Anda di halaman 1dari 26

TAFSIR SURAT AL-’ASHR

Posted on Desember 4, 2007 by kajianislam

TAFSIR SURAT AL-’ASHR


Menurut MURTADHA MUTHAHHARI Dalam
DURUS FIL QUR’ANIL KARIM

Menurut Ibnu Katsir, surat Al-’Ashr merupakan surat yang sangat populer di kalangan para
sahabat. Setiap kali para sahabat mengakhiri suatu pertemuan, mereka menutupnya dengan surat
Al-’Ashr.

Imam Syafi’I dan juga Tafsir Mizan menyatakan bahwa walaupun surat Al-’Ashr pendek, tapi ia
menghimpun hampir seluruh isi Al-Qur’an. Kalau Al-Qur’an tidak diturunkan seluruhnya dan
yang turun itu hanya surat Al-’Ashr saja, maka itu sudah cukup untuk menjadi pedoman umat
manusia.

Thabathaba’i menyebutkan, “Surat ini menghimpun seluruh pengetahuan Qur’ani. Surat ini
menghimpun seluruh maksud Al-Qur’an dengan kalimat-kalimat yang indah dan singkat. Surat
ini mengandung ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, meskipun surat ini lebih tampak sebagai
surat Makkiyah.”

Di zaman Rasulullah ada seorang Nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab, yang menyaingi
Rasulullah dengan mendakwakan dirinya sebagai Nabi. Musailamah Al-Kadzab bersahabat
dengan ‘Amr bin Ash, salah satu sahabat Nabi yang termasuk terakhir dalam memeluk Islam.
Ketika surat ini turun, ‘Amr bin Ash belum masuk Islam, tetapi ia sudah mendengarnya. Ketika
ia berjumpa dengan Musailamah Al-Kadzab, Musailamah bertanya tentang surat ini: “Surat apa
yang turun kepada sahabatmu di Mekah itu?” ’Amr bin Ash menjawab, “Turun surat dengan tiga
ayat yang begitu singkat, tetapi dengan makna yang begitu luas.” “Coba bacakan kepadaku surat
itu!” Kemudian surat Al-’Ashr ini dibacakan oleh ‘Amr bin Ash. Musailamah merenung sejenak,
ia berkata, “Persis kepadaku juga turun surat seperti itu.” ‘Amr bin Ash bertanya, “Apa isi surat
itu?” Musailamah menjawab: “Ya wabr, ya wabr. Innaka udzunani wa shadr. Wa sãiruka hafrun
naqr. Hai kelinci, hai kelinci. Kau punya dada yang menonjol dan dua telinga. Dan di sekitarmu
ada lubang bekas galian.” Mendengar itu ‘Amr bin Ash, yang masih kafir, tertawa terbahak-
bahak, “Demi Allah, engkau tahu bahwa aku sebetulnya tahu bahwa yang kamu omongkan itu
adalah dusta.”

Jika Imam Syafi’i berkata bahwa seandainya seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka surat Al-
’Ashr ini sudah cukup untuk menjadi pedoman hidup manusia. Maka dengan demikian kita pun
bisa berkata, “Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka ucapan Musailamah itu
sudah cukup untuk membingungkan orang. Karena tidak mempunyai kandungan apa-apa di
dalamnya.”

Dalam Al-Qur’an, Allah sering bersumpah. Allah bersumpah dengan benda-benda, misalnya
Wasy Syamsi. Demi Matahari (QS. Al-Syams 1). Allah bersumpah dengan waktu, misalnya
Wadh Dhuhâ. Demi waktu dhuha. Wallaili idzâ sajâ. Demi malam apabila mulai gelap (QS. Al-
Dhuha 1-2). Allah juga bersumpah dengan jiwa: Wanafsiw wa mâ sawwâhâ. Demi jiwa dan yang
menyempurna-kannya (QS. Al-Syams 7). Namun, Allah paling sering bersumpah dengan waktu:
Lâ uqsimu bi yaumil qiyâmah. Kami bersumpah dengan hari kiamat. (QS. Al-Qiyamah 1),
Wallaili idzâ yaghsyâ, wannahâri idzâ tajallâ. Demi malam apabila gelap dan demi siang apabila
terang benderang (QS. Al-Lail 1-2). Dalam surat Al-’Ashr ini Allah bersumpah dengan waktu:
Wal-’Ashr.

Ada perbedaan di antara para ahli tafsir dalam mengartikan ayat ini. Ada yang mengatakan
bahwa ‘Ashr itu adalah waktu ashar, sebaliknya dari waktu dhuha. Waktu dhuha ialah
seperempat waktu yang pertama sedangkan waktu ashar adalah seperempat waktu yang terakhir.
Sebagian lagi ber-pendapat bahwa ‘Ashr di situ berarti masa, misalnya ‘Ashrush shahãbah (masa
sahabat), ‘Ashrur rasul (masa Rasul). Al-’Ashr dalam Bahasa Arab biasanya dipakai untuk
menunjukkan babakan atau periodisasi, misalnya ‘Ashrul hadid yang berarti zaman besi di dalam
sejarah.

Menurut sebagian besar mufasir, Wal-’Ashr itu menunjukkan zaman Rasul. Allah bersumpah
dengan zaman Rasul. Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa sebetulnya zaman itu, seperti
juga makan (tempat), tidak ada yang baik atau jelek. Tidak ada waktu yang mulia atau waktu
yang hina. Tidak ada tempat yang suci dan tidak ada pula tempat yang kotor. Seluruh waktu
sama derajatnya dan seluruh tempat juga sama derajatnya. Lalu apa yang menyebabkan satu
waktu mempunyai nilai lebih tinggi dari waktu yang lain? Hal itu karena adanya peristiwa yang
berkaitan dengan waktu itu. Satu tempat juga menjadi lebih mulia dari tempat yang lainnya
bukan karena tempatnya itu, melainkan karena tempat itu berkaitan dengan suatu kejadian atau
peristiwa.

Jika Rasulullah saw tidak turun di Mekah atau Ibrahim as tidak membangun Ka’bah di situ,
maka kota Mekah itu sama nilainya dengan kota-kota lain (Cicadas misalnya). Mekah itu
menjadi mulia karena di situ ada peristiwa besar. Waktu-waktu dalam hidup kita sama
semuanya, tetapi ada waktu-waktu tertentu dalam sejarah hidup kita yang punya nilai lebih
tinggi. Kita menghormati waktu tersebut, karena di dalamnya berkenaan dengan peristiwa yang
sangat penting yang terjadi dalam hidup kita. Ada orang yang menganggap hari pernikahan-nya
adalah hari yang sangat penting. Sehingga apabila ia melihat tanggal tersebut pada kalender, ia
tersentak karena ingat bahwa tanggal itu ialah tanggal yang historis.

Mengapa kita suka memperingati hari-hari tertentu? Itu bukan karena keistimewaan harinya,
tetapi karena ada peristiwa pada hari itu. Hal ini kita anggap sebagai hal yang wajar-wajar saja.
Meskipun ada sebagian orang yang membid’ahkan peringatan hari-hari tertentu, misalnya
peringatan Hari Kelahiran Nabi. Hari itu menjadi mulia karena hari itu lahir seorang Rasul yang
menjadi rahmatan lil ‘ãlamin. Sebagian orang itu mengkritik peringatan maulid Nabi, walaupun
ia tidak mengkritik hari maulidnya sendiri. Orang itu mengkritik hari lahir Nabi, tapi tidak
mengkritik hari lahir organisasinya. Bukankah kita sering menemukan apa yang kita sebut
nostalgia? Ketika orang kembali ke tempat-tempat tertentu hanya sekedar mengenang kembali
peristiwa masa lalu, karena tempat itu punya makna yang tersendiri buat dirinya. Jadi, dalam hal
ini makna waktu dan makna tempat itu bersifat nisbi atau relatif (bergantung pada orangnya).
Oleh karena itu, ada hari-hari yang penting buat umat Islam, tetapi tidak penting menurut umat
yang lain. Ada zaman-zaman tertentu yang begitu penting menurut kelompok Islam tertentu,
tetapi tidak begitu penting bagi kelompok Islam yang lain. Bagi Ahlu Sunnah misalnya,
‘Ashrush shahãbah (zaman sahabat) adalah zaman yang penting. Ke zaman itulah Ahlu Sunnah
merujuk.

Surat ini diawali dengan kata Wal-’Ashr, demi masa (Rasulullah). Masa Rasulullah dianggap
seluruh mazhab sebagai masa yang paling penting. Dikarenakan masa itu ialah ‘Ashrut tasyri’
(masa ditetapkannya syari’at), masa diturunkannya Al-Qur’an, dan masa dikembangkannya
agama Islam. Selanjutnya Thabathaba’i menyatakan, “Inilah masa terbitnya Islam di tengah-
tengah masyarakat manusia dan masa munculnya kebenaran di atas kebatilan.”

