Anda di halaman 1dari 23

ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG KHALIFAH FIL ARD SEBAGAI

MISI KEPEMIMPINAN PROFETIK

Disusun untuk Melengkapi Persyaratan Peserta Intermediate Training (LKII)

OLEH: MUHAMMAD AZAM ROFIULLAH

ASAL: CABANG JAKARTA SELATAN

INTERMEDIATE TRAINING

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

CABANG SERANG 26 JULI – 4 AGUSTUS 2019


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas ridho dan ijin-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini sebagai salah satu persyaratan untuk dapat mengikuti
Intermediate Training atau LK II di Serang.

Penulis juga ingin menghaturkan penghargaan dan terima kasih kepada :

1. Orang tua terutama ayah yang telah mendukung karir penulis di HMI.
Karena dahulu setelah mengikuti LK I komisariat LIPIA, beliau bercerita
bahwasanya almarhumah ibu juga adalah seorang kader HMI Ciputat saat masih
menjadi mahasiswa saat itu.

2. Seluruh Keluarga Besar HMI komisariat LIPIA yang telah membantu


proses pengkaderan penulis dari semenjak LK I, hingga membantu pengembangan
pribadi penulis untuk mewujudkan diri sebagai Insan Cita sebagaimana yang
tertera dalam mission HMI.

3. Terkhusus senior penulis di LEPPAMI, kanda Yusrianto, yang telah


mendorong dinda untuk mengikuti LK II.

4. Abangnda Rajiv yang telah mementori penulis sejak LK I. Jasamu


abadi, tuan!

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak


kekurangan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak sebagai bahan penyempurnaan makalah ini.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan


manfaat yang besar bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jakarta, 15 Juli 2019

Penulis, Muhammad Azam R

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan masalah.........................................................................................2
1.3 Tujuan penulisan...........................................................................................2
1.4 Manfaat penulisan.........................................................................................2
1.5 Pembatasan masalah.....................................................................................2
1.6 Metode penulisan..........................................................................................3
1.7 Sistematika penulisan....................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
2.1 Pengertian Ilmu Sosial Profetik dan Kepemimpinan Profetik......................4
2.1.1 Ilmu Sosial Profetik...................................................................................4
2.1.2 Konsep Kepemimpinan dan Kepemimpinan Profetik...............................9
2.2 Esensi Ajaran Islam tentang Khalifah fil Ardh sebagai Misi Kepemimpinan
Profetik...................................................................................................................11
2.2.1 Penciptaan Manusia Sebagai Khalifah fil Ardh......................................11
2.2.2 Ajaran Islam yang Menyertai Manusia...................................................12
2.2.3 Maqashid Syar’iyah dan Kepemimpinan Profetik..................................13
2.3 Implementasi Ajaran Islam dalam Kepemimpinan Profetik.......................14
BAB III PENUTUP...............................................................................................17
3.1 Kesimpulan.................................................................................................17
3.2 Saran............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kuntowijoyo (1943-2007) adalah pria yang bertanggung jawab dalam
mengenalkan istilah “profetik” kepada khalayak umum. Pada awalnya, istilah
yang ia gunakan adalah “Ilmu Sosial Transformatif” yang kemudian mengalami
perubahan nama menjadi “Ilmu Sosial Profetik”.

Gagasan ini muncul sebagai sebuah keresahan bagi pemikiran Islam yang
cenderung jumud, serta sebagai sebuah kritik terhadap paham-paham barat yang
dinilai mempunyai banyak kelemahan1.

Gagasan beliau mengenai pentingnya ilmu sosial transformatif inilah yang


selanjutnya disebut ilmu sosial profetik.

Ilmu sosial profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena


sosial, tapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan, untuk
apa, dan oleh siapa. Ilmu sosial profetik mencoba untuk melakukan reorientasi
terhadap epistemologi, yaitu reorientasi terhadap mode of thought dan mode of
inquiry bahwa sumber ilmu pengetahuan tidak hanya dari rasio dan empiri, tetapi
juga dari wahyu2.

Arti profetik sendiri menurut KBBI ialah “segala sesuatu yang berkenaan
dengan kenabian”3. Kemudian oleh Kuntowijoyo istilah profetik disambungkan
dengan ilmu sosial, untuk menjembatani teori sosial dengan agama.

Adapun pemahaman kepemimpinan profetik juga erat kaitannya dengan


esensi ajaran islam yang mana bersumber dari kenabian itu sendiri. Melihat
rujukan dari gagasan ini yaitu Surat Ali Imron ayat 110, yang berbicara tentang
bagaimana cara manusia menjadi khalifah fil ardh, maka pembahasan tentang hal
tersebut menjadi sangatlah menarik.

