Anda di halaman 1dari 5

TUGAS MADURA CULTURE

TENTANG SEJARAH KEBUDAYAAN DI MADURA

DOSEN PENGAMPU: Khaeru Ahmadi,S.Si.,M.Hum

OLEH KELOMPOK 5 :

SITTI NORAITA ROHNI 2002110023

SOFIQATUN UMMATULLAH 2002110024

SHAFWATIN NAJAHAH 2002110025

SULTHON MAWARDI 2002110026

SUSI AGUSTINA 2002110027

ULFA ARISKA 2002110028

PRODI AKUNTANSI

UNIVERSITAS BAHAUDIN MUDHARY MADURA

2021-2022
SEJARAH PULAU MADURA

Cerita tentang berdirinya pulau madura memiliki banyak versi, dan kali ini saya akan
menulis versi Tadjul Arifin R, Sejarawan terkemuka yang dapat kita jadikan rujukan nilai
sejarah, Baiklah mari kita mulai sejarah pulau madura ini dari awal sebelum masehi.Seperti yang
tercatat dalam sejarah, perpindahan bangsa-bangsa secara besar-besaran dari Asia tenggara
terjadi pada kurun waktu yang panjang (antara 4000 – 2000 sebelum Masehi). Kejadian ini
antara lain berasal-muasal dari bertambah pesat kerajaan –kerajaan Cina. Karena kepesatan
perkembangan kebudayaannya mereka lalu meluaskan pengaruh kekuasaannya ke arah selatan.
Kawasan yang langsung terkena dampaknya adalah wilayah Tibet (yang merupakan tanah
leluhur bangsa Burma) dan daerah Yunan (yang semula dihuni orang Thai dan Vietnam).Akibat
dari mengalirnya kedatangan bangsa Cina tersebut, maka bangsa-bangsa Burma, Thai dan
Vietnam terpaksa menyingkir lebih ke selatan. Hingga akhirnya, perpindahan mereka lalu
melahirkan cikal bakal bangsa-bangsa Proto Melayu yang pada saat itu bermukim di wilayah
Burma, Siam dan Indochina. Fenomena itu menyebabkan kelompok bangsa-bangsa tersebut
menjadi tercerai-berai. Hingga sebagian dari mereka melakukan perpindahan ke daerah pantai.
Namun tidak sedikit diantara mereka yang terus ke selatan, mengarungi laut ataupun melewati
Semenanjung kemudian menyeberangi selat hingga mencapai pulau-pulau di Nusantara. Proses
perpindahan melintasi lautan tersebut tidak berlangsung sekaligus. Kebanyakan dari mereka
berangkat secara bergelombang kelompok demi kelompok dalam kurun waktu kurang lebih 2000
tahun. Karena tidak bersamaan meninggalkan tanah asalnya itu maka kelompok-kelompok
tersebut tiba di tempat yang berlainan pulau di Nusantara.Walau pada mulanya mereka serumpun
bangsa dan bahasanya, lama-kelamaan pemisahan Geografis menyebabkan terjadinya perbedaan
yang makin membesar. Pembauran dengan kelompok-kelompok berbeda (bangsa Deotero
Melayu) yang datang belakangan ternyata mempertajam perbedaan karena pemisahan itu.