Ayat kedua menyebutkan Innal insãna lafi khusr yang artinya: sesungguhnya manusia berada
dalam kerugian. Kata insan, menurut Muthahhari, mengandung penafsir-an bahwa di dalam
manusia itu ada dua sifat, yaitu sifat Hayawaniyah dan sifat Insaniyah (sifat-sifat kebinatangan
dan sifat-sifat kemanusiaan). Manusia dalam sifat kebinatangannya sama dengan binatang yang
lain, misalnya ingin makan, minum, menghindari hal yang menyakitkan, dan ingin memperoleh
kenikmatan dalam hidup. Muthahhari membedakan antara istilah kenikmatan dan kebahagiaan
(pleasure dan happiness). Binatang itu tidak pernah memiliki happiness, tetapi memiliki pleasure.
Dari segi ini, kita pun sama halnya dengan binatang. Kalau Anda makan yang enak, Anda belum
tentu bahagia, tetapi pasti Anda memperoleh pleasure (kenikmatan). Tapi misalnya jika Anda
adalah seorang suami yang pergi jauh merantau dan pulang ke tanah air setelah sekian tahun,
ketika Anda turun dari pesawat ke lapangan terbang, di seberang sana Anda melihat isteri dan
anak Anda. Anda akan berlari dan mencium anak isteri Anda. Saat itu Anda bukan hanya
merasakan pleasure, tetapi juga happiness.

Jadi apa yang membedakan kebahagiaan dengan kenikmatan? Kenikmat-an itu sifatnya
hayawaniyah sedangkan kebahagiaan bersifat insaniyah.

Pada segi-segi kebinatangan, kita sama dengan mahluk-mahluk yang lain. Bahkan bila
dibandingkan dengan mahluk yang lain, dalam segi jasmaniah kita adalah mahluk yang lemah, “
Wa khuliqal Insânu dha’îfâ” (QS An-Nisa 28). Manusia itu dicipta-kan dalam keadaan lemah.
Manusia dan binatang ketika keluar dari perut ibunya sudah siap segala sesuatunya secara fisik.
Namun, binatang ketika keluar dari perut ibunya, ia sudah berkembang hampir sempurna. Ia
tidak memerlukan perkembang-an yang lain kecuali perkembangan fisik. Malah dalam
perkembangan fisik, binatang itu lebih cepat berkembang dan lebih kuat daripada manusia. Anak
ayam, misalnya, yang baru menetas dari telur, beberapa menit kemudian sudah bisa berjalan dan
berlari.

Manusia tidak demikian -kecuali Gatotkaca dalam cerita pewayangan. Walau manusia itu sudah
bisa berjalan, ia belum dikatakan sebagai manusia, tetapi calon manusia. Kucing itu “menjadi
kucing” karena “dibuat menjadi kucing”, tetapi manusia “tidak dibuat menjadi manusia” atau
tidak otomatis menjadi manusia. Manusia harus membuat dirinya menjadi manusia. “Kekucingan
atau kebinatangan” itu dibuat oleh Allah sedang-kan manusia menjadikan “kemanusiaannya”
oleh dirinya sendiri. Apakah manusia itu mau menjadi manusia atau tidak, bergantung kepada
dirinya sendiri. Binatang memiliki sifat-sifat kebinatangannya itu tidak melalui proses belajar,
tidak melalui proses perkembangan kepribadian. Kalau kucing menangkap tikus atau perilaku-
perilaku lain seperti layaknya binatang, itu sudah dibuat untuk dapat berperilaku seperti itu.
Tetapi manusia harus belajar untuk mengembang-kan sifat-sifat kemanusiaannya. Ia harus
meningkatkan dirinya dari sifat hayawaniyah kepada sifat insaniyah. Ketika Allah menyatakan
innal insãna lafi khusr, maksudnya ialah bahwa manusia itu berbeda dengan binatang yang bisa
memperoleh kebinatangannya tanpa melalui proses usaha. Manusia berada dalam kerugian,
karena kita harus mengembangkan sifat-sifat kemanusia-an, dengan keinginan kita sendiri.

Apa yang bisa mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan itu ?

Kalau kita membandingkan binatang yang satu dengan yang lain yang sejenis, kita hanya bisa
membedakan dalam segi jasmaniah. Antara kambing yang satu dengan kambing yang lain tidak
begitu berbeda nilainya. Paling-paling hanya berbeda beberapa kilogram saja. Namun manusia
yang satu dengan manusia yang lain nilainya bukan beberapa kilogram, nilainya kadang-kadang
jauh seperti jauhnya langit dan bumi. Misalnya Abu Jahal dengan Rasulullah. Dari segi
hayawaniyah, kedua manusia itu nilainya sama -mungkin lebih tinggi Abu Jahal beberapa
kilogram- tetapi dari segi insaniyah, nilai Abu Jahal itu jauh lebih rendah daripada nilai
Rasulullah saw.

Apa yang membedakan nilai seorang manusia yang satu dari manusia yang lain? Yang
membedakannya adalah sejauh mana setiap orang mengembangkan nilai kemanusiaannya. Apa
yang bisa mengem-bangkan nilai kita sebagai manusia? Illalladzîna ãmanu wa ’amilush shãlihat.
Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. (Al-’Ashr 3). Jadi, ada dua hal yang
mengembangkan nilai kemanusiaan, pertama iman dan kedua amal saleh.

Mengapa iman? Binatang memiliki persepsi material. Jika ia mengejar kenikmatan, itu
kenikmatan jasmaniah. Oleh karena itu, ia tidak punya happiness. Yang disebut kebahagiaan itu
bukan yang bersifat jasmani, tetapi bersifat ruhani. Bisa jadi ada orang lapar, tetapi ia bahagia.
Ada pula orang yang bergelimang dalam kenikmatan, tetapi ia tidak bahagia. Dengan imanlah
manusia dapat meningkatkan derajat hayawaniyah-nya ke derajat insaniyah, dari pleasure kepada
happiness. Imanlah yang dapat menghubung-kan manusia dengan sifat-sifat ruhaniah atau
spiritual. Karena itu, manusia tanpa iman sama dengan binatang, nilainya sangat rendah. Ia
menjadi orang-orang yang mengejar pleasure bukan mengejar happiness. Manusia yang kosong
dari iman adalah manusia dalam pengertian majãzi saja dan pada hakekatnya ia adalah binatang.

Kita dapat menemukan orang-orang yang memiliki nilai kebahagiaan yang sangat tinggi.
Misalnya ketika Rasulullah berkata kepada Bilal, “Hai Bilal, marilah kita tenteramkan hati kita
dengan shalat.” Rasul juga berkata, “Allah jadikan shalat itu sebagai penyejuk batinku.” Al-
Qur’an melukiskan orang-orang seperti itu dengan “Qad aflaha man zakkâhâ. Sungguh
berbahagia orang yang mensucikan dirinya” (QS. Al-Syams 9). Rasulullah pun bersabda
mengenai kebahagiaan orang yang berpuasa, “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan:
ketika berbuka dan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya.” Kebahagiaan ketika berbuka bukan
karena ia mendapat makanan setelah dilaparkan. Jika demikian, apa bedanya dengan binatang
yang setelah dilaparkan lalu diberi makan. Kebahagiaan di situ karena ia telah menyelesaikan
puasa hari itu dengan baik. Kalau orang-orang yang berpuasa pada malam Idul Fitri meneteskan
air matanya ketika mendengar bunyi takbir, itu bukan kenikmatan tetapi kebahagiaan. Karena ia
telah menyelesaikan satu bulan penuh dengan keberhasilan dalam melakukan puasanya.

Kemudian yang dapat meningkatkan nilai insaniyah kita adalah a’mãlush shãlihat (amal saleh).
Jadi nilai seorang manusia itu diukur dari iman dan amal salehnya. Dalam Al-Qur’an
dinyatakan: Wa likullin darajâtum mim mâ ‘amilû. Untuk setiap orang, derajat yang sesuai
dengan amalnya (QS Al- An’am 132). Kalau Rasulullah diukur dari segi hayawaniyah-nya, maka
beliau tergolong orang yang tidak sukses. Siti A’isyah berkata bahwa Rasulullah itu pernah
berhari-hari tidak menemukan sesuatu untuk dimakan.

Menurut Muthahhari, amal saleh itu memiliki dua ciri. Pertama, ciri asli. Sesuatu disebut amal
saleh karena memang pada zatnya sudah merupakan amal saleh. Misalnya shalat, zakat, dan
berbuat baik kepada orang lain. Kedua, ciri amal saleh diukur berdasarkan hubungan dengan
pelakunya. Misalnya shalat bisa hukumnya wajib, sunat, malah bisa haram tergantung pada
pelakunya. Contohnya seseorang shalat karena ingin dianggap hebat dan ingin dipuji. Nilai orang
itu bisa jatuh dari amal saleh menjadi amal yang jelek. Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa
apabila seseorang meminjam dengan niat untuk tidak mengem-balikannya, maka Allah
menilainya sebagai pencuri. Bila seseorang ketika mengucapkan ijab kabul dan dalam hatinya
berniat untuk tidak membayar mas kawinnya, maka Allah menilainya sebagai pezina. Jadi
perilakunya sama, tetapi karena berhubungan dengan pelakunya, maka nilainya bisa berubah.

Muthahhari mengatakan bahwa apabila seseorang menagih utang dan orang yang berutang itu
mau shalat dan mengata-kan: “Nanti utang saya bayar setelah saya shalat”, maka Muthahhari
menyatakan bahwa shalatnya bukan amal saleh. Mengapa? Karena orang itu ingin segera
utangnya dibayar, sementara waktu shalatnya masih ada. Maka dalam hal itu, dahulukanlah
membayar utang daripada melakukan shalat. Contoh lain misalnya suatu waktu kita akan pergi
shalat Jum’at, lalu kita melihat orang yang tertabrak. Kalau kita tidak menolong dan malah terus
pergi shalat, maka shalat Jum’at pada saat itu bukan amal saleh. Dalam hal ini kita harus
menolong orang yang tertabrak itu dengan mengantarkannya ke rumah sakit. Karena jika kita
tidak sempat shalat Jum’at, shalat Jum’at itu bisa kita ganti dengan shalat Dzuhur.

