D. R. Berry eds.) Edward Arnold. London Vol 1:59-
78.
Johnston, J. R. 1985. Strain Selection and Improvement. In
Microbiology of Fermented Food (Wood, B. J. B. ed.), Elsevier
Applied Science Pub. London Vol 2: 271 - 292.
Kirsop, B. E. and J. J. S. Snell. 1984. Maintenance of Microorganisms-
A Manual of Laboratory Methods. Academic Press. London.
BAB 3 METODA FERMENTASI
Kultur Batch
Pada sistem batch umumnya konsentrasi nutrien dan jumlah
metabolit meningkat selama berlangsungnya proses. Keadaan seperti ini
mengakibatkan mikroba tidak dapat tumbuh dan berkembang biak dengan
baik. Pada saat nutrien semakin sedikitdan metabolit semakin menumpuk
maka pertumbuhan sel mikroba akan tertekan dan akhirnya akan terhenti
sama sekali atau sel mikroba banyak mengalami kematian.
Setelah inokulasi, sel mikroba tidak langsung bertambah. Pada
periode ini, sel melakukan aktivitas metabolik dan fisiologik untuk
mempersiapkan pembelahan. Periode tersebut dikenal dengan fase
pertumbuhan lambat atau fase adaptasi. Lama fase ini sulit ditentukan
karena tidak hanya tergantung pada jumlah sel yang diinokulasikan tetapi
juga dipengaruhi karakteristik metaboliknya, seperti umur dan keadaan
fisiologiknya. Pada proses yang bersifat komersial, fase ini diupayakan
berlangsung sesingkat mungkin, diantaranya dengan menggunakan
inokulen yang cocok, yakni kultur yang dalam keadaan aktif sehingga fase
adaptasinya lebih pendek.
Setelah fase pertumbuhan lambat dilalui maka kemudian set
mikroba tumbuh dengan cepat sekali secara eksponensial dan saat ini
dikenal sebagai fase eksponensial atau fase logaritmik. perubahan
konsentrasi biomassa sel mikroba per satuan waktu dapat dilihat pada
Gambar dengan persamaan berikut:
dimana :
x = konsentrasi biomassa sel/jumlah sel/ml, massa sel/mf, atau
komponen sel/ml t = waktu (dalam jam),dan
μ = laju pertumbuhan spesifik (dalam jam).
dimana :
xo = konsentrasi biomassa awal
xt = konsentrasi biomassa setelah selang waktu t jam
Gambar 3.1 Pada pertumbuhan mikroba pada kultur "batch" kurva (a)
untuk menunjukkan konsentrasi biomassa sel kalau tidak
terjadi lisis, (b) untuk menunjukkan konsentrasi biomassa sel
kalau terjadi lisis (c) untuk menunjukkan konsentrasi sel hidup
kalau terjadi lisis
Kultar kontinu
Berbeda dengan sistem batch, dimana pola pertumbuhan
mikoorganisme mengikuti kurva pada Gambar 3.3, maka pada kuitur
kontinu, selama fermentasi berlangsung, mikroorganisme diusahakan
tetap berada pada fase pertumbuhan eksponensial atau setidak- tidaknya
fase tersebut dijalani selama mungkin. Agar keadaan itu dapat dicapai
maka ke dalam fermentor (wadah tempat fermentasi berlangsung) secara
kontinu dilakukan penambahan substrat baru untuk mengganti yang
sudah dikonsumsi oleh mikroorganisme. Disamping itu juga dilakukan
secara kontinu pengambilan produk hasil fermentasi dan penetralan
terhadap metabolit-metabolit yang mungkin dapat mengganggu
pertumbuhan maksimal mikroorganisme. Karena itu medium selalu
dipertahankan dalam keadaan kesetimbangan (steady state) antara
biomassa sel yang baru terbentuk dengan biomassa sel yang dikeluarkan
dari medium fermentasi. Dalam hal ini dikenal istilah laju dilusi (D), yaitu
rasio antara laju aliran medium dengan volume medium di dalam tangki
fermentor:
D = FA/....................................................................(3.11)
dimana:
F = laju aliran medium
V = volume vessel dari fermentor
−1
Satuan volume . jam −1
{D [ ¿ ] [¿ ] jam
Satuan volume
u maks . s
dx/dt = x= −D ............................................(3.16)
Ks+ s
ss
atau ds/dt = DSr - Ds - u maks.x/y ( )..........................(3.18)
Ks+ s
Pada kondisi mantap (steady state), ds/dt dan dx/dt sama dengan
nol, oleh karena itu persamaan (3.18) dan (3.16) dapat disederhanakan
sehingga menjadi berikut:
X = Y(Sr-s)..............................................................(3.19)
dimana x adalah konsentrasi sel dalam kondisi mantap (steady state) dan
s konsentrasi substrat pada kondisi mantap (steady state).
Dari persamaan (3.20) di atas tampak bahwa konsentrasi substrat
ditentukan oleh laju dilusi (D), dan berdasarkan persamaan (3.15) nilai D
itu menentukan laju pertumbuhan spesifik (u).
Pada kultur kontinu, sel yang berbiak akan mengkonsumsi substrat
sampai konsentrasi substrat mencapai tingkat yang dapat mendorong laju
pertumbuhan sel yang setara dengan laju dilusi (D). Apabila konsentrasi
substrat turun hingga tfcJak dapat mendorong laju pertumbuhan pada
tingkat yang diharapkan, maka berarti jumlah sel yang diambil dari
fermentor lebih banyak dari sel bam yang diproduksi. Hal tersebut juga
berarti s meningkat dan peningkatan ini selanjutnya akan menaikkan laju
pertumbuhan. Dengan demikian sistem kembali kedalam kesetimbangan.
SISTEM FERMENTASI
Ada tiga sistem fermentasi yang dikenal saat ini, yaitu fermentasi
sistem batch, fermentasi kontinu dan fermentasi sistem fed-batch. Ketiga
cara itu dapat diterapkan pada fermentasi yang menggunakan medium
cair. Sedangkan untuk fermentasi yang menggunakan medium padat,
sistem batch yang sering dilakukan. Kinetika pertumbuhan mikroba untuk
ketiga sistem fermentasi tersebut telah dibicarakan pada bagian terdahulu.
Pada bagian ini akan dibicarakan lebih Ian jut mengenai masing-
masing fermentasi tersebut.
Keterangan:
(*) Pada persamaan (3.10):qp = Yp/x.u, dapat dilihat bahwa laju spesifik
pembentukan produk primer (qp) tergantung kepada laju spesifik
pertumbuhan (u). qp akan maksimum jika u juga maksimum. Nilai u
maks itu diperoleh pada fase pertumbuhan eksponensial
(**) qp ditentukan oleh nilai u (persamaan 3.10), sedangkan menurut
persamaan (3.5), u meningkat dengan meningkatnya u maksimum,
yang merupakan karakter dari suatu mikroorganisme.
(***)pada persamaan (3.4) dapat dilihat bahwa konsentrasi biomassa yang
dihasilkan (x) adalah : x = Y(Sr-s), yaitu tergantung pada konsentrasi
substrat awal, substrat sisa dan konstanta Y (yaitu yang menyatukan
gram sel kering yang bisa dihasilkan dari 1 gram substrat sumber
karbon jadi Y in ditentukan oleh jenis sumber karbon yang terdapat di
dalam substrat)
Fraksi cair diasamkan menjadi PH 2 -2.5 dengan asam sulfat dan penisilin
diestraksi kembali dengan butil asetat baru dalam "Centrifugal Counter
current extraktor* diekstraksi
Kalcium siltrat
Supernatant
400dm3 PH 8.8 konduktifitas 23,000 US
PENGENCERAN
Tambahkan 400dm3 aquades 11,000 US
PENGASAMAN
Tambahkan SP Sephadex C 25 (750g)
Aduk selama 1 h biarkan selama 2 h
RESIN DIKUMPULKAN
Pak dalam kolom yang sudah diatur, hilangkan protein yang tidak
terabsorpsi dengan cara alusi menggunakan 0.3 M ammonium asetat
pada PH 6.0
EVOLUSI
Nucleus sielusi dengan 2 N (NH4) 2SO4
DIALYSIS
Hasilnya didialisis semalaman dengan aquades
PEMEKATAN
Menggunakan “CH3 hollow fibre unit (Amicon) “ mol.w+cutoff 10.000”
PEMUSINGAN
10,000 selama 30 menit
GEL FILTRASI
Sephadex 675;0.013
PENGERING BEKUAN
Asam asetat + 0,1 N Amonium asetat
Filtrasi
Secara umum dikatakan bahwa fltrasi merupakan proses yang
paling umum dipergunakan dalam proses pemisahan partikel dari biak
dari suatu suspensi larutan ataupun gas baik dalam skala keel
(laboratorium) maupun skala besar (industri). Penggunaan proses fltrasi
dapat dilakukan dalam berbagai kondisi namun beberapa faktor yang
mempengaruhi proses perlu dipertimbangkan karena akan menentukan
jenis atau macam filtrat apa yang harus dipergunakan menyangkut
masalah penekanan biaya operasional. Diantara faktor-faktor yang dapat
disebutkan disini adalah :
(a) sifat dari filtratnya sendiri terutama viskositas dan densitasnya,
(b) sifat partikel padat dalam larutan terutama yang menyangkut masalah
ukuran dan bentuk, besar distribusi dan sifat lainnya termasuk packing
characteristics,
(c) perbandingan antara padatan dan cairan,
(d) jenis bahan yang akan dipanen apakah padatan, atau cairan,
(e) skala operasi,
(f) apakah operasi filtrasinya bersifat batch atau sinambung,
(g) apakah proses operasinya memerlukan kondisi steril atau tidak,
(h) apakah proses filtrasi ini memerlukan tekanan udara tambahan atau
pengisapan dengan pompa hampa agar laju aliran cairan dalam batas
yang diinginkan.
