Anda di halaman 1dari 25

BAB III

PEMBERDAYAAN KAUM AWAM

DALAM GEREJA KRISTEN INJILI (GKI) DI TANAH PAPUA

MELALUI SEKOLAH ALKITAB MALAM (SAM)

Dalam bagian ini akan dijelaskan tentang tujuan utama dari penelitian yaitu

bagaimana pelaksanaan Sekolah Alkitab Malam (SAM) GKI di Tanah Papua,

sebagai suatu bentuk pemberdayaan kaum awam atau orang dewasa lewat pendidikan

yang diadakan dalam GKI di Tanah Papua. Namun diawali dengan melihat

bagaimana konteks sosial GKI dan permasalahannya.

III. 1. Konteks Sosial Gereja Kristen Injili di Tanah Papua dan Permasalaannya

Gereja Kristen Injili di Tanah Papua disingkat GKI Papua, yang berdiri pada

tanggal 26 Oktober 1956, merupakan gereja terbesar yang ada di Tanah Papua,

dengan wilayah pelayanan yang begitu luas. Hal ini terlihat dalam struktur organisasi

GKI Papua dimana dalam melaksanakan tugas-tugas rutin kehidupan bergereja

dibentuk dan diangkat Badan Pekerja Am Sinode (yang terdiri dari 5 orang), yang

berdomisili di Argapura, Jayapura dan dibantu oleh 10 orang anggota Badan Pekerja

Am Wilayah, dimana wilayah-wilayah pelayanan GKI di Tanah Papua sebagai

berikut82 :

1) Wilayah I, meliputi Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Kerom.

2) Wilayah II, meliputi Kabupaten Sarmi dan Kabupaten Mamberamo.

3) Wilayah III, meliputi Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Supiori.

82
Yoku., Alberth., Membangun dan Menata “RUMAH BESAR” Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua.
(Jayapura : Yayasan Emereuw, 2014)., 50-52

48
4) Wilayah IV meliputi Kabupaten Yapen dan Kabupaten Waropen.

5) Wilayah V, meliputi Kabupaten Paniai.

6) Wilayah VI, meliputi Kabupaten Manokwari, Kabupaten Wondama, dan

Kabupaten Teluk Bintuni.

7) Wilayah VII, meliputi Kabupaten Sorong, Kabupaten Teminabuan, Kabupaten

Meibrat, dan Kabupaten Raja Empat.

8) Wilayah VIII, meliputi Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten

Timika

9) Wilayah IX, meliputi Kabupaten Merauke

10) Wilayah V, meliputi Jayawijaya.

Dengan Wilayah pelayanan GKI di Tanah Papua yang begitu luas yang

meliputi 2 provinsi baik itu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sampai pada

tahun 2013 terdapat 54 Klasis, 12 Bakal Klasis dan 2.054 jemaat. Jumlah Anggota

jemaat 800.000, yang dilayani oleh 944 Pendeta, 278 Guru Jemaat dan 170

Penginjil.83 (dimana tidak semua guru jemaat dan penginjil hasil dari pendidikan

teologi, mereka biasanya diangkat dan diteguhkan karena kesetiaan dalam melayani

Tuhan di jemaatnya sebagai majelis dan tidak ada tenaga pelayan yang bertugas).

Tantangan dan kompleksitas persoalan GKI Papua baik dari segi internal

maupun eksternal semakin bertambah. Lihat saja bagaimana beban pelayanan yang

begitu berat harus dijalani oleh para Pendeta dan Majelis dalam sebuah jemaat.

Jumlah Pendeta yang tidak sebanding dengan jumlah gedung gereja yang ada dan

ketidak sanggupan para Pendeta dan Majelis melayani setiap anggota jemaat, baik

yang di kota maupun yang jauh di kampung-kampung (SDM GKI yang rendah). Hal

83
Yoku., Albert, Arahan Ketua Sinode bagi semua pegawai GKI di Klasis Teluk Bintuni, (Bintuni, 8
Mei 2013).

49
ini semakin diperparah bila melihat begitu banyak warga jemaat atau kaum awam

yang hampir 99 % tidak dapat berbuat apa-apa baik dalam gereja maupun di tempat

kerja dan di lingkungan masyarakat.

Tanah Papua yang kaya dengan sumber daya alam yang melimpah, ternyata

memiliki persoalan-persoalan sosial yang berkaitan dengan hukum, politik, ekonomi

dan lain sebagainya. Persoalan-persoalan mendasar seperti pelanggaran Hak Azasi

Manusia (HAM) dengan kehadiran militer dan indikasi pengingkaran hak hidup

sejahtera, makmur dan pengakuan akan hak-hak dasar masyarakat Papua, yang belum

juga diselesaikan secara adil dan bermartabat84. Bilamana ekspresi ketidak puasan ini

dinyatakan selalu dihadapi dengan menggunakan kekuatan militer secara berlebihan

dari pihak yang berkuasa. Ada juga ketidak adilan dan diskriminasi kepada kaum

perempuan. Maraknya tempat prostitusi, panti pijat, dan tempat hiburan malam,

berdampak pada peningkatan pengidap Hiv Aids, free seks, minuman keras dan

narkoba. Belum lagi transmigrasi spontan, yang melihat adanya peluang bisnis dan

berseragam pegawai negeri di wilayah Papua. Kedatangan penduduk dari daerah lain

yang begitu drastis mengejutkan penduduk asli papua dan warga GKI yang belum

dipersiapkan untuk berkompetisi dalam segala bidang. Dengan sendirinya masyarakat

Papua dan warga GKI hanya menjadi penonton dalam pembangunan. Ekonomi

masyarakat Papua dan warga GKI terus ada dalam kemiskinan. Intensitas rekayasa

sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dari pemerintah puasat. Lihat saja

bagaimana kekayaan alam tanah Papua yang melimpah-limpah diambil untuk

kepentingan pusat dan masyarakat Papua hidup dalam kemiskinan dan kebodohan.

84
Team Gubernur Papua : Pokok-Pokok Yang melatar belakangi Penyusunan Rancangan Undang-
Undang Otonomi Khusus … (Jayapura, Setwilda TK I Irja), 11

50
Disamping itu GKI Papau juga diperhadapkan persoalan antar dedominasi

gereja yang ada. Bermunculan gereja-gereja kharismatik yang begitu cepat

membangun jemaatnya, dengan menarik anggota-anggota GKI dan juga umat

Khatolik. Tindakan ini mengakibatkan terjadinya perselisihan dan permusuhan.