1
(Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi: 1991).
2
Sus Budiharto dan Fathul Humam, “Konstruk Teoritis dan Pengukuran
Kepemimpinan Profetik”, Jurnal Psikologi, 33, 2, (2006), 136
3
https://kbbi.web.id/profetik, diakses pada 11 Juli 2019 pukul 23.21 WIB

1
Berangkat dari pemahaman tersebut, HMI sebagai organisasi mahasiswa
islam, sangat perlu untuk memahami konsep kepemimpinan yang dilandaskan
dengan pemahaman “profetik” tadi, dalam mewujudkan kadernya sebagai
khalifah fil ardh.

1.2 Rumusan masalah


Berangkat dari latar belakang dan beberapa teori di atas, penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apa esensi penerapan ajaran islam tentang khalifah fil ardh dalam
kepemimpinan profetik?
2. Apa saja contoh implementasi kepemimpinan profetik yang dapat
dilakukan pemimpin masa kini demi mewujudkan tujuan khalifah fil ardh?

1.3 Tujuan penulisan


Adapun beberapa tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui esensi penerapan ajaran islam tentang khalifah fil ardh dalam
kepemimpinan profetik.
2. Mengetahui contoh implementasi kepemimpinan profetik yang dapat
dilakukan oleh pemimpin masa kini sesuai dengan tujuan khalifah fil ardh.

1.4 Manfaat penulisan


Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari eksistensi makalah ini adalah
sebagai berikut:

1. Bagi penulis sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Intermediate


Training dalam jenjang pengkaderan HMI.
2. Bagi kader HMI untuk menambah pengetahuan dan wawasan terhadap
pentingnya NDP bab 2 yang dapat diimplementasikan lewat
kepemimpinan profetik.
3. Bagi para pemimpin sebagai rujukan cara kepemimpinan di masa kini.

1.5 Pembatasan masalah


Untuk mempermudah pembahasan dalam makalah ini agar tidak
menyimpang terlalu jauh dari tujuan dibuatnya makalah, maka penulis merasa

2
perlu untuk membatasi pembahasan masalah di dalam tulisan ini. Adapun masalah
yang akan dibahas adalah sebagai berikut.

1. Maksud dan tujuan dari Ilmu Sosial Profetik.


2. Teori Kepemimpinan dan Kepemimpinan Profetik.
3. Esensi Ajaran Islam tentang Khalifah fil Ardh dalam Kepemimpinan
Profetik
4. Implementasi ajaran Islam dalam Kepemimpinan Profetik.

1.6 Metode penulisan


Adapun metode penulisan yang dilakukan dalam pembuatan makalah ini
adalah metode deskriptif yang bersifat studi literatur yang dilakukan sejak awal
penulisan makalah hingga akhir. Studi literatur ini dilakukan untuk mendapatkan
landasan teori yang menjadi rujukan dalam argumentasi penulis terkait
pembahasan yang akan dijabarkan pada bab 2 nanti.

Studi literatur ini sendiri meliputi pengumpulan data dan informasi yang
didapat melalui jurnal, artikel, serta referensi buku-buku terkait dan saran serta
masukan senior-senior di HMI.

1.7 Sistematika penulisan


Sistematika penulisan yang dipakai dalam pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut:

1. Pendahuluan (berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,


manfaat penulisan, pembatasan makalah, metode penulisan, dan
sistematika penulisan).

2. Pembahasan (isi masalah yang akan dibahas).

3. Penutup (berisikan kesimpulan dari permasalahan yang dibahas dan solusi


untuk masalah tersebut).

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ilmu Sosial Profetik dan Kepemimpinan Profetik


Untuk memahami kerangka berpikir “Profetik”, maka kita tak bisa lepas
dari dua pengertian utama yang dipaparkan Kuntowijoyo tentang gagasan ini.

2.1.1 Ilmu Sosial Profetik.


Pada mulanya, kata “Profetik” tidak berdiri sendiri, ia adalah gagasan yang
terlahir dalam kritik seorang Profesor Sejarah UGM, Kuntowijaya, dalam
karyanya yang berjudul “Paradigma Baru Ilmu-ilmu Islam: Ilmu Sosial Profetik
sebagai Gerakan Intelektual”.

Ilmu Sosial Profetik yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo sebenarnya


bukan yang pertama, sebelum beliau, sudah ada banyak pemikir yang menggagas
pemahaman serupa yang berorientasi pada keumatan, seperti halnya Muhammad
Iqbal, dan Roger Garaudy.

Ada sekiranya 2 hal yang mendasari lahirnya paradigma baru ini.

1. Faktor eksternal

Berkembangnya paham materialisme, sosialisme, sampai positiveme yang


digagas dalam ilmu sosiologi oleh August Comte, menjadikan kebutuhan akan
paham yang pro keumatan dipikirkan oleh Kuntowijoyo.

