Anda di halaman 1dari 12

Proposal

SEMINAR TENTANG BUKU

SUTAN PANGURABAAN PANE


TOKOH PERGERAKAN NASIONAL DARI TAPANULI

PENDAHULUAN

TAHUN 2019, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kesejarahan,


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, menggelar program
Fasilitas Penulisan Buku Sejarah. Program ini memberi kesempatan kepada
masyarakat untuk menulis buku sejarah tentang peristiwa-peristiwa sejarah
yang ada di daerah masing-masing.
Kami menilai tujuan program tersebut sejalan dengan upaya yang kami
lakukan selama beberapa tahun terakhir dalam mengumpulkan potongan-
potongan sejarah yang terjadi di Tapanuli bagian Selatan. Banyak peristiwa
bersejarah di Tapanuli bagian Selatan, namun sangat sedikit dari peristiwa
sejarah itu yang dirangkum dan dikumpulkan menjadi buku yang penting
untuk diketahui oleh masyarakat. Sejarah menjadi penting agar masyarakat
lebih mengenal, mewarisi dan mengakarkan sejarah dalam kehidupannya.
Melalui penanaman nilai-nilai sejarah dan pemberian pemahaman sejarah
kepada masyarakat, akan semakin memperkuat semangat nasionalisme,
identitas, dan nilai-nilai kebangsaan.
Berangkat dari hal tersebut, kami mengajukan dua proposal untuk
mendapatkan program tersebut, yakni sejarah tentang para tokoh seperti
Willem Iskander dan Sutan Pangurabaan Pane. Alhamdulillah, Direktoran
Jenderal Kesejarahan menyetujui proposal, terutama sejarah tentang tokoh
Sutan Pangurabaan Pane.
Sudah lama masyarakat ingin tahu tentang Sutan Pangurabaan Pane.
Setelah salah seorang anaknya, Lafran Pane, dinobatkan Presiden Joko
Widodo sebagai Pahlawan Nasiona pada 2017, keinginan masyarakat untuk
lebih mengenal Sutan Pangurabaan Pane semakin besar. Untuk itulah, kami
melakukan penelitian sejarah tentang Sutan Pangurabaan Pane, yang
kemudian sampai pada kesimpulan bahwa dia adalah mentor dari Lafran
Pane.
Sebagai seorang ayah, Sutan Pangurabaan Pane ternyata menginspirasi
anak-anaknya. Apa yang dilakukan Sutan Pangurabaan Pane semasa
hidupnya, menjadi gambaran dari apa yang dilakukan oleh anak-anaknya. tiga
anak Sutan Pangurabaan Pane—Sanusi Pane, Armijun Pane, dan lafran Pane--
sama-sama memulai gerakan politiknya sebagai wartawan, yang menulis
laporan-laporan di media cetak sebagaimana Sutan Pangurabaan Pane telah
melakukannya lebih dahulu.
Pekerjaan sebagai wartawan ditinggalkan Sutan Pangurabaan Pane,
lalu mendirikan surat kabar dan memilih menjadi sastrawan. Sanusi Pane dan
Armijn Pane juga meninggalkan pekerjaan sebagai wartawan, lalu mendirikan
majalah bersama rekan-rekannya, lalu memutuskan menjadi sastrawan.
Berbeda dengan Lafran Pane, justru memilih berorganisasi setelah berhenti
menjadi wartawan.
Sebagai sastrawan, Sutan Pangurabaan Pane punya sikap politik yang
jelas, di mana dia memilih menulis dalam bahasa Batak. Bagi Sutan
Pangurabaan Pane, bahasa Batak lebih dimengerti oleh masyarakat
pembacanya. Selain itu, bahasa Batak merupakan bahasa ibu dari
pembacanya, sehingga bahasa daerah itu harus dilestarikan sebagai bentuk
penghargaan atas nilai-nilai budaya daerah.
Sanusi Pane dan Armijn Pane dikenal juga sebagai pemikir kebudayaan,
yang memandang perlunya kita menjaga nilai-nilai budaya Timur. Pemikiran
kedua anak Sutan Pangurabaan Pane ini mengulangi apa yang menjadi dasar
pemikiran Sutan Pangurabaan Pane yang sangat menghargai nilai-nilai
budaya masyarakat Batak.
Sementara Lafran Pane, anak Sutan Pangurabaan Pane yang lebih
memilih dunia organisasi, sebetulnya melanjutkan apa yang dilakukan Sutan
Pangurabaan Pane. Semasa hidupnya, Sutan Pangurabaan pane aktif dalam
sejumlah organisasi, dan, bahkan, mendirikan banyak organisasi di lingkungan
Tapanuli. Dia salah seorang pendiri Muhammadiyah Sipirok, dia juga terlibat
dalam Serikat Islam. Di dunia politik, Sutan Pangurabaan Pane dikenal sebagai
fungsionaris Partindo.
Buku tentang Sutan Pangurabaan Pane ini membahas sosok tokoh
masyarakat di Tapanuli bagian Selatan ini selama tiga zaman: zaman
kolonialisme Belanda (1883-1942), zaman kolonialisme Belanda (1943-1945),
dan zaman pasca kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1975). Dalam
setiap zaman, Sutan Pangurabaan Pane mempunya peran tidak sedikit, baik
sebagai guru, sastawan/penulis, pemikir kebudayaan, pendakwah, dan tokoh
pergerakan nasional. Dia juga menjadi ayah yang berhasil mendidik enam
anak-anaknya, juga menjadi pebisnis yang luar biasa sebagai pendiri
perusahaan transportasi, P.O. Sibualbuali hingga memiliki ratusan armada.
Guna menguji isi buku sejarah tentang Sutan Pangurabaan Pane ini,
kami akan menggelar seminar dengan tema:

Tema Kegiatan:

Menggali Nilai-Nilai Sejarah untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat


di Tapanuli bagian Selatan.

