SEJARAH ARSITEKTUR
TRADISIONAL JAWA
DISUSUN OLEH :
NAMA : RINDI ANTIKA
NRP : 142019021
DOSEN PENGAMPU : RENY KARTIKA SARY, S.T., M.T.
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PALEMBANG
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR
2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadiran Allah SWT, yang telah memberi rahmat dan
karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik tanpa halangan
dan rintangan. Selawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa manusia dari zaman kebodohan sampai menjadi penuh dengan
ilmu pengetahuan.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki.
Tak lupa bila ada kekurangan, kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan makalah ini,
saya mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun.
Rindi Antika
SEJARAH PULAU JAWA
Pulau Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dan merupakan pulau terluas ke-13 di
dunia. Dengan jumlah penduduk sekitar hampir 160 juta, pulau ini pulau berpenduduk
terbanyak di dunia dan merupakan salah satu tempat terpadat di dunia. Meskipun hanya
menempati urutan terluas ke-5, Pulau Jawa dihuni oleh 60% penduduk Indonesia. Angka ini
turun jika dibandingkan dengan sensus penduduk tahun 1905 yang mencapai 80,6% dari
seluruh penduduk Indonesia. Penurunan penduduk di Pulau Jawa secara persentase
diakibatkan perpindahan penduduk (transmigrasi) dari pulau Jawa ke seluruh Indonesia. Ibu
kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian Barat Laut (tepatnya di ujung paling barat
Jalur Pantura).
Jawa adalah pulau yang relatif muda dan sebagian besar terbentuk dari aktivitas
vulkanik. Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur
hingga barat pulau ini, dengan dataran endapan aluvial sungai di bagian utara. Pulau Jawa
dipisahkan oleh selat dengan beberapa pulau utama, yakni pulau Sumatra di barat laut, pulau
Kalimantan di utara, pulau Madura di timur laut, dan pulau Bali di sebelah timur. Sementara
itu di sebelah selatan pulau Jawa terbentang Samudra Hindia.
Dahulu, Jawa adalah pusat beberapa kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam,
pemerintahan kolonial Hindia Belanda, serta pusat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pulau
ini berdampak besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.
Sebagian besar penduduknya bertutur dalam tiga bahasa utama. Bahasa Jawa
merupakan bahasa ibu dari 100 juta penduduk Indonesia, dan sebagian besar penuturnya
berdiam di Pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah orang-orang dwibahasa, yang
berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun kedua. Dua bahasa penting lainnya
adalah bahasa Sunda dan bahasa Betawi. Sebagian besar penduduk Pulau Jawa beragama
Islam namun tetap terdapat beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya
di pulau ini. Pulau ini secara administratif terbagi menjadi enam provinsi, yaitu Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten, serta dua wilayah khusus, yaitu DKI Jakarta dan DI
Yogyakarta.
Pulau ini merupakan bagian dari gugusan kepulauan Sunda Besar dan paparan Sunda,
yang pada masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil
Homo erectus, yang populer dijuluki "Si Manusia Jawa", ditemukan di sepanjang daerah
tepian Sungai Bengawan Solo, dan peninggalan tersebut berasal dari masa 1,7 juta tahun
yang lampau.[13] Situs Sangiran adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa
struktur megalitik telah ditemukan di pulau Jawa, misalnya menhir, dolmen, meja batu, dan
piramida berundak yang lazim disebut Punden Berundak. Punden berundak dan menhir
ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs
megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras
batu, dan sarkofagus.[14] Punden berundak ini dianggap sebagai struktur asli Nusantara dan
merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara
setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari India. Pada abad
ke-4 SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M Kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah
liat berkembang di pesisir utara Jawa Barat. Kebudayaan protosejarah ini merupakan
pendahulu kerajaan Tarumanagara.