Ternyata GKI di Tanah Papua belum mempunyai strategi yang menyeluruh

dalam upaya memberdayaakan kaum awam atau orang-orang dewasa dalam gereja

yang adalah juga warga masyarakat, di tengah-tengah persoalan yang ada di Tanah

Papua. Meskipun GKI memiliki paham Calvinis dan sistem pemerintahan Gereja

Presbiterial Sinodal (fungsi imamat am orang percaya). Kaum awam dalam GKI di

Tanah Papua seolah-olah ada dalam pembiaran oleh pihak gereja dengan kecerdasan

dan kemampuan sendiri. Padahal kaum awam ini hidup dalam beban persoalan yang

tidak ringan dalam profesinya dengan membawa jati dirinya sebagai seorang Kristen.

Kaum awam gereja sebenarnya membutuhkan pendidikan yang akan

memberdayakan hidupnya. Sehingga mampu untuk melihat sikap dan arah iman

dalam kehidupan yang nyata melalui profesinya. Mereka dapat dibantu untuk

mentaati kehendak Allah dalam tugas panggilannya sebagaai imamat am orang

percaya di dalam tekanan-tekanan dan persoalan-persoalan kehidupan yang setiap saat

menjadi bagian pengalaman.

Dari fenomena kurangnya pemberdayaan kaum awam dalam kehidupan

pelayanan GKI Papua dan ketidak berdayaan dalam menghadapi persoalan-persoalan

konkrit sosial kemasyarakatan di atas. Salah satu upaya yang dilakukan adalah

mendirikan apa yang kemudian dikenal Sekolah Alkitab Malam (SAM) GKI di Tanah

Papua.

Dalam bagian selanjutnya akan dijelaskan tentang SAM dan sejarahnya serta

bagaimana pelaksanaan pemberdayaan kaum awam lewat program ini.

51
III. 2. Sekolah Alkitab Malam (SAM) GKI di Tanah Papua dan Sejarahnya

III.2.1 Dasar Pemikiran Badan Pekerja Am Sinode GKI Terkait

Pembukaan Sekolah Alkitab Malam (SAM).

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa salah satu aspek penting yang yang

mendorong lahirnya SAM GKI di Tanah Papua adalah keterbukaan Badan Pekerja

Am Sinode GKI di Tanah Papua untuk melihat pentingnya program ini. Kemudian

ditindak lanjuti dengan di terbitkan surat Keputusan BP Am Sinode Nomor

333/PERS/16/IX/2000 mensahkan berdirinya SAM GKI di Tanah Papua.

Dalam wawancara, Pdt. Herman Saud, MTh., mantan ketua BP Am Sinode ke

VIII tahun 1996 – 2005, yang mengeluarkan surat keputusan mendirikan SAM GKI

Papua, mengatakan bahwa konsep pemberdayaan kaum awam dipahami dengan

melihat sejarah gereja Jerman yang mana kaum awamnya begitu diberdayakan di

tengah-tengah situasi dan kondisi Jerman waktu itu. Baginya pemberdayaan itu begitu

penting dan harus dibuat oleh GKI meskipun waktu itu tidak semua pendeta memiliki

pemahaman akan pentingnya pemberdayaan kaum awam. Kurangnya pemahaman

sebagian pendeta akan roh Tata Gereja GKI yang sebenarnya dan terlalu menekankan

suatu pemahaman jabatan gerejawi yang sempit. Waktu itu Sinode sungguh melihat

pentingnya kaum awam gereja diberdayakan agar dapat melayani dengan baik di

jemaat dan sebagai orang-orang yang bekerja dapat menunjukan etika serta etos kerja

di tempat tugasnya masing-masing. Akibatnya GKI di Tanah Papua akan menjadi

gereja yang bertumbuh dan missioner. Sebagaimana visi GKI yaitu Teologi Kerajaan

Allah dan misinya adalah menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah.85

85
Wawancara dilakukan pada bulan Oktober – November 2014.

52
III.2.2. Mengenal Sosok Pdt Dr. Rainer Scheunemann dalam Sekolah

Alkitab Malam (SAM) GKI di Tanah Papua.

Pdt. Dr. Rayner Scheunemann dilahirkan di Turen, Kabupaten Malang, Jawa

Timur, pada tanggal 17 Januari 1966. Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah

Umum (SMU) di Malang, kemudian melanjutkan studi di “German Theological

Seminary” di Giessen, Jerman dan meraih gelar M.Div. Studinya kemudian

dilanjutkan di “Evangelical Theological Faculty” di Leuven (Belgia) dan meraih

gelar Doktor (Th.D), dengan disertasi mengenai “Misi dan Penginjilan dari sudut

pandang teolog-teolog Protestan Indonesia, yang diterima pada tahun 1995, dengan

predikat “magna cum laude”.

Sejak tahun 1996 mengajar sebagai dosen di STT “Izaak Samuel Kijne” di

Jayapura, Papua, dalam bidang Biblika, Misiologi, Pertumbuhan Jemaat dan Sejarah

Filsafat Barat. Disamping itu Pdt. Dr. Rayner Scheunemann, juga melayani jemaat-

jemaat sebagai pendeta GKI yang di Tahbiskan oleh Sinode GKI di Tanah Papua.

Pdt. Dr. Rayner Scheunemann, pada tahun 1999 mendirikan Sekolah Alkitab

Malam (SAM) GKI di Tanah Papua (program 1 tahun) bagi majelis dan warga jemaat

di 15 kota di Tanah Papua, yang telah meluluskan 80 angkatan dan 2.320 lulusan.

SAM GKI di dirikan untuk meningkatkan pemahaman Iman Kristiani dan

kemampuan dalam pelayanan di tengah gereja dan masyarakat. Bersama dengan

beberapa pengajar menulis buku-buku seri pembinaan yang dipakai baik dalam SAM

GKI di Tanah Papua dan juga Sekolah-Sekolah Teologi yang ada di Indonesia.

Menikah dengan Heidi Scheunemann, MBA dan dikarunia tiga orang anak : Julia

Kathina, Jan Samuel dan Benjamin Tobias.

53
III.2.3 Latar Belakang Berdirinya SAM GKI di Tanah Papua

SAM GKI di Tanah Papua didirikan pada tanggal 13 September 1999 dengan

diadakannya Ibadah Pembukaan SAM angkatan I Abepura sebagai kelas pilot project

(uji coba) di jemaat GKI “Sion” Padang Bulan – Abepura. Lahirnya SAM GKI di

Tanah Papua berkaitan dengan lima (5) aspek atau faktor yang mendasar yang

berjalan secara hampir serentak dan saling berkaitan serta kemudian mendorong

terwujudnya pendirian SAM GKI di Tanah Papua. Kelima (5) faktor ini akan

dijelaskan secara singkat di bawah ini.86

1) Aspek penting yang pertama yan mendorong lahirnya SAM GKI di Tanah Papua

adalah kerinduan warga jemaat (kaum awam) untuk mendapatkan pemahaman akan

Firman Tuhan yang lebih mendalam dan pembekalan (dilengkapi) dalam pelayanan di

tengah jemaat dan masyarakat yang lebih baik. Dalam hal ini Bapak Drs. John

Heumassy dan Bapak Yoppie Mustamu SH (alm) mewakili kerinduan seluruh warga

jemaat untuk mencetuskan kerinduan ini dengan membentuk dan menyelenggarakan

suatu kelompok pengajaran/pemuridan.