1.Budaya dan Bahasa Madura Kuno

Sesudah beberapa abad berlaku maka terjadilah suku-suku bangsa yang pluralis seperti yang
terlihat sekarang di kepulauan Indonesia ini. Namun demikian masih dapat disaksikan adanya
persamaan mendasar di antara mereka. Misalnya kesamaan dalam cara menamakan benda-benda
umum (padi, pandan, ubi, udang, hujan, batu) di sekelilingnya, atau dalam model penyebutan
nama seseorang berdasarkan nama anak sulungnya. Kesamaan substansi pun dapat di jumpai
pada penggunaan kata bantu (ekor, batang, lembar, buah) dalam menghitung sesuatu. Kemudian
mereka memiliki kesamaan dalam kesukaannya dalam meng konsumsi ikan kering yang
diasinkan dan dibusukkan (terasi, petis) atau makanan yang ditapaikan. Semuanya juga ternyata
sama-sama senang mengadu ayam. Begitu pula warna kulit, bentuk muka, perawakan badan
serta sifat fisik serta tubuh lainnya memang menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara itu
berasal dari rumpun bangsa yang sama. Salah satu kelompok bangsa yang pindah mengarungi
laut itu terdampar ke suatu pulau kecil yang terletak di utara, ujung timur pulau Jawa. Para
pendatang ini lalu menetap di sana untuk kemudian menjadi nenek moyang bangsa Madura.
Seperti bangsa Piah, Campa dan Jai di Kocincina mereka mengacu pada api dengan nama apoy,
menyebut istrinya bineh dan memakai kata ella untuk menyatakan sudah. Berbeda dengan
bangsa-bangsa lainnya. Bahasa mereka mengenal konsonan rangkap seperti bassa, cacca, daddi,
kerrong dan pennai.

Kalau dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang mendiami pulau-pulau di sekitarnya,


leluhur orang Madura ini umumnya memiliki tengkorak yang celah matanya lebar mendatar
dengan tulang pipi lebih menonjol. Raut muka mereka tidak begitu halus dan warna kulitnya
lebih gelap. Dari beberapa hasil penelitian sejarah belum dapat dipastikan apakah sesampainya di
pulau yang akan menjadi tempat huniannya cikal-bakal suku bangsa Madura itu menjumpai
penduduk asli Nusantara. Jika ada maka penduduk asli itu akan dapat dikalahkan sebab mereka
masih berkebudayaan batu tua (paeolitik). Adapun pendatang baru dari utara itu telah
berkebudayaan batu baru (neolitik), seperti ditunjukkan oleh peninggalan mereka yang
diketemukan di Madura. Jadi mereka telah berkemampuan mengupam atau mengasah batu
menjadi beliung atau kapak persegi, yang dapat pula dijadikan pacul.

2.Penyebaran Penduduk Madura

Setelah ratusan tahun di Pulau Madura maka para pendatang baru itu menjadi beranak-pinak
dan terpencar-pencar ke seluruh pulau. Bahkan pulau-pulau kecil di sekitar Madura dihuninya
juga, seperti pulau Sepudi dan Kangean di timur, pulau Mandangil di selat Madura dan pulau
Masalembu serta Bawean di laut Jawa. Mereka bermukim dalam kelompok-kelompok yang
besarnya di tentukan oleh kesuburan tanah atau daya dukung ekologi setempat. Beberapa
kelompok ini jumlahnya sampai ratusan orang sehingga kemudian membentuk satuan-satuan
tersendiri namun masih terikat satu sama lain oleh kesamaan bahasa. Dan lama-kelamaan
memunculkan dialek setempat yang terhadap perbedaannya dari barat (Bangkalan), tengah
(Sampang dan Pamekasan), timur (Sumenep) dan timur sekali (Kangean). Lambat laun timbul
pula ras keterkaitan pada tanah kelahiran dan pada kelompok masyarakat yang menghuni nya
karena kebersamaan peruntungan dan kebersamaan nya. Jarak Geografis pusat-pusat pemukiman
yang berjauhan itu menyebabkan perbedaan di antara mereka itu semakin mantap. Apalagi
karena perkembangan selanjutnya mengikuti alur sejarah yang agak berlainan untuk setiap
wilayah.