Jadwal, Waktu, dan Tempat

Di Ruang Rapat Gedung Dinas Perpustakaan Kabupaten Tapanuli Selatan


pada Selasa, 3 Desember 2019.
Pembicara:

1. Erwin Siregar, S. Pd, M. Pd, dosen sejarah di Institut Pendidikan


Tapanuli Selatan (IPTS)
2. Dr. Muhsanah Pasaribu, Rektor Universitas Muhammadiyah Tapanuli
Selatan.
3. H. Budi P. Hatees, M.M., penulis buku Sutan Pangurabaan Pane,
Tokoh Pergerakan Nasional dari Tapanuli.

Sinopsis Buku

Sutan Pangurabaan Pane


Tokoh Pergerakan Nasional dari Tapanuli

BAB I

SUTAN Pane berasal dari keluarga sederhana dari Desa Pangurabaan, sebuah
perkampungan penduduk yang dibangun dan dihuni masyarakat bermarga
Pane. Di zaman kolonialisme Belanda, perkampungan ini disebut luat dan
masuk dalam wilayah Kuriahooft Sipirok yang berpusat di Luat Bagas
Nagodang.
Letak Luat Pangurabaan berada persis di sebelah Utara, atau
berbatasan langsung dengan Luat Bagas Nagodang, sebuah perkampung
yang dibangun dan dihuni oleh masyarakat marga Siregar. Dari cerita lisan
yang dipercaya masyarakat, Luat Bagas Nagodang merupakan perkampungan
pertama (kampung tua) di wilayah Sipirok. Perkampungan ini dibangun oleh
masyarakat marga Siregar yang bermigrasi dari daerah Muara, di pinggir
Danau Toba. Dalam perkembangan berikutnya, terjadi asimilasi kultural antara
masyarakat marga Siregar dengan masyarakat marga lain akibat perkawinan.
Salah satunya terjadi perkawinan antara masyarakat marga Siregar dengan
masyarakat marga Pane.
Masyarakat marga Pane sendiri merupakan masyarakat migrasi dari
wilayah Utara, yang mendiami bagian pesisir Timur, dan oleh banyak ahli
disebut sebagai masyarakat marga yang mendirikan Kerajaan Panai, sebuah
kerajaan maritim di wilayah pesisir Timur Pulau Sumatra dan berkuasa hingga
ke Selat Malaka. Masyarakat marga Pane kemudian bermigrasi ke wilayah
Sipirok, kemudian terjadi perkawinan dengan masyarakat marga Siregar. Pihak
keluarga marga Pane mengambil istri dari pihak keluarga marga Siregar, dan
posisi pihak yang mengambil istri dalam nilai-nilai budaya masyarakat Batak
disebut anak boru, yang harus menghormati posisi pihak pemberi anak gadis
dengan sebutan mora.
Setelah pernikahan antara marga Pane dengan marga Siregar,
hubungan di antara dua masyarakat marga ini semakin erat. Sebagai
penghargaan atas hubungan baik di antara dua marga, marga Siregar
kemudian memberi lahan kepada pihak marga Pane yang masih tinggal di
daerah Arse agar membuka perkampungan baru di dekat perkampungan
marga Siregar. Sejak itu, perkampungan marga Pane berdiri di samping
perkampungan marga Siregar, dan perkampungan itu diberi nama
Pangurabaan.
Sutan Pane lahir di Desa Pangurabaan pada tahun 1883. Ayahnya, Dja
Enda Pane, merupakan anak pertama dari Mangaraja Pamutung Pane. Dia
seorang pedagang, yang meninggal dunia karena terserang wabah penyakit
saat usia Sutan Pane baru 5 tahun. Sutan Pane kemudian diasuh oleh ibunya
seorang diri. Tinggal di rumah mereka, bersama neneknya, Mangaraja
Pamutung Pane, ibu Sutan Pane memutuskan tidak akan menikah lagi dan
hidup untuk mendidik anaknya.
Perjuangan ibunya dalam menghidupi Sutan Pane seorang diri,
membuat saudara laki-lakinya (ibotonya) merasa kasihan dan mengajak Sutan
Pane dan ibunya tinggal bersamanya di Bagasa Nagodang. Saudara laki-laki
ibunya atau tulang Sutan Pane bernama Badaruddin Siregar. Nama ini lebih
dikenal di lingkungan masyarakat Sipirok bukan hanya sebagai seorang
mubaliq yang dipanggil Syekh Badurrahman Siregar, tapi juga anggota
keluarga Kuriahooft Sipirok yang berpusat di Luat Bagas Nagodang.
Dalam kebijakan administrasi pemerintahan Pemerintah Hindia
Belanda, kuriahoft setingkat dengan kecamatan dan dipimpin oleh orang
yang berasal dari lingkungan masyarakat marga paling dominan di daerah
bersangkutan. Di zaman kolonialisem Belanda, Pemerintah Hindia Belanda
membagi wilayah Sipirok ke dalam wilayah Onder-afdeeling Sipirok yang
merupakan bagian dari Afdeeling Ankola en Sipirok.
Afdeeling Ankola en Sipirok dipimpin oleh seorang Asisten Resisden
berkebangsaan Belanda, dan Asisten Residen ini menunjuk pimpinan di Onde-
afdeeling Sipirok sebagai pimpinan yang disebut Demang yang juga
berkebangsaan Belanda. Demang berdasarkan stabblat yang dikeluarkan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia atas saran dari Residen Hindia
Belanda di Keresidenan Tapanuli yang berpusat di Kota Sibolga, menunjukkan
siapa yang menjadi kepala kuriahooft di sebuah daerah.
Wilayah Sipirok kemudian dibagi atas tiga pemerintahan kuriahooft:
Kuriahoft Sipirok Bagasa Nagodang, Kuriahoft Baringin, dan Kuriahoft Parau
Sorat. Sipirok identik sebagai daerah yang masyarakatnya bermarga Siregar,
sehingga marga Siregar dipilih menjadi Kepala Kuria di Kuriahoft Bagas
Nagodang, Kuriahoft Baringin, dan Kuriahooft Parau Sorat.
Kepala Kuriahooft dipilih dari lingkungan tokoh adat atau raja pamusuk
(pihak keluarga pembuka kampung). Luat Bagas Nagodang merupakan
perkampungan pertama di Sipirok, anak keturunan dari raja pamusuk asal
Luat Bagas Nagodang yang menyebar ke Baringin dan Parau Sorat. Hubungan
kekeluargaan antara Kepala Kuriahooft Bagas Nagodang dengan Kepala
Kuriahooft Baringin dan Kepala Kuriahooft Parau Sorat adalah hubungan
kahanggi dalam ikatan Dalihan Na Tolu.
Syekh Badurrahman Siregar adalah adik sepupu dari Kepala Kuriahooft
Bagas Nagodang, Kepala Kuriahooft Baringin, dan Kepala Kuriahooft Parau
Sorat adalah hubungan kahanggi dalam ikatan Dalihan Na Tolu. Keluarga
besar marga Siregar di Sipirok menjadi keluarga kuria, dan dengan sendirinya
mereka memiliki kedudukan sosial yang tinggi di lingkungan masyarakatnya.
Kedudukan sosial itu bukan saja ditentukan oleh posisi kultural dalam adat-
istiadat masyarakat Batak, tetapi juga kualitas ekonomi keluarga.
Seluruh keluarga Kuriahooft di Sipirok merupakan keluarga para
bangsawan kaya, sehingga secara sosial mereka punya status yang sejajar
dengan orang-orang Eropa. Kehidupan sosial keluarga orang Eropa yang ada
di Hindia Belanda, terutama di wilayah Afdeeling Sipirok en Ankola yang
berpusat di Kota Padang Sidempuan, bisa menikmati fasilitas-fasilitas sosial
termasuk pendidikan. Begitu juga halnya dengan anak-anak dari keluarga
besar dari kuriahooft, boleh menikmati pendidikan formal yang dibangun
oleh Pemerintah Hindia Belanda.

