Anda di halaman 1dari 23

1

PENGARUH MUSIK BARAT TERHADAP MUSIK MINAHASA DI


MASA KEHADIRAN BANGSA BELANDA
Oleh: Perry Rumengan.

Abstract

This article explains about the influence of western music to


Minahasa music, when the Dutch settled in Minahasa, and
some reasons, why, how, and in what conditions the influence
happened, also who involved in that process.

Musik Minahasa hingga kini telah mengalami banyak

perubahan, baik dalam struktur, maupun fungsinya. Banyak

penyebab yang menjadi alasan terjadinya perubahan ini. Selain

faktor internal, faktor-faktor yang bersifat eksternal juga telah

banyak memberikan andil bagi kondisi perubahan ini.

Perubahan dan perkembangan musik Minahasa, yang

disebabkan oleh faktor eksternal telah berlangsung sejak masa

silam. Salah satu pengaruh luar yang telah mengubah struktur

musik Minahasa adalah masuknya bangsa Eropa yang telah

membawamasuk juga budaya musik mereka (Suhado Parto,

1965a:6-7) (Viersen, 1903:8). Musik Eropa, yang dibawamasuk

dan diperkenalkan ke Minahasa dibawa oleh pedagang dan para

misionaris (Abineno, 1978:22-23-24). Dalam tulisan ini, akan

dibahas pengaruh musik Eropa terhadap musik Minahasa, secara

khusus yang dibawa oleh orang Belanda.

Walaupun istilah penjajah tidak sepenuhnya dapat dijuluki

bagi orang Belanda di Minahasa, akan tetapi unsur penguasaan


2

dan rasa diri sebagai yang superior ada dalam diri orang Belanda,

sehingga rasa untuk menguasai, memerintah, memaksakan

kehendak, ide, bahkan dari satu sisi menekan, dapat saja terjadi.

Akan tetapi, di samping kegiatan-kegiatan yang bersifat

penguasaan, orang Belanda juga telah melakukan kegiatannya

dalam bentuk transformasi budaya melalui kegiatan pendidikan

dan keagamaan (Suhardjo Parto, dalam Sa. Kedua ntos ed.,

1995b:72) bentuk kegiatan ini tentunya sangat menyentuh dan

mempengaruhi kehidupan masyarakat Minahasa, dan tentunya


sangat mempengaruhi keberadaan orang Minahasa.

Kedua kegiatan ini telah banyak membawa perubahan

dalam cara dan gaya hidup, bahkan pandangan hidup orang

Minahasa. Melalui kegiatan pendidikan, orang Minahasa dihantar

pada kondisi penyadaran untuk dapat hidup lebih baik dan

tertatur. Sebagai contoh, dalam hal hidup sehat dilalui dengan

proses pembelajaran secara logika, dan bukan hanya didasarkan

pada pemahaman yang keliru atau pengaruh mistik semata.

Contoh konkretnya seperti kebiasaan untuk hidup bersih.

Oleh karena semua yang diajarkan dapat dilihat dan

dirasakan manfaatnya, maka apa yang diajarkan tersebut diterima

dengan sadar dan bukan karena terpaksa. Sebagai akibat dari

kondisi ini, akhirnya kehadiran orang Belanda, di satu sisi justru

dibutuhkan oleh orang Minahasa. Di antara hal-hal yang

ditransfer tersebut, musik, dalam hal ini musik konvensinal Barat

adalah salah satu di antaranya.

1. Masa Kehadiran Bangsa Belanda (1608- awal tahun 1900-an)


3

Pembagian waktu antara tahun 1608 hingga tahun 1900-an

didasarkan pada perhitungan, bahwa pada tahun 1608 Belanda

telah masuk ke Minahasa dengan tujuan utama perdagangan

beras. Tentunya dalam proses dagang tersebut, sosialisasi dan

perkenalan kebudayaan dimulai. Pada dasarnya proses pergaulan

budaya dan sosialisasi antara orang Minahasa dengan Belanda

berlangsung hingga sekitar tahun 1900-an (Watuseke, 1968:33-

35).

Keberadaan Belanda di Minahasa berlangsung dalam dua


periode yaitu, antara tahun 1606 hingga tahun 1800. Pada tahun

1801 Inggris menduduki tanah Minahasa hingga tahun 1817.

Tahun 1817 Inggris menyerahkan Minahasa pada kekuasaan

Belanda dan Belanda terus menguasai Minahasa hingga tahun

1924 sampai pendudukan Jepang (Watuseke, 1968:33-35).

