Anda di halaman 1dari 122

BAB 2

ISOLASI, SELEKSI, PEMUUAAN DAN PRESERVASI


ISOLASI
Mikroorganisme adalah makhluk yang amat kecil dan hanya dapat
dilihat di bawah mikroskop. Oleh karena itu pula, keterangan- keterangan
tentang sifat-sifat hidup (mikroorganisme) sangat terbatas. Pada
umumnya yang kita pelajari adalah populasi (mikroorganisme) yang terdiri
atas gabungan dari jutaan atau bahkan milyaran individu mikroorganisme.
Populasi (mikroorganisme) yang ditumbuhkan dengan sengaja pada suatu
jenis media tertentu dalam kondisi tertentu pula dikenal dengan istilah
kultur. Kultur mikroba yang terdiri atas satu sel mikroorganisme dikenal
dengan istilah kultur murni atau kultur aksenik. Bila kultur terdiri atas dua
jenis mikroorganisme dan hubungan antara kedua jenis mikroorganisme
ini dipelihara, kultur demikian disebut kultur dua anggota (two-membered
culture). Apabila kultur terdiri atas tiga atau lebih mikroorganisme disebut
dengan kultur campuran.
Dalam prakteknya baik dalam skala laboratorium maupun dalam
tingkat industri, kultur aksenik paling umum dilakukan. Oleh karena itu
pula, proses isolasi amat mendasari teknologi mikrobial. Teknik ini berlaku
tidak saja untuk mengisolasi dan mempelajari bakteri namun juga amat
penting dalam mempelajari virus, kapang, khamir, alga, protozoa bahkan
penting artinya dalam mempelajari hewan-hewan invertebrata dan bahkan
telah dipergunakan pula dalam proses isolasi sel serta jaringan dari
tanaman dan hewan tingkat tinggi.
Teknik isolasi yang umum dipakai dalam proses isolasi untuk mikroba
adalah teknik separasi dan immobilisasi individu mikroba di atas media
bernutrisi yang telah dipadatkan oleh agar. Mikrokoloni yang segera akan
tampak setelah individu mikroba itu tumbuh dan segera dapat
dipindahkan. Dalam prakteknya, teknik goresan di atas media agar dalam
cawan petri (streak plate) merupakan teknik yang umum dipergunakan.
Cara lain yang juga dapat dipakai dengan menggunakan prinsip ini adalah
teknik penginokulasikan media agar yang masih dalam keadaan mencair
(suhu 45°C) dengan suspensi mikroba dalam berbagai pengenceran.
Teknik ini disebut metode poured plate.
Isolasi bakteri anaeraob lebih sulit dilakukan dan metode streak plate
dan poured plate tidak dapat dipergunakan. Kesulitan akan lebih menonjol
bila mikroorganisme yang akan diisolasi cepat mati jika berhubungan
dengan oksigen. ^ Bila mikroba yang akan diisolasi tidak begitu sensitif
terhadap oksigen, prinsip separasi dan immobilisasi individu mikroba
dalam media agar mungkin dapat dipergunakan dengan catatan bahwa
cawan petri segera dimasukkan ke dalam wadah yang kemudian ditutup
rapat. oksigen di dalam bejana berisi cawan petri yang telah diinokulasi
oleh mikroba ini dapat dihilangkan dengan menggunakan bahan kimia
khusus atau dibakar. Bagi mikroba yang amat sensitif terhadap oksigen,
modifikasi cara di atas dapat dipergunakan. Media agar yang masih dalam
keadaan mencair (suhu 45dC) yang terdapat di dalam tabung reaksi
diinokulasi dan diaduk. Sepersepuluh bagian media yang telah diinokulasi
ini kemudian dipindahkan ke dalam media agar serupa yang juga masih
dalam keadaan mencair. Campuran ini Juga diaduk. Demikian seterusnya
sampai didapatkan pengenceran yang ke-10. Tabung segera didinginkan
dan dilapisi dengan parafin untuk mencegah terjadinya penetrasi udara
melalui agar. Mikroba anaerob akan tumbuh dan berkembang membentuk
mikro koloni dan media agar. Untuk memindahkan keorganisem anaerob
yang telah tampak tumbuh didalam tabung reaksi, lapisan parafin dibuang
dengan patula dan agar ditiup ke luar dari tabung dengan mengalirkan gas
bebas oksigen melalui tabung kapiler yang dimasukkan di antara agar dan
dinding tabung. Agar-agar ditampung di dalam cawan petri steril. Agar-
agar di sayat dengan pisau steril dan koloni mikroba dapat segera
dipindahkan.
Cara-cara di atas memang sering dilakukan dalam proses isolasi
namun tidak selalu menjamin kemurniannya. Koloni yang sangat halus
yang terdiri atas beberapa individu mikroorganisme mungkin juga ada dan
tumbuh di atas agar media namun tidak terlihat oleh mata telanjang^*
Pada saat pemindahan mikrokoloni mikroba tampak jelas oleh mata
telanjang, mikroba yang tidak terlihat dengan mata telanjang mungkin saja
terikut dan tentunya akan mencemari biak yang sengaja diisolasi. Oleh
karena itu pula sebaiknya isolat pertama yang berhasil diisolasi jangan
dianggap sebagai isolat murni melainkan harus dimurnikan berulang kali
sampai betul-betul baik yang diisolasi ini terdiri atas kumpulan dari
individu-individu sel dari satu jenis mikroba yang sama.
Sebagai tambahan, perlu juga dikemukakan disini, bahwa tidak
semua mikroorganisme mampu membentuk mikrokoloni yang betul-betul
terisolasi sempurna dan terpisah dari koloni-koloni mikroba yang lainnya
yang juga tumbuh di atas 7 media agar dalam cawan petri. Diantara
mikroorganisme ada yang dapat bergerak aktif karena mempunyai bulu
cambuk. Koloni yang terbentuk biasanya tidak bulu mempunyai pinggiran
yang rata melainkan tidak teratur. Kemungkinan mencemari koloni lain
dari jenis mirkoba lain yang tumbuh di atas media agar dalam cawan petri
yang sama cukup besar. Apalagi bila mikroba tersebut dapat berenang
kian kemari di atas media agar. Hal ini mungkin dapat diatasi dengan
menggunakan media agar yang permukaanya telah dikering-anginkan
terlebih dahulu sebelum dipakai dalam proses isolasi. Bagi beberapa jenis
bakteri, cara ini juga bisa tidak banyak membawa hasil. Beberapa jenis
bakteri ada yang pergerakannya amat cepat dan bahkan mampu
menembus agar media-Untuk hal ini mikro manipulator barangkali
merupakan suatu cara yang efektif yang dapat dipergunakan dalam
proses isolasi^ Mikro manipulator yang dimaksudkan disini adalah suatu
alat yang dilengkapi dengan mikro kapiler yang terbuat dari galas yang
ujungnya sangat halus dan bersifat mikroskopis yang dapat dioperasikan
dalam area sempit secara terus-menerus. Di bawah mikroskop dengan
pembesaran 100 sampai 320 kali atau bahkan sampai 1000 kali dalam
keadaan aseptik.
Untuk keperluan industri, mikroba dalam prakteknya dapat diisolasi
dari alam dan untuk memperoleh kultur yang murni (biak superior), kultur
tersebut biasanya diperoleh dari lingkungan khusus yang juga lain dari
pada yang lain (kondisi lingkungan yang ekstrim). Walaupun mikroba ini
sifatnya dapat hidup dimana saja, mikroba untuk kepentingan industri
pada umumnya diisolasi dari tanah, danau dan lumpur sungai.
Metode isolasi dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
dengan menggunakan prinsip-prinsip isolasi yang diterangkan di atas.
Isolasi mikroba dari tanah, tanah biasanya diberi perlakuan misalnya
diradiasi dengan sinar ultra violet, dikeringkan-anginkan atau kadang-
kadang dipanaskan pada suhu 70°C dan bahkan dipanaskan sampai suhu
120°C, disaring atau diperkolasi secara kontinyu, diambil dari air cucian
akar, dicuci dengan deterjen dan alkohol, diinokulasikan dengan
penambahan substansi racun dan anti metabolit atau pengatur tumbuh
lainnya. Perlakuan-perlakuan ini ditujukan untuk memacu pertumbuhan
mikroba khusus yang diinginkan dan sekaligus menghambat atau bahkan
membunuh mikroba yang tidak dikehendaki.
Program isolasi yang sifatnya khusus dan secara besar besaran di
laboratorium, prosedur khusus dengan menggunakan media yang diberi
tam-bahan nutrisi khusus (enrichment media}, dapat dirancang untuk
melakukan seleksi terhadap kelompok mikroorganisme tanah, air ataupun
air laut yang sifatnya khusus tersebut. Contoh-contoh prosedur dan target
spesifik dari mikroba yang diinginkan diikhtisarkan dalam Tabel 2.1.
Dalam praktek proses islolasi mikroba, substansi penghambat tumbuh
seperti antibiotika dan substansi kimia lainnya mungkin dipergunakan
untuk mencegah tumbuhnya mikroba yang tidak diinginkan. Penggunaan
aminoglikosida, anthrasiklin dan antibiotik poliene dilaporkan sangat
berguna dalam proses isolasi aktinomisetes yang langka.
SELEKSI
Seleksi mikroba yang akurat sangat dipertukan untuk dapat
memproduksi metabolit yang sifatnya novel (baru yang sebelumnya tidak
pernah diketahui). Prosedur yang digunakan haruslah sangat selektif.
Dengan prosedur ini organisme yang jarang terdapat di alam tapi mampu
menghasilkan metabolit baru dalam yang dikehendaki dengan potensi
yang tinggi, mempunyai kemungkinan untuk dapat diisolasi dari
sekelompok mikroorganisme lain yang jumlahnya amat besar. Dalam
kebanyakan program seleksi skala besar, mikroorganisme yang jarang
dijumpai tapi memiliki potensi yang besar ini diisolasi dengan
menggunakan assay yang amat sensitif. Assay ini pada umumnya
dirancang untuk dapat mendeteksi aktivitas mikroorganisme yang sangat
khusus yang terkadang sulit untuk dapat dideteksi dengan metode seleksi
yang biasa. Dengan demikian teknik assay untuk keperluan ini seringkali
memerlukan teknik yang rumit dan kesabaran yang tinggi.
Kultur atau biakan hasil seleksi ini seringkali hams dimurnikan kembali
agar biakan terseleksi ini benar-benar terbebas dari segala jenis
kontaminan termasuk kontaminan yang mempunyai pertumbuhan yang
amat lambat yang tidak terdeteksi pada fase-fase awal proses isolasi.
Melalui proses ini variasi genetika isolat dapat diperkecil dengan sifat-sifat
yang lebih stabil. Sifat- sifat ini termasuk sifat genetik yang tentunya
sangat diperlukan bila biakan terseleksi ini akan dipergunakan dalam
industri fermentasi.
Hendaknya diyakini betul, bahwa biakan terpilih adalah faktor yang
amat menentukan sukses atau gagalnya proses industri fermentasi.
Biakan terseleksi bila akan dipergunakan dalam industri fermentasi paling
tidak harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1. Harus bersifat murni, terbebas dari segala jenis organisme kontaminan
dan phaga
2. Harus dapat memproduksi sel vegetatif secara langsung dan spora
atau unit propagasi lainnya (jenis yang mampu memproduksi miselium
jarang dipergunakan)
3. Harus dapat tumbuh dengan subur dan sesegera mungkin setelah
inokulasi dilakukan tanpa masa lagi yang berkepanjangan
4. Harus dapat menghasilkan produk yang diinginkan, diutamakan yang
menghasilkan produk tunggal dalam jumlah yang banyak, mudah
dipanen dan diutamakan yang juga terbebas dari segala bentuk racun
dan limbah.
5. Harus mampu menghasilkan produk yang diinginkan dalam tempo yang
singkat, tidak lebih dari 3 hari.
6. Harus mampu melindungi dirinya sendiri dari gangguan kontaminan
misalnya saja mampu tumbuh optimum dalam suasana sangat asam
atau suhu yang tinggi atau mampu menghasilkan zat inhibitor bagi
organisme kontaminan.
7. Harus dapat dirubah sifat-sifat genetikanya dengan bantuan komponen
mutagen tapi mempunyai sifat genetika yang stabil bila dalam keadaan
bebas dari mutagen.
8. Harus dapat dengan mudah disimpan atau diawetkan untuk jangka
waktu yang lama.

Tabel 2.1. Prosedur isolasi untuk tipe mikroba khusus


Prosedur Mikroba yang diinginkan
mikromonospora, arthrobacter
Medium organik encer (dilute
bakteri akuatik gram negatif,
organic media)
bakteri oligotropik
Pollen-baiting, haematin Actinoplanaceae
Deoxycholate tripheny
Bakteria gram negatif
tetrazolium chlorida
Chrtin (sebagai sumber nutrisi Lisobakter dan gliding bakteri
lainnya
Ranting, akar, kotoran hewan Myxobacter
Aksinomisetes yang mampu
Sisa-sisa tanaman (airtawar)
membentuk spora bergerak
Temperatur yang tinggi (42-
Thermothrops
55°C)
Temperatur yang rendah (4-
Psychrotrops
15°C)
pH yang ekstrim Asidophil
Kadar NaCI yang tinggi Nocardia, halophiles
Inkubasi dalam N2 atmosfer Anaerob
Lumpur laut yang dalam Bakteri Laut

Analisis secara kritis untuk mendapatkan sukses dalam proses


pengembangan produksi suatu substansi aktif dari mikroba dipertelakan
dalam Gambar 2.1. Pada taraf awal dari proses pemilihan dirancang untuk
dapat mendeteksi dan sekaligus mengisolasi mikroorganisme yang
mempunyai potensi yang menarik untuk dikembangkan dan diaplikasikan
secara komersial. Dalam tahap ini diusahakan untuk meniadakan banyak
mikroba serta produk yang tidak diinginkan dan memberikan kemungkinan
untuk dapat mendeteksi isolat yang berpotensi yang menarik walau
sekecil apapun. Idealnya proses pemilihan atau seleksi tahap awal ini
haruslah dapat diprediksi, sensitif, cepat, murah, dapat diadaptasikan
untuk dapat menangani sejumlah contoh yang banyak, spesifik terhadap
aktivitas substansi yang dijadikan target atau sasaran dan efektif untuk
komponen dalam spektrum yang luas. Meskipun seleksi mikroba dari alam
telah banyak dilakukan, banyak diantara mikroba masih belum tergarap
dan masih tersebar di alam. Melihat data Berdy (1980) (Tabel 2.2), terlihat
bahwa dari 34 marga aktinomisetes yang telah diketahui atau pernah
dilaporkan, baru 16 saja yang telah mengalami proses seleksi. Kelompok
kapang malah lebih banyak lagi yang belum tergarap. Dari 2000 marga
kapang yang telah diketahui, hanya 210 saja yang telah mengalami
proses seleksi. Bakteri juga mengalami nasib yang serupa dan 97 genera
bakteri yang diketahui baru 18 saja yang telah mengalami proses seleksi.
Oleh karena itu kesempatan masih amat terbuka untuk melakukan
skrining untuk mendapatkan biak-biak mikroba yang mempunyai potensi
yang besar untuk dikembangkan dalam industri fermentasi dan akan
menghasilkan substansi-substansi kimia yang bersifat novel.

ISOLASI KULTUR MIKROBAL

SELEKSI KULTUR

STUDI FERMENTASI

Proses pemekatan dan atau ekstrasi, filter,


Ekstrak miselium
Gambar 2.1. Diagram alir analisis kritis untuk keberhasilan
pengembangan produksi substansi baru dengan
menggunakan mikroorganisme dan aplikasinya dalam
bidang klinis.
Tabel 2.2 Perbandingan mikroba tanah yang telah diketahui dan yang
telah mengalami proses skrining
Aktinomisetes Kapang Bakteri
Marga yang sudah 2000 97
34
diketahui
Jenis yang sudah diketahui 600 49000 300
Marga yang sudah
16 210 8
mengalami seleksi

Seleksi mikroba secara langsung dengan menggunakan media padat


Mikroba alami dapat diisolasi secara langsung dengan jalan
menginokulasikan media agar dari sumber dimana mikroba itu terdapat.
Bila tanah mengandung terlalu banyak mikroba, proses pengenceran
untuk mendapatkan jumlah mikroba yang diinginkan maka proses
pengenceran biasanya dilakukan. Melalui proses isolasi secara langsung
ini di atas media agar padat seringkali dapat dipergunakan untuk
mendapatkan koloni tunggal yang berkembang dari satu sel. Dengan
menggunakan media yang khusus, deteksi secara cepat terhadap
substansi kimia khusus yang diingini dapat dilakukan dengan mudah.
Dalam Tabel 2.3. ditunjukkan penggunaan metode seleksi ini untuk
berbagai keperluan.

Tabel 2.3. Penggunaan media padat dalam proses seleksi berbagai


metabolit

Enzim Ekstraselular
Amiiase : Hidrolisis pati dalam agar dapat dilihat dengan
terbentuknya zonasi jernih di sekitar koloni
pertumbuhan setelah diwarnai dengan larutan
yodium.
Protease : Solubilisasi protein target pada derajat keasaman
yang spesifik dalam suspensi agar yang terlihat
sebagai zonasi terang; likuifikasi gel gelatin
(kolagenase). .
Lipase : Perombakan emuisi lemak target dalam agar yang
ditunjukkan dengan zonasi terang atau presifitasi
dari asam lemak yang dihasilkan dalam proses di
atas oleh ion kalsium di dalam agar.
Enzim Ekstraselular
Pektinase : Likuifikasi gel pektat; agar pektin yang diberi bufer
(pH 5 atau 7) memperlihatkan zonasi terang
dengan setiltrimetil-ammonium bromida (CTBA)
secara berturut-turut untuk endopoligalakturoni-
dase atau pektat liase.
Karboksimetilselulase : Zonasi jernih di atas CMC dengan CTBA seperti
pada pektinase.
Selulase : Pelepasan warna ke dalam agar yang jernih berisi
pewarna azur selufosa.
Xylanase : Seperti karboksimetilselulase.
Urease : dengan menggunakan indikator pH (fenol merah)
dalam urea agar.
Nuklease : Presipitasi asam nukleat (RNA, DNA) yang tidak
terhidrolisis dengan penambahan HCL;
fluoresensi ultraviolet dari asam nukleat yang tidak
terhidrolisis dengan akridin oranye.
Phosphatease : agar dengan phenolphtalein difosfat sebagai
substrat yang dikombinasikan dan indikator pH.
Inhibitor Enzim
Pada umumnya menggunakan prosedur seperti di atas yang
dimodifikasi misalnya dengan menggunakan agar berisi enzim.

Metabolit yang lain


Asam Sitrat : indikator pH di atas kertas yang ditumpangkan di
atas agar; solubilisasi CaC03 dalam agar.

Oestrogen (dari steroid) :warna merah dengan pereaksi p-nitrobenzen


diazoniium fluoroborat.

NAD
Bioautografi menggunakan mikroba auxotropik (auksionografi)

Inhibitor Enzim

produk lainnya
Serupa dengan prosedur yang sebelumnya dengan
menggunakan warna yang spesifik, pH atau reaksi bioassay.

Seleksi menggunakan media cair


Seleksi dengan menggunakan media padat memang dianggap
metode yang cepat dan efektif dalam usaha untuk menemukan metabolit
yang dihasilkan mikroba tertentu. Namun demikian, metode ini
mempunyai kelemahan karena apa yang sudah berhasil diseleksi dengan
menggunakan media padat, tidak selaku berlaku bila kemudian
ditumbuhkan dalam media cair. Sementara itu perkembangan industri
fermentasi dalam skala besar umumnya dilakukan dalam proses
fermentasi substrat cair. Kejadian ini menyebabkan makin intensifnya
penggunaan seleksi dalam media cair dalam labu dengan bantuan alat
berpengocok (shaker) sejak tahap awal dari proses seleksi. Hal ini juga
telah memperluas jangkauan untuk juga mempelajari atau menseleksi
berbagai kondisi pada proses fermentasi seperti faktor suhu dan tingkat
pengudaraan serta tahapan-tahapan tambahan pada proses pengolahan
setelah proses fermentasi selesai.
Penggunaan "multiple fermentation samples" terhadap automasi
pendeteksian suatu sistem seperti "multi channeled clolorimetric assays
(autoanalyzere)", "high performance liquid chromatography (HPLC)" atau
"gas liquid chromatography" telah memberi peluang untuk dapat
melakukan seleksi secara cepat pula. Penggunaan kertas "disk", sumur,
silinder atau lembaran plastik "multi point yang dihubungkan dengan pipet
multi kapiler secara otomatis juga mempermudah penanganan contoh
dalam jumlah banyak. Namun demikian, sebagai kunci yang
sesungguhnya benar-benar amat menentukan adalah "scientific insight',
insting dan rasa keingintahuan secara alami dari para peneliti.

Seleksi antimikrobial
Selama dua warsa pertama (1940 - 1950an) dari masa ramainya
ditemukan antibiotik (antibioticera) proses seleksi pendahuluan dengan
menggunakan cawan petri (crawdedplate technique) sudah cukup balk
untuk dapat menemukan substansi kimia antimikrobial yang baru.
Seleksi modern untuk mendapatkan substansi antimikrobial baru
yang langka dan antibiotika yang lebih berdaya guna telah sampai pada
suatu proses yang kompleks. Seleksi sederhana dengan menggunakan
cawan petri kemudian menjadi terbatas pemakaiannya.
Saat ini, kebanyakan antibiotika yang diseleksi ditujukan kepada
pencarian jenis-jenis aktinomisetes yang langka (marga aktinomisetes
selain streptomyces dikatagorikan sebagai jenis yang langka yang secara
kolektif jumlahnya masih tidak lebih dari 5 persen dari total populasi
aktinomisetes di dalam tanah) ciri utama dari mikroba tanah langka ini
adalah mempunyai kecepatan tumbuh yang rendah, kebutuhan,
nutriennya lebih eksak, sporulasi sangat sedikit (miskin) dan stabilitasnya
dalam populasi di tanah rendah. Inilah yang mungkin menjadi penyebab
mengapa mikroba ini jarang terdeteksi. Padahal menurut hasil studi,
mikroba langka Ini telah membuahkan banyak hasil seperti terlihat pada
Tabel 2.4. Pada tahap awal proses seleksi substansi anti mikrobial yang
mempunyai broad range terhadap berbagai mikroorganisme patogen,
berbagai jenis mikroba yang mempunyai ketahanan spesifik atau
hipersensitif dipergunakan. Beberapa jenis mikroba yang mempunyai sifat
hipersensitif dipertelakan dalam Tabel 2.5.

Tabel 2.4. Berbagai jenis metabolit sekunder hasil aktivitas marga


aktinomisetes langka

Marga Metabolit
Streptoalloteichus Tallysomycin A, B
Nebramycin, Faktor II, IV, V

Actinomadura Rifamycin O
Carminomycin
Maduromycin
Luzopeptin

Streptosporangium Bleomycin
PWeomycin
Sibiromysin
Chloramphenicol

Chainia Chainin
Aburamycin

Spirillospora Actinoplanes Spirillomycin


Gardimycyn
Purpuromycin
Teichomycin
Lipiariamycin

Saccharopolyspora Sporacin A dan B


Planomospora sporangiomycin
Actinosporangium Marcellomycin
Mussettamycin

Penecillium avellaneum dimasukkan sebagai mikroba yang sensitif


terhadap zat anti tumor tertentu seperti juga biak recombination- deficient
dari Bacillus subtilis dan Escherichia coll Acholeplasma laidlawii dikenal
sebagai biak yang sensitif terhadap antibiotik polieter yang saat ini sangat
penting secara komersial dalam bidang pertanian. Bakteri anaerob
(Bacteroides fraqilis) juga dimasukkan ke dalam daftar mikroba yang
penting untuk proses seleksi zat anti mikrobial sebab bakteri ini penting
dalam etiologi pneumonia kokus, infeksi otak, penyakit periodontal, dan
infeksi deep-seated pada kulit. Secara alamiah strategi suatu perusahaan
dalam usaha melakukan seleksi juga akan direfleksikan oleh mi-kroba-
mikroba hipersensitif seperti diuraikan di atas.

Tabel 2.5. Berbagai jenis mikroba hipersensitif yang digunakan dalam


proses skrining substansi antimikrobial
Staphylococcus aureus
Streptococcus faecalis
Proteus vulgaris
Escherichia coli
Candida albicans
Trichomonas vaqinalis
Bacteroides fraqilis
Penicillium avellaneum
Acholeplasma laidlawii
Basilluc subtilis (Rec) diatas media agar minimal
E. Coli (poly A) di atas media agar minimal
Bakteri resisten terhadap aminoglikosida
Bakteri hipersensitif terhadap beta laktam, aminoglikosida dan
makrolida

Mikroorganisme murni sebagai sumber penghasil zat anti mikrobial,


pada tahap awal ini juga diseleksi kembali baik dengan metode agar padat
maupun media cair. Skrining dilakukan terhadap jenis-jenis media
misalnya perbedaan sumber karbon atau nitrogen dan perbandingan
antara keduanya lemak atau bufer untuk kisaran ph-nya. Jika kultur media
cair yang digunakan, contoh berupa cairan pertumbuhan, dapat diambil
secara aseptik dan dianalisis sejak proses seleksi awal dilakukan.
Sensitifitas dalam metode seleksi dapat ditingkatkan dengan jalan
meningkatkan konsentrasi sebustansi aktif dalam cairan tumbuh misalnya
dengan proses pemekatan. Bakteri hipersensitif seringkali dipergunakan
untuk maksud ini. Sementara Itu, bakteri resisten secara selektif
dipergunakan untuk mengeluarkan atau menyisihkan substansi metabolit
yang sudah umum dikenal atau substansi aktif yang tidak begitu menarik.
Pembuangan komponen yang sudah diketahui dan tidak menarik pada
tahap awal seleksi amat penting artinya.
Senyawa aktif yang dikehendaki yang diperoleh pada tahap awel
seleksi dites ulang dengan menggunakan jenis media dan kondisi yang
lebih spesifik. Dengan demikian, seleksi untuk mendapatkan substansi
aktif yang benar-benar bernilai ekonomi tinggi atau yang mempunyai
sifat-sifat unik yang menarik dapat dilakukan dengan cermat
Seleksi dengan menggunakan sistem inhibisi enzim dipakai untuk
menemukan substansi aktif antimicrobial yang amat menarik baik dalam
bidang klinis maupun pertanian seperti :(a)Beta laktam, (b)Sintesis purin
dan piramidin, (c) inaktivasi aminoglosida (phosphorylasi, adeni-lasi.
hidroksiasi), (d) Sintesis khitin atau beta glukan, (e) Sintesis asam lemak,
(f) Sintesis protein, (g) Aktivitas rumen, (h) Neeuraminidase virus
(sialidase)
Seleksi yang berdasarkan proses inhibisi beta laktamase telah
mendorong untuk ditemukannya banyak antibiotik beta laktanase yang
baru yang mempunyai prospek cerah. Beberapa jenis antibiotika beta
laktam dapat dilihat dalam tabel 2.6.

Tabel 2.6 Contoh antibiotic beta laktam yang berhasil diproduksi oleh
bakteri dan aktinomisetes

Senyawa Struktur Mikroba Penghasil


Streptomyces
Cephamycin C
clavuligerus
Wild Toxin (Tabtoxin) Pseudomonas tabaci

X-372A Streptomyces sp. 372A


Stretomyces
Asam Clavulamat
clavuligerus
Nocardicin A Nocardia Uniformis

Thienamycin Streptomyces cetleya


Chromobacterium
SQ 26, 180
violaceum

CONTOH TANAH

Penanaman langsung atau


penanaman setelah contoh
diencerkan
KULTUR AGAR MIRING

KULTUR DIKOCOK

(E Coli (W+) (beta laktam super sensitif ) )

FILTRATE DENGAN AKTIVITAS


NORMAL TERHADAP E-COLI (W+)

FILTRATE DENGAN AKTIVITAS YANG LEBIH TINGGI


TERHADAP E-COLI (BETA LAKTAM SENSITIF

Tes inhibisi beta laktam (beberapa sumber enzim)


Pengikatan terhadap diferensial terhadap penisilin –
protein pengikat

BETA LAKTAM SENSITIF

Efek terhadap transpection dan karboksil-peptidase


TLC dan HPLC stabilitas pH ekstraksi kolom
Absorpsi karbon Absorpsi resin

FERMENTASI DALAM SKALA BESAR

Perbaikan Proses

Gambar 2.2. Diagram alir pengembangan antibiotika yang baru dengan


menggunakan beberapa metode seleksi selektif
Seluruh antibiotik beta laktam yang tercantum dalam tabel 2.6
diatas ditemukan dengan menggunakan kombinasi mutan supersensitif
beta laktam, inhibisibeta laktamase, dan afinitas diferensial. untuk protein
pengikat penislin. Suatu contoh pendekatan metoda seleksi ini
diperlihatkan dalam Gambar 2.2.
Banyak komponen yang berguna dalam bidang pengobatan
(misalnya tetrasiklin, rifamisin,erithromisin dan anthracyclin) adalah
metabolit sekunder yang dibiosintesis sebagian oleh alur poliketida
(polyketide pathway). Dalam alur ini, unit asam organik sederhana (asetat,
propionat, dsb) diaktivasi dan dikombinasikan dengan cara yang sedikit
ada analoginya dengan biosintesis asam lemak. Rancangan proses
seleksi untuk menemukan metabolit yang menghalangi biosintesis asam
lemak telah berhasil digunakan. Sebaliknya, cerulenin, suatu antibiotika
yang khusus menghambat biosintesis poliketida, telah digunakan untuk
menseleksi penghasil poliketida yang lebih banyak.