BAB II

Sutan Pane kemudian tinggal bersama tulangnya, Syekh Badurrahman Siregar.


Kelak, Syekh Badurrahman Siregar ini juga yang akan menggembleng Lafran
Pane, anak bungsu Sutan Pane. Dia dididik oleh Syekh Badurrahman Siregar
yang juga dikenal sebagai tokoh agama Islam di Sipirok.
Syekh Badurrahman Siregar belajar agama Islam dari Syekh Rokan yang
kemudian dikenal sebagai tokoh naqsahbandiah asal Sipirok yang ahli perkara
fiqih. Sebagai murid Syekh Rokan yang kemudian berangkat ke Mekkah untuk
belajar agama, Syekh Badaruddin Siregar mendapat tanggung jawab
menyerluaskan agama Islam di wilayah Sipirk dan sekitarnya.
Perjuangan Syekh Badurrahman Siregar ini berhasil mengurangi
pengaruh zending Belanda di wilayah Sipirok. Zending Belanda sudah dimulai
di Sipirok sejak 1857, diawali ketika Pendeta asal Gereja Ermelo Belanda dirim
oleh Zending Belanda untuk menyebarkan agama Kristen di wilayah Afdeling
Sipirok en Ankola. Pendeta Gustaf van Asselt ini mengawali proyek
zendingnya di wilayah Onder-afdeeling Sipirok atas perintah Residen
Tapanuli.
Pemerintah Hindia Belanda berbeda dengan negara-negara Eropa
seperti Spanyol, Purtugis, dan Inggris yang selalu punya semboyan trinitas.
Belanda saat itu hanya ingin meraup kekayaan untuk membangun
perekonomian negaranya pasca perang melawan Spanyol. Akibatnya,
pendeta-pendeta zending Belanda yang dikirim ke Hindia Belanda, kurang
mendapat dukungan finansial.
Lantaran kekurang modal, Pendeta Gustaf van Asselt mengatasi
masalah dana dengan berbisnis. Dia menjadi pengusaha penampung hasil
bumi terutama kopi yang keluar masuk luat demi luat di wilayah Sipirok. Dari
hasil berbisnis kopi, Pendeta Gustav van Asselt akhirnya paham, bahwa
masyarakat Sipirok sudah beragama Islam yang disebut Belanda sebagai
kaum Nabi Muhammad (Mumahammaden). Sebagai penganut agama Islam,
masyarakat Sipirok memiliki banyak tokoh yang menjadi Syekh, dan mampu
mengantisipasi perkembangan agama Kristen.
Berdasarkan pengetahuan tentang luasnya pengaruh agama Islam di
Sipirok, Pendeta Gustaf van Asselt memilih menyebarkan agama Kristen ke
daerah pinggiran yang pengaruh agama Islam belum terlalu kuat. Pendeta
Gustaf van Aselt kemudian sampai di Luar Parau Sorat, salah satu daerah yang
merupakan penghasil kopi. Berawal sebagai pengusaha penampung kopi,
lama kelamaan kehadiran Gustaf van Asselt diterima oleh masyarakat Parau
Sorat.
Di masa itu Dja Roemahot Nasoetion menjadi satu-satunya putra asli
daerah di Parau Sorat yang sukses. Dia memiliki berhektar kebun kopi
sekaligus menguasai perdagangan kopi. Dia berbisnis bersama Pendeta
Gustaf van Asselt. Bisnis mereka berjalan sukses. Ketika Van Asselt mencari
lahan di Parau sorat untuk pembangunan rumah dan sekolah zending,
Djaroemahot memberikan sebahagian tanahnya secara gratis.
Van Asselt kemudian sekolah (dulu disebut Sikola Topas: sekolah yang
dibangun dari anyaman bambu/ gedek). Tanah pemberian Djaroemahot
dikelola menjadi perkebunan pisang dan hasil kebun pisang ini dikontrak-
suplai ke tangsi militer Belanda di Padang Sidimpuan. Pendeta Van Asselt
akhirnya memperoleh pendapatan yang cukup dan mandiri. Ini berarti ia
dapat melayani umat sebagai pendeta penuh waktu. Tidak lagi seperti
awalnya di mana ia harus bekerja dan baru pada hari minggu menjadi
missionaris.
Hadirnya sekolah formal zending di Parau Sorat dengan guru
merupakan alumni dari Kweekshool Tano Bato, membuat agama Kristen
berkembang luas. Perkembangan itu kemudian mengundang perhatian serius
dari zending Kongsi Missi Jerman yang dipimpin oleh Pendeta I.L.
Nommensen. Pendeta I.L. Nommensen kemudian datang ke Sipirok, lalu
membeatifikasi Dja Roemahot Nasution menjadi pendeta. Nommensen,
pimpinan zending Jerman masuk ke wilayah Sipirok karena gagal melakukan
kristenisasi di Silindung, sebagai Pendeta Batak yang pertama.
Kehadiran IL Nommensen di Parau Sorat untuk mengubah strategi
pengkristenan, yang semula direncanakan di wilayah Selatan tapi bergerak
lambat karena masyarakat sudah menganut agama Islam, akhirnya diputuskan
diarahkan ke Silindung. Strategi zending dibahas di Gereja Protestan Parau
Sorat yang dibangun pendeta Gustaf van Asselt bersama Nasution dan
masyarakat. Geraja kecil itu kelak dikenal sebagai tempat lahirnya Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP).
Perkembangan agama Krissten yang begitu pesat di wilayah Parau
Sorat, mendapat sorotan dari para syekh yang ada di Sipirok. Para syekh