Pulau Jawa yang sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan
berkembangnya budidaya padi di lahan basah, sehingga mendorong terbentuknya tingkat
kerjasama antar desa yang semakin kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut,
berkembanglah kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran
tinggi di sekitarnya yang membentang di sepanjang pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah
interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari pengaruh luar. Pada
masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta kedatangan kolonialisme Eropa,
sungai-sungai yang ada merupakan sarana perhubungan utama masyarakat, meskipun
kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek. Hanya Sungai Brantas dan Bengawan Solo
yang dapat menjadi sarana penghubung jarak jauh, sehingga pada lembah-lembah sungai
tersebut terbentuklah pusat dari kerajaan-kerajaan yang besar.
Diperkirakan suatu sistem perhubungan yang terdiri dari jaringan jalan, jembatan
permanen, serta pos pungutan cukai telah terbentuk di pulau Jawa setidaknya pada
pertengahan abad ke-17. Para penguasa lokal memiliki kekuasaan atas rute-rute tersebut,
musim hujan yang lebat dapat pula mengganggu perjalanan, dan demikian pula penggunakan
jalan-jalan sangat tergantung pada pemeliharaan yang terus-menerus. Dapatlah dikatakan
bahwa perhubungan antarpenduduk pulau Jawa pada masa itu adalah sulit.
Relief pada Candi Borobudur pada sisi kiri bawah menunjukkan arsitektur rumah panggung yang banyak dijumpai di Jawa
pada masa itu
Rumah Tradisional Jawa
Orang jawa memiliki kekerabatan yang dekat dengan bangsa Austronesia. Relief di
Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9 juga menunjukkan bahwa rumah Jawa
merupakan pola dasar dari rumah Austronesia. Kedatangan orang Eropa pada abad 16 dan 17
memperkenalkan batu dan batu bata dalam konstruksi rumah, yang banyak digunakan oleh
orang-orang kaya. Bentuk rumah tradisional Jawa juga mulai mempengaruhi perkembangan
arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Pada awal abad ke 19, rumah Hindia Belanda
dibuat menyerupai rumah Jawa karena bentuk rumah yang mampu melawan panas tropis dan
hujan lebat, namun tetap mampu mengalirkan udara di bagian dalam rumah.
Rumah Joglo
Rumah tradisional Jawa, atau biasa disebut sebagai omah adat Jawa, mengacu pada
rumah-rumah tradisional di pulau Jawa, Indonesia. Arsitektur rumah Jawa ditandai dengan
adanya aturan hierarki yang dominan seperti yang tercermin pada bentuk atap rumah. Rumah
tradisional Jawa memiliki tata letak yang sangat mirip antara satu dengan lainnya, tetapi
bentuk atap ditentukan pada status sosial dan ekonomi dari pemilik rumah.
Arsitektur tradisional rumah Jawa banyak dipengaruhi oleh arsitektur kolonial
Belanda di Indonesia dan juga sangat berkontribusi pada perkembangan arsitektur modern di
Indonesia pada abad ke-20.
Hierarki Atap Rumah
Sesuai dengan struktur masyarakat Jawa dan tradisinya, rumah-rumah tradisional
Jawa diklasifikasikan menurut bentuk atap mereka dari yang terendah ke tertinggi, yaitu
Kampung, Limasan, dan Joglo.
1. Rumah Kampung
Bentuk rumah kampung merupakan bangunan persegi panjang, bertiang
dengan dua buah atap persegi panjang pada sisi samping atas ditutup dengan tutup
keyong. Atap rumah kampung diidentikkan dengan pemiliknya yang merupakan
rakyat biasa.
Secara struktural, bentuk atap rumah kampung merupakan bentuk yang paling
sederhana. Pada rumah Kampung terdapat empat tiang tengah dan dua lapis tiang
pengikat yang berfungsi sebagai tempat bersandar atap puncak rumah.
Rumah ini dimiliki oleh kebanyakan masyarakat yang tinggal di pedesaan.
Dahulunya bentuk rumah kampung merupakan rumah yang paling banyak ditemukan.
Sehingga ada anggapan bahwa rumah kampung merupakan bagi masyarakat dengan
status sosial dan ekonomi rendah.
2. Rumah Limasan
Limasan adalah salah satu jenis arsitektur tradisional Jawa. Rumah tradisional
ini telah ada sejak zaman nenek moyang orang Jawa. Hal ini terbukti dengan adanya
relief yang menggambarkan keadaannya.Dalam membangun rumah Limasan juga
tidak asal membangun. Rumah Limasan memiliki falsafah yang sarat makna dan
nilai-nilai sosiokultural.
