Anda di halaman 1dari 3

MANSINAM : Sebuah Paradoks

Mansinam merupakan simbol kekristenan dan tonggak awal peradaban di Papua, tapi sayangPulau ini menjadi simbol kemiskinan dan keprihatinan peradaban Im namen gottes betreten wir dieses land (Dengan Nama Tuhan Kami Menginjak Tanah ini)sepenggal kalimat ini merupakan ungkapan doa yang dikumandangkan dua manusia berkulit putih dari daratan Eropa, ketika untuk pertama kalinya dalam catatan sejarah disebutkan bahwa keduanya menapaki kakinya di pesisir pantai teluk Doreh di Mnukwar. Teluk dimana kedua orang itu menyinggahi kapalnya pada Hari Minggu, 5 Februari 1855 itu kemudian dikenal luas sebagai pulau Mansinam. Pulau ini kemudian dalam catatan sejarah semakin dikenal luas sebagai pulau Injil, pulau yang menjadi tonggak sejarah peradaban bagi manusia-manusia yang mendiami negeri itu dengan berbagai perilaku dan karakternya. Sejarah juga mencatat bahwa perkembangan perdaban dimulai dari sana, peradaban itu dibuktikan dengan adanya kontak awal dengan budaya baru yang dimiliki dunia barat, yakni memperkenalkan abjad latin dan angka. Melalui sekolah-sekolah peradaban yang dibangun oleh para utusan injil setelah dua manusia berkulit putih asal Jerman dan Belanda (Carl William Ottow dan Johan Gotlob Geissler Ottow dan Geissler). Pekerjaan pekabaran Injil yang dilakukan terus diperluas dari Mansinam ke Tanah Besar dan ke bagian utara Teluk Doreh hingga sampai ke Miei di teluk Wondama. Tidak hanya sampai di sana, Injil yang diyakini sebagai kebenaran dan Kasih Kristus itu terus disebarluaskan oleh para utusan injil yang berasal dari Eropa, sambil menyiapkan penduduk pribumi setempat sebagai kader-kader yang berhasil dibentuk melalui pendidikan peradaban yang dibangun dalam konteks ke-gerejaan. Kini, pekerjaan pekabaran injil itu telah mencapai usianya yang ke 157 tahun. Dimana seharusnya peradaban dan kemajuan orang di atas tanah ini sudah jauh lebih maju sesuai dengan janji dan kabar kebenaran yang disampaikan oleh para utusan injil sejak awal. Namun, fakta sejarah juga memberi bukti bahwa peradaban itu belum memberi harapan seperti yang didambakan. Masih banyak orang yang hidup diatas tanah ini belum mengenal abjad bahkan tingkat buta huruf semakin memprihatinkan, termasuk tingkat kematian generasi barupun dikabarkan semakin tinggi. Tentu saja hal seperti ini menjadi catatan kritis yang harus menjadi refleksi bagi pengambil kebijakan yang saat ini sedang mengendalikan kekuasaan politik di belantara pemerintahan baik di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat, termasuk gereja yang juga melayani umatnya. Rakyat yang sama dalam berbagai keadaannya, Kini semakin tidak berdaya. Untuk itu, apapun alasannya, harus ada perubahan bagi kemajuan rakyat Papua secara keseluruhan karena sudah 157 tahun Injil yang diyakini sebagai kekuatan Allah yang