Sebuah unit filtrasi yang amat sederhana digambarkan pada
Gambar 4.4 yang tersusun atas sebuah penyangga ditutup dengan
sebuah kain filter berpori. Filter cake secara perlahan-lahan akan
terbentuk seiring dengan mengalirnya filtrat melalui kain penyaring.
Pembentukan filter cake ini diikuti dengan penurunan laju aliran cairan
melalui filter ini. Agar laju aliran cairan melalui filter ini tetap baik, tekanan
harus secara perlahan-lahan juga ditingkatkan. Penurunan laju aliran
cairan melalui filter ini dapat pula menurun bila pori-pori filter tersumbat.
Apalagi bila partikel bersifat lunak dan mudah mengalami kompresi.
dV KA ⌃ p
Rate of flow = = .....................................................(4.1)
dt ul
dimana:
u = viskositas cairan
L = kedalaman partikel filter
⌃ p = tekanan diferensial sepanjang partikel filter
A = luas permukaan filter yang terekspose oleh cairan
K = Kontanta untuk sistem
Khusus untuk memisahkan berbagai bahan yang bersifat kental dan
sulit difiltrasi atau bahkan dapat menyumbat fitter, kiese/guhr (tanah
diatomae) dapat dipergunakan. Dengan menggunakan bahan semacam
ini, porositas tinggi dan laju aliran cepat dan lancar.
Sentrifugasi (pemusingan)
Mikroba partikel lain yang ukurannya hampir sama dapat
dipisahkan dari cairan pertumbuhan dengan menggunakan pemusing.
Penggunaan alat pemu-sing walaupun mungkin lebih mahal bila
dibandingkan dengan cara filtrasi, dapat menjadi semakin penting artinya
bila bahan yang akan diambil sulit dipisahkan dari larutan pertumbuhan.
Hal ini dapat disebabkan karena sifatnya kental atau koloik atau bila sel
atau suspensi harus bersih dan tidak tercemari oleh bahan atau matrik
filter.
Alat pemusing yang sifatnya tidak sinambung penggunaannya
terbatas bila dibandingkan dengan yang bersifat sinambung terutama bila
melibatkan bahan dalam jumlah yang banyak. Dalam hampir semua
proses fermentasi yang beroperasi dalam skala menengah dan besar
biasanya menggunakan alat sentrifugasi yang bersifat sinambung atau
kalau tidak semi-sinambung. Beberapa jenis pemusing dapat
dipergunakan untuk memisahkan dua jenis larutan seperti juga fraksi-
fraksi padat.
Kecepatan proses sedimentasi partikel dalam suatu larutan yang
mempunyai sifat viskositas Newtonian akan mengikuti hukum Stoke yang
sebanding dengan pangkat dua dari diameter partikel yang akan
disedimentasikan. Adapun hukum Stoke persamaannya adalah sebagai
berikut:
dVr(Pp-Pi)
2 2
d w ( P p−Pi )
v= ................................................... . (4.2)
18 u
dimana:
v = kecepatan sedimentasi (ems-1)
d = diameter partikel (cm)
w = velositi angular aksis (radian s-1)
r = jarak partikel dari aksis perputaran (cm)
Pp = kerapatan partikel (gcm-3)
Pi = kerapatan larutan (gcm-3)
u = kekentalan larutan (gcm-1 second-1)
Menurut rumus atau persamaan ini faktor yang mempengaruhi
kecepatan sedimentasi adalah perbedaan densitas kekentalan larutan.
Idealnya, sel harus mempunyai ukuran diameter atau garis tengah yang
besar, perbedaan densitas atau kekentalan antara sel dan cairan dan
terutama bahwa cairan harus mempunyai kekentalan yang serendah-
rendahnya. Dalam prakteknya, sel biasanya sangat kecil, densitasnya
rendah dan seringkali tersuspensikan dalam medium yang bersifat kental.
Telah diketahui secara umum, bahwa sel mikroba yang membentuk
agregat meskipun densitasnya sama atau tidak berubah, akan mengalami
sedimentasi atau pengendapan lebih cepat karena diameter partikel
bertambah besar. Proses sedimentasi dengan cara ini mungkin dapat
dilakukan dengan cara memilih biak jasad renik tertentu yang dapat
dengan mudah membentuk agregat. Hal ini telah berhasil dilakukan
terhadap kamir yang berperan dalam proses fermentasi pembuatan bir.
Dengan mendinginkan wort pada akhir proses fermentasi, secara alami
kamir akan mengalami agregasi sehingga mudah dipisahkan dari cairan.
Berbagai faktor lain selain temperatur juga dapat mempengaruhi proses
flokulasi seperti muatan anion, karboksil primer dan gugusan fosfat pada
permukaan dinding sel kamir. Di dalam hal ini pH juga berperan.
Perubahan pH dan hadirnya senyawa kimia tertentu dapat
mengubah ion dari lingkungannya. Berbagai jenis senyawa kimia bahkan
kini telah banyak dipergunakan dalam proses flokulasi bakteri, kamir dan
algae. Komponen kimia yang dipakai termasuk diantaranya adalah
aluminium, kalsium dan garam Fe. Substansi kimia lain yang kini
dipergunakan adalah asam tanat, titanium tetrakhlorida dan substansi
kation seperti senyawa amonium kuarterner, alkil amin dan garam alkil
piridinium. Proses flukolasi dari kamir (Candida intermedia) diketahui amat
dipengaruhi oleh macam senyawa kimia yang ditambahkan, dosisnya dan
kondisi lingkungan. Dalam proses pembuatan protein sel tunggal, asam
fosfat telah banyak dipergunakan sebagai senyawa yang merangsang
pembentukan agregat. Hal ini dilakukan karena asam fosfat dapat pula
dimasukkan ke dalam makanan sehingga tidak perlu proses pemurnian.
Dalam beberapa proses dimana penambahan bahan kimia
dianggap mempunyai akibat racun, teknik lain perlu dikembangkan.
Salah satu metoda adalah metoda koagulasi protein mikroba melalui
proses pemanasan singkat.
Kembali kepada alat pemusing, berbagai jenis telah dikenal dan
dipakai dalam praktek. Satu jenis pemusing dengan jenis pemusing yang
lainnya biasanya berbeda dalam hal pengeluaran cairan atau solid dari
sentrifuge, kecepatan sistem pengosongan alat pemusing dan
kapasitasnya. Apabila alat pemusing diperlukan untuk suatu tujuan
tertentu, pemilihan alat harus dilakukan dengan cermat sehingga
pemanenan atau pemisahan bahan padat dari cairan dapat dilakukan
sesuai dengan jadwal yang ditentukan dengan biaya dan tenaga
minimum. Pengetesan dalam skala besar seringkali diperlukan dalam hal
ini.
Berbagai jenis sentrifuge yang saat ini dikenal antara lain adalah :
pemusing berbentuk keranjang, pemusing multi ruang, pemusing
dekanter, pemusing pinggang, pemusing tubular.
Pemusing berbentuk keranjang (flasket centrifuge/ perforated-bowl
basket centrifuge) adalah sangat berguna untuk proses pemisahan
miselium kapang atau komponen berbentuk kristal. Alat pemusing ini
biasanya dilengkapi filter terbuat dari dengan kantong nilon atau katun.
Alat pemusing ini biasanya berputar pada kecepatan tidak lebih dari 4000
rpm dengan kapasitas 50 sampai 3001 per menit.
Pemusing multi ruang (multichamber centrifuge) adalah jenis
pemusing yang amat cocok untuk memisahkan partikel padat berukuran
0,1 sampai 200 mikron dari lumpur. Dalam alat pemusing ini pemusing
multi ruang yang merupakan seri dari ruang konsentrik dipasang di dalam
ruang rotor. Larutan masuk melalui bagian tengah sementara padatan
ditampung di bagian luar ruangan. Kecepatan putaran maksimum adalah
hanya 6,500 rpm untuk rotor yang berdiameter 46 cm dengan kapasitas
tampung 761.
Pemusing dekanter (decanter centrifuge/solid bowl scroll
centrifuge) adalah tipe pemusing yang banyak dipergunakan dalam
menangani masalah limbah cair. Kecepatan perputaran rotor maksimum
hanya 400 rpm. Karena jenis pemusing ini tidak dipengaruhi oleh
keseimbangan (cairan dimasukkan dari ujung yang satu dan keluar
melalui ujung yang lain), kapasitasnya mungkin sangat besar. Kapasitas
pemusing yang terbesar dapat mencapai 20001 per jam cairan
menghasilkan 40 ton bahan padat per jam.