Di sini Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan daripada nilai-nilai individual. Lalu
ada orang bertanya, “Bukan-kah hak Allah itu yang harus didahulukan daripada hak terhadap
sesama?” Muthahhari menyatakan bahwa orang-orang yang bertanya semacam itu adalah orang-
orang yang berpikiran sempit. Dia mengira bahwa hak Allah itu hanya shalat saja, padahal hak
Allah juga adalah untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan di dalam waktu yang
segera. Jadi amal saleh itu bukan hanya harus sesuai dengan syari’at, tapi juga harus layak
dengan pelakunya.

Muthahhari memberi contoh lebih jauh. Misalnya, ada tiga orang yang setelah dicek secara
psikologis, yang satu punya bakat sastra, yang kedua berbakat teknik dan yang ketiga berbakat
musik. Misalnya orang yang berbakat sastra dia tidak mau masuk jurusan sastra –karena sulit
cari kerja- lalu dia memilih teknik, maka memilih teknik bagi orang itu bukan amal saleh; karena
tidak sesuai dengan predisposisinya (memaksakan diri untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan
dirinya).
Sekarang ini dikembangkan sebuah alat ukur. Banyak ditemukan bahwa orang-orang cerdas
yang ber-IQ tinggi, hidupnya gagal. Di Amerika hal itu sering terjadi. Para psikolog heran,
mestinya orang-orang yang cerdas itu dalam hidupnya berhasil, tetapi ternyata banyak yang
gagal. Persentase orang yang bunuh diri bahkan banyak dilakukan oleh orang-orang yang ber-IQ
tinggi. Persentase pengidap sakit jiwa juga didominasi oleh orang-orang yang kecerdasannya
tinggi. Setelah mereka selidiki, ternyata bahwa kita salah mengukur kecerdasan itu. Kita harus
mengukur bukan hanya IQ, tetapi juga harus mengembangkan emotional intelegence.
Intelegensi emosional ialah kemampuan mengendalikan dirinya atau kemampuan mengendalikan
emosinya. Ternyata yang lebih mendorong orang sukses dalam hidup bukan IQ, tetapi emotional
intelegence.

Puasa itu bukan melatih IQ, boleh jadi IQ kita ketika berpuasa malah menurun. Tetapi
intelegensi emosional kita yang mungkin meningkat kalau kita berpuasa dengan benar. Iman dan
amal saleh adalah dua hal yang mengembangkan sifat insaniyah manusia secara individual.
Sedangkan tawã shaubil haq wa tawã shaubish shabr (Al-’Ashr 3), adalah dua perilaku yang
mengembangkan manusia secara sosial.

Nilai suatu masyarakat juga diukur dari iman dan amal saleh. Masyarakat yang rendah adalah
masyarakat yang tidak beriman dan tidak beramal saleh atau masyarakat barbar, masyarakat
biadab.

Menurut surat Al-’Ashr ini, kita punya kewajiban bukan hanya mengembangkan sifat insaniyah
kita, tetapi juga kewajiban untuk mengembangkan masyarakat insaniyah atau masyarakat yang
memiliki sifat kemanusiaan. Al-Qur’an menyebutkan dua caranya, yaitu tawãshaubil haq dan
tawã shaubish shabr. Al-Qur’an tidak mengguna-kan kata tanãshahû (saling memberi nasihat),
tetapi Al-Qur’an menggunakan kata “saling memberi wasiat”. Mengapa? Wasiat itu lebih dari
sekedar nasihat. Nasihat itu boleh dilaksanakan boleh tidak -mungkin juga boleh didengar atau
tidak- tapi kalau wasiat harus didengar dan dilaksanakan.

Pada kata tawã shau kita bukan hanya subyek, tetapi sekaligus objek. Kita bukan saja yang
menerima wasiat, tetap juga yang diberi wasiat. Apa yang harus diwasiat-kan? Al-Haq dan Ash-
Shabr.

Sebagaimana iman tidak bisa dipisahkan dengan amal saleh, maka Al-Haq tidak bisa dipisahkan
dengan Ash-Shabr. Jadi orang tidak dikatakan beriman kalau tidak beramal saleh dan tidak
dikatakan membela kebenaran kalau tidak tabah dalam membela kebenaran itu.

Kesimpulannya, dari surat yang pendek ini Allah mengajarkan kepada kita bahwa kita berada
pada tingkat yang rendah atau dalam kerugian apabila kita tidak mengembangkan diri kita
dengan iman dan amal saleh. Masyarakat kita juga menjadi masyarakat yang rendah bila kita
tidak menegakkan Al-Haq dan Ash-Shabr di tengah-tengah masyarakat kita. (*)

Sumber: Jalal Center

https://kajianislam.wordpress.com/2007/12/04/tafsir-surat-al-%E2%80%99ashr/
Berpacu dengan Waktu (Tafsir Qs Al-‘ashr)
Posted by Hisyam Ad dien Al Qur'an, Halaqoh Online, Tafsir, Tsaqofah 12:49 PM

Oleh Rokhmat S. Labib

ِ‫صبْر‬
َّ ‫ص ْواِبال‬ َ ‫ص ْواِب ْال َح ِّق‬
َ ‫ِوت ََوا‬ َ ‫ِوت ََوا‬ َّ ‫عملُواِال‬
َ ‫صال َحات‬ َ ُ‫سانَ ِلَفيِ ُخسْرِ^ إالَِّالَّذينَ ِ َءا َمن‬
َ ‫واِو‬ ْ ‫َو ْال َع‬
ْ ‫صرِ^ إ َّن‬
َ ‫ِاْل ْن‬

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-
orang yang beriman, beramal salih, nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, dan
nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.
(QS al-'Ashr [103]: 1-3).

Tafsir Ayat
Dinamakan al-‘Ashr karena pada awal surat ini Allah Swt. bersumpah dengan
menggunakannya.[1] Menurut Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan jumhur surat ini tergolong surat
makiyyah.[2] Dengan hanya terdiri dari tiga ayat, surat ini tergolong surat terpendek; di samping
surat al-Kautsar yang juga terdiri dari tiga ayat. Kendati pendek, kandungan ayat ini amat dalam,
padat, dan komprehensif.
Dalam surat yang amat pendek itu tergambar manhaj (tatanan) yang lengkap tentang
kehidupan umat manusia sebagaimana dikehendaki Islam. Di dalamnya juga tampak jelas
rambu-rambu presepsi keimanan dengan hakikatnya yang besar dan menyeluruh, dalam suatu
gambaran yang sangat jelas dan detail.[3] Dengan kalimat yang ringkas, surat ini juga mampu
menjelaskan faktor-faktor yang menjadi sebab kebahagiaan dan kesengsaraan manusia,
keberhasilan dan kerugiannya dalam kehidupan.[4]
Sedemikian dalam dan padat, tidak aneh jika dulu ada dua orang sahabat Nabi saw. yang
apabila bertemu, mereka tidak berpisah hingga salah satunya membacakan surat ini kepada yang
lainnya hingga selesai. Baru setelah itu mereka mengucapkan salam dan berpisah.[5]
Surat ini diawali sumpah dengan menggunakan waw al-qasam: wa al-‘ashr. Kata al-‘ashr
bermakna ad-dahr atau az-zamân (masa atau waktu).[6] Memang, ada yang menafsirkannya
sebagai bagian dari waktu siang (waktu antara tergelincirnya matahari hingga sebelum
terbenam), shalat ashar, atau masa kehidupan Nabi saw. (bagaikan waktu ashar jika dikaitkan
dengan datangnya Hari Kiamat). Namun, menurut ath-Thabari, Ibnu Katsir dan asy-Syaukani,
yang lebih râjih (kuat) dan masyhûr adalah makna pertama, yakni masa atau waktu secara umum,
baik siang maupun malam.[7]
Setelah bersumpah dengan masa, Allah Swt. kemudian berfirman: Inna al-insâna lafî khusr[in]
(Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian). Ayat ini patut mendapatkan perhatian
serius, karena kedudukannya sebagai jawâb al-qasam. Dalam bahasa Arab, tujuan digunakan
qasam (sumpah) adalah untuk mengukuhkan dan menandaskan muqsam ‘alayh (jawâb al-
qasam, pernyataan yang karenanya qasam diucapkan).
Huruf alif-lâm di depan kata insân lebih tepat dikategorikan sebagai jinsiyyah, yang
menunjukkan pengertian: seluruh jenis manusia.[8] Oleh karena itu, pendapat sebagian mufasir
yang mengkhususkan ayat ini hanya untuk Walid bin al-Mughirah, ‘Ash bin Wail, Aswad bin
Muthallib, Abu Lahab, atau Abu Jahal[9] sangat tidak tepat. Kenyataan bahwa alif-lâm tersebut
adalah li al-jins (bukan li al-ma’hud) sehingga memberikan makna umum, lebih diperkuat dengan
adanya istitsnâ (pengecualian) pada orang-orang yang memiliki karakter tertentu sebagaimana
disebutkan dalam ayat berikutnya.[10]
Dengan demikian, menurut ayat tersebut, seluruh manusia benar-benar dalam kerugian
(khusr[in]). Secara bahasa, kata khusr atau khusrân berarti berkurang atau hilangnya modal (ra’s
al-mâl).[11] Meskipun istilah ini sering dipakai dalam perniagaan, makna kerugian yang
ditunjukkan al-Quran tidak berdimensi duniawi dan berdasarkan kalkulasi materi. Kerugian
(khusr) yang dimaksud lebih berdimensi ukhrawi. Dalam pandangan al-Quran, orang yang merugi
adalah orang yang mendapatkan murka Allah Swt. dan azab-Nya di akhirat (neraka). Allah Swt.
berfirman:
ْ ‫ان‬
ُِ ‫ِال ُمب‬
[‫ين‬ ْ ‫ِالقيَا َمةِأَالَِ َذلكَ ِ ُه َو‬
ُ ‫ِال ُخس َْر‬ ْ ‫ِوأ َ ْهليه ْمِيَ ْو َم‬ ْ ‫]قُ ْلِإ َّن‬
َ ُ‫ِالخَاسرينَ ِالَّذينَِِخَس ُرواِأ َ ْنف‬
َ ‫س ُه ْم‬
Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah orang yang merugikan diri mereka
sendiri dan keluarganya pada Hari Kiamat.” Ingatlah, yang demikian adalah kerugian yang nyata.
(QS az-Zumar [39]: 15).