menyelamatkan itu telah mendarat diatas negeri ini, bahkan sudah sekian lama pula orang Papua sudah mendengarkan tentang berita Injil yang membawa kabar damai dan sejahtera, tapi pertanyaan kritis bagi kita bahwa mengapa keadaan rakyat kita saat ini semakin terpuruk Mansinam yang disebut-sebut sebagai pulau peradaban, tempat bersejarah bagi umat Kristiani khususnya di Tanah Papua, bukannya sebagai tempat yang dapat dijadikan pelajaran berharga tapi sebaliknya. Pulau ini menjadi tempat liburan yang menyedihkan. Disebutkan demikian karena ada sejumlah alasan. Pertama, sejak dulu mansinam senantiasa diagung-agungkan sebagai pulau injil. Tapi kenyataannya pulau ini hanya ditempati sekira 700-an penduduk dengan berbagai strata sosial, bukannya menjadi tempat yang penuh dengan doa dan suasana kekristenan. Namun sebaliknya ia menjadi sebuah pulau yang biasa-biasa saja dan penuh dengan kesederhanaan seperti penduduk kebanyakan di Papua. Kedua, pulau ini terletak di depan Kota Manokwari, yang menghiasi pemandangan para pelancong yang melintasi dengan perahu ataupun kapal laut. Namun pulau ini hanya menjadi obyek rohani ketika momentum perayaan 5 Februari setiap tahunnya sebagai peringatan hari pekabaran Injil di Tanah Papua. Ketiga, Pulau ini berada dalam kewenanganan dua pusat pemerintahan. Kabupaten Manokwari dan Provinsi Papua Barat, namun sangat disayangkan penduduk yang mendiami wilayah ini tidak banyak berubah. Mereka hanya menjadi obyek wisata religi setiap tahun oleh para pelancong rohani yang berdatangan dari seluruh wilayah di Tanah Papua. Keempat, hampir semua penduduk dan rakyat di tanah papua mengakui kalau Maninam adalah pulau sejarah dan pusat peradaban orang Papua. Barangkali hal ini dapat dibenarkan. Tapi apakah yang dapat dilakukan dengan pulau ini, apa yang mesti dibanggakan dengan pulau ini. Ia hanya menjadi saksi bisu setelah perayaan Hari Pekabaran Injil ini usai. Kelima, Pulau Mansinam akan menjadi tempat sampah karena usai perayaan hari gerejani ini, banyak sampah plastik dibiarkan menumpuk oleh para pengunjung. Sulit dibayangkan sampah-sampah plastik ini dikelola. Yang dapat dilakukan adalah penduduk mengumpulkan sampah tersebut lalu membakarnya atau malah dibuang saja ke pantai dan disapu bersih oleh riuhnya ombak yang memecah. Nah, momentum perayaan Hari Pekabaran Injil kali ini, setidaknya memberi manfaat lain dan memunculkan sebuah kesadaran publik bahwa pulau ini harus dikelola untuk masa depan harkat dan martabat manusia yang mendiaminya. Telah banyak rencana yang dibuat atas pulau dan masyarakat asli yang mendiaminya. sayang rencana tinggal rencana dan janji tinggal janji. Semua berlalu begitu saja sampai akhirnya Mansinam hanyalah sebuah kenangan rohani yang suatu saat bisa saja menjadi catatan tanpa makna apa-apa. Sejarah Kampung Mansinam Dalam sebuah studi sejarah, disebutkan bahwa Pulau Mansinam pada awalnya merupakan sebuah pulau yang tidak berpenghuni. Penduduk yang mendiami tanah besar menyebutnya sebagai pulau kosong. Pulau ini baru ditempati orang sekitar abad ke XIV oleh nenek moyang penduduk yang sekarang menempati pulau ini yang konon kabarnya berasal dari Pulau Numfor. Studi sejarah itu menyebutkan

bahwa para pelaut asal Numfor itu awalnya hendak ke pegunungan Arfak namun dengan perahu dayung mereka mampir ke pulau tersebut. Tujuan mereka adalah hendak bertemu dengan penduduk setempat di daerah Arfai. Pertemuan kedua nenek moyang tersebut (Numfor dan Mandacan) akhirnya melahirkan sebuah kesepakatan yang dipakai hingga hari ini tentang penyebutan nama Manokwari yang berasal dari Bahasa Numfor yang disebut Mnukwar. Selanjutnya penyebutan untuk pulau Mansinam mengandung arti tempat bermainnya burung. Penyebutan ini dimaknai karena konon pada zaman dahulu dahulu pulau ini tidak berpenghuni (tidak ditempati manusia-red) sehingga menjadi tempat bersarangnya beraneka jenis burung. Disinilah tempat unggas berkembang biak. Sayangnya, keadaan telah berubah total. Mansinam telah menjadi sebuah perkampungan yang berada dibawah kendali pemerintahan Kabupaten Manokwari. Di Pulau Mansinam terdapat marga yang dikenal sembilan R yakni Marga Rumsayor, Rumadas, Rumbobiar, Rumbruren, Rumbekwan, Rumfabe, Rumbrawer, Rumaikew, dan Rumander. Mereka menjadi penghuni yang cukup dominan di pulau tersebut. Hampir seluruhnya memiliki hubungan kekerabatan yang satu sama lainnya saling mengenal dengan persis silsilah dan turunannya. Meskipun demikian, ada juga warga lain yang hidup berdampingan dengan mereka. Umumnya, warga pulau Mansinam lebih didominasi oleh kelompok usia muda, karena berdasarkan hasil survey Mahasiswa Praktek Kerja Lapangan (PKL) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Uncen Program Studi Ilmu Pemerintahan angkatan 2007 pada tahun 2010 lalu ditemukan bahwa rata-rata penduduk setempat didominasi usia muda dengan kelompok umur rata-rata 15-29 tahun. Dalam praktek mahasiswa tersebut ditemukan bahwa sistus sejarah di Mansinam, dibiarkan tanpa ada kepedulian dari pemerintah setempat. Padahal, monument tersebut yang merupakan simbol peradaban dan eksistensi umat kristiani. Memang butuh kepedulian semua pihak untuk membangun kembali Mansinam. Padahal pernah dalam sebuah kesempatan di Jayapura dilakukan seminar yang mengajak untuk membangun Papua di mulai dari Mansinam. Sayang, ide tersebut masih sebatas ide yang tidak pernah terurai dalam sebuah kegiatan nyata yang menyejahterahkan. Ide yang brilian namun kandas dihempas gelombang kecil di pantai Mansinam. SioMansinam se. kapan au berubahkah? *** (Gabriel Maniagasi)

Anda mungkin juga menyukai