Merujuk pada pemikiran Muhammad Iqbal, bahwasanya Nabi Muhammad


SAW “merelakan” kenikmatan mi’raj di langit ketujuh untuk kembali ke bumi
demi membela harkat dan martabat umatnya, serta menyiarkan dakwah.

Dasar-dasar pemikiran itu menjadikan Kuntowijoyo membuat semacam


anti-tesis bagi pemikiran lain yang telah disebutkan di atas, agar “umat Islam
jangan hanya beribadah, namun juga ikut berjuang dalam sosial-masyarakat” yang
mengedepankan nilai-nilai kerohanian juga di dalamnya.

4
Paham positiveme yang mengedepankan kebebasan dikritik secara tidak
langsung oleh ISP (Ilmu Sosial Profetik) yang berbicara juga tentang kebebasan
namun berlandaskan nilai-nilai yang dianut.

2. Faktor Internal

Kuntowijoyo yang juga seorang sastrawan memandang perlu adanya


transformasi nilai yang mendobrak kejumudan berpikir dalam khazanah sastra dan
keilmuan di Indonesia.

Bahwasanya aspek tradisi keilmuan islam yang sedang terjadi, telah gagal
dalam memajukan dan memberdayakan umat.

Dalam pemikirannya, tradisi keilmuman Islam di Indonesia terbagi 3:

1. Tradisi Normatif

Yaitu tradisi dakwah yang mengajak kepada kesucian agama dan ibadah.
Yang mengedepankan nilai-nilai kebaikan dan ketuhanan.

2. Tradisi Ideologis

Tradisi ini dirumuskan menjadi dasar pergerakan politik Islam yang


disiapkan untuk menyaingi kapitalisme dan komunisme.

3. Tradisi Ilmiah

Terakhir adalah tradisi yang mengedepankan empirisme untuk mengenal


masyarakat.

Namun menurut hemat Kuntowijoyo, ketiga tradisi ini sudahlah terlalu


jumud dan membutuhkan paradigma baru yang berangkat dari nilai-nilai
keumatan dan emansipasi.

“Komitmen tradisi normatif ialah dakwah, komitmen tradisi ideologis


ialah politik, dan komitmen tradisi ilmiah ialah ilmu. Paradigma baru itu harus
punya komitmen baru, yaitu umat (masyarakat, komunitas, rakyat, kaum, bangsa).
Paradigma baru itu akan kita sebut Ilmu Sosial Profetik,” tulis Kuntowijoyo (hlm.
106).

5
Lebih lanjut ia menuturkan bahwasanya Ilmu Sosial Profetik mempunyai
perhatian utama yaitu emansipasi umat.

“Demikianlah Ilmu Sosial Profetik harus mempunyai perhatian utama.


Perhatian utama itu ialah emansipasi umat, yang kongkret dan historis, dengan
menyangkutkannya dengan problem-problem aktual yang dihadapi umat. Problem
sekarang ialah bagaimana mengantarkan umat dalam transformasi menuju
masyarakat industrial, civil society, ekonomi yang non-eksploitatif, masyarakat
demokratis, negara rasional, dan budaya yang manusiawi” (hlm. 108).

Kemudian, dengan mengambil rujukan Al-Qur’an surat Ali-Imron ayat


110, Kuntowijoyo melahirkan mengagas konsep kepemimpinan profetik yang
akan menjadi bahasan utama tulisan ini.

“Misalnya saja dia menangkap makna yang terkandung dalam Surah Ali
Imran ayat 110, dengan konsep-konsep yang dikenal umum yaitu humanisasi dan
emansipasi untuk istilah ‘amr ma’ruf’, liberasi untuk ‘nahiy munkar’, dan
transendensi untuk ‘iman kepada Allah’.”

“Di sini dia berupaya memahami Al-Quran dalam kerangka ilmu, terutama
teori-teori sosial,” tulis Dawam Raharjo dalam pengantarnya untuk kompilasi
karya Kuntowijoyo, “Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi”.

Dari ayat tersebut, ada 3 intisari pemikiran yang mendasari lahirnya


konsep Kepemimpinan Profetik.

 Humanisasi dan emansipasi (menyeru pada kebaikan)

 Liberalisasi (melarang keburukan)

 Transendensi (beriman kepada Allah)

Ketiga hal ini adalah tolak ukur kesuksesan yang dikatakan kalimat
sebelumnya dalam ayat tersebut “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan
untuk manusia”.

Dalam buku Syafruddin Jurdi, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern :


Teori, Fakta dan Aksi Sosial, Kuntowijoyo menangkap 5 aspek dalam ayat

6
tersebut. Yaitu masyarakat utama (Khaira Ummah), kesadaran sejarah (Ukhrijat
linnas), Humanisasi (Ta’muruna bil ma’ruf), Liberalisasi (Tanhauna ‘anil
munkar), dan Transendensi (Tu’minuuna billah).4

Kemudian ia mentransformasikan 3 nilai utama menjadi dasar ISP.