Dengan pandangan semacam ini, al-Quran menyebut orang yang kufur sebagai orang yang
merugi (QS al-Baqarah [2]: 121; az-Zumar [39]: 63). Demikian juga orang yang menyembah Allah
dengan tidak sepenuh keyakinan (QS a-Hajj [22]: 11); percaya pada yang batil dan ingkar kepada
Allah (QS al-Ankabut [29]: 52); melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh,
memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan, dan membuat kerusakan di muka
bumi (QS a-Baqarah [2]: 27, ar-Ra‘d [13]: 25); termasuk orang-orang yang menjual petunjuk
dengan kesesatan, yang tindakannya tersebut dinyatakan sebagai perniagaan yang tidak
mendatangkan untung atau laba (QS al-Baqarah [2]: 16).
Dalam ayat tersebut juga ditegaskan bahwa kerugian yang diderita manusia itu amat besar.
Sebagai indikatornya, kata khusr yang digunakan berbentuk nakîrah. Bentuk ini menunjukkan
ancaman menakutkan (li tahwîl), seolah-olah manusia dalam kerugian yang amat besar; atau
menurut ash-Shabuni berarti li ta‘zhîm sehingga dapat diartikan sebagai sebuah kerugian besar
atau kehancuran yang parah.[12] Di samping itu, kata khusr[in] juga disertai huruf inna dan la
yang berfungsi sebagai ta’kîd (penguat).[13]
Setelah dinyatakan bahwa seluruh manusia dalam keadaan merugi, ayat selanjutnya
menyebutkan pengecualian orang-orang yang tidak mengalami nasib tersebut: illâ al-ladzîna
âmanû wa amilû al-shâlihât (kecuali orang-orang yang beriman dan beramal salih). Mereka
adalah orang-orang yang beriman dan beramal salih.
Secara bahasa, kata al-îmân bermakna at-tashdîq (pembenaran).[14] Sedangkan makna
iman dalam ayat tersebut adalah makna syar‘i, yakni at-tashdîq al-jâzim al-muthâbiq li al-wâqi ‘an
dalîl (pembenaran yang pasti; bersesuaian dengan fakta; bersumber dari dalil).[15] Dalam ayat
ini, kata âmanû (mereka beriman) tanpa disertai kata yang menjadi maf‘ûl bih (obyek)-nya.
Padahal, kata âmanû tergolong fi‘il mut‘addi yang membutuhkan maf‘ûl bih. Itu berarti, yang
mereka imani adalah semua perkara yang diwajibkan untuk diimani. Artinya, yang dimaksudkan
dengan frasa ini adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, malaikat-malikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, para rasul-Nya, Hari Kiamat, dan qadhâ wa al-qadar—baik dan buruknya dari Allah
Swt. Totalitas keimanan itu menjadi sebuah keharusan. Pengingkaran terhadap sebagiannya
mengakibatkan pelakunya terkatagori sebagai kafir. Allah Swt. berfirman:

َِ‫ِويُريدُون‬ َ ‫ِويَقُولُونَِنُؤْ م ُنِببَ ْعض‬


َ ‫ِونَ ْكفُ ُرِببَ ْعض‬ َ ‫سله‬ َ ‫ِويُريدُونَِِأ َ ْنِيُفَ ِّرقُواِبَيْنَِهللا‬
ُ ‫ِو ُر‬ َ ‫سله‬ َ ‫]إ َّنِالَّذينَِيَ ْكفُ ُرونَِباهلل‬
ُ ‫ِو ُر‬
ِ[‫ِال َكاف ُرونَ ِ َحقًّا‬ ْ ‫ِأُولَئكَ ِ ُه ُم‬%‫لا‬ِ ‫سبي‬َ ِ َ‫أ َ ْنِ َيتَّخذُواِبَيْنَ ِ َذلك‬
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, bermaksud
memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan,
"Kami beriman kepada sebagian dan kafir terhadap sebagian lani," serta bermaksud mengambil
jalan (tengah) antara yang demikian (iman atau kufur), merekalah orang-orang kafir yang
sebenar-benarnya (QS an-Nisa’ [4]: 150-151).

Selanjutnya, keimanan tersebut dibuktikan dengan ketaatan kepada semua hukum-hukum


Allah, baik dalam perbuatan maupun ucapannya. Ketaatan inilah yang dimaksud dengan amal
salih. Sebab, mengerjakan amal salih adalah menunaikan kewajiban, meninggalkan
kemaksiatan, dan mengerjakan kebaikan.[16]
Selanjutnya dinyatakan: wa tawâ shawb al-haqq wa tawâ shawb ash-shabr (saling menasihati
supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran). Sebenarnya,
dua aktivitas ini—yakni saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran—dapat dikategorikan
sebagai amal salih. Sebab, kedua aktivitas tersebut termasuk amal perbuatan yang diperintahkan
oleh syariat.
Di samping itu, dalam beberapa ayat lainnya dinyatakan bahwa orang yang masuk surga dan
mendapatkan ridha-Nya—berarti tidak termasuk yang merugi—adalah yang memenuhi dua
persyaratan, yaitu: beriman dan beramal salih (QS al-Baqarah [2]: 25; QS al-Bayyinah [98]: 7).
Penyebutan tersendiri dua aktivitas tersebut menunjukkan adanya penekanan khusus pada
keduanya. Ini persis seperti halnya penyebutan Jibril dan Mikail setelah sebelumnya disebutkan
kata wa malâikatuh (dan malaikat-malaikat-Nya) yang berarti malaikat secara keseluruhan (QS
al-Baqarah [2]: 98). Dalam bahasa Arab, yang demikian dikenal dengan athf al-khâshsh ‘ala al-
‘âmm (menambahkan yang khusus pada yang umum). Menurut ash-Shabuni, jika iman dan amal
salih menyempurnakan diri sendiri, sementara berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran dapat
menyempurnakan orang lain.[17]
Kata al-haqq merupakan lawan dari batil atau sesat. Allah Swt. berfirman:

ُِ َ‫ضل‬
ِ[‫ل‬ ْ ‫ِال َح ُّقِفَ َما َذاِبَ ْع َد‬
َّ ‫ِال َح ِّقِإالَِّال‬ ْ ‫ِربُّ ُك ُم‬
َ ُ‫]فَ َذل ُك ُمِهللا‬
Itulah Allah Tuhan kalian yang sebenarnya. Karena itu, tidak ada sesudah kebenaran itu
melainkan kesesatan. (QS Yunus [10]: 32).

Menurut ath-Thabari, yang dimaksud dengan al-haqq adalah Kitabullah.[18] Secara lebih luas,
al-haqq bisa diartikan sebagai Dîn al-Islâm. Sebab, Islam satu-satunya agama yang benar dan
wajib diikuti setelah diutusnya Rasulullah saw.
Sedangkan ash-shabr berarti menahan dalam kesempitan.[19] Menurut al-Alusi, sabar
bukan sekadar menahan jiwa dari kesempitan, namun juga menerima apa pun dari Allah Swt.
dengan indah dan ridha, lahir dan batin.[20] Para mufasir menyatakan bahwa ada tiga macam
kesabaran yang harus dimiliki setiap Mukmin: (1) . sabar dalam menjalankan ketaatan; (2) sabar
dalam menjauhi maksiat; (3) sabar dalam menerima berbagai musibah yang menimpa dirinya.