Namun, walaupun Inggris pernah menguasai Minahasa,

pengaruh Belanda tetap kuat, sebab ketika menguasai, Inggris

tetap menggunakan pejabat-pejabat Belanda dalam beberapa hal,

khususnya dalam masalah pemerintahan (Watuseke, 1968:33).

Bahkan, pengaruh Inggris khususnya menyangkut budaya,

hampir tidak memiliki bekas di Minahasa. Hal ini terjadi juga pada

masa pendudukan Jepang. Selain Goa-Goa dan benteng-benteng

kecil, di Minahasa tidak terlihat pengaruh kebudayaan Jepang

secara berarti.

Seperti halnya Portugis dan Spanyol demikian juga Belanda

di Minahasa, selain menjalankan misi kolonialismenya (Gold),

dalam misinya itu diikutkan juga karya penyebaran agama

(Gospel), dalam hal ini agama Kristen, namun terutama Kristen


4

Protestan. Pada masa Belanda, Kristenisasi dan pendidikan

merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, dan dalam

kegiatan keagamaan dan pendidikan, musik merupakan mata

pelajaran yang harus dipelajari dan digunakan.

Pengaruhnya bagi penduduk berkembang menurut

kehendak jaman, dan mencapai puncaknya pada perempat ketiga

abad ke-19. Kemajuan dunia pendidikan dan perluasan peradaban

Barat dengan pelbagai dimensinya menyusul Kristenisasi ini telah

membuat perubahan yang besar sampai pada seluruh aspek


kehidupan di Minahasa (Ferry Raymond Mawikere, dalam Roy E,

Mamengko ed. 2002:150-151).

L. Adam, seorang ahli hukum adat dan juga Kontrolir

pamong praja pada masa Belanda mengatakan, bahwa

agama Kristen telah memberikan pengaruh yang begitu


besar bagi kehidupan masyarakat Minahasa khususnya dari
rasa komunal (rasa kebersamaan) menjadi individual (lebih
mementingkan diri sendiri). Adam juga mengatakan, bahwa
proses Kristenisasi membawa dampak positif maupun
negatif. Adat istiadat cenderung mengikuti kebiasaan Barat
dan demikian adat istiadat mereka menjadi samar-samar.
Bahasa-bahasa daerah dipandang rendah. Akan tetapi,
orang-orang cepat sekali dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan moderen (L. Adam, 1976: 6-7).

Kedatangan bangsa Barat khususnya Belanda dalam

Zending (misi agama Protestan) terasa tepat waktu. Salah satunya

adalah karena pada waktu itu orang Minahasa berada pada masa

transisi yang cukup berarti. Pelbagai pengenalan dan

pembaharuan barang-barang keperluan yang menyentuh langsung

hidup orang Minahasa, baik dari sisi manfaat dan segi


5

kepraktisannya, lama kelamaan diadopsi dengan tanpa

pertentangan yang berarti.

Peradaban Barat, baik melalui Kristenisasi maupun

pendidikan, yang betapapun belum cukup luas berlaku, secara

bertahap telah mempengaruhi perilaku orang Minahasa waktu itu.

Setelah melewati periode Kolonial pertama dan masa pendudukan

Inggris yang singkat (1801-1817), sesuatu lompatan perubahan

perilaku terhadap Kristenisasi segera terjadi khususnya tahun

1819, yaitu ketika penyebaran wabah cacar di Minahasa yang


telah merenggut nyawa 12.600 (seperenam dari populasi)

(Mawikere, 2002: 159-160). Melalui kejadian ini orang Minahasa

semakin sadar, bahwa tidak semua hal selalu disebabkan oleh hal

mistis. Demikian juga, tidak semua hal harus diselesaikan secara

mistis. Mereka diperkenalkan dengan vaksin dan akibat kehadiran

vaksin itu mata orang Minahasa mulai terbuka (Mawikere, 2002:

159-160).

Mereka harus menggunakan juga akal mereka dan tidak

mutlak harus selalu mengikuti foso (ritual tradisi) yang ada.

Mereka harus sadar akan kebersihan, menggunakan akal, dan

menata pola hidup yang lebih baik. Dengan demikian, pola hidup

seperti yang ditawarkan oleh orang Barat tersebut terasa lebih

rasional dan beralasan. Cara ini lebih menambah simpati

masyarakat untuk mengikuti, apa yang dianjurkan bangsa luar

tersebut. Di lain sisi, kesempatan dan kondisi ini dipergunakan

oleh Belanda, yakni dengan semakin gencar mendepak budaya dan

tradisi orang pribumi. Hal ini terjadi juga seperti pada masa

Portugis-Spanyol (Mawikere, 2002: 159-160).


