Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH INTERMEDIATE TRAINING (LK II) HIMPUNAN MAHASISWA

ISLAM CABANG PALU MAKALAH

KONSEP KE-KHALIFAHAN DI DALAM PEMAHAMAN AL-QURAN


YANG HARUS DI MILIKI KADER HMI

Oleh:

MUH TAQWIN TAHIR


HMI CABANG GOWARAYA

Kata Pengantar

Alhamdulillah puji syukur kita ucapkan atas nikmat dan hidayah Allah swt
yang senantiasa memberi kita kesehatan dan umur yang panjang, tak lupa pula
kita kirimkan Shalawat kepada Nabi Muhammad Saw, seorang revolusioner sejati
yang mampu menerjemahkan kekuatan langit yang diutus untuk meluruskan
akhlak kader Hmi dan ummat manusia.
Makalah ini, sebagai prasyaratan dalam mengikuti jengjang perkaderan
Intermediate Training (LK-2) Hmi Cabang Palu. Penulis menyadari akan
kekurangan dan minimnya kualitas makalah yang saya susun ini. Maka dari itu,
saya sangat berharap kritikan dan koreski konstruktif dari saudara (i) untuk
menyempurnakan isi makalah ini dan menjadi konsumsi pengetahuan kepada kita
semua di masa yang akan datang.
Ucapan terimah kasih terkhusus kepada orang tua saya, yang telah
mendukung ananda untuk tetap berproses dan menafkahi kehidupan ananda. Dan
ucapan terima kasih pula saya ucapkan kepada keluarga besar Hmi Komisariat
Syariah Dan Hukum Cabang Gowa Raya, kepada dewan senior yang telah
mendukung saya sampai sejauh ini yang tak sempat saya sebutkan satu persatu.

Wassalam

Yakin Usaha Sampai


Penyusun

Muh Taqwin Tahir


DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar isi ii

BAB 1
Pendahuluan 1

a.Latar Belakang 1
b.Rumusan Masalah 2

BAB II
Pembahasan 3

a Sebutan Manusia Dalam Al Quran 3


a. Insan 3
b. Basyar 4
c. An Nas 5
b. Maksud Penciptaan Manusia 5
c. Tujuan Keberadaan Manusia 6
1. Tujuan Subyektif 8
2. Tujuan Obyektif 9
d. Konsep Khalifah Fil Ardh 10

BAB III
Penutup Dan Kesimpulan 16

Daftar Pustaka 18

14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sungguh memiliki keistimewaan dibanding dengan makhluk
lainnya. Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna
(lihat surat at-Tiin)1. Meskipun demikian, manusia berpotensi (berpeluang)
untuk menjadi makhluk paling mulia atau paling hina. Hanya orang yang
beriman dan beramal shalih yang akan menjadi makhluk mulia di sisi Allah.
Potensi inilah yang menjadikan manusia sangat disayang oleh Allah. Di
antara bukti kasih sayang-Nya adalah penciptaan alam semesta ini. Alam
sengaja diciptakan oleh Allah dengan penuh keseimbangan dan keteraturan,
bukan tercipta secara kebetulan. Penciptaan alam ini terkait dengan
kepentingan manusia sebagai khalifah fil ardh (pemakmur di muka bumi ini),
karenanya alam diciptakan dalam pola-pola tertentu yang teratur agar
manusia dapat dengan mudah memahami alam dan memanfaatkannya.
Manusia, sebagai makhluk Allah Swt, memiliki sifat fitrah (kesucian)
dan hanif (cenderungan kepada kebenaran). Hal ini ditegaskan dengan ikrar
kesaksian pada ketauhidan (QS al-A'raf: 172)2. Manusia ketika masih di alam
arwah telah berjanji akan senantiasa beriman kepada Allah. Namun Allah
tidak membiarkan manusia berkata seperti itu begitu saja. Allah akan menguji
kebenaran janji mereka. Ujian keimanan itu adalah menjadi makhluk
penghuni bumi. Lantas Allah juga membekali manusia dengan hati, akal, dan
nafsu untuk menjalankan misi khalifah tersebut. Sisi keunggulan inilah yang
menempatkan manusia layak menerima amanat khalifah Allah Swt di muka
bumi ini.3
Kesadaran akan eksistensi diri sebagai langkah awal dalam melakukan
kerja kemanusiaan memuat dimensi penting yaitu dimensi Ilahiyah. Dimensi
inilah yang mendatangkan pencerahan dalam gerak langkah setiap individu,
karena hal itu sekaligus berperan sebagai sumber energi yang memotivisir