Relevansi Waktu, Kerugian, dan Amal Salih


Lamanya hidup manusia di dunia telah ditetapkan. Seiring berjalannya waktu, umur yang
dimiliki makin pendek. Maka, menarik sekali apa yang diungkapkan ar-Razi dalam tafsirnya,
mengenai keterkaitan antara waktu dan kerugian. Ketika rugi dipahami sebagai hilangnya modal,
sementara modal manusia adalah umur yang dimilikinya, maka manusia senantiasa mengalami
kerugian. Sebab, setiap saat, dari waktu ke waktu, umur yang menjadi modalnya terus berkurang.
Tidak diragukan lagi, jika umur itu digunakan manusia untuk bermaksiat, ia benar-benar
mengalami kerugian; bukan hanya tidak mendapatkan kompensasi apa pun dari modalnya yang
hilang, bahkan dapat membahayakan dan mencelakan dirinya. Demikian juga jika umurnya
dihabiskan untuk mengerjakan perkara-perkara yang mubah. Ia tetap dikatakan merugi. Sebab,
modal yang dimiliki (umur) habis tanpa meninggalkan pengaruh apa pun bagi dirinya.[21]
Bertolak dari pemahaman tersebut, maka orang yang beruntung hanyalah yang bersedia
menghabiskan umurnya untuk mengerjakan amal salih. Sebab, hanya dengan mengerjakan amal
salih manusia mendapatkan ganti dari modalnya yang telah hilang, bahkan jauh lebih besar
daripada yang hilang darinya. Allah Swt. menjanjikan pahala berlipat bagi amal salih yang
dikerjakan manusia. (QS al-Qashash [28]: 83).
Demikian juga dengan harta yang diinfakkan di jalan Allah Swt. Kepada pelakunya, dijanjikan
akan mendapatkan balasan tujuh ratus kali lipat (QS al-Baqarah [2]: 261. Lihat juga: QS al-
Baqarah [2]: 265).
Keuntungan lebih besar dapat diraih oleh seseorang yang melakukan dakwah, saling
berwasiat untuk menaati kebenaran dan menepati kesabaran Rasulullah saw. bersabda:

»ِ‫علَىِ َخيْرِفَلَهُِمثْلُِأَجْ رِفَاعله‬


َ ِ‫« َم ْنِ َد َّل‬
Siapa saja yang menunjukkan kepada (orang lain) kebaikan, ia mendapatkan pahala sama
dengan yang mengerjakannya. (HR Muslim).

Dengan adanya ketetapan tersebut, orang yang berdakwah, mengajak orang lain pada
kebaikan, dan mencegah kemungkaran, seolah hidup lebih lama daripada umur yang
sebenarnya. Dalam hadis riwayat Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi, dari Abu Hurairah
disebutkan bahwa salah satu dari tiga amal yang tidak terputus pahalanya disebabkan kematian
adalah ilmu bermanfaat yang diajarkan semasa masih hidup. Wasiat tentang kebenaran dan
kesabaran yang terus diamalkan orang lain dapat dimasukkan di dalamnya.
Menyia-nyiakan waktu juga dipandang sangat merugikan jika dikaitkan dengan terbatasnya
kehidupan manusia di dunia. Al-Quran memberitakan bahwa di akhirat kelak manusia merasakan
bahwa kehidupan mereka di dunia sehari atau setengah hari (QS al-Mu‘minun [23]: 113) atau
bahkan sekejap saja (QS Yunus [10]: 45). Allah Swt. juga menyatakan bahwa manusia tinggal di
dunia hanya sebentar (QS al-Mu‘minun [23]: 114).
Dengan waktu yang amat singkat tersebut, kenikmatan maupun penderitaan yang dialami
manusia di dunia sesungguhnya juga sangat kecil dan sedikit. Al-Quran menyatakan: matâ‘ al-
dunyâ qalîl (kesenangan di dunia itu hanya sebentar atau sedikit) (QS an-Nisa’ [4]: 77).
Kesenangan yang dirasakan orang kafir juga disebut qalîl (QS al-Baqarah [2]:126; QS Ali Imran
[3]: 197). Disebut demikian jika dibandingkan dengan siksa yang bakal diterima di akhirat yang
kekal dan sangat berat. Sebaliknya, penderitaan yang dialami seorang Mukmin akibat
mempertahankan keimanannya dan memperjuangkan agama-Nya sesungguhnya juga amat
ringan. Sebab, balasan yang didapatkan jauh lebih besar dan kekal abadi.
Dengan paradigma seperti ini, seseorang yang beruntung adalah orang yang benar-benar
memanfaatkan waktu (hidupnya) untuk mengerjakan amal saleh. Jangankan perbuatan terlarang,
perbuatan mubah dan tidak mendatangkan manfaat pun sebaiknya ditinggalkan. Rasulullah saw.
Bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah r.a.:
ْ ‫«م ْنِ ُحسْنِإ ْسلَم‬
»ِ‫ِال َم ْرءِت َْر ُكهُِ َماِالَِيَ ْعنيْه‬
Di antara baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak berguna. (HR at-
Tirmidzi).

Paradigma itu, juga akan membuat seseorang menjadi orang yang sabar. Sabar dalam
keimanan. Hal itu tercermin dalam sikapnya yang kukuh, tahan, dan tak tergoyahkan dalam
mempertahankan aqidahnya, meskipun harus menerima berbagai penderitaan dan siksaan.
Sabar dalam menjalankan syariat-Nya. Wujudnya, jiwanya terasa ringan mengerjakan semua
perintah-Nya dengan segala kemampuan yang dimiliki, meskipun perintah itu sangat berat. Sabar
dalam menjauhi kemaksiatan. Implementasinya, hatinya tak akan tergoda melaksanakan
perbuatan maksiat, kendati hal itu sangat mempesona dan menggiurkan. Sabar dalam
berdakwah. Bentuknya, ia tak pernah jemu menyampaikan dakwah, meskipun sering kali ditolak,
atau bahkan mendapatkan cemoohan, siksaan, atau hukuman. Juga, sabar menerima semua
musibah dan cobaan. Realisasinya, ia akan tetap berhusnudzan kepada Allah Swt, bahwa semua
yang diberikan Allah Swt. kepadanya adalah yang terbaik untuknya. Semua itu dilakukan karena
berharap besarnya pahala yang diterima, berupa ridha Allah Swt. dan surga-Nya yang dipenuhi
berbagai kenikmatan tiada tara. Jadi, masihkah kita berani menyia-nyiakan waktu?
Bergegaslah segera memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya untuk berjuang menegakkan
agama-Nya. Wallâhu a‘lam. []

[1] Wahbah az-Zuhayli, At-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj vol. 15. Beirut:
Dar al-Fikr, 1991, 390.
[2] Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth vol. 8. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993,
507
[3] Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur'ân.
[4] Ali ash-Shabuni, Shafwah al-Tafâsîr, vol. 3. Beirut: Dar al-Fikr, 1996, 574.
[5] As-Suyûtî, ad-Durr al-Mantsûr, 767.
[6] Al-Qurtubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur'ân, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993, 122
[7] Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, vol. 12. Beirut: Dar al-Fikr, 1992, 684; asy-Syaukani, Fath al-
Qadîr, vol. 5. Beirut: Dar al-Fikr, t.t., 5; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-‘Azhîm, vol. 4. Beirut: Dar al-
Fikr, 2000, 2070.
[8] Abu Hayyan, op. cit., 508.
[9] Fakhruddin al-Razi, Atl-Tafsîr al-Kabîr aw Mafâtîh al-Ghayb. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1990, 82.
[10] Abu Hayyan, op. cit., 508.
[11] Az-Zuhaili, op. cit., 392; ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfâdz al-Qur’ân. Beirut:
Dar al-Fikr, t.t., 148.
[12] Ali ash-Shabuni, op. cit., vol. 3, 575
[13] Lihat: ar-Razi, op. cit., 83; az-Zuhayli, op. cit., 393.
[14] Abu Bakr ar-Razi, op. cit., Tartîb Mukhtâr al-Shihâh, Beirut: Dar al-Fikr, 1993, 50.
[15] Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1 Beirut: Dar al-Ummah, 2003, 29.
[16] Az-Zuhayli, op. cit., 395; al-Qurtubi, op. cit., 122.
[17] Ali al-Shabuni, op. cit., 575
[18] Ath-Thabari, op. cit., 685
[19] Al-Ashfahani, op. cit., 280
[20] Al-Alusi, Rûh al-Ma‘âni, vol. 15, 458
[21] Ar-Razi, op. cit., 83.
http://www.globalmuslim.web.id/2011/06/berpacu-dengan-waktu-tafsir-qs-al-ashr.html

Tafsir Surat Al ‘Ashr: Orang yang Sukses pada Diri dan


Orang Lain
Jul 13, 2013Muhammad Abduh Tuasikal, MScTafsir Al Qur'an12 Komentar

Bagaimanakah menjadi orang yang sukses? Sukses yang dimaksud di sini bukan hanya untuk
diri sendiri, namun juga bisa menyelamatkan orang lain. Sukses inilah yang selamat dari
kerugian di dunia dan akhirat. Simak tafsir surat Al ‘Ashr berikut.

Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫ت َوت َ َوا‬
‫ص ْوا‬ ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫) إِ ََّّل الَّذِينَ آ َ َمنُوا َو‬2( ‫سانَ لَ ِفي ُخس ٍْر‬
َّ ‫ع ِملُوا ال‬ َ ‫اْل ْن‬ ْ َ‫َو ْالع‬
ِ ْ ‫) إِ َّن‬1( ‫ص ِر‬
‫صب ِْر‬
َّ ‫ص ْوا بِال‬ َ ‫ق َوت َ َوا‬ِ ِّ ‫بِ ْال َح‬
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).