Seleksi Anti Jamur


Dalam tahun-tahun terakhir ini seleksi dengan merancang
penghambatan sintesis dinding sel telah digarap secara serius oleh
beberapa laboratorium untuk menemukan substansi aktif anti jamur yang
potensial. Sebagai penyebab penyakit manusia, jamur sejak lama, tidak
sepopuler virus, bakteria dan sporozoa. Penyakit karena jamur baru
dianggap lebih berbahaya akibat meningkatnya obat-obat imunosupresif
dalam pengobatan kanker. Jamur bersifat eukariotik, oleh karenanya
mempunyai sifat-sifat metabolisme yang sedikit sekali perbedaannya bila
dibandingkan dengan sel jaringan hewan sehingga target selektifnya lebih
sedikit dari bakteria. Satu perbedaan yang menyolok antara jamur dan sel
jaringan hewan atau manusia adalah bahwa dinding sel kapang tersusun
oleh komponen utama chitin (1-4)-beta-homopdymer dari N-asetil-
glukosamin. Inhibitor chitin sintesase oleh karenanya merupakan
substansi anti jamur yang penting. Substansi jamur yang bersifat
nontoksik tentunya merupakan obat anti jamur baru dalam pengobatan
modern.
Chitin juga merupakan komponen kulit luar serangga sehingga
penomena ini juga berlaku dan dapat dipakai dalam penemuan-penemuan
insektisida baru. Polyoxin-D karena sifatnya tidak beracun bagi manusia
dan hewan kini merupakan
obat yang amat dikenal dalam pengobatan. Metabolit mikrobial lain yang
juga menarik adalah nikkomycin yang mempunyai struktur yang mirip
dengan UDP-N-asetilglukosamin dan mungkin akan menjadi insektisida
yang berguna dimasa yang akan datang.
Pemeliharaan dalam mineral minyak
Banyak jenis bakteria yang dapat dengan sukses dipelihara dengan
metoda ini. Pemeliharaan dengan metode ini dapat berlangsung berbulan-
bulan atau bahkan bertahun-tahun. Metodenya cukup sederhana dan
murah. Caranya cukup dengan mencelupkan kultur dalam minyak mineral
(minyak parafis) steril. Kontaminasi bila terjadi seringkali disebabkan
karena tidak sempurnanya proses sterilisasi minyak parafin. Sterilisasi
minyak parafin dapat dilakukan dalam oven dengan suhu 170°C untuk 1
sampai 2 jam; proses sterilisasi dengan autoklaf tidak direkomendasikan.
Tumbuhkan kultur di atas medium agar miring, medium agar tegak
atau medium setengah-cair. Setelah pertumbuhan terjadi, tambahkan
minyak parafin steril secara aseptik dengan kedalaman kurang lebih 2 cm
(agar miring harus betul-betul tertutup dengan minyak parafin). Cara ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan mengurangi laju
kecepatan metabolisme mikroba.
Kultur yang sudah ditutup dengan minyak parafin ini disimpan
secara tegak lurus di dalam lemari pendingin. Tes viabilitas dapat
dilakukan setiap saat untuk mengetahui apakah kultur mengalami
kerusakan atau tidak.
Kultur di bawah lapisan minyak parafin dapat dipindahkan dengan
bantuan jarum ose yang disentuhkan kepada kultur melalui lapisan minyak
parafin dan diinokulasikan kembali ke atas medium segar. Bila
pertumbuhan kembali ke atas medium segar. bila pertumbuhan sudah
tampak kembali dilapisi dengan minyak parafis steril seperti dikemukakan
di atas. Kultur asli dalam pelaksanaan jangan dulu dibuang untuk
beberapa minggu sampai betul-betul kultur baru tumbuh.
Kerugian dari metoda ini adalah serupa dengan metoda
pemindahan periodik dan sebagian pekerjaan dengan menggunakan
minyak parafin tidak begitu menyenangkan.

Pembekuan biasa
Pemeliharaan/preservasi mikroba dapat dilakukan dengan
menyimpan kultur di dalam lemari beku dengan kisaran suhu antara 0°C
dan -20°C. Hasilnya sangat beragam dan tergantung kepada jenis
mikrobanya. Secara umum, metoda ini tidak direkomendasikan karena
dapat merusak sel. Namun demikian, beberapa jenis bakteri ada yang
dapat disimpan sampai 6 bulan bahkan sampai 2 tahun dengan
menggunakan metoda ini.

Pemeliharaan mikroba dalam keadaan kering


Kebanyakan kultur akan mati bila dibiarkan dalam keadaan kering
di laboratorium. Namun demikian, beberapa jenis kultur terutama kultur
dalam bentuk spora dapat disimpan dengan metoda ini untuk waktu
tahunan.
Spora bakteri atau kapang dapat disimpan dalam tanah kering steril
untuk waktu tahunan. Tanah disterilkan dalam autoklaf selama beberapa
jam selama sekurang-kurangnya dua kali. Jangka waktu sterilisasi
sebaiknya adalah 24 jam. Suspensi spora dituangkan ke dalam tanah
steril. Dibiarkan beberapa jam dan kemudian ditutup dengan sumbat karet
dan disimpan dalam lemari pendingin.
Suatu metoda penyimpanan atau pemeliharaan mikroba dalam
keadaan kering adalah dengan menggunakan kertas saring steril. Teknik
ini sangat ideal dalam pemeliharaan kultur dalam pengontrolan mutu.
Banyak kertas saring berisi kultur yang sama dapat disimpan di dalam
satu buah tabung. Kelompok Enterobakteriaceae berhasil dengan baik
dipreservasi dengan menggunakan metoda ini.
Pemeliharaan kultur dapat pula dilakukan dalam gelatin kering dan
silika gel bebas air. Caranya pun sangat sederhana dan dapat
dipergunakan untuk menyimpan atau memelihara mikroba heterotropik
dan kapang secara berturut-turut.

Metoda preservasi untuk jangka panjang

Liopilisasi (Freeze-drying)
Liopilisasi adalah metode pemeliharaan mikroba yang paling
ekonomis dan efektif untuk pemeliharaan kultur dalam jangka waktu yang
lama. Berbagai jenis bakteri dan bakteriofag telah berhasil dipelihara
dengan metoda ini dan dapat tetap hidup walaupun sudah disimpan
selama 30 tahun. Kultur dalam jumlah besar dapat disimpan dengan
menggunakan metoda ini tanpa banyak membutuhkan tempat.
Pengerjaannya relatif mudah walaupun teorinya memang komplek.
Dalam metode ini terjadi proses pengeluaran air dari suspensi
bakteri yang mengalami proses pembekuan dengan proses sublimasi
dalam kondisi udara minim. Dengan proses ini air menguap tanpa melalui
fase cair. Sel yang dalam keadaan kering ini dapat disimpan dalam
periode waktu yang amat lama jika disimpan dalam keadaan bebas
oksigen, bebas kelembaban dan cahaya. Kultur-nya sendiri setiap saat
direhidrasi dan direstorasi.
Proses liopilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai
jenis alat dari yang sangat sederhana berupa desikator yang dapat
didinginkan sampai suspensinya membeku dan menghubungkan
desikator itu dengan alat penghampa udara sampai alat yang canggih.

Ultra beku
Proses preservasi mikroba untuk waktu yang lama dapat dilakukan
dengan cara kultur dalam keadaan beku dengan menggunakan suhu -
196°C dalam nitrogen cair atau pada suhu -150°C dalam tangki yang
terinsulasi dengan baik. American Type Culture Collection menggunakan
metoda ini dan mampu mempertahankan viabilitas dan sifat-sifat penotif
setelah disimpan selama lebih dari 15 tahun.
Penyimpanan dapat pula dilakukan dalam suhu -70°C. Metode ini
diketahui berhasil dengan untuk beberapa jenis bakteria. Suatu hal yang
perlu mendapat perhatian bahwa keadaan harus dijaga supaya arus listrik
tidak mati dan kompresor tetap jalan. Alat penyimpanan biasanya
dilengkapi dengan alarm sehingga dapat dideteksi dengan cepat.

DAFTAR PUSTAKA
Bu'lock, J. and B. Kristiansen. 1987. Basic Biotechnology. Academic
Press. London.
Crueger, W. and AyCrueger. 1984. Biotechnology ( A textbook of
Industrial Microbiology Science Tech., Inc).Madison
Gherna, R. L 1981. Preservation. In Manual of Methods for General
Microbiology. American Soc. Microbiology pp:208- 217.
Johnston, J. R. 1975. Strain Improvement and Strain Stability in
Filamentous Fungi. In the Filamentous Fungi: Industrial Mycology
(Smith, J. E. and D. R. Berry eds.) Edward Arnold. London Vol 1:59-
78.
Johnston, J. R. 1985. Strain Selection and Improvement. In
Microbiology of Fermented Food (Wood, B. J. B. ed.), Elsevier
Applied Science Pub. London Vol 2: 271 - 292.
Kirsop, B. E. and J. J. S. Snell. 1984. Maintenance of Microorganisms-
A Manual of Laboratory Methods. Academic Press. London.
BAB 3 METODA FERMENTASI

Pengertian fermentasi lebih maju lagi pada akhir-akhir ini,


pengertian yang diberikan oleh ahli biokimia berbeda dengan pengertian
yang diberikan oleh ahli mikrobiologi industri. Ahli biokimia
mendefinisikan fermentasi sebagai proses katabolisme senyawa-senyawa
organik. Sedangkan ahli mikrobiologi memberikan pengertian dengan
ruang lingkup yang lebih luas lagi. Fermentasi mencakup semua proses,
baik secara aerobik maupun anaerobik untuk menghasilkan berbagai
produk yang melibatkan aktivitas mikroorganisme atau ekstraknya dengan
aktivits mirkobial terkontrol. Berdasarkan batasan ini maka fermentasi
tidak hanya mencakup proses disimilasi seperti pembentukan alkohol,
aseton, asam laktat, dan sebagainya tetapi juga mencakup produk
(industri) asam cuka, asam sitrat, berbagai enzim, antibiotika, vitamin, dan
senyawa-senyawa lain yang digunakan dafam berbagai keperluan.
Pada saat ini secara garis besar, industri fermentasi dibedakan
menjadi empat kelompok sebagai berikut:(a) industri fermentasi yang
menghasilkan biomasasel mikroba, seperti: industri ragi roti dan produksi
sel tunggal (PST), (b) industri fermentasi yang menghasilkan enzim
mikrobial, seperti; amilase, protease, pektinase, katalase, dan sellulase,
(c) industri fermentasi yang menghasilkan meta-bolit tertentu, seperti:
alkohol, gliserol, cuka, asam glutamat, lisin, polisakarida, dan vitamin, (d)
industri fermentasi yang menghasilkan senyawa-senyawa kimia tertentu
dengan proses transformasi, seperti: steroid, antibiotik, prostaglandin dan
lainnya.
Proses transformasi pada kelompok keempat mencakup proses
dehidrogenasi, oksidasi, hidroksilasi, kondensasi, karboksilasi, aminasi,
deamuniasi dan isomerisasi.
Pengelompokkan ini tidak hanya didasarkan bentuk produk yang
dihasilkan tetapi didasari pula oleh proses yang digunakan. Untuk
memahami lebih rinci tentang fermentasi maka pada uraian berikut ini
disajikan tentang kinetika pertumbuhan mikroorganisme, sistem
fermentasi, pengocokan dan percampuran, pertukaran gas dan massa,
penggandaan skala, sterilisasi gas dan larutan nutrisi, proses fermentasi,
instrumentasi, dan penggunaan komputer pada metoda fermentasi.

KINETIKA PERTUMBUHAN MIKROBA


Proses fermentasi dapat dilakukan secara batch, continue, dan fed-
batch. Pada masing-masing proses ini akan dihasilkan pola pertumbuhan
mikroba yang berbeda. Hal ini disebabkan terutama oleh perubahan
konsentrasi nutrien dan metabolit yang dihasilkan selama proses
berlangsung.

Kultur Batch
Pada sistem batch umumnya konsentrasi nutrien dan jumlah
metabolit meningkat selama berlangsungnya proses. Keadaan seperti ini
mengakibatkan mikroba tidak dapat tumbuh dan berkembang biak dengan
baik. Pada saat nutrien semakin sedikitdan metabolit semakin menumpuk
maka pertumbuhan sel mikroba akan tertekan dan akhirnya akan terhenti
sama sekali atau sel mikroba banyak mengalami kematian.
Setelah inokulasi, sel mikroba tidak langsung bertambah. Pada
periode ini, sel melakukan aktivitas metabolik dan fisiologik untuk
mempersiapkan pembelahan. Periode tersebut dikenal dengan fase
pertumbuhan lambat atau fase adaptasi. Lama fase ini sulit ditentukan
karena tidak hanya tergantung pada jumlah sel yang diinokulasikan tetapi
juga dipengaruhi karakteristik metaboliknya, seperti umur dan keadaan
fisiologiknya. Pada proses yang bersifat komersial, fase ini diupayakan
berlangsung sesingkat mungkin, diantaranya dengan menggunakan
inokulen yang cocok, yakni kultur yang dalam keadaan aktif sehingga fase
adaptasinya lebih pendek.
Setelah fase pertumbuhan lambat dilalui maka kemudian set
mikroba tumbuh dengan cepat sekali secara eksponensial dan saat ini
dikenal sebagai fase eksponensial atau fase logaritmik. perubahan
konsentrasi biomassa sel mikroba per satuan waktu dapat dilihat pada
Gambar dengan persamaan berikut:

dx/dt =. μx................................................................ (3.1)

dimana :
x = konsentrasi biomassa sel/jumlah sel/ml, massa sel/mf, atau
komponen sel/ml t = waktu (dalam jam),dan
μ = laju pertumbuhan spesifik (dalam jam).

kalau persamaan (3.1) di atas diintegralkan maka akan diperoleh


persamaan:

xt = xoe μt............................................................... (3.2)

dimana :
xo = konsentrasi biomassa awal
xt = konsentrasi biomassa setelah selang waktu t jam

Gambar 3.1 Pada pertumbuhan mikroba pada kultur "batch" kurva (a)
untuk menunjukkan konsentrasi biomassa sel kalau tidak
terjadi lisis, (b) untuk menunjukkan konsentrasi biomassa sel
kalau terjadi lisis (c) untuk menunjukkan konsentrasi sel hidup
kalau terjadi lisis
Kultar kontinu
Berbeda dengan sistem batch, dimana pola pertumbuhan
mikoorganisme mengikuti kurva pada Gambar 3.3, maka pada kuitur
kontinu, selama fermentasi berlangsung, mikroorganisme diusahakan
tetap berada pada fase pertumbuhan eksponensial atau setidak- tidaknya
fase tersebut dijalani selama mungkin. Agar keadaan itu dapat dicapai
maka ke dalam fermentor (wadah tempat fermentasi berlangsung) secara
kontinu dilakukan penambahan substrat baru untuk mengganti yang
sudah dikonsumsi oleh mikroorganisme. Disamping itu juga dilakukan
secara kontinu pengambilan produk hasil fermentasi dan penetralan
terhadap metabolit-metabolit yang mungkin dapat mengganggu
pertumbuhan maksimal mikroorganisme. Karena itu medium selalu
dipertahankan dalam keadaan kesetimbangan (steady state) antara
biomassa sel yang baru terbentuk dengan biomassa sel yang dikeluarkan
dari medium fermentasi. Dalam hal ini dikenal istilah laju dilusi (D), yaitu
rasio antara laju aliran medium dengan volume medium di dalam tangki
fermentor:

D = FA/....................................................................(3.11)

dimana:
F = laju aliran medium
V = volume vessel dari fermentor

−1
Satuan volume . jam −1
{D [ ¿ ] [¿ ] jam
Satuan volume

dengan demikian satuan D adalahjam-1

Perubahan konsentrasi sel selama fermentasi ditentukan oleh


jumlah sel baru yang tumbuh dan jumlah sel yang dikeluarkan:
dx/dt = sel yang baru-sel yang dikeluarkan.............(3.12)
atau dx/dt = ux-D.....................................................(3.13)

Pada kondisi mantap (steady state) dx/dt = 0 karena itu :


0 = ux-Dx---->ux = Dx..............................................(3.14)
----> u = D ..........................................(3.15)

Dari persamaan (3.15) itu, tampak bahwa pada keadaan


kesetimbangan laju pertumbuhan spesifik ditentukan oleh laju dilusi (D).
u maks . s
Apabila persamaan (3.5), u= dimasukkan ke Ks + s

persamaan (3.13), diperoleh: u maks.s

u maks . s
dx/dt = x= −D ............................................(3.16)
Ks+ s

Perubahan konsentrasi substrat pembatas, s (residual limiting


substrat concentration) per satuan waktu digambarkan oleh persamaan :

ds/dt = substrat yang -substrat yang dikeluarkan


ditambahkan yang dikonsumsi oleh sel...................(3.17)

ss
atau ds/dt = DSr - Ds - u maks.x/y ( )..........................(3.18)
Ks+ s

Pada kondisi mantap (steady state), ds/dt dan dx/dt sama dengan
nol, oleh karena itu persamaan (3.18) dan (3.16) dapat disederhanakan
sehingga menjadi berikut:

X = Y(Sr-s)..............................................................(3.19)

(disederhanakan dari persamaan (3.18), dan ini sama dengan persamaan


(3.4)
KsD
s= .......................................................... (3.20)
u maks−D

dimana x adalah konsentrasi sel dalam kondisi mantap (steady state) dan
s konsentrasi substrat pada kondisi mantap (steady state).
Dari persamaan (3.20) di atas tampak bahwa konsentrasi substrat
ditentukan oleh laju dilusi (D), dan berdasarkan persamaan (3.15) nilai D
itu menentukan laju pertumbuhan spesifik (u).
Pada kultur kontinu, sel yang berbiak akan mengkonsumsi substrat
sampai konsentrasi substrat mencapai tingkat yang dapat mendorong laju
pertumbuhan sel yang setara dengan laju dilusi (D). Apabila konsentrasi
substrat turun hingga tfcJak dapat mendorong laju pertumbuhan pada
tingkat yang diharapkan, maka berarti jumlah sel yang diambil dari
fermentor lebih banyak dari sel bam yang diproduksi. Hal tersebut juga
berarti s meningkat dan peningkatan ini selanjutnya akan menaikkan laju
pertumbuhan. Dengan demikian sistem kembali kedalam kesetimbangan.
SISTEM FERMENTASI
Ada tiga sistem fermentasi yang dikenal saat ini, yaitu fermentasi
sistem batch, fermentasi kontinu dan fermentasi sistem fed-batch. Ketiga
cara itu dapat diterapkan pada fermentasi yang menggunakan medium
cair. Sedangkan untuk fermentasi yang menggunakan medium padat,
sistem batch yang sering dilakukan. Kinetika pertumbuhan mikroba untuk
ketiga sistem fermentasi tersebut telah dibicarakan pada bagian terdahulu.
Pada bagian ini akan dibicarakan lebih Ian jut mengenai masing-
masing fermentasi tersebut.

Fermentasi sistem batch


Pada sistem fermentasi ini, setelah medium diinokulasi tidak
dilakukan lagi pengaturan konsentrasi substrat ataupun metabolit-
metabolit padat dan cair yang dihasilkan selama fermentasi. walaupun
demikian, seperti sistem lainnya, pengaturan suhu, kadang-kadang pH,
sistem aerasi dan kelembaban udara (untuk fermentasi media padat) tetap
dilakukan. Dengan demikian faktor pembatas utama dari luar terhadap
pertumbuhan mikroorganisme adalah konsentrasi nutrien dan konsentrasi
metabolit-metabolit yang dapat membatasi persi pertumbuhan atau
autotoksin.

Gambar 3.7. Hubungan antara waktu (t) dengan laju dilusi,


konsentrasi substrat pembatas dan konsentrasi
biomassa pada kultur fed-batch yang dalam kondisi
mantap semu
Dengan sistem batch ini, produk utama yang biasanya diharapkan
adalah biomassa sel, produk primer (yang dihasilkan pada saat mikroba
berkembang-biak) dan metabolit sekunder (yang mulai dihasilkan pada
akhir fase pertumbuhan menurun).
Seperti yang telah dibahas pada bagian terdahulu, mikroorganisme
berkembang mengikuti pola pertumbuhan seperti kurya pada Gambar 3.3,
yaitu melalui fase pertumbuhan lambat, fase eksponensial, fase
pertumbuhan menurun dan fase stasioner. Pada fermentasi apapun, fase
pertumbuhan lambat diusahakan berlangsung sesingkat mungkin.
Sedangkan pengaturan jangka waktu untuk fase lainnya tergantung dari
jenis produk fermentasi yang diinginkan. Untuk menghasilkan produk
primer (senyawa yang dihasilkan selama fase eksponensial), diperlukan
kondisi yang dapat memperpanjang fase eksponensial(*). Akan tetapi
untuk fermentasi sistem batch ini perpanjangan daripada fase
eksponensial sulit dilakukan, kecuali dengan menggunakan muatan yang
lebih unggul, misalnya yang mempunyai u maksimum(**) dan Yp/x yang
lebih besar, maka produk primer bisa ditingkatkan.
Sedangkan untuk memproduksi metabolit sekunder fase
eksponensial dipersingkat dan memperpanjang pada fase stasioner atau
menurunkan laju pertumbuhan pada fase eksponensial, sehingga
metabolit sekunder terbentuk lebih awal. Untuk memproduksi biomassa
sel terutama yang perlu diperlihatkan adalah konsentrasi substrat awal
pada medium fermentasi dan jenis substrat (***). Dari kurva pada Gambar
3.4, dapat dilihat bahwa untuk jenis mikroorganisme, jenis substrat dan
kondisi fermentasi tertentu, pada tingkat konsentrasi substrat awal
tertentu, konsentrasi biomassa sel yang dihasilkan tidak bisa ditingkatkan
lagi.

Fermentasi sistem kontinu


Secara sederhana, fermentasi sistem kontinu ini digambarkan oleh
diagram berikut ini (Gambar 3.8). Tabung fermentasi dihubungkan dengan
wadah yang berisi media steril yang dialirkan secara perlahan-lahan ke
dalam ruang fermentasi. Sementara itu, juga dikeluarkan dari ruang
fermentasi medium yang telah di fermentasi. Pada sistem ini konsentrasi
substrat maupun densitas mikroba relatif konstan dan keadaan ini disebut
dengan kondisi mantap.

Keterangan:
(*) Pada persamaan (3.10):qp = Yp/x.u, dapat dilihat bahwa laju spesifik
pembentukan produk primer (qp) tergantung kepada laju spesifik
pertumbuhan (u). qp akan maksimum jika u juga maksimum. Nilai u
maks itu diperoleh pada fase pertumbuhan eksponensial
(**) qp ditentukan oleh nilai u (persamaan 3.10), sedangkan menurut
persamaan (3.5), u meningkat dengan meningkatnya u maksimum,
yang merupakan karakter dari suatu mikroorganisme.
(***)pada persamaan (3.4) dapat dilihat bahwa konsentrasi biomassa yang
dihasilkan (x) adalah : x = Y(Sr-s), yaitu tergantung pada konsentrasi
substrat awal, substrat sisa dan konstanta Y (yaitu yang menyatukan
gram sel kering yang bisa dihasilkan dari 1 gram substrat sumber
karbon jadi Y in ditentukan oleh jenis sumber karbon yang terdapat di
dalam substrat)

Gambar 3.8. Diagram sederhana fermentasi sistem kontinu

Untuk mempertahankan kondisi mantap, sistem fermentasi


dikontrol secara kemostat dan turbidostat. Pada kemostat, pertumbuhan
atau konsentrasi sel mikroorganisme dikontrol dengan cara mengatur
konsentrasi salah satu nutrien pembatas di dalam medium. Sedangkan
pada turbidostat. pertumbuhan atau konsentrasi sel tersebut
dipertahankan tetap dengan cara memonitor kekeruhan (turbidity)
medium. Dibandingkan dengan cara turbidostat, sistem kontrol pada
kemostat relatif sederhana karena itu sistem ini lebih banyak diterapkan.
Tetapi sistem turbidostat juga mempunyai kelebihan antara lain
kemungkinan keluarnya semua sel dari medium dapat dihindari.
Fermentasi sistem kontinu ini, dalam penerapannya dapat
dilakukan dengan menggunakan hanya satu tangki fermentor yang dikenal
sebagai sistem single-stage. Selain itu, fermentasi ini juga bisa
dilangsungkan pada fermentor yang mempunyai beberapa tangki
fermentor. Dengan demikian fermentasi dilangsungkan pada beberapa
tahap pada medium atau kondisi fermentasi yang berbeda-beda. Diagram
sederhana yang menggambarkan sistem yang disebut dengan sistem
multi-stage ini dapat dilihat pada Gambar 3.9.
Salah satu contoh fermentasi multi-stage ini adalah penumbuhan
Klebsiella aerogenes pada substrat campuran glukosa dan maltosa.
Pada tahap pertama mikroorganisme tersebut mengkonsumsi
glukosa dan pada tahap kedua mengkonsumsi maltosa. Laju
pertumbuhan pada tahap kedua ini lebih lambat dan pada saat itu
mikroorganisme memproduksi metabolit sekunder.

Gambar 3.9. Diagram sederhana fermentasi kontinu yang dilakukan


dengan sistem multi-stage

Selain dengan cara single-stage dan multi-stage, fermentasi


kontinu dapat juga dilakukan dengan sistem feed back (umpan balik).
Pada sistem ini konsentrasi biomassa lebih tinggi daripada sistem single-
stage, yaitu lebih besar dari Y(Sr- s)(*). Caranya adalah dengan
membatasi konsentrasi biomassa sel yang keluar dari fermentor, atau
dengan proses pemisahan biomassa sel ini dari cairan yang dikeluarkan,
kemudian sebagian dari biomassa itu dikembalikan lagi ke dalam
fermentor.

Fermentasi sistem feed batch


Istilah ini diperkenalkan oleh Yoshida et al (1973) untuk fermentasi
sistem batch yang diberi perlakuan penambahan substrat baru secara
kontinu tanpa mengalirkan substrat yang sudah difermentasi dari tangki
fermentor.
Pada sistem ini konsentrasi substrat dapat dipertahankan pada
konsentrasi yang sangat rendah. Keadaan ini menguntungkan karena: (a)
dapat menghindari efek toksik dari komponen medium. Contohnya adalah
pada fermentasi untuk memproduksi penisilin dengan menggunakan
kapang Penicillium chrysogenum. Salah satu komponen substratnya
adalah natrium fenilasetat yang berfungsi sebagai prekursor pembentukan
molekul penisilin. Akan tetapi precursor tersebut mempunyai efek toksik
terhadap pertumbuhan Penicillium chrysogenum. Untuk menghindari efek
itu, natrium fenilasetat ditambahkan sedikit-sedikit sedemikian rupa
sehingga konsentrashya seialu di bawah ambang toksik. Metoda serupa
juga digunakan pada produksi asam glutamat, (b) dapat menghindarkan
efek represi dari nutrien sumber yang cepat penggunaannya. Contohnya
juga pada fermentasi penisilin. Dengan mengontrol konsentrasi substrat
yang ada dan mengontrol banyaknya substrat yang perlu ditambahkan,
laju pertumbuhan sel dan konsumsi oksigen dapat dibatasi sehingga
sintesa senyawa penisilin berlangsung pada laju yang tinggi. ,
BAB IV
UNIT OPERASI PADA PROSES PEMANENAN

Suatu aspek yang sangat kritis dalam industri fermentasi adalah


proses pemanenan dan pemurnian produk. Dalam banyak kasus, jumlah
produk sangat sedikit terkadang kurang dari satu mg per I cairan medium.
Sebagai tambahan biasanya produk itu juga tercampur dengan produk-
produk lainnya jadi hanya merupakan fraksi kecil dari keseluruhan produk
fermentasi. Untuk itu pula, proses pemanenan masih terus memerlukan
penelitian dan pengembangan yang intensif. Prosedur pemurnian yang
mutakhir amat diperlukan untuk memurnikan produk supaya diperoleh
hasil yang memadai untuk memenuhi pasaran.
Metode ekstraksi dan pemurnian produk hasil proses fermentasi
bila melihat kenyataan di atas mungkin akan sulit dilakukan dan mahal
biayanya. Idealnya proses pemurnian produk harus cepat, menghasilkan
produk yang derajat kemurniannya tinggi dengan investasi yang rendah.
Dengan permasalahan seperti dikemukakan di atas, biaya pemurnian
produk hasil fermentasi biasanya di atas 20% dari seluruh biaya yang
dikeluarkan dan bahkan dapat mencapai 60%. Pemilihan proses filtrasi
yang matang dalam hal ini amat penting.
Jika dalam cairan pertumbuhan pada saat proses fermentasi
dihentikan, produk yang khusus dan yang menjadi pusat perhatian
mungkin dapat dideteksi dan jumlahnya mungkin sangat sedikit dan
terdapat dalam larutan yang masih berisi sel, fragmen sel, komponen lain
baik yang bersifat larut maupun yang tidak larut serta berbagai jenis
produk metabolit. Produk yang diinginkan mungkin pula bersifat
intraselular, sifatnya labil terhadap panas, dan mudah dipecah oleh bakteri
kontaminan. Semua faktor ini tentunya akan mempersulit proses
pemanenan dari produk. Bila produk bersifat labil maka kecepatan
pemanenan mungkin merupakan faktor penentu. Oleh karenanya
peralatan yang dipergunakan dalam proses pemanenan haruslah dipilih
tipe yang benar atau sesuai baik kualitas maupun ukurannya sehingga
proses pemanenan dapat dilakukan sebaik-baiknya.
Pemilihan proses pemanenan pada dasarnya tergantung pada
beberapa hal yaitu:
(a) lokasi produk apakah bersifat ekstraselular atau intraselular,
(b) konsentrasi produk di dalam cairan pertumbuhan,
(c) sifat fisik dan kimia produk,
(d) tujuan penggunaan produk,
(e) tingkat kemurnian standar yang diterima,
(f) tingkat kontaminan di dalam cairan pertumbuhan, harga produk yang
dihasilkan di pasaran.

Tujuan fase pertama pada proses pemanenan produk yang bersifat


ekstraselular adalah pemisahan partikel padat berukuran besar termasuk
sel mikroba dengan proses sentrifugasi atau filtrasi. Dalam fase berikutnya
tentunya memisahkan fraksi-fraksi atau mengekstraksi produk dari cairan
tumbuh dengan menggunakan proses adsorpsi atau khromatografi
pertukaran ion atau proses pengendapan. Selanjutnya produk dimurnikan
dengan menggunakan khromatografi yang lebih khusus misalnya
khromatografi afinitas yang pada akhirnya dikristalisasi.
Beberapa cara mungkin juga dilakukan untuk mempermudah proses
pemanenan produk dari larutan. Beberapa cara ini termasuk:
(a) seleksi mikroba (dalam hal ini diusahakan agar mikroba yang menjadi
pilihan mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan proses ekstraksi
misalnya tidak memproduksi pigmen atau tidak menghasilkan
metabolit lain yang tidak diinginkan),
(b) memodifikasi kondisi proses fermentasi untuk memperkecil produksi
bahan atau metabolit yang tidak diinginkan,
(c) saat panen yang tepat,
(d) pengontroian pH setelah pemanenan dilakukan,
(e) perlakuan oleh panas setelah proses pemanenan,
(f) penambahan substansi penggumpal,
(g) penggunaan enzim untuk memecah dinding sel.