1 Lihat QS at-Tiin

2 Lihat QS al-A'raf: 172.

3 Lihat QS Al-Baqarah: 30
dan menggerakkan langkah. Sebagai titik berangkat (depature point), maka
tiada gerak dan kerja yang tidak memiliki dimensi Ilahiyah tersebut, karena
tanpa itu hanya merupakan sesuatu perjalanan tanpa tujuan, sehingga bagi
HMI, semua kerja-kerja di muka bumi merupakan suatu rangkaian ibadah
kepada Allah SWT. Sekaligus merupakan satu simbol dari penghambaan diri
dan pengakuan terhadap ke Maha Kuasaan Allah SWT. Oleh karena itu, kata
terakhir dari rumusan tujuan HMI adalah .. yang diridhoi Allah
SWT.
Dengan kecenderungan yang terjadi pada saat ini, maka penguatan
dimensi Ilahiyah menjadi sesuatu yang mutlak. Bukan saja terhadap diri
individu, tetapi juga dalam menghadapi tantangan mondial. Kemajemukan
masyarakat menimbulkan adanya variasi unsur (yang sering disebut
primordialisme), sehingga untuk terciptanya suatu harmoni dalam
kemajemukan itu dituntut adanya satu simbol besama berupa consensus.
Untuk itu, maka penguatan terhadap jati diri individu berdasar basis unsur
kemasyarakatan (bukan primordalisme) seperti terhadap agamanya justru
diperlukan bagi penegasan itu, maka suatu harmoni dapat dieleminir dengan
munculnya identitas dan prioritas masalah yang dihadapi.4

B. Rumusan Masalah
1. Pemahaman al-Quran tentang manusia?
2. Kenapa Manusia diciptakan?
3. Bagaimana Konsep Khalifah Fil Ardh?

BAB II
PEMBAHASAN

4 Baca Muhammad Arifin tentang Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)


HMI dan Esensi Ajaran Islam tentang Kemasyarakatan.
A. Sebutan Manusia di dalam Al-Quran
Kata Manusia yang di jumpai di dalam al-Quran dapat dibedakan
dengan istilah Insan, Basyar, dan al-Nas.5 Manusia yang disebutkan di dalam
al-Quran dengan ketiga istilah itu memuat pesan-pesan khusus yang
berbeda-beda dari pengertian lain, yang secara sepintas lafaz-lafaz itu
sinonim sifatnya.
Sangat banyak kamus dan kitab-kitab yang ditulis oleh para mufassir
kita mensinyalir bahwa lafaz-lafaz tersebut sinonim sifatnya. Padahal citarasa
bahasa Arab lama menolak pemahaman seperti itu. Penjelasan al-Quran yang
menyatakan kedalaman dan kepekaan citarasa Bahasa Arab dalam puncak
kemurnian dan kemuliaan asal-usulnya.6
a) Insan
Secara harfiah, Insan berarti manusia. Jamil Shaliba mengatakan
bahwa kata Insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus
digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam
bahasa Arab kata Insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti
kasih sayang, mulia, dan lainnya. Selanjutnya kata Insan digunakan oleh
para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia
secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia.
Kata Insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya
seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada pada manusia,
seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya.7
Kata Insan dalam al-Quran disebut sebanyak 65 kali dalam 63 ayat,
dan digunakan untuk menyatakan manusia dalam lapangan kegiatan yang
amat luas. Musa Asyari menyebutkan lapangan kegiatan Insan dalam 6
bidang. Pertama untuk menyatakan bahwa manusia menerima pelajaran
dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya. (QS. 96: 1-5). Kedua,

5 Abuddin Nata, Akhlak tasawuf, (Rajawali Pers : Jakarta, 2012) Cet-11,


hal. 257.