kemudian menggencarkan penyebaran agama Islam ke wilayah Parau Sorat,
yang kemudian berhasil mendorong pengaruh Gustaf van Asselt semakin ke
pinggir. Kondisi ini membuat zending RGM yang dipimpin Pendeta I.L.
Nommensen memutuskan lebih fokus menyebarkan agama Kristen ke Utara,
ke wilayah Bataklandens, terutama di Silindung.
Ketika Pendeta I.L. Nommensen memutuskan ke Silindung, beberapa
pendeta dari zending Belanda diperintahkan bertahan di Sipirok, tapi di
wilayah pinggiran di sekitar Kuriahooft Parau Sorat: Luat Bunga Bondar dan
sekitarnya. Pendeta Gustaf van Asselt bertanggung jawab atas penyebaran
agama Kristen di wilayah tersebut bersama beberapa rekan pendeta.
Perjuangan Syekh Badurrahman Siregar untuk memperluas penyebaran
agama Islam dan mempersempit wilayah penyebaran agama Kristen,
mendapat reaksi dari penguasa Keresidenan Tapanuli di Kota Sibolga. Namun,
pengaruh keluarga besar marga Siregar yang begitu luas di wilayah Afdeeling
Ankola en Sipirok yang berpusat di Kota Padang Sidempuan, membuat
Pemerintah Hindia Belanda memilih untuk menomorduakan masalah
penyebaran agama Kristen dan mendahulukan berbisnis di bidang hasil-hasil
bumi terutama kopi, kulit manis, rotan, dan kayu.
Pertimbangan Pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Tapanuli
waktu itu demi kenyamanan mencapai tujuan menjajah untuk mengumpulkan
harta disamping fokus untuk mengatasi pemberontakan Si Singamangaraja XII
di wilayah Distrik Bataklandens atau di bagian Utara. Jika Pemerintah Hindia
Belanda mendorong tujuan-tujuan misionaris, mereka akan gagal
menghadapi tokoh-tokoh agama Islam di Selatan, karena semua tokoh agama
Islam itu masih memiliki hubungan kekerabatan yang erat antara satu dengan
lainnya. Mereka berasal dari masyarakat marga yang begitu erat, kedekatan
antara satu dengan lainnya diikat oleh ikatan pernikahan.
Keluarga besar marga Siregar yang menjadi Kuriahooft di Sipirok,
sudah menjalin hubungan kekerabatan yang diikat dengan perkawinan
dengan keluarga Kepala Kuriahooft Pijorkoling yang tinggal di Batunadu
danbermarga Harahap. Terjalinnya hubungan kekerabatan antara keluarga
Kepala Kuriahooft Bagas Nagodang di Sipirok dengan Kepala Kuriahooft
Batunadua di Padang Sidempuan membuat hubungan Sipirok dengan Padang
Sidempuan menjadi dekat. Kekuatan hubungan itu tak mungkin ditandingi
oleh Pemerintah Hindia Belanda sehingga Asisten Residen Afdeeling Ankola
en Sipirok memutuskan menomorduakan kepentingan zending di wilayah
Afdeeling Ankola en Sipirok. Keputusan itu diambil mengingat para
pemegang kekuasaan di wilayah Kota Padang Sidempuan adalah keluarga
besar marga Harahap.
Keluarga besar marga Harahap merupakan masyarakat marga dominan
di Padang Sidempuan. Sebagaimana kebijakan Pemerintah Hindia Belanda,
keluarga marga dominan diputuskan menjadi Kepala Kuriahooft di Padang
Sidempuan: Harahap di Pijor Koling yang merupakan keturunan Radja
Imbang Desa, harahap di Hutaimbaru dan Sabungan yang merupakan
keturunan Ompoe Saroedak, Harahap di Sidangkal yang merupakan
keturunan Dja Bilang Naoeli, Harahap di pargarutan yang merupakan
keturunan Toenggal Hoeajan, dan harahap di Losung Batu yang merupakan
keturunan Lombang Alom.
Masyarakat marga Harahap adalah momok bagi Pemerintah Hindia
Belanda karena pernah ada keuturunan harahap bernama Soetan Habiaran
Harahap melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda pada
1870. Dia memimpin pasukan dan membuat Pemerintah Hindia Belanda
kewalahan, menderita banyak kerugian yang menyebabkan tujuan-tujuan
Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Keresidenan Tapanuli tak tercapai.
Berperang dengan masyarakat marga Harahap akan membuat Pemerintah
Hindia Belanda merugi, belum lagi bila ditambah harus memerangi marga
Siregar.
Akibat kebijakan Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Sipirok yang
memilih mengalihkan strategi penyebaran agama Kristen ke wilayah
Silindung, fasilitas pendidikan yang dibangun zending Belanda pun akhirnya
ditutup dan dialihkan ke Utara. Perlahan-lahan pengaruh Kristen di Parau
Sorat berkurang, dan masyarakat yang pernah masuk Kristen kembali masuk
Islam. Namun demikian, para pengusaha Belanda yang berbisnis dengan
masyarakat tidak pernah dihalangi. Masyarakat tetap menjual hasil panennya
kepada penguasaha-pengusaha Belanda, dan masyarakat juga boleh bekerja
dengan para pengusaha itu sebagai buruh pengangkut.