Jenis alat pemusing yang lain adalah disc-bowl centrifuge dan
tubular-bowl centrifuge. Jenis pemusing yang pertama dirancang
sedemikian rupa sehingga laju kecepatan pengendapan amat cepat. Rotor
dilengkapi dengan celah yang dapat dibuka sewaktu-waktu sehingga
pengeluaran endapan dapat dilakukan pada interval waktu tertentu.
Kelemahannya, fraksi padat masih banyak mengandung air. Kapasitas
tampung berkisar antara 45 dan 1800 I per menit. Sementara itu alat
pemusing tubular-bowl centrifuge dipergunakan untuk memisahkan
partikel berukuran 0,1 sampai 200 mikron dari cairan berbentuk lumpur.
Alat pemusing ini dirancang sedemikian rupa sehingga penggunaan-nya
dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Alat pemusing ini dapat diperguna-
kan untuk :
(a) memisahkan fase ringan dan fase berat dari suatu campuran zat cair,
(b) memisahkan material padat dari cairan,
(c) memisahkan fase padat ringan dari fase cairan yang berat.
EKSTRAKSI
Tahap selanjutnya bila sel telah terpisahkan dari larutan
pertumbuhan medium adalah bervariasi. Bila yang diinginkan adalah sel
atau biomassa, hasil penyaringan dicuci beberapa kali dengan air
kemudian ditiriskan dan dikeringkan dengan menggunakan oven atau
dikemas dalam cara khusus untuk dipasarkan. Tapi bila produk lain yang
diinginkan (misalnya enzim) proses pengisolasian dan proses pemurnian
adalah diperlukan. Pekerjaan ini dapat langsung dikerjakan bila produk
yang diinginkan adalah bersifat ekstraselular. Namun bila bahan yang
dicari bersifat intraseluler, maka ekstrasi diperlukan. Berdasarkan
beberapa catatan, proses ekstrasi dapat dilakukan dengan berbagai cara
dan sebagian dari cara tersebut akan dibicarakan di bawah ini.
Proses ekstrasi yang dimaksudkan di sini adalah suatu metoda
dimana sel diperlakukan sedemikian rupa dengan maksud untuk
mengeluarkan enzim atau metabolit lainnya yang dibutuhkan dari dalam
sel. Proses ekstrasi dapat dilakukan dengan dua cara utama yaitu dengan
metoda kimiawi dan metoda fisik.
Alkali
Metode ini telah dipergunakan dengan sukses dalam
mengekstraksikan protein baik dalam skala kecil maupun besar dari
berbagai jenis bakteri. Enzim L-asparginase (3,5,1,1,-L- aspargin amido-
hidrolase) berhasil diisolasi dengan mengekspose bakteri terhadap larutan
alkali dengan pH antara 11 dan 12,5 selama 20 menit. Penggunaan alkali
dalam preparasi dinding sel dari tanaman dan kapang juga pernah
dilaporkan. Hidrolisis dinding sel relatif ekstensif dan substansi yang
terikat pada membran seperti sitokhrom C terlepas. Keberhasilan proses
ekstrasi dengan menggunakan metoda ini sangat tergantung kepada
kestabilan enzim yang akan diekstrak terhadap pH yang ekstrim tinggi.
Proses ini biasanya akan menginaktifkan protease dan menekan
terjadinya kontaminasi oleh pirogen.
Detergen
Detergen ada dua macam. Ada yang bersifat ion seperti lauril sulfat
(anion) dan setil dietil ammonium bromida (kation) dan ada pula yang
bersifat bukan ion misalnya Tween dan Triton. Dalam kondisi low ionic
strength dan pH yang cocok, detergen akan bersatu dengan lipoprotein.
Oleh karenanya pula lipoprotein yang merupakan bagian dari dinding sel
akan larut dan membran sel akan menjadi permeabel. Mekanisne
terjadinya ikatan komplek antara lipoprotein dan detergen belum
terungkap secara jelas dan diduga mempunyai hubungan dengan proses
elektrostatik dan daya Van der Wall. Pembentukan komplek amat
tergantung kepada pH dan suhu.
Detergen yang bersifat ionik lebih reaktif dan mengarah kepada
terjadinya disasosiasi lipoprotein. Hal ini kemudian akan menyebabkan
terjadinya denaturasi protein, presipitasi dan mungkin diiringi oleh
terjadinya hidrolisis ikatan peptida. Oleh karena itu pula detergen tidaklah
cocok untuk proses ekstraksi enzim. Presipitasi protein oleh garam
mineral juga menjadi masalah bila terdapat detergen. Namun demikian hal
ini dapat dicegah dalam banyak hal dengan menggunakan khromatografi
pertukaran ion.
Terlepas dari kekurangan-kekurangannya, detergen mempunyai
banyak kegunaan dalam proses ekstrasi termasuk fraksinsi partikel virus.
Triton X-100 dipergunakan dalam skala yang besar untuk melepaskan
kholesterol oksidase dari Nocardia sp. and sodium kho late telah
dipergunakan untuk melarutkan pululanase (pullan - 6- glukan hidrolase).
Pendinginan mendadak
Bakteri gram negatif lebih peka dari pada bakteri gram positif
terhadap perlakuan ini. Pengaruh pendinginan mendadak hanya terjadi
pada kondisi tertentu dan berakibat terhadap hilangnya daya hidup sel
dan keluarnya materi-materi sel yang mempunyai absorbtivitas 260 nm.
Materi-materi sel tersebut antara lain adalah asam amino dan ATP.
Metode ini sulit dipergunakan bila digunakan dalam skala besar.
Ada dua hambatan atau kelemahan utama yaitu bahwa metoda ini hampir
tidak memberi pengaruh bila densitas sel di dalam suatu larutan kurang
dari 10 per ml dan kelemahan lainnya adalah bahwa bakteri hanya peka
terhadap perlakuan ini hanya pada fase pertumbuhan eksponensial.
Osmosis Mendadak
Metode ini telah dipergunakan dalam proses ekstraksi enzim
hidrolase dan protein terikat dari berbagai jenis bakteri gram negatif
termasuk Salmonella typhimurium dan E. coli. Osmosis diawali dengan
proses pencucian sel oleh larutan bufer untuk menghilangkan seluruh
medium pertumbuhan dan ekuilibrasi untuk menghilangkan sebagian air
dari dalam sel yang kemudian dihilangkan dengan jalam sentrifugasi atau
pemusingan. Padatan sel yang dihasilkan kemudian didispersikan dengan
cepat dalam air pada suhu 4°C. Peningkatan tekanan osmotis yang
mendadak di dalam sel akan menyebabkan keluarnya beberapa
komponen tertentu dari sel.
Hanya 4 - 7 % saja dari total protein sel dapat dibebaskan dari sel
dengan menggunakan metoda ini. Namun demikian hal ini sudah
menyebabkan daya hidup sel menurun dengan tajam. Apabila metoda ini
dan juga metoda pendinginan dipergunakan untuk mengekstrasikan enzim
yang terdapat di permukaan sel, jumlah enzim yang dapat diekstraksikan
dapat mencapai 14 sampai 20 kali lipat. Teknik osmosis mendadak ini
oleh karenanya sangat berguna dalam usaha untuk mengekstrasikan
enzim periplasmik seperti enzim kanamisin asetil transferase dari E. coli.
Diketahui pula bahwa teknik ini bermanfaat dalam proses ekstrasi
lusiferase dari bakteri asal laut Photobacterium fischeri. Dalam hal ini
bakteri laut cukup disuspensikan ulang di dalam larutan bufer encer
karena medium pertumbuhannya berisi 30 g NaCI per I.
Teknik osmosis mendadak ini diketahui tidak cocok untuk
mengekstraksi enzim dari bakteri gram positif yang mempunyai rigiditas
sel yang cukup tinggi dengan tekanan osmosis internal sekitar 20
atmosfer.
Sonikasi
Ultra sonik adalah gelombang suara diatas pendengaran manusia
(di atas 20 kHz). Bila diekspresikan di dalam panjang gelombang di dalam
larutan panjangnya berkisar antara 6 sampai 2,4 x 10 cm.
Penggunaan suara ultra di dalam suatu larutan akan menghasilkan
suatu fenomena yang dikenal sebagai kavitasi. Daerah kompresi dan
penipisan (rarefaction) terjadi dan kaviti yang terbentuk di daerah ini
mengempis dan gelembung di daerah ini akan ditekan menjadi beberapa
ribu atmosfer. Seirama dengan kejadian ini, gelombang terbentuk dan
gelombang inilah yang mempunyai daya untuk menghancurkan sel.
Metode suara ultra telah dengan berhasil dipergunakan dalam
berbagai proses ekstraksi. Metoda ini telah pula banyak dipergunakan
untuk membuat preparasi dinding sel.