Harus diingat pula, bahwa proses fermentasi dan proses


pemanenan adalah bagian yang integral dan tidak bisa dipisahkan satu
dengan yang lainnya. Berbagai tindakan seringkali dilakukan dengan
melihat hubungan kedua proses ini. Dalam proses pemanenan enzim,
misalnya faktor seperti waktu panen produksi pigmen, kekuatan ion, dan
konstituen medium sangat berpengaruh. Jumlah yang banyak dari larutan
medium yang berisi enzim ekstraselular memerlukan proses penanganan
yang segera. Bila waktu panen yang tepat dan banyaknya enzim yang
akan dipanen tidak atau sulit ditebak, proses pemanenan tentunya akan
menjadi semakin sulit. Dalam proses produksi pigmen, pemanenannya
dapat menjadi semakin sulit. Dalam proses produksi pigmen ini terdapat
dalam bentuk terikat pada resin. Demikian juga halnya bila hal ini terjadi
pada enzim. Perubahan kondisi fermentasi mungkin dapat mengurangi
produksi pigmen.
Berbagai cara atau proses pemanenan produk seperti penisilin, asam
sitrat dan enzim nuldease dari mikroba mikrokokus yang menunjukkan
ragam teknik dan strategi pemanenan produk dapat dilihat pada diagram
alir pada Gambar 4.3, 4.4, dan 4.5.
Meskipun demikian, berbagai metoda sederhana masih banyak
dilakukan dalam proses pemanenan berbagai produk hasil proses
fermentasi. Penggunaan proses pemurnian sangat tergantung pada asal
material, konsentrasi awal produk, stabilitas produk, dan tingkat
kemurnian yang dikehendaki.
Produk hasil fermentasi dapat pula berupa sel itu sendiri misalnya
pada produksi protein sel tunggal atau dapat pula berupa metabolit yang
mungkin bersifat intra ataupun ekstraselular. Asam nukleat, vitamin,
enzim, dan berbagai zat antibiotika seperti sisomsin dan griseofulvin
adalah metabolit yang bersifat intraselular. Sementara itu asam amino,
asam sitrat, alkohol, enzim seperti amflase dan protease, zat antibiotika
seperti penisilin dan streptomisin adalah metabolit yang bersifat
ekstraselular.

Cairan Fermentasi diambil dari fermentor

Dinginkan sehingga suhunya mencapai 5 - I0oC

Pisahkan misallium Pchryspgenun dengan proses "rotary vacum filter"

Filtrat diasamkan hingga 2 - 2.5 dengan asam Sulfat Penisilin


dlekstraksi dengan butil asetat dalam "Centrifugal counter current
extractor" fraksi cair dibuang

Ekstraksi penicilin dari butil asetat oleh buffer PH 7 dalam


"Centrifuge; Counter Current Extractor" butil asetat dapat dipisahkan
untuk kemudian dipakai kembali

Fraksi cair diasamkan menjadi PH 2 -2.5 dengan asam sulfat dan penisilin
diestraksi kembali dengan butil asetat baru dalam "Centrifugal Counter
current extraktor* diekstraksi

Tambahkan potasium asetat kedalam ekstrak penisilin dalam tangki


pengkrIstaIan untuk menonkristalkan penisilin dalam bentuk garam
potasium

Kristal dapat dipisahkan dengan menggunakan Sentrifugasi berfiltrasi,


butil asetat dapat diambil kembali
Pemprosesan garam penisilin pemprosesan

Pemanenan dan purifikasi partial penisilin

Gambar 4.1 Diagram alir "isolasi" dan pemurnian penisilin G secara


parsial

Cairan fermentasi dari fermentor

Misellim A nigser dipisahkan dengan filtrasi menggunakan "rotary vacum


filtar"

Tambahkan CaSO4 dengan filtrasi dengan mencapai PH 5.8

Kalcium siltrat

Tambahkan asam sulfat pada suhu 60oC

Hilangkan CaSO4 dengan filtrasi pada “rotary vacum filter”

Hilangkan warna dengan karbon aktif

Pergunakan resir penukar kation dan anion

Uapkan pada suhu 36o sampai terbentuk kristal

Kristal asam sitrat monohidrat dapat dipisahkan dengan alat pemusing


secara sinambung

Keringkan pada suhu 50 – 60 oC


Gambar4.2 Diagram alir "recovery" dan pemurnian asam sitrat

Supernatant
400dm3 PH 8.8 konduktifitas 23,000 US

PENGENCERAN
Tambahkan 400dm3 aquades 11,000 US

PENGASAMAN
Tambahkan SP Sephadex C 25 (750g)
Aduk selama 1 h biarkan selama 2 h

RESIN DIKUMPULKAN
Pak dalam kolom yang sudah diatur, hilangkan protein yang tidak
terabsorpsi dengan cara alusi menggunakan 0.3 M ammonium asetat
pada PH 6.0

EVOLUSI
Nucleus sielusi dengan 2 N (NH4) 2SO4

DIALYSIS
Hasilnya didialisis semalaman dengan aquades

PEMEKATAN
Menggunakan “CH3 hollow fibre unit (Amicon) “ mol.w+cutoff 10.000”

PEMUSINGAN
10,000 selama 30 menit
GEL FILTRASI
Sephadex 675;0.013

PENGERING BEKUAN
Asam asetat + 0,1 N Amonium asetat

Gambar 4.3 Diagram alir pemurnian micrococcal nuclease

PEMISAHAN SEL DAN BAHAN PADAT LAIN DARI CAIRAN


PERTUMBUHAN
Tahapan pertama dalam proses pemurnian adalah pemisahan sel dan
substansi nutrisi yang tidak dapat melarut di dalam cairan pertumbuhan.
Proses pemisahan sel dan substansi nutrisi tidak larut dalam cairan
tumbuh biasanya mudah dilakukan. Sentrifugasi adalah cara yang paling
umum dilakukan. Cara lain yang digunakan adalah filtrasi. Kapang dan
algae dapat dipisahkan dari larutan medium pertumbuhan cukup dengan
menggunakan filtrasi biasa misalnya kertas saring Whatman No 1 atau
bahkan kain cita sudah cukup. Pemisahan bakteri biasanya dilakukan
dengan menggunakan filter berpori-pori 0,20 - 0,45 mikron.

Pemisahan dengan menggunakan metoda buih (foam separation)


Metode pemisahan dengan buih ini dipengaruhi oleh aktivitas
permukaan. Bahan yang akan dipisahkan dapat berupa sel, molekul
seperti protein atau koloid yang secara selektif dapat diabsorpsi atau diikat
oleh permukaan gelembung gas yang muncul melalui cairan yang pada
akhirnya dapat dipisahkan dengan mengangkat buih yang terbentuk yang
sudah ditempeli dengan bahan yang hendak dipisahkan tersebut Adalah
juga memungkinkan untuk memberikan superfaktan seperti asam lemak,
amina dan senyawa amonium kuarterner untuk mengaktivasi permukaan
bahan. Superfaktannya sendiri dikenal dengan istilah kolektor sedangkan
bahan yang diaktivasi adalah koligen. Bila metoda ini dipergunakan dalam
proses pemisahan variabel yang perlu diperhatikan adalah phi, laju aliran
air, jenis superfaktan dan reaksi koli genkolektor.
Metode ini telah berhasil dilakukan untuk memisahkan sel E. coli.
Superfaktan yang dipergunakan dapat asam laurat, steril amin atau t-oktil
amin. Dengan menggunakan metoda ini sebanyak 90% sel dapat
dipisahkan dalam waktu 1 menit dan bila waktunya diperpanjang menjadi
10 menit 99% sel dapat dipanen. Teknik ini juga berhasil dipakai dalam
proses pemanenan Chlorella sp., dan Chlamydomonas sp.

Filtrasi
Secara umum dikatakan bahwa fltrasi merupakan proses yang
paling umum dipergunakan dalam proses pemisahan partikel dari biak
dari suatu suspensi larutan ataupun gas baik dalam skala keel
(laboratorium) maupun skala besar (industri). Penggunaan proses fltrasi
dapat dilakukan dalam berbagai kondisi namun beberapa faktor yang
mempengaruhi proses perlu dipertimbangkan karena akan menentukan
jenis atau macam filtrat apa yang harus dipergunakan menyangkut
masalah penekanan biaya operasional. Diantara faktor-faktor yang dapat
disebutkan disini adalah :
(a) sifat dari filtratnya sendiri terutama viskositas dan densitasnya,
(b) sifat partikel padat dalam larutan terutama yang menyangkut masalah
ukuran dan bentuk, besar distribusi dan sifat lainnya termasuk packing
characteristics,
(c) perbandingan antara padatan dan cairan,
(d) jenis bahan yang akan dipanen apakah padatan, atau cairan,
(e) skala operasi,
(f) apakah operasi filtrasinya bersifat batch atau sinambung,
(g) apakah proses operasinya memerlukan kondisi steril atau tidak,
(h) apakah proses filtrasi ini memerlukan tekanan udara tambahan atau
pengisapan dengan pompa hampa agar laju aliran cairan dalam batas
yang diinginkan.
Sebuah unit filtrasi yang amat sederhana digambarkan pada
Gambar 4.4 yang tersusun atas sebuah penyangga ditutup dengan
sebuah kain filter berpori. Filter cake secara perlahan-lahan akan
terbentuk seiring dengan mengalirnya filtrat melalui kain penyaring.
Pembentukan filter cake ini diikuti dengan penurunan laju aliran cairan
melalui filter ini. Agar laju aliran cairan melalui filter ini tetap baik, tekanan
harus secara perlahan-lahan juga ditingkatkan. Penurunan laju aliran
cairan melalui filter ini dapat pula menurun bila pori-pori filter tersumbat.
Apalagi bila partikel bersifat lunak dan mudah mengalami kompresi.

4.4. Diagram sederhana sebuah unit filtrasi

Aliran melalui partikel dengan pori-pori yang besarnya seragam


dengan kedalaman yang konstan dapat diformulasikan dalam suatu
persamaan yang dikenal dengan persamaan Darcy:

dV KA ⌃ p
Rate of flow = = .....................................................(4.1)
dt ul

dimana:
u = viskositas cairan
L = kedalaman partikel filter
⌃ p = tekanan diferensial sepanjang partikel filter
A = luas permukaan filter yang terekspose oleh cairan
K = Kontanta untuk sistem
Khusus untuk memisahkan berbagai bahan yang bersifat kental dan
sulit difiltrasi atau bahkan dapat menyumbat fitter, kiese/guhr (tanah
diatomae) dapat dipergunakan. Dengan menggunakan bahan semacam
ini, porositas tinggi dan laju aliran cepat dan lancar.

Sentrifugasi (pemusingan)
Mikroba partikel lain yang ukurannya hampir sama dapat
dipisahkan dari cairan pertumbuhan dengan menggunakan pemusing.
Penggunaan alat pemu-sing walaupun mungkin lebih mahal bila
dibandingkan dengan cara filtrasi, dapat menjadi semakin penting artinya
bila bahan yang akan diambil sulit dipisahkan dari larutan pertumbuhan.
Hal ini dapat disebabkan karena sifatnya kental atau koloik atau bila sel
atau suspensi harus bersih dan tidak tercemari oleh bahan atau matrik
filter.
Alat pemusing yang sifatnya tidak sinambung penggunaannya
terbatas bila dibandingkan dengan yang bersifat sinambung terutama bila
melibatkan bahan dalam jumlah yang banyak. Dalam hampir semua
proses fermentasi yang beroperasi dalam skala menengah dan besar
biasanya menggunakan alat sentrifugasi yang bersifat sinambung atau
kalau tidak semi-sinambung. Beberapa jenis pemusing dapat
dipergunakan untuk memisahkan dua jenis larutan seperti juga fraksi-
fraksi padat.
Kecepatan proses sedimentasi partikel dalam suatu larutan yang
mempunyai sifat viskositas Newtonian akan mengikuti hukum Stoke yang
sebanding dengan pangkat dua dari diameter partikel yang akan
disedimentasikan. Adapun hukum Stoke persamaannya adalah sebagai
berikut:
dVr(Pp-Pi)
2 2
d w ( P p−Pi )
v= ................................................... . (4.2)
18 u

dimana:
v = kecepatan sedimentasi (ems-1)
d = diameter partikel (cm)
w = velositi angular aksis (radian s-1)
r = jarak partikel dari aksis perputaran (cm)
Pp = kerapatan partikel (gcm-3)
Pi = kerapatan larutan (gcm-3)
u = kekentalan larutan (gcm-1 second-1)
Menurut rumus atau persamaan ini faktor yang mempengaruhi
kecepatan sedimentasi adalah perbedaan densitas kekentalan larutan.
Idealnya, sel harus mempunyai ukuran diameter atau garis tengah yang
besar, perbedaan densitas atau kekentalan antara sel dan cairan dan
terutama bahwa cairan harus mempunyai kekentalan yang serendah-
rendahnya. Dalam prakteknya, sel biasanya sangat kecil, densitasnya
rendah dan seringkali tersuspensikan dalam medium yang bersifat kental.
Telah diketahui secara umum, bahwa sel mikroba yang membentuk
agregat meskipun densitasnya sama atau tidak berubah, akan mengalami
sedimentasi atau pengendapan lebih cepat karena diameter partikel
bertambah besar. Proses sedimentasi dengan cara ini mungkin dapat
dilakukan dengan cara memilih biak jasad renik tertentu yang dapat
dengan mudah membentuk agregat. Hal ini telah berhasil dilakukan
terhadap kamir yang berperan dalam proses fermentasi pembuatan bir.
Dengan mendinginkan wort pada akhir proses fermentasi, secara alami
kamir akan mengalami agregasi sehingga mudah dipisahkan dari cairan.
Berbagai faktor lain selain temperatur juga dapat mempengaruhi proses
flokulasi seperti muatan anion, karboksil primer dan gugusan fosfat pada
permukaan dinding sel kamir. Di dalam hal ini pH juga berperan.
Perubahan pH dan hadirnya senyawa kimia tertentu dapat
mengubah ion dari lingkungannya. Berbagai jenis senyawa kimia bahkan
kini telah banyak dipergunakan dalam proses flokulasi bakteri, kamir dan
algae. Komponen kimia yang dipakai termasuk diantaranya adalah
aluminium, kalsium dan garam Fe. Substansi kimia lain yang kini
dipergunakan adalah asam tanat, titanium tetrakhlorida dan substansi
kation seperti senyawa amonium kuarterner, alkil amin dan garam alkil
piridinium. Proses flukolasi dari kamir (Candida intermedia) diketahui amat
dipengaruhi oleh macam senyawa kimia yang ditambahkan, dosisnya dan
kondisi lingkungan. Dalam proses pembuatan protein sel tunggal, asam
fosfat telah banyak dipergunakan sebagai senyawa yang merangsang
pembentukan agregat. Hal ini dilakukan karena asam fosfat dapat pula
dimasukkan ke dalam makanan sehingga tidak perlu proses pemurnian.
Dalam beberapa proses dimana penambahan bahan kimia
dianggap mempunyai akibat racun, teknik lain perlu dikembangkan.
Salah satu metoda adalah metoda koagulasi protein mikroba melalui
proses pemanasan singkat.
Kembali kepada alat pemusing, berbagai jenis telah dikenal dan
dipakai dalam praktek. Satu jenis pemusing dengan jenis pemusing yang
lainnya biasanya berbeda dalam hal pengeluaran cairan atau solid dari
sentrifuge, kecepatan sistem pengosongan alat pemusing dan
kapasitasnya. Apabila alat pemusing diperlukan untuk suatu tujuan
tertentu, pemilihan alat harus dilakukan dengan cermat sehingga
pemanenan atau pemisahan bahan padat dari cairan dapat dilakukan
sesuai dengan jadwal yang ditentukan dengan biaya dan tenaga
minimum. Pengetesan dalam skala besar seringkali diperlukan dalam hal
ini.
Berbagai jenis sentrifuge yang saat ini dikenal antara lain adalah :
pemusing berbentuk keranjang, pemusing multi ruang, pemusing
dekanter, pemusing pinggang, pemusing tubular.
Pemusing berbentuk keranjang (flasket centrifuge/ perforated-bowl
basket centrifuge) adalah sangat berguna untuk proses pemisahan
miselium kapang atau komponen berbentuk kristal. Alat pemusing ini
biasanya dilengkapi filter terbuat dari dengan kantong nilon atau katun.
Alat pemusing ini biasanya berputar pada kecepatan tidak lebih dari 4000
rpm dengan kapasitas 50 sampai 3001 per menit.
Pemusing multi ruang (multichamber centrifuge) adalah jenis
pemusing yang amat cocok untuk memisahkan partikel padat berukuran
0,1 sampai 200 mikron dari lumpur. Dalam alat pemusing ini pemusing
multi ruang yang merupakan seri dari ruang konsentrik dipasang di dalam
ruang rotor. Larutan masuk melalui bagian tengah sementara padatan
ditampung di bagian luar ruangan. Kecepatan putaran maksimum adalah
hanya 6,500 rpm untuk rotor yang berdiameter 46 cm dengan kapasitas
tampung 761.
Pemusing dekanter (decanter centrifuge/solid bowl scroll
centrifuge) adalah tipe pemusing yang banyak dipergunakan dalam
menangani masalah limbah cair. Kecepatan perputaran rotor maksimum
hanya 400 rpm. Karena jenis pemusing ini tidak dipengaruhi oleh
keseimbangan (cairan dimasukkan dari ujung yang satu dan keluar
melalui ujung yang lain), kapasitasnya mungkin sangat besar. Kapasitas
pemusing yang terbesar dapat mencapai 20001 per jam cairan
menghasilkan 40 ton bahan padat per jam.
Jenis alat pemusing yang lain adalah disc-bowl centrifuge dan
tubular-bowl centrifuge. Jenis pemusing yang pertama dirancang
sedemikian rupa sehingga laju kecepatan pengendapan amat cepat. Rotor
dilengkapi dengan celah yang dapat dibuka sewaktu-waktu sehingga
pengeluaran endapan dapat dilakukan pada interval waktu tertentu.
Kelemahannya, fraksi padat masih banyak mengandung air. Kapasitas
tampung berkisar antara 45 dan 1800 I per menit. Sementara itu alat
pemusing tubular-bowl centrifuge dipergunakan untuk memisahkan
partikel berukuran 0,1 sampai 200 mikron dari cairan berbentuk lumpur.
Alat pemusing ini dirancang sedemikian rupa sehingga penggunaan-nya
dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Alat pemusing ini dapat diperguna-
kan untuk :
(a) memisahkan fase ringan dan fase berat dari suatu campuran zat cair,
(b) memisahkan material padat dari cairan,
(c) memisahkan fase padat ringan dari fase cairan yang berat.

Kecepatan putarannya dapat mencapai 50,000 rpm dan


menghasilkan kekuatan sentrifugal 62,000 g. Namun demikian
kapasitasnya hanya dapat mencapai 200 cm kubik dengan hasil 6 sampai
251 per jam. Keuntungan dari alat pemusing tipe ini adalah bahwa
kekuatan sentrifugalnya tinggi, solid lebih dapat terbebas dari air dan
pencuciannya mudah. Kelemahannya adalah bahwa kapasitasnya tidak
begitu besar, efisiensinya menurun bila jumlah bahan di dalam rotor
bertambah, pemanenan bahan padat sulit.
Untuk lebih menjelaskan hal tersebut di atas dapat dilihat pada
Gambar 4.5 sampai dengan Gambar 4.8 berikut ini.

Gambar 4.5. Pemusing bentuk multi ruang


Gambar 4.6. Diagram pemusing bentuk keranjang

Gambar 4.6a. Diagram pemusing bentuk decanter

Gambar 4.6b. Potongan penampang dari unit Sharpies Super D-Canter


Model P-5400 (Pennwalt Ltd., Camberley)
Gambar 4.7a. Bentuk pemusing Disc Bowl Centrifuge dengan selah
pembuangan

Gambar 4.7b. Bentuk pemusing Disc Bowl Centrifuge dengan celah


pembuangan yang dibuka sewaktu-waktu

Gambar 4.8. Bagian dari unit Sharpies Super Centrifuge

EKSTRAKSI
Tahap selanjutnya bila sel telah terpisahkan dari larutan
pertumbuhan medium adalah bervariasi. Bila yang diinginkan adalah sel
atau biomassa, hasil penyaringan dicuci beberapa kali dengan air
kemudian ditiriskan dan dikeringkan dengan menggunakan oven atau
dikemas dalam cara khusus untuk dipasarkan. Tapi bila produk lain yang
diinginkan (misalnya enzim) proses pengisolasian dan proses pemurnian
adalah diperlukan. Pekerjaan ini dapat langsung dikerjakan bila produk
yang diinginkan adalah bersifat ekstraselular. Namun bila bahan yang
dicari bersifat intraseluler, maka ekstrasi diperlukan. Berdasarkan
beberapa catatan, proses ekstrasi dapat dilakukan dengan berbagai cara
dan sebagian dari cara tersebut akan dibicarakan di bawah ini.
Proses ekstrasi yang dimaksudkan di sini adalah suatu metoda
dimana sel diperlakukan sedemikian rupa dengan maksud untuk
mengeluarkan enzim atau metabolit lainnya yang dibutuhkan dari dalam
sel. Proses ekstrasi dapat dilakukan dengan dua cara utama yaitu dengan
metoda kimiawi dan metoda fisik.

Metoda ekstrasi secara kimiawi

Alkali
Metode ini telah dipergunakan dengan sukses dalam
mengekstraksikan protein baik dalam skala kecil maupun besar dari
berbagai jenis bakteri. Enzim L-asparginase (3,5,1,1,-L- aspargin amido-
hidrolase) berhasil diisolasi dengan mengekspose bakteri terhadap larutan
alkali dengan pH antara 11 dan 12,5 selama 20 menit. Penggunaan alkali
dalam preparasi dinding sel dari tanaman dan kapang juga pernah
dilaporkan. Hidrolisis dinding sel relatif ekstensif dan substansi yang
terikat pada membran seperti sitokhrom C terlepas. Keberhasilan proses
ekstrasi dengan menggunakan metoda ini sangat tergantung kepada
kestabilan enzim yang akan diekstrak terhadap pH yang ekstrim tinggi.
Proses ini biasanya akan menginaktifkan protease dan menekan
terjadinya kontaminasi oleh pirogen.

Lisozim dan EDTA


Lisozim adalah enzim yang diproduksi secara komersial dari putih
telur ayam. Enzim ini mengkatalisis hidrolisis beta ikatan glikosidik 1-4 dari
mukopeptida dari dinding sel. Bakteri gram positif yang rigiditasnya
banyak ditentukan oleh struktur mukopeptida dinding sel adalah lebih
sensitif terhadap lisozim daripada bakteri gram negatif. Walaupun
demikian, kehancuran sel bakteri gram positif sering kali juga ditentukan
oleh tekanan dari mediumnya. Untuk bakteri gram negatif, proses
penghancuran dinding sel biasanya tidak akan terjadi hanya dengan
lisozim. Penambahan EDTA bisa menyebabkan terlepasnya
lipopoiisakkharida. Diketahui bahwa EDTA berfungsi sebagai substansi
kimia yang mampu mengikat kation divalen yang berfungsi untuk stabilitas
dinding sel. Dengan bantuan EDTA, lisozim dapat menyerang lapisan
mukopiptida bakteri gram negatif.
Penggunaan teknik ini jarang dipakai dalam proses ekstraksi enzim
dari bakteri dalam skala besar. Namun demikian, lisozim mudah didapat
dan harganya murah. Penghancuran sel oleh lisozim juga berlangsung
amat lembut dan amat dianjurkan bila enzim yang dikehendaki sensitif
terhadap suhu pada proses lisis secara fisik. Lisozim telah dilaporkan
dapat dipergunakan untuk melisis sel Pseudomonas fluorescens pada
proses pemurnian enzim arl asil hidrolase.
Lisozim yang berasal dari putih telur dapat dipergunakan untuk
mempersiapkan protoplas dari bakteri gram positif yang memang sensitif
terhadap enzim ini. Penggunaan lisozim dalam hal ini biasanya dilakukan
dalam larutan hipotonik (larutan sukrosa 0,3 - 0,5 M) pada keadaan netral
atau sedikit basa. Perlakuan dengan lisozim biasanya berlangsung
selama 30 menit dengan konsentrasi lisozim sebanyak 0,1 -1,0 mg/ml.
Dengan konsentrasi ini seluruh sel sudah dapat dirombak menjadi
protoplas. Mikroskop fase kontras dapat dipergunakan untuk memantau
pembentukan protoplas. Ion magnesium atau ion kalsium dalam
konsentrasi rendah (0,5 - 5 mM) mungkin diperlukan untuk menjaga
stabilitas protoplas. Reaksi enzimatis dengan lisozim ini dapat dilakukan
pada ruangan yang dingin ataupun pada suhu kamar.
Enzim muramidase yang mempunyai spesifik substrat yang lebih
luas dari pada lisozim juga tersedia di pasaran. Enzim ini dapat pula
dipergunakan untuk menghancurkan dinding set bakteri gram positif yang
tahan atau tidak hancur dengan lisozim. Macam muramidase yang
terdapat dipasaran dapat berupa lisostafin (enzim mumaridase yang
berasal dari Staphylococcus staphylolyticus produksi Sigma) dan
muramidase kapang yang berasal dari Chalaropsis sp buatan Miles
Laboratories. Namun demikian kedua enzim ini harus hati-hati
memakainya karena tidak biasanya tidak murni seperti lisozim dan
biasanya tercemar oleh protease, lipase atau nuklease.
Tidak seperti bakteri gram positif, hampir seluruh bakteri gram
negatif mempunyai struktur dinding sel peptidoglikan yang sensitif
terhadap lisozim. Namun demikian, bagian luar dari membran bakteri
gram negatif bersifat impermeable terhadap lisozim dan dengan demikian
integritas membran bakteri bagian luar juga akan mengalami kerusakan
sebelum lisozim bekerja. Hal ini dapat ditanggulangi dengan melakukan
pembekuan bertingkat, perlakuan dengan EDTA (Ethilen Diamin Tetra
Acetic Acid) atau dengan memberi perlakuan dengan antibiotika seperti
antibiotika polimiksin B. Dengan demikian penghancuran peptidoglukan
dari bakteri gram negatif tidak menyebabkan penghancuran membran
bagian luar dari bakteri ini. Struktur yang bersifat sensitif terhadap
protoplas.
Speroplas bakteri enterik dapat dipersiapkan sebagai berikut :
Biakkan disentrifugasi dan disuspensikan dalam 0,75 M sukrosa di dalam
10 mM Tris-asetat bufer pH 7,8 dingin sebanyak sepersepuluh dari
volume biakkan tadi. Lisozim kemudian ditambahkan sehingga
konsentrasi akhirnya adalah 0,1 mg per ml dan suspensi ini diinkubasikan
dalam es selama 2 menit. Perubahan menjadi speroplas akan terjadi
dengan mengencerkan suspensi ini dengan EDTA dingin secara perlahan-
lahan selama 8 sampai 10 menit dengan penambahan (melalui pompa
peristaltik) sebanyak 2 volume. Suspensi ini digoyang perlahan-lahan dan
kohversi sel menjadi speroplas dapat diikuti dengan menggunakan
mikroskop fase kontras.
Pembentukan protoplas dan speroplas ditentukan oleh banyak
faktor termasuk tingkat pertumbuhan mikroba, prosedur pencucian, dan
tipe medium pertumbuhan.
Proses pengenceran yang cepat (10-20 kali) dengan bufer encer
atau aqua destilata dapat menyebabkan speroplas atau protoplas hancur.

Detergen
Detergen ada dua macam. Ada yang bersifat ion seperti lauril sulfat
(anion) dan setil dietil ammonium bromida (kation) dan ada pula yang
bersifat bukan ion misalnya Tween dan Triton. Dalam kondisi low ionic
strength dan pH yang cocok, detergen akan bersatu dengan lipoprotein.
Oleh karenanya pula lipoprotein yang merupakan bagian dari dinding sel
akan larut dan membran sel akan menjadi permeabel. Mekanisne
terjadinya ikatan komplek antara lipoprotein dan detergen belum
terungkap secara jelas dan diduga mempunyai hubungan dengan proses
elektrostatik dan daya Van der Wall. Pembentukan komplek amat
tergantung kepada pH dan suhu.
Detergen yang bersifat ionik lebih reaktif dan mengarah kepada
terjadinya disasosiasi lipoprotein. Hal ini kemudian akan menyebabkan
terjadinya denaturasi protein, presipitasi dan mungkin diiringi oleh
terjadinya hidrolisis ikatan peptida. Oleh karena itu pula detergen tidaklah
cocok untuk proses ekstraksi enzim. Presipitasi protein oleh garam
mineral juga menjadi masalah bila terdapat detergen. Namun demikian hal
ini dapat dicegah dalam banyak hal dengan menggunakan khromatografi
pertukaran ion.
Terlepas dari kekurangan-kekurangannya, detergen mempunyai
banyak kegunaan dalam proses ekstrasi termasuk fraksinsi partikel virus.
Triton X-100 dipergunakan dalam skala yang besar untuk melepaskan
kholesterol oksidase dari Nocardia sp. and sodium kho late telah
dipergunakan untuk melarutkan pululanase (pullan - 6- glukan hidrolase).

Metoda ekstraksi secara fisik

Pendinginan mendadak
Bakteri gram negatif lebih peka dari pada bakteri gram positif
terhadap perlakuan ini. Pengaruh pendinginan mendadak hanya terjadi
pada kondisi tertentu dan berakibat terhadap hilangnya daya hidup sel
dan keluarnya materi-materi sel yang mempunyai absorbtivitas 260 nm.
Materi-materi sel tersebut antara lain adalah asam amino dan ATP.
Metode ini sulit dipergunakan bila digunakan dalam skala besar.
Ada dua hambatan atau kelemahan utama yaitu bahwa metoda ini hampir
tidak memberi pengaruh bila densitas sel di dalam suatu larutan kurang
dari 10 per ml dan kelemahan lainnya adalah bahwa bakteri hanya peka
terhadap perlakuan ini hanya pada fase pertumbuhan eksponensial.