BAB III

MELEMAHNYA pendidikan formal zending mendorong tokoh-tokoh Islam di


Sipirok membangun pusat-pusat pendidikan Islam yang siaftnya informal.
Pusat-pusat pendidikan agama Islam dikembangkan dalam bentuk pengajian-
pengajian di berbagai luat. Di lembaga pendidikan informal inilah Sutan Pane
tumbuh dan mengenal agama Islam. Syekh Badurrahman Siregar selalu
membawa Sutan Pane ke mana saja dia pergi menyebarluaskan agama Islam.
Di dalam pertemuan-pertemuan antara tokoh-tokoh agama Islam yang
berjuang mengikis pengaruh zending Kristen di berbagai pelosok daerah di
wilayah Afdeeling Sipirok en Ankola, Syeikh Badurrahman Siregar banyak
berperan. Dia berkawan karib dengan para syeikh lainnya, terutama syeikh
yang ada di Kota Padang Sidempuan, Mandailing, Natal, Padang Lawas, dan
Sibuhuan.
Setelah Sutan Pane tumbuh besar, Syeikh Badurrahman Siregar
kemudian menyekolahkannya di Kweekshool Padang Sidempuan. Sekolah
formal berbahasa Belanda ini dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pasca
meninggalkan Willem Iskander, pendiri Kweekshool Tano Bato sekaligus
pendorong pentingnya pendidikan formal untuk mencerdaskan warga bangsa
rakyat jajahan. Dia bernama asli Sati Nasution, anak keluarga sederhana di
Tano Bato, dan menjadi warga pribumi pertama yang mendapat beasiswa
mengenyam pendidikan formal di Belanda.
Willem Iskander menjadi figur atau sosok inspirasi bagi generasi muda
di seluruh wilayah Afdeeling Sipirok en Ankola. Setiap generasi muda ingin
seperti Willem Iskander, sehingga semua buku yang ditulis oleh Willem
Iskander menjadi bacaan umum. Buku-buku Willem Iskander berisi anjuran
tentang pentingnya menempuh pendidikan formal, menerima moderenisme
karena hal itu beerarti ilmu pengetahuan. Willem Iskander yang juga direktur
Kweekschoool Tano Bato, berjuang keras agar anak-anak dari Afdeeling
Sipirok en Ankola dikirim sekolah ke luar negeri, Belanda.
Setelah Kweekschool Tano Bato ditutup, lalu dipindahkan ke Kota
Padang Sidempuan. Di Kweeksschool Padang Sidempuan yang dipimpin oleh
Van Oupusyen ini, Sutan Pane belajar banyak hal. Sekolah ini membentuk
sosok Sutan Pane menjadi seorang calon guru yang mengikuti saran Willem
Iskander bahwa seorang guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga orang yang
harus mengenali ilmu pengetahuan dengan memproduksi buku. Bago Willem
Iskander, seorang guru wajib menulis buku.
Sutan Pane terinspirasi oleh Willem Iskander. Pelajaran yang
diperolehnya dari Kweeksschool Padang Sidempuan tidak sekadar menjadi
pengetahuan, tapi kemudian diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.
Sutan Pane dikenal sebagai pelajar yang cerdas. Dia menguasai banyak
bahasa: Batak, Melayu, dan Belanda. Dia juga membaca banyak buku.
Tahun 1905, Sutan Pane diminta oleh Asisten Residen Ankola en
Sipirok untuk bekerja sebagai juru tulis di Keresidenan Tapanuli di Kota
Sibolga. Apa yang diajalaninya, mirip seperti nasib yang dilakoni Willem
Iskander. Di masa lalu, AP. Godong, Asisten Residen Mandhaeling en Ankola
di Panyabungan, meminta Sati Nasution (yang kelak bernama Willem
Iskander) untuk membantunya menulis di kantor Afdeeling Mandhaeling en
Ankola. Sati Nasution menjalaninya, dan pekerjaan itu membuatnya
berkenalan dengan istri AP. Godon. Melalui istri AP Godong, Sati Nasution
kemudian dilatih dan disekolahkan ke Belanda.
Nasib Sutan Pane berbeda dengan Sati Nasution. Ketika bekerja
sebagai juru tulis (klereck) di Keresidenan Tapanuli, Sutan Pane justru
mendaparti kenyataan yang berbeda. Dia menulis dan menerjemahkan surat-
menyurat antara Residen Tapanuli dengan Pendeta I.L Nommensen, pendeta
misionaris Jerman yang sedang berada di Silindung. Dari surat Pendeta I.L.
Nommensen kepada Residen Tapanuli, yang sebagian besar berisi provokasi
agar Residen Tapanuli mengirimkan tentara ke Silindung untuk memerangi Si
Singamangaraja XII, Sutan Pane jadi paham bagaimana situasi yang
sebenarnya.
Ketika menjadi bagian dari pegawai di Keresidenan Tapanuli,
pembicaraan di antara para pegawai terkait tentang pemberontakan yang