Limasan merupakan rumah keluarga jawa yang berkedudukan lebih tinggi dan
memiliki struktur yang lebih rumit dari pada rumah Kampung. Denah dasar tiang
rumah diperluas dengan menambah sepasang tiang di salah satu ujung atapnya.
Bangunan rumah Limasan dicirikan dengan pemakaian konstruksi atap yang
kokoh dan berbentuk lengkungan-lengkungan yang terpisah pada satu ruang dengan
ruang lainnya. Sebuah rumah limasan terbangun dari empat tiang utama.
Dinamakan Limasan, karena jenis rumah adat jawa satu ini memiliki denah
empat persegi panjang atau berbentuk limas. Rumah ini terdiri dari empat buah atap,
dua buah atap bernama kejen atau cocor serta dua buah atap yang disebut bronjong
yang berbentuk jajar genjang sama kaki.
Bentuk kejen adalah segitiga sama kaki seperti atap keyong dan memiliki
fungsi masing-masin. Setelah mengalami pengembangan, terdapat penambahan atap
emper pada sisi-sisinya tersebut.
Rumah Limasan
3. Rumah Panggang Pe
Rumah ini memiliki enam tiang. Separuh tiangnya ada di depan dan dibuat
lebih pendek ketimbang tiang yang ada di belakang. Menurut sejarah, rumah jenis ini
dahulu digunakan untuk hunian dan sekaligus warung tempat berjualan.
Rumah adat Panggang Pe memiliki beberapa jenis meliputi Gendhang
Salirang, Gedhang Setangkep, Empyak Setangkep, Trajumas, Cere Gencet dan juga
Barengan. Tiga jenis yang pertama mempunyai kesamaan yaitu merupakan dua rumah
yang dijadikan satu. Sementara rumah Panggang Pe Trajumas memiliki enam
penyangga.
Sedangkan rumah Barengan memiliki dua atau lebih rumah Panggang Pe yang
berderet. Rumah jenis ini sebagian besar berbahan kayu tanpa cat dan menggunakan
atap dari genting. Rumah Panggang Pe masih bisa Anda temukan di daerah Jawa
Tengah yang berbatasan dengan Yogyakarta.
Rumah Panggang Pe
4. Rumah Tajug
Bentuk rumah Tajug merupakan rumah adat jawa yang difungsikan sebagai
rumah ibadah.Keunikan rumah Tajug terdapat pada langgar tanpa penanggap
(bertemu-beradu).Denah rumah ini berbentuk bujur sangkar dan masih dipertahankan
dari bentuk aslinya hingga saat ini.
Tajug atau Masjid merupakan bangunan dengan bentuk atap berupa piramidal.
Dalunya bentuk Tajug ini hanya berupa “Punden/Cungkup” yang artinya tempa
memudhi atau memuja para arwah leluhur.
`Rumah Tajug adalah bentuk masjid khas masyarakat Jawa dan berbeda dengan
bentuk masjid pada umumnya yang memiliki kubah. Desain tersebut merupakan hasil
kolaborasi lingkungan, tradisi dan budaya masyarakat setempat.Secara umum Tajug
memiliki bentuk yang sama dengan Joglo yaitu dengan denah ruangan bujur sangkar
serta beratap brunjung yang tinggi menjulang serta berciri khas memiliki konstruksi
“Tumpang Sari”.
Yang membedakan Rumah Tajug dengan Joglo adalah atap brunjung pada
dua sisinya berbentuk trapesium sedangkan pada Tajug keempat sisi atap
Brunjungnya berbentuk segitiga dan lancip. Bentuk tersebut melambangkan
keabadian dan keesaan Tuhan.
Manusia modern boleh saja memiliki arsitektur modern. Namun, warisan
arsitektur dari nenek moyang kita tetap harus kita jaga. Rumah adat jawa adalah karya
arsitektur yang luar biasa, penuh perhitungan dalam proses pembangunannya. Sangat
cocok bagi wilayah tropis, sehingga tidak jarang banyak manusia modern yang
membangun rumah adat jawa yang sedikit di modernisasi untuk kepentingan
kenyamanan.