Demi Masa

Allah bersumpah dengan al ‘ashr, yang dimaksud adalah waktu atau umur. Karena umur inilah
nikmat besar yang diberikan kepada manusia. Umur ini yang digunakan untuk beribadah kepada
Allah. Karena sebab umur, manusia menjadi mulia dan jika Allah menetapkan, ia akan masuk
surga.
Manusia Benar-Benar dalam Kerugian

Manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian di sini adalah lawan dari keberuntungan.
Kerugian sendiri ada dua macam kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah.

Yang pertama, kerugian mutlak yaitu orang yang merugi di dunia dan akhirat. Ia luput dari
nikmat dan mendapat siksa di neraka jahim.

Yang kedua, kerugian dari sebagian sisi, bukan yang lainnya. Allah mengglobalkan kerugian
pada setiap manusia kecuali yang punya empat sifat: (1) iman, (2) beramal sholeh, (3) saling
menasehati dalam kebenaran, (4) saling menasehati dalam kesabaran.

1- Mereka yang Memiliki Iman

Yang dimaksud dengan orang yang selamat dari kerugian yang pertama adalah yang memiliki
iman. Syaikh As Sa’di menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah perintah beriman kepada Allah
dan beriman kepada-Nya tidak diperoleh kecuali dengan ilmu. Iman itu diperoleh dari ilmu.

Syaikh Sholeh Alu Syaikh berkata bahwa iman di dalamnya harus terdapat perkataan, amalan
dan keyakinan. Keyakinan (i’tiqod) inilah ilmu. Karena ilmu berasal dari hati dan akal. Jadi
orang yang berilmu jelas selamat dari kerugian.

2- Mereka yang Beramal Sholeh

Yang dimaksud di sini adalah yang melakukan seluruh kebaikan yang lahir maupun yang batin,
yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia, yang wajib maupun yang sunnah.

3- Mereka yang Saling Menasehati dalam Kebenaran

Yang dimaksud adalah saling menasehati dalam dua hal yang disebutkan sebelumnya. Mereka
saling menasehati, memotivasi, dan mendorong untuk beriman dan melakukan amalan sholeh.

4- Mereka yang Saling Menasehati dalam Kesabaran

Yaitu saling menasehati untuk bersabar dalam ketaatan kepada Allah dan menjauhi maksiat, juga
sabar dalam menghadapi takdir Allah yang dirasa menyakitkan. Karena sabar itu ada tiga
macam: (1) sabar dalam melakukan ketaatan, (2) sabar dalam menjauhi maksiat, (3) sabar dalam
menghadapi takdir Allah yang terasa menyenangkan atau menyakitkan.

Sukses pada Diri dan Orang Lain

Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Dua hal yang pertama (iman dan amal sholeh)
untuk menyempurnakan diri manusia. Sedangkan dua hal berikutnya untuk menyempurnakan
orang lain. Seorang manusia menggapai kesempurnaan jika melakukan empat hal ini. Itulah
manusia yang dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keberuntungan yang besar.” (Taisir
Al Karimir Rahman, hal. 934).
Sudah Mencukupi dengan Surat Al ‘Ashr

Seandainya Allah menjadikan hujjah hanya dengan surat Al ‘Ashr ini, maka itu sudah
menjadikan hujjah kuat pada manusia. Jadi manusia semuanya berada dalam kerugian kecuali
yang memiliki empat sifat: (1) berilmu, (2) beramal sholeh, (3) berdakwah, dan (4) bersabar.

Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata,

‫هذه السورة لو ما أنزل هللا حجة على خلقه إَّل هي لكفتهم‬


“Seandainya Allah menjadikan surat ini sebagai hujjah pada hamba-Nya, maka itu sudah
mencukupi mereka.” Sebagaimana hal ini dinukil oleh Syaikh Muhammad At Tamimi dalam
Kitab Tsalatsatul Ushul.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang sukses dan selamat dari kerugian
dunia lan akhirat.

Referensi:

Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Mannan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.

Naskah Tsalatsatul Ushul karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dengan sanad dari guru
kami, Syaikh Sholeh bin ‘Abdillah bin Hamad Al ‘Ushoimi

Syarh Tsalatsatul Ushul, Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, terbitan Maktabah Darul
Hijaz, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Diselesaikan sebelum Zhuhur @ Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 4


Ramadhan 1434 H

Artikel Rumaysho.Com

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan
FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

http://rumaysho.com/3483-tafsir-surat-al-ashr-orang-sukses-waktu.html

Memahami isi kandungan Qs al-Ashr


ِ‫) َوا ْلعَصْر‬
ِْ ‫ان لَف‬
ْ ‫ي ُخ‬
ِ‫سر‬ َ ‫) إنِ ْاْل ْن‬
َِ ‫س‬
َ ‫ص ْوا با ْل َحقِ َوت َ َوا‬
ِ‫ص ْوا بالصبْر‬ َ ‫اوعَملُواالصال َحاتِ َوت َ َوا‬
َ ‫ْن َءا َمنُ ْو‬
َِ ‫)إلِ الذي‬

Artinya: Demi masa (1) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian (2) kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (3). (QS: Al-Asar: 1-3)

Ayat diatas menjelaskan kepada kita bahwa manusia itu akan rugi jika ia lalai terhadap waktu. ayat ini
secara tegas menjelaskan bahwa bagi manusia yang tidak menghargai waktu untuk hal-hal yang
bermanfaat niscaya manusia itu akan rugi.

Ayat ini juga merupakan wahyu kesembilan yang diterima oleh nabi Muhammad SAW. Sedangkan wahyu
yang sebelumnya adalah surat Alam Nasyrah.

Imam Syafi’i menilai surat ini sebagai salah satu surat yang paling sempurna petunjuknya, beliau
menyatakan; “seandainya ummat Islam memikirkan kandungan surat ini niscaya (petunjuk-petunjuknya)
mencukupi mereka.”

Dalam Al-quran jika kita melihat urutan penulisannya, surat ini terletak pada urutan ke-103, tepatnya
setelah surat al-takasur dan sebelum surat al-humazah. Lalu apa kaitan antara surat ini dengan surat
sebelumnya? Dalam surat at-takasur, Allah SWT memperingatkan manusia yang menjadikan seluruh
aktifitasnya hanya berupa perlombaan menumpuk-numpuk harta, serta menghabiskan waktunya hanya
untuk maksud tersebut, sehingga mereka lalai akan tujuan utama dari kehidupan ini, yaitu untuk
menghambahkan diri kepadanya. Sedangkan pada surat ini (al-Asahr) Allah memperingatkan tentang
pentingnya waktu dan bagaimana seharusnya kita isi waktu tersebut supaya lebih bermanfaat dan
mendapat ridho Allah tentunya.

Kemudian jika kita perhatikan surat ini dimulai dengan huruf sumpah(‫ )والعصر‬yang bermakna “Demi
masa”. Para ulama sepakat kata (‫ )العصر‬pada ayat pertama pada surat ini, dengan makna waktu, namum
mereka tetap berbeda pendapat tentang waktu yang dimaksud.
Pendapat-pendapat itu antara lain:

1. Waktu atau masa dimana langkah dan gerak tertampung di dalamnya.

2. Waktu tertentu, yakni waktu dimana sholat ashar dapat dilaksanakan.

3. Saat sholat ashar dilaksanakan

4. Waktu atau masa kehadiran Nabi Muhammad SAW dalam pentas kehidupan ini.

Apa yang Allah maksudkan, sehingga pada awal surat tersebut Allah bersumpah “Demi waktu”. Menurut
Abduh: “telah terjadi kebiasaan orang-orang Arab pada masanya turunnya Al-quran untuk berkumpul dan
berbincang-bincang menyangkut berbagai hal, dan tidak jarang dalam perbincangan mereka itu terlontar
kata-kata yang mempersalahkan waktu atau masa. “ waktu sial” demikian sering kali ucapan yang
tersdengar dari mulut mereka bila mereka gagal, atau “waktu keberuntungan” jika mereka berhasil.

Hal yang demikian dalam ajaran Islam dilarang, kerena dalam ajaran Islam tidak ada yang namanya “waktu
sial” atau “waktu keberuntungan” semua waktu itu sama. Yang berpengarauh adalah kebaikan dan
keburukan seseorang dalam berusaha, maupun dalam aktivitas yang mereka kerjakan, dan inilah yang
berperan baik (beruntung) atau buruknya (sial) kesudahan suatu pekerjaan, kerena waktu itu bersifat
tidak memihak kepada kebaikan maupun kepada keburukan.

Waktu adalah milik Tuhan, di dalamnya Tuhan melaksanakan segala perbuatan-Nya, seperti; menciptakan
dunia beserta isinya, memberi rizki makhluk-makhluknya, memuliakan dan menghinakan. Nah, berarti
kalau demikian adanya, waktu itu tidak perlu kita kutuk, ataupun kita sebut waktu membawa
keberuntungan atau juga kesialan. Janganlah mencerca waktu, kerena Allah adalah pemilik waktu, jika
kita menghina waktu berarti sama saja kita telah menghina yang menciptakan waktu tersebut yakni Allah
SWT.

Di atas telah disinggung bahwa orang yang tidak bisa memanfaatkan waktu secara maksimal maka orang
itu akan merugi, kerugian itu mungkin tidak akan kita rasakan pada waktu dini, tetapi pasti akan kita
sadarinya ketika pada waktu tua nantinya. Kita sering menemukan atau mendengarkan orang bilang kalau
dia sangat menyesal telah menyia-nyiakan waktu mudahnya dengan hal yang tidak bermanfaat, mari kita
jadikan itu semua sebagai contoh untuk kita lebih berhati-hati dalam memanfaatkan waktu. Kerena waktu
itu tidak akan pernah kembali.