6

Selain kejadian ini (kehadiran vaksin), terdapat juga

beberapa hal yang agak menunjang proses masuknya budaya

Barat, dan proses orang Minahasa menerima budaya Barat

tersebut. Hal-hal tersebut antara lain mengenai metode yang

digunakan para pekabar Injil yakni, dalam kerjanya mereka

mempertimbangkan soal adat istiadat, bahasa, daya tangkap serta

sifat-sifat dari agama rakyat (Mawikere, 2002: 159-156). (walaupun

waktu itu, belum tampak apakah potensi masyarakat itu

digunakan dan dilakukan dalam bentuk inkulturasi atau hanya


sekadar strategi untuk menguasai saja).

Misi pekabar Injil Belanda dalam karyanya terlebih dahulu

melihat sasaran sosial dari pada dogma. Hal lain yang menunjang

adalah, bahwa pekabaran Injil itu langsung pada masyarakat

secara pribadi dengan mengunjungi orang Minahasa dari rumah

ke rumah seperti dilakukan oleh pendeta J.A.T. Schwarz dan P.N.

Wilken (Mawikere, 2002: 159-156). Walaupun demikian, tentunya

cara-cara yang dilakukan itu tidak selalu bersifat dan berdampak

positif. Cara ini akan menimbulkan dampak lain bagi orang

Minahasa beserta adatnya, sebab motivasi dan tujuan lain yang

tersembunyi tentunya juga ada.

Itulah sebabnya semua yang dibuat ini tidak berarti, bahwa

para pekabar injil tidak mengalami hambatan, walaupun para

pekabar Injil sendiri sudah merasa sangat dipercaya dan telah

kuat pengaruhnya. Keyakinan ini akan memberi semangat kepada

mereka dalam melakukan misi, termasuk menghilangkan kegiatan

tradisi.
7

Hampir segala sesuatu yang berbau tradisi akan dihilangkan

dengan alasan, adanya pemahaman bahwa hal tersebut akan

menjadikan orang Minahasa lebih beradab, dan dari sisi agama

dapat membawa masyarakat pribumi menuju ke keselamatan di

akhirat. Pendeta yang sangat berhasil dalam program ini adalah

pendeta Tandeloo dan Linemann. Mereka sangat berjasa

mematikan foso (Mawikere, 2002:159-156).

Dari satu sisi, pemusnahan tradisi tentunya tidak dapat

dianggap satu patok sejarah untuk menunjukkan keberhasilan

para pekabar Injil Belanda. Bagi mereka yang telah memeluk

agama Kristen hal ini mungkin tidak masalah, akan tetapi hal ini

merupakan satu preseden yang buruk bagi orang Minahasa yang

lain, karena seakan-akan keberadaan misi itu mau mencabut

orang Minahasa dari akar tradisinya. Secara tidak sadar mereka

telah membuat orang Minahasa mengambang dan tidak memiliki

jati diri, dan tidak memiliki tumpuan. Dalam kesempatan itu

(tidak memiliki pegangan) mereka memegang orang Minahasa dan

langsung atau tidak langsung memaksa orang Minahasa untuk

ikut pada cara Belanda.

Orang Belanda menciptakan suasana yang sedemikian rupa

sehingga orang Minahasa sadar atau tidak sadar harus

memahami, bahwa tradisi mereka adalah tradisi alifuru (alfoer),

kafir atau tidak beradab, serta akan menjauhkan mereka dari

keselamatan abadi.

Untuk diketahui, bahwa dalam kondisi ini pihak Belanda

tidak serta merta menguasai seluruh masyarakat tradisional dan

wilayah Minahasa. Salah satu sebab adalah karena orang


8

Minahasa tidak mengenal raja, dan di Minahasa tidak memiliki

kerajaan. Apabila di daerah-daerah tetangga lain seperti Ternate,

Bolaang Mongondow atau Sangihe Talaud agak lebih mudah

penjajah dapat menguasai wilayah dan masyarakat, maka di

Minahasa agak sulit.

Pihak luar dapat menguasai daerah-daerah yang memiliki

kerajaan, karena ketaatan masyarakat terpusat pada pusat

kerajaan dan rajanya. Dengan merebut dan menaklukkan

kerajaan, wilayah maupun masyarakatnya dapat sekaligus


ditaklukkan. Pada masyarakat yang tidak memiliki kerajaan atau

raja seperti Minahasa, wilayah maupun masyarakatnya agak sulit

untuk dikuasai secara sekaligus.