Menurut tafsir Ibnu Katsir, “umat terbaik” berarti umat yang paling
bermanfaat untuk umat manusia, yang kemudian direpresentasikan sebagai
Khalifah fil Ardh sebagaimana yang diceritakan Allah SWT dalam surat Al-
Baqoroh ayat 30, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: ‘Aku
hendak menjadikan manusia khalifah di muka bumi”.

Ketiga dasar pemikiran yang tercantum dalam ayat tersebut adalah


manifestasi dari kesempurnaan ajaran Islam yang mana adalah tonggak
kesuksesan umat melalui Kepemimpinan Profetik, yang dipelajari dalam Ilmu
Sosial Profetik.

Humanisasi sendiri berarti pengangkatan harkat dan martabat manusia.


Istilah lainnya adalah memanusiakan manusia.

Liberisasi adalah pembebasan manusia dari belenggu penindasan yang


selama ini menjadi sorotan dalam sistem kapitalisme saat manusia hanyalah mesin
bagi yang memiliki kekuasaan.

Dan Transendensi adalah elaborasi dari dua nilai sebelumnya untuk


menggerakkan hati manusia kepada keikhlasan dan mengharap ridho Allah pada
akhirnya.

Dalam surat Al-‘Asr, disebutkan juga hal senada mengenai kepemimpinan


profetik dengan urutan dan narasi yang berbeda namun tak kalah indah.

Pada ayat kedua dan ketiga surat tersebut, disebutkan bahwasanya manusia
adalah makhluk yang merugi (Innal insana lafi khusr).

4
Syarifudin Jurdi, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern : Teori, Fakta dan
Aksi Sosial, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 9

7
Kecuali orang-orang yang beriman (aspek transendensi), mengerjakan
amalan soleh (humanisasi) serta saling menasehati dalam kebenaran dan
kesabaran (liberalisasi).

Ayat ini mempunyai makna yang agung dan lebih spesifik dibandingkan
surat Ali Imron tadi dalam memaknai humanisasi. Yaitu hubungan antara
“beriman” yang disebutkan pertama dan “mengerjakan amalan soleh” yang
disebutkan setelahnya.

Ini menunjukkan bahwasanya “kebaikan” atau amalan soleh yang


dikerjakan manusia haruslah merujuk pada “keimanan” yang telah dicanangkan
terlebih dahulu.

Artinya bahwasanya manusia tidak bisa sembarangan mendefinisikan


“kebaikan”, namun haruslah mengikuti apa yang telah dihukumkan oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa.

Secara umum, hubungan antar dua surat ini mengantarkan kita pada
definisi kepemimpinan profetik yang merupakan paradigma baru dalam
memperjuangkan umat islam, terlebih menjadi konsep utama paduan manusia
dalam menjadi khalifah fil ardh.

Dalam perkembangannya, Ilmu Sosial Profetik sendiri mengalami


pengembangan yang dikemukakan pemikir-pemikir lainnya, seperti
menambahkan aspek dasar pemikirannya menjadi 9 aspek. Dimulai dari dasar
filosofis dan hakekat “Ilmu” yang belum dijelaskan secara terperinci oleh sang
Profesor.

Sebagaimana yang dilakukan oleh kolega Kuntowijoyo, yaitu Ahhimsa-


Putra dalam karyanya yang berjudul “Paradigma Profetik Islam: Epistimologi,
Etos, dan Model.”

ISP sendiri tidak bertolak belakang dengan asas-asas pemikiran Islam


yang dibangun atas dasar Akal dan Syariat. Ia adalah manifestasi dari kedua asas
tersebut untuk dikolaborasikan dalam ilmu sosial yang pada akhirnya akan
bertujuan untuk membela umat.

8
2.1.2 Konsep Kepemimpinan dan Kepemimpinan Profetik
Secara garis besar penelitian dan teori kepemimpinan dibagi menjadi tiga
pendekatan yaitu teori sifat, teori perilaku, dan teori kepemimpinan situasional.

Berikut adalah penjelasan singkat dari masing-masing teori tersebut.

1. Teori Sifat

Edy Sutrisno menjelaskan bahwa teori sifat adalah seseorang yang


dilahirkan sebagai pemimpin karena memiliki sifat-sifat kepemimpinan.

Penganut teori sifat berpendapat bahwa keberhasilan seseorang menjadi


pemimpin ditentukan oleh kualitas sifat atau karakter tertentu yang ada dalam diri
pemimpin tersebut.

Karakter tersebut berhubungan dengan fsik, mental, psikologis,


personalitas, dan intelektualitas5.