Efisiensi penggunaan suara ultra sangat tergantung kepada
berbagai jenis kondisi lingkungan termasuk pH, temperatur, dan kekuatan
inonik dari medium dan waktu. Walaupun metoda ini telah banyak
digunakan, penggunaannya untuk skala besar cukup sulit untuk dilakukan.
Pembekuan Berulang
Pengaruh pembekuan berulang adalah serupa dengan apa yang
terjadi pada proses ekstraksi dengan menggunakan pendinginan
mendadak dan osmosis. Dalam proses pembekuan berulang ini
penghancuran sel lebih drastis sebab terjadi pembentukan kristal es.
Namun demikian, efisiensi pelepasan protein terlarut dengan satu kali
proses tidak melebihi 10 % sekalipun bakterinya adalah bakteri gram
negatif.
Pembekuan berulang ini mungkin juga dapat menimbulkan
hilangnya aktivitas enzim yang diekstrasi karena proses ini dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan struktur enzim. Enzim tertentu
seperti katalase tidak mengalami perubahan struktur yang berarti akibat
pembekuan berulang namun aktivitasnya mengalami penurunan secara
tajam. Oleh karena itu pula metoda ini tidak banyak direkomendasikan
dalam proses ekstraksi enzim.
"Shear" Pedataan
Metode ini juga pernah dipergunakan untuk mengekstraksi enzim.
Sel-sel khamir dicampur dengan basil diaternit yang porfus (kieselguhr)
kemudian dicampur dengan menggunakan tekanan hidraulik. Kieselguhr
bertindak sebagai bahan abrasif dan dengan tekanan sel akan hancur dan
enzim dapat dibebaskan. Metoda lain yang dikembangkan adalah dengan
mencampurkan sel dan bahan abrasif, atau dibekukan pada suhu minus
20°C (dalam hal ini kristal es bertindak sebagai bahan abrasif). Pasta sel
kemudian ditempatkan dalam silinder yangterbuat dari logam kemudian
diberi tekanan 150 sampai 230 Mpa. Dengan metoda ini sel dapat hancur
dan enzim dapat keluar dari sel untuk diekstraksi lebih lanjut. Metoda ini
telah banyak dikembangkan dan Magnusson serta Edebo pada tahun
1976 berhasil merancang alat yang mampu menghancurkan sel sampai
dengan jumlah 10 kg per jam.
Shear Cairan
Metode ini dipergunakan untuk menghancurkan khloroplas.
Suspensi khloroplas dilakukan melalui sebuah jarum pada tekanan 20000
p.s.i (137 Mpa) dengan laju 10 ml per menit. Dengan menggunakan
metode ini sel dapat pula pecan, protein beserta enzim keluar dari sel
walaupun ada beberapa jenis enzim keluar lebih lambat.
Amonium sulfat
Proses pengendapan protein dengan m6nggunakan garam mineral
telah lama dilakukan. Proses pengendapan ini mempunyai dua tujuan
utama yaitu sebagai tahap awal proses pemurnian enzim dan
meningkatkan konsentrasi enzim. Adapun garam mineral yang paling
umum digunakan adalah amonium sulfat karena kolubilitasnya di dalam
air amat tinggi, tidak mengandung zat-zat yang bersifat toksik terhadap
kebanyakan enzim, harganya relatif murah, dan dalam banyak hal dapat
bertindak sebagai stabilisator bagi enzim dengan amonium sulfat amat
tergantung kepada pH, suhu, dan konsentrasi protein di dalam larutan
contoh.
Pelarut organik
Penggunaan pelarut organik dalam proses ekstraksi atau
pemurnian enzim adalah berpegang pada prinsip bahwa pelarut organik
akan menurunkan solubilitas protein di dalam suatu larutan. Hal ini terjadi
karena nilai konstanta dielektrik dari larutan itu turun. Penambahan pelarut
organik yang berlebih akan mengakibatkan molekul-molekul protein lebih
berinteraksi dengan molekul protein yang lainnya daripada dengan air.
Pembentukkan komplek protein yang berbeda muatannya akan terus
berlanjut sampai kepada suatu titik dimana protein akhirnya mengalami
proses pengendapan. Pada suhu 4 C, enzim mungkin akan mengalami
kerusakan dan oleh sebab itu jika metoda ini akan dipergunakan,
sebaiknya dilakukan di dalam ruangan bertemperatur lebih kecil dari 0.
Berbagai jenis pelarut organik dapat dipergunakan untuk
mengendapkan protein atau enzim. Namun yang paling sering
dipergunakan adalah metanol, etanol, dan propanol. Aseton dan diets eter
dapat pula dipergunakan. Namun karena lebih mudah terbakar, dua
pelarut organik yang terakhir ini jarang dipergunakan. Metoda ini dalam
skala besar jarang dipergunakan.
Khromatografi gel
Dalam proses ini sesungguhnya lebih bersifat preparatif dari pada
analitik. Yang amat menarik dari proses ini adalah bahwa proses ini
mampu memisahkan fraksi-fraksi enzim dan dengan demikian pula dapat
dipergunakan dalam proses pemurnian. Sebelum melangkah lebih jauh,
struktur gel dan teori yang mendasari sehingga proses ini dapat dipakai
dalam proses pemisahan enzim haruslah diketahui terlebih dahulu.
Khromatografi gel seringkali dikenal juga sebagai filtrasi gel,
molecular sieve filtration, molecular sieve chromatography, gelpermeatin
chromatography, dan steric chromatography. Dalam buku penuntun
praktikum ini istilah yang akan dipakai adalah Khromatografi gel.
Bahan yang dipergunakan dapat bermacam-macam dan yang
sering dipakai adalah (crosslinked dextrans) dekstran berikatan silang
yang secara komersial dikenal dengan nama sephadex. Dekstran yang
dipergunakan adalah poliskakharida yang merupakan hasil dari proses
fermentasi dengan menggunakan bakteri Leuconostoc mesenteroides.
Bakteri ini ditumbuhkan dalam medium sukrosa. Produk fermentasinya
sendiri dikenal sebagai native dextran berberat molekul yang amat tinggi
berisi sekitar 90 sampai 95 % ikatan alpha 1,6- glukosida. Ikatan sisanya
adalah ikatan glukosidik tipe 1,3. Rantai lurus dekstran secara kimia
dibuat menjadi rantai yang berikatan silang sehingga membentuk jaringan
tiga dimensi. Melalui proses kimia ini dekstran mengalami pengikatan
melalui grup glukosa hidroksil dan menghasilkan ikatan eter gliserin.
Derajat ikatan silang dipengaruhi oleh jumlah epikhlorohidrin yang
dipergunakan yang kemudian mengontrol derajat hidrasi di dalam matrik
gel. Ini pula yang mempengaruhi porositi matrik. Makin banyak air yang
dapat diikat per gram berat kering gel, makin besar molekul yang dapat
dipisah-pisahkan. Sebaliknya, bila jumlah matrik dekstran per g berat
kering gel, jumlah molekul yang dapat dipisah-pisahkan akan semakin
menurun. Dengan demikian, jika campuran molekul dengan berat molekul
yang berbeda-beda ditempatkan di atas kolum gel yang mempunyai ikatan
silang yang tinggi, molekul yang mempunyai berat molekul yang tinggi
akan turun lebih dulu dan akan dapat ditampung lebih awal. Sementara itu
molekul yang mempunyai berat molekul lebih rendah akan tertahan lebih
lama di dalam gel.
Porositas gel merupakan fungsi derajat ikatan silang dari dekstran.
Semakin sedikit ikatan silangnya akan semakin besar porositinya dan
sebagai konsekuensinya adalah bahwa berat molekul yang tidak dapat
berdifusi ke dalam pori-pori gel akan lebih besar pula.
Dasar pemisahan dengan menggunakan khromatografi gel dapat
diterangkan secara sederhana sebagai berikut : Bila suatu larutan cair
berisi molekul berukuran besar dan kecil ditempatkan di atas permukaan
gel, Iarutan tersebut akan mulai mengalami perkolasi ke dalam gel. Bila
kemudian Iarutan tersebut dicuci dengan menggunakan air melalui kolum,
molekul yang kecil akan mengalami difusi ke dalam gel dan akan bergerak
lambat. Molekul yang besar yang tidak dapat masuk ke dalam pori-pori gel
akan bergerak di dalam kolum lebih cepat sehingga akan terpisahkan dari
molekul-molekul yang lain yang lebih kecil. Sekali molekul yang berukuran
kecil telah tercuci, kolum sudah siap untuk digunakan kembali untuk
proses pemisahan yang berikutnya. Regenerasi terkadang tidak
diperlukan dan kolum dapat dipergunakan berulang-ulang kali tanpa harus
mengulangi proses pengepakan gel.