Di Minahasa terdapat wilayah-wilayah yang disebut walak.

Masing-masing walak memiliki pemimpinnya sendiri. Walaupun

semua walak berhubungan, namun setiap walak bersifat otonom.

Jadi, walaupun salah satu walak telah dikuasai pihak penjajah,

namun hal ini tidak serta merta berarti, bahwa walak lain dapat

dikuasai juga. Dalam hal tertentu setiap walak mandiri, namun

apabila terdapat tekanan dari luar, maka semua walak dapat serta

merta bersatu dan melawan.

Demikian juga terjadi dengan pengaruh musik Barat di

Minahasa. Pada daerah tertentu perubahan cepat terjadi, namun

pada daerah tertentu perubahan terjadi dengan lambat atau tetap

berlangsung seperti apa adanya. Hal ini juga menjadi alasan,

mengapa dalam satu waktu dan kondisi, perubahan musik vokal

etnik Minahasa dapat mengalami dua atau lebih proses perubahan

sekaligus. Sebagai contoh, pada satu wilayah perubahan terjadi


9

secara evolusi, sedangkan di wilayah lain perubahan terjadi

melalui proses difusi.

2. Pengenalan dan Pendidikan Musik di Masa Belanda

Pada masa kolonial Belanda, pengenalan seni melalui

pendidikan formal telah tampak agak jelas. Sejak awal tahun

1800-an Belanda telah mendirikan sekolah-sekolah. Selain

sekolah-sekolah umum, terdapat juga pendidikan dan pelatihan

khusus untuk persiapan menjadi guru agama. Seperti lazim

dipahami, bahwa pelajaran agama tidak terlepas dengan menyanyi,

sebab nyanyian menjadi bagian yang mutlak dalam peribadatan

Kristiani. Seperti dikatakan Mamengko, bahwa J.G. Schwarz telah

mementingkan pembahasan Alkitab, katekisasi dan kidung-kidung

yang diajarkan pada penduduk di malam hari (Bertha Pantow,

dalam Mamengko ed., 2002:105). Nyanyian memiliki fungsi

khusus, seperti dikatakan Suhardjo Parto berikut ini.

In accordance with the aim of the Nederlandsch


Zendelinggenootschap (NZG), songs in eastern Indonesia were
believed to have some pedagogical function, i. e., to develop
religious, ethical, and aesthetic feelings and sentiments
according to western norms. This is reason why songs used in
enssemblies there, whether church or non-church, were
western songs. They were considered of higher importance
than native songs (Suhadjo Parto, dalam Santos gen. ed.,
1995:72).

Sekitar tahun 1852 N. Graafland mendirikan sekolah guru

dalam tingkat sekolah lanjutan pertama. Sekolah ini bersifat

swasta. Sekolah ini berada di Sonder. Tiga tahun kemudian

sekolah ini dipindahkan ke Tanahwangko. Pada tahun 1883


10

sekolah itu dipindahkan ke Tomohon tepatnya di desa Kuranga

dan diberi nama Sekolah Guru Kuranga. Pada tahun 1950 sekolah

ini diberi nama Sekolah Guru Bantu (SGB) Kristen, dan pada

tahun 1963 diganti dengan nama Sekolah Menengah Atas (SMA)

Kristen (Watuseke, 168:42).

Di sekolah tersebut diberikan juga pelajaran-pelajaran

musik walaupun belum begitu formal, mengingat pelajaran agama

mendapat prioritas utama. Melalui sekolah tersebut hadir

seniman-seniman berbakat dari kalangan penginjil Protestan,


seorang di antaranya adalah Kikala Tilaar. Kikala menjadi sangat

populer dengan lagunya KERAJAAN ALLAH DATANGLAH dan IBU-

IBU TUHAN. Lagu ini telah disusun lengkap dengan aransemen

yang bagus untuk 4 suara campuran (cara musik konvensional

Barat).

Dalam buku biografi yang disusun anak-anaknya yang

sebagian besar berisi kumpulan khotbah-khotbahnya sekaligus

merupakan memoar untuk Kikala, dapat dilihat dengan jelas,

bahwa sekolah di atas telah mengajarkan pelajaran musik yang

sangat baik bagi para siswanya. Berikut cerita anak H. A. R. Tilaar

dalam buku tersebut.

Kikala Tilaar memang seorang seniman berbakat musik.