3.Sistem Perdagangan Rakyat Madura

Peninggalan purbakala berupa kapak dan bejana perunggu (sebagai pengejawantahan


peradaban Dongson) yang se-type dengan yang ada di daratan Cina Selatan dan Asia Tenggara
juga diketemukan di wilayah Sampang, ini memberi bahwa tidak terputusnya hubungan Madura
dengan daratan Asia, yang mungkin dilakukan untuk keperluan perdagangan. Tetapi karena
Madura tidak menghasilkan komoditas perdagangan yang berarti untuk dipertukarkan, maka
timbul dugaan bahwa mereka ini merupakan pedagang perantara. Mungkin juga hanya
bermodalkan pengetahuan tentang seni berlayar, maka pelaut-pelaut Madura menyediakan
perahunya untuk membawa pedagang dari bangsa lain mengarungi lautan lepas. Kerajaan-
kerajaan kecil di Madura tentu menjadi merdeka sebentar sampai raja Airlangga berhasil meng-
konsolidasi kekuasaannya pada tahun 1017. Keutuhan Negara cepat pulih dan kesejahteraan
rakyat segera dikelola kembali.

Kegiatan perdagangan luar Negeri dengan Cina dan Negara Asia lainnya ramai lagi. Di
kerajaan Airlangga pedagang asing membeli gading, cula badak, mutiara, kapur barus, gaharu,
cendana, rempah-rempah serta kulit penyu dan burung. Beras merupakan komoditas hasil bumi
Jawa yang penting untuk bekal berlayar yang memakan waktu berbulan-bulan. Saudagar asing
membayar pembeliannya dengan uang emas dan perak. Di samping itu mereka memasukkan
sutra dan pecah belah dari proselen. Dari pemberitaan Cina kita mengetahui bahwa kerajaan
Airlangga itu bernama Pu Chia Lung (Panjalu). Pelabuhan utamanya adalah Chung Kia Lu
(Ujung Galuh) yang terletak dekat muara sungai Brantas. Di sebelah timurnya lagi terdapat
pelabuhan Ta pan (Sampang / Ketapang ) yang merupakan sebuah kota penting kerajaan
bawahan. Dari sini jelas bahwa peran Madura sebagai penjaga jalur lalu lintas maritime kerajaan
Panjalu itu sangatlah besar.Agaknya pada waktu itu ada penguasa Madura di Pancangan yang
menyia-nyiakan istrinya yang cantik tetapi berpenyakit menjijikkan.kejadian Ini kemudian
meng-ilhami terjadinya kisah kesetiaan pasangan Bangsacara dan Ragapadmi yang tersohor itu.
Kota kuno Pancangan terletak dekat Kwanyar di pantai selatan Madura memang sangat strategis
untuk mengamankan jalur Ujung Galuh, Bali dan kawasan Nusantara timur yang menjadi
penghasil cendana. Kota pelabuhan sekitar Arosbaya pun tentu memperoleh status istimewa
untuk melancarkan arus pelayaran ke Sriwijaya, Banjarmasin, Maluku dan pusat-pusat kerajaan
lainnya. Sebagai seorang raja besar Airlangga tidak melupakan mengembangkan kesenian
rakyatnya. Mahabharata dan Ramayana yang sebelumnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Jawa Kawi digubah kembali sehingga kisah itu seakan-akan terjadi di bumi Nusantara. Karena
itu Negara Madura yang diperintah raja Bala Dewa diidentifikasi dengan daerah Madura barat.
Widarba, yang merupakan negara mertua Khrisna, Di tumpang tindihkan dengan kerajaan
Bidarba yang beribu kota Pacangan tempat Bangsacara berjumpa Ragapadmi. Prabu Salya
dikisahkan memerintah kerajaan Mandaraka yang terletak di Madura timur sampai sekarang
didekat Ambunten ada desa yang bernama Mandaraga. Pewayangan sebagai wahana penyajian
karya agung ke hadapan khalayak ramai. Agaknya pada waktu itu perkembangan wayang topeng
Madura yang khas itu sudah mendekati bentuk akhir kesempurnaannya seperti yang dijumpai
sekarang ini. Namun lambat laun peradaban orang Madura purba itu mengalami kemajuan yang
berarti. Sejalan dengan perkembangan yang dialami bangsa-bangsa lain di Nusantara. Pada
waktunya orang Madura juga memasuki masa perundingan. Masa ini ditandai oleh penguasa
teknologi pengolahan biji logam.

