PENDAHULUAN
Tema Kegiatan:
Sinopsis Buku
BAB I
SUTAN Pane berasal dari keluarga sederhana dari Desa Pangurabaan, sebuah
perkampungan penduduk yang dibangun dan dihuni masyarakat bermarga
Pane. Di zaman kolonialisme Belanda, perkampungan ini disebut luat dan
masuk dalam wilayah Kuriahooft Sipirok yang berpusat di Luat Bagas
Nagodang.
Letak Luat Pangurabaan berada persis di sebelah Utara, atau
berbatasan langsung dengan Luat Bagas Nagodang, sebuah perkampung
yang dibangun dan dihuni oleh masyarakat marga Siregar. Dari cerita lisan
yang dipercaya masyarakat, Luat Bagas Nagodang merupakan perkampungan
pertama (kampung tua) di wilayah Sipirok. Perkampungan ini dibangun oleh
masyarakat marga Siregar yang bermigrasi dari daerah Muara, di pinggir
Danau Toba. Dalam perkembangan berikutnya, terjadi asimilasi kultural antara
masyarakat marga Siregar dengan masyarakat marga lain akibat perkawinan.
Salah satunya terjadi perkawinan antara masyarakat marga Siregar dengan
masyarakat marga Pane.
Masyarakat marga Pane sendiri merupakan masyarakat migrasi dari
wilayah Utara, yang mendiami bagian pesisir Timur, dan oleh banyak ahli
disebut sebagai masyarakat marga yang mendirikan Kerajaan Panai, sebuah
kerajaan maritim di wilayah pesisir Timur Pulau Sumatra dan berkuasa hingga
ke Selat Malaka. Masyarakat marga Pane kemudian bermigrasi ke wilayah
Sipirok, kemudian terjadi perkawinan dengan masyarakat marga Siregar. Pihak
keluarga marga Pane mengambil istri dari pihak keluarga marga Siregar, dan
posisi pihak yang mengambil istri dalam nilai-nilai budaya masyarakat Batak
disebut anak boru, yang harus menghormati posisi pihak pemberi anak gadis
dengan sebutan mora.
Setelah pernikahan antara marga Pane dengan marga Siregar,
hubungan di antara dua masyarakat marga ini semakin erat. Sebagai
penghargaan atas hubungan baik di antara dua marga, marga Siregar
kemudian memberi lahan kepada pihak marga Pane yang masih tinggal di
daerah Arse agar membuka perkampungan baru di dekat perkampungan
marga Siregar. Sejak itu, perkampungan marga Pane berdiri di samping
perkampungan marga Siregar, dan perkampungan itu diberi nama
Pangurabaan.
Sutan Pane lahir di Desa Pangurabaan pada tahun 1883. Ayahnya, Dja
Enda Pane, merupakan anak pertama dari Mangaraja Pamutung Pane. Dia
seorang pedagang, yang meninggal dunia karena terserang wabah penyakit
saat usia Sutan Pane baru 5 tahun. Sutan Pane kemudian diasuh oleh ibunya
seorang diri. Tinggal di rumah mereka, bersama neneknya, Mangaraja
Pamutung Pane, ibu Sutan Pane memutuskan tidak akan menikah lagi dan
hidup untuk mendidik anaknya.
Perjuangan ibunya dalam menghidupi Sutan Pane seorang diri,
membuat saudara laki-lakinya (ibotonya) merasa kasihan dan mengajak Sutan
Pane dan ibunya tinggal bersamanya di Bagasa Nagodang. Saudara laki-laki
ibunya atau tulang Sutan Pane bernama Badaruddin Siregar. Nama ini lebih
dikenal di lingkungan masyarakat Sipirok bukan hanya sebagai seorang
mubaliq yang dipanggil Syekh Badurrahman Siregar, tapi juga anggota
keluarga Kuriahooft Sipirok yang berpusat di Luat Bagas Nagodang.
Dalam kebijakan administrasi pemerintahan Pemerintah Hindia
Belanda, kuriahoft setingkat dengan kecamatan dan dipimpin oleh orang
yang berasal dari lingkungan masyarakat marga paling dominan di daerah
bersangkutan. Di zaman kolonialisem Belanda, Pemerintah Hindia Belanda
membagi wilayah Sipirok ke dalam wilayah Onder-afdeeling Sipirok yang
merupakan bagian dari Afdeeling Ankola en Sipirok.