6 Aisyah Bintu Syati, Manusia dalam perspektif al-Quran, (Pustaka


Firdaus: Jakarta, 1999), hal. 1.

7 Abuddin Nata, op.cit., hal 257-258.


manusia mempunyai musuh yang nyata, yaitu setan. (QS. 12: 5). Ketiga,
manusia memikul amanat dari Tuhan. (QS. 33: 72). Keempat, manusia
harus menggunakan waktu dengan baik. (QS. 105: 1-3). Kelima, manusia
hanya akan mendapatkan bagian dari apa yang telah dikerjakannya. (QS.
53: 39). Keenam, manusia mempunyai keterikata dengan moral atau
sopan santun. (QS. 29: 8).8
Nilai kemanusiaan pada manusia yang disebut al-Quran dengan
kata Insan itu terletak pada tingginya derajat manusia yang membuatnya
layak menjadi Khalifah di bumi dan mampu memikul amanat. Sebab ia
mendapat keistimewaan ilmu, pandai berbicara, mempunyai akal dan
kemampuan berpikir.9
b) Basyar
Kata manusia yang disebut al-Quran dengan menggunakan kata
Basyar menyebutkan, bahwa yang dimaksud manusia Basyar itu adalah
anak keturunan anak Adam, makhluk fisik yang suka makan, dan berjalan
ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat pengertian Basyar mencakup
anak turun Adam secara keseluruhan.
Kata Basyar sebagai nama jenis yang memiliki makna seperti itu,
disebut dalam al-Quran di 35 tempat. Pada 25 tempat di antaranya
menyangkut sisi kemanusiaan para Rasul dan para Nabi dengan
dilengkapi teks yang menunjukkan perumpamaan seperti. Kata Basyar
yang menjelaskan kesamaan sisi kemanusiaan Rasul dengan sisi
kemanusiaan orang-orang kafir disebut dalam al-Quran di 13 tempat,
baik melalui kutipan langsung ucapan orang-orang kafir yang
mendustakan kenabian para Rasul bahwa para Rasul itu hanyalah seorang
manusia juga seperti mereka, maupun rangkaian pernyataan Tuhan yang
mengakui dan menetapkan adanya sisi kemanusiaan para Rasul. (QS. Al-
Anbiya: 2-8).10

88 Ibid., hal. 259.

9 Aisyah Bintu Syati, op.cit., hal 7.

10 Ibid., hal 1-2.


Jadi, pengertian Basyar tidak lain adalah manusia dalam kehidupan
sehari-hari, yang berkaitan dengan aktivitas lahiriah yang dipengaruhi
oleh dorongan kodrat alamiahnya, seperti makan, minum, berhubungan
seksual dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya.11
c) Al-Nas
Selanjutnya istilah al-Nas digunakan al-Quran untuk menyatakan
adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai
kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya, seperti kegiatan bidang
peternakan, penggunaan logam besi, penguasaan laut, melakukan
perubahan sosial dan kepemimpinan.
Berdasarkan keterangan tersebut kita melihat bahwa Islam dengan
sumber ajarannya al-Quran telah memotret manusia dalam sosoknya yang
benar-benar utuh dan menyeluruh. Seluruh sisi dan aspek dari kehidupan
manusia dipotret dengan cara yang amat akurat, dan barangkali tidak ada
kitab lain di dunia ini yang mampu memotret manusia yang utuh itu, selain
al-Quran.12
B. Maksud Penciptaan Manusia
Manusia ada di muka bumi bukan karena kehendaknya sendiri.
Kehadirannya itu adalah kehendak Allah SWT yang telah menciptakannya
melalui perantaraan kedua orang tuanya. Oleh karena itu, tidak seorangpun
yang mempunyai tujuan untuk menjadi ada atau tidak ada, untuk lahir atau
tidak dilahirkan, termasuk juga orang tuanya yang menjadi perantara
penciptaannya.
Dalam keadaan tidak seorangpun manusia mengetahui tujuannya
diciptakan menjadi penghuni bumi, namun tidak seorangpun yang dapat
menolak penciptaannya itu. Sedang kenyataan lain menunjukkan bahwa pada
umumnya manusia menyenangi kehadirannya di bumi dalam situasi apapun
kehidupannya, sehingga enggan meninggalkannya. Namun jika sudah sampai
waktunya sesuai ketentuan Allah SWT, maka tak seorangpun yang dapat
menolak.