2) Aspek penting yang kedua yang mendorong lahirnya SAM GKI di Tanah Papua

adalah sekelompok pemuridan yang telah berjalan di rumah Pdt Dr. Rainer

Scheunemann selama kurang lebih satu (1) tahun mulai tahun 1998 –1999.

Kelompok pemuridan ini dimotori oleh Bapak Drs. John Heumassy dan Bapak

Yoppie Mustamu SH (alm) yang datang meminta Pdt Dr. Rainer Scheunemann untuk

memberikan dasar-dasar pemahaman iman Kristen dalam bentuk pengajaran, diskusi

dan persekutuan doa dengan pertemuan seminggu sekali. Kelompok ini berkembang

dari sekitar sepuluh orang (10) menjadi sekitar tiga puluh orang (30) peserta. Para

peserta merasakan bahwa pemahaman yang mereka miliki selama ini masih sangat

86
Scheunemann, Rainer., GEREJA DAN MISI (Jayapura : SAM GKI Papua, 2012)., 117-118

54
kurang dan mereka sangat merindukan pengajaran secara berkelanjutan. Langkah

awal dengan kelompok pengajaran ini kemudian dikembangkan dalam bentuk yang

lebih teratur, terarah, terstruktur dan terkoordinir dalam wadah SAM GKI di Tanah

Papua yang kemudian memiliki organisasi dan kurikulum yang terfokus kepada

pemahaman iman Kristen dan pembekalan warga jemaat bagi pelayanan di tengah

jemaat dan masyarakat.

3)Aspek penting ketiga yang mendorong lahirnya SAM GKI di Tanah Papua adalah

pengalaman pelayanan, pengajaran dan pembinaan majelis jemaat dari Pdt. Dr. Rainer

Scheunemann, mengamati adanya kekurangan yang cukup besar di dalam GKI di

Tanah Papua (Irian Jaya) dari tahun 1955-1999. Secara khusus Pdt.Dr.Rainer

Scheunemann mengamati adanya kekurangan yang cukup besar di dalam GKI di

Tanah Papua dalam bidang pengajaran dan pembekalan para majelis, unsur dan warga

jemaat. Seringkali majelis jemaat hanya disiapkan dalam beberapa kali pertemuan

saja dan kemudian ditugaskan dan diberikan tanggungjawab melayani dalam jemaat

selama 5 tahun tanpa bekal pemahaman dan kemampuan praktis yang memadai.

Berdasarkan pengamatan inilah Pdt.Dr.Rainer Scheunemann kemudian mengarahkan

segala pemikirannya bersama dengan Bpk.Drs.John Heumassy dan Bpk.Yapie

Mustamu SH (alm.) untuk menciptakan dan mengembangkan suatu pola pembinaan

yang bersifat berkualitas, efektif, murah dan berdampak luas. Tuhan menanamkan

suatu Visi yang kuat dalam hati mereka untuk ikut berkarya menciptakan warga

jemaat yang dewasa dalam iman, mandiri dan missioner. Selain itu juga visi warga

jemaat yang mengenal dan menggunakan karunia yang telah diberikan Tuhan kepada

mereka secara bertanggungjawab di dalam pelayanan ditengah jemmaat dan

masyarakat.

55
4).Aspek penting keempat yang mendorong lahirnya SAM GKI di Tanah Papua

adalah pergumulan pribadi Pdt.Dr.Rainer Scheunemann yang berdoa meminta Tuhan

untuk menunjukkan kepadanya pelayanan apa yang harus dilakukan secara Khusus di

Tanah Papua yang sesuai dengan karunia yang Tuhan telah berikan kepadanya dan

yang sesuai juga dengan kebutuhan jemaat. Tuhan kemudian memberikan suatu

jawaban dan kepastian dalam diri Pdt Dr. Rainer Scheunemann untuk memfokuskan

pelayanannya untuk menyiapakan, membekali,dan memampukan warga jemaat dalam

pemahaman Firman Tuhan dan pelayanan secara praktis di tengah jemaat. Selain itu

juga untuk membagikan visi pengajaran yang melanda Tanah Papua ini kepada para

pendeta, guru jemaat dan penginjil, serta merekrut para pengajar yang telah diberikan

karunia oleh Tuhan untuk menjalankan tugas pengajaran ini. Hal itu harus menjadi

nyata di tengah-tengah jemaat demi pertumbuhan jemaat dan perluasan kerajaan Allah

di Tanah Papua.

5)Aspek penting yang kelima yang mendorong lahirnya SAM GKI di Tanah Papua

adalah keterbukaan BP Am Sinode Di Tanah Papua untuk melihat pentingnya

program ini dan kemudian dengan surat Keputusan BP Am Sinode Nomor

333/PERS/16/IX/2000 mensahkan berdirinya SAM GKI di Tanah Papua.

Keterbukaan dan keputusan BP Am Sinode yang melihat jauh ke depan akan

kebutuhan pembekalan majelis dan warga jemaat untuk pertumbuhan jemaat secara

keseluruhan ini sungguh merupakan suatu waktu Tuhan yang khusus (“Kairos”). Hal

ini dapat dikatakan , karena adanya sikap kontra sebagian pendeta yang tidak

memahami tugas pembinaan dan konsep “persekutuan pelayanan” yang diamanatkan

oleh Perjanjian Baru, tetapi lebih “menakuti” adanya “persaingan” yang dikatakan

akan terjadi, apabila warga jemaat diberikan pendidikan yang bermutu serta

kurangnya pemahaman sebagian pendeta akan roh Tata Gereja GKI yang sebenarnya

56
dan terlalu menekankan suatu pemahaman jabatan gerejawi yang sempit. BP Am

Sinode kemudian secara bijaksana memahami, bahwa warga jemaat harus semakin

mampu dan sejalan dengan itu para pelayaan juga harus meningkatkan kualitas

pemahaman dan pelayanannya. Dipahami pula bahwa jemaat hanya akan berkembang

apabila warga jemaat menjadi mampu dan mandiri. Selain itu seharusnya segala jenis

kepentingan kekuasaan pribadi dalam jemaat harus dihilangkan. Sebaliknya perluasan

serta mutu pelayanan GKI di Tanah Papua secara keseluruhan haruslah menjadi fokus

perhatian.