Pada ayat kedua pada surat al-ashr diatas menyebutkan bahwa “manusia berada dalam kerugian”.
Kerugian itu seakan-akan menjadi suatu tempat/wadah, dan manusia berada olah wadah tersebut. Yang
dimaksud ayat di atas mengandung arti bahwa manusia berada dalam kerugian total, tidak ada satu sisi
dari diri dan usahanya yang luput dari kerugian; dan kerugian itu, amat besar bagi mereka, maka timbul
pertanyaan mengapa demikian?

Kalau kita kembali kepada makna ayat pertama “Demi masa” serta kaitannya dengan ayat kedua
“sesungguhnya manusia berada di dalam kerugian” maka kita akan mengetahui bahwa waktu itu
merupakan modal utama manusia. Apabila waktu itu tidak diisi dengan kegiatan yang positif, maka waktu
itu akan berlalu begitu saja; ia akan hilang meninggalkan kita. Dan ketika itu, jangankan keuntungan yang
diperoleh, modal awal saja sudah hilang.

Sayyidina Ali r.a. pernah berkata:

Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan lebih dari itu diperoleh esok, tetapi waktu
yang berlalu hari ini tidak mungkin dapat diharapkan kembali esok hari.

Sejalan dengan ungkapan diatas, ada sebuah riwayat yang menyatakan:

Tidak terbitnya suatu fajar kecuali seseorang (malaikat) berseru: “wahai putra-putri Adam, aku adalah
mahkluk baru, aku menjadi saksi atas usaha-usahamu. Ambillah keuntungan (gunakanlah aku) kerena aku
tidak akan kembali lagi hingga hari kemudian.”

Kalau demikian, waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin kerena apabila tidak kita isi dengan kegiatan-
kegiatan yang bermanfaat maka kita akan rugi, janganlah sekali-kali kita isi dengan kegiatan yang tidak
bermanfaat (negatif), jika hal yang demikian yang selalu kita perhatikan niscaya kita tidak akan merasa
rugi (penyesalan) nantinya.

Disinilah terlihat kaitan antara ayat pertama dengan ayat kedua, dan dari sini pula ditemukan sekian
banyak hadits Nabi SAW. Yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya
sebaik mungkin.

Dalam suatu riwayat disebutkan:

“Dua nikmat yang sering dilupakan (disia-siakan) oleh manusia, yakni; kesehatan dan waktu.”

Di dalam riwayat lain Nabi bersabda:

“Bagi yang berakal, selama akalnya belum lagi terkalahkan (gila)berkewajiban mengatur waktu-
waktunya. Ada waktu yang digunakan untuk bermunajat (berdialog dengan Tuhannya, ada pula untuk
berfikir menyangkut penciptaan langit dan bumi (belajar), ada pula untuk melakukan evaluasi
(intropeksi) terhadap dirinya, dan ada pula yang di khususkan untuk diri dan keluarganya guna
memenuhi kebutuhan makan dan minumnya.”

Semua munusia diliputi oleh kerugian yang besar dan beraneka ragam, demikian pula ayat kedua
menyebutkan. Kemudian pada ayat ketiga dijelaskan bahwa yang tidak akan merugi adalah orang yang
memiliki empat sifat yang dijelaskan pada ayat ketiga, yakni;

a. Orang yang beriman

b. Orang yang beramal shaleh

c. Orang yang saling berwasiat (menasihat) tentang kebenaran; dan

d. Orang yang saling berwasiat (menasihat) tentang kesabaran/ketabahan.

· Pengertian iman

Iman itu bisa kita artikan “pembenaran” tentu pembenaran disini masih bersifat umum. Pembenaran yang
kita maksudkan adalah pembenaran hati terhadapa apa yang didengar oleh telinga dan dibenarkan pula
oleh anggota badan. Dan juga pembenaran yang disampaikan oleh Nabi SAW . dimana telah kita ketahui
rukun iman yang enam itu:

a. Beriman (membenarkan) akan keesaan Allah.

b. Beriman (membenarkan) adanya Malaikat.

c. Beriman (membenarkan) kitab-kitab suci.

d. Beriman (membenarkan) kepada nabi/Rosul Allah.

e. Beriman (membenarkan) kepada Hari Kemudian (Akhirat)

f. Beriman (membenarkan) kepada ketentuan baik dan buruk

Setelah kita mengenal tentang rukun-rukkun iman tersebut, kita akan bisa membedakan peringkat dan
kekuatan iman yang ada pada diri kita, bahkan kita dapat mengukur apakh iman kita sedang bertyambah
ataupun berkurang (‫يزيد وينقص‬ ‫ )اْليمان‬demikian lah yang purlu kita ketahui bahwa iman seseorang itu
bisa bertambang dan berkurang.
Sayyidina Ali k.w (karromallahu wajhah) pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’li Al-
Yamani:

Apakah Anda pernah melihat Tuhan anda?

Lalu Ali menjawab: bagaimana saya menyembah sesuatu yang tidak saya lihat.

Orang itu bertanya lagi: bagaimana Anda melihatnya?

Imam Ali menjawab: Allah tidak bisa dilihat dengan pandangan mata, tetapi dapat dijangkau oleh
pandangan hati dengan hakikat keimanan.

Iman sangat sulit digambarkan hakikatnya; ia dirasakan oleh seseorang, tetapi sulit baginya melukiskan
perasaan itu. Kerena itu sangat erat kaitannya dengan keyaqinan yang ada dalam diri kita (hati)

Iman itu bagaikan rasa kagum atau cinta (senang), hanya orang yang sedang mengalami rasa cinta yang
bisa merasakannya, begitu juga dengan iman, jika kita tidak pernah merasakan kecintaan kepada Allah
tentu bagaimana kita bisa melukiskan iman itu ada pada diri kita.

Demikian gambaran tentang arti dan hakikat iman. Kemudian orang yang tidak akan merugi itu yang kedua
adalah orang yang beramal shaleh (perbuatan baik)

· Beramal shaleh

Amal shaleh adalah pekerjaan yang apabila dilakukan, maka suatu kerusakan akan terhenti atau menjadi
tiada; atau bisa juga diartikan sebagai suatu pekerjaan yang apabila dilkukan akan memperolah manfaat,
bukan hanya pada dirinya, tapi bagi orang disekitarnya.

Orang bisa disebut orang shaleh apabila aktivitasnya mengakibatkan terhindarnya mudharat, atau
pekerjaannya memberikan manfaat kepada pihak lain, serta pekerjaannya tersebut sesuai dengan ajaran
Islam, akal dan adat istiadat yang baik. Kerena apaupun perbuatan yang kita lakukan di dunia ini,
semuanya akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah nantinya, sebagaimana firman Allah:

ُِ‫ن يَ ْع َم ِْل مثْقَا َِل َذرةِ َخي ًْرا يَ َره‬


ِْ ‫فَ َم‬
Artinya:

Dan barang siapa yang mengamalkan sebesar biji sawi dari kebajikan niscaya ia akan mendapat (ganjaran)-
nya (QS: Az-zalzalah; 7)
Secara langsung al-Quran tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan amal shaleh, tetapi
apabila ditelusuri contoh-contoh yang ada, seperti kata (‫ )الفساد‬yaitu kerusakan, yang merupakan lawan
kata dari kebaikan.

Jadi orang yang menghindarkan dari berbuat kerusakan atau menghindarkan diri dari berbuat kerusakan
kesemuanya juga dinamakan orang shaleh.

Seperti yang dijelaskan di dalam Al-quran tentang orang yang disebut berbuat kerusakan:

1. Pengrusakan tumbuhan, generasi manusia dan keharmonisan lingkungan. (QS Al-Baqarah:205)

2. Tidakmaunya menerima kebenaran (QS Ali-Imran:63)

3. Perampokan, pembunuhan, dan gangguan keamanan (QS al-Maidah: 32)

4. Pengurangan takaran, timbangan, dan hak-hak manusia (QS al-A’raf: 86)

5. Usaha memecah-belah kesatuan (QS Al-anfal)

6. Berfoya-foya dan bermewah-mewah (QS Hud: 115-116)

7. Pemborosan (QS Asy-Syu’aro’:152)

8. Makar dan penipuan (QS An-naml:49)

9. Pengorbanan nilai-nilai agama (QS Ghafir:26)

10. Keweneng-wenangan (QS Al-Fajr: 12)

Usaha-usaha untuk mencegah hal yang disebut diatas merupakan bagian dari amal shaleh; semakin besar
usaha tersebut maka semakin tinggi pula nilai kualitas keimanan manusia, begitu juga dengan sebaliknya.
Tetapi harus kita ingat, bahwa amal shaleh itu harus dibarengi dengan sifat yang pertama yang telah kita
bahas diatas yakni Iman, kerena tanpa iman kepada Allah SWT amal-amal ini akan menjadi sia-sia belaka,
sebagaimana firman Allah SWT:

‫ن عَم َِل فَ َجعَ ْلنَا ِهُ َهبَآ ًِء َِم ْنـث ُ ْو ًرا‬
ِْ ‫َوقَد ْمنَآ الَى َما عَملُ ْوا َم‬
Artinya:

Dan kami dahapi segala amal (baik) yang mereka kerjakan, lalu kamu jadikan amal itu (bagaikan) debu
yang bertebaran. (QS: Al-Furqan: 23)
Dalam menghadapi kehidupan dunia ini, Al-quran memerintahkan manusia agar melakukan kebaikan,
serta melarang melakukan kemungkaran maupun kerusakan.