11 Abuddin Nata, op.cit., hal. 260.

12 Ibid., hal. 261-262.


Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa manusia yang pasif tidak ada
yang mengetahui maksud penciptaan-Nya. Oleh karena itu, Allah SWT
melalui firman-firman-Nya berusaha memberitahukan dan menyadarkannya,
karena penciptaan manusia itu bukanlah sesuatu yang sia-sia. Sehubungan
dengan itu Allah SWT berfirman di dalam surat al-Qiyaamah ayat 36 dan 40
sebagai berikut :

=|tsr& `|RM}$# br& x8uI Os9r&


7t ZpxR `iB %c_B 4o_J NO tb%x.
Zps)n=t t,n=ys 3q|s @ypgm mZB
y_r9$# tx.%!$# #s\RW{$#ur }s9r&
y79s As)/ #n?t br& }t 4tAqpRQ$#

Artinya : 36. Apakah manusia mengira,bahwa ia akan dibiarkan begitu


saja (tanpa pertanggung jawaban)? 37. Bukankah dia dahulu setetes mani
yang ditumpahkan (ke dalam rahim) 38. Kemudian mani itu menjadi
segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, 39.
Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan 40.
Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan
orang mati?. (QS. Al-Qiyaamah : 36-40)

Dengan demikian berarti secara universal Allah SWT telah menetapkan


tugas tertentu yang pasti dan tidak berubah-ubah dalam menciptakan
manusia, sejak manusia yang pertama hingga akhir zaman kelak. Allah SWT
akan memintai pertanggung jawaban pada setiap manusia mengenai
pelaksanaan tugas tersebut, apakah telah diwujudkan atau tidak, selama
diberi-Nya kehidupan dimuka bumi. Demikianlah difirmankan-Nya bahwa
manusia tidak diciptakan begitu saja secara sia-sia, tanpa pertanggung
jawaban.13
C. Tujuan Keberadaan Manusia

13 Hadari Nawawi, Hakekat Manusia menurut Islam, (Al-Ikhlas :


Surabaya, 1993), Cet-1., hal. 95-97.
Manusia diciptakan Allah SWT di tengah dan di antara ciptaan-Nya
yang lain, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa. Keberadaan
(eksistensi) manusia di muka bumi adalah karena kehendak Allah SWT,
dimulai dari saat diturunkannya Nabi Adam AS sebagai bapak dan Hawa
sebagai ibu semua manusia, dari syurga.
Untuk mewujudkan hidup dan kehidupan dirinya secara manusiawi,
sesuai dengan kondisi penciptaannya dan tuntunan Allah SWT pada semua
manusia yang diciptakan-Nya, manusia perlu mengenali dan memahami
hakekat dirinya.
Hakekat manusia dimaksudkan adalah kondisi sebenarnya atau inti
sari yang mendasar tentang keberadaan makhluk yang berasal/keturunan
Adam dan Hawa, sebagai penghuni bumi. Makhluk yang dengan ridha Allah
SWT dijadikannya sebagai Khalifah dan penguasa di muka bumi. Berfirman
Allah SWT di dalam surat Fathir ayat 39 sebagai berikut :

uqd %!$# /3n=yy_ y#n=yz F{$# 4


`yJs txx. mn=ys n. ( wur t
ts39$# Nd. yZ Nkh5u w) $\F)tB (
wur t ts39$# Od. w) #Y$|yz

Artinya : Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.


barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya
sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan
menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang
kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka. (QS
Fathir ayat 39)
Selanjutnya di dalam surat al-Anam ayat 165 sebagai berikut :

uqdur %!$# N6n=yy_ y#n=yz F{$#


ysuur N3t/ s-qs <t/ ;My_uy
N.uq=7uj9 !$tB /38s?#u 3 b) y7/u |
>$s)9$# mR)ur qts9 7Lm
Artinya : Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi
dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain)
beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS al-Anam
ayat 165)

Setiap manusia dapat berpikir sedalam-dalamnya atau secara


fundamental, tentang hakekat dirinya, untuk sampai pada pengertian yang
mendasar mengenai keadaan dirinya sebagai Khalifah dan penguasa di
muka bumi. Akan tetapi tidak semua orang memiliki motivasi yang tinggi
untuk berpikir seperti itu. Oleh karena itulah di bawah ini akan
diketengahkan maksud dan tujuan mempelajari hakekat manusia tersebut.
1. Tujuan Subyektif
Tujuan ini berkenaan dengan kepentingan diri manusia sebagai
individu dalam menjalani hidup dan kehidupan sebagai pemberian
Allah SWT yang sangat berharga, agar tidak menjadi sia-sia dan
merugi. Tujuan-tujuan itu adalah :
a. Memahami maksud Allah SWT menciptakan dirinya sesuai dengan
firman-Nya surat Adz-Dzaariyaat ayat 56 yang mengatakan :

tBur M)n=yz `g:$# }RM}$#ur w) br7u9 $

Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia


melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(QS Adz-
Dzaariyaat ayat 56)

b. Memahami kondisinya sebagai makhluk yang diciptakan berupa


sebaik-baiknya kejadian, ternyata juga merupakan makhluk yang
diliputi berbagai kekurangan, kelemahan, dan kealpaan.
c. Memahami dan menyadari bahwa kekurangan, kelemahan dan
kealpaan yang melekat pada dirinya tidak dapat dibuang, namun
selalu dapat dikurangi.

R) @. >x moY)n=yz 9ys)/ $

Artinya : Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu


menurut ukuran." (QS. Al-Qamar : 49).

d) Memahami dan menyadari posisinya diciptakan sebagai Khalifah


di muka bumi, dengan hak dan kewajiban serta kebebasan dan
tanggung jawab, yang akan dinilai Allah SWT pelaksanaannya.
2. Tujuan Objektif
Tujuan ini berkenaan dengan kepentingan diri manusia sebagai
suatu kaum (masyarakat) dalam menjalani hidup bersama dan dalam
berhadapan dengan kaum (masyarakat) yang lain. Kepentingan
dimaksud berkenaan dengan ummat Islam di dunia, atau sebagai suatu
kaum, yang hidup bersama ummat agama lain sebagai suatu kaum pula.
Tujuan itu adalah :
a) Memahami dan menyadari bahwa ummat Islam adalah yang terbaik
atau merupakan ummat yang lebih baik dari yang lainnya. Untuk itu
Allah SWT berfirman di dalam surat Ali Imran ayat 110 yang
mengatakan bahwa :

NGZ. uyz >pB& My_z& $Y=9


tbrD's? $ryJ9$$/ cqygYs?ur `t
x6ZJ9$# tbqZBs?ur !$$/ 3 qs9ur
tB#u @dr& =tG69$# tb%s3s9
#Zyz Ng9 4 NgZiB cqYBsJ9$#
NdsY2r&ur tbq)x9$#

Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk


manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.(QS Ali Imran ayat 110)

b) Memahami dan menyadari bahwa antara sesama pemeluk agama Islam


merupakan saudara satu dengan yang lain.

b*s (#q/$s? (#qB$s%r&ur no4qn=9$#


(#qs?#uur no4q29$# N3Ruqz*s
`e$!$# 3 @_xRur MtFy$# 5Qqs)9
tbqJn=t

Artinya : Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan


zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan
kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang Mengetahui. (QS.
At-Taubah : 11)14

D. Konsep Khalifah Fil Ardh

R) $oYtt sptR$tBF{$# n?t NuquK9$#$


F{$#ur A$t6f9$#ur t/r's br& $pks]=Jts
z`)xr&ur $pk]B $ygn=uHxqur `|RM}$# (
mR) tb%x. $YBq=s Zwqgy_

Artinya : Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit,


bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.
(QS. Al-Ahzab : 72)

14 Ibid., hal. 63-70


*yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan.