Pada awal berdirinya SAM GKI di Tanah Papua, tujuan yang ditekankan

adalah bagaimana warga jemaat dewasa yang adalah para majelis jemaat ini mendapat

pengajaran dan pembinaan untuk semakin memahami Firman Tuhan secara dalam

guna pembekalan (dilengkapi) dalam pelayanan di tengah jemaat dan masyarakat

yang lebih baik. Bagaimana seorang majelis belajar dan mendapat pemahaman

Firman agar dapat melayani.Hal ini dibuktikan pada waktu itu begitu banyak majelis

yang mendaftar dan mengikutinya kelas SAM di wilayah Abepura, dan kelas-kelas

berikut yang di buka kembali.

III.2.4. Perkembangan SAM GKI di Tanah Papua

Perkembangan SAM GKI di Tanah Papua dapat dikatakan adalah perlahan

tapi pasti. Kelas pertama yang diadakan di SMP YPK Hedam, Padang Bulan,

Abepura sebagai “pilot project” adalah berdasarkan ijin bapak guru Fouw, para

pengajar pertama adalah Pdt Hosea Wally MTh, Dr Hetharia, MTh, M.Hum,

Ingeborg Kusch, M.Ed, Pdt Dr. Rainer Scheunemann. Saat itu pengurus sekaligus

sebagai siswa (bapak Drs John Heumassy, bapak Yapie Mustamu dan ibu Erari).

Sedangkan bahan waktu itu masih berupa lembaran foto copi dengan papan tulis

57
sederhana, tetapi dengan semangat tinggi dan bercirikan banyak diskusi dan Tanya

jawab. Hal ini dilakukan sesuai dengan motto : berdiskusi panas tentang GKI tetapi

mencintai GKI dengan panas pula; bukan sekedar kritik, tetapi membangun karena

mengasihi dan ingin memajukan GKI dengan mencari solusi yang realistis. Latar

belakang para siswapun beragam dari sarjana sampai ibu rumah tangga yang lulus SD

atau SMP tetapi dengan semangat mereka kemudian berkembang maju87.

Sampai dengan bulan November 2014, SAM GKI telah menyelesaikan 80

angkatan di 15 kota dengan 2.320 lulusan. Saat ini ada 7 kelas yang sedang

berlangsung (data yang diberikan oleh Badan Pengurus Pusat SAM).88

Dalam suatu penelitian angket menjadi nyata bahwa para lulusan SAM GKI

sangat mensyukuri pembinaan yang dapat mereka peroleh lewat SAM GKI dan

mayoritas besar dari mereka terlibat aktif dalam pelayanan di berbagai jemaat dan

berbagai bidang.

Hal inilah yang sejalan dengan pemikiran Abineno dalam bukunya Pokok-

Pokok Penting dari Iman Kristen di halaman 189 – 199 dimana Gereja haruslah

difungsikan secara maksimal dimana kehadirannya sebagai suatu persekutuan umat

Allah di dunia untuk melayani.

III.2.5. Kendala-Kendala Yang Dihadapi SAM GKI di Tanah Papua

Ketika mewancarai Pdt Dr. Rainer Scheunemann, mengenai kendala-kendala

yang ditemui dalam 15 tahun perjalanan SAM GKI di Tanah Papua89. Belia

mengatakan dalam perkembangan SAM GKI di Tanah Papua tidak luput dari

kendala-kendala yang ada, antara lain :

1). Kendala pertama berhubungan dengan kurang respek dan belum adanya
87
Scheunemann, Rainer., GEREJA DAN MISI (Jayapura : SAM GKI Papua, 2012)., 122-123
88
Data diambil saat penelitian lapangan pada bulan Oktober – November 2014
89
Wawancara dengan nara sumber dilakukan pada bulan Oktober – November 2014

58
dukungan yang sepenuhnya dari kaum rohaniawan dalam program SAM.

Dalam penelitian lapangan ditemukan bahwa yang menyebabkan kaum

rahoniawan tidak respek dan mendukung program SAM, oleh karena mereka belum

memahami sistem pemerintahan gereja yang menganut sistem Presbiterial Sinodal

dan memahami Tata Gereja, yang memberi tempat utama kepada kaum awam untuk

berperan dalam tugas dan tanggung jawabnya sebagi seorang percaya. Hal ini

membuat mereka diliputi ketakutan dan kecemburuan terhadap kaum awam yang

telah diperlengkapi dan siap menjadi SDA GKI yang siap dipakai baik dalam gereja,

di tempat kerja dan dalam masyarakat. Suatu ketakutan dan kecemburuan yang

sebenarnya tidak beralasan, dan tidak bisa dipertanggung jawabkan.

2) Terbatasnya tenaga pengajar yang berkualitas dan berkompeten dalam bidang

pengajaran dan memahami tentang pendidikan bagi orang dewasa.

Bidang pengajaran SAM di Tanah Papua sungguh menyadari kendala ini,

karena memang tidak semua pengajar yang dilibatkan mememenuhi kualifikasi dan

berkompeten. Para pengajar dari pusat di jayapura tidak menjadi masalah, namun bagi

para pengajar lokal di daerah, masih sangat terbatas kemampuannya. Para pendeta

yang terbatas ini terkadang oleh Badan Pekerja Klasis di mana program SAM

dijalankan, diminta untuk harus juga dilibatkan dalam mengajar.

3) Beraneka ragam latar belakang peserta SAM berdampak pada kemampuan

mereka dalam mengikuti program SAM.

Dalam penerimaan peserta untuk program SAM dibatasi kepada peserta yang

lulus SMA ke atas, namun oleh karena kerinduan kaum awam atau orang-orang

dewasa yang hanya lulusan SMP, dan ada juga yang SD untuk belajar maka Badan

Pengurus SAM membolehkan mereka ini menjadi peserta. Latar belakang ini

menyebabkan tingkat pemahaman peserta juga berbeda-beda dan berpengaruh dalam

59
proses pembelajaran di kelas. Bila pengajar yang berkualitas tidak ada masalah namun

bagi pengajar lokal sebagai mana diungkapkan salah seorang peserta, Pdt A, belum

dapat mengajar sebab dia tidak memahami kami sebagai peserta dengan baik. Masa

dia hanya membaca buku pelajaran dan tidak memberi kesempatan kepada kami

untuk bertanya dan berdiskusi.90

4) Kendala yang juga dialami adalah masalah waktu belajar yang terbatas.

Terkadang dalam proses pembelajaran di kelas, peserta masih rindu untuk

belajar dan berdiskusi namun oleh karena waktu yang terbatas, maka biasanya ada

beberapa peserta yang tidak dapat mengungkapkan apa yang sedang dia gumuli dalam

kelas. Bilamana pengajar berdiskusi untuk menambah waktu lagi, peserta tidak

bersedia karena kesibukan lain yang telah menanti.