Proses khromatografi sel adalah proses difusi partisi dari molekul
dalam suatu Iarutan antara fase pelarut yang dapat bergerak dengan
segera dan molekul yang bergerak lambat melalui partikel yang berpori-
pori. Mekanisme khromatografi gel dapat lebih dimengerti dengan asumsi
bahwa gel tidak lain daripada suatu struktur seperti benda-benda bulat
yang berpori-pori. Fase yang bergerak adalah cairan yang terdapat diluar
pori-pori dari benda-benda bulat itu dan ini dikenal sebagai Void Volume
(Vo), sementara itu fase atau cairan yang menghuni bagian dalam dari
partikel benda-benda bulat dikenal sebagai (V o). Perubahan proses difusi
Iarutan berlangsung antara fase stationari di dalam pori-pori partikel dan
fase yang bergerak di luar partikel. Volume yang tidak terhitung sebagai
volume total dari kolum (Vt) adalah volume dari matrik itu sendiri (V g).
Dengan demikian dirumuskan:
Vt = Vo + Vi + Vg..................................................... (4.3)
dimana:
Ve = volume pelarut yang diperlukan untuk mengelusi zat yang terlarut
dari kolum
Vo = volume void
Vt = volume total dari kolum gel.
Gambar 4.9. Penukar ion lengkap dengan counter ions nya yang dapat
ditukar. A. Penukar anion, B. Penukar kation.
Tabel 4.5. Grup fungsional yang biasa dipakai untuk penukar ion
Anion
Aminoethyl (AE-) -OCH2CH2NH3+
Diethylaminoethyi (DEAE-) -OCH2CH2N+H(CH2CH3)2
Quaternary aminoethyl (QAE-) -CH2CH2N + (C2H5)2CH2CH(OH)CH3
Kation
Carboxymethyl (CM-) -OCH2COO-
Phospho -PO4H2-
Sulphopropyl (SP-) -CH2CH2CH2SO3-
Khromatografi afinitas
Teknik khromatografi afinitas barangkali merupakan teknik yang
paling umum dalam usaha memecahkan masalah pemurnian individu
enzim atau protein dari suatu campuran yang komplek walaupun metoda
khromatografi afinitas ini seringkali hanya dipergunakan dalam taraf kecil
di laboratorium dan amat jarang dipergunakan untuk proses pemurnian
dalam skala besar.
Pada saat ini khromatografi afinitas dipandang sebagai suatu
teknik yang khusus karena melalui teknik ini jenis biomolekul apapun
dapat dipurifikasi berdasarkan fungsi biologi atau struktur individu
kimianya. Teknik ini sebenar-nya belum lama diperkenalkan yaitu kira-kira
15 tahun yang lalu, pemakaian-nya berkembang demikian pesat dan pada
saat ini dipergunakan di hampir semua laboratorium dalam proses
pemurnian substansi biologis. Hal ini tidak lain karena dengan proses ini
pemurnian dapat dilakukan dengan cepat dan dapat memisahkan
substansi biologis yang tadinya tidak bisa atau hampir mustahil
dipisahkan atau dipurifikasi bila hanya tergantung pada metoda yang
konvensional.
Khromatografi afinitas adalah tipe khromatografi adsorpsi. Dalam hal
ini molekul yang akan dimurnikan secara khusus dan bersifat reversibel
diadsorpsi oleh ikatan komplemen (ligan) yang terimobilisasi pada
penyangga tidak larut (matrik). Pemurnian dapat mencapai beberapa ribu
kali lipat dan menghasilkan substansi biologis aktif dengan aktivitas yang
amat tinggi. Tidak seperti pada proses pemurnian dengan menggunakan
cara lain yang seringkali dilakukan secara bertahap, khromatografi
afinitas lebih sederhana sehingga proses pemurnian dalam skala besar
dapat dilakukan. Selektivitasnya juga tinggi. Mengingat hal-hal ini
khromatografi afinitas dapat dipergunakan untuk:
(a) pemurnian substansi dari campuran biologis yang komplek,
(b) pemisahan substansi aktif dari substansi serupa yang telah
mengalami denaturasi,
(c) menghilangkan sejumlah kecil substansi biologis yang bersifat
kontaminan.
Asam Sitrat
Hasil
Reaksi bersih biosintesa asam sitrat dari sukrosa adalah sebagai berikut:
C12H22O11 + 3H2O ------> 2C6H8O7 + 12H+ .............. (1)
(sukrosa) (asam sitrat)
Jadi, tiap 100 gram glukosa dapat menghasilkan 112 gram asam
sitrat anhidrida atau 123 gram asam sitrat hidrida (C6H807.1H20). Tapi
dalam kenyataannya, hasil yang diperoleh lebih rendah karena sebagian
glukosa digunakan untuk pembentukan miselium dan dioksidasi menjadi
C02 melalui proses respirasi. Kehilangan asam sitrat ini terjadi pada saat
tropofase. Pada Tabel 5.1 dapat dilihat hasil yang diperoleh dari berbagai
jenis media dan proses fermentasi.
Biosintesa
Asam sitrat merupakan senyawa antara pada siklus kreb (siklus asam
trikar-boksilat). Lintasan reaksi katabolik yang mendahului pembentukan
asam sitrat ini, diantaranya adalah lintasan glikolisis (Embden-Meyerhof-
Parnas) dan lintasan Entner-Doudoroff yang menyediakan senyawa
antara asam piruvat yang merupakan senyawa kunci dalam metabolisme.
Sebagian besar (80 %) glukosa diubah menjadi piruvat melalui lintasan
glikolisis. Piruvat akan mengalami dekar-boksilasi dan berikatan dengan
koenzim A membentuk asetil-CoA dan selanjutnya masuk ke dalam siklus
kreb untuk bergabung dengan oksaloasetat membentuk asam sitrat
(Gambar 5.1).
Tabel 5.1
Asam sitrat yang dihasilkan dari beberapa cara fermentasi
Mikro- Bahan baku Pro- Hasil Hasil mak- % Hasil
orga- (sukrosa,%) ses nyata simum maksimum
nisme secara secara
kg% kg% teoritis teoritis
bahan sumber kg%/kg sum-
baku karbon berkarbon
sub-
Khamir n-Alkana 165 82 247.0 66.8
merged
sub-
Khamir Metanol 40 45 109.4 36.6
merged
sub-
Khamir Etanol 60 48.4 145.8 41 1
merged
Media
Media untuk produksi asam sitrat harus menyediakan zat gizi
mikroorganisma, yaitu senyawa sumber karbon, nitrogen dan mineral.
Disamping itu juga perlu pengaturan pH untuk menekan kontaminasi dan
menghindari terialu banyaknya biosintesa produk lain yang tidak
dikehendaki. Pada pH rendah (2-3), medium hanya dapat dikontaminasi
oleh khamir dan Penicillium. Sewaktu idiofase, pH perlu di bawah 3 agar
tidak terjadi sintesa asam oksalat dan glukonat yang berlebihan
dlhldrokst aseton fosfat
1. Sumber Karbon
Senyawa sumber karbon merupakan bahan baku utama untuk
produksi asam sitrat. Beberapa contoh bahan baku ini adalah pati dari
umbi-umbian (misalnya ubi jalar, singkong dan talas), sirup glukosa
dari pati yang disakarrfikasi dengan asam, sukrosa dan limbah
pengolahan hasH pertanian (seperti molasses dari gula tebu dan bit,
onggok, dedak padidan gandum dan limbah pengolahan nanas).
Pemiiihan bahan baku di atas tentu terutama berdasarkan
pertimbangan ekonomi.
Sebelum digunakan, bahan baku seperti hidrolisat pati, sirup
glukosa dan molases perlu diberi perlakuan pendahuluan untuk
mengurangi kandungan beberapa kation/mineral yang akan
mengganggu fermentasi nanti. Untuk molases, hal itu dilakukan
dengan penambahan heksasianoferrat yang akan mengendapkan
kation logam, atau dengan melewatkan pada penukar kation.
Bahan baku molasses yang hendak digunakan untuk
fermentasi, perlu diuji pada fermentor percobaan dimana data-data
yang diperoleh digunakan sebagai pedoman untuk memberikan
perlakuan pendahuluan agar diperoleh kwalitas bahan baku yang
memberikan hasfl optimum. Efek toksik dari besi (8 ppm) akan
berkurang jika terdapat tembaga. Tanpa tembaga, asam sitrat tklak
akan di-produksi. Penambahan tembaga sampai 100 ppm berkorelasi
positif dengan produksi asam sitrat (Scheiger, 1961 di dalam Cnieger
dan Crueger, 1984).
Metoda Fermentasi
1. Pembuatan Inokulum/starter
Proses fermentasi dimulai dari penyiapan inokulum/ starter.
Untuk fermentasi media padat dan fermentasi dangkal, dibutuhkan
inokulum yang berupa suspensi spora. Inokulum ini dibiakkan pada
substrat padat pada suhu 25 C dengan menginkubasikan 10-14 hari
pada kondisi aerobik. Untuk fermentasi kultur terendam (sub- merged),
inokulum tadi diprogasi/dibiakkan lagi menjadi starter di dalam
fermentor pembiakkan yang kapasitasnya jauh lebih kecil dari
fermentor produksi. Medium untuk propagasi dapat berupa molasses
yang me-ngandung gula 15 %. Pada medium iniditambahkan ion
sianida untuk merangsang pembentukan miselium yang berbentuk
pellet. Apabila sianida terlalu sedikit, pertumbuhan inokulum akan
pesat tapi produksi asam sitrat nantinya rendah. Pada saat fermentasi
tersebut, spora akan bergerminasi dan miselium membentuk pellet
berukuran 0.2 - 0.5 mm pada suhu 32°C dengan waktu fermentasi 24
jam.