2. Teori Perilaku

Teori perilaku didasarkan pada bahwa kepemimpinan merupakan interaksi


antara pemimpin dan pengikut, dan dalam interaksi tersebut pengikut yang
menganalisis dan mempersepsikan apakah menerima atau menolak
kepemimpinannya6.

Dalam teori ini mampu mengidentifkasi perilaku yang menbedakan


pemimpin yang efektif dan tidak efektif7.

Terdapat dua orientasi dalam teori perilaku, yaitu perilaku pemimpin yang
berorientasi tugas sehingga menampilkan gaya kepemimpinan autokratik dan
perilaku pemimpin yang mengutamakan penciptaan hubungan manusiawi
sehingga menghasilkan gaya kepemimpinan demokratis atau partisipatif.

3. Teori Situasional

5
Edy Sutrisno, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Kencana, 2010) 226.
6
Ibid., 228.
7
Stephen P. Robbins and Mary Coulter, Manajemen, 149. (Jakarta: Erlangga,
2014)

9
Teori kepemimpinan situasional awal mula dikembangkan oleh Paul
Hersey dan Ken Blachard. Dalam teori ini mereka berusaha mengembangkan
kepemimpinan sesuai dengan situasi dan kebutuhan.

Menurut pandangan penganut teori situasional, hanya pemimpin yang


mengetahui situasi dan kebutuhan organisasi yang dapat menjadi
pemimpin yang efektif. Kepemimpinan yang efektif dipengaruhi oleh
motivasi, kemampuan melaksanakan tugas, dan kepuasan dari para
pengikutnya8.

Menurut penelitian Siti Zulaikah9, Kepemimpinan Profetik ala Nabi


Muhammad SAW menganut teori kepemimpinan Situasional.

Hal tersebut lantaran beliau SAW menjalankan kepemimpinannya


berdasarkan situasi yang beliau hadapi.

Terdapat tiga tipe kepemimpinan yang dijalankan oleh beliau, yaitu


kepemimpinan otoriter, laissez faire, dan demokratis. Ketiga tipe kepemimpinan
tersebut diterapkan berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi Nabi.

Adapun ketiga tipe kepemimpinan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kepemimpinan Otoriter
2. Kepemimpinan Laissez Faire
3. Kepemimpinan Demokratis

Penjelasan tentang tiga tipe kepemimpinan tersebut akan dibahas dalam


implementasi kepemimpinan profetik pada pembahasan selanjutnya.

Maka, bisa diartikan secara sederhana, kepemimpinan Profetik bisa


diartikan sebagai cara kepemimpinan yang berdasarkan contoh-contoh kenabian,
atau juga apabila didasari dengan Ilmu Sosial Profetik, maka Kepemimpinan ini
haruslah berlandaskan 3 asas dari Ilmu tersebut, yaitu Humanisasi, Liberalisasi,
dan Transendensi.

8
Opt cit, 228
9
Siti Zulaikhah, “Prototipe Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Dalam
Pendidikan (Sebuah Telaah Atas Sifat Wajib Rasul)”, Skripsi, IAIN Walisongo
Semarang, 2005, 56.

10
Menarik apabila ditelaah bahwasanya gagasan Ilmu Sosial Profetik
melahirkan metode-metode segar dalam banyak aspek. Pendidikan,
Kepemimpinan, dan lain sebagainya.

Kepemimpinan Profetik sendiri telah dijabarkan oleh banyak jurnal


maupun artikel di mana ia juga mencakup “kriteria pemimpin” yang didasarkan
dari ayat-ayat Al-Qur’an, baik itu Ali Imron 110, maupun ayat sejenis yang
mempunyai makna serupa.

Selain itu, segala jenis contoh kenabian yang tergolong sunnah hasanah
dijadikan rujukan juga bagi cara kepemimpinan profetik ini, apabila berangkat
dari definisi harfiahnya.

2.2 Esensi Ajaran Islam tentang Khalifah fil Ardh sebagai Misi
Kepemimpinan Profetik
Dalam pengertian Ilmu Sosial Profetik, esensi ajaran islam tertuang dalam
konsep Humanisasi, Liberalisasi, dan Transendensi. Tiga pilar utama ini
mencakup keseluruhan risalah Islam yang harus menjadi rujukan bagi para
pemimpin.

Namun sebelum masuk ke dalam pembahasan tentang korelasi antara


Khalifah fil Ardh dan Kepemimpinan Profetik, ada baiknya kita mulai dahulu dari
pembahasan tentang asal-usul penciptaan manusia sebagai Khalifah fil ardh,
kemudian ajaran islam apa yang menyertainya, dan terakhir korelasi antar
keduanya.