5. Rumah Joglo
Nama Joglo diambil dari dua suku kata yaitu “tajug” dan “loro”. Artinya
adalah penggabungan dua tajug. Hal ini berdasarkan pada atap rumah Joglo yang
berbentuk tajug yang serupa gunung.
Orang Jawa kuno percaya bahwa gunung merupakan simbol yang sakral.
Baginya, gunung merupakan tempat tinggal bagi para dewa. Maka dari itu, dua tajug
dipilih menjadi atap rumah adat Jawa Tengah. Penyangga dari atap rumah adalah
empat pilar yang disebut dengan “saka guru”. Pilar ini adalah representasi arah mata
angin yaitu timur, selatan, utara, dan juga barat.
Sedangakan rumah joglo ditinjau dari sebuah Atap Joglo yaitu sebuah bentuk
atap yang paling khas dan mungkin masih dibilang paling rumit. Atap Joglo adalah
bentuk atap yang paling khas dan paling rumit. Atap joglo dikaitkan dengan tempat
tinggal bangsawan (Keraton, kediaman resmi, bangunan pemerintah, dan rumah
bangsawan Jawa atau nigrat). Saat ini pemiliknya tidak lagi terbatas pada keluarga
bangsawan, tetapi siapa saja yang memiliki cukup dana untuk membangunnya. Sebab,
untuk membangun rumah Joglo dibutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan
lebih mahal.
Atap Joglo memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari 2 jenis atap
sebelumnya. Atap utama lebih curam, sementara bubungan atap tidak sepanjang
rumah Limasan. Di empat tiang utama yang mendukung atap di atasnya terdapat
susunan khas berupa tiang-tiang berlapis yang diartikan sebagai tumpang sari. Selain
itu, jika rumah Joglo terjadi kerusakan, proses perbaikan tidak boleh mengubah
bentuk semula. Orang Jawa percaya, melanggar aturan ini akan menimbulkan
pengaruh yang kurang baik pada penghuni rumah.
Rumah Joglo
2. Pringgitan
Sebuah Pringgitan yaitu sebuah ruang yang menghubungkan antara pendopo
dengan omah. Dan Peringitan merupakan sebuah tempat untuk ringgit, yang memiliki
sebuah arti wayang atau bermain wayang. Dan Pringgitan ini memiliki sebuah bentuk
atap kampung atau limasan.
Pringgitan
3. Omah
Omah yaitu sebuah rumah utama. Sedangkan sebuah kata omah berasal dari
Austronesia yang berarti “rumah”. Omah biasanya memiliki tata letak persegi atau
persegi panjang dengan sebuah lantai yang ditinggikan. Sedangkan bagian tengah
omah menggunakan bentuk atap limasan atau joglo. Dan sebuah daerah di bawah atap
dibagi serta oleh bilah-bilah dinding menjadi sebuah daerah dalam dan luar.
Omah
Senthong Kiwo
6. Senthong Tengah
Senthong Tengah ialah kamar yang letaknya berada di bagian tengah,
posisinya paling dalam dan Senthong Tengah ini adalah bagian paling disucikan serta
disakralkan oleh pemilik rumah Joglo.
Banyak istilah yang dipakai untuk menyebut ruangan ini sesuai dengan
fungsinya, diantaranya krobongan, pasren, pedaringan, sepen dan Sri.
Krobongan
Krobongan bermakna tempat pembakaran (berasal dari kata “Obong” atau
bakar). Istilah ini diberikan sebab senthong tengah umumnya dipakai sebagai ruangan
untuk membakar kemenyan ketika si pemilik rumah melakukan upacara pitra yadnya
(pemujaan kepada leluhur).
Pasren
Pasren/pepasren/sesaji berasal dari kata pa-sri-an yang mempunyai arti sebagai
tempatnya Dewi Sri, yakni dewi penguasa tanaman padi. Saat datangnya musim
panen, para petani membungkus seuntai padi yang pertama kali dipotong memakai
kain batik lalu diletakkan di senthong tengah sebagai persembahan kepada Dewi Sri.