Osmosis Mendadak
Metode ini telah dipergunakan dalam proses ekstraksi enzim
hidrolase dan protein terikat dari berbagai jenis bakteri gram negatif
termasuk Salmonella typhimurium dan E. coli. Osmosis diawali dengan
proses pencucian sel oleh larutan bufer untuk menghilangkan seluruh
medium pertumbuhan dan ekuilibrasi untuk menghilangkan sebagian air
dari dalam sel yang kemudian dihilangkan dengan jalam sentrifugasi atau
pemusingan. Padatan sel yang dihasilkan kemudian didispersikan dengan
cepat dalam air pada suhu 4°C. Peningkatan tekanan osmotis yang
mendadak di dalam sel akan menyebabkan keluarnya beberapa
komponen tertentu dari sel.
Hanya 4 - 7 % saja dari total protein sel dapat dibebaskan dari sel
dengan menggunakan metoda ini. Namun demikian hal ini sudah
menyebabkan daya hidup sel menurun dengan tajam. Apabila metoda ini
dan juga metoda pendinginan dipergunakan untuk mengekstrasikan enzim
yang terdapat di permukaan sel, jumlah enzim yang dapat diekstraksikan
dapat mencapai 14 sampai 20 kali lipat. Teknik osmosis mendadak ini
oleh karenanya sangat berguna dalam usaha untuk mengekstrasikan
enzim periplasmik seperti enzim kanamisin asetil transferase dari E. coli.
Diketahui pula bahwa teknik ini bermanfaat dalam proses ekstrasi
lusiferase dari bakteri asal laut Photobacterium fischeri. Dalam hal ini
bakteri laut cukup disuspensikan ulang di dalam larutan bufer encer
karena medium pertumbuhannya berisi 30 g NaCI per I.
Teknik osmosis mendadak ini diketahui tidak cocok untuk
mengekstraksi enzim dari bakteri gram positif yang mempunyai rigiditas
sel yang cukup tinggi dengan tekanan osmosis internal sekitar 20
atmosfer.

Sonikasi
Ultra sonik adalah gelombang suara diatas pendengaran manusia
(di atas 20 kHz). Bila diekspresikan di dalam panjang gelombang di dalam
larutan panjangnya berkisar antara 6 sampai 2,4 x 10 cm.
Penggunaan suara ultra di dalam suatu larutan akan menghasilkan
suatu fenomena yang dikenal sebagai kavitasi. Daerah kompresi dan
penipisan (rarefaction) terjadi dan kaviti yang terbentuk di daerah ini
mengempis dan gelembung di daerah ini akan ditekan menjadi beberapa
ribu atmosfer. Seirama dengan kejadian ini, gelombang terbentuk dan
gelombang inilah yang mempunyai daya untuk menghancurkan sel.
Metode suara ultra telah dengan berhasil dipergunakan dalam
berbagai proses ekstraksi. Metoda ini telah pula banyak dipergunakan
untuk membuat preparasi dinding sel.
Efisiensi penggunaan suara ultra sangat tergantung kepada
berbagai jenis kondisi lingkungan termasuk pH, temperatur, dan kekuatan
inonik dari medium dan waktu. Walaupun metoda ini telah banyak
digunakan, penggunaannya untuk skala besar cukup sulit untuk dilakukan.

Pembekuan Berulang
Pengaruh pembekuan berulang adalah serupa dengan apa yang
terjadi pada proses ekstraksi dengan menggunakan pendinginan
mendadak dan osmosis. Dalam proses pembekuan berulang ini
penghancuran sel lebih drastis sebab terjadi pembentukan kristal es.
Namun demikian, efisiensi pelepasan protein terlarut dengan satu kali
proses tidak melebihi 10 % sekalipun bakterinya adalah bakteri gram
negatif.
Pembekuan berulang ini mungkin juga dapat menimbulkan
hilangnya aktivitas enzim yang diekstrasi karena proses ini dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan struktur enzim. Enzim tertentu
seperti katalase tidak mengalami perubahan struktur yang berarti akibat
pembekuan berulang namun aktivitasnya mengalami penurunan secara
tajam. Oleh karena itu pula metoda ini tidak banyak direkomendasikan
dalam proses ekstraksi enzim.

"Shear" Pedataan
Metode ini juga pernah dipergunakan untuk mengekstraksi enzim.
Sel-sel khamir dicampur dengan basil diaternit yang porfus (kieselguhr)
kemudian dicampur dengan menggunakan tekanan hidraulik. Kieselguhr
bertindak sebagai bahan abrasif dan dengan tekanan sel akan hancur dan
enzim dapat dibebaskan. Metoda lain yang dikembangkan adalah dengan
mencampurkan sel dan bahan abrasif, atau dibekukan pada suhu minus
20°C (dalam hal ini kristal es bertindak sebagai bahan abrasif). Pasta sel
kemudian ditempatkan dalam silinder yangterbuat dari logam kemudian
diberi tekanan 150 sampai 230 Mpa. Dengan metoda ini sel dapat hancur
dan enzim dapat keluar dari sel untuk diekstraksi lebih lanjut. Metoda ini
telah banyak dikembangkan dan Magnusson serta Edebo pada tahun
1976 berhasil merancang alat yang mampu menghancurkan sel sampai
dengan jumlah 10 kg per jam.

Pengerusan (grinding) atau Pengocokan (agitation) dengan bantuan


bahan abrasif
Metoda ini terus dikembangkan sejak Booth dan Green merancang
alat penggerus /penggiling sel pada tahun 1938 dan Curran serta Evans
mencoba proses agitasi dengan menambahkan butiran-butiran gelas ke
dalam suspensi sel pada saat proses ekstraksi enzim.
Metoda ini memang hanya cocok atau ideal untuk skala kecil di
laboratorium, prinsip ini telah pula dipergunakan dalam skala besar.
Proses pengadukan secara cepat terhadap suspensi sel yang berisi
butiran butiran gelas juga merupakan pengembangan prinsip ini. Proses
ini dapat pula dilakukan secara kontinu atau sinambung. Proses
penghancuran sel disebabkan oleh daya potong (shear forces) antara
gradien velositas. Sebagai tambahan juga diakibatkan oleh adanya
benturan antara sel mikroba dengan butiran-butiran gelas dan mekanisme
penggerusan antara butiran - butiran gelas itu sendiri dengan berbagai
kecepatan. Derajat penghancuran sel dipengaruhi oleh kecepatan
pengadukan, konsentrasi mikroba dalam larutan, konsentrasi dan ukuran
butiran- butiran gelas serta lamanya kontak.
Alat pemecah sel dengan menggunakan prinsip ini telah dipasarkan
oleh Dynomill, W. A. Bachofen dari Switzerland. Alat ini dikatakan amat
efisien untuk berbagai jenis bakteri termasuk Staphylococcus aureus dan
Micrococcus lysodeiktikus. Alat ini dapat menghancurkan 5 kg pasta sel
bakteri per jam bila tipe penggiling skala laboratorium sinambung yang
berkapasitas 600 ml dipergunakan. Metoda ini tidak hanya berguna dalam
proses ekstraksi enzim tapi juga bermanfaat dalam proses rekayasa
genetika.

Shear Cairan
Metode ini dipergunakan untuk menghancurkan khloroplas.
Suspensi khloroplas dilakukan melalui sebuah jarum pada tekanan 20000
p.s.i (137 Mpa) dengan laju 10 ml per menit. Dengan menggunakan
metode ini sel dapat pula pecan, protein beserta enzim keluar dari sel
walaupun ada beberapa jenis enzim keluar lebih lambat.

PEMEKATAN DENGAN METODA PENGENDAPAN


Beberapa jenis produk hasil proses fermentasi dapat diperoleh dari
cairan pertumbuhan dengan menggunakan proses presipitasi. Proses ini
dapat dilakukan dengan penambahan senyawa yang dapat bekerja
sedemikian rupa sehingga membentuk ikatan komplek dengan produk
yang akan dipanen yang bersifat tidak larut. Senyawa yang ditambahkan
dapat berupa garam mineral atau berupa pelarut organik.
Berbagai jenis proses pembentukan komplek yang tidak larut antara
produk yang diinginkan dengan senyawa yang ditambahkan telah dikenal.
Dalam produksi terramisin, senyawa amonium ikatan panjang kuarterner
dipergunakan. Senyawa ini ditambahkan ke dalam filtrat dan komplek
yang bersifat tidak larut terbentuk. Komplek ini kemudian akan
mengendap dan dengan cara inilah, terramisin dipanen. Polimer berberat
molekul tinggi seperti dekstran dan polietilen glikol dipergunakan sebagai
substansi yang dapat mengendapkan protein bila senyawa-senyawa di
atas dalam bentuk padatan atau dalam bentuk larutan pekat ditambahkan.
Proses pengendapan protein yang juga sering dipergunakan adalah
amonium dan sodium sulfat. Disamping itu pelarut organik juga bisa
dipergunakan untuk maksud yang serupa. Dekstran dapat diendapkan
dari media pertumbuhan dengan menambahkan metanol. Pada suhu
kurang dari -5°C pelarut organik seperti metanol, etanol dan aseton dapat
pula dipergunakan untuk mengendapkan protein.

Amonium sulfat
Proses pengendapan protein dengan m6nggunakan garam mineral
telah lama dilakukan. Proses pengendapan ini mempunyai dua tujuan
utama yaitu sebagai tahap awal proses pemurnian enzim dan
meningkatkan konsentrasi enzim. Adapun garam mineral yang paling
umum digunakan adalah amonium sulfat karena kolubilitasnya di dalam
air amat tinggi, tidak mengandung zat-zat yang bersifat toksik terhadap
kebanyakan enzim, harganya relatif murah, dan dalam banyak hal dapat
bertindak sebagai stabilisator bagi enzim dengan amonium sulfat amat
tergantung kepada pH, suhu, dan konsentrasi protein di dalam larutan
contoh.

Pelarut organik
Penggunaan pelarut organik dalam proses ekstraksi atau
pemurnian enzim adalah berpegang pada prinsip bahwa pelarut organik
akan menurunkan solubilitas protein di dalam suatu larutan. Hal ini terjadi
karena nilai konstanta dielektrik dari larutan itu turun. Penambahan pelarut
organik yang berlebih akan mengakibatkan molekul-molekul protein lebih
berinteraksi dengan molekul protein yang lainnya daripada dengan air.
Pembentukkan komplek protein yang berbeda muatannya akan terus
berlanjut sampai kepada suatu titik dimana protein akhirnya mengalami
proses pengendapan. Pada suhu 4 C, enzim mungkin akan mengalami
kerusakan dan oleh sebab itu jika metoda ini akan dipergunakan,
sebaiknya dilakukan di dalam ruangan bertemperatur lebih kecil dari 0.
Berbagai jenis pelarut organik dapat dipergunakan untuk
mengendapkan protein atau enzim. Namun yang paling sering
dipergunakan adalah metanol, etanol, dan propanol. Aseton dan diets eter
dapat pula dipergunakan. Namun karena lebih mudah terbakar, dua
pelarut organik yang terakhir ini jarang dipergunakan. Metoda ini dalam
skala besar jarang dipergunakan.

PEMEKATAN DENGAN ULTRAFILTRASI


Teknik ini mempunyai peranan yang amat penting dalam proses
purifikasi enzim (protein). Dalam prakteknya enzim tertentu yang
dikehendaki dapat dimurnikan dengan memilih jenis filter sehingga
substansi kontaminan dapat dipisahkan dari enzim yang diminati. Prinsip
ini bekerja berdasarkan perbedaan berat molekul, sehingga protein
(enzim) tertentu dapat dipisahkan dari protein (enzim) yang lain yang tidak
dikehendaki.
Ultrafiltrasi hendaknya dianggap sebagai bagian dari proses filtrasi
yang bervariasi dari osmosis balik (reverse osmosis) dengan batas berat
molekul substansi yang dapat melampauinya berkisar sekitar 250 dalton,
ultrafiltrasi dengan batas berat molekul substansi yang dapat
melampauinya antara 500 sampai 300 000 dalton, filter partikel berukuran
mikro sampai kepada filter partikel biasa.
Membran ultrafilter yang dikenal ada dua macam yaitu : ultrafilter
mikroprus dan ultrafilter difusif. Ultrafilter mikroporus adalah filter biasa
yang sama dengan filter konvensional. Biasanya ultra filter macam ini
adalah kuat dengan pori-pori yang amat kecil dengan kisaran ukuran
antara 500 sampai dengan 5000.
Molekul-molekul yang amat kecil dapat keluar melalui pori-pori filter
sedangkan molekul yang lebih besar tertinggal di dalam struktur
membran. Seringkali penyumbatan oleh molekul yang agak besar sering
terjadi. Penyumbatan terjadi oleh molekul yang berukuran sedang dan
hanya pori yang berukuran besar yang bebas sebagai tempat lalu pelarut
dan zat-zat yang terlarut di dalamnya. Penyumbatan dapat diperkecil
dengan memilih membran dengan pori - pori yang jauh lebih kecil dari
besarnya bahan yang dikehendaki. Dari pengalaman, membran yang
demikian ini dapat dengan efektif dipergunakan sebagai alat untuk
mengkonsentrasikan bahan-bahan dengan berat molekul yang tinggi
(1,000,000 dalton).
Membran tipe difusif akhir-akhir ini lebih banyak dipergunakan dan
hasilnya jauh lebih baik karena sifatnya lebih selektif dalam hal pemisahan
molekul-molekul. Membran ini adalah membran hidrogel homogen.
Pelarut dan zat yang terlarut ditransportasikan oleh difusi molekular di
bawah pengaruh perbedaan konsentrasi atau gradien aktif. Dalam
prosesnya energi kinetik amat dibutuhkan dan oleh karenanya merupakan
suatu proses yang diaktifasi dengan panas. Besarnya en9rgi yang
dibutuhkan tergantung kepada dimensi molekul yang mengalami difusi,
densitas matrik polimer membran, serta tenaga interaksi antara molekul
yang sedang mengalami difusi dengan matrik. Oleh karenanya, membran
yang mempuyai permeabilitas tinggi, kondisi matrik mengalami hidrasi dan
afinitas spesifik antara polimer dan pelarut menjadi lebih kuat. Sebaliknya
bila permeabilitas membran rendah, afinitas antara polimer dan pelarut
rendah.
Orang pertama yang mendemonstrasikan penggunaan ultrafilter
adalah Schimidt pada tahun 1861. Pada saat itu Schimidt menggunakan
perikardium sapi sebagai membrannya dan dapat memisahkan gum
arabic. Membran yang pertama dikonstruksikan berhasil dibuat oleh
Martin pada tahun 1896 yang dipergunakannya dalam proses pemurnian
racun ular. Penggunaan ultrafilter semakin berkembang dan kini banyak
dipergunakan dalam proses ekstraksi dan pemurnian enzim dalam skala
besar.
Membran anisotrofik yang terdiri dari gabungan lapisan kulit (0.1 - 5
mikron tebalnya) dengan penyangga (substruktur) berpori-pori besar di
bawahnya juga dipakai untuk keperluan ini. Karena lapisan aktifnya amat
tipis, laju aliran amat efisien. Sementara itu dengan porositas matrik
penyangga yang besar, penyumbatan tidak terjadi. Dengan demikian
permeabilitas pelarut tidak mengalami penurunan selama proses filtrasi
berlangsung pada tekanan yang konstan.
Laju aliran pelarut melalui membran semacam ini dipengaruhi oleh
hukum difusi Fick di dalam membran. Laju aliran pelarut proporsional
dengan gradien konsentrasi larutan yang dapat dihitung dari konsentrasi
larutan dan tidak tergantung kepada tekanan. Ini berarti bahwa jika aliran
pelarut melalui membran meningkat dengan meningkatnya tekanan, laju
aliran zat terlarut hanya sedikit berubah.
Permeabilitas zat terlarut melalui suatu membran dipengaruhi oleh
temperatur. Ini terjadi sebab temperatur mempengaruhi aktivitas energi
molekul yang sedang mengalami proses difusi. Temperatur juga akan
mempengaruhi fluiditas zat yang terlarut, namun pengaruhnya tidak
banyak berarti dalam proses filtrasi.
Dengan menggunakan membran anisotrofik aliran pelarut melalui
membran lancar. Namun demikian, aliran ini mungkin saja mengalami
penurunan yang luar biasa karena proses polarisasi. Hal ini terjadi karena
terbentuknya lapisan yang menolak zat yang terlarut di permukaan
membran yang mengakibatkan laju aliran pelarut melalui membran
menurun. Ultrafilter oleh karenanya harus dirancang sehingga lapisan
polarisasi ditekan minimum. Dalam skala laboratorium hal ini dapat
dicapai dengan menggunakan pengaduk.
Beberapa keunggulan ultrafilter dalam proses pemurnian protein
(enzim) yang dapat dikemukakan di sini antara lain adalah bahwa :
(a) proses furifikasi dapat dengan mudah dilakukan dalam keadaan dingin
(-5 atau 5°C) bila diperlukan. Hal ini dapat mencegah terjadinya
inaktivasi enzim karena suhu yang tinggi dan denaturasi enzim dapat
ditekan minimum,
(b) tidak ada perubahan fase yang diperlukan,
(c)pengoperasiannya dapat dilakukan dalam tekanan hidrostatik yang
rendah,
(d) lembut dan tidak mengakibatkan destruksi terhadap enzim yang
sedang dipurifikasi,
(e) tidak diperlukan reagen kimia,
(f) proses ekstraksi dan pemurnian dapat dilakukan sekaligus jika diingini,
(g) dalam proses ini kekuatan ionik dan pH dapat dijaga konstan
sehingga inaktivasi protein (enzim) dapat dicegah,
(h) Ekonomis.
METODA KHROMATOGRAM

Khromatografi gel
Dalam proses ini sesungguhnya lebih bersifat preparatif dari pada
analitik. Yang amat menarik dari proses ini adalah bahwa proses ini
mampu memisahkan fraksi-fraksi enzim dan dengan demikian pula dapat
dipergunakan dalam proses pemurnian. Sebelum melangkah lebih jauh,
struktur gel dan teori yang mendasari sehingga proses ini dapat dipakai
dalam proses pemisahan enzim haruslah diketahui terlebih dahulu.
Khromatografi gel seringkali dikenal juga sebagai filtrasi gel,
molecular sieve filtration, molecular sieve chromatography, gelpermeatin
chromatography, dan steric chromatography. Dalam buku penuntun
praktikum ini istilah yang akan dipakai adalah Khromatografi gel.
Bahan yang dipergunakan dapat bermacam-macam dan yang
sering dipakai adalah (crosslinked dextrans) dekstran berikatan silang
yang secara komersial dikenal dengan nama sephadex. Dekstran yang
dipergunakan adalah poliskakharida yang merupakan hasil dari proses
fermentasi dengan menggunakan bakteri Leuconostoc mesenteroides.
Bakteri ini ditumbuhkan dalam medium sukrosa. Produk fermentasinya
sendiri dikenal sebagai native dextran berberat molekul yang amat tinggi
berisi sekitar 90 sampai 95 % ikatan alpha 1,6- glukosida. Ikatan sisanya
adalah ikatan glukosidik tipe 1,3. Rantai lurus dekstran secara kimia
dibuat menjadi rantai yang berikatan silang sehingga membentuk jaringan
tiga dimensi. Melalui proses kimia ini dekstran mengalami pengikatan
melalui grup glukosa hidroksil dan menghasilkan ikatan eter gliserin.
Derajat ikatan silang dipengaruhi oleh jumlah epikhlorohidrin yang
dipergunakan yang kemudian mengontrol derajat hidrasi di dalam matrik
gel. Ini pula yang mempengaruhi porositi matrik. Makin banyak air yang
dapat diikat per gram berat kering gel, makin besar molekul yang dapat
dipisah-pisahkan. Sebaliknya, bila jumlah matrik dekstran per g berat
kering gel, jumlah molekul yang dapat dipisah-pisahkan akan semakin
menurun. Dengan demikian, jika campuran molekul dengan berat molekul
yang berbeda-beda ditempatkan di atas kolum gel yang mempunyai ikatan
silang yang tinggi, molekul yang mempunyai berat molekul yang tinggi
akan turun lebih dulu dan akan dapat ditampung lebih awal. Sementara itu
molekul yang mempunyai berat molekul lebih rendah akan tertahan lebih
lama di dalam gel.
Porositas gel merupakan fungsi derajat ikatan silang dari dekstran.
Semakin sedikit ikatan silangnya akan semakin besar porositinya dan
sebagai konsekuensinya adalah bahwa berat molekul yang tidak dapat
berdifusi ke dalam pori-pori gel akan lebih besar pula.
Dasar pemisahan dengan menggunakan khromatografi gel dapat
diterangkan secara sederhana sebagai berikut : Bila suatu larutan cair
berisi molekul berukuran besar dan kecil ditempatkan di atas permukaan
gel, Iarutan tersebut akan mulai mengalami perkolasi ke dalam gel. Bila
kemudian Iarutan tersebut dicuci dengan menggunakan air melalui kolum,
molekul yang kecil akan mengalami difusi ke dalam gel dan akan bergerak
lambat. Molekul yang besar yang tidak dapat masuk ke dalam pori-pori gel
akan bergerak di dalam kolum lebih cepat sehingga akan terpisahkan dari
molekul-molekul yang lain yang lebih kecil. Sekali molekul yang berukuran
kecil telah tercuci, kolum sudah siap untuk digunakan kembali untuk
proses pemisahan yang berikutnya. Regenerasi terkadang tidak
diperlukan dan kolum dapat dipergunakan berulang-ulang kali tanpa harus
mengulangi proses pengepakan gel.
Proses khromatografi sel adalah proses difusi partisi dari molekul
dalam suatu Iarutan antara fase pelarut yang dapat bergerak dengan
segera dan molekul yang bergerak lambat melalui partikel yang berpori-
pori. Mekanisme khromatografi gel dapat lebih dimengerti dengan asumsi
bahwa gel tidak lain daripada suatu struktur seperti benda-benda bulat
yang berpori-pori. Fase yang bergerak adalah cairan yang terdapat diluar
pori-pori dari benda-benda bulat itu dan ini dikenal sebagai Void Volume
(Vo), sementara itu fase atau cairan yang menghuni bagian dalam dari
partikel benda-benda bulat dikenal sebagai (V o). Perubahan proses difusi
Iarutan berlangsung antara fase stationari di dalam pori-pori partikel dan
fase yang bergerak di luar partikel. Volume yang tidak terhitung sebagai
volume total dari kolum (Vt) adalah volume dari matrik itu sendiri (V g).
Dengan demikian dirumuskan:

Vt = Vo + Vi + Vg..................................................... (4.3)

Apabila diambil sephadex G75 sebagai contohnya, fraksi-fraksi


yang dapat dipisah-pisahkan adalah substansi yang berat molekulnya
berkisar antara 3000-80000. Pemisahannya akan dipengaruhi oleh partisi
difusi antara Vo dan Vi. Molekul yang berat molekulnya berada dalam
kisaran di atas akan dipisah-pisahkan menurut berat molekulnya,
bentuknya, dan besarnya molekul sehingga setiap molekul yang terpisah
akan mempunyai koefisien tertentu. Parameter ini menunjukkan arah
penetrasi fase stasioner dan koefisien partisi (Kav) dapat diperoleh dari
rumus sbb.:
(V e+ V o )
Kav = ............................................................. (4.4)
( V t +V t )

dimana:
Ve = volume pelarut yang diperlukan untuk mengelusi zat yang terlarut
dari kolum
Vo = volume void
Vt = volume total dari kolum gel.

Nilai Kav berbanding terbalik terhadap berat molekul zat terlarut.

Sesungguhnya ada 4 teori tentang prinsip kerja khromatografi gel.


Masing-masing adalah teori eklusiteori difusi terbatas (restricted diffusion),
partisi karena tenaga permukaan molekul {molecular surface forces), dan
partisi karena tekanan osmotik di dalam gel. Karena itu pula satu teori
yang umum sampai saat ini belum pernah dimunculkan.
Akhir-akhir ini berbagai jenis material selain dekstran berikatan
silang telah diperkenalkan. Diantara matrik itu adalah poliakrilaimid,
agarose, polistrine, agarose berikatan silang, campuran agarose -
poliakrilamid, gelas berpori, dan polimetilmetakrilat. kebanyakan dari
matrik baru ini mempunyai keunggulan-keunggulan bila dibandingkan
dengan gel yang terdahulu terutama dalam proses penggandaan skala.
Berbagai matrik baru mempunyai partikel yang lebih halus, lebih kuat, dan
ukurannya lebih seragam sehingga resolusi dan laju aliran diperbaiki.
Penggunaan gel polisakharida dalam proses khromatografi gel terus
berkembang dengan menggunakan polisakharida yang mempunyai
kisaran berat molekul yang lebih tinggi yaitu dengan menggunakan
agarose. Sejak granula agar gel dipergunakan dalam proses pemisahan
protein, teknik berkembang lebih lanjut dengan berhasilnya dipisahkan
agaros dari agaropektin untuk mendapatkan matrik polisakharida yang
tidak bermuatan yang diikat dijadikan menjadi satu jaringan oleh ikatan
hidrogen. Bahan ini dipasarkan oleh Pharmacia sebagai sepharose.
Berbagai jenis sepharose yang tersedia di pasaran bebas antara lain
adalah:
(a) sepharos 2B dengan konsentrasi agaros sekitar2%, ukuran partikel
dalam kondisi basah antara 60 - 250, dan molekul yang tidak dapat
mengalami difusi ke dalam jaringan mempunyai berat molekul 400,
(b) sepharos 4B dengan konsentrasi agaros sekitar 4%, ukuran partikel
dalam kondisi basah antara 40-190, dan molekul yang tidak dapat
mengalami difusi ke dalam jaringan mempunyai berat molekul 200,
(c) sepharos 6B dengan konsentrasi agaros sekitar 6%, ukuran partikel
dalam kondisi basah antara 60 - 250, dan molekul yang tidak dapat
mengalami difusi ke dalam jaringan mempunyai berat molekul berat
molekul 40.

Beberapa tipe gel sephadex sebagaimana pada Tabel 4.4 dan


yang tersedia dan diperjual-belikan adalah :

Tabel 4.4 Tipe gel sephadex

Bobot molekul yang ditaksir


Tipeget
tidak dapat berdifusi
Sephadex G-10 700
Sephadex G-15 1,500
Sephadex G-25 5,000
Sephadex G-50 10,000
Sephadex G-75 50,000
Sephadex G-100 100,000
Sephadex G-150 150,000
Pemisahan zat terlarut Yang Berberat Molekul Rendah Dan Tinggi.
Proses elusi terus dilakukan untuk mendapatkan daerah
pemisahan yang ; dari dua komponen berwarna. Kumpulkan eluat dan
kalkulasi volume void kolum yang saudara pergunakan. Untuk kolum
yang betul-betul baik, zonasi eluat haruslah sempit dan simetris.
Pencucian terus dilakukan sampai akhirnya komponen yang berberat
molekul rendah seluruhnya terelusikan. Kolumnya sendiri dapat kembali
dipergunakan
.
Khromatografi pertukaran ion
Pemisahan beberapa molekul biologis yang mempunyai tingkat
kesamaan yang tinggi dari suatu campuran yang komplek merupakan
suatu kunci permasalah dalam kegiatan penelitian dalam bidang biokimia.
Proses pemisahan suatu senyawa dari campuran senyawa komplek
seperti di atas memerlukan teknik pemisahan khusus dengan tingkat
resolusi yang amat tinggi. Khromatografi pertukaran ion terbukti
merupakan teknik yang dapat dipergunakan untuk keperluan di atas.
Teknik ini bahkan merupakan satu diantara metoda terpenting dalam'
proses pemisahan fraksi-fraksi substansi biologis. Pertukaran ion yang
dikenal dan paling banyak digunakan pada saat ini adalah sephadex,
sepharose, dan DEAE-Sephacel.
Prinsip dasar pertukaran ion adalah bahwa proses pemisahan
dicapai karena perbedaan muatan-muatan yang dibawa oleh molekul
dalam campuran larutan). Pertukaran ion dengan prinsip kerja seperti di
atas dapat memisahkan molekul molekul sekalipun mempunyai
perbedaan muatan yang amat keen. Oleh karenanya teknik ini resdusinya
amat tinggi. Mengingat bahwa hampir seluruh molekul biologis bersifat
polar dan dapat diberi muatan, pertukaran ion penggunaannya amat luas.
Apalagi bila dilihat bahwa teknik pemisahan dengan pertukaran ion ini
prakteknya cukup sederhana.
Penukar ion terdiri atas matrik yang bersifat tidak larut yang
kepadanya terikat grup yang bermuatan secara kovalen. Grup yang
bermuatan diasosiasikan dengan "counter ions" yang bergerak. "Counter
tons" ini ditukar dengan ton yang lain yang sama muatannya tanpa
mengubah matrik dalam suatu reaksi yang bersifat reversibel (bolak-
balik).
Muatan penukar ion dapat bermuatan positif dan dapat pula
bermuatan negatif. Penukar ion bermuatan positif mempunyai "counter
ions" (anion) yang bermuatan negatif yang tersedia sebagai penukar dan
oleh karenanya dikenal sebagai penukar anion (anion exchanger).
Sebaliknya penukar ton yang bermuatan negatif mempunyai "counter
tons" yang bermuatan positif (cations) dan oleh karenanya dikenal
sebagai penukar katton (cation exchanger). Untuk lebih jelasnya penukar
anion dan kation dilukiskan pada Gambar 4.9.
Matrik yang dipakai dapat berupa senyawa anorganik, resin sintetis
atau poliskaarida dan lainnya. Matrik ini secara alami ditentukan oleh
sifat-sifat fisiknya seperti kekuatan mekanisenya, sifat laju aliran, tingkah
laku terhadap substansi biologis serta kapasitasnya.
Kehadiran grup yang bermuatan merupakan sifat dasar dari suatu
penukar ion. Tipe-tipe grup bermuatan dan kekuatannya sebagai penukar
ion serta jumlah total menunjukkan kapasitasnya. Berbagai variasi grup
bermuatan yang dikenal dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Gambar 4.9. Penukar ion lengkap dengan counter ions nya yang dapat
ditukar. A. Penukar anion, B. Penukar kation.