2.2.1 Penciptaan Manusia Sebagai Khalifah fil Ardh


Manusia, sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, memiliki sifat fitrah
(kesucian) dan hanif (cenderungan kepada kebenaran). Hal ini ditegaskan
dengan ikrar kesaksian pada ketauhidan sebagaiman tercantum dalam Alquran
surat Al-Araf ayat 172. Manusia ketika masih di alam arwah telah berjanji akan
senantiasa beriman kepada Allah SWT. Namun Allah SWT tidak membiarkan
manusia berkata seperti itu begitu saja. Allah SWT akan menguji kebenaran
janji mereka. Ujian keimanan itu adalah menjadi makhluk penghuni bumi.
Lantas Allah SWT juga membekali manusia dengan hati, akal, dan nafsu untuk

11
menjalankan misi khalifah tersebut. Sisi keunggulan inilah yang menempatkan
manusia layak menerima amanat “khalifah Allah SWT di muka bumi ini”.10

Manusia juga merupakan makhluk Basyariah (dimensi


fisiologis) dan Annaas (dimensi sosiologis), selain itu ia juga memiliki aspek
Insan (dimensi psikologis) sebuah dimensi lain dari diri manusia yang paling
sublim serta memiliki kecenderungan yang paling kompleks. Dimensi yang
disebut terakhir ini bersifat spritual dan intelektual dan tidak bersifat material
sebagaimana merupakan kecenderungan aspek basyarnya.11

Latar belakang tersebutlah yang menjelaskan asal-usul pemilihan manusia


sebagai khalifah fil ardh. Meskipun sebenarnya pembahasan tentang khalifah fil
ardh ini sungguhlah panjang namun di luar dari pembahasan makalah ini.

2.2.2 Ajaran Islam yang Menyertai Manusia.


Semua ajaran yang dibawa oleh para Nabi, adalah serangkaian ajaran
Islam yang mana semua berasal dari Allah SWT. Namun ajaran Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW akan me-nasakh atau menghapus semua
ajaran nabi-nabi sebelum beliau.

Beberapa bukti bahwa Nabi-nabi sebelum Muhammad SAW juga adalah


seorang muslim bisa kita jumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an sebagai berikut:

1. Nabi Ibrahim A.S

Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan
tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi seorang muslim (berserah diri
kepada Allah). Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang
musyrik. (QS Ali Imran: 67)

2. Nabi Musa A.S

10
Budhy Rahman Munawar, Membaca Nurcholish Majid, Islam dan Pluralisme, Democary
Project, Jakarta, 2011, hlm. 17.
11
Munzir Hatami, Revolusi Sejarah Manusia, Peran Rasul Sebagai Agen Perubahan, PT.
LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 69.

12
Berkata Musa, "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka
bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang muslim
(berserah diri)." (QS Yunus: 84)

3. Bahkan Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa Hawariyun, pengikut Nabi


Isa A.S juga adalah muslim.

“Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami


adalah orang-orang muslim (orang yang berserah diri). (QS Ali Imran: 52)

Agama yang dibawa para Nabi juga adalah satu, sebagaimana Hadits Nabi
SAW: “Para nabi adalah anak-anak saudara ayah. Dan agama mereka satu.”
(HR Bukhari dan Muslim).

Ajaran Islam yang diturunkan Allah lewat para Nabi adalah tools dan
guidance untuk mencapai tujuan khalifah fil ardh yang dicanangkan Allah SWT
di awal penciptaan manusia.

Oleh karena itu, slogan Islam rahmatan lil ‘alamiin (rahmat bagi semesta
alam) juga adalah sebuah slogan demi terwujudnya tujuan manusia di muka bumi
ini sebagai khalifah fil ardh. Karena bunyi slogan tersebut bukan hanya bertujuan
untuk menjadi rahmat bagi sesama manusia, namun untuk seluruh makhluk Allah
yang ada di muka bumi.

Kapasitas ajaran islam sebagai tools untuk menjadikan manusia khalifah


fil ardh mencakup seluruh ajarannya. Baik syariat ibadah maupun muamalat. Baik
hablum minallah maupun hablum minannas.

Karena ketiga unsur manusia (basyar, naas, dan insaan) yang saling
berkaitan, membuat manusia perlu memperhatikan semua aspek kehidupannya,
baik itu berkaitan dengan dirinya pribadi, sosial, maupun kepada Tuhannya agar
seimbang dan berhasil menjadi khalifah fil ardh.

2.2.3 Maqashid Syar’iyah dan Kepemimpinan Profetik


Dalam Maqashid Syar’iyah, dibahas bahwasanya Ajaran Islam menjaga 5
hal secara berurutan (Maqhasid Khamsah). Diin (Agama), Nafs (Diri), Aql (Akal),
Nasb (Keluarga), dan Maal (Harta).

13
Disamping membahas tentang ijtihad, 5 hal yang dikemukakan Imam As-
Syathibi ini juga merupakan salah satu rujukan dalam memahami konsep Islam
mengatur kehidupan manusia.