Oleh karena itu pasren disebut sebagai tempat untuk Dewi Sri.
Pedaringan
Pedaringan mempunyai arti tempat padi (berasal dari kata “Daring” yang
bermakna gabah kering). Istilah itu disematkan karena padi identik dengan Dewi Sri.
Sepen
Sepen atau tempat untuk menyepi, karena ruangan ini sering dipakai oleh
penghuninya untuk berdoa, bermeditasi dan sembahyang.
Sri
Istilah yang terakhir yakni Sri, sesuai dengan nama Dewi Sri sebagai tempat
Dewi Sri bertandang. Keberadaan Dewi Sri diwujudkan dengan dibuatnya patung
Loro Blonyo sebagai symbol dewi kemakmuran.
Senthong tengah ini sengaja tidak ditiduri atau sengaja dikosongkan oleh sang pemilik
rumah. Dahulu isi ruangan dan kelengkapan prasarana untuk upacara atau ritual di dalam
senthong tengah disesuaikan dengan status ekonomi pemiliknya. Untuk masyarakat dengan
status ekonomi rendah seperti petani, senthong tengah hanya diisi dengan sebuah meja sesaji.
Untuk masyarakat keturunan bangsawan dan priyayi, selain meja sesaji, ruangan juga diisi
tempat tidur berukuran kecil, lengkap dengan kasur, bantal, guling, dan sprei. Sedangkan
pada bangsawan dengan status sosial yang sangat tinggi, ruang senthong tengah yang mereka
miliki berukuran besar, tempat tidur yang ditaruh mengenakan kelambu, dan diletakkan
sepasang arca pengantin di depan kasurnya.
Salah satu ciri khas senthong tengah ialah kondisi ruangan yang sangat gelap sekali
tanpa ada cahaya yang masuk. Hal ini terjadi sebab letaknya yang berada ditengah dan tidak
terdapat jendela. Pemilik rumah berdoa dengan keadaan gelap gulita dimana kondisi ini
disebut pati geni yang berarti tidak melihat cahaya atau berada diruang hampa cahaya.
Senthong Tengah
7. Senthong Tengen
Senthong Tengen ialah kamar yang letaknya berada di bagian kanan omah
ndalem, sesuai dengan namanya “Tengen” yang bermakna kanan dalam bahasa Jawa.
Biasanya kamar ini difungsikan sebagai ruang tidur khusus pemilik rumah sehingga
sifatnya sangat pribadi dan tertutup untuk dimasuki orang luar. Akan tetapi kamar ini
lebih multifungsi jika dibandingkan dengan Senthong Kiwo karena untuk penduduk
menengah ke atas pada masa lampau.
Ruangan ini dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan barang-barang yang
dipakai dalam acara resmi (pakaian adat, perhiasan), keperluan upacara (dupa,
kemenyan), dan barang pusaka (keris, tombak) yang tersimpan di dalam lemari.
Namun bagi masyarakat menengah kebawah biasanya senthong tengen hanya
digunakan sebagai kamar tidur orang tua.
Senthong Tengen
8. Gandhok Kiwo
Gandhok ialah ruangan yang letaknya berada di bagian kanan dan kiri
Pringgitan dan Omah Ndalem, bentuknya arsitekturnya memanjang dan posisinya
berpisah dari bangunan utama dengan halaman terbuka sebagai pemisah.
Pada umumnya Gandhok difungsikan sebagai ruang tidur bagi keluarga,
saudara dan tempat tamu menginap. Gandhok terdiri dari dua bagian yakni Gandhok
Kiwo dan Gandhok Tengen. Gandhok Kiwo berada di bagian kiri bangunan Omah
Ndalem dan digunakan sebagai ruang tidur para laki-laki.
Gandhok kiwo
9. Gandhok Tengen
Gandhok Tengen berada di bagian kanan bangunan Omah Ndalem dan
digunakan sebagai ruang tidur para perempuan. Walaupun umumnya digunakan
sebagai ruang tidur, adakalanya Gandhok juga digunakan sebagai tempat menyimpan
bahan makanan.
10.Pawon
Pawon atau dapur berada di bagian belakang Omah Ndalem yang dipisahkan
dengan halaman terbuka seperti halnya Gandhok.