2. Proses Fermentasi
Proses fermentasi dapat dilakukan dengan fermentasi kultur
permukaan dan kultur terendam. Fermentasi kultur permukaan dapat
menggunakan media padat maupun cair. Fermentasi kultur terbagi
dua, yaitu yang dilakukan pada fermentor berpengaduk (stirrer
fermentor) dan pada air lift fermentor.
a. Fermentasi Permukaan pada Media Padat
Fermentasi ini menggunakan media padat dari limbah
pengolahan hasil pertanian, seperti onggok, dedak padi, dedak
gandum, pulp tebu dan limbah pengolahan nenas. Keuntungan
fermentasi ini adalah kurang sensitifnya mikroorganisma terhadap
kelebihan unsur runutan.
Proses fermentasi
Tabel 5.4. Komposisi garam mineral menurut Wells dan Henrick (1938)
Tabel 5.5. Komposisi media menurut Perlman, Kita dan Peterson (1946)
1. Metode Szucs
Fermentasi ini berlangsung dua tahap, pertama adalah
fermentasi pada "media pertumbuhan", dan setelah itu
fermentasi pada "media produksi". Media pertumbuhan
mengandung:
Sukrosa..................................................................25-50 g/l
NH4NO...................................................................3 2.25 g/l
KH2PO4..................................................................0.3 g/l
MgS04.7H20...........................................................0.25 g/l
HC11 N (agar pH menjadi 2) 10 ml/l
Biosintesis
Asam glukonat (C6H12O7) disintesis dari glukosa melalui oksidasi
dengan bantuan enzim glucose oxidase. Reaksi ini membutuhkan
koenzim pembawa hidrogen flavin adenin dinukleotida (FAD), dan
oksigen. Pada reaksi tersebut, glukosa dioksidasi dan dua buah proton
yang dikeluarkan dari glukosa ditangkap oleh FAD. Kemudian proton
tersebut dipindahkan lagi ke oksigen sehingga meng-hasilkan hidrogen
peroksida. Pada fermentasi asam glukonat, dihasilkan juga (5-D-glukonat
dan glucose oxidase (Notatin atau Penicillium B).
Asam Asetat
Media
Fermentasi asam asetat membutuhkan medium yang mengandung
etanol (etil alkohol) 10 -13%. Umumnya medium tersebut diperoleh dari
hasil fermentasi alkohol, yaitu fermentasi pengubahan gula menjadi
etanol. Bila konsentrasi alkohol terialu tinggi, pada fermentasi kultur
permukaan, lapisan biang cuka akan terganggu pembentukannya,
sehingga fermentasi alkohol menjadi asam asetat tidak berlangsung
dengan sempurna. Selain itu, keasaman medium perlu diperhatikan.
Keasaman dapat diatur dengan menambahkan 25% larutan cuka pada
medium.
Metode Fermentasi
Fermentasi asam asetat dapat dilakukan dengan fermentasi kultur
permukaan dan fermentasi kultur terendam. Fermentasi kultur permukaan
dapat dilakukan dengan dan tanpa supporting medium. Sedangkan
fermentasi kultur terendam menggunakan fermentor yang dilengkapi
dengan sistem aerasi dan agitasi seperti untuk fermentasi kultur terendam
yang bersifat aerobik lainnya.
Biosentesis
Biosentesis asam laktat dari glukosa terlebih dahulu melalui jalur
glikolisis. Piruvat, yang merupakan hasil akhir dari glikolisis mengalami
reduksi meniadi asam laktat, dengan bantuan koezim dikotinamida aderon
dinukleotida tereduksi (NADH + H+) dan enzim laktat dehidragenase.
Secara stokiometri, tiap mol qlukosa dapat menghasilkan 2 mol asam
laktat. Dalam kenyataanya hanya 90 % saja glukosa yang diubah menjadi
asam laktat. Sisanya untuk metabolisme sel dan pembentukan hasil
sampingan lainnnya.
Metode Fermentasi
Asam laktat dapat diproduksi dari berbagai bahan baku, seperti
whey (limbah cair industri pengolahan susu), gula, molasses umbi-umbian
dan bahan atau limbah hasil pertanian yang mengandung karbohidrat
lainnya.
Bahan baku yang berpati, seperti umbi-umbian, biji-bijian dan
limbah industri tapioka (onggok dan limbah cair). sebelum digunakan perlu
dihrolisa menjadi, gula sederhana terlebih dahulu. yaitu dengan enzim
amilase atau dengan asam kuat (asam sulfat atau asam khlorida).
Bakteri asam laktat tergolong bakteri termofilik yang tumbuh
optimum pada suhu 40 - 50°C. Karena itu fermentasi asam laktat
dilangsungkan pada suhu agak tinggi tergantung kepada jenis bakterinva.
Suhu fermentasi bagi L debmecku adalah 45C atau lebih. L bulqaricus 45°
- 50°C, L Case, dan S. lacts 30°C.
Fermentasi asam laktat tidak memerlukan aerasi. karena bakteri
asam laktat tergolong mikroaerofilik, anaerob atau fakultatif aerob.
Untuk menjamin pertumbuhan optimum, fermentasi ini
dilangsungkan pada PH sedikit asam. yaitu sekitar 5.8. Kontrol
terhadap PH dapat dilakukan dengan penambahan kalsium hidroksida
atau kalsium karbonat pada awal fermentasi. Netralisasi asam terjadi
karena ion laktat yang disentesa akan beraksi dengan ion kalsium
membentuk garam kalsium laktat.
H20<-
CH2-COO" II
c-coo~
CH-COO (asam cis-akonitat)
akonitat dekarboksil
ase
C02<-
CH2-C00 I
c-coo~
II
CH2 (asam itakonat)
Gambar 5.26. Jalur Biosintesa Asam Itakonat
Medium tersebut dimasukkan ke dalam erienmeyer 200 ml sebanyak
50 ml, kemudiari disterilisasi. Setelah dinokulasi dengan suspensi spora A.
terreus yang berumur 10 hari yang ditumbuhkan pada agar miring,
medium diinkubasi pada suhu 30 C selama 5 hari, dan dikocok dengan
shaker.
212
C. Pembuatan Inokulum Menurut Pfeifer et al. (1953) Komposisi Media:
corn-suqar (hidrated): ....................................... 6.60 %
corn-steep liqquor (40-45 % padatan ................ 0.15%
Amoniumsulfat ................................................... 0.30%
MgS04.7H20 ..................................................... 0.08%
(pH diatur menjadi 5 atau lebih rendah dengan asam sulfat atau
itakonat)
Medium tersebut diinokuiasi dengan spora A. terreus kemudian
diinkubasi pada suhu 93°F selama 2 hari, dan diagitasi serta diaerasi.
2.Fermentasi Untuk Memproduksi Asam itakonat
Fermentasi kultur terendam (sub-merged) dengan sistem batch dapat
dilakukan dengan berbagai metode. Diantaranya adalah:
a. Fermentasi menurut Nelson et al. (1952)
Komposisi Medium:
Glukosa.............................
MgS04.7H20 .................. . . 6%
(NH4)2S04 . . ............... . . 5g/l
Corn-steep liquor........ 2.67
H2SO4 untuk mengatur pH 1.8 - 2 g/l
Medium tersebut diinokuiasi dengan starter/inokulum yang telah
disiapkan sebelumnya sebanyak 0.8 % (v/v). Fermentasi dilakukan pada
fermentor berkapasitas 29 liter, pada suhu 34oC selama 4 - 6 hari, diberi
aerasi 1/30 wm, agitasi dan tekanan udara sebesar 15 psig. Untuk
mencegah buih dapat digunakan oktadecanol. Fermentasi ini dapat
menkonversi 45 - 54 % glukosa menjadi asam itakonat.
b.Fermentasi Menurut Pfeifer et al. (1953)
Medium untuk fermentasi ini sama dengan medium yang digunakan
untuk menumbuhkan inokulum/starter sebelumnya. Perbedaannya adalah
pada pH, yakni pH 2.5-5 untuk medium yang akan digunakan untuk
memproduksi asam itakonat. Medium diinokuiasi dengan 5-10%
inokulum/starter yang telah disiapkan sebelumnya. Fermentasi dilakukan
pada fermentor yang d'riengakapi aerasi 100-125 psig pada suhu 93-95oF
selama 69-97 jam. Fermentasi ini dapat mengkonversi 61-65 % glukosa
menjadi asam itakonat.
213
ASAM AMINO
L-Glutamat
Strain Untuk Fermentasi Asam Giutamat
Asam giutamat dapat diproduksi deh berbagai jenis bakteri,
Streptomy-cetes, khamir dan kapang. Dari sekian banyak mikroorganisme
tersebut, yang berpotensi untuk digunakan pada industri fermentasi
adalah dari genus Corynebacterium, Brevibacterium, Mikrobacterium dan
Arthrobacter yang diperoleh dari hasil seleksi strain bebas di alam.