Korelasi dengan 3 konsep yang ditawarkan Kepemimpinan Profetik


dengan Maqashid Khamsah tadi sangatlah relevan untuk dibahas.

1. Humanisasi adalah konsep untuk mengangkat martabat manusia, yang


juga adalah tujuan dari dijaganya Nafs, serta Nasb.

2. Liberalisasi yang merupakan konsep kebebasan dari kukungan


ideologi yang bersifat zalim merupakan manifestasi dari dijaganya
Maal, dan juga Maql.

3. Sedangkan transendensi adalah yang paling utama dengan menjaga


Diin atau agama seorang manusia.

Secara general, korelasi antara esensi ajaran islam dalam Maqashid


Khamsah dan Kepemimpinan Profetik sangatlah erat, karena salah satu
interpretasi dalam tujuan Khalifah fil Ardh adalah bagaimana manusia “menjaga”
keseimbangan di bumi.

Oleh karena itu, tujuan Islam yang dikemukakan Imam As-Syatibi dalam
Maqashid Syari’ah yang berkaitan dengan “menjaga” 5 hal dalam kehidupan
seoerang muslim sangatlah berkaitan dengan semangat misi khalifah fil ardh dan
bersinggungan langsung dengan falsafah Kepemimpinan Profetik.

2.3 Implementasi Ajaran Islam dalam Kepemimpinan Profetik


Sudah barang tentu, implementasi ajaran Islam dalam kepemimpinan
profetik akan mencatut sifat-sifat Nabi, yang akan dihubungkan dengan teori
kepemimpinan situasional yang telah dibahas.

Beberapa sifat Nabi SAW yang terkenal dan biasa digaungkan oleh kader
HMI adalah sidik, amanah, fathonah, tabligh.

Kemudian tentu saja banyak sifat lain yang bisa ditelaah sebagai pedoman
implementasi metode kepemimpinan profetik. Antara lain, tasyji’, nasyith, uswah,
syuro, dan lain sebagainya.

14
1. Kepemimpinan Otoriter

Tipe kepemimpinan otoriter menggambarkan pemimpin yang mendikte,


membuat keputusan sepihak dan membatasi partisipasi bawahan.

Perwujudan kepemimpinan otoriter Nabi Muhammad terlihat dalam sikap


tegas beliau saat menghadapi orang kafir dan dalam memberikan hukuman serta
pelaksanaan petunjuk dan tuntunan Allah.

Dalam melaksanakan aturan yang telah diperintahkan dan diwahyukan ada


beberapa ibadah yang tidak dapat ditawar-tawar seperti shalat, puasa, zakat, dan
haji.

Namun ada kalanya sifat otoriter seorang pemimpin menjadi boomerang


bagi bawahnnya. Legitimasi yang terlalu besar membuat para bawahan tidak
senang dengan keputusan dari pemimpinnya.

Oleh karena itu dibutuhkan formula khusus agar kepemimpinan otoriter


tetap dapat diterima oleh bawahan.

Ada lima kunci yang dikemukakan oleh Robbins guna membangun


kepercayaan bahwa pemimpin tidak memanfaatkan kekuatan legitimasi untuk
menindas bawahan12

Kelima kunci kepercayaan terhadap pimpinan tersebut terdiri dari


integritas, kompetensi, konsistensi, loyalitas, dan keterbukaan. Integritas
dimaksudkan Robbins berhubungan dengan sifat kebenaran dan kejujuran.
Rasulullah memiliki sifat Siddik, yaitu jujur, benar dengan berintegritas tinggi dan
terjaga dari kesalahan, kemudian benar dalam bertindak berdasarkan hukum dan
peraturan.13

2. Kepemimpinan Laissez Faire

12
Lima kunci tersebut diambil dari konsep Stephen P. Robbins and Mary Coulter,
Manajemen yang kemudian dianalisis dari kepemimpinan yang diterapkan oleh
Nabi.
13
Munardji. “Konsep Dan Aplikasi Kepemimpinan Profetik”, Edukasi. 04,
no.01, (2016).

15
Tipe kepemimpinan laissez faire menggambarkan pemimpin yang
memberikan kesempatan pada kelompok untuk membuat keputusan dan
menyelesaikan pekerjaan atau masalah dengan cara apa pun yang menurut mereka
pantas.

Dalam menyeru umat manusia terlihat kepemimpinan Nabi Muhammad


yang bersifat laissez faire. Beliau tidak memaksa seseorang dengan kekerasan.
Dalam dakwahnya setiap manusia diberi kebebasan dalam memilih agama yang
dipeluknya.

Beliau hanya diperintahkan Allah untuk memberikan seruan dan


peringatan kerugian bagi yang sombong dan angkuh menolak, serta seruan
keberuntungan bagi yang mendengar seruannya. Apabila ada yang menolak
beriman kepadanya, beliau tidak memaksanya namun tetap memberi peringatan
kepada mereka.