Posisi dapur dipisahkan dari bangunan inti karena bangunan inti dianggap
sangat suci dan sakral sehingga tidak baik bila berdekatan dengan dapur yang kotor.
Dahulu proses memasak masih memakai kayu sebagai sumber bahan bakar
sehingga dapur identik dengan banyaknya abu yang terbentuk dari hasil pembakaran.
Oleh karena itu kata pawon berasal dari kata dasarnya yaitu awu atau abu.
Pawon/Dapur
11.Pekiwan
Pekiwan difungsikan sebagai kamar mandi dan toilet bagi para penghuni
rumah. Di dalam pekiwan ini terdapat sumur sebagai sumber air yang digunakan
untuk mandi, mencuci dan memasak.
Menariknya dari pekiwan ini yakni posisinya jauh terpisah dari bangunan inti
yaitu berada di bagian belakang dapur. Seperti halnya dapur, Pekiwan dianggap
sebagai tempat yang kotor dan bau sehingga posisinya tidak boleh berdekatan dengan
bangunan inti.
12.Seketheng
Seketheng ialah dinding pembatas yang terbuat dari batu bata dan memiliki
dua buah gerbang kecil. Seketheng dipakai sebagai penghubung halaman luar rumah
dengan halaman dalam rumah.
Struktur Rumah Joglo
Biasanya rumah Joglo dibangun memakai kayu jati berkualitas tinggi sehingga awet
tetapi juga mahal. Oleh sebab itu dahulu rumah Joglo hanya mampu dibangun untuk
masyarakat kalangan atas.
Struktur utama rumah Joglo berupa struktur Rongrongan yang terbentuk dari beberapa
bagian seperti gambar dibawah ini:
Tiang Soko Guru atau Sakaning Guru adalah empat buah tiang penopang atap yang
berada dibagian tengah pendhapa dan lebih tinggi dari tiang-tiang lainnya. Selain kegunaanya
sebagai penopang atap dan penyangga tegaknya rumah, masing-masing tiang ini juga menjadi
simbol empat arah mata angin yang mewakili empat esensi kesempurnaan hidup dan esensi
dari sifat manusia. Tiang soko guru ini terletak dibagian pendopo terdiri bersama dengan
tiang pangarak atau tiang samping yang menopang bagian lain pendopo.
Selain bentuk brunjung atau piramida terbalik, sekarang ini banyak juga tumpang sari
yang berbentuk hampir mirip dengan piramida dimana susunan balok semakin ke atas
semakin mengerucut. Tumpang sari ini memiliki fungsi untuk menopang bagian langit-langit
Joglo (pamindhangan).
Selain tiang soko guru dan tumpang sari, tentu saja atap rumah joglo menjadi ciri khas
utama rumah joglo.
Penyebutan Joglo berdasarkan bentuk atapnya yang berbentuk gunung dan dinamakan
Tajug, namun kemudian berkembang menjadi atap Joglo/Juglo yaitu singkatan dari Tajug
Loro atau dua tajug yang digabungkan menjadi satu.
Atap rumah Joglo tersusun atas dua bagian, yakni rangka atap dan penutup atap.
Bahan yang biasanya dipakai untuk rangka atap Joglo yaitu kayu, baik kayu polos maupun
yang dipenuhi ukiran, yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masing-masing
penghuni. Rumah adat Jawa Tengah
Sedangkan bahan penutup atap biasanya menggunakan genteng tanah liat dan atap
sirap. Genteng tanah liat dihasilkan dari tanah liat yang ditekan kemudian dibakar.
Kekurangan dari genteng ini ialah terjadinya perubahan warna dan munculnya jamur bila
semakin lama digunakan.
Sedangkan atap sirap terbuat dari kepingan tipis kayu ulin. Kelebihan penutup atap ini
yaitu ringan, kuat, memantulkan panas sehingga membuat ruangan dibawah lebih sejuk dan
membuat tampilan atap lebih cantik. Selain itu atap sirai mampu bertahan sampai 25 tahun
bahkan bisa selamanya bergantung dari lingkungan, kualitas kayu yang digunakan, dan
besarnya sudut atap.