Apabila orang telah mampu melakukan amal shaleh disertai dengan iman, maka ia telah memenuhi kedua
dari empat hal yang harus dipenuhinya dalam rangka membebaskan dirinya dari kerugian total. Namun
sekali lagi harus perlu diingat, bahwa menghiasi diri dengan kedua hal tersebut, baru membebaskan kita
dari setengah kerugian; kerena masih ada dua lagi yang harus kita miliki agar kita benar-benar selamat
dan beruntung serta terhindar dari segala kerugian.

· Saling menasihat kepada kebaikan

Hal yang ketiga untuk menghindarkan diri dari hal yang merugi yaitu; saling berwasiat (menasehati kepada
kebaikan).

Wasiat (menasehati secara umum diartikan sebagai “menyuruh secara baik” dalam makna yang lain
mewasiati adalah; tampil kepada orang lain dengan kata-kata yang halus agar yang bersangkutan bersedia
melakukan sesuatu pekerjaan yang diharapkan darinya secara berkesinambungan.

Dengan demikian wasiat (menasihati) dapat dipahami bahwa isi dari nasihat itu hendaknya dilakukan
secara terus-menerus, bahkan mungkin juga yang menyampaikannya juga melakukannya secara terus-
menerus dan tidak bosan-bosannya menyampaikan nasihat itu kepada yang dinasehati.

Di dalam Al-quran kita bisa temukan tentang dua macam wasiat, yakni;

Wasiat Allah SWT

Wasiat Allah itu antara lain adalah:

1. Pelaksanaan ajaran agama, serta bersatu padu dan juga tidak bercerai berai di dalamnya.

2. Bertaqwa kepada-Nya (QS An-nisa; 131)

3. Berbuat baik kepada kedua orang tua, khususnya kepada Ibu (QS Luqman: 14)

4. Sepuluh hal yang disebutkan dalam surat Al-An’am:

a. Jangan mempersekutukan Allah

b. Berbuat baik kepada kedua orang tua

c. Jangan membunuh anak

d. Jangan mendekati zina, baik secara terang-terangan maupun dengan cara sembunyi-sembunyi
e. Jangan membunuh seseorang kecuali secara sah dan dibenarkan oleh agama

f. Jangan menyalahgunakan harta anak yatim apalagi memakannya

g. Menyempurnakan takaran dan timbangan

h. Percakapan atau sikap hendaknya dilakukan secara benar dan adil walaupun merugikan orang lain

i. Memenuhi perjanjian-perjanjian.

5. Beberapa perincian ajaran agama, seperti;

a. Pembagian harta warisan (QS An-nisa’: 11)

b. Shalat dan zakat (QS maryam: 31)

Wasiat para Nabi

Secara tidak langsung nabi Ibrahim dan nabi Ya’kub a.s. mewasiatkan agar berpegang teguh pada ajaran-
ajaran agam, berusaha mengamalkannya secara terus-menerus, agar seseorang tidak dijumpai oleh
kematian kecuali dalam keadaan menganut dan mengamalkan ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan
dalam Al-quran:

Artinya:

dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim
berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah
kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".

Demikianlah wasiat-wasiat yang dijelaskan oleh Al-quran yang tentunya merupakan wasiat kepada
kebenaran, yang merupakan kandungan dari surat al-Ashr ayat tiga diatas.

Hal yang ketiga ini menggambarkan bahwa seseorang berkewajiban untuk mendengarkan kebenaran dari
orang lain, serta mengajarkannya kepada orang lain. Kita belum bisa dikatakan terlepas dari kerugian bila
sekedar beriman, beramal shaleh, dan mengetahui kebenaran hanya untuk diri kita sendiri, tapi
kebenaran yang kita ketahui seharusnya kita ajarkan (sampaikan) kepada orang lain, kerena ini merupakan
kewajiban.

· Saling menasihat kepada kebenaran

Hal yag keempat atau yang terakhir dari penjelasan ayat al-ashr diatas yakni saling mewasiati
(menasehati) kepada kesabaran.
Sabar adalah “menahan kehendak hawa nafsu demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik”.Di dalam
Al-quran bila kita amati, ternyata kebajikan dan kedudukan tertinggi diperoleh manusia kerena
kesabarannya. Sebagaiman dijelaskan dalam Al-quran:

َِ ‫َو َج َع ْلنَا م ْن ُه ِْم اَئم ِةً يَ ْهد ُْو‬


َ ‫ن با َ ْمرنَا ل َمـا‬
‫صبَ ُر ْوا‬
Artinya:

Dan kami jadikan di antara mereka, pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami
ketika mereka bersabar. (QS As-sajadah:24)

Dalam ayat yang lain Allah menjelaskan:

َ ‫ن اَجْ َر ُه ِْم بغَيْرِ ح‬


ِ‫ساب‬ َِ ‫إن َمـا ِيُ َوفى الصا ب ُر ْو‬
Artinya:

Sesungguhnya hanya orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS Az-zumar:
10)

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa terdapat bermacam-macam kesabaran yang diharapkan ada pada
diri manusia. Secara umum kesabaran dapat dibagi dalam dua bagian; sabar jasmani dan kesabaran
rohani.

1. Sabar jasmani

Sabar jasmani adalah kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang
melibatkan anggota tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan,
atau sabar dalam peperangan dalam membela kebenaran. Termasuk pula sabar dalam menerima cobaan
yang menimpah jasmani, seperti; penyakit, penganiayaan dari orang lain dan semacamnya.

2. Sabar rohani

Sabar rohani adalah yang menyangkut kemampuan menahan kehendak hawa nafsu yang dapat
mengantar kepada kejelekan, seperti; sabar dalam menahan amarah, dan juga sabar dalam menahan
hawa nafsu seksual.
Wasiat diatas mengandung makna bahwa kita dituntut, disamping mengembangkan kebenaran pada diri
kita masing-masing, kita juga dituntut untuk mengembangkan pada diri orang lain. Kerena manusia itu
bukan hanya sebagai makhluk individu, tetapi kita juga harus ingat bahwa kita ini makhluk sosial.

Kita dituntut untuk memperhatikan teman disekeliling kita, sebagaimana teman kita juga diwajibkan
untuk memperhatikan kita. Kita manusia ini saling berkewajiban untuk saling mengingatkan kepeda
kebenaran dan kebaikan. Kita semua adalah satu kesatuan, tolong menolong dalam satu perjuangan serta
saling mendukung, kerena jika hal itu tidak ada niscaya kita akan rugi, bukan hanya diri kita sendiri, tapi
orang lain juga.

Rosul telah menggambarkan keadaan ummat seperti keadaan penumpang perahu (kapal), apabila
penumpang yang ada di geladak kapal menimbahkan air dengan membocorkan perahu, sedangkan
penumpang yang lain membiarkannya, maka sudah dapat dipastikan perahu akan kemasukan air dan
tenggelam; dan ketika itu yang tenggelam bukan hanya yang membocorkannya, tetapi semua penumpang
yang ada di dalamnya.

Di dalam surat al-ashr ini secara keseluruhan berpesan agar seseorang itu tidak hanya mengandalkan
imannya saja, tetapi amal shaleh, bahkan amal shaleh dan imanpun belum cukup, kerena kita masih punya
kewajiaban yakni; seling memberi wasiat (nasihat) kepada kebenaran dan kesabaran kepada sesama kita.

Dalam rangka memperolah kebaikan itu dibutuhkan peningkatan pengetahuan dan dalam rangka
memperolah pengetahuan kita dituntut untuk bersabar dan ketabahan.

Iman dan amal shaleh tanpa ilmu pengetahuan belum juga cukup, sebagaimana dijelaskan oleh Murthada
Muthahhary: “ilmu memberi kekuatan yang menerangi jalan kita dan iman menumbuhkan harapan dan
dorongan bagi jiwa kita. Ilmu menciptakan alat-alat produksi, sedangkan iman menetapkan haluan yang
dituju serta memelihara kehendak yang suci. Ilmu dan iman keduanya merupakan kekuatan; kekuatan
ilmu terpisah, sedangkan kekuatan iman menyatu. Keduanya adalah keindahan dan hiasan; ilmu adalah
keindahan aqal, sedangkan iman keindahan jiwa; ilmu hiasan fikiran dan iman hiasan perasaan. Keduanya
menghasilkan ketenangan, ketenangan lahir akan kita dapatkan dari ilmu, dan ketenangan batin oleh
iman. Ilmu memelihara manusia dari penyakit-penyakit jasmani dan malahpetaka duniawi, sedangkan
iman memeliharanya dari penyakit-penyakit ruhani dan kejiwaan serta malapetaka ukhrawi. Ilmu akan
menyesuaikan manusia dengan diri dan lingkungannya, sedangkan iman menyesuaikannya dengan jati
dirinya.”

http://fikrialmabrur.blogspot.co.id/2013/01/memahami-isi-kandungan-qs-al-ashr.html

Anda mungkin juga menyukai