Melalui tipe kepemimpinan laissez faire yang diterapkan, Nabi


Muhammad berusaha untuk menumbuhkan tanggung jawab dari pribadi masing-
masing.

3. Kepemimpinan Demokratis

Tipe kepemimpinan demokratis menggambarkan pemimpin yang


melibatkan bawahan dalam membuat suatu keputusan, mendelegasikan
wewenang, dan menggunakan umpan balik untuk melatih bawahan.
Kepemimpinan Rasulullah. yang bersifat demokratis terlihat pada kecenderungan
beliau menyelenggarakan musyawarah, terutama jika menghadapi masalah yang
belum ada wahyu nya dari Allah SWT.

Kesediaan beliau sebagai pemimpin untuk mendengarkan pendapat, bukan


saja dinyatakan dalam sabdanya, tetapi terlihat dalam praktik kepemimpinannya.
Musyawarah dijadikan sebagai sarana tukar menukar pikiran dan di dalamnya
masing-masing orang dapat mengemukakan pendapatnya serta menyimak
pendapat orang lain.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pembahasan tentang kepemimpinan profetik sangatlah menarik karena
sifatnya yang praktis dan relevan untuk dunia leadership masa kini.

Barangkali kita sudah menunggu-nunggu datangnya pemimpin yang


membawa semangat juang para Nabi dalam kepemimpinannya, atau mungkin kita
yang mempelajari metode ini sedang mempersiapkan diri untuk menjadi para
pemimpin tersebut.

Misi kepemimpinan profetik juga erat kaitannya dengan semangat yang


dibawa dalam bab 2 NDP (Nilai Dasar Perjuangan) di HMI yang mendorong
kader-kader agar memiliki tujuan sebagai manusia yang khalifah fil ardh.

Pada dasarnya, Ilmu Sosial Profetik sendiri bisa dibilang ‘saudara


kandung’ NDP, karena begitu banyak kesamaan ruh yang ada dalam keduanya.

Aspek sosial dan empirisme yang didukung oleh nilai-nilai kerohanian,


adalah tak lain mengandung sebagian besar isi dari NDP juga.

Maka dari itu, sebagai kader HMI, sangat menarik untuk membawa kajian
tentang kepemimpinan profetik sebagai bahan obrolan sehari-hari, maupun dalam
diskusi-diskusi dan kajian.

3.2 Saran
1. Alangkah baiknya referensi tentang Ilmu Sosial Profetik menjadi salah
satu refensi bacaan utama bagi para kader HMI dalam rangka
mendalami pemikiran-pemikiran yang senada dengan NDP.
2. Penting bagi HMI untuk mencetak kader-kader yang juga
mengimplementasikan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW. Salah satu
wasilah dari hal tersebut adalah dengan mempelajari teori
kepemimpinan profetik yang sarat akan pembahasan tentang sifat Nabi
SAW yang mana menjadi buah daripada esensi ajaran Islam itu
sendiri.

17
3. Khalifah fil Ardh yang merupakan salah satu tujuan manusia
diturunkan perlu sekali untuk ditanamkan kembali ke benak para kader
untuk meningkatkan kebermanfaatan umumnya HMI dan khususnya
diri kader sendiri dalam agama dan masyarakat.
4. Baiknya teori kepemimpinan profetik menjadi rujukan bagi para
pemimpin masa kini, karena begitu banyaknya inspirasi dan paduan
yang bisa didapat dari pembelajaran terkait teori ini.

18
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Al-Qur’an dan terjemahannya. 2008. Departemen Agama RI. Bandung:
Diponegoro.
Ahhimsa-Purta, Heddy Shri, 2018. Paradigma Profetik Islam:
Epistimologi, Etos, dan Model, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Al-Hafidz, Ibnu Katsir Ad-dimasyqy, Abi Fada’, 2006. Tafsir Ibnu Katsir,
Juz IV, Bairut; Darul Kutub Ilmiyah
Al-Syathibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’at. Beirut-
Lebanon: Dar Al-Ma’arifat, t.t.
Husain Abdullah, Muhammad, 2011. Studi Dasar-dasar Pemikiran
Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Kuntowijoyo, 1998. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Jakarta:
Penerbit Mizan
Munawar, Budhy Rahman, 2011. Membaca Nurcholish Majid, Islam dan
Pluralisme, Jakarta: Democary Project.
Munzir Hatami, 2009. Revolusi Sejarah Manusia, Peran Rasul Sebagai
Agen Perubahan. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta
Robbins, Steven P, 2014. Manajemen, Jakarta: Erlangga.
Sutrisno, Edy, 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta:
Kencana.
Syarifudin Jurdi, 2010. Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern : Teori,
Fakta dan Aksi Sosial. Jakarta: Kencana.

19

Anda mungkin juga menyukai