III.2.6. Motto dan Tujuan SAM GKI di Tanah Papua91

III.2.6.1 Motto SAM GKI di Tanah Papua

Landasan bagi motto SAM GKI di Tanah Papua adalah fakta kesaksian

Perjanjian Baru yang dengan jelas memberikan pengertian, bahwa jemaat merupakan

suatu “Persekutuan Pelayanan”, dimana warga jemaat secara keseluruhan

diamanatkan untuk terlibat dalam pelayanan sesuai dengan masing-masing karunia

yang telah Tuhan berikan. Pelaksanaan pelayanan ini dimengerti pula dalam

Perjanjian Baru sebagai berjalan dalam suatu kesatuan tim (dengan saling

menghormati antara satu karunia dengan karunia yang lain) dan bukan secara sendiri-

sendiri dan secara teratur dan terarah dengan adanya kepemimpinan dalam jemaat

yang mengatur dan mengkoordinir pelayanan, tetapi bukan memonopoli pelayanan.

Hanya dengan memahami dan melaksanakan “Persekutuan Pelayanan” inilah jemaat


90
Nara sumber adalah bpk Drs F. Awak, MM, peserta SAM Bintuni yang bekerja sebagai PNS (As I,
Bupati)
91
Op.Cit., p. 119-120

60
bersifat setia kepada Firman Tuhan, dapat melayani secara efektif dan dapat memiliki

pengaruh pelayanan yang luas di tengah masyarakat di mana jemaat itu berada.

Perjanjian Baru dengan tegas mengaris bawahi bahwa status orang percaya adalah

sama, akan tetapi fungsi dan jabatan dapatlah berbeda-beda. Motto SAM GKI

terambil dari I Petrus 2 : 9 dan II Timotius 4 : 2.

Selain itu Tata Gereja GKI di Tanah Papua dalam pasal 12 dengan jelas dan

tegas mengamanatkan pelayanan kepada seluruh warga jemaat. Baru di pasal 13

kemudian dijelaskan mengenai fungsi kemajelisan dalam mengatur atau

mengkoordinir pelayanan dan bukan dalam pengertian memonopoli peleyanan.

Disamping itu perlu ditekankan bahwa hasil penelitian pertumbuhan jemaat sedunia

menunjukkan bahwa keterlibatan warga jemaat yang aktif merupakan faktor utama

yang membawa pertumbuhan jemaat. Dengan demikian keaktifan seluruh warga

jemaat merupakan hal yang membedakan jemaat yang bertumbuh dan yang tidak

bertumbuh. Jelaslah bahwa pemberdayaan dan pengikutsertaan warga jemaat dalam

pelayanan adalah hal yang mutlak harus dilakukan oleh sebuah gereja yang missioner.

III.2.6.2. Tujuan Sekolah Alkitab Malam (SAM) GKI di Tanah

Terbentuknya SAM GKI di Tanah Papua merupakan konsekuensi logis dari

Tripanggilan gereja yaitu marturia (kesaksian); koinonia (pesekutuan) dan diakonia

(pelayanan kasih). Terlebih apabila menyimak lima (5) fungsi pelayanan gereja

seperti yang disebutkan dibawah ini :

1) Marturia (Kesaksian)

a) Kelahiran : Pelayanan Pekabaran Injil

b) Mendewasakan : Pelayanan Pengajaran

2) Koinonia (Persekutuan)

61
c) Mengisi Kehidupan : Pelayanan Ibadah

3) Diakonia (Pelayanan Kasih)

d) Pemecahan Masalah Rohani : Pelayanan Pastoral

e) Pemecahan Masalah Jasmani : Pelayanan Sosial

Dengan demikian jelaslah bahwa kehadiran SAM GKI turut menolong

terwujudnya pelayanan pengajaran dalam gereja. Tujuan SAM GKI di Tanah Papua

adalah memberikan bekal tentang landasan pemahaman teologis dan kehidupan iman

Kristiani yang memadai dan praktis kepada kaum awam, untuk dibentuk menjadi

SDM Awam GKI yang “siap pakai” sesuai dengan karunia masing-masing dalam

membantu pelaksanaan tugas para pendeta dalam pelayanan di dalam jemaat dan di

tengah kehidupan masyarakat. SAM GKI merupakan wadah pendidikan dan

pembinaan jemaat yang bersifat informal. Meskipun SAM GKI memberikan

penekanan yang sangat kuat terhadapa kualitas bahan, para pengajar dan proses

belajar, akan tetapi lulusan SAM GKI yang diberikan ijazah yang bersifat informal,

tidak memiliki hak apapun untuk suatu jabatan formal apapun dalam gereja.

Tujuan SAM GKI bukanlah menciptakan pendeta-pendeta kecil, tetapi

menciptakan majelis-majelis dan warga jemaat yang besar, dalam pengertian mampu

dalam pemahaman dan melaksanakan pelayanan secara berkualitas dalam jemaat dan

di tengah masyarakat. Para lulusan SAM GKI diutus kembali ke dalam jemaat asal

masing-masing. Dengan demikian SAM GKI tidak membentuk suatu kelompok

khusus ikatan tersendiri, tetapi sebagai lembaga yang hanya melengkapi majelis dan

warga jemaat untuk pelayanan di jemaat asal masing-masing warga jemaat.

Sinode GKI di Tanah Papua, melalui Badan Pengurus Pusat SAM telah

berupaya melakukan pemberdayaan kaum awam lewat program SAM yang telah

62
berlangsung selama 15 tahun. Ada banyak hal yang telah dilaksanakan dan menjadi

berkat tidak hanya kaum awam gereja, para pengajar, badan pengurus, dan Sinode.

Namun demikian ada hal-hal yang perlu dikritisi dalam perspektif andragogi. Ini

dilakukan untuk melihat apakah tujuan dari berdirinya SAM GKI di Tanah Papua

sudah tercapai atau belum.

III.2.7. Pelaksanaan SAM GKI di Tanah Papua

III.2.7.1 Penentuan Kurikulum SAM GKI di Tanah Papua.

Pelaksanaan program pemberdayaan kaum awam melalui SAM GKI yang

durasi waktunya 1 tahun setiap angkatannya menggunakan kurikulum dan bahan-

bahan pelajaran yang telah disiapkan oleh Badan Pengurus Pusat SAM GKI di

Jayapura.

Dalam penelitian lapangan dan studi kepustakan terlihat adanya peran penting

dari Pdt Rainer Scheunemann, selaku penanggungjawab bidang pengajaran SAM

dalam penyusunan kurikulum SAM. Dalam wawancara Pdt Dr. Rainer

Scheunemann mengatakan yang menjadi pedoman utama dalam menyusun

kurikulum pengajaran SAM adalah apa yang menjadi kebutuhan peserta dan juga apa

yang ditentukan oleh Badan Pengurus Pusat SAM GKI di Tanah Papua.