dilakukan Si Singamangaraja XII di wilayah Toba. Aksi pemberontakan Si
Singamangaraja XII itu sangat merugikan Belanda, dan membuat Pemerintah
Hindia Belanda tertekan. Pasalnya, Pendeta I.L. Nommensen di Silindung
sering mengirim kabar ke pimpinan Misi Jerman di Jerman mengenai situasi di
Silindung yang isinya menyebutkan tidakadanya dukungan Pemerintah Hindia
Belanda terhadap upaya misonaris di Silindung.
Surat-surat Pendeta I.L. Nommensen itu, beberapa tahun kemudian,
dikumpulkan oleh Prof. Dr. Uli Kozok dan dibukukan dalam buku berjudul,
Utusan Dunia Damai. Dari analisis Uli Kozok atas surat-surat tersebut,
dipaparkan bahwa Pendeta I.L. Nommensen acap memprovokasi Residen
Tapanuli untuk mengirimkan tentara ke Silindung. Alasannya, situasi tidak
terkendali karena Si Singamangaraja XII menghambat misi misionaris di
Silindung.
Residen Belanda akhirnya terprovokasi, karena Gubernur jenderal di
Batavia juga menekan. Gubernur Jenderal di Batavia mendapat tekanan dari
pemimpin RMG Jerman, dan Gubernur Jenderal di Batavia mendesak Residen
Tapanuli untuk menganeksasi Silindung sekaligus menghamcurkan
pemberontakan Si Singamangaraja XII sebagaimana sebelumnya sukses
menghentikan perlawanan pemberontakan Tuanku Imam Bonjol di Sumatra
Barat.
Menjadi juru tulis Residen Tapanuli di Sibolga, membuat Sutan Pane
mengetahui bagaimana misi Kristen di Silindung. bagi Sutan Pane, nasib Si
Singamangaraja XII menyedihkan karena disebut sebagai pemberontak dan
dijadikan musuh bersama Pemerintah Hindia Belanda dan misi RMG Jerman.
Sebagai orang yang berasal dari lingkungan keluarga Syeikh Badurrahman
Siregar di Sipirok dan tahu persis bagaimana perjuangan para tokoh Islam
dalam menyebarkan agama Islam, Sutan Pane tahu kalau di Bataklandens
sudah menyebar agama Islam sejak lama.
Beberapa tokoh Islam dari Selatan dikirim ke Utara untuk menyebarkan
agama Islam. Namun, ketika misi RGM Jerman masuk ke Utara, banyak
perkampungan Islam yang dibumihanguskan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Pada 1873, sebuah masjid di Tarutung, Silindung, dirombak oleh Belanda.
Haji-haji dan orang-orang Islam diusir dari tanah leluhur dan pusaka mereka
di Lembah Silindung. Belanda melakukan pembersihan etnis, terhadap muslim
Batak. Kekejaman Belanda terhadap orang-orang Islam inilah yang kemudian
memicu Si Singamangaraja XII memerangi Belanda.
Setelah Pemerintah Hindia Belanda menangkap dan membunuh Si
Singamangaraja XII, Sutan Pane kemudian kembali ke Padang Sidempuan.
Pengalaman selama menjadi juru tulis membuat Sutan Pane lebih mengenal
Pemerintah Hindia Belanda. Bagi Sutan Pane, kolonialisme Belanda lebih
bertujuan untuk menguras kekayaan melalui kegiatan tanam paksa. Lewat
penanaman kopi di Sipirok dan Mandailing, kolonialisme Belanda mendapat
untung besar. Keuntungan bisnis Belanda ini tidak luput dari bantuan modal
dari perusahaan milik orang Jerman yang juga mendukung misionaris RMG.
Demi mendapat keuntungan besar dari bisnis, Pemerintah Hindia Belanda
mendukung semua program misonaris RMG termasuk mengubah susunan
pemerintahan pasca tertangkapnya Si Singamangaraja XII dengan membentuk
pemerintahan-pemerintahan baru yang bertujuan mengadu-domba seluruh
masyarakat jajahan.
Sementara misi Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Toba untuk
mendukung misonaris RMG sudah berhasil menaklukkan Si Singamangaraja
XII, kolonialisme Belanda kembali ke tujuan awal untuk berbisnis di wilayah
Selatan. Namun, karena masyarakat di Selatan merupakan penganut Islam
yang memiliki tokoh-tokoh agama Islam, tidak mudah bagi Belanda uintuk
menaklukkan orang Islam di Selatan. belanda memutuskan untuk berpolitik
daripada berperang, lalu membangun lembaga-lembaga pendidikan di
lingkungan masyarakat di Selatan. Dengan harapan masyarakat yang
mengikuti pendidikan akan berpihak pada kepentingan Belanda.
Tujuan Belanda terwujud. Banyak generasi muda yang merupakan anak
keturunan dari tokoh-tokoh masyarakat, berhasil lulus dari sekolah-sekolah
formal Belanda.