Afdeeling Ankola en Sipirok dipimpin oleh seorang Asisten Resisden
berkebangsaan Belanda, dan Asisten Residen ini menunjuk pimpinan di Onde-
afdeeling Sipirok sebagai pimpinan yang disebut Demang yang juga
berkebangsaan Belanda. Demang berdasarkan stabblat yang dikeluarkan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia atas saran dari Residen Hindia
Belanda di Keresidenan Tapanuli yang berpusat di Kota Sibolga, menunjukkan
siapa yang menjadi kepala kuriahooft di sebuah daerah.
Wilayah Sipirok kemudian dibagi atas tiga pemerintahan kuriahooft:
Kuriahoft Sipirok Bagasa Nagodang, Kuriahoft Baringin, dan Kuriahoft Parau
Sorat. Sipirok identik sebagai daerah yang masyarakatnya bermarga Siregar,
sehingga marga Siregar dipilih menjadi Kepala Kuria di Kuriahoft Bagas
Nagodang, Kuriahoft Baringin, dan Kuriahooft Parau Sorat.
Kepala Kuriahooft dipilih dari lingkungan tokoh adat atau raja pamusuk
(pihak keluarga pembuka kampung). Luat Bagas Nagodang merupakan
perkampungan pertama di Sipirok, anak keturunan dari raja pamusuk asal
Luat Bagas Nagodang yang menyebar ke Baringin dan Parau Sorat. Hubungan
kekeluargaan antara Kepala Kuriahooft Bagas Nagodang dengan Kepala
Kuriahooft Baringin dan Kepala Kuriahooft Parau Sorat adalah hubungan
kahanggi dalam ikatan Dalihan Na Tolu.
Syekh Badurrahman Siregar adalah adik sepupu dari Kepala Kuriahooft
Bagas Nagodang, Kepala Kuriahooft Baringin, dan Kepala Kuriahooft Parau
Sorat adalah hubungan kahanggi dalam ikatan Dalihan Na Tolu. Keluarga
besar marga Siregar di Sipirok menjadi keluarga kuria, dan dengan sendirinya
mereka memiliki kedudukan sosial yang tinggi di lingkungan masyarakatnya.
Kedudukan sosial itu bukan saja ditentukan oleh posisi kultural dalam adat-
istiadat masyarakat Batak, tetapi juga kualitas ekonomi keluarga.
Seluruh keluarga Kuriahooft di Sipirok merupakan keluarga para
bangsawan kaya, sehingga secara sosial mereka punya status yang sejajar
dengan orang-orang Eropa. Kehidupan sosial keluarga orang Eropa yang ada
di Hindia Belanda, terutama di wilayah Afdeeling Sipirok en Ankola yang
berpusat di Kota Padang Sidempuan, bisa menikmati fasilitas-fasilitas sosial
termasuk pendidikan. Begitu juga halnya dengan anak-anak dari keluarga
besar dari kuriahooft, boleh menikmati pendidikan formal yang dibangun
oleh Pemerintah Hindia Belanda.
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI
SUKSES sebagai penulis dan pebisnis percetakan serta pendiri surat kabar,
nama Sutan Pane melambung sebagai tokoh. Sejak itu dia banyak menulis
buku, terutama buku-buku yang merekam pengetahuan umum tentang adat-
istiadat Batak. Dia juga menulis buku-buku berisi pengetahuan baru, baik
pengetahuan teknik maupun kedokteran. Sutan Pane juga menulis buku-
buku agama yang dikhususkan sebagai buku panduan beribadah bagi anak-
anak. Buku-buku Sutan Pane tentang belajar salat banyak yang diterbitkan.
Sutan Pane menulis buku apa saja yang diniatkannya akan dibaca
masyarakat. Buku-buku itu kemudian dicetaknya dan dijualnya kepada
masyarakat. bagi masyarakat, buku merupakan tradisi baru yang sangat
penting. Membaca menjadi hal yang utama bagi masyarakat.
Setiap buku Sutan pane menekankan pentingnya menjadi bangsa yang
terdidik. Akibatnya, nama Sutan Pane semakin dikenal. Supaya buku yang
ditulisnya tidak terkesan melimpah, Sutan Pane mulai mengubah nama
penulis buku. Ada kalanya buku yang ditulisnya diberi nama penulis Sutan P.,
Sutan pane, lalu Sutan Pangurabaan Pane.
BAB VII