Kesanggupan manusia memikul amanat merupakan salah satu aspek


paling penting yang dapat membedakan pengertian manusia dalam al-
Quran sebagai Insan dan Basyar, yaitu ketegasan al-Quran mengaitkan
kata amanah kepada kata al-insan dan bukan kepada kata an-nas, al-ins atau
al-basyar.15
Manusia sebagai mahluk yang mulia, menempati posisi yang istimewa
yang diberikan Allah di muka bumi ini. Keistimewaan manusia ini terlihat
dari fungsi yang diberikan Allah kepadanya yakni sebagai Khalifah Allah di
bumi. Firman-Nya dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah [2]: 30.16

Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu berkata kepada malaikat sesungguhnya


Aku akan menjadikan seorang Khalifah di muka bumi . (QS. Al-Baqarah
[2]:30).

Dari ayat tersebut terlihat bahwa manusia diberi kekuasaan untuk


mengolah dan memakmurkan alam ini dalam rangka beribadah kepada
Allah, sehingga akan membedakannya dengan mahluk lain dalam
kedudukan dan tanggung jawab. Konsekuensi dari kedudukan dan tanggung
jawab tersebut, manusia akan diminta pertanggungangjawaban atas segala
amal yang dilakukannya dimuka bumi ini sebagai Khalifah Fil Ardh.
Makna kata Khalifah artinya pengganti. Ar-Ragib al-Asfahani,
dalam Mujam Mufradat fi Gharibil Quran, menjelaskan bahwa
menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang
digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya. Lebih
lanjut, Al-Asfahani menyebutkan bahwa kekhalifahan tersebut dapat
terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian atau ketidakmampuan orang

15 Aisyah Bintu Syati, op.cit., hal 41-42.

16 Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah [2]: 30.


yang digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan
kepada orang yang menggantikan.17
Menurut Ahmad Hasan Firhat, seperti dikutip Samsul Nizar
menyebutkan Kedudukan kekhalifahan manusia dapat dibedakan dalam dua
bentuk, yaitu khalifah kauniyat dan khalifah syariat.18 Khalifah kuaniyat
mencakup wewenang manusia secara umum yang telah dianugerahkan Allah
SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi
kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pemberian
wewenang Allah kepada manusia dalam konteks ini, meliputi pemakmuran
yang bersifat umum tanpa dibatasi oleh agama atau keyakinan apa yang dia
akui. Artinya, label kekahalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua
manusia sebagai penguasa alam semesta.
Bila dimensi ini dijadikan standar dalam melihat predikat manusia
sebagai Khalifah Fil Ardh, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan
kehidupan manusia dalam alam semesta. Manusia dengan kekuatannya akan
mempergunakan alam semesta sebagai konsekuensi kekhailifahannya tanpa
kontrol dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai ilahiyah.
Akibatnya, keberadaannya di muka bumi bukan lagi sebagai pembawa
kemakmuran, namun cenderung berbuat mafsadah dan merugikan mahluk
Allah lainnya. Ketiadaan nilai kontrol inilah yang dikhawatirkan malaikat
tatkala Allah mengutakarakan keinginan-Nya mahluk yang bernama
manusia.19
Khalifah syariat meliputi wewenang Allah yang diberikan kepada
manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah, secara
khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan, agar