Tabel 4.5. Grup fungsional yang biasa dipakai untuk penukar ion

Penukar Ion Grup fungsional

Anion
Aminoethyl (AE-) -OCH2CH2NH3+
Diethylaminoethyi (DEAE-) -OCH2CH2N+H(CH2CH3)2
Quaternary aminoethyl (QAE-) -CH2CH2N + (C2H5)2CH2CH(OH)CH3

Kation
Carboxymethyl (CM-) -OCH2COO-
Phospho -PO4H2-
Sulphopropyl (SP-) -CH2CH2CH2SO3-

Sulfonat dan grup amino quarterner dipergunakan sebagai penukar


ion yang kuat, sementara itu grup yang lainnya diperuntukkan sebagai
penukar ion yang bersifat lemah. Grup phospho merupakan penukar ion
yang berkekuatan sedang. Istilah kuat dan lembah disini ditunjukkan oleh
variasi proses ionisasi dengan pH. Penukar ion yang kuat terionisasi
secara lengkap pada kisaran pH yang luas sedangkan penukar ion yang
lemah kapasitas pertukaran ionnya lebih bervariasi dengan pH.
Kapasitas suatu penukar ion dapat diukur secara kuantitatif dengan
mengukur kemampuannya mengambil counter ionsnya. Kapasitas total
adalah jumlah muatan dan grup yang berpotensi bermuatan per gram
berat kering penukar ion.
Kapasitas yang tersedia adalah kapasitas aktual yang diperoleh
pada kondisi percobaan yang spesifik. Kapasitas ini tergantung kepada
kelebihan grup fungsional, konsentrasi eluen, dan kekuatan ionik, sifat
alami counter ions, dan selektivitas grup fungsional. Derajat keasaman
dan temperatur eluen juga penting terutama bila bekerja dengan penukar
ion asam atau basa lemah.
Pemisahan di dalam khromatografi pertukaran ion diperoleh melalui
proses adsorpsi yang reversibel. Sebagian besar percobaan pertukaran
ion dilakukan dalam 2 tahapan. Tahap pertama adalah aplikasi contoh dan
proses adsorpsi contoh tersebut. Substansi yang tidak terikat dapat dicuci
dan dikeluarkan dari penukar ion dengan menggunakan bufer pemula
yang banyaknya sama dengan kali volume kolum yang dipergunakan.
Pada tahap kedua, substansi dielusi dari kolum, dipisahkan dalam fraksi-
fraksi. Pemisahan tercapai karena setiap substansi mempunyai afinitas
yang berbeda-beda terhadap penukar ion karena perbedaan muatannya.
Afinitas substansi terhadap penukar ion dapat dikontrol dengan variasi
kondisi misalnya kondisi kekuatan ion dan pH. Perbedaan muatan dari
senyawa biologis seringkali sangat nyata dan selama Khromatografi
pertukaran ion dapat memisahkan jenis-jenis molekul walaupun
perbedaan muatannya amat kecil maka pemisahan molekul biologis
termasuk pemisahan 2 jenis protein yang perbedaannya satu sama lain
amat sedikit dapat dilaksanakan. Teknik ini merupakan teknik pemisahan
yang amat baik bagi berbagai jenis material biologis.
Daya pemisah ini akan semakin tajam bila penukar ion ini
dikombinasikan dengan teknik filtrasi gel biasa yang mempunyai
kemampuan memisahkan substansi kimia berdasarkan bobot molekulnya.
Dengan menggunakan teknik pertukaran ion, prose pengikatan
dapat dilakukan selektif hanya terhadap substansi kimia tertentu yang
dikehendaki saja misalnya dengan mengabsorbi kontaminan dan
membiarkan substansi yang diinginkan bebas berjalan dan keluar dari
kolum. Namun demikian, yang umum dilakukan adalah dengan jalan
mengabsorbsi substansi yang diinginkan. Hal ini dilakukan karena terbukti
memiliki derajat pemisahan yang tinggi.
Metode pertukaran ion dapat dilakukan di dalam kolum secara
sinambung atau dalam proses tidak sinambung (batch). Prosesnya adalah
serupa didahului oleh ekuilibrasi penukar ion, penambahan dan
pengikatan substansi contoh, penambahan dan pengikatan substansi
contoh, pengubahan kondisi untuk mendapatkan proses desorbsi selektif,
dan regenerasi peukar ion. Tahapan-tahapan di atas dapat dilihat pada
Gambar 4.10.

Gambar 4.10. Tahapan cara kerja metoda pemisahan substansi biologis


dengan metoda pertukaran ion.

Pada tahap pertama diperlihatkan proses terjadinya ekuilibrasi


matrik dengan counter ions. Substansi contoh hampir memasuki partikel
penukar ion. Dalam fase berikutnya conter ions ditukar dengan substansi
contoh. Setelah proses adsorpsi berlangsung pada fase ke 3, terjadi
proses desorbsi dengan mengintroduksikan ion gradien. Substansi contoh
kemudian ditukar dengan counter ions pada proses elusi dan oleh
karenanya substansi contoh terelusi ke luar kolum. Pada fase ke empat
sisa substansi contoh ditukar dengan ion gradien, dielusi setelah itu
regenerasi dapat dilakukan. Ion gradien ditukar oleh counter ion pada
tahap ke 5 dan penukaran ion mengalami regenerasi dan siap untuk
dipergunakan kembali.
Rancangan terbaik pada percobaan dengan menggunakan
khromatografi pertukaran ion dapat bervariasi tergantung pada sifatdari
substitusi yang akan dipisahkan. Suatu perencanaan tentang tahapan
yang harus dikerjakan meliputi hal-hal sbb.:
(a) pemilihan jenis pertukaran ion,
(b) pemilihan bufer untuk memulai pekerjaan,
(c) pengembangan gel bila diperlukan dan pengepakan gel dalam kolum
yang sesuai,
(d) penyiapan berbagai kelengkapan termasuk UV-monitor, rekorder,
penampung fraksi, pompa peristaltik, dan pencampur gradien,
(e) ekuilibrasi gel dengan 2 - 3 volume dari bufer,
(f) pembuburan contoh,
(g) pencucian bahan yang tidak terikat,
(h) elusi bahan yang terikat,
(i) regenerasi gel,
(j) analisis.

Sebenarnya tidak ada satupun khromatografi pertukaran ion yang


dapat dipakai dalam pemisahan setiap jenis protein. Pemilihan matrik
tentunya harus dilakukan untuk dapat mengisolasi sesuatu jenis protein.
Proses pemilihan matrik tergantung pada tiga hal yaitu: (a) stabilitas
komponen contoh, (b) ukuran molekul komponen contoh dan (c)
kebutuhan spesifik pada proses aplikasi
Substansi akan terikat atau berikatan dengan matrik apabila
bermuatan dan muatannya berbeda dari muatan matriknya. Ikatan ini
harus bersifat elektrostatik dan reversibel. Beberapa senyawa hanya
mempunyai satu jenis grup ikatan dan dalam hal ini pemilihan jenis
pertukaran ion dapat dilakukan dengan mudah. Substansi yang
mempunyai muatan positif dan muatan negatif atau yang lebih dikenal
bersifat amfoterik dan muatannya dipengaruhi oleh pH. Pada pH tertentu,
substansi ini akan mempunyai jumlah muatan nol. Angka ini dikenal
dengan titik isoelektrik (pi) dan pada titik ini substansi tidak akan berikatan
dengan jenis matrik pertukaran ion apapun.
Apabila substansi ini bersifat amfoterik, matrik pertukaran anion
atau kation mungkin dapat dipergunakan. Yang paling penting disini
adalah pemilihan pH bufer. Di dalam aplikasinya, hal ini menjadi
pembatas karena beberapa contoh seperti enzim bisa mengalami
denaturasi atau inaktif pada pH tertentu. Protein atau enzim di bawah titik
isoelektrik mempunyai muatan positif dan karenanya dapat diabsrorpsi
oleh matrik pertukaran kation. Sebaliknya protein di atas titik isoelektrik
bermuatan negatif dan dapat diikat oleh matrik pertukaran anion. Dengan
kata lain, bila contoh lebih stabil di bawah titik isoelektriknya, maka matrik
pertukaran kation harus dipakai dan sebaliknya bila contoh lebih stabil di
atas titik isoelektriknya, maka matrik pertukaran anionlah yang harus
dipilih. Apabila contoh stabil baik di bawah maupun diatas titik
isoelektrinya, maka jenis matrik pertukaran ion mana saja dapat
dipergunakan. pH buffer hendaknya dipilih sedemikian rupa sehingga
contoh dapat diikat oleh matrik. pH hendak-nya paling tidak harus 1 unit di
atas atau di bawah titik isoelektrik.
Porositas penukar ion tidak mempengaruhi mekanisme pengikatan
tetapi mempengaruhi kapasitasnya selama beberapa grup bermuatan di
dalam partikel penukar ion mempunyai kemungkinan untuk tidak tersedia
bagi molekul yang besar. Adalah perlu bahwa penukar ion mempunyai
pori-pori dan juga penting bahwa penukar ion harus kuat (rigid).
Kombinasi antara porositas dan rigiditas tidaklah sama bagi setiap jenis
molekul. Bagi substansi. yang berat molekulnya rendah lebih kecil dari
10,000 seperti peptida kecil dan nukleotida, penukar ion sephadex C-25
atau A25 adalah pilihan yang tepat. Kombinasi kapasitas, resolusi dan laju
aliran dari kedua penukar ion ini untuk keperluan di atas adalah yang
terbaik dan juga diketahui sangat ekonomis.
Untuk proses pemisahan molekul yang mempunyai berat molekul
sedang 10,000 sampai 100,000 (kebanyakan dari protein), penukar ion
DEAE-Sephacel dan Sepoharose biasanya memberikan hasil terbaik.
Penukar ion Sephadex tipe A-50 dan C-50 mempunyai kapasitas yang
besar untuk keperluan ini dan di-anggap cukup ekonomis walaupun agak
lembut sehingga laju alirannya rendah. Bagi senyawa yang mempunyai
berat molekul yang lebih tinggi dari 100000 termasuk protein, protein
komplek dan asam nukleat, penukar ion DEAE-Sephacel dan Sepharose
adalah pilihan yang tepat karena mempunyai porositas yang tinggi. Untuk
molekul yang besar sekali dengan berat molekul di atas 4 x 106 penukar
ion Sephadex A25 atau C-25 adalah pilihan sebab semua molekul di atas
akan terekslusikan secara sempurna.
Bila substansi yang akan dipisahkan belum diketahui bobot
molekulnya, penukar ion DEAE-Sephacel atau Sepharose merupakan dua
jenis penukar ion yang paling tepat untuk dipergunakan. Kedua jenis
penukar ion ini mudah ditangani, mempunyai kapasitas yang besar pada
kisaran berat molekul substansi yang luas. Penukar ion Sepharose
mempunyai laju aliran yang cepat dan proses pemisahan dapat dicapai
secara cepat pula dan amat cocok bila proses-nya akan digandakan
skalanya.
Beberapa hal yang khusus yang dibutuhkan dalam proses
pemisahan substansi biologis setelah berhasil memilih jenis penukar ion
adalah bahwa proses pemisahan harus dikaji. Apakah substansi yang
akan dipisahkan tersebut bersifat stabil atau labil, apakah substansi yang
diminati yang akan diikat atau sebaliknya. Hal yang lain yang juga perlu
diperhatikan adalah laju aliran, kemungkinan penggunaan penukar ion
berulang kali, dan ekonomis atau tidaknya proses yang akan dipakai.
Di dalam prakteknya, pemilihan bufer, preparasi penukar ion,
pemilihan kolum, pengepakan kolum, penyiapan contoh, metoda elusi,
regenerasi gel dan preservasi gel amat penting artinya dalam proses
pemisahan substansi biologis dengan menggunakan metoda pertukaran
ion ini.
Pada saat ini tiga rnacam pertukaran ion yang umum dikenal dan
tersedia di pasaran yaitu pertukaran ion resin, pertukaran ion selulosa dan
pertukaran ion dekstran dan gel agaros. Tipe pertukaran ion yang terakhir
inilah yang banyak dan secara luas dipergunakan. Namun demikian,
pertukaran ion resin terbukti merupakan pertukaran ion yang amat
berguna dalam praktek pada skala ter-tentu.

Resin pertukaran ion


Penukar ion yang pertama kali dipakai barangkali adalah resin
sintetis yang dirancang untuk dipergunakan pada proses demineralisasi
air dan memulihkan ion-ion dari limbah. Penukar ion seperti ini terdiri atas
ikatan ikatan yang rapat yang bersifat hidrofobik dari polimer matrik yang
disubstitusi dengan grup ionik dan mempunyai kapasitas yang sangat
tinggi untuk ion yang berukuran kecil. Rapatnya ikatan amat penting dan
menentukan kekuatan mekanis dan porositas matrik untuk protein dan
makromolekul menjadi semakin rendah. Tingginya muatan juga
menguatkan ikatan. Sayangnya sifat matrik yang dirofobik dapat merusak
material biologis terutama yang mempunyai sifat tidak stabil. Penukar ion
resin sintetis ini walaupun laju alirannya baik dan mempunyai kapasitas
yang besar untuk ion-ion yang berukuran kecil pada akhirnya kurang
cocok untuk proses pemisahan material biologis.
Secara umum dapat diterangkan bahwa resin sintetis merupakan
polimer yang tidak larut dalam air yang mengandung grup anion kation.
Fungsi grup ion ini bervariasi, tapi secara umum membentuk : pertukaran
kation RH+ dan pertukaran anion ROH" dimana R adalah polimer resin.
Pertukaran ionH+atau OH' akan berlangsung jika dikombinasikan dengan
asam atau basa lemah. Dalam hal ini ikatan protein terhadap resin
menjadi bersifat reversibel.
Resin mempunyai keuntungan karena bersifat stabil terhadap
perubahan fisik. Resin juga mempunyai kapasitas adsorbsi terhadap
protein yang tinggi. Resin mudah mengendap dan bila di pak dalam kolum
tidak menghambat laju aliran larutan. Namun demikian seperti telah
dikemukakan diatas resin dianggap kurang begitu baik bila dipergunakan
dalam proses pemurnian protein.

Selulosa pertukaran ion


Penukar ion selulosa adalah penukar ion yang pertama kali
dirancang untuk memisahkan material material biologis. Penukar ion ini
bersifat hidrofilik dan mempunyai tendensi yang kecH untuk merusak
protein. Kelemahannya adalah bahwa penukar ion jenis ini kapasitasnya
rendah, laju alirannya juga rendah. Hal ini disebabkan karena bentuk
partikel selulosa tidak beraturan.
Berbagai grup bermuatan baik berupa muatan kation ataupun
anion mungkin dapat dintroduksikan kedalam selulosa oleh berbagai
proses kimia. Namun demikian, tingkat substitusi biasanya sangat rendah
dan kapasitas selulosa pertukaran ion adalah sekitar 1/10 dari apa yang
dihasilkan oleh resin (sampai 5 meq/g). Hal ini memungkinkan bahwa
proses elusi dapat dilakukan dalam suasana yang lembut (mild
conditions). Sebagai tambahan, substitusi diatas 1 meq/g mungkin dapat
menyebabkan terjadinya solubilisasi selulosa. Hal-hal yang menyangkut
masalah substitusi akan dibicarakan kemudian.

Gel pertukaran ion lain


Dalam tahun terakhir ini berbagai jenis pertukaran ion yang lain
diperkenalkan bahkan dengan sifat-sifat yang lebih baik. Sephadex
pertukaran ion dipersiapkan dengan menambahkan DEAE kepada grup
CM kepada Sephadex G25 atau G30 (pharmacia). Tipe ini mempunyai
kapasitas yang tinggi untuk protein tetapi bersifat agak lunak dan dapat
mengkerut atau mengembang bila pH atau kekuatan anion dari bufer
bervariasi.
Penambahan DEAE atau CM kepada jaringan agaros atau ko-
polimer akrilik telah dilakukan oleh Pharmacia dan LKB masing- masing
menghasilkan sepharosa pertukaran ion dan trisakril. Kedua tipe yang
baru ini mempunyai kapasitas yang tinggi untuk protein, lebih kecil,
partikel seragam, dan menciptakan laju aliran larutan yang baik. Kedua
tipe ini juga resisten terhadap tekanan dan tidak mengalami pengerutan
atau pengembangan bila pH atau kekuatan ion bufer berubah. Kedua tipe
pertukaran ion ini juga dapat disterilisasi secara berulang kali sehingga
dapat dipergunakan dalam proses urifikasi produk-produk untuk bahan
pengobatan. Khromatografi pertukaran ion dapat mem-bedakan berbagai
komponen dalam campuran polielektrolit berdasarkan muatan dari setiap
individu mikroelektrolit. Proses khromatographi sendiri dipengaruhi oleh
banyak faktor antara lain jumlah muatan, kerapatan muatan, ukuran
molekul protein, pH dan kekuatan ion dari larutan. Koefisien partisi adalah
nilai hubungan antara jumlah molekul elektrolit tertentu dalam larutan dan
jumlah molekul yang menempel pada fase stationer dalam keadaan
seimbang. Dengan demikian, semakin besar jumlah polielektrolit yang
terekuilibrasi juga semakin baik daya resolusi yang dicapai. Effisiensi
pemisahan juga tergantung pada kapasitas pertukaran ion. Bila
kapasitasnya makin besar, jumlah ekuilibrasi juga makin besar yang
akhirnya mengakibatkan bertambah sedikitnya koefisien partisi yang
dibutuhkan untuk memisahkan jenis-jenis elektrolit yang berbeda.
Dalam proses isolasi enzim dalam skala besar khromatografi kolum
biasanya dipergunakan dalam tahap awal. Khromatografi pertukaran ion
sesungguhnya dapat dipergunakan pada tahap awal proses isolasi ini.
Dalam prosesnya tentunya melibatkan pengikatan polielektrolit terhadap
matrik pertukaran ion (polielektrolit diimobilisasi). Terbentuknya ikatan
isoelektrik yang kuatamat dipeiiukan pada proses Amobilisasi ini. Hal ini
dapat dicapai bila muatan pada elielektrolit adalah tinggi dan bermuatan
yang berbeda dengan muatan dari matriknya. Pada umumnya,
polielektrolit basa dengan titik isoelektrik di atas pH 7,0 akan diikat atau
diadsorbsi oleh pertukaran kation seperti CM selulosa pada pH dibawah
titik isoelektrik. Polielektrolit asam dengan titik isoelektrik di bawah pH 7,0
diikat oleh pertukaran anion seperti DEAE selulosa pada pH diatas titik
isoelektrik. Oleh karena itu pula adalah penting artinya untuk mengetahui
titik isoelektrik dari sesuatu bahan polielektrolit. Setelah pemilihan jenis
pertukaran ion yang cocok, kondisi pH dan kekuatan ion adalah sangat
penting dan menentukan. pH harus ekstrim untuk memberikan cukup
muatan baik pada matrik maupun pada polielektrolitnya sementara itu
kekuatan ion harus dipilih sedemikian rupa sehingga garam tersebut
dapat membantu untuk menjaga agar enzim tetap aktif dan larut di
dalamnya. Dengan memperhatikan hal-hal di atas, pengikatan enzim oleh
matrik dan pencucian enzim dari matrik oleh bufer dapat dengan mudah
dilakukan dan akhirnya enzim dapat dielusi dari kolum.
Metode elusi yang paling umum dipergunakan adalah dengan jalan
mengubah pH, meningkatkan kekuatan ion atau kombinasi keduanya.
Melalui perubahan pH dari pelarut pertukaran katton dari asam ke alkali
muatan dari matrik dan enzim menurun dan ikatan elektrostatik putus
sehingga enzim dapat dibebaskan. Bila kekuatan ion ditingkatkan,
kompetisi untuk daerah atau tempat yang dapat dihuni oleh enzim
meningkat sampai pada suatu titik dimana enzim dibebaskan dari matrik.
Kombinasi antara perubahan pH dan perubahan kekuatan ion sangat
berguna dalam melakukan proses isolasi atau pemurnian enzim yang
sensitif terhadap perubahan baik pH maupun kekuatan ion.
Khromatografi pertukaran ion ini bahannya dibuat dan dijual
dengan beberapa nama dagang seperti :(a) Zeo-Carb dan De-Acidite
(Permutit Co., England), (b) Amberlite (Rohm and Hass, USA), (c) Dowex
(Dow Chemical Co., USA), (d) Sephadex (Pharmacia, Uppsala, Sweden).
Produk-produk di atas seringkali diperhalus, digiling atau ukuran
butiran-butiran partikelnya dipilih oleh perusahaan yang lain. Perusahaan
yang biasa melakukan hal ini misalnya Bio-Rad laboratories, California,
USA yang menghasilkan khromatrografi resin kualitas terbaik saat ini.

Khromatografi afinitas
Teknik khromatografi afinitas barangkali merupakan teknik yang
paling umum dalam usaha memecahkan masalah pemurnian individu
enzim atau protein dari suatu campuran yang komplek walaupun metoda
khromatografi afinitas ini seringkali hanya dipergunakan dalam taraf kecil
di laboratorium dan amat jarang dipergunakan untuk proses pemurnian
dalam skala besar.
Pada saat ini khromatografi afinitas dipandang sebagai suatu
teknik yang khusus karena melalui teknik ini jenis biomolekul apapun
dapat dipurifikasi berdasarkan fungsi biologi atau struktur individu
kimianya. Teknik ini sebenar-nya belum lama diperkenalkan yaitu kira-kira
15 tahun yang lalu, pemakaian-nya berkembang demikian pesat dan pada
saat ini dipergunakan di hampir semua laboratorium dalam proses
pemurnian substansi biologis. Hal ini tidak lain karena dengan proses ini
pemurnian dapat dilakukan dengan cepat dan dapat memisahkan
substansi biologis yang tadinya tidak bisa atau hampir mustahil
dipisahkan atau dipurifikasi bila hanya tergantung pada metoda yang
konvensional.
Khromatografi afinitas adalah tipe khromatografi adsorpsi. Dalam hal
ini molekul yang akan dimurnikan secara khusus dan bersifat reversibel
diadsorpsi oleh ikatan komplemen (ligan) yang terimobilisasi pada
penyangga tidak larut (matrik). Pemurnian dapat mencapai beberapa ribu
kali lipat dan menghasilkan substansi biologis aktif dengan aktivitas yang
amat tinggi. Tidak seperti pada proses pemurnian dengan menggunakan
cara lain yang seringkali dilakukan secara bertahap, khromatografi
afinitas lebih sederhana sehingga proses pemurnian dalam skala besar
dapat dilakukan. Selektivitasnya juga tinggi. Mengingat hal-hal ini
khromatografi afinitas dapat dipergunakan untuk:
(a) pemurnian substansi dari campuran biologis yang komplek,
(b) pemisahan substansi aktif dari substansi serupa yang telah
mengalami denaturasi,
(c) menghilangkan sejumlah kecil substansi biologis yang bersifat
kontaminan.

Penggunaan khromatografi afinitas yang pertama adalah


mengabsorpsi secara selektif enzim amilasa pada pati tidak larut pada
tahun 1910. Pengetahuan kimia organik yang komplek diperlukan untuk
sintesis matrik yang dapat berikatan dengan ligan. Hal ini baru ditemukan
pada tahun 1967 oleh Axen, Porath dan Ernback yang melaporkan bahwa
molekul yang berisi grup amino dapat berikatan dengan matrik
polisakharida yang telah diaktivasi dengan sianogen bromida. Inilah
sebenarnya yang menjadi awal perkembangan khromatografi afinitas.
Agar proses pemisahan dengan menggunakan metoda
khromatografi afinitas ini berhasil, ligan harus tersedia dan dapat
berikatan dengan matrik. Ligan terimobilisasi juga harus tetap mempunyai
afinitas terhadap substansi tertentu yang menjadi perhatian kita. Suatu
sistem yang biasa dipergunakan adalah :
(a) Enzim : analog substrat, inhibitor, dan kofaktor.
(b) Antibodi: antigen, virus, sel.
(c) Lektin : polisakharida, glikoprotein, reseptor permukaan sel, sel.
(d) Asam nukleat: Sekuense basa komplementer, histon, polimerase
asam nukleat, protein pengikat.
(e) Hormon : reseptor, protein pembawa.
(f) Vitamin : reseptor, protein pembawa.
(g) Sel: protein spesifik permukaan sel, lektin.
BAB 5
PRODUK-PRODUK TEKNOLOGI MIKROBIAL ASAM ORGANIK

Berbagai jenis asam organik yang dihasilkan oleh kapang, khamir


dan bakteria pada kondisi aerobik maupun anaerobik sudah diproduksi
dalam skala besar dan telah digunakan untuk berbagai keperluan. Asam-
asam organik tersebut diantara lain adalah asam sitrat, glikonat, asetat,
laktat dan itakonat. Pada tahun 1980 tercatat volume produksi dunia untuk
asam sitrat sebesar 300,000 ton per tahun dan 40,000 ton per tahun untuk
asam laktat.
Produksi asam-asam organik ini dipengaruhi oleh tipe organisma
yang digunakan, mekanisme akumulasi produk, faktor-faktor fermentasi
yang penting dan metoda "recovery product'. Secara garis besar sebelum
memproduksi asam-asam organik ini perlu terlebih dulu dikaji secara rinci
jalur reaksi dari senyawa pembentuknya dan enzim yang berperan dalam
biosintesanya. Agar fermentasi dapat berlangsung secara efisien dan
sesuai dengan yang dikehendaki maka perlu dilakukan seleksi organisme
yang digunakan dengan tepat (strain, mutant dan komposisi nutrien) dan
biaya substrat yang secara ekonomis murah.
Disamping itu juga tidak kalah pentingnya agar asam organik yang
dihasilkan bermutu tinggi dan dalam jumlah besar maka kontrol yang hati-
hati dalam semua kondisi yang relevan pada proses fermentasi dan setiap
tahap proses yang berlangsung sampai diperoleh hasil akhir. Untuk
masing-masing asam organik di atas diuraikan secara rinci sebagaimana
uraian berikut.

Asam Sitrat

Strain Untuk Fermentasi Asam Sitrat


Strain mikroba yang dapat menghasilkan asam sitrat cukup banyak.
Mikroorganisma berikut dapat memproduksi asam sitrat, yaitu Aspergillus
niger, Awentii, A.clavatus, Penicillium hiteum, P. citrinum, Mucor piriformis,
Paecilomyces divaricatum, Citromyces pfefferianus, Candida
guilliermondii, Saccharomycopsis lipoffineus, Trichoderma viride,
Arthrobacter paraffineus dan Corynebacterium sp. Diantara strain tersebut
yang dipakai untuk produksi komersial adalah Aspergillus niger dan A.
wenti yang lebih produktif dari strain lainnya.

Dalam memilih strain dari satu spesies perlu mempertimbangkan


kenyataan bahwa suatu strain dikembangkan berdasarkan jenis media
sumber karbonnya. Suatu strain yang memberikan hasil optimum pada
media yang mengandung sumber karbon tertentu, umumnya akan
menurun produktivitasnya bila ditumbuhkan pada media lain.

Hasil
Reaksi bersih biosintesa asam sitrat dari sukrosa adalah sebagai berikut:
C12H22O11 + 3H2O ------> 2C6H8O7 + 12H+ .............. (1)
(sukrosa) (asam sitrat)

Dari persamaan di atas, dapat dilihat bahwa tiap 1 mol sukrosa


dapat menghasilkan 2 mol asam sitrat anhidrat. Stokiometri persamaan di
atas adalah sebagai berikut:
Sukrosa--------> asam sitrat anhiidrida
1 mol-----------> 2 mol
1 mol x (342 gram/mol) 2 x (192 gram/mol)
= 342 (BM = 342) = 384 (BM = 192)
100 gram-------> 384x100/342 112 gram

Jadi, tiap 100 gram glukosa dapat menghasilkan 112 gram asam
sitrat anhidrida atau 123 gram asam sitrat hidrida (C6H807.1H20). Tapi
dalam kenyataannya, hasil yang diperoleh lebih rendah karena sebagian
glukosa digunakan untuk pembentukan miselium dan dioksidasi menjadi
C02 melalui proses respirasi. Kehilangan asam sitrat ini terjadi pada saat
tropofase. Pada Tabel 5.1 dapat dilihat hasil yang diperoleh dari berbagai
jenis media dan proses fermentasi.

Biosintesa
Asam sitrat merupakan senyawa antara pada siklus kreb (siklus asam
trikar-boksilat). Lintasan reaksi katabolik yang mendahului pembentukan
asam sitrat ini, diantaranya adalah lintasan glikolisis (Embden-Meyerhof-
Parnas) dan lintasan Entner-Doudoroff yang menyediakan senyawa
antara asam piruvat yang merupakan senyawa kunci dalam metabolisme.
Sebagian besar (80 %) glukosa diubah menjadi piruvat melalui lintasan
glikolisis. Piruvat akan mengalami dekar-boksilasi dan berikatan dengan
koenzim A membentuk asetil-CoA dan selanjutnya masuk ke dalam siklus
kreb untuk bergabung dengan oksaloasetat membentuk asam sitrat
(Gambar 5.1).
Tabel 5.1
Asam sitrat yang dihasilkan dari beberapa cara fermentasi
Mikro- Bahan baku Pro- Hasil Hasil mak- % Hasil
orga- (sukrosa,%) ses nyata simum maksimum
nisme secara secara
kg% kg% teoritis teoritis
bahan sumber kg%/kg sum-
baku karbon berkarbon

Beet mola- permu-


A.niger 42 84 61.4 68.4
sses (50%) kaan

Beet mola- sub-


A.niger 41 82 61.4 66.8
sses (50%) merged

Beet mola- sub-


A.niger 46 85 66.3 69.4
sses (50%) merged

sub-
Khamir n-Alkana 165 82 247.0 66.8
merged

sub-
Khamir Metanol 40 45 109.4 36.6
merged

sub-
Khamir Etanol 60 48.4 145.8 41 1
merged

Selama idiophase, hanya enzim α -ketoglutarat dihidrogenase yang


tidak diproduksi pada siklus kreb. Pada fase tersebut aktivitas sitrat
sintetase meningkat menjadi sampai 10 kali, sedangkan enzim yang
dapat merombak asam sitrat, seperti akonitase atau isositrat
dehidrogenase menurun aktivitasnya.
Enzim penting untuk produksi asam sitrat adalah piruvat
karboksilase yang diperlukan untuk mengubah piruvat menjadi
oksaloasetat. Reaksi tersebut membutuhkan kation Mg+2 dan K+. Tidak
sama dengan organisma lain, pada Aspergillus niger, piruvat tidak periu
dirubah menjadi asetil-CoA sebelum memasuki siklus kreb.
Pada Aspergillus niger, fosfoenol piruvat dapat diubah langsung
menjadi oksaloasetat oleh enzim fosfoenol piruvat karboksilase. Reaksi
tersebut mem-butuhkan ATP sebagai sumber energi, Mg +2 atau Mn+2 dan
K+ atau NH4-.
161
, Apabila sumber karbon bukan glukosa, tapi misalnya asam asetat atau
senyawa alifatik berantai panjang (Cg - C23). maka enzim isositrat liase
terinduksi sehingga mendorong pembentuk glioksilat. Disamping itu, juga
muncul enzim malat sintase yang dibutuhkan untuk perubahan glioksilat
menjadi malat, rangkaian reaksi melalui glioksilat tersebut disebut siklus
glioksilat. Apabila glukosa ditambahkan, siklus tersebut akan direpresi
meskipun enzim isositrat masih aktif.