Umumnya bakteri penghasil asam giutamat bersifat gram positif, dan
nonmotile. Seluruh bakteri asam giutamat membutuhkan biotin untuk
pertumbuhannya, kekurangan enzim a-ketoglutarat dehidrogenase atau
aktifitas enzim tersebut rendah, dan menunjukkan tingginya aktifitas enzim
giutamat dehidrogenase. Selain dari pada itu, beberapa mutan
Brevibacterium dan Corinebacterium mempunyai aktifitas enzim isositrat
liase yang lebih rendah.
Biosintesis Asam Giutamat
Apabila sumber karbon untuk fermentasi ini adalah glukosa, maka
glukosa tersebut dipecah teriebih dahulu menjadi senyawa 2 dan 3
karbon, yaitu masing-masing asam piruvat (CH3COCOOH) dan asetil-
CoA. Pembentukan asam piruvat dan asetil Coa tersebut adalah melalui
jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) atau glikolisis dan sikius pentosa
fosfat atau jalur heksosa monofosfat (HMP). Biasanya, jalur yang umum
terjadi pada fermentasi asam giutamat adalah EMP. Asam piruvat dan
asetil CoA yang dihasiikan tersebut dapat memasuki sikius Kreb di mana
terjadi biosintesa asam giutamat. Jalur biosintesa asam giutamat ini dapat
dilihat pada Gambar 5.26.
Precursor untuk pembentukan asam giutamat adalah asam a-
ketoglutarat. Pengubahan a-ketoglutarat menjadi asam giutamat
merupakan reaksi reduktif aminasi yang memerlukan ion NH4+, donor
hidrogen (NADPH2) dan enzim giutamat dehidrogenase.
Pada mikroorganisme biasa, a-ketoglutarat diubah menjadi suksinat
de-ngan bantuan enzim a-ketoglutarat dehidrogenase. Akan tetapi pada
strain mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi asam giutamat,
enzim tersebut tidak dihasiikan sehingga a - ketoglutarat tidak diubah
menjadi suksinat.
Ada dua enzim yang bekerja pada isositrat, yaitu enzim isositrat liase
dan isositrat dehidrogenase. Kedua enzim ini diperlukan, yaitu liase untuk
merubah isositrat menjadi suksinat dan glioksilat untuk pertumbuhan
optimal dari mikroorganisme; dan isositrat dehidrogenase untuk
pembentuk pembentukan a-ketoglutarat (sebagai prekursor giutamat).
214
Asam glutamat juga bisa diperdeh dengan menggunakan asetat.
Dalam hal ini zat antara ditransferkan, terutama melalui jalur
glioksilat (yaitu jalur yang diberi garis tipis pada Gambar 5.28).
Stoikiometri biosintesis asam glutamat dan glukosa dan asam
asetat adalah sebagai berikut.
C6H12O6 + NH3 + 1.5 O2 C4H9O4N + CO2 + 3H2O
(glukosa) (asam glutamat)
3C2H4O2 + NH3 +.I.5Q2 C4H9O4N + CO2 + 3H2O
(asetat) (asam glutamat)
Dengan demikian, secara stoikiometri, biosintesa 1 mol asam
glutamat membutuh-kan 1 mol glukosa atau 3 mol asam asetat.
Dalam prakteknya, untuk menghasil-kan 1 mol asam glutamat
diperiukan lebih dari 1 mol glukosa atau lebih dari 3 mol asam asetat,
dan laju konversi ke asam glutamat tersebut berkisar 50-70 mol%
saja. Hal ini diantaranya karena adanya reaksi dekarboksilasi
oksaloasetat yang menghasiikan CO2 dan juga aktifrtas bolak-balik
enzim malat yang menyebabkan tersisanya senyawa antara yang
tidak diubah menjadi glutamat.
Metode Fermentasi
1. Media
Bahan baku utama sintesa asam' glutamat adalah bahan yang
mengandung senyawa sumber karbon, seperti glukosa, fruktosa,
maltosa, sukrosa, xylosa, molasses gula tebu dan bit, metanol,
etanol, asetaldehida, hidrokarbon (n-alkana) dan asam asetat. Di
antara faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan bahan baku
tersebut adalah faktor harga, misalnya industri asam glutamat
(produk akhir berupa monosodium glutamat) di Indonesia
menggunakan molasses karena harganya lebih murah.
Di samping senyawa sumber karbon, dibutuhkan juga senyawa
sumber nitrogen. Senyawa ini diperiukan untuk pertumbuhan sei dan
untuk sintesa asam glutamat pada reaksi aminasi a-ketoglutarat.
Sumber nitrogen yang dapat digunakan adalah garam ammonium,
amonia (NH3). Konsentrasi amonia yang berlebihan menyebabkan
peningkatan sintesa produk sampingan, glutamin. Mikroorganisme
untuk fermentasi asam glutamat membutuhkan biotin untuk
pertumbuhannnya. Asam glutamat akan diakumulasi jika jumlah
biotin berada pada membran sei akan sempurna. Justru keadaan
demikian meyebabkan per-meabilitas membran berkurang, sehingga
asam glutamat yang disentesa terakumulasi di dalam sei „ tanpa
dapat disekresi keluar sei melalui membran yang berkurang
permeabel tersebut. Konsentrasi kritis untuk biotin adalah 0.5 Ug/g
sei kering. Banyaknya biotin yang ditambahkan tergantung pada
konsentrasi senyawa karbon. Pada media yang mengandung
glukosa 10%, biotin yang
215
diberikan adalah 5 Ug/I. Untuk asetat, konsentrasi biotin 0.2 -1.0 Ug/I
(Crueger dan Crueger, 1984). Perlu tidaknya penambahan biotin
tergantung dari bahan baku utama (sumber karbon) yang digunakan. Jika
bahan baku utama adalah bahan yang miskin sekali atau tidak
mengandung biotin, penambahan biotin pada konsentrasi suboptimal
diperlukan. Tapi jika digunakan bahan yang sudah mengandung biotin
dalam jumlah yang cukup, misalnya molasses, penambahan tersebut tidak
diperlukan.
Permeabilitas sel untuk memungkinkan asam glutamat dieksresi
keluar sel juga dapat diatur dengan penambahan penisilin, yang
menyebabkan sintesa dinding sel tidak sempurna sehingga lebih
permeabel.
Fermentasi asam glutamat juga membutuhkan mineral tertentu
seperti sulfur, magnesium, fosfat, besi dan mangan. Komposisi mineral
tersebut di dalam media tergantung jenis bahan baku, strain yang
digunakan dan skala produksi.
2.Aerasi
Karena fermentasi asam glutamat bersifat aeraobik, maka fermentasi
tersebut perlu dilengkapi sistem aerasi. Menurut Crueger dan Crueger
(1984), aerasi dilakukan untuk mempertahankan nilai Kd 3.5 * 10"6 mol
02/atm.min.ml. Konsentrasi oksigen yang terialu tinggi atau rendah akan
menurunkan produksi asam glutamat.
Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk fermentasi asam glutamat
dapat diperkirakan dengan persamaan reaksi di bawah ini yang diperoleh
secara empiris (melalui pengamatan pada proses fermentasi sebenarnya)
(Hirose,,et ai.,1978).
C6H12O6 +2.33 02---->0.82C5H9O4N +1.94C02
3.Kontrol Fermentasi
Bila fermentasi dilakukan dengan Brevibacterium divarication (NRRL
B-231) dapat digunakan media Miescher.
a. Untuk inokuium:
Glukosa ...........................................................40.0 gram
K2HPO4 .............................. ........................ 1.0 gram
MgS04-7H20 ..................................................0.5 gram
ekstrak yeast...................................................... 1.0 gram
urea ................................................................8.0 gram
air ......................................................................LOIiter
216
(Mucose
Glucosf-6-P
Tnose-3-P«*--------■-- Pentose-5-P
"' I co, ♦
Pyruvate "
Acetyl-CoA
COj C02,"
Glutcmine
^ * .
■ — |
Glutomote|
T . 1 \
L—Ac«tyl-CoA
AOf-IJ ATP
MM, N^CoA
N-Acetylglutamote '
Gambar 5.27. Biosintesa asam glutamat dari sumber karbon glukosa
Enzim; 1, enzim malat; 2, oksaloasetat karboksiiase; 3,
isositrat dehidrogenase; 4, isositrat liase; 5, glutamat
dehidrogenase; dan 6, glutamiine sintetase.