17 Al-Ragib Al-Ashfahani, tt. Mujam Mufradat alfad al-Quran hal 156, Bairut,
Lubnan : Darul Fikr.

18 Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan


Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, hal. 70

19 Lihat Quran Surat al-Baqarah [2]:30


dengan keimanan yang dimilikinya, mampu menjadi pilar dan kontrol dalam
mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah yang
telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini manusia, akan
senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam semesta demi
kemaslahatan umat manusia.
Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan Islam, maka
dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet kekhalifahan yang
sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, pendidikan yang ditawarkan harus
mampu memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan acuan
nilai-nilai Ilahiyah. Dengan penanaman ini, akan menjadi panduan baginya
dalam melaksanakan amanat Allah di muka bumi. Kekosongan akan nilai-
nilai religius, akan mengakibatkan manusia bebas kendali dan berbuat
sekehendaknya. Sikap yang demikian akan berimplikasi timbulnya nilai-
nilai egoistis yang bermuara kepada timbulnya sikap angkuh dan sombong
pada diri manusia. Sikap ini akan berbias kepada tumbuhnya sikap
memandang rendah orang lain. Manusia di luar dirinya adalah alat yang bisa
dikorbankan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Jika ini terjadi,
pada waktu yang sama, nilai-nilai sakral kemanusiaan manusia telah
tercampak dan sekaligus menumbuhkan cikal bakal mafsadah di muka bumi
ini. Firman Allah SWT:

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (dengan


sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri (QS. Lukman [31]:18).20

Berpijak pada penjelasan dan ayat tersebut di atas, dipahami bahwa


untuk menciptakan tatanan kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai
Ilahiyah, tugas dan fungsi manusia sebagai khalifah tidaklah bisa diartikan
secara umum, akan tetapi dapat dilihat dalam konteks khalifah syariyyah.

20 Lihat dan Baca QS. Lukman [31]: 18.


Sebab, hanya dengan predikat inilah manusia dapat melaksanakan fungsinya
dengan baik, sesuai dengan amanat Allah yang diberikan kepadanya.
Uraian di atas, secara implisit memberikan gambaran bahwa dalam
melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, manusia dihadapkan pada
beberapa konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan, yaitu:
1. Senantiasa taat, tunduk dan patuh, serta berpegang teguh pada ajaran-
ajaran-Nya.
2. Mempersiapkan diri dengan seperangkat ilmu pengetahuan yang
menopang terlaksananya tugas dan fungsinya sebagai khalifah Fil Ardh
secara optimal. Ilmu yang dimaksud, meliputi ilmu agama; sebagai
indikator dalam bertindak, maupun ilmu-ilmu kealaman lainnya; dalam
upaya menterjemahkan ayat-ayat Allah (baik quraniyah maupun
kauniyah) bagi terwujudnya kemaslahatan umat manusia.
3. Bertanggung jawab terhadap amanat yang diberikan Allah kepadanya,
dengan cara memelihara serta memanfaatkan alam semesta beserta
isinya bagi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia, sekaligus
sebagai sarana ibadah kepada Khaliqnya, sesuai dengan kemampuan
mereka masing-masing.
Dengan diserahkannya predikat khalifah syariyyah kepada manusia,
maka akan terpeliharalah amanat yang diberikan Allah kepadanya dengan
sebaik-baiknya.21 Dengan demikian nilai-nilai kemanusiaan manusia pada
derajat yang tinggi akan terjaga dengan baik sesuai dengan potensi yang
dimilikinya.22
Menurut konsep al-quran sekurang-kurangnya ada lima syarat
Khalifah yang harus dikembangkan, yaitu sebagai berikut :
1) Beriman dan bertaqwa (QS. Al- Araf: 96)
2) Berilmu pengetahuan (QS. Al-Mujadilah: 11)
3) Mempunyai kemampuan menyusun perencanaan dan evaluasi (QS. Al-
Hasyr: 18)

21 Lihat QS Al-Anam [6]:165, QS. Al-Hijr [15]:21, dan QS. Fussilat [41]:
51.

22 Wahbah al-Juhaily, 1991, At-Tafsirul Munir Fil-Aqidah Was-Syariah


wal-Manhaj, Bairut, Lubnan: Darul Fikr al-Muasir zuz 30 hal. 306.
4) Mempunyai kekuatan mental melaksanakan kegiatan (QS. Al-Baqarah:
147)
5) Mempunyai kesadaran dan tanggung jawab moral, serta mau menerima
kritik (QS. As-shaf: 2-3)23