BAB IV

Lulus dari Kweekschool Padang Sidempuan, Sutan Pane menjadi guru di


sekolah formal yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda setelah
Kweeksschool Padang Sidempuan ditutup. Sutan Pane kemudian menjadi
kepala sekolah di Muara Sipongi.
Sebelum menjadi kepala sekolah, Sutan Pane menikahi putri Syeikh
Badurrahman Siregar yang juga boru tulangnya. Pernikahan ini melanjutkan
tradisi dalam masyarakat marga Batak, di mana marga Pane selalu menjadi
anak boru dari marga Siregar. Setelah pernikahan yang dirayakan di
lingkungan Kuriahooft Bagas Nagodang itu, Suta Pane membawa istrinya ke
Muara Sipongi.
Di Muara Sipongi, selain menjadi guru, Sutan Pane juga berbisnis hasil-
hasil bumi seperti kopi. Pada masa itu, program tanam paksa Belanda telah
berhasil, dan kopi dari wilayah Muara Sipongi diminati. Kelak, kopi-kopi ini
yang menjadi produk kopi Mandailing yang terkenal dalam sejarah perkopian
di Nusantara. Dari berbisnis ini, Sutan Pane berhasil menghidupi keluarganya
meskipun sangat sederhana. Dia juga sukses sebagau guru yang mendidik
anak-anak.
Di Muara Sipongi, anak pertamanya, seorang perempuan, lahir. Kelak,
anak perempuannya menikah dengan dr. Tarif Siregar asal Bagas Nagodang.
Dr. Tarif Siregar ini bekerja di rumah sakit di Sibolga.
Anak kedua Sutan Pane adalah Sanusi Pane, menyusul kemudian
Armijn Pane. Setelah itu lahir dua anak perempuan. Anak keempat Sutan Pane
menikah dengan Bahari Siregar asal Kuriahooft Parau Sorat. Sedangkan anak
perempuan ke lima menikah dengan Ali Nafiah Siregar asal Kuriahooft Bagas
Nagodang.
Setelah anak kelima lahir, istri Sutan Pane menderita suatu penyakit.
Setelah sembuh, Sutan Pane membawa istrinya pindah ke Padang Sidempuan.
Sementara anak-anak Sutan Pane sudah merantau ke Jawa, terutama ke
Bandung. Di Padang Sidempuan, Sutan Pane memutuskan berhenti sebagai
guru dan lebih banyak berbisnis. Sejak itu, Sutan pane mencoba segala bisnis.
Akhirnya dia memilih menjadi pengusaha percetakan.
Sambil mengembangkan bisnis di bidang percetakan dan mulai
menulis untuk sejumlah surat kabar, anak terakhir Sutan Pane lahir dan diberi
nama Lafran Pane. Setelah Lafran Pane lahir, istrinya menderita penyakit yang
kemudian membuatnya meninggal.
Kehilangan istri sementara Lafran pane masih kecil, Sutan pane
kemudian menikahi seorang gadis asal Muara Sipongi. Gadis ini biasa ikut
dalam keluarga mereka saat Sutan Pane masih tinggal di Muara Sipongi. Tapi,
pernikahan baru ini justru membuat lafran Pane semakin tak terawat dan
akhirnya dia diajak tinggal bersama ibu Sutan Pane di Luat Bagas Nagodang.
Dari pernikahan kedua, Sutan Pane memperoleh tiga orang anak.