Pada masa itu muncullah dalam masyarakat segolongan orang yang berkemampuan khusus
membuat barang-barang kerajinan. Keterampilan mereka membuat gegabah semakin meningkat.
Begitu pula pengetahuan masyarakat tentang pemeliharaan ternak bertambah baik. Dengan
adanya perahu bercadik (yang sekarang masih ada serta pengembangannya dalam bentuk
jukong) dimungkinkan ada di antara rombongan pendatang tersebut yang sampai ke pulau kecil
ini dengan rakit. Dugaan ini didasarkan pada salah satu mythology yang menggambarkan cara
orang-orang tua Madura tempo doeleo menjelaskan asal usul leluhurnya.

Mereka menganggap dirinya keturunan sang Segara, pangeran laut yang sampai ke pulau ini
dalam kandungan ibunya yang terdampar di pantai utara. Madura dengan menaiki rakit.
Kebanyakan rumah-rumah adat masyarakat Madura dibuat menghadap ke selatan, hal ini
disebabkan oleh sejarah perjalanan leluhur mereka yang datang dari arah utara ke selatan
dikarenakan terdesaknya nenek moyang mereka dari daerah asalnya, dan route perjalanan yang
dilakukan untuk menyelamatkan diri ditempuh melalui jalur laut menuju daerah selatan.Sejak
peristiwa itu bagi bangsa ini laut merupakan symbol dan keselamatan dan masa depan yang
penuh harapan, akan tetapi ada pula pendapat yang menyatakan bahwa, masyarakat Madura yang
dikenal sebagai pelaut-pelaut tangguh menganggap laut sebagai cerminan hidup yang penuh
dengan tantangan dan gelora yang harus dihadapi dalam mengarungi kehidupannya serta harapan
masa depannya. Laut juga menjadi cermin pelambang kebebasan jiwa petualangannya dan
wadah ekspresi rasa kemerdekaannya. Dalam perjalanan sejarah kehidupan leluhur bangsanya
mereka pernah mendapat ancaman bahaya yang datang dari pedalaman di utara. Karena itu
mudah lah di mengerti jika mereka selalu menggapai ke arah selatan yang waktu itu berupa laut.

4.Pemimpin Madura Pertama

Orientasi ke laut secara luas dapat dimaknakan ka lao’ dalam bahasa Madura (yang berarti
ke selatan, yaitu penunjuk arah lawan utara).Berbeda dengan orang Jawa, mythology Nyai Loro
Kidul yang mengagung-agungkan pantai laut selatan Samudera India tidak mempunyai akar
dalam tradisi asli mythology rakyat Madura. Hanya sayang tentang keberadaan pemerintahan di
Madura yg sejak masa Airlangga, hanya berita dari China dan tak ada sumber lain yg
menungjangnya, sehingga kurang kuat untuk dijadikan acuan. Dan tidak ada sisa situs
peninggalan sejarah sebagai bukti kebenarannya. Dengan demikian maka Arya Wiraraja lah
ditentukan sebagai Adipati pertama di Sumenep / Madura, itu berdasarkan beberapa sumber yg
cukup kuat, diantaranya adalah Prasasti Mula Malurung, Kitab Nagarakretagama, Serat
Pararaton, Kidung Harsawijaya, Kidung Wijayakrama, Kidung Ranggalawe dan lain sebagainya.
Menurut tulisan Drs Abdurrahman (manta Bupati Sumenep), bahwa di Sumenep / Madura
sebelum Arya Wiraraja sudah ada pemerintahan yg berpangkat Akuwu.

Tapi sangat disayangkan tidak ada tulisan yg jelas tentang hal tersebut. Dan sangat disayangkan
prasasti Mula Malurung lempengan VI A dan B 12 hilang, sehingga penjelasan tentang
pemerintahan sebelum Arya Wiraraja kurang jelas. (Tadjul Arifin R)

Anda mungkin juga menyukai