217
8. divaricatum diinokulasikan pada media tersebut dan diinkubasikan
se-lama 16 jam pada suhu 35°C.
b. Untuk Media Fermentasi (Produksi)
glukosa .........................................................121.0 gram
amonium asetat..................................................5.0 gram
molasses (dari sakarifikasi pati...........................6.0 gram
KH2PO4 .......................................................... 1.2 gram
MgS04 ...........................................................6.0 gram
FeS04. 7H2O ................................... ............6.0 ppm
MnS04. H2O ....................................................6.0 ppm
anti buih, Hodas K-67..............................................0.1 ml
air ......................................................................1.0 liter
inokulum...........................................................6% volume
Inokulum yang dibuat pada media inokulum, sebanyak 6%
(volume/volume) diinokulasikan pada media fermentasi. Pada awal
fermentasi ditambahkan 0.65 ml/I asam oleat. pH diatur menjadi 8.5
dengan penambahan ammonia dan kemudaian dipertahankan tetap 7.8
selama fermentasi bertangsung. Setelah 14 jam, saat mulai pertumbuhan
sel, temperatur dinaikkan dari 32-33°C menjadi 39°C. Sesudah
metabolisma, glukosa turun sampai level 0.5-2%, dilakukan penambahan
glukosa sampai fermentasi selesai. Penambahan tersebut sampai kira-kira
160g/l
Aerasi dilakukan sedemikian rupa sehingga buangan gas 35 jam
dengan hasfl berupa asam glutamat sebanyak lebih kurang 100 g/l.
L-Lisin
Galur Untuk Fermentasi Lisin
Produksi asam amino lisin dapat dilakukan dengan fermentasi ganda,
yaitu mula-mula merubah substrat menjadi produk antara dengan
menggunakan sejenis mikroorganisme, kemudian fermentasi dilanjutkan
dengan menggunakan mikroorganisme lain untuk memproduksi produk
akhir, yaitu lisin. Contoh-nya adalah Escherichia coli (ATCC 13002) dan
Aerobacter aeroqenes (ATCC 12409) yang keduanya merupakan mutan
auxotrop. £ coli tersebut dapat memproduksi asam diaminopimelat
(diaminopimeiic acid = DAP) dari sukrosa yang terdapat di dalam media
mollases; dan kemudian A aeroqenes, dengan reaksi dekarboksiiasi,
merubah asam diaminopimelat menjadi L-lisin. Contoh lain adalah strain
Achomobacter abae yang dapat merubah D-a-aminokaprolaktam menjadi
l-aaminokaprolaktam, selanjutnya Cryptococcus laurentii, dengan reaksi
hidrolisis, merubah L-a-aminokaprolaktam menjadi L-lisin.
Asam amino lisin juga dapat diproduksi dengan fermentasi langsung
(fermentasi tunggal), yaitu dengan menggunakan satu strain
mikroorganisme, yaitu
218
Corynebacterium glutamicum, Brevibacterium flavum F1-30, B.
lactaofermentum, Nocardia alkanoglutanosa, Bachillus lichenfformis,
Candida periculosa, Sac-charomyces cerevisiae dan S. lipolytica.
Biosintesis
Asam amino lisin dapat disintesa melalui jalur DAP (diaminopimelic
acid), atau melalui konversi L-aminocaprolactam menjadi asam amino
lisin, seperti yang dapat dilihat pada gambar 5.28 dan 5.29.
Biosintesa melalui jalur DAP, dikerjakan secara berurutan oleh dua
jenis mikroorganisme. Mufa-mula fermentasi media molasses menjadi
DAP oleh E. coii (ATCC 13002), kemudian oleh A aerogenes (ATCC
12409) yang merubah DAP menjadi lisin.
Konversi D-aminokaprolaktam menjadi L-lisin (Gambar 5.30)
berlangsung dua tahap. Pertama rasemisasi aminokaprolaktam dari
bentuk D menjadi L (D-a-aminoprolaktam — > L-aminokaprolaktam) oleh
enzim D-aminokaprolaktam rasemase yang diproduksi oleh
Achromobacterobae. Setelah itu konversi L-a-aminokaprolaktam menjadi
lisin oleh enzim L-aminokaprolaktam hidrdase yang diproduksi oleh
Cryptococcus laurentii.
Biosentesa asam amino lisin oleh Corynebacterium glutamicum atau
Brevibacterium flavum melewati jalur yang berbeda dengan biosintesa
yang telah diterangkan sebeiumnya (fermentasi dengan mikroorganisme
ganda, Gambar 5.28 dan 5.29. Jalur biosintesa melalui fermentasi dengan
mikroorganisme tunggal tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.30. Enzim
kunci pada jalur biosintesa lisin tersebut adalah aspartokinase yang
menentukan ada tidaknya L-lisin, L-threonin dan L-metionin. Enzim
tersebut dapat mengalami inhibisi umpan balik (feedback inhibition) oleh
L-lisin dan L-threonin. Pada konsentrasi 94% aktifitas aspartokinase. Tapi
kalau tidak ada L-threonin, pengurangan aktifitas tersebut hanya 20%.
Untuk memproduksi lisin digunakan mutan auxotrop homoserin (yaitu
mutan yang secara normal tidak dapat menghasilkan homoserin karena
tidak memiliki enzim serin dehidrogenase). Dengan tidak dihasilkannya
homoserin berarti threonin dan senyawa lainnya yang bisa menyebabkan
repressi/inhibisi juga tidak dapat dibentuk (senyawa yang tidak terbentuk
akibat tidak adanya enzim homoserin dehidrogenase, adalah Met, Hse,
Hse-P, Thr dan lieu). Karena homoserin (Hse) atau metinin (Met) dan
threonin diperlukan untuk pertumbuhan, maka senyawa tersebut tetap
perlu ditambahkan seiam fermentasi pada tingkat konsentrasi suboptimal.
/
219
Pada Gambar 5.31 dapat dilihat pengaruh L-threonin terhadap produksi
lisin oleh berbagai mutan telah diteffibangkan.
(II J
Metode Fermentasi \' s
Fermentasi asam amino lisin dapat dilakukan pada media yang
sumber karbonnya sukrosa (misalnya sukrosa pada molasses), asetat,
etanol dan alkana. Sebagai sumber nitogen adalah gas amonia atau
garam amonium, dan urea juga bisa digunakan jikamikroorganismedapat
menghasilkan urease. Ke dalam media juga perlu ditambahkan L-
homoserin atau L-threonin dan L-metionin yang dipeiiukan untuk
pertumbuhan mikroorganisme pda tingkat konsentrasi subop-timal agari
tidak menurunkan produksi lisin Oihat Gambar 5.31). Biasanya sumber
asam amino tersebut (L-hompserin, L-threonin dan L-metionin) dapat
digunakan hidrolisat protein kedelai. Selain dari pada itu fermentasi ini
juga membutuhkan biotin kira-kira 30 kg/I. Kalau bahan baku utama
(sumber karbon) sudah mengan-dung biotin, misalnya molasses,
penambahan biotin tersebut tidak perlu lagi.
Berikut ini akan dikemukan satu contoh fermentasi lisin oleh
Brevibacterium flavum (Homleaky, Thr-). Komposisi medianya adalah
sebagai berikut:
Asam asetat............................................................... 7g
KH2PO4 .............................................................. 0.4 g
FeS04-7H20............................................................0.01 g
Hidrolisat protein kedelai...........................................35 g
Glukosa ..................................................................30 g
Biotin..........................................................................50 g
TiaminHCL .............................................................40 g
Air karan.......................................................................11
Larutan pengatur pH = 7.4 (60 % asam asetat dan amonium asetat
yang perbandingan molarnya 10 :25; dan 3 % glukosa).
Fermentasi dilakukan selama 48 jam pada suhu 33°C. Fermentasi diberi a
dan agitasi. Fermentasi ini menghasilkan 75 gram lisin/liter dan laju ko
sebesar 29 % dari asam asetat dan glukosa yang digunakan.
222
a:
I
K
Gambar
Gambar 5.30. Dalam hal biosintesa asam amino triptofan ini, regulasi
yang paling menentukan masalah terhadap enzim DAHP sintetase (deoxy
arabino heptutonic acid synthetase) dan antranilat sintase. Penlalanin,
tirosin dan triptofan dapat menimbulkan inhibisi umpan balik terpusat
(concerted feedback inhibition) terhadap DAHP sintetase sampai 90%.
Disamping itu triptofan juga menunjukkan efek inhibisi dan repressi pada
antraniat sintase.
ENZIM
Selama 20 tahun terakhir ini, pemanfaatan enzim dalam industri
berkem-bang dengan sangat pesat, dan pada saat ini jumlah pasaran
dunia enzim untuk kegiatan industri menurut Catalan NOVO tahun 1984
adalah sebesar 300 - 350 juta dollar Amerika setiap tahunnya. Kemajuan-
kemajuan dalam teknologi fer-mentasi, rekayasa genetika dan teknologi
aplikasi enzim itu sendiri menyebab-kan penggunaan enzim dalam industri
menjadi semakin meluas saja. Kunci kemajuan teknologi enzim ini
sebenamya adalah karena enzim diketahui se-bagai biokatalis yang
sangat efisien dengan akurasi (presisi) yang tinggi, versati dan ekonomis.
Enzim adalah protein yang tersusun oleh untaian asam amino yang
panjang yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan ikatan
peptida. Enzim terdapat dalam semua sel maNuk hidup dan mengetiakan
proses yang vital, mengatur proses metabolisme. Enzim mengatur proses
perombakan nutrisi men-
225
tCCOTANK
MTP
CH.O-r-0-P-O-P-OH