Anda di halaman 1dari 3

SEJARAH PEKABARAN INJIL

Riwayat Singkat masuknya Injil di Tanah Papua


Di sunting dari tulisan : Pdt. Dr. Rainer Scheunemann.

Pada bulan April 1854, Ottow dan Geisler berangkat ke Ternate untuk meminta surat jalan dari Sultan
Tidore untuk ke Mansinam.

Akhir Mei 1854, Ottow dan Geisler tiba di Ternate dan belajar bahasa Papua selama setengah tahun.
Dukungan misi dalam doa dan dana diberikan oleh berbagai kaum ibu di Jerman, Belanda dan Batavia,
tetapi ada juga pengusaha – pengusaha dan pecinta-pecinta misi di berbagai tempat dari berbagai gereja,
sehingga pelayanan Ottow dan Geisler dapat dikatakan bersifat interdenominasi dan internasional. Oleh
gereja resmi di Jerman mereka di tolak dan bahkan dianggap sebagai penyesat.

5 Februari 1855, Ottow dan Giessler tiba dengan kapal “Ternate” di Mansinam. Pada pagi hari jam 6
bersamaan dengan fajar yang merekah dengan indahnya. Saat mereka menginjak Tanah Papua mereka
langsung bertelut dan berdoa dan mengikrarkan : “Di dalam nama Tuhan kami injak tanah ini!” Mereka
kemudian tinggal di sebuah gubuk sederhana di tepi pantai. Awal pelayanan mereka ditandai dengan
kesulitan karena kecurigaan orang Mansinam, tidak adanya kesediaan untuk membantu, sikap acuh, sakit
– penyakit yang terus menerus (malaria, abses-borok, infeksi limpah, radang otak dll). Kondisi demikian
mereka dua terus bertahan bahkan semakin mencintai Tanah Papua dan orangnya walaupun mereka
tidak bersahabat. Kecurigaan orang Papua memang beralasan dengan kebiasaan Sultan Tidore untuk
menuntut pajak yang tinggi dari mereka dan penangkapan dan perdagangan budak sehingga Ottow dan
Geissler dianggap sebagai kaki tangan Sultan Tidore. Baru lambat laun kecurigaan ini mulai hilang. 

11 April 1857, Ottow dan Geissler menyelamatkan 3 pelaut yang karam. Oleh karena kebaikan mereka
pemerintah Belanda mengembalikan ongkos mereka dan bahkan memberikan gaji bulanan kepada Ottow
dan Geissler. Kemudian berulang kali Ottow dan Geissler menyelamatkan dan menolong para pelaut yang
karam dengan membayar uang tebusan dan dengan demikian menjadi contoh praktis sikap belas kasihan
bagi orang Papau pada waktu itu yang biasanya membunuh atau menjadikan tawanannya budak,
sehingga secara perlahan orang Papua menirunya.

Tahun 1858 Ottow dan Geissler, menyerahkan buku kamus dalam bahasa Numfor dengan 1500 kata
kepada komisi Ilmu Pengetahuan Belanda dan tahun 1864 Gaissler menyelesaikan kamus tersebut
dengan 6379 kata. Menurut Geissler pembuatan kamus itu banyak mengorbankan waktu dan uang karena
hamper setiap kata harus dibayar.

Tahun 1860 Ottow dan Geissler membuka sekolah bagi anak – anak dengan anak – anak budak tebusan
mereka sebagai murid mereka yang pertama serta anak – anak perempuan dengan jumlah yang besar.

Tahun 1861 mereka menerbitkan buku nyanyian pertama dalam bahasa Numfor dengan 27 lagu.

23 Februari 1862 Geissler menikah dengan Pauline yang berdarah campuran Perancis-Belanda dan
merupakan anak komisaris Belanda di Ternate.

15 Juli 1862, Ottow dan Geissler mengajar dan membebaskan tawanan yang hendak dijadikan budak oleh
kapal – kapal bajak laut. Hal ini membuat masyarakat Papua semakin mempercayai kebaikan Ottow dan
Geissler.

9 November 1862, Ottow secara mengejutkan meninggal dunia karena penyakit malaria dan dikuburkan di
Kwawi. Ottow meningalkan seorang istri dan 3 orang anak, yaitu : Johannes, Martin dan Elisabeth.

23 Mei 1864, terjadi gempa bumi yang dahyat selama 8 hari di daerah Mansinam dan Manokwari yang
menelan 250 Korban jiwa dan menghancurkan bangunan rumah Giessler yang baru dan sebagian besar
rumah penduduk. Anak Geissler yang lahir seminggu kemudia n meninggal dan rumahnya kecurian.
1 Januari 1865, dilakukan baptisan pertama di Tanah Papua kepada dua orang wanita (Sarah dan Ester)
yang merupakan bekas budak yang ditebus oleh Ottow dan Geissler. Para calon baptisan harus menjawab
50 Pertanyaan. Disini terlihat bahwa Geissler sangat serius menuntut kesungguhan dan tidak mau
memanipulasi orang atau hanya menciptakan orang Kristen formal semata – mata.

1 Januari 1867, gereja pertama di Tanah Papua dengan nama “Pengharapan” (karena pekerjaan Geissler
adalah pekerjaan pengharapan) yang dibangun selama 3 tahun dan mampu memuat 400 orang
diresmikan di Mansinam.

28 Mei 1869,(hari Pentakosta pertama) dilakukan baptisan yang kedua kepada empat orang (Soerohan,
Djoemaat, Remissie dan Melati yang kemudian diberi nama Yohanes, David, Markus dan Sophia)

29 Mei 1869, (hari Pentakosta kedua) dilaksanakan Perjamuan Kudus pertama di Tanah Papua dengan 12
peserta (6 orang Barat dan 6 orang Papua yang telah dibaptiskan)

16 Agustus 1869, Geissler sekeluarga kembali ke Jerman untuk pengobatan Geissler. Perpisahan yang
diberikan oleh orang-orang Mansinam sunggug luar biasa dan mereka sepertinya memiliki firasat tidak
akan dapat bertemu guru mereka lagi. Geissler berdoa dan menyerahkan mereka ke dalam tangan Tuhan
dan masyarakat menyanyikan lagu dalam bahasa Numfor dan mngiringinya dengan perahu-perahu kecil.
Ada 5 tantangan besar yang dihadapi Geissler, yaitu Serangan Iblis, teman-teman dekat atau orang
Kristen lainnya yang melumpuhkan semangatnya, penderitaan kelemahan tubuh, kesendiriannya dan
kekuatirannya akan orang tuanya, istri dan anaknya. Dari empat anak Geissler hanya 1 orang masih
hidup, yaitu : Gustav.

11 Juni 1870 Geissler meninggal karena penyakit TBC dan dikuburkan di Siegen dan diatas kuburnya di
berikan inisial tiga hurus saja : J.G.G dan namanya cenderung dilupakan di Jerman.

Pada tangga 26 Oktober 1996, Batu nisan Geissler di Siegen dipugar dalam suatu acara yang diikuti
perwakilan GKI di Tanah Papua (Pdt. W. Rumsarwir, Pdt. Mambrasar alm, Pdt Abisay dan Pdt Satya alm),
Walikota Siegen, Mitra gereja di Jerman, Pdt. Zoellner dan Pdt. Reuter, cucu Geissler dan teman-teman
Papua yang tinggal di Eropa.

Anda mungkin juga menyukai