Media
Media untuk produksi asam sitrat harus menyediakan zat gizi
mikroorganisma, yaitu senyawa sumber karbon, nitrogen dan mineral.
Disamping itu juga perlu pengaturan pH untuk menekan kontaminasi dan
menghindari terialu banyaknya biosintesa produk lain yang tidak
dikehendaki. Pada pH rendah (2-3), medium hanya dapat dikontaminasi
oleh khamir dan Penicillium. Sewaktu idiofase, pH perlu di bawah 3 agar
tidak terjadi sintesa asam oksalat dan glukonat yang berlebihan
dlhldrokst aseton fosfat

Gambar 5.1. Lintasan glikolisis dan siklus Kreb

1. Sumber Karbon
Senyawa sumber karbon merupakan bahan baku utama untuk
produksi asam sitrat. Beberapa contoh bahan baku ini adalah pati dari
umbi-umbian (misalnya ubi jalar, singkong dan talas), sirup glukosa
dari pati yang disakarrfikasi dengan asam, sukrosa dan limbah
pengolahan hasH pertanian (seperti molasses dari gula tebu dan bit,
onggok, dedak padidan gandum dan limbah pengolahan nanas).
Pemiiihan bahan baku di atas tentu terutama berdasarkan
pertimbangan ekonomi.
Sebelum digunakan, bahan baku seperti hidrolisat pati, sirup
glukosa dan molases perlu diberi perlakuan pendahuluan untuk
mengurangi kandungan beberapa kation/mineral yang akan
mengganggu fermentasi nanti. Untuk molases, hal itu dilakukan
dengan penambahan heksasianoferrat yang akan mengendapkan
kation logam, atau dengan melewatkan pada penukar kation.
Bahan baku molasses yang hendak digunakan untuk
fermentasi, perlu diuji pada fermentor percobaan dimana data-data
yang diperoleh digunakan sebagai pedoman untuk memberikan
perlakuan pendahuluan agar diperoleh kwalitas bahan baku yang
memberikan hasfl optimum. Efek toksik dari besi (8 ppm) akan
berkurang jika terdapat tembaga. Tanpa tembaga, asam sitrat tklak
akan di-produksi. Penambahan tembaga sampai 100 ppm berkorelasi
positif dengan produksi asam sitrat (Scheiger, 1961 di dalam Cnieger
dan Crueger, 1984).

2. Nitrogen dan Mineral


Untuk proses fermentasi dibutuhkan nitrogen dan mineral
(kalium, fosfor, belerang dan magnesium). Mineral tersebut
digolongkan sebagai mineral makro yang kebutuhannya relatif besar
dibandingkan dengan mineral lainnya. Untuk formulasi media,
nitrogen dapat berasal dari amonium nitrat (NH4NO3); kalium dan
fosfat dari kalium hidrofosfat (KH2PO4); dan magnesium serta
belerang dari magnesium sulfat (MgS04.7H20). Salah satu contoh
formulasi mineral tersebut pada media yang dianggap paling tepat
adalah sebagai berikut (Currie, 1971 di dalam Prescott dan Dunn,
1959):
Sukrosa..............................................................125.0-150.0 g/l
NH4NO3............................................................2.0- 2.5g/l
KH2PO4.............................................................0.75- 1.0g/l
MgS04.7H20......................................................0.20- 0.25g/l
HG (untuk mengatur pH 3.4-3.5).......................5-4ml, HCI5N

Selain mineral makro, A. niger juga membutuhkan unsur


runutan (trace element) yang diperlukan hanya dalam beberapa ppm
saja, yaitu tembaga, mangan besi, seng dan molibdenum. Bahan
baku utama (sumber karbon) yang biasa dipakai untuk produksi
secara komersial, sudah mengandung unsur runutan itu dengan
jumlah cukup atau berlebih. Perlakuan pendahuluan terhadap bahan
baku utama bertujuan untuk mengontrol kandungan unsur tersebut.
Kandungan yang tinggi dari unsur tersebut bersifat racun bagi
mikroorganisma. Demikian juga bila kekurangan, dapat menyebabkan
pertumbuhan atau produksi berkurang. Salah satu contoh peranan
unsur ini, dapat dilihat pada besi, untuk produksi optimal pada media
sukrosa murni dibutuhkan besi 2.0 ppm. Jika digunakan media gula
invert atau hidrolisat pati, penambahan besi sebanyak itu
mengakibatkan asam tidak diproduksi. Hal ini karena kandungan besi
pada bahan baku utama sudah tinggi dari semula.

Metoda Fermentasi

1. Pembuatan Inokulum/starter
Proses fermentasi dimulai dari penyiapan inokulum/ starter.
Untuk fermentasi media padat dan fermentasi dangkal, dibutuhkan
inokulum yang berupa suspensi spora. Inokulum ini dibiakkan pada
substrat padat pada suhu 25 C dengan menginkubasikan 10-14 hari
pada kondisi aerobik. Untuk fermentasi kultur terendam (sub- merged),
inokulum tadi diprogasi/dibiakkan lagi menjadi starter di dalam
fermentor pembiakkan yang kapasitasnya jauh lebih kecil dari
fermentor produksi. Medium untuk propagasi dapat berupa molasses
yang me-ngandung gula 15 %. Pada medium iniditambahkan ion
sianida untuk merangsang pembentukan miselium yang berbentuk
pellet. Apabila sianida terlalu sedikit, pertumbuhan inokulum akan
pesat tapi produksi asam sitrat nantinya rendah. Pada saat fermentasi
tersebut, spora akan bergerminasi dan miselium membentuk pellet
berukuran 0.2 - 0.5 mm pada suhu 32°C dengan waktu fermentasi 24
jam.

2. Proses Fermentasi
Proses fermentasi dapat dilakukan dengan fermentasi kultur
permukaan dan kultur terendam. Fermentasi kultur permukaan dapat
menggunakan media padat maupun cair. Fermentasi kultur terbagi
dua, yaitu yang dilakukan pada fermentor berpengaduk (stirrer
fermentor) dan pada air lift fermentor.
a. Fermentasi Permukaan pada Media Padat
Fermentasi ini menggunakan media padat dari limbah
pengolahan hasil pertanian, seperti onggok, dedak padi, dedak
gandum, pulp tebu dan limbah pengolahan nenas. Keuntungan
fermentasi ini adalah kurang sensitifnya mikroorganisma terhadap
kelebihan unsur runutan.
Proses fermentasi

fermentasi kultur fermentasi kultur


permukaan terendam

Media padat Media cair Fermentor berpengaduk Air Left Fermentor


(Stirrer Fermentor)

Gambar 5.2. Berbagai jenis proses fermentasi asam sitrat

Prosedur fermentasi ini cukup sederhana, misalnya pada


fermentasi yang menggunakan media dedak gandum. Mula-mula
pH bahan diturunkan menjadi 4 - 5. Kemudian disterilisasi. Setelah
itu diinokulasi dengan suspensi spora dan disebarkan di atas baki,
selama 3 - 5 hari pada suhu 28°C. Meskipun Aspergillus niger
memproduksi enzim amilase untuk menghidrolisa pati dedak,
penambahan -amilase dari luar dapat mempercepat pertumbuhan
kapang tersebut. Asam sitrat yang dihasilkan diekstraksi dengan air
panas.
Proses fermentasi dengan media pulp (misalnya pulp tebu
dan pulp bit) dilakukan dengan pertama kali merendam pulp di
dalam atau diberi larutan sukrosa atau molasses sampai jenuh.
Setelah itu, tanpa disterilisasi terlebih dahulu, bahan diinokulasi
dengan suspensi spora. Fermentasi berlangsung pada suhu 20
sampai 35°C selama 4 hari. Fermentasi ini menghasilkan asam
sitrat sebanyak 55 % dari jumlah sukrosa atau 45 % dari jumlah
gula yang terdapat di dalam molasses.
b. Fermentasi Permukaan pada Media Cair
Fermentasi ini menggunakan media cair pada wadah lebar
yang dangkal (tidak terlalu dalam), sehingga memperluas bidang
kontak antara media dengan oksigen di udara.
Berbagai komposisi media untuk fermentasi ini, telah
dikemukakan dalam berbagai literatur. Komposisi media tersebut
yang umum dipakai dapat dilihat pada Tabel 5.2,5.3,5.4 dan
5.5,5.6.

Tabel 5.2. Komposisi media menurut Currie (1917)


Komponen Jumlah, konsentrasi

Sukrosa 125 - 150 g/l


NH4NO3 2 - 25 g/l
KH2PO4 0.75- 1.0 g/l
MgS04.7H20 0.20 - 0.25 g/l
HCI5 N (agar pH menjadi 3.4 - 3.5) 5 - 4 ml

Tabel 5.3. Komposisi media menurut Doelgerdan Prescott (1934)

Komponen Jumlah, konsentrasi


Sukrosa 140 g/l
NH4NO3 2.23 g/l
K2HPO4 1.00 g/l
MgS04.7H20 0.23 g/l
HC11 N (agar pH menjadi 160-2.20) secukupnya
(Sterilisasi pada tekanan 8-10 Ib/inc2 selama 30 menit)

Tabel 5.4. Komposisi garam mineral menurut Wells dan Henrick (1938)

Komponen Jumlah, konsentrasi


KH2PO4 0.03-0.1 %
MgSC-4 0.01 - 0.05 %
NH4NO3 0.16-0.32 %

Tabel 5.5. Komposisi media menurut Perlman, Kita dan Peterson (1946)

Komponen Jumlah, konsentrasi


Sukrosa (Hasil purifikasi) 140 g/l
NH4NO3 2.25 g/l
KH2PO4 1.00 g/l
MgS04.7H20 0.25 g/l
FeNH4(S04)2.12H20 0.1 mg/1
HCI (agar pH menjadi 2.3) secukupnya
Media untuk proses ini, tidak boleh mengandung besi terlalu
banyak karena dapat mempertinggi hasil sampingan asam oksalat
dan menyebabkan pembentukan pigmen kuning yang sulit
dihilangkan pada waktu proses pemurnian.
Jumlah produksi asam sitrat dengan metoda ini menduduki
peringkat kedua setelah metoda kultur terendam (submerged).

Tabel 5.6. Komposisi media menurut Schultz dan Rauch, 1975

Komponen Jumlah, konsentrasi


Sukrosa 160-200 g/l (kira-kira sama dengan 320-
400 g molasses)
NH4NO3 1.6-3.2 g/l (tidak dibutuhkan jika
menggunakan molasses)
CaH2P04 0.3-1.0 g/l
MgS04.7H20 0.2-0.5 g/l (tidak dibutuhkan jika meng-
gunakan molasses)
ZnS04 0.1-0.1 g/l
Kalsiumheksasianoferrat 0.4-2.0 g/l

Lebih kurang 20 persen dari kebutuhan dunia akan asam


sitrat berasal dari produksi dengan metoda ini. Cara ini, masih
dipakai karena biaya investasi murah, biaya operasi murah dan
teknologinya sederhana. Akan tetapi cara ini membutuhkan banyak
tenaga kerja untuk membersihkan alat-alat, seperti wadah fer-
mentasi dan pipa- pipa penghubung.
Proses fermentasi asam asetat bahan baku utamanya adalah
molasses. Setelah dilakukan formulasi (penambahan mineral
makro dan pengaturan unsur runutan), media disterilisasi,
kemudian dimasukkan ke dalam wadah (baki). Media tersebut
diinokulasi dengan spora kering (2.5 x 107 spora/m2) atau suspensi
spora. Fermentasi berlangsung selama 8-14 hari pada suhu 30°C.
Ventilasi atau pemberian aliran udara di dalam ruang fermentasi
dibutuhkan agar tidak terjadi penimbunan gas karbondioksida.
Pada kadar di atas 10 %, produksi asam sitrat akan berkurang.
Proses ini menghasilkan 1.2 sampai 1.5 kg asam sitrat monohidrat
tiap m2 permukaan media per hari.
Tahap selanjutnya adalah proses pemanenan dan pemurnian
hasil (recovery). Pada prinsipnya tahap ini berlaku umum untuk
semua metoda proses fermentasi asam sitrat. Mula-mula dilakukan
pemisahan bagian cair dari bagian padat (seperti spora dan
miselium) dengan cara pencucian dan/atau pemerasan miselium;
dan dengan filtrasi. Cairan yang dihasilkan ditambah dengan garam
kalsium sulfat (CaSO4) pada pH rendah, yang akan menyebabkan
asam oksalat (jika dihasilkan) mengendap sebagai kalsium oksalat
dan asam sitrat bergabung dengan ion kalsium (Ca 2+) membentuk
kalsium sitrat yang terlarut di dalam cairan.

CaS04---------------> Ca+2 +SO4-2


Ca+2 + Oksalat-2-------> Ca Oksalat (mengendap)
Ca+2 + sitrat-1 ---------> Ca sitrat (larut)

Apabila pH dinaikkan menjadi 7.2 + 0.2 pada suhu 70 - 90°C,


kalsium sitrat akan mengendap dan selanjutnya dapat dipisahkan
secara filtrasi. Pemurnian selanjutnya adalah dengan
menambahkan asam sulfat sehingga asam sitrat terlarut lagi dan
terbentuk endapan kalsium sulfat. Larutan yang mengandung asam
sitrat tersebut dimurnikan, antara lain dengan memberikan
perlakuan karbon aktif dan melewatkannya pada penukar
ion/kation. Terakhir adalah kristalisasi pada suhu di atas 40°C
untuk membentuk asam sitrat anhidratat atau suhu di bawah
36.5°C untuk membentuk asam sitrat monohidrat.
c. Fermentasi Kultur Terendam
Saat ini sebagian besar kebutuhan dunia akan asam sitrat
dicukupi oieh produksi dari fermentasi kultur terendam. Sebanyak
80 persen suplai asam sitrat di dunia berasal dari fermentasi
tersebut. Metoda ini membutuhkan peralatan yang canggih dan
energi yang lebih banyak, tetapi industri tersebut tidak
membutuhkan lahan terlalu banyak dan biaya buruh lebih rendah.

1. Metode Szucs
Fermentasi ini berlangsung dua tahap, pertama adalah
fermentasi pada "media pertumbuhan", dan setelah itu
fermentasi pada "media produksi". Media pertumbuhan
mengandung:
Sukrosa..................................................................25-50 g/l
NH4NO...................................................................3 2.25 g/l
KH2PO4..................................................................0.3 g/l
MgS04.7H20...........................................................0.25 g/l
HC11 N (agar pH menjadi 2) 10 ml/l

Media tersebut disterilisasi dan kemudian diinokulasi


dengan suspensi spora A. niger yang biasa digunakan untuk
fermentasi permulaan. Fermentasi dilakukan pada suhu 25°C,
diberi aerasi dan agitasi selama 3 - 4 hari untuk memperoleh
massa miselium yang memadai. Setelah fermentasi tahap
pertama ini selesai, miselium dipisahkan dari larutan media dan
dicuci dengan aquades (air destilat). Miselium yang telah bersih
tersebut diinokulasikan ke dalam larutan media produksi dengan
perbandingan berat 5:1000 (miselium diukur berdasarkan berat
kering). Media produksi mengandung:
Sukrosa ...............................................................200 g/l
NH4NO3..................................................................1.1 g/l
KCI.........................................................................0.15 g/l
MgS04-7H20 .......................................................0.25 g/l
HCl 1 N (untuk mengatur pH 1.91) 10 ml/l

Sebagai sumber karbon, selain sukrosa juga fruktosa,


molasses dan gula cair (sirup). Fermentasi tahap kedua ini juga
membutuhkan aerasi dan agitasi (100 ml oksigen per 21 larutan
per menit, kecepatan agitasi 300 rpm), dan dilangsungkan pada
suhu 18 - 28°C (suhu optimum dianjurkan adalah 25°C) selama
4 hari. Fermentasi ini bisa merubah 70 - 75 persen gula yang
dikonsumsi menjadi asam sitrat.

2. Metode Shu dan Johnson


Shu dan Johnson, seperti Szucs, juga melakukan
fermentasi ini dua tahap. Pertama, fermentasi pada medium
sporulasi yang mengandung:
Sukrosa..................................................................140 g/l
Bacto agar.............................................................20 g/l
KH2P04...................................................................1.0 g/i
MgS04.7H20...........................................................0.25 g/l
NH4NO3..................................................................2.5 g/l
HCI (untuk mengatur pH 3.8) secukupnya
Unsur runutan:
Cu+2......................................................................0.48 mg/l
Zn+2......................................................................3.8 mg/l
Fe+3......................................................................2.2 mg/l
Mn+2 ..................................................................1.0 mg/l
(Mn+2 sangat dibutuhkan untuk sporulasi. Media ini disterilisasi
pada suhu 120°C, selama 15 menit).

Media tersebut diinokulasi dengan suspensi spora A.


niger (ATCC, No 1 015). Kemudian diinkubasi selama 3 - 5 hari.
Setelah itu suspensi spora yang dihasilkan diinokulasikan lagi
pada medium basal yang digunakan untuk produksi asam sitrat.
Medium basal ini mengandung sukrosa, MgS04-7H20 dan
NH4NO3 dalam jumlah yang sama dengan medium sporulasi ;
tidak mengandung bacto agar ; mengandung KH2PO4, ion
Cu+2, Zn dan Fe+3 masing-masing sebesar 2.5 g/l, 0.06 mg/l,
0.25 mg/l dan 1.3 mg/l; dan ditambah HCI untuk mengatur pH
3.8. Fermentasi ini dilakukan didalam erlenmeyer 500 ml
dengan diberi agitasi 270 rpm pada suhu 25°C selama 8-10
hari. Hasil yang diperoleh kira-Wra 72 gram asam sitrat anhidrat
per 100 gram sukrosa di dalam media.
Asam Glukonat

Strain Untuk Fermentasi Asam Glukonat


Berbagai mikroorganisma yang dapat digunakan untuk fermentasi
asam glukonat, meliputi Mycoderma aceti (Acetobacter aceti), Aspergillus
niger, Aspergillus fumaricus, Acetobacter suboxydans, Penicillium
chrysogenum, Penicillium luteum-purpurogenum, Acetobacter
glukonicum, Pseudomonas sp. dan Vibrio sp.
Pada saat ini, yang dipakai untuk produksi secara komersial adalah
kapang Aspergillus niger dan bakteri Acetobacter suboxydans pada
fermentasi kultur terendam (submerged). Mikroorganisma lain tidak
dipakai lagi untuk produksi komersil

Biosintesis
Asam glukonat (C6H12O7) disintesis dari glukosa melalui oksidasi
dengan bantuan enzim glucose oxidase. Reaksi ini membutuhkan
koenzim pembawa hidrogen flavin adenin dinukleotida (FAD), dan
oksigen. Pada reaksi tersebut, glukosa dioksidasi dan dua buah proton
yang dikeluarkan dari glukosa ditangkap oleh FAD. Kemudian proton
tersebut dipindahkan lagi ke oksigen sehingga meng-hasilkan hidrogen
peroksida. Pada fermentasi asam glukonat, dihasilkan juga (5-D-glukonat
dan glucose oxidase (Notatin atau Penicillium B).

Gambar 5.10. Jalur Biosintesa Asam Glukonat


Metode Fermentasi
Fermentasi asam glukonat dapat dilakukan secara kultur
permukaan (surface) atau kultur terendam (submerged). Yang digunakan
saat ini untuk produksi komersil adalah kultur terendam. Pada Tabel dapat
dilihat data mengenai beberapa metoda produksi asam glukonat dan
garamnya. Tulisan berikut ini hanya menyajikan 2 contoh prosedur
fermentasi asam glukonat, masing-masing untuk skala laboratorium dan
skala pilot plant.
1. Cara May dan Henrick
Fermentasi ini dilakukan dengan menggunakan kapang
Penicillium chrysogenum pada medium yang mengandung:
Glukosa (murni).....................................................20 % (berat/volume)
NaN03...................................................................3g/l
KH2PO4 .............................................................0.15 g/l
MgS04.7H20 .....................................................0.125 g/l
Kalsium karbonat (CaC03) 1 g/4 g glukosa

Medium tersebut sebanyak 200 ml dimasukkan ke dalam "gas-


cooking bottle" 500 ml dan kemudian disterilkan dengan uap panas
pada tekanan 15 lb selama 15 menit. Setelah dingin diinokulasi
dengan spora kapang dan ditambah dengan kalsium karbonat yang
telah disterilkan secara terpisah. Prosedur tersebut dilakukan secara
akseptis. Kemudian difermentasi dengan diberi aerasi dari dasar
wadah (40 ml/min), pada suhu 30°C dan tekanan 3 atm atau lebih.
Cara tersebut di atas dilakukan untuk skala laboratorium. Untuk
skala yang lebih besar sistem akan lebih rumit, diantaranya adalah
pemberian agitasi secara khusus (disamping aerasi) dan pemberian
tekanan udara.

2. Cara Blom et al.


Penyiapan Inokulum
Mula-mula adalah penyiapan kultur stok dari Aspergillus niger
NRRL3 di dalam medium khusus untuk kultur stok (kolom 2, Tabel).
Medium yang telah diinokulasi ini diinkubasi pada suhu 30°C selama 7
hari. Setelah itu suspensi spora kultur stok tersebut disuspensikan
dengan akuades atau larutan garam fisiologis. Suspensi spora tersebut
dapat digunakan untuk menginokulasi 10 sampai 20 buah gelas
erlenmeyer (ukuran 11) yang berisi 150 ml medium sporulasi (kolom 3,
Tabel 5.7) yang disterilkan. Erlenmeyer yang berisi medium sporulasi
yang telah diinokulasikan tadi diinkubasi selama 7 hari pada suhu
30oC. Spora yang tumbuh di atas miselium dipisahkan dan seterusnya
dapat diperlakukan dengan salah satu cara berikut ini:
a. spora dari medium sporulasi tersebut disuspensikan di dalam 10
liter air steril yang mengandung 0.01 % wetting agent (misalnya
sodium lauril sulfat). Suspensi spora ini digunakan untuk inokulum
pada fermentasi asam glukonat
b. spora tersebut disuspensikan di dalam 2 liter air steril yang
mengandung 0.01 % wetting agent. Suspensi ini diinokulasi pada
45 gallon (170.3 liter) medium germinasi (kolom 4, Tabel). Medium
yang telah diinokulasi ini diinkubasi pada suhu 33°C dengan diberi
aerasi (0.2 volume udara per volume medium per menit) selama 24
jam, sampai terjadi germinasi. Sebagian (biasanya 10 %) dari
medium tersebut diinokulasikan pada medium yang digunakan
untuk fermen tasi asam glukonat (kolom 5, Tabel 5.9).

Fermentasi Asam Glukonat


Medium (kolom 5, Tabel 5.9) disterilkan pada suhu 121°C selama
15 menit sampai 30 menit. Setelah dingin, pH diatur menjadi 6.5 dengan
penambahan natrium hidroksida (NaOH). Kemudian diinokulasi dengan
inokulum seperti yang telah diterangkan sebelumnya (penyiapan
inokulum). Fermentasi dilangsungkan dengan diberi aerasi 1 volume
udara per volume medium per menit; tekanan 20-30 lb per inci persegi;
suhu 92-94°F; pH 6.5 0.5 (pH diatur dengan larutan NaOH); dan selama
40 jam. Untuk mencegah buih, dapat digunakan oktadecanol 1 % (di
dalam 95 % etanol). Setelah fermentasi selesai (sisa glukosa 0.1 %)
cairan medium didekantasi, disaring dan diuapkan sampai kandungan
padatannya 42-45 %. Bila larutan asam glukonat tersebut, ditambah
larutan NaOH hingga pH-nya 7.5, akan terbentuk garam natrium glukonat.
Larutan garam ini dapat dikeringkan (diuapkan airnya) dengan
menggunakan drum dryer dan garam kering yang diperoleh digiling
sampai ukuran 100 mesh.

Tabel 5.9.Komposisi media untuk pembuatan inokulum dan fermentasi


asam glukonat (Blomm, et al, 1952)

Komposisi Medium Medium Medium Medium


Kultur stok sporulasi germinasi fermentasi

+- 30.0 50.0 10 000.0 136 400


Gukosa (teknis), g
MgS04.7H20, g 0.1 0.12 31.0 94
KH2P04, g 0.12 0.15 38.0 113
(NH4)2HP04, g - 0.60 80.0 240
KCl.g - 0.20 - -
CaC03, g 4.0 - - -
Fe tartrate, g - 0.01 -
Potato extract, ml* 500 30.0 - -
Beer, ml - 30.0 - -
Corn-steep liquor, ml - - 750.0 2100
Urea, g - - 20.0 60
Pepton, g 0.25 - - "
Agar, g 25 1.5 - ~

NaOH (untuk mengatur - - 25.0 ~


pH 6.5), g
H2SO4 (untuk mengatur - - - 100
pH 4.5), ml
Air untuk mencukupi
volume menjadi, I Lama 1.0 1.0 170.3** 568***
sterilisasi
pada suhu 121°C, min 30.0 30.0 30.0 15-30

*) 200 g kentang irisan yang telah dikupas dimasukkan ke dalam 500 ml


air. Kemudian dimasak di dalam autoklaf selama 15 menit. Setelah itu
disaring dengan kain kasa yang cukup rapat
**) ditambahkan setelah sterilisasi
***) ditambahkan setelah inokulasi

Asam Asetat

Strain Untuk Fermentasi Asam Asetat


Bakteri untuk fermentasi asam asetat termasuk famili
Pseudomonadaceae yang dapat memperoleh energi dari oksidasi etanol
menjadi asam asetat, Oksidasi berbagai macam gula dan oksidasi alkohol
lainnya. Bakteri ini juga bisa memperoleh energi dari dissimilasi anaerob.
Bakteri tersebut di antaranya digoiongkan ke dalam genus
Acetobacter, di antaranya adalah A. aceti, A. pasteurianus, A.
kuetzingianus, A xylinum, A. oxydans, A. rancens, A. melanogenus, A.
suboxydans dan A. roseus.
Biosintesis
Perubahan dari etanol menjadi asetat merupakan reaksi oksidasi
atau dehidrogenasi. Tahap pertama dari oksidasi tersebut adalah
perubahan etanol menjadi asetaldehida. Reaksi ini membutuhkan
akseptor elektron, yaitu NAD atau NADP (Nikotinamida Adenin
Dinukleotida atau Nikotinamida Adenin Dinukleotida Phospnat) dan enzim
alkohol dehidrogenase. Setelah itu, adalah oksidasi asetaldehida menjadi
asam asetat dengan bantuan asetaldehida dehidrogenase. Reaksi
terakhir ini juga membutuhkan akseptor elektron NAD dan NADP.
Reaksi di atas berlangsung jika terdapat oksigen yang berfungsi
sebagai akseptor elektron terakhir pada peristiwa respirasi. Karena itu
untuk memperoleh produksi optimal, maka untuk fermentasi asam sitrat
dibutuhkan oksigen yang cukup.
Kekurangan oksigen, dapat membunuh sel bakteri. Pada medium
yang mengandung 5% asam asetat dan etanol, terhentinya aerasi selama
2 menit dapat membunuh 34% sel bakteri.

Media
Fermentasi asam asetat membutuhkan medium yang mengandung
etanol (etil alkohol) 10 -13%. Umumnya medium tersebut diperoleh dari
hasil fermentasi alkohol, yaitu fermentasi pengubahan gula menjadi
etanol. Bila konsentrasi alkohol terialu tinggi, pada fermentasi kultur
permukaan, lapisan biang cuka akan terganggu pembentukannya,
sehingga fermentasi alkohol menjadi asam asetat tidak berlangsung
dengan sempurna. Selain itu, keasaman medium perlu diperhatikan.
Keasaman dapat diatur dengan menambahkan 25% larutan cuka pada
medium.