Berbicara tentang kebutuhan peserta dalam hal ini Bapak Drs. John Heumassy

dan Bapak Yoppie Mustamu SH (alm) mewakili kerinduan seluruh warga jemaat

untuk mencetuskan kerinduan ini kepada Pdt Dr. Rainer Scheunemann bahwa

pemahaman yang mereka miliki selama ini masih sangat kurang dan mereka sangat

merindukan pengajaran secara berkelanjutan. Selanjutnya Pdt Dr. Rainer

Scheunemann mengatakan ada juga peserta (warga jemaat) yang katakan mereka

maunya yang pertama-tama yang praktis. Misalnya bisa langsung memimpin

63
khotbah, pastoral umum, pastoral khusus, dapat melakukan penginjilan dan lain

sebagainya. Apa yang menjadi kebutuhan peserta didengar. Namun pada sisi yang

lain ada hal-hal yang belum dipahami peserta berkaitan dengan kurangnya pengajaran

dalam gereja GKI di Tanah Papua, yang searah dengan pendapat Pdt Herman Saud

MTh (mantan ketua Sinode ke VII) ketika diwawancarai. Hal inilah yang

menyebabkan peserta tidak mempunyai pemahaman yang memadai. Ibaratnya seperti

mempunya truk tetapi tidak mengetahui muatannya apa. Jadi isi muatan sangat

diperlukan peserta harus diberikan sekalipun mereka belum menyadari pada awalnya

namun pada akhirnya peserta sadar bahwa hal itu begitu penting. Ini dikatakan dalam

konteks GKI di Tanah Papua yang memang lemah dalam pengajaran.

Sedangkan peran dari badan pengurus pusat SAM dalam menyusun

kurikulum, berkaitan dengan pengalaman pelayanan, pengajaran dan pembinaan

majelis jemaat dari Pdt. Dr. Rainer Scheunemann yang mengamati adanya

kekurangan yang cukup besar di dalam GKI di Tanah Papua (Irian Jaya) dari tahun

1955-1999. Adanya kekurangan yang cukup besar di dalam GKI di Tanah Papua

dalam bidang pengajaran dan pembekalan para majelis, unsur dan warga jemaat.

Di samping itu ada juga pergumulan pribadi Pdt.Dr.Rainer Scheunemann yang

berdoa meminta Tuhan untuk menunjukkan kepadanya pelayanan apa yang harus

dilakukan secara Khusus di Tanah Papua yang sesuai dengan karunia yang Tuhan

telah berikan kepadanya dan yang sesuai juga dengan kebutuhan jemaat. Tuhan

kemudian memberikan suatu jawaban dan kepastian dalam diri Pdt Dr.Rainer

Scheunemannn untuk memfokuskan pelayanannya untuk menyiapakan, membekali,

dan memampukan warga jemaat dalam pemahaman Firman Tuhan dan pelayanan

secara praktis di tengah jemaat. Selain itu juga untuk membagikan visi pengajaran

yang melanda Tanah Papua ini kepada para pendeta, guru jemaat dan penginjil, serta

64
merekrut para pengajar yang telah diberikan karunia oleh Tuhan untuk menjalankan

tugas pengajaran ini.

Dari sinilah kemudian Pdt. Dr.Rainer Scheunemann menyusun kurikulum

yang lebih mengarah kepada bagaimana membangun pemahaman yang menyeluruh

(holistik) yang nampak dalam 15 mata pelajaran sehingga peserta mengerti dan

memahami ada banyak bidang dan jenis pelayanan bukan sepotong-potong. Bila

pemahaman tidak lengkap akan berakibat peserta ada dalam bahaya, dalam arti bisa

menjadi ekstrim. Bilamana peserta memahami secara menyeluruh itu berarti akan

semakin matang dan akan bertindak lebih hati-hati` dan bisa menghargai orang

dengan karunia yang berbeda. Pada akhirnya apa yang menjadi tujuan dari SAM akan

tercapai. Intinya dalam kurikulum hal-hal utama secara holistik tercaver dalam

seluruh pelajaran. Dimana ada yang datang dari peserta dan ada yang datang dari

badan pengurus pusat SAM. Faktanya semua lulusan SAM mengatakan bahwa selama

ini mereka hanya dapat kulit dan bukan isi. Setelah mengikuti SAM baru tahu isinya.

Hal ini banyak dikatakan mereka yang sudah lama jadi majelis kepada pengurus dan

para pengajar SAM.92

Hal berikut yang perlu diketahui adalah apa yang diajarkan dalam kurikulum

SAM GKI di Tanah Papua ini hanya dasar yang masih harus di bangun yang lebih

spesifik lagi di atasnya. Jadi SAM adalah program dasar yang kemudian perlu

dilengkapi dengan keahlian pelayanan khusus sesuai dengan karunia dalam kursus-

kursus pembinaan lanjutan. Contoh peserta yang rindu menjadi guru sekolah minggu

dapat mengikuti SAM setelah lulus harus meningkatkan diri secara spesifik lewat

kursus sekolah minggu, begitu juga dengan bidang yang lainnya.

92
Hasil wawancara dengan Badan Pengurus Pusat SAM, dan beberapa pengajar di Bintuni (Pdt
P.Solisa; Pdt F. Tulus dan Ibu Pdt) dan Jayapura (Pdt Alex Siahaan; Pdt Caroll Huwae; Pdt G.Sodanding; Pdt F.
Fouw; Pdt Rainer S) bulan Oktober - November 2014.

65
Itulah sebabnya dalam kurikulum SAM ada 15 mata pelajaran yang diberikan.

Kualitas bahan merupakan prioritas SAM GKI. Oleh karena itu sejak tahun 2003 telah

diterbitkan sebanyak dua belas (12) buku pegangan dengan judul-judul :

1) Pengantar Perjanjian Lama (Dr Rainer Scheunemann)

2) Sepuluh Tema Utama Perjanjian Lama (Traugott Boeker & Dr

Rainer Scheunemann)

3) Pengantar Perjanjian Baru (Dr Rainer Scheunemann)

4) Rangkuman Tema-Tema Perjanjian Baru (Dr Rainer

Scheunemann)

5) Pokok – Pokok Iman Kristiani (Dr Sostenes Sumihe)

6) Metode Pelayanan Pastoral Konseling (Carol Huwae & Dr Rainer

Scheunemann)

7) Menuju Jemaat Yang Misioner (Dr Rainer Scheunemann)

8) Misi dan Penginjilan (Carol Huwae & Dr Rainer Scheunemann)

9) Dasar-dasar Penafsiran, Penataan Isi Alkitab dalam Khotbah dan

Renungan (Hosea Wally)

10) Metode Penelaahan Alkitab Secara Praktis (Ingeborg Kusch,

Sientje Loupatty, Dr.Rainer Scheunemann)

11) Bebas Dari Kuasa Kegelapan (Detmar Scheunemann dan Dr.Rainer

Scheunemann)

12) Panduan Lengkap Penafsiran Alkitab (Dr. Rainer Scheunemann)

Dalam kurikulum pengajaran SAM terdapat 15 mata pelajaran yang masing-

masing diajarkan dengan pola 5 x 3 jam pelajaran dan 1 kali ujian. Dengan demikian

66
jumlah total adalah 270 jam pelajaran. Jangka waktu satu angkatan biasanya adalah

selama 1 tahun dengan 2 kali pertemuan @ 3 jam dalam satu minggu.