BAB V

SEBELUM kembali ke Padang Sidempuan, Sutan Pane kembali belajar. Dia


banyak memperoleh pengetahuan dari bahan bacaan. Saat itu, sudah banyak
surat kabar yang muncul. Beberapa dari surat kabar itu dibangun oleh para
alumni Kweekschool Padang Sidempuan seperti Dja Endar Muda.
Dja Endar Muda pada mulanya seorang guru di For De Kock (sekarang
Bukit Tinggi), tapi memutuskan berhenti dan mendirikan surat kabar. Dja
Endar Muda juga menghasilkan banyak novel yang diterbit oleh penerbit di
batavia dalam bentuk buku.
Selain buku-buku Dja Endar Muda, para alumni Kweeksschool Padang
Sidempuan juga menghasilkan banyak buku. Sutan Martua Radja, salah
seorang aliumni Kweekschool Padang Sidempuan, menulis novel terkenal
“Dua Sedjoli” dan banyak buku lainnya. Buku-buku sastra tersebut membuat
Sutan Pane terpengaruh dan mencoba menulis.
Mula-mula Sutan Pane menulis untuk surat kabar-surat kabar. Setelah
belajar banyak, Sutan Pane kemudian memutuskan mengembangkan bisnis
percetakan. Dia membangun percetakan Partopaan, dan mesin dibeli dari
Batavia. Mesin cetak itu ditaruh di Kota Sibolga. Dari bisnis baru ini, Sutan
Pane mendapat banyak untuk. Dia mencetak apa saja. Termasuk mencetak
surat kabar.
Ketika bisnis percetakannya semakin berkembang, Sutan Pane
memutuskan mendirikan surat kabar sendiri. Di surat kabarnya, Sutan Pane
menulis cerita bersambung berjudul Toelbok Haleon.

BAB VI

SUKSES sebagai penulis dan pebisnis percetakan serta pendiri surat kabar,
nama Sutan Pane melambung sebagai tokoh. Sejak itu dia banyak menulis
buku, terutama buku-buku yang merekam pengetahuan umum tentang adat-
istiadat Batak. Dia juga menulis buku-buku berisi pengetahuan baru, baik
pengetahuan teknik maupun kedokteran. Sutan Pane juga menulis buku-
buku agama yang dikhususkan sebagai buku panduan beribadah bagi anak-
anak. Buku-buku Sutan Pane tentang belajar salat banyak yang diterbitkan.
Sutan Pane menulis buku apa saja yang diniatkannya akan dibaca
masyarakat. Buku-buku itu kemudian dicetaknya dan dijualnya kepada
masyarakat. bagi masyarakat, buku merupakan tradisi baru yang sangat
penting. Membaca menjadi hal yang utama bagi masyarakat.
Setiap buku Sutan pane menekankan pentingnya menjadi bangsa yang
terdidik. Akibatnya, nama Sutan Pane semakin dikenal. Supaya buku yang
ditulisnya tidak terkesan melimpah, Sutan Pane mulai mengubah nama
penulis buku. Ada kalanya buku yang ditulisnya diberi nama penulis Sutan P.,
Sutan pane, lalu Sutan Pangurabaan Pane.

BAB VII

MENJADI tokoh yang dikenal masyarakat, Sutan Pangurabaan Pane kemudian


terjun ke politik. Mula-mula dia masuk Serikat Islam, gerakan di mana Syeikh
Badurrahman Siregar bergabung bersama tokoh-tokoh Islam. Tapi kemudian
ikut kelompok Muhammadiyah, dan mulai terlibat dalam pembangunan
sekolah-sekolah formal Muhammadiyah setelah membentuk organisasi
Muhammadiyah di Sipirok.
SD Muhammadiyah kemudian di bangun dan di lokasi kantor
Muhammadiyah. Kelomppk Muhammadiyah berkembang pesat di Sipirok.
Masyarakat Sipirok, terutama masyarakat Bagas Nagodang dan Pangurabaan,
masuk Muhammadiyah. Sampai sekarang, masyarakat Pangurabaan terkenal
sebagai basis Muhammadiyah.

Anda mungkin juga menyukai