Gambar 5.11. Reaksi oksidasi etanol menjadi asam asetat

Medium yang berasal dari hasil fermentasi alkohol, misalnya hasil


fermentasi sari buah, whey atau malt, sudah mengandung zat gizi yang
cukup untuk bakteri asam asetat. Tapi, kalau medium dibuat dari larutan
alkohol teknis, maka penambahan zat gizi perlu dilakukan. Zat gizi yang
perlu ditambahkan adalah seperti yang dapat dilihat pada Tabel berikut
ini:
Tabel 5.10. Penambahan zat gizi untuk fermentasi asam asetat

gram/m3 larutan medium kultur kultur


permukaan terendam

Gula 200 1000


Amonium fosfat 96 480
Magnesium sulfat 24 120
Kalsium sulfat 24 120
Kalsium pantothenate 0.24 0.24

Metode Fermentasi
Fermentasi asam asetat dapat dilakukan dengan fermentasi kultur
permukaan dan fermentasi kultur terendam. Fermentasi kultur permukaan
dapat dilakukan dengan dan tanpa supporting medium. Sedangkan
fermentasi kultur terendam menggunakan fermentor yang dilengkapi
dengan sistem aerasi dan agitasi seperti untuk fermentasi kultur terendam
yang bersifat aerobik lainnya.

a. Fermentasi Kultur Permukaan


1. Metoda Orleans (Metoda Perancis)
Metoda ini merupakan cara fermentasi asam asetat yang
tertua dan paling sederhana. Fermentasi dilangsungkan di dalam
tong kayu yang berkapasitas 200 liter. Kira-kira sepertiga dari
volume tong diisi dengan cairan hasil fermentasi asam asetat
sebelumnya yang berfungsi sebagai starter (cairan tersebut disebut
juga cuka atau vinegar). Kemudian diisikan ke dalam tong 10
sampai 15 liter anggur atau wine (cairan beralkohol dari hasil
fermentasi sari buah) yang menyediakan alkohol untuk fermentasi
asam asetat ini. Tiap minggu sampai minggu keempat,
ditambahkan kembali wine 10-15 liter. Selama fermentasi tersebut,
pada permukaan cairan akan terbentuk "lapisan biang cuka" seperti
jelly yang disusun oleh jutaan sel bakteri. Terutama bakteri pada
lapisan tersebut yang memfermentasi alkohol menjadi asam asetat.
Pada minggu kelima, 10-15 liter cairan cuka hasil fermentasi dapat
dikeluarkan melalui lubang yang terdapat pada dasar tong. Sebagai
pengganti volume cairan yang dikeluarkan, ditambahkan lagi wine
10-15 liter. Kalau proses ini hendak dilakukan secara kontinyu,
maka setiap minggu sesudah cairan dikeluarkan, selalu
ditambahkan lagi wine yang baru.
Cara yang sangat sederhana tersebut mempunyai
kelemahan, yaitu lapisan biang cuka bisa tenggelam pada saat
penambahan wine. Kalau ini terjadi, produksi asam asetat akan
berkurang atau gagal, karena bakteri pada lapisan yang tenggelam
tersebut akan mengkonsumsi nutrien terutama alkohol) tanpa
memproduksi asam asetat. Untuk mengatasi kelemahan tersebut,
Pasteur menggunakan kisi-kisi dari kayu untuk menahan lapisan
agar tidak tenggelam (kisi-kisi tersebut diapungkan pada
permukaan cairan). Cara lain adalah dengan memasang suatu
corong (tunnel) yang ujungnya terendam di dalam cairan.
Penambahan wine yang baru dHakukan melalui mulut corong
tanpa mengusik lapisan biang cuka.
2. Metoda Generator
Bakteri asam asetat dapat tumbuh dan ditahan di atas
permukaan supporting medium tertentu, misalnya serutan kayu,
tongkol jagung dan arang. Apabila cairan medium yang
mengandung alkohol dilewatkan melalui supporting medium ini,
maka selama kontak antara cairan dengan bakteri yang terdapat
pada permukaan supporting medium tersebut terjadi proses
pengubahan alkohol menjadi asam asetat.
Generator untuk fermentasi asam asetat ini terdiri dari suatu
wadah yang diisi dengan bahan supporting medium. Cairan
medium dijatuhkan dari bagian atas dan kemudian dengan gaya
tarik gravitasi, cairan tersebut turun, lewat di antara permukaan-
permukaan supporting medium. Sementara itu aerasi diberikan dari
bagian sisi bawah generator. Cairan yang sudah melewati support-
ing medium ditampung pada dasar generator. Kalau fermentasi
dianggap belum sempurna (sisa alkohol masih tinggi), cairan
tersebut dialirkan/dipompakan ke bagian atas generator untuk
dilewatkan lagi melalui supporting medium. Proses ini diulangi
sampai proses fermentasi dianggap sudah sempurna. Bagan
sederhana generator ini dapat dilihat pada Gambar 5.12. Sekarang
ini sudah terdapat berbagai tipe dan modifikasi dari generator
tersebut. Sebanyak 88-90% alkohol pada medium dapat diubah
menjadi asam asetat. Sisanya digunakan untuk metabolisma sel
atau hilang bersama udara buangan dari sisa aerasi. Fermentasi
untuk menghasilkan 12% asam asetat beriangsung kira-kira selama
3 hari.

Gambar 5.12. Diagram generator untuk fermentasi asam asetat

b. Fermentasi Kultur Terendam


Fermentasi kultur terendam untuk menghasilkan asam asetat
menggunakan fermentor yang dilengkapi dengan sistem pendingin,
aerasi dan agitasi. Disain fermentor untuk tujuan komersial pertama
kali dibuat oleh Henrick Frings dari Jerman. Pengembangan fermentor
tersebut didasarkan antara lain kepada hasil penelitian Hromatka, et.
al. yang telah meneliti (1949 -1953) secara intensif mengenai proses
fermentasi kultur terendam untuk memproduksi asam asetat.
Disain lain untuk fermentor asam asetat juga sudah
dikembangkan saat ini. Pada Gambar 5.13 dapat dilihat diagram
sederhana fermentor asam sitrat yang tampak berbeda dengan
fermentor Frings di atas. Perbedaan tersebut diantaranya pada sistem
pendinginan, aerasi dan instrumen pencegah buih.
Fermentasi kultur terendam ini dilangsungkan pada suhu 30°C,
laju aerasi 3 - 4 wh (volume udara per volume cairan per jam),
kecepatan agitasi 1500 rpm dan tanpa diberi tekanan udara. Proses ini
lebih cepat, yaitu bisa memetabolisme zat gizi 50 - 60% dalam tempo
35 jam. Selain itu hasilnya lebih tinggi, yaitu bisa sampai 98% pada
suhu 40°C. Dibandingkan dengan metoda Generator (fermentasi
permukaan), hasil yang diperoleh 5% lebih tinggi. Instalasi untuk
fermentor ini memakai luas lahan 20% lebih hemat, dan juga biaya
buruh lebih hemat karena prosesnya lebih otomatis.
Hasil fermentasi ini perlu disaring untuk memisahkan sel-sel
bakteri yang banyak terdapat di dalam cairan. Disamping itu, cairan
yang sudah disaring kalau perlu, dijernihkan untuk menghilangkan
warpa yang tidak dikehendaki, misalnya dengan penambahan
K4(Fe(CN)6).
Asam Laktat

Galur Untuk Fermentasi Asam Laktat


Mikroorganisme yang dipergunakan untuk fermentasi asam laktat
adalah bakteri asam laktat yang bersifat homofermentatif (sebagian besar
dari substrat dikonversi menjadi asam laktat). Bakteri tersebut adalah
Lactobacillus debrueckii, bulacaricus L pentosus, L casei, L leichmanii dan
Streptococcus lactis. Pengunaan karbohidrat adalah laktosa (pada sus
atau Whey) digunakan L. bulqaricus, L casei atau S. lactis; maltose dan
glukosa (dekstrosa) digunakan L. Delbrueckii, L Pentosus, L Pentosus, L
leichmanii auu L bulgaricus; dan sulfite waste liquor digunakan L.
pentosus.

Biosentesis
Biosentesis asam laktat dari glukosa terlebih dahulu melalui jalur
glikolisis. Piruvat, yang merupakan hasil akhir dari glikolisis mengalami
reduksi meniadi asam laktat, dengan bantuan koezim dikotinamida aderon
dinukleotida tereduksi (NADH + H+) dan enzim laktat dehidragenase.
Secara stokiometri, tiap mol qlukosa dapat menghasilkan 2 mol asam
laktat. Dalam kenyataanya hanya 90 % saja glukosa yang diubah menjadi
asam laktat. Sisanya untuk metabolisme sel dan pembentukan hasil
sampingan lainnnya.

Metode Fermentasi
Asam laktat dapat diproduksi dari berbagai bahan baku, seperti
whey (limbah cair industri pengolahan susu), gula, molasses umbi-umbian
dan bahan atau limbah hasil pertanian yang mengandung karbohidrat
lainnya.
Bahan baku yang berpati, seperti umbi-umbian, biji-bijian dan
limbah industri tapioka (onggok dan limbah cair). sebelum digunakan perlu
dihrolisa menjadi, gula sederhana terlebih dahulu. yaitu dengan enzim
amilase atau dengan asam kuat (asam sulfat atau asam khlorida).
Bakteri asam laktat tergolong bakteri termofilik yang tumbuh
optimum pada suhu 40 - 50°C. Karena itu fermentasi asam laktat
dilangsungkan pada suhu agak tinggi tergantung kepada jenis bakterinva.
Suhu fermentasi bagi L debmecku adalah 45C atau lebih. L bulqaricus 45°
- 50°C, L Case, dan S. lacts 30°C.
Fermentasi asam laktat tidak memerlukan aerasi. karena bakteri
asam laktat tergolong mikroaerofilik, anaerob atau fakultatif aerob.
Untuk menjamin pertumbuhan optimum, fermentasi ini
dilangsungkan pada PH sedikit asam. yaitu sekitar 5.8. Kontrol
terhadap PH dapat dilakukan dengan penambahan kalsium hidroksida
atau kalsium karbonat pada awal fermentasi. Netralisasi asam terjadi
karena ion laktat yang disentesa akan beraksi dengan ion kalsium
membentuk garam kalsium laktat.

2CH20HCOOH- + Ca++---------> Ca(CH2OHCOO)2


(ion laktat) (dari CaCarbonat/ (kalsium laktat)
hidroksida)

Umumnya bahan baku untuk fermentasi asam laktat tersebut sudah


cukup mengandung gizi yang diperlukan den bakteri asam laktat. Akan
tetapi kadang-kadang ditambahkan juga ke dalam media asam nikotinat
untuk merangsang pertumbuhan bakteri dan produksi asam.
Berikut ini diuraikan secara singkat metode fermentasi asam laktat
dari bahan baku whey, molasses dan umbi kentang, serta fermentasi
kontinu.
glukosa
asam laktat
truktosa 1.6 - ditosfat
dlhldraksl asetcm
tost at ^_
gf I seratdehIda —> 3-tosfat
-<NAD
1,3-dHosfoUserrt
-> Plruvat
0 o
HO - C — H I
(glukosa)
(2 a$atr> laktat)

208Gambar 5.25. Jalur biosintesa asam laktat


603
-jooj>|!Uj bjbjub ia (6uBiua>1 isbjjijubmbs hsbu.) BAuuiniaqas uB^dBisip \\
e\Q\ 6ubA Bipeai BpBd uB>)!SB|n>|OU!Jp %oi >|BAuBqas 'aiB( frg - oi
Jnuiaiaq BubA (uinjpaw oiB+od) BuBjue>| eipeiu BpBd uBwnquuniip BubA
sn///OBqojOB7 wn|n>iou|
C00B0 MBquiBv.p
uBi|Bq UBipniua* Q0gfr nuns ^P** wsj S' V bujbibs uB^JBjqip uBp oee
iy«N J96/u sn///6j8dsy jjbo jnynH %g ujequjBiip BjsBd 'uiBuip UBpias ujbj
i. bujbibs 0o0£l nuns BpBd UB^SBUBdipuBqBq uBipnuia^
BjSBdi^asuBUBquaiojadipBBBuiuas Oo00l 'iBBuii nuns BpBd uB^eiip iui
isb>iijbjb>|BS Bub;u8>) usjnouBq inqnq BpBd aseijuue uiizua uB>|
UBquiBuaui BiBO usBuap [sb>|!jub>|bs ub^bhp B|ny\|
ueqeq uedeisjadi
6ueiu9)( misg ueqeg ueBuaa iseiuauua j -q
%W - \rZ !SBJiuasuo>j usBuap jbsbm jbp(B| uibsb bAuibsiw 'muauai |
SBnuasucw| uapjadip iBdures i6b| ue^deni.p wqesjei ubvubi ')B>|ad
qiqai BubA jbpibj |BS« ubvubi udtaiaduiaui >vuun ibi>|B| uibsb ubvubi
uapuadip ub^b isBJim uB>|n>|BH» i]B|Bias uiajojd uB|Bduin6 imp j|B
vubi ">|Bpn BubA tBj|ns uimsiB)) >iniuaqja» BB6uiuas iBjins uibsb
uBquiBjip inqasjai iep|B| uin|S|B>( uibjb6 \v\>\e\ uibsb uep -jaduiaui
>tmun ibpibi uinis|B>| ub^|bjsu>|6u8uj >tniun uB^dsnip ubjibo mi i|B|a?
9S jiPlE Bubjb usBuap uB>m;uja(!p uapjadip BubA ubjibo uep BuuBsip
uBi.pnuMjt uBSBUBuiad usBuap uB>usB|nBBO>j!p u!uinq|BpjB|
MBsaps {seiuaiuiaj uBiajas
UBmjnuijadX
(2(HO)K))
Bpis>|OjpjL) uuniS|B>j uB>|i|BqujBi!p 'is^npcudip BubA uibsb ua|0 nd
uBumnuad qBBaouaiu >tniun uib[ \z BuiB|as o0et nuns BpBd
BunsBusuaq isBiuauuaj Aaii/ii uoiibB ooos isuaq 6ubA iSBiuauuai.
pjubi uiB|Bp a^ uB>unduiBO!p jausig
isBiuauuaj t
00e* nuns BpBd uib( pz suiBias
iSBiuauuajjp UBp isBsunaiSBdip i|B|ai BubA /teuM ubjjbo uoiibB 009
uibibp a>t i6bi us>unduiBog> . iui isBiuauuaj |isbi| uBipnuiax ujb[ \z
buib|9S o0ef nuns BpBd uB>i!SBqn>iuip UBp isBsunaiSBdip uBjai
BubA uipis nsns usnb o* usBuap jnduiBoip iui i.sB]uauua| |SBq 'm.
MB(a4as uib( trZ BuiB|as oQef nuns BpBd ue^i.seqn^unp uBipnuiaji
■snofjBbinq—i usBuap uB^isBirctoujip (jaw geri) VBnb \. '|ua*s uii>|S
nsns
iaueis uBiBnquiaifi
AaiiM m\*3 ueiieg ueBuaa iseiuauuaj *•
(4-B4HP] icse i)
ganisme yang bisa digunakan sebagai inokulum adalah Lactobacillus
debrueckii NRRL B-445, dan L. pentosus, suhu fermentasi yang
diperlukan adalah 30°C, dengan lama fermentasi lebih kurang 5 hari. Hasil
yang diperoleh adalah 80 - 90% dari karbohidrat yang ada pada media.
Proses Fermentasi
Asam Itakonat
Asam itakonat (2,3-dikarboksipropen atau.asam
metilenebutanedionat) merupakan asam dikarboksilat tidak jenuh yang
mempunyai gugus metilen :
CH2 H
HOOC—C
-COOH
H
Dengan struktur demikian, asam ini merupakan senyawa yang relatif dan
labil, sehingga mudah membentuk garam dan mengalami esterifikasi
dengan monomer itakonat yang sama atau dengan monomer yang
lainnya.
Dalam bentuk murni itakonat berupa kristal putih yang mempunyai titik
didih 165 - 166°C, dan berat jenis 1.632. Pada suhu 20°C, 8.3 gram
itakonat dapat larut di dalam air; pada suhu yang lebih tinggi, misalnya
80°C, itakonat yang larut mencapai 72.5 gram. Asam itakonat tidak
beracun bagi kebanyakan mikroor-ganisme.
Strain Untuk Fermentasi Asam Itakonat
Asam itakonat dapat diproduksi oleh Aspergillus itaconicus dan A.
terms NRRL 265. Untuk fermentasi kultur terendam dan sistem batch,
sampai saat ini baru A. terreus yang digunakan sebagai inokulum.
Penggunaan mikroorganisme lainnya, tampak masih memerlukan
penelitian, terutama dari segi kelayakannya secara ekonomis.
Biosintesis Asam Itakonat
Salah satu jalur biosintesis itakonat disajikan pada Gambar 5.26.
Prekursor untuk pembentukan asam itakonat adalah asam cis- akonitat
yang dihasilkan dari siklus kreb (Asam Trikarboksilat). Prekursortersebut
(cis-akonitat) diubah menjadi asam itakonat melalui reaksi dekarboksilasi
oleh bantuan enzim akonitat dekar-bokilase. Adanya enzim atakonat
oksidase, menyebabkan dihasilkannya juga produk sampingan, yaitu
asam suksinat dan itartarat. Untuk menekan produk sampingan tersebut
menghambat aktivitas enzim itakonat.
210
Proses Fermentasi
1.Pembuatan Inokulum
Inokulum starter untuk memproduksi asam itakonat dibuat dengan
menggunakan medium yang dapat merangsang sporulasi dari A. terreus.
Berikut ini disajikan beberapa macam metode penyiapan inokulum/starter.
a. Pembuatan Inokulum Menurut Moyer dan Coghill (1945)
Komposisi Medium:
Laktosa ...............................................................10.0 g
Glukosa .................................................................. 5g
KH2PO4 ............................................................0.060 g
MgS04-7H20 .....................................................0.050 g
KCL....................................................................... 0.100 g
NaCL.......................................................................5.00 g
KNO3 ............................................. .................3.00 g
Corn-steep liqquor .................................................5 ml
Fe tartrate ..........................................................0.005 g
CUSO4.5H2O ...................................................0.004 g
MnS04.4H20 .....................................................0.005 g
Agar ...................................................................0.100 g
Air suling untuk mencukupkan volume 1 1
Medium tersebut, dimasukkan ke dalam erlenmeyer 200 ml
sebanyak 40 ml, kemudian disterilisasi. Setelah diinokulasi dengan
suspensi spora A. terreus yang ditumbuhkan pada agar miring, medium
tersebut diinkubasikan pada suhu 27°C, selama 5 sampai 7 hari, dan
dikocok dengan shaker.
b. Pembuatan Inokulum Menurut Lockwood dan ward (1945)
Komposisi Media:
Glukosa monohidrat (tek'nis) ................................275 g
NaN03 .................................................................. 5g
MgS04.7H20.........................................................0.024 g
KCL ...................................................................0.005 g
H4PO4............................ ................................0.003 g
Konsentrat corn-steep liquor...................................0.5 ml
Air suling untuk mecukupi volume 1 1
211
CH2-C00 I CH-COO
I HO-CH-COO
(asam isositrat)
akonitat hidrata
se

H20<-
CH2-COO" II
c-coo~
CH-COO (asam cis-akonitat)
akonitat dekarboksil
ase
C02<-
CH2-C00 I
c-coo~
II
CH2 (asam itakonat)
Gambar 5.26. Jalur Biosintesa Asam Itakonat
Medium tersebut dimasukkan ke dalam erienmeyer 200 ml sebanyak
50 ml, kemudiari disterilisasi. Setelah dinokulasi dengan suspensi spora A.
terreus yang berumur 10 hari yang ditumbuhkan pada agar miring,
medium diinkubasi pada suhu 30 C selama 5 hari, dan dikocok dengan
shaker.
212
C. Pembuatan Inokulum Menurut Pfeifer et al. (1953) Komposisi Media:
corn-suqar (hidrated): ....................................... 6.60 %
corn-steep liqquor (40-45 % padatan ................ 0.15%
Amoniumsulfat ................................................... 0.30%
MgS04.7H20 ..................................................... 0.08%
(pH diatur menjadi 5 atau lebih rendah dengan asam sulfat atau
itakonat)
Medium tersebut diinokuiasi dengan spora A. terreus kemudian
diinkubasi pada suhu 93°F selama 2 hari, dan diagitasi serta diaerasi.
2.Fermentasi Untuk Memproduksi Asam itakonat
Fermentasi kultur terendam (sub-merged) dengan sistem batch dapat
dilakukan dengan berbagai metode. Diantaranya adalah:
a. Fermentasi menurut Nelson et al. (1952)
Komposisi Medium:
Glukosa.............................
MgS04.7H20 .................. . . 6%
(NH4)2S04 . . ............... . . 5g/l
Corn-steep liquor........ 2.67
H2SO4 untuk mengatur pH 1.8 - 2 g/l
Medium tersebut diinokuiasi dengan starter/inokulum yang telah
disiapkan sebelumnya sebanyak 0.8 % (v/v). Fermentasi dilakukan pada
fermentor berkapasitas 29 liter, pada suhu 34oC selama 4 - 6 hari, diberi
aerasi 1/30 wm, agitasi dan tekanan udara sebesar 15 psig. Untuk
mencegah buih dapat digunakan oktadecanol. Fermentasi ini dapat
menkonversi 45 - 54 % glukosa menjadi asam itakonat.
b.Fermentasi Menurut Pfeifer et al. (1953)
Medium untuk fermentasi ini sama dengan medium yang digunakan
untuk menumbuhkan inokulum/starter sebelumnya. Perbedaannya adalah
pada pH, yakni pH 2.5-5 untuk medium yang akan digunakan untuk
memproduksi asam itakonat. Medium diinokuiasi dengan 5-10%
inokulum/starter yang telah disiapkan sebelumnya. Fermentasi dilakukan
pada fermentor yang d'riengakapi aerasi 100-125 psig pada suhu 93-95oF
selama 69-97 jam. Fermentasi ini dapat mengkonversi 61-65 % glukosa
menjadi asam itakonat.
213
ASAM AMINO
L-Glutamat
Strain Untuk Fermentasi Asam Giutamat
Asam giutamat dapat diproduksi deh berbagai jenis bakteri,
Streptomy-cetes, khamir dan kapang. Dari sekian banyak mikroorganisme
tersebut, yang berpotensi untuk digunakan pada industri fermentasi
adalah dari genus Corynebacterium, Brevibacterium, Mikrobacterium dan
Arthrobacter yang diperoleh dari hasil seleksi strain bebas di alam.
Umumnya bakteri penghasil asam giutamat bersifat gram positif, dan
nonmotile. Seluruh bakteri asam giutamat membutuhkan biotin untuk
pertumbuhannya, kekurangan enzim a-ketoglutarat dehidrogenase atau
aktifitas enzim tersebut rendah, dan menunjukkan tingginya aktifitas enzim
giutamat dehidrogenase. Selain dari pada itu, beberapa mutan
Brevibacterium dan Corinebacterium mempunyai aktifitas enzim isositrat
liase yang lebih rendah.
Biosintesis Asam Giutamat
Apabila sumber karbon untuk fermentasi ini adalah glukosa, maka
glukosa tersebut dipecah teriebih dahulu menjadi senyawa 2 dan 3
karbon, yaitu masing-masing asam piruvat (CH3COCOOH) dan asetil-
CoA. Pembentukan asam piruvat dan asetil Coa tersebut adalah melalui
jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) atau glikolisis dan sikius pentosa
fosfat atau jalur heksosa monofosfat (HMP). Biasanya, jalur yang umum
terjadi pada fermentasi asam giutamat adalah EMP. Asam piruvat dan
asetil CoA yang dihasiikan tersebut dapat memasuki sikius Kreb di mana
terjadi biosintesa asam giutamat. Jalur biosintesa asam giutamat ini dapat
dilihat pada Gambar 5.26.
Precursor untuk pembentukan asam giutamat adalah asam a-
ketoglutarat. Pengubahan a-ketoglutarat menjadi asam giutamat
merupakan reaksi reduktif aminasi yang memerlukan ion NH4+, donor
hidrogen (NADPH2) dan enzim giutamat dehidrogenase.
Pada mikroorganisme biasa, a-ketoglutarat diubah menjadi suksinat
de-ngan bantuan enzim a-ketoglutarat dehidrogenase. Akan tetapi pada
strain mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi asam giutamat,
enzim tersebut tidak dihasiikan sehingga a - ketoglutarat tidak diubah
menjadi suksinat.
Ada dua enzim yang bekerja pada isositrat, yaitu enzim isositrat liase
dan isositrat dehidrogenase. Kedua enzim ini diperlukan, yaitu liase untuk
merubah isositrat menjadi suksinat dan glioksilat untuk pertumbuhan
optimal dari mikroorganisme; dan isositrat dehidrogenase untuk
pembentuk pembentukan a-ketoglutarat (sebagai prekursor giutamat).
214
Asam glutamat juga bisa diperdeh dengan menggunakan asetat.
Dalam hal ini zat antara ditransferkan, terutama melalui jalur
glioksilat (yaitu jalur yang diberi garis tipis pada Gambar 5.28).
Stoikiometri biosintesis asam glutamat dan glukosa dan asam
asetat adalah sebagai berikut.
C6H12O6 + NH3 + 1.5 O2 C4H9O4N + CO2 + 3H2O
(glukosa) (asam glutamat)
3C2H4O2 + NH3 +.I.5Q2 C4H9O4N + CO2 + 3H2O
(asetat) (asam glutamat)
Dengan demikian, secara stoikiometri, biosintesa 1 mol asam
glutamat membutuh-kan 1 mol glukosa atau 3 mol asam asetat.
Dalam prakteknya, untuk menghasil-kan 1 mol asam glutamat
diperiukan lebih dari 1 mol glukosa atau lebih dari 3 mol asam asetat,
dan laju konversi ke asam glutamat tersebut berkisar 50-70 mol%
saja. Hal ini diantaranya karena adanya reaksi dekarboksilasi
oksaloasetat yang menghasiikan CO2 dan juga aktifrtas bolak-balik
enzim malat yang menyebabkan tersisanya senyawa antara yang
tidak diubah menjadi glutamat.
Metode Fermentasi
1. Media
Bahan baku utama sintesa asam' glutamat adalah bahan yang
mengandung senyawa sumber karbon, seperti glukosa, fruktosa,
maltosa, sukrosa, xylosa, molasses gula tebu dan bit, metanol,
etanol, asetaldehida, hidrokarbon (n-alkana) dan asam asetat. Di
antara faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan bahan baku
tersebut adalah faktor harga, misalnya industri asam glutamat
(produk akhir berupa monosodium glutamat) di Indonesia
menggunakan molasses karena harganya lebih murah.
Di samping senyawa sumber karbon, dibutuhkan juga senyawa
sumber nitrogen. Senyawa ini diperiukan untuk pertumbuhan sei dan
untuk sintesa asam glutamat pada reaksi aminasi a-ketoglutarat.
Sumber nitrogen yang dapat digunakan adalah garam ammonium,
amonia (NH3). Konsentrasi amonia yang berlebihan menyebabkan
peningkatan sintesa produk sampingan, glutamin. Mikroorganisme
untuk fermentasi asam glutamat membutuhkan biotin untuk
pertumbuhannnya. Asam glutamat akan diakumulasi jika jumlah
biotin berada pada membran sei akan sempurna. Justru keadaan
demikian meyebabkan per-meabilitas membran berkurang, sehingga
asam glutamat yang disentesa terakumulasi di dalam sei „ tanpa
dapat disekresi keluar sei melalui membran yang berkurang
permeabel tersebut. Konsentrasi kritis untuk biotin adalah 0.5 Ug/g
sei kering. Banyaknya biotin yang ditambahkan tergantung pada
konsentrasi senyawa karbon. Pada media yang mengandung
glukosa 10%, biotin yang
215
diberikan adalah 5 Ug/I. Untuk asetat, konsentrasi biotin 0.2 -1.0 Ug/I
(Crueger dan Crueger, 1984). Perlu tidaknya penambahan biotin
tergantung dari bahan baku utama (sumber karbon) yang digunakan. Jika
bahan baku utama adalah bahan yang miskin sekali atau tidak
mengandung biotin, penambahan biotin pada konsentrasi suboptimal
diperlukan. Tapi jika digunakan bahan yang sudah mengandung biotin
dalam jumlah yang cukup, misalnya molasses, penambahan tersebut tidak
diperlukan.
Permeabilitas sel untuk memungkinkan asam glutamat dieksresi
keluar sel juga dapat diatur dengan penambahan penisilin, yang
menyebabkan sintesa dinding sel tidak sempurna sehingga lebih
permeabel.
Fermentasi asam glutamat juga membutuhkan mineral tertentu
seperti sulfur, magnesium, fosfat, besi dan mangan. Komposisi mineral
tersebut di dalam media tergantung jenis bahan baku, strain yang
digunakan dan skala produksi.
2.Aerasi
Karena fermentasi asam glutamat bersifat aeraobik, maka fermentasi
tersebut perlu dilengkapi sistem aerasi. Menurut Crueger dan Crueger
(1984), aerasi dilakukan untuk mempertahankan nilai Kd 3.5 * 10"6 mol
02/atm.min.ml. Konsentrasi oksigen yang terialu tinggi atau rendah akan
menurunkan produksi asam glutamat.
Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk fermentasi asam glutamat
dapat diperkirakan dengan persamaan reaksi di bawah ini yang diperoleh
secara empiris (melalui pengamatan pada proses fermentasi sebenarnya)
(Hirose,,et ai.,1978).
C6H12O6 +2.33 02---->0.82C5H9O4N +1.94C02
3.Kontrol Fermentasi
Bila fermentasi dilakukan dengan Brevibacterium divarication (NRRL
B-231) dapat digunakan media Miescher.
a. Untuk inokuium:
Glukosa ...........................................................40.0 gram
K2HPO4 .............................. ........................ 1.0 gram
MgS04-7H20 ..................................................0.5 gram
ekstrak yeast...................................................... 1.0 gram
urea ................................................................8.0 gram
air ......................................................................LOIiter
216
(Mucose
Glucosf-6-P
Tnose-3-P«*--------■-- Pentose-5-P
"' I co, ♦
Pyruvate "
Acetyl-CoA
COj C02,"
Glutcmine
^ * .
■ — |