Bilamana berdasar pada andragogi atau bagaimana menolong orang dewasa

belajar. Yang terpenting adalah bagaimana partisipasi atau keterlibatan orang dewasa

dalam penyusunan kurikulum dan seterusnya. Terlihat Pdt. Dr. Rainer Scheunemann

begitu berperan. Memang betul orang dewasa di dengar kebutuhannya namun tidak

terlibat dalam langsung dalam penyusunan kurikulum, menetapkan tujuan,

mengumpulkan bahan, menentukan metode dan evaluasi.

III.2.7.2 Pengajar dan Metode SAM GKI di Tanah Papua

Tenaga pengajar atau pendidik yang dilibatkan dalam proses pembelajaran

SAM GKI di Tanah Papua, menurut Badan Pengurus Pusat SAM, yang berada di

Jayapura, terdiri dari para pengajar dari pusat (maksudnya dari Jayapura) dan para

pengajar lokal yang ada di daerah-daerah. Latar belakang pengajar ada yang dari STT

“Izaak Samuel Kijne” dan para pendeta di jemaat. Dikatakan untuk pengajar dari

pusat perekrutan biasanya dengan melihat kualifikasi dan kompetensi dari pengajar

dalam bidang yang dikuasai, punya karunia mengajar dan memiliki hati yang penuh

kasih. Sedangkan para pengajar SAM di daerah-daerah direkrut dan dilibatkan

sebagai pengajar di SAM, dengan melihat bagaimana pengajar yang bersangkutan

dalam menyampaikan khotbah dan juga memiliki hati untuk warga jemaatnya serta

memiliki karunia mengajar.

Menurut Pdt Dr. Rainer Scheunemann, yang menangani bidang pengajaran

dalam Badan Pengurus Pusat SAM, untuk para pengajar lokal sering kali masih harus

diberikan penjelasan tentang materi dan lain sebagainya. Para pengajar dari pusat,

sudah biasa mengajar namun para pengajar dari daerah-daerah belum terbiasa

67
mengajar namun tetap dilibatkan. Hal itu dikerenakan, Badan Pengurus Pusat SAM

hendak mendorong dan melengkapi para pendeta agar dapat juga mengajar atau

memahami betapa pentingnya pengajaran dalam gereja. Badan pengurus pusat SAM

belum memiliki team atau staf khusus untuk mengembangkan tenaga-tenaga pengajar

yang dilibatkan cukup besar 70 orang dan bersifat honorer. Selama SAM berjalan

15 tahun para pengajar diberikan out line atau bahan untuk kelas dewasa, sehingga

pengajar yang cakap dan berkarunia serta punya hati pasti dapat mengajar. Hal ini

diungkapkan oleh Pdt Caroll Huwae dan Pdt Grace Sodanding sebagai pengajar SAM

bidang pastoral ocultisme yang begitu tertantang ketika melihat peserta begitu haus

dan aktif dalam kelas diskusi serta pada akhirnya peserta minta pelayanan khusus93.

Sedangkan Metode yang dipakai dalam proses pembelajaran menurut peserta

yang diwawancarai94 berjalan dalam dua arah dimana ada saatnya pengajar

menjelaskan dulu bagian-bagian yang belum dipahami baru kemudian terjadi diskusi.

Setiap peserta diberikan kesempatan untuk berdiskusi untuk memecahkan masalah

atau pertanyaan yang ada.

Menurut Pdt Dr. Rainer Scheunemann hal ini juga bergantung dengan

pengajar yang ada dan materi yang diberikan serta karakter dari peserta. Maksudnya

di SAM seorang pengajar yang dilibatkan adalah yang sungguh-sungguh dan yang

dapat mengajar. Ini yang penting dimana mempunyai pengajar yang tepat baru

metode akan diterapkan dengan baik. Dengan keadaan GKI di Tanah Papua maka

menurut Pdt Dr. Rayner Scheunemann harus ada juga sedikit kebebasan untuk

pengajar kembangkan dirinya dalam mengajar. Intinya bagaimana seorang pengajar

memberikan pemahaman, dengan mengolah bahan yang ada untuk siap diterima

dengan mudah melalui metode yang tepat.


93
Wawancara dengan nara sumber, pada bulan Oktober- November 2014
94
Wawancara Ibu Pnt Griapon, Pnt Awak, Pnt Matias Mansumbauw, Pnt Rume, Pnt Mapipi, Bpk/IbuTandi, Sdr
Debora, bulan Okt – Nov 2014

68
Dalam wawancara kepada para lulusan SAM diakui bahwa memang waktu

yang ada begitu terbatas namun dengan metode diskusi yang ada, mereka dapat

belajar dari pengalaman peserta yang lain dan semakin dilengkapi. 95 Bilamana

pengajar SAM yang memiliki karunia mengajar dan hati yang mengasihi peserta

maka biasanya peserta puas dan diberkati namun bisa terjadi sebaliknya. Dalam

evaluasi akhir setiap pelajaran yang diberikan kedua hal itu terjadi.

Proses pembelajaran dalam kelas dibagi dalam 2 sesi dimana masing-masing

sesi waktunya 1,5 jam diselingi dengan waktu istirahat 15 menit. Pada sesi pertama

biasanya para pengajar menjelaskan dulu bagian-bagian yang dirasa penting dan

berguna bagi peserta. Pada sesi kedua, pengajar memberikan waktu dan kesempatan

untuk peserta bertanya disinilah biasanya terjadi diskusi yang panjang. Memang

diakui suasana pembelajaran di kelas masih tergantung pada pengajar dan materi

yang disampaikan. Ada materi pelajaran seperti pastoral umum maupun khusus, para

peserta bisa terlibat aktif dari awal pembelajaran tetapi bila pelajaran tentang

dokmatika, atau tema-tema Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, suasananya tidak

sehidup pelajaran-pelajaran praktika. Memang pada sesi kedua ini, para pengajar

memberikan waktu untuk diskusi namun karena isi pembelajaran yang bagi peserta

baru didengar dan diikuti membuat peserta berusaha memahami dulu. Namun bagi

peserta yang telah mengetahui lewat pengalamanya biasanya mereka akan bertanya

dan terjadi diskusi yang dalam.