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :

Manusia yang disebutkan oleh al-Quran terdapat 3 istilah :


Insan menyebutkan manusia bukan pada bentuk fisiknya tetapi lebih
kepada penyebutan sifatnya. Nilai kemanusiaan pada manusia yang
disebut al-Quran dengan kata Insan itu terletak pada tingginya derajat
manusia yang membuatnya layak menjadi Khalifah di bumi dan mampu
memikul amanat. Sebab ia mendapat keistimewaan ilmu, pandai
berbicara, mempunyai akal dan kemampuan berpikir.

23 (QS. As-shaf: 2-3)


Basyar menyebutkan kepada fisiknya manusia seperti suka makan, dan
berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat pengertian Basyar
mencakup anak turun Adam secara keseluruhan.
al-Nas digunakan al-Quran untuk menyatakan adanya sekelompok
orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk
mengembangkan kehidupannya, seperti kegiatan bidang peternakan,
penggunaan logam besi, penguasaan laut, melakukan perubahan sosial
dan kepemimpinan.
Manusia diciptakan itu atas kehendak Allah SWT, tidak ada seorangpun
manusia yang tahu kenapa ia diciptakan. Manusia hanya tahu tujuan ia
diciptakan yaitu untuk tunduk dan patuh (beribadah) kepada Allah SWT
seperti yang dijelaskan dalam surat adh-Dzariyaat ayat 56, dan juga sebagai
khalifah di muka bumi seperti yang dijelaskan di dalam surat al-Anam ayat
165.
konteks khalifah syariyyah meliputi wewenang Allah yang diberikan
kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta. Bila dimensi ini
dikembangkan dalam kajian pendidikan Islam, maka dalam proses
mempersiapkan generasi penerus estafet kekhalifahan yang sesuai dengan
nilai-nilai Ilahiyah, pendidikan yang ditawarkan harus mampu memberikan
dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan acuan nilai-nilai Ilahiyah.
Dengan penanaman ini, akan menjadi panduan baginya dalam
melaksanakan amanat Allah di muka bumi. Apalagi dengan adanya konsep
al-quran sekurang-kurangnya ada lima syarat Khalifah yang harus
dikembangkan, yaitu sebagai berikut :
1. Beriman dan bertaqwa (QS. Al- Araf: 96)
2. Berilmu pengetahuan (QS. Al-Mujadilah: 11)
3. Mempunyai kemampuan menyusun perencanaan dan evaluasi (QS. Al-
Hasyr: 18)
4. Mempunyai kekuatan mental melaksanakan kegiatan (QS. Al-Baqarah:
147)
5. Mempunyai kesadaran dan tanggung jawab moral, serta mau menerima
kritik (QS. As-shaf: 2-3)
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Arifin tentang Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI dan


Esensi Ajaran Islam tentang Kemasyarakatan.
Abuddin Nata, Akhlak tasawuf, (Rajawali Pers : Jakarta, 2012) Cet-11.
Aisyah Bintu Syati, Manusia dalam perspektif al-Quran, (Pustaka
Firdaus: Jakarta, 1999).
Hadari Nawawi, Hakekat Manusia menurut Islam, (Al-Ikhlas : Surabaya,
1993), Cet-1.
Al-Ragib Al-Ashfahani, tt. Mujam Mufradat alfad al-Quran hal 156,
Bairut, Lubnan : Darul Fikr.
Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam,
Jakarta : Gaya Media Pratama.
Wahbah al-Juhaily, 1991, At-Tafsirul Munir Fil-Aqidah Was-Syariah wal-
Manhaj, Bairut, Lubnan: Darul Fikr al-Muasir zuz 30.
http://diaryfarikha.blogspot.com/2014/05/konsep-khalifah-fil-ard-dan-
imamah.html diakses pada tanggal 31 Mei 2015

Anda mungkin juga menyukai