Glutomote|
T . 1 \
L—Ac«tyl-CoA
AOf-IJ ATP
MM, N^CoA
N-Acetylglutamote '
Gambar 5.27. Biosintesa asam glutamat dari sumber karbon glukosa
Enzim; 1, enzim malat; 2, oksaloasetat karboksiiase; 3,
isositrat dehidrogenase; 4, isositrat liase; 5, glutamat
dehidrogenase; dan 6, glutamiine sintetase.
217
8. divaricatum diinokulasikan pada media tersebut dan diinkubasikan
se-lama 16 jam pada suhu 35°C.
b. Untuk Media Fermentasi (Produksi)
glukosa .........................................................121.0 gram
amonium asetat..................................................5.0 gram
molasses (dari sakarifikasi pati...........................6.0 gram
KH2PO4 .......................................................... 1.2 gram
MgS04 ...........................................................6.0 gram
FeS04. 7H2O ................................... ............6.0 ppm
MnS04. H2O ....................................................6.0 ppm
anti buih, Hodas K-67..............................................0.1 ml
air ......................................................................1.0 liter
inokulum...........................................................6% volume
Inokulum yang dibuat pada media inokulum, sebanyak 6%
(volume/volume) diinokulasikan pada media fermentasi. Pada awal
fermentasi ditambahkan 0.65 ml/I asam oleat. pH diatur menjadi 8.5
dengan penambahan ammonia dan kemudaian dipertahankan tetap 7.8
selama fermentasi bertangsung. Setelah 14 jam, saat mulai pertumbuhan
sel, temperatur dinaikkan dari 32-33°C menjadi 39°C. Sesudah
metabolisma, glukosa turun sampai level 0.5-2%, dilakukan penambahan
glukosa sampai fermentasi selesai. Penambahan tersebut sampai kira-kira
160g/l
Aerasi dilakukan sedemikian rupa sehingga buangan gas 35 jam
dengan hasfl berupa asam glutamat sebanyak lebih kurang 100 g/l.
L-Lisin
Galur Untuk Fermentasi Lisin
Produksi asam amino lisin dapat dilakukan dengan fermentasi ganda,
yaitu mula-mula merubah substrat menjadi produk antara dengan
menggunakan sejenis mikroorganisme, kemudian fermentasi dilanjutkan
dengan menggunakan mikroorganisme lain untuk memproduksi produk
akhir, yaitu lisin. Contoh-nya adalah Escherichia coli (ATCC 13002) dan
Aerobacter aeroqenes (ATCC 12409) yang keduanya merupakan mutan
auxotrop. £ coli tersebut dapat memproduksi asam diaminopimelat
(diaminopimeiic acid = DAP) dari sukrosa yang terdapat di dalam media
mollases; dan kemudian A aeroqenes, dengan reaksi dekarboksiiasi,
merubah asam diaminopimelat menjadi L-lisin. Contoh lain adalah strain
Achomobacter abae yang dapat merubah D-a-aminokaprolaktam menjadi
l-aaminokaprolaktam, selanjutnya Cryptococcus laurentii, dengan reaksi
hidrolisis, merubah L-a-aminokaprolaktam menjadi L-lisin.
Asam amino lisin juga dapat diproduksi dengan fermentasi langsung
(fermentasi tunggal), yaitu dengan menggunakan satu strain
mikroorganisme, yaitu
218
Corynebacterium glutamicum, Brevibacterium flavum F1-30, B.
lactaofermentum, Nocardia alkanoglutanosa, Bachillus lichenfformis,
Candida periculosa, Sac-charomyces cerevisiae dan S. lipolytica.
Biosintesis
Asam amino lisin dapat disintesa melalui jalur DAP (diaminopimelic
acid), atau melalui konversi L-aminocaprolactam menjadi asam amino
lisin, seperti yang dapat dilihat pada gambar 5.28 dan 5.29.
Biosintesa melalui jalur DAP, dikerjakan secara berurutan oleh dua
jenis mikroorganisme. Mufa-mula fermentasi media molasses menjadi
DAP oleh E. coii (ATCC 13002), kemudian oleh A aerogenes (ATCC
12409) yang merubah DAP menjadi lisin.
Konversi D-aminokaprolaktam menjadi L-lisin (Gambar 5.30)
berlangsung dua tahap. Pertama rasemisasi aminokaprolaktam dari
bentuk D menjadi L (D-a-aminoprolaktam — > L-aminokaprolaktam) oleh
enzim D-aminokaprolaktam rasemase yang diproduksi oleh
Achromobacterobae. Setelah itu konversi L-a-aminokaprolaktam menjadi
lisin oleh enzim L-aminokaprolaktam hidrdase yang diproduksi oleh
Cryptococcus laurentii.
Biosentesa asam amino lisin oleh Corynebacterium glutamicum atau
Brevibacterium flavum melewati jalur yang berbeda dengan biosintesa
yang telah diterangkan sebeiumnya (fermentasi dengan mikroorganisme
ganda, Gambar 5.28 dan 5.29. Jalur biosintesa melalui fermentasi dengan
mikroorganisme tunggal tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.30. Enzim
kunci pada jalur biosintesa lisin tersebut adalah aspartokinase yang
menentukan ada tidaknya L-lisin, L-threonin dan L-metionin. Enzim
tersebut dapat mengalami inhibisi umpan balik (feedback inhibition) oleh
L-lisin dan L-threonin. Pada konsentrasi 94% aktifitas aspartokinase. Tapi
kalau tidak ada L-threonin, pengurangan aktifitas tersebut hanya 20%.
Untuk memproduksi lisin digunakan mutan auxotrop homoserin (yaitu
mutan yang secara normal tidak dapat menghasilkan homoserin karena
tidak memiliki enzim serin dehidrogenase). Dengan tidak dihasilkannya
homoserin berarti threonin dan senyawa lainnya yang bisa menyebabkan
repressi/inhibisi juga tidak dapat dibentuk (senyawa yang tidak terbentuk
akibat tidak adanya enzim homoserin dehidrogenase, adalah Met, Hse,
Hse-P, Thr dan lieu). Karena homoserin (Hse) atau metinin (Met) dan
threonin diperlukan untuk pertumbuhan, maka senyawa tersebut tetap
perlu ditambahkan seiam fermentasi pada tingkat konsentrasi suboptimal.
/
219
Pada Gambar 5.31 dapat dilihat pengaruh L-threonin terhadap produksi
lisin oleh berbagai mutan telah diteffibangkan.
(II J
Metode Fermentasi \' s
Fermentasi asam amino lisin dapat dilakukan pada media yang
sumber karbonnya sukrosa (misalnya sukrosa pada molasses), asetat,
etanol dan alkana. Sebagai sumber nitogen adalah gas amonia atau
garam amonium, dan urea juga bisa digunakan jikamikroorganismedapat
menghasilkan urease. Ke dalam media juga perlu ditambahkan L-
homoserin atau L-threonin dan L-metionin yang dipeiiukan untuk
pertumbuhan mikroorganisme pda tingkat konsentrasi subop-timal agari
tidak menurunkan produksi lisin Oihat Gambar 5.31). Biasanya sumber
asam amino tersebut (L-hompserin, L-threonin dan L-metionin) dapat
digunakan hidrolisat protein kedelai. Selain dari pada itu fermentasi ini
juga membutuhkan biotin kira-kira 30 kg/I. Kalau bahan baku utama
(sumber karbon) sudah mengan-dung biotin, misalnya molasses,
penambahan biotin tersebut tidak perlu lagi.
Berikut ini akan dikemukan satu contoh fermentasi lisin oleh
Brevibacterium flavum (Homleaky, Thr-). Komposisi medianya adalah
sebagai berikut:
Asam asetat............................................................... 7g
KH2PO4 .............................................................. 0.4 g
FeS04-7H20............................................................0.01 g
Hidrolisat protein kedelai...........................................35 g
Glukosa ..................................................................30 g
Biotin..........................................................................50 g
TiaminHCL .............................................................40 g
Air karan.......................................................................11
Larutan pengatur pH = 7.4 (60 % asam asetat dan amonium asetat
yang perbandingan molarnya 10 :25; dan 3 % glukosa).
Fermentasi dilakukan selama 48 jam pada suhu 33°C. Fermentasi diberi a
dan agitasi. Fermentasi ini menghasilkan 75 gram lisin/liter dan laju ko
sebesar 29 % dari asam asetat dan glukosa yang digunakan.
222
a:
I
K
Gambar

5.31. Pengaruh L-threonin (mg/ml) terhadap produksi lisin


oleh mikroor-
ganisme yang diturunkan dari Brevibacterium flavum No.
2247 pada!
medium basal yang mengandung 100 g/l glukosa dan 2 g/l L-
metionin: H-1013: homoserin auxotrop; S-20: mutan yang
sensitif;
terhadap threonin, metionin; FA 1 -30 FA 3-115: mutan yang
resisterr,
terhadap 2-amino-etil-L-sistein + L-threonin. ^-^
L-triptofan
Asam amino L-triptofan dapat dihasilkan dari konversi secara
fermentasi dan prosen enzimatis. Sedangkan proses fermentasi langsung
pada substrat gula masih terus dikembangkan dan proses fermentasi
langsung yang menguntung-kan secara ekonomis belum ditemukan.
Konversi Fermentatif
Senyawa asam antranilat, indol + serin, asam 3-indolepiruvat dan
asam indolilaktat dapat berfungsi sebagai prekursor untuk pembentukan
asam amino tnptofan pada konversi fermentatif. Pada tabel 5.13
ditunjukkan berbagai mi-kroorganisme untuk konversi tersebut.
223
Proses Fermentasi Secara Langsung
Beberapa jenis bakteri yang berpotensi digunakan untuk
memproduksi asam amino triptofan dengan fermentasi langsung,
diantaranya adalah :
1. Bacillus subtilis ( yang punya karakteristik genetik sebagai berikut:
resisten terhadap 5-fluorotryptophan, arginin atau leusin auxotrop)
2. Brevibacterium flavum A1 3732 (resisten terhadap metyitryptphan,
tyrosine endroxamate, 6-fluorotryptpohan, hydroxamate dan
phenylalainne hydrox-mate; dan phenylalanini dan tyrosin auxotrop).
Jalur biosintesa asam amino triptofan ini dapat dilihat pada Gambar
5.29. Pada Corynebacterium glutanicum, sistem regulasi pada jalur
biosintesa asam amino tersebut dapat dilihat pada
Tabel 5.13. Produksi triptofan dengan proses konversi fermentatif

Mikroorganisme Precursor Banyak Refferens


Hasil precur
(g/l) sor
yang
Hansenula asam antranitat 4.2 5.7
digunakan Crueger dan
anomala Crueger(1984)

Bacillus subtilis asam antranitat 5.0 5.5 Crueger dan


Crueger (1984)
Candidautilis asam antranitat 4.2 6.4 Crueger dan
Crueger (1984)
Claviceps purpu Indole 1.3 1.5 Crueger dan
rium Crueger (1984)
B. Subtilis Indole - 10.4 Crueger dan
Crueger (1984)
Bacillus mega- asam 3-indol- - - Said (1987)
tarium piruvat
224
Mikroorganisme
Precursor Banyak Hasil precur Refferens
(g/l) soryang digunakan
(g/i)
Escherichia coii asam 3-indol- - - Said (198 7)

Aerobacter asam3-indoi- - - Said (1987)


aero-genes piruvat
Escherichia coii indole + DL- 6.0 5.2 Crueger dan
serin Crueger (1984)
Pseudomonas asam indolyl- "■ 7.8 Said (1987)
di-nifricans laktat

Gambar 5.30. Dalam hal biosintesa asam amino triptofan ini, regulasi
yang paling menentukan masalah terhadap enzim DAHP sintetase (deoxy
arabino heptutonic acid synthetase) dan antranilat sintase. Penlalanin,
tirosin dan triptofan dapat menimbulkan inhibisi umpan balik terpusat
(concerted feedback inhibition) terhadap DAHP sintetase sampai 90%.
Disamping itu triptofan juga menunjukkan efek inhibisi dan repressi pada
antraniat sintase.
ENZIM
Selama 20 tahun terakhir ini, pemanfaatan enzim dalam industri
berkem-bang dengan sangat pesat, dan pada saat ini jumlah pasaran
dunia enzim untuk kegiatan industri menurut Catalan NOVO tahun 1984
adalah sebesar 300 - 350 juta dollar Amerika setiap tahunnya. Kemajuan-
kemajuan dalam teknologi fer-mentasi, rekayasa genetika dan teknologi
aplikasi enzim itu sendiri menyebab-kan penggunaan enzim dalam industri
menjadi semakin meluas saja. Kunci kemajuan teknologi enzim ini
sebenamya adalah karena enzim diketahui se-bagai biokatalis yang
sangat efisien dengan akurasi (presisi) yang tinggi, versati dan ekonomis.
Enzim adalah protein yang tersusun oleh untaian asam amino yang
panjang yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan ikatan
peptida. Enzim terdapat dalam semua sel maNuk hidup dan mengetiakan
proses yang vital, mengatur proses metabolisme. Enzim mengatur proses
perombakan nutrisi men-
225

Dalam proses pembuatan mikrokapsul, enzim dalam keadaan tidak


terikat dapat dibungkus oleh membran polimer yang bersifat
semipermiabel. Enzim dalam mikrokapsul belum dipergunakan secara
komersial. Tapi amat menarik penggunaannya dalam bidang analitis dan
klinis.
Proses amobilisasi enzim dalam serat polimer sebenarnya mirip
dengan metoda mikroenkapsulasi. Selulosa triasetat dan derivat selulosa
lainnya adalah bahan polimer yang cocok.
Aplikasi Enzim Terimobilisasi Di Dalam Sel Dalam Industri
Sel secara keseluruhan dengan aktivitas enzimatisnya dapat difiksasi
seperti enzim menggunakan metoda yang serupa. Keuntungan yang
dapat diperdeh adalah, bahwa, pemanenan dan proses purifikasi produk
lebih singkat sehingga biaya yang diperiukan akan jauh lebih murah. Bila
reaksi memeriukan "cofactor". cofactor semacam ini kemungkinan besar
sudah terdapat di dalam sel. Reaksi yang memeriukan koordinasi antar
enzim (sistem multi enzim) dapat dilakukan. Kerugiannya adajah bahwa
reaksi samping mungkin banyak sekali.
VITAMIN :
Vitamin B-12
Vitamin B-12 (5-deoksiadenosil kobalamin) mutlak hams terdapat di
dalam susunan diet hewan tingkat tinggi dan manusia. Hanya beberapa
jenis mirkoor-ganisma saja yang dapat mensintesa vitamin ini, Struktur
(rumus bangun) dari vitamin tersebut dapat dilihat pada Gambar berikut:

Gambar 5.52. Struktur vitamin B-12


269
Galur Penghasil Vitamin B-12
Vitamin B-12 dapat dihasilkan oleh Actinomycetes dan bakteri. Ac-
tinomycetes yang menghasilkan vitamin B-12 atau senyawa yang
mempunyai aktifitas yang mirip dengan vitamin B-12 adalah Nocardia sp,
Streptomyces al-fidoflavus, S. antibioticus, S. aurofaciens, S.
colombiensis, S. griseus, S. olivaseus dan S. roseochromogenus.
Sedangkan bakteri yang dapat menghasilkan vitamin tersebut adalah
Aerobacter aerogenes, Bacillus megatherium, B. subtilis, Clostridium
butyricum, C. cochlearium, C. flabelliflerum, C. tetaromorphum, Es-
cherichia coli Flavobacterium acetylicum, F. arborescens, F. devorans, E.
esteroaromaticum, F. acidificum, F. aguatle, F. devorans, F.
esteroaromaticum, F. flavescens, F. solare, F. suaveolens, Lactobacillus
arabinosus, L carei, Mycobacterium phlei, M. smegmatis, M.
tuberculosum, Propionibacterium freudenreichii, P. shermanii, P. zeae,
Proteus vulgaris, Pseudomonas sp., Serratia marcescens,
Stanphhylococcus aureus dan Streptococcus faecalis.
Potensi masing-masing mikroorganisme tersebut dalam menghasilkan
vitamin B-12 berbeda-beda, seperti dapat di lihat pada Tabel 5.26.
Proses Fermentasi
1. Fermentasi dengan Streptomyces olivaceus NRRL B-1125
Proses fermentasi yang akan diuraikan ini meliputi proses
penanganan kultur, pembuatan starter/inokulum dan fermentasi.
a. Persiapan Kultur
Kultur Streptomyces olivaceus disiapkan di dalam agar miring yang
mengan-dung medium Bennet's agar, yang komposisinya sebagai
berikut :
Ekstrak yaest ................................ ................... 1.0 g
Ekstrakoeef............................................................. 1.0 g
N-Z-Amine A*.......................................................... 2.0 g
Glukosa ............................................................... 10.0 g
Airsuling.......................................................................11
NaOH untuk mengatur pH 7.3 (* hidrolisat enzimatis dari kasein)
270
Tabel 5.26. Jumlah vitamin B-12 yang dapat dihasilkan oleh beberapa
mftroor-ganisma penghasil vitamin B-12
Mikroorganisma HasH (mg/l)
Bacillus megaterium 0.45
Butyribacterium sp. 5
Streptomyceus olivaceus 3.3
Micromonospora sp. 11.5
Klebsiella pneumonia 0.2
propionibacterium freudenreichii 19
Propionibacterium shermanii 23
Pseudomonas denitrificans 60
Agar miring tersebut diinokulasikan dengan spora Streptomyces
olivaceus. Kemudian diinkubasikan 4 sampai 6 hari pada suhu 28°C.
Kultur ini sebelum digunakan untuk pembuatan inokuium selanjutnya
dapat disimpan beberapa minggu pada suhu refrigerator.
b.Pembuatan Inokuium
Komposisi media untuk inokulum/starter adaiah sebagai berikut:
Dekstrosa .............. .....................................0.5 %
Com-steep-liqour solids..... ..........................0.5%
Kobal khlorida (COCI2.6H2O) . ..........................2ppm
Minyak kedelai........................................................0.1 %
(pH diatur menjadi................................................... . 7.0)
Medium tersebut disteriikan pada suhu 121°C selama 15 menit di
dalam autoklaf. Kemudian diinokulasikan dengan suspensi
kulturStrepdomvces olh/acus yang telah disiapkan sebelumnya. Inkubasi
dilakukan pada suhu 28 C, selama 48 jam dengan diberi aerasi dan
agitasi.
c. Fermentasi
Komposisi media untuk fermentasi memproduksi vitamin B-12 ini
sama dengan komposisi media untuk pembuatan inokuium. Selama
sterilisasi, pH periu dipertahankan tidak turun di bawah 7.0 (hal ini
terutama periu pada fermentasi yang menggunakan tanki fermentor yang
terbuat dari logam yang mengandung Cu. Jika pH rendah, maka tembaga
tersebut dapat larut ke dalam media dan menghambat pertumbuhan
mikroorganisma).
271
Fermentasi dilakukan pada suhu 78-82°C, dengan pemberian agitasi
dan aerasi (0.25-0.5 volume/volume/menit). Selama fermentasi medium
dipertahan-kan pada pH 7. Fermentasi ini beriangsung selama 70-90 jam.
Kobalamin (vitamin B-12) yang dihasilkan hampir semuanya terdapat
di dalam sel. Ekstraksi vitamin tersebut dari sel dilakukan dalam cairan
bersuhu 80-120°C pada pH 6.5-8.3 selama 30 menit. Kemudian
kobalamin yang terekstraksi dikonversi menjadi cyanobalamin, salah satu
bentuk vitamin 12 yang lebih stabil. Cairan tersebut seianjutnya
dikeringkan untuk memperoleh padatan yang me-ngandung vitamin B-12.
Diagram yang menggambarkan proses produksi vitamin B-12 dapat
dilihat pada Gambar 5.53.
2. Proses Fermentasi dengan Pseudomonas denitrificans MB 2436
Pseudomonas denitrificans MB 2436 merupakan mikroorganisma
yang paling produktif yang pernah dikembangkan selama 12 tahun,
fermentasi dengan menggunakan mikroorganisma ini dapat dihasilkan
vitamin B-12 sebanyak 60 mg/l.
1. Persiapan Kuftur
Kultur Pseudomonas denitrificans MB 2436 disiapkan di dalam agar
miring yang komposisi medianya sebagai berikut :
Molasses (dari gula beet)........................................60g/l
Ekstrak yeast ..........................................................1 g/l
N-Z-*imine.................................................................1 g/l
(NH4)2HP04 ..........................................................2g/I
MgSC-4.7H20 ........................................................1 g/l
Na2Mo042H20 ................................................ 0.005 g/l
Agar................... .................................................25 g/l
Air kran......................................................................11
(pH diatur menjadi 7.4)
Agar miring yang telah diinokulasikan dengan Pseudomonas
denitrificans diinkubasikan pada suhu 28°C selama 96 jam.
272
MSTH.LERS* SOrSCAM SOVKAM

tCCOTANK

Gambar 5.53. Diagram fermentasi untuk menghasilkan vitamin B-12


2. Persiapan Inokulum/Starter
Media untuk pembuatan inoiuium/starter ini merupakan media cair
yang komposisinya sama dengan media untuk persiapan kultur (tapi tidak
mengandung agar). iSuspensi Pseudomonas denitificans yang diperoieh
dengan pengenceran kultur agar miring yang djjuat
sebelumnyadiinokululasikaMke dalarrt erlenmeyer 1 liter yang berisi 150
ml medium cairtersebutKemudian diinkubasikan pada suhu 28°C selama
72 jam di atas pengaduk (shaker).
273
3. Fermentasi urttuk Menghasilkan Vitamin B-12
Medium untuk fermentasi vitamin B-12 perlu ditambah kobal dan 5,6-
di-metilbenzimidazol yang diperlukan untuk sintesa vitamin B-12.
Disamping itu, penambahan betain (MeNCO(CH2):0(+H2Q) sejenis
alkaloid yang dapat diperoieh dari bit, dapat meningkatkan produksi
vitamin B- 12. Akan tetapi mekanisme kerja betain ini belum diketahui.
Komposis media untuk fermentasi tersebut adalah sebagai berikut:
Molasses (dari gula bit)...................................... 100 g/i
Ekstrak yeasf.............................................................2 g/l
(NH4)2HPO............................................................ 4 5 g/l
MgS04.7H20............................................................. 3 g/l
MnS04.H20 . . ................................ ..................0.2 g/l
Co(N03)2.H2) ................................................. 0.188g/l
5,6-dimetilbenzimidazol...................................... 0.025 g/l
ZnS04-7H20.................... .........0.02 g/l
Na2Mo04.H20.................................................... 0.005 g/l
Air kran (untuk mencukupkan volume menjadi jumlah yang dike
hendaki)
(pH diatur menjadi 7.4)
Medium tersebut, sebanyak 3.31 dimasukan ke dalam fermentor yang
berkapasitas 5 1, disterilisasi seiama 75 menit pada suhu 120°C.
Kemudian ditambah dengan 150 ml inokulum/starter yang telah disiapkan
sebelumnya.
Inkubasi dilakukan pada suhu 29°C, seiama90 jam, dengan diberi
agitasi 420 rpm dan aerasi 1 wm. Hasil yang diperoieh dari fermentasi ini
mencapai 60 mg/I.
Riboflavin
Riboflavin dapat disintesa oleh pertumbuhan dan kebanyakan
mirkoor-ganisme. Akan tetapi hewan tingkat tinggi dan manusia tidak
dapat mensintesanya dan harus memperolehnya dari makanan.
Struktur/rumus bangun dari riboflavin (vitamin B-12 ini dapat dilihat pada
Gambar 5.54)
Strain Penghasil Riboflavin
Riboflavin dapat dihasilkan oleh kebanyakan mikroorganisma, seperti
bakteri, kapang dan ragi (yeast). Beberapa mikroorganisma yang tinggi
produksi vitamin B-12nya adalah seperti berikut : Clostridium
acetobutylicum (hasil 97 mg/I), Mycobacterium smegmatis (58 mg/1),
Mycocandida ruboflavina (200 mg/I),
274
Candida flareri (567 mg/l), Eremothecium askbyii (2480 mg/l) dan Ashbya
gossypii (6420 mg/l) (Cruegerdan Crueger, 1984).
Biosintesa Riboflavin
Biosintesa riboflavin belum diketahui dengan pasti. Akan tetapi
berdasarkan eksperimen pada khamir dan Ashbya gossypii, diperkirakan
jalur biosintesanya adalah yang terlihat pada Gambar 5.55.
Proses Fermentasi
Ashbya gossypii NRRRL Y-1056 merupakan mikroorganisma yang
paling berpotensi untuk menghasilkan vitamin B-2 (riboflavin). Hasil yang
diperoleh bisa lebih dari 7 gram/I, yaitu dengan cara terus
mengembangkan strain, dan mengop-timalkan komposisi zat gizi
penyusun media, kondisi penyiapan inokulum dan kondisi fermentasi.
Fermentasi dapat dilakukan pada medium dasar yang komposisinya
sebagai berikut:
Corn steep liquor ............................................... 2.25%
Pepton (komersial).................................................. 3.5%
Minyak kedelai........................................................4.5 %
Medium tersebut disterilkan dengan hati-hati agar kandungan zat gizinya
tidak rusak/berubah. Jumlah inokulum yang diperlukan 0.75 - 2 %, yaitu
inokulum yang masih dalam fase pertumbuhan aktif dan berumur 24-48
jam. Fermentasi dilakukan selama 7 hari dengan laju aerasi 0.3 wm pada
suhu 28°C. Untuk mengatasi buih yang terbentuk selama proses
fermentasi, digunakan antibuih silikon (ditam-bahkan pada awal
fermentasi) dan kemudian bisa digunakan minyak kedelai (disamping
sebagai antibuih juga dapat dimetabolisma oleh Ashbya gossypii).
Riboflavin yang dihasilkan sebagian diekstraksi ke luar sel (miselium),
yaitu ke dalam cairan media dan sebagian lagi masih terdapat di dalam
sel/miselium. Ekstraksi riboflavin yang terdapat di dalam sel tersebut,
dilakukan dengan memanaskan miselium di dlaam air bersuhu 120°C
selama 1 jam. Setelah ekstraksi, miselium dan sel dipisahkan dan cairan
yang mengandung riboflavin diproses lebih lanjut untuk memperoleh
riboflavin murni.
275
?:xxxx
Gambar. 5.54. Rumus Bangun riboflavin
OH
K-C- -,
M-C-OH
«-c-oii
I
B-C--
tc
JL
T

MTP
CH.O-r-0-P-O-P-OH

C«. Il-C-OH ■—C-OH M-C-OH


Cnjcm
CH. H-C-OH M-C-OH H-C-OH
CH.OH
Gambar 5.55 Jalur biosintesis riboflavin yang diperkirakan terjadi pada
khamir dan Ashbya gossypii
276
/3-Karoten
Beta (/3)-karoten termasuk ke dalam kelompok senyawa karotenoid
yang disintesa oleh tumbuhan dan mikroorganisma. Senyawa karotenoid
yang lain adalah a-karoten, /3-karoten, g-karoten, likopen dan zeaxantin.

Gambar 5.56. Rumus bangun karoten


Beta (/3-)-karoten adalah provitamin A yang diubah menjadi vitamin A
di dalam membran mukasa usus halus, dan selanjutnya disimpan di
dalam hati sebagai ester palmitat.
277
CH3 CH3
H3<\ /H3 | 3 |
fX^*CH^CH>CM*CH-*C*CH-*CH20H CW3 Vltaatn A
(nstlonal)
Gambar 5.57. Rumur bangun vitamin A (retinol)
Walaupun teknologi fermentasi untuk menghasilkan b-karoten sudah
diketahui, namun secara ekonomis proses tersebut sekarang ini belum
mengun-tungkan. Produksi karotenoid yang layak secara ekonomi saat ini
adalah dengan proses sintesa kimia. Walaupun demikian, jika ditemukan
strain yang lebih unggul dan biaya bahan baku untuk produksi secara
kimia terus meningkat, diperkira-kan di masa datang proses fermentasi ini
akan lebih menguntungkan.
Biosintesis
Beta (0) karoten disintesis oleh tumbuhan dan kapang meialui jalur
biosintesa Gambar 5.58. Umumnya mikroorganisma yang memproduksi/?-
karoten adalah kapang dan alga.
Proses Fermentasi
Fermentasi untuk menghasilkaryS-karoten dapat menggunakan
Blakeslea trispora, yang merupakan mikroorganisma yang paling tinggi
produktivitasnya dalam menghasilkan /S-karoten.
Blakeslea trispora terdiri dari dua bentuk seksual, yaitu strain (+) dan
strain (-). Produksi /3-karoten terutama berlangsung selama proses
pembentukan zygospora (dihasilkan dari perkawinan antara hifa dari strain
(+) dan hifa dari strain (-). Karena itu pada proses fermentasi ini kedua
strain tersebut harus terdapat di dalam media. Karena yang menghasilkan
/J-karoten adalah strain (-) maka jumlah strain (-) biasa dibuat lebih
banyak dari strain (+) pada inokulum yang akan digunakan lebih banyak
dari strain (+) pada inokulum yang akan digunakan untuk fermentasi.
Biosintesa /3-karoten bisa diinduksi oleh asam triposfat yang ber-fungsi
sebagai hormon seks yang diperiukan pada proses pembentukan
zigospora. Asam triposfat ini merupakan turunan dari B-karoten. Selain itu,
isonizid (C6H7N03)/isonikotinhidrazin, juga dapat berfungsi sebagai
aktifator pada biosintesa karoten, terutama jika ditambahkan bersama -
ionones (1,2,3,4-tetrahidro-1,1,6-trimetil naphtalen). Produksi/ff-karoten
juga dapat ditingkatkan dengan penambahan minyak tanah (yang teiah
diprffikasi). Diduga, hal itu
278
mungkin karena minyak tanah menginduksi enzim yang terlibat dalam
biosintesa -karoten, atau meningkatkan permeabilitas set sehingga lebih
banyak produk hasl biosintesa dapat diekstraksikan ke luar set dan hal ini
mengurangi efek inhibisi.
A. t: .ceiyRX)**-
Gambar 5.58. Jalur biosintesis karotenoid
Dalam fermentasi /?-karoten, penting sekali menambahkan
antioksi dan untuk mencegah terjadiriya oksidasi pacta/Mcaroten.
Berikut ini diuraikan prosedur untuk memproduksi /f-karoten
melalui fermentasi dengan menggunakan Blakeslea trispora (NRRL
2456 (+) dan NRRL (-)).
Ada dua jenis B. trispora yang digunakan, yaitu B. trisopa NRRL
2456 (+) dan B. trispora NRRL 2457 (-). Kedua strain ini disimpan
dalam bentuk spora di dalam tanah steri. Masing-masing strain induk
tersebut teriebih dahulu dipindah-kan ke agar miring (suhu inkubasi
27°C, selama 168 jam).
1. Pembuatan Inokulum/Starter Tunggal
Dua buah erlenmeyer 2,1 masing-masing diisi dengan medium yang
mengandung:
Corn steep liquor .................................................. 70g/l
Pali Jagung ......................................................... 50 g/l
KH2PO4 ............................................................. 0.5 g/l
MnSG4.................................................................. 0.1 g/l
TiaminHCL ......................................................... 0.01 g/l
Air kran untuk mencukupkan volume 11
Medium pada erienmeyer yang satu dBnokulasikan dengan B. trispora
NRLL 2456 (+) dan yang lainnya dengan B. trispora NRRL 2457 (-).
Inkubasikan dilakukan pada suhu 2<?C, selama 48 Jam dandikocok
(pakai shaker).
2. Pembuatan Inokulum/Starter Campuran
Pembuatan inokulum campuran ini dikerjakan di dalam fermentor 170
i yang berisi sebanyak 1201 medium yang sama untuk pembuatan
inokulum tunggal ditambahkan ke dalam 400 ml masing-masing cairan
inokulum tunggal ditambahkan ke daJam fermentor yang teiah berisi
medium. Kemudian diinkubasi pada suhu 26°C selama 40 jam.
Fermentasi beriangsung dengan diberiagitasi 170 rpm, dan aerasi 1.1
wm.
3. Fermentasi
Fermentasi dlangsungkan di dalam fermentor 800 mi yang berisi 300 I
medium yang mengandung :
Distiller’s soluble.................................................... 70g/l
Pati jagung ........................................................... 60 g/l
Tepung kedelai...................................................... 30 g/l
Anto oksidan.......................................................... 0.35 g/l
MnS04.H20 . ...................................................... 0.2 g/l
Tiamin HCL........................................................... 0.5 g/l
Isoniazid................................................................ 0.5 g/l
Keroses (minyak tanah) 20 ml/l
Air Kran untuk mencukupkan volume 300 l

Anda mungkin juga menyukai