Dalam sesi kedua ini, biasanya para pengajar tidak membatasi bahan yang

akan didiskusikan sebab biasanya peserta datang dengan begitu banyak hal yang

selama ini digumulkan dan belum mendapat jawaban. Pdt Ferdinand Tulus96 sebagai

salah satu pengajar di Klasis GKI Biak dan sekarang di Klasis GKI Teluk Bintuni,

95
Wawancara dengan lulusan kelas SAM di Bintuni dan Jayapura, bulan Okt – Nov 2014.
96
Nara sumber adalah Ketua Jemaat GKI Viadolorosa, Bintuni yang dilibatkan sebagai pengajar SAM

69
yang diwawancarai mengatakan adanya akumulasi persoalan yang ada pada para

peserta yang selalu ingin dicarikan jalan keluar yang sesuai dengan kehendak Tuhan,

yang mana semuanya ini akan menolong peserta dalam tugas dan tanggung jawabnya

sebagai kaum awam di tempat kerjanya.

Pdt Grace Sodanding97, yang adalah seorang pengajar bidang pastoral

okultisme pun mengakui bahwa peserta harus dijelaskan dulu atau mereka harus tahu

isi dulu baru bisa berdiskusi bersama. Intinya peserta mau belajar dulu, peserta mau

membaca buku dan mendengar penjelasan dulu, baru bisa diskusi (konteks GKI lemah

dalam pengajaran). Jadi dalam kelas SAM biasanya pengajar memakai metode

ceramah dan diskusi. Hal ini yang ditanyakan kepada para peserta SAM, mereka

mengatakan pembelajaran berlangsung dalam dua arah dalam artian di atas.98

Peserta diharuskan mengikuti kelas SAM, paling tidak 3 pertemua dari 5

pertemuan yang diharapkan baru boleh mengikuti ujian dalam pelajaran yang

disampaikan. Ujian ini bersifat ingin mengetahui sampai sejauh mana tingkat

pemahaman peserta dan bagaimana penerapan dalam kehidupan baik di gereja, kantor

dan di dalam masyarakat. Bilamana peserta tidak mengikuti kelas sesuai dengan

ketentuan akan diminta untuk mengikutinya tahun berikut, baru bisa diluluskan.

Jadi dapat disimpulkan metode yang dipakai dalam proses pembelajaran di

SAM di serahkan semua kepada pengajar dan tidak melibatkan peserta dewasa yang

self-directed.

97
Nara sumber adalah ketua jemaat GKI Immanuel, APO Jayapura, yang dilibatkan dalam mengajar
SAM
98
Wawancara mantan peserta SAM di kelas Bintuni, kelas Jayapura, dan Kelas Abepura pada bulan
Oktober – November 2014.

70
III.2.7.3 Evaluasi dalam SAM GKI di Tanah Papua

Badan pengurus pusat SAM GKI di Tanah Papua dalam mengadakan evaluasi

interen baik kepada peserta, pengajar dan pengurus kelas lokal ditiap daerah yang

dilaksanakan pada akhir proses pembelajaran dengan memberikan angket untuk

dijawab sebagai bahan evaluasi.

Hasil evaluasi ini menjadi acuan bagi Badan Pengurus Pusat SAM untuk

dalam melihat tingkat pemahaman dan seberapa jauh peserta telah diperlengkapi

selama mengikuti kelas SAM. Disamping itu para pengajar juga dievaluasi melalui

peserta untuk menentukan apakah pengajar masih dilibatkan atau tidak dalam

kegiatan SAM. Hal itu dimungkinkan bilamana pengajar tidak mempunyai hati untuk

mengajar (sering terlambat, tidak siap mengajar, tidak menghargai peserta).

Pdt Herman Saud ketika diwawancarai mengatakan bahwa Sinode GKI di

Tanah Papua telah memanggil badan pengurus pusat SAM untuk menjelaskan dan

melaporkan program yang telah dijalankan serta mengadakan evaluasi dalam Sidang

Sinode tahun 2006 di Kabupaten Wamena dan tahun 2011 di Kabupaten Jayapura

dimana program ini di terima dan kembali dimasukan menjadi program tingkat

Sinode yang harus dilaksanakan di tingkat Klasis dan jemaat.

Itu sebabnya badan pengurus pusat maupun badan pengurus local di daerah

selalu terbuka dengan masukan-masukan dari peserta. Ada juga dalam evaluasi

dimana pengurus pusat kompromi dengan pengajar local, sering mendapat

dikomplein dari peserta dimana kadang terjadi pengajar lokal ada yang tidak serius,

tdk komitmen dengan waktu dan ada yg angkuh terhadap peserta (menganggap diri

lebih dari peserta). Dalam evaluasi terjadi juga bahwa gereja kurang belum

memahami potensi dalam jemaat dimana ada anggota jemaat yang telah mengikuti

SAM dan siap untuk membantu pelayanan namun kurang dilibatkan oleh para

71
petugas gereja. Mereka ini karena telah memahami dan diperlengkapi jadi tidak putus

asa atau kecewa, tetapi terus berkarya bagi Tuhan di kantor dan di masyarakat.

Program SAM intinya untuk menyiapkan kaum awam untuk kembali dalam tugasnya

entah menjadi majelis, warga jemaat saja, atau guru sekolah, pegawai dan lain

sebagainya sesuai profesi masing – masing peserta.

Dalam suatu penelitian angket menjadi nyata bahwa para lulusan SAM GKI

sangat mensyukuri pembinaan yang dapat mereka peroleh lewat SAM GKI dan

mayoritas besar dari mereka terlibat aktif dalam pelayanan di dalam jemaat dan

berbagai bidang profesi dimana Tuhan menempatkan mereka serta dalam kehidupan

bermasyarakat. Ibu Pnt Griapon, seorang mantan peserta SAM, tahun 2000 yang

adalah seorang majelis dan guru mengatakan bahwa ia sangat bersyukur dapat

mengikuti program SAM, dimana apa yang dimiliki selama di SAM begitu

bermanfaat bagi kehidupan pribadi dan dalam kehidupan pelayanan di gereja, juga

sebagai seorang guru, dia sungguh mengasihi anak-anak muridnya (yang sebelumnya

tidak demikian) dan menjadi berkat dalam kehidupan masyarakat.99

Hal yang sama juga terlihat dalam evaluasi yang diadakan oleh BP Am Sinode

GKI di Tanah Papua dan Badan Pengurus Pusat SAM, dimana memang evaluasi

diadakan namun tidak melibatkan peserta dewasa dalam menyusun instrumen

evaluasi.

99
Wawancara dengan nara sumber, Ibu Pnt Griapon, bulan Oktober – November 2014.

72

Anda mungkin juga menyukai