Pada zaman mudanya ia menjadi anggota Musik Bambu di
desanya, sekaligus menjadi dirigennya. Sejak duduk di
bangku Christelijke Normaalschool Kuranga pada tahun
1926, bakat musik itu mendapat kesempatan untuk
dikembangkan. Di bawah asuhan guru musik di sekolah
guru itu, ia mulai mencipta nyanyian sesuai dengan keadaan
masyarakat, latar belakang pendidikan serta keyakinannya.
Ciptaan-ciptaannya bertemakan musik kerohanian, begitu
11

pula liriknya. Namun demikian, seperti yang kemudian


diungkapkannya, patriotisme sudah mulai merasuk dada
pemuda Kikala pada penghujung tahun tiga puluhan. Tema-
tema kebangkitan nasional ikut menjiwai lirik nyanyiannya
seperti yang terlihat dalam karyanya pada tahun 1927 [yaitu
lagu] MINAHASA, TANAHKU, BANGSAKU (Kikala Tilaar,
1980:1).

Pada tahun 1928 pastor H. Croonen mendirikan Seminari

Menengah di Woloan (M. Stigter, dalam J van Paasen ed., 1974:71).

Dari beberapa orang yang tamat dari sekolah tersebut dan terlebih

khusus para pastor pertama orang Minahasa telah menunjukkan

pada karya mereka, bahwa mereka telah mendapat pelajaran

kesenian, dalam hal ini musik [musik Barat].

Sebagai contoh pastor Tinangon, pastor Tinggogoy, pastor

Pinontoan, pastor Mangundap, pastor Rarun, dll. Yang cukup

menonjol adalah pastor Tinggogoy dan pastor Marcel Rarun. Kedua

pastor ini kelihatannya sangat berbakat. Mereka telah

menunjukkan kreativitas dan produktivitas dalam hal mengarang

lagu-lagu baru.

Yang menarik dari pastor-pastor komponis ini, walaupun

mereka telah mendapat pelajaran musik Barat, namun dalam

lagu-lagu mereka tampak juga unsur-unsur musik etnik

Minahasa. Berbeda dengan para komposer Protestan yang

mengarang dengan melodi-melodi yang sangat Barat. Baik dalam

syair, melodi, serta elemen-elemen musikal lain dari karya mereka,

masih cukup terasa atmosfir musik vokal etnik Minahasa. Musik

Mahzani (nyanyian etnik di daerah Tombulu), musik Nanani

(nyanyian etnik di daerah Tontemboan), dan Masambo (nyanyian-


12

nyanyian etnik di daerah Tonsea dan Tolour) cukup kentara dalam

karya kedua pastor ini. Rasa musikal etnik tidak bisa terlepas

begitu saja dari komponis-komponis sekolah Woloan ini (bdk. Jaap

Kunst, 1994:183). Sebagai contoh, ada karya dari pastor M. Rarun

yang tidak memiliki nada 1 (do) seperti dalam lagu ALANGKAH

BAHAGIANYA. Lagu ini mirip dengan lagu yang sangat sakral dan

sangat populer di Minahasa yang dikarang oleh bapak Yohanis

Ngangi sekitar tahun 1939 yaitu, OPO WANA NATAS, yang juga

tidak memiliki nada 1 (do). Selain tidak memiliki nada 1 (do), lagu-
lagu mereka juga sering dimulai dan diakhiri dengan nada 3 (mi).

Hal ini merupakan kekhasan dari musik vokal etnik Minahasa.

Hal ini sangat berhubungan erat dengan filosofi, khususnya

mengenai falsafah angka.

Lagu-lagu dari pastor-pastor tersebut banyak berputar pada

nada-nada yang merupakan nada-nada utama dalam musik vokal

etnik Minahasa seperti, nada 3 (mi), 5 (sol), 6 (la), 7 (si). Pada masa

berikutnya nada i (do) dan 2 (re tinggi) juga masuk dalam nada

utama. Salah satu contoh, karya pastor seperti dimaksud dapat

dilihat dalam lagu SYUKUR ATAS PANEN BERLIMPAH, karya

pastor Tinggogoy. Nada-nada utama ini sering digunakan dengan

berbagai cara. Umumnya, melodi-melodi yang dibuat merupakan

pengembangan dan peniruan dari gerakan-gerakan nada khas

musik vokal etnik Minahasa. Data ini menunjukkan dengan jelas,

bahwa di sekolah ini telah terjadi akulturasi dan asimilasi antara

musik etnik dan musik Barat.

Di Seminari (Katolik) pelajaran musik menjadi sesuatu yang

mutlak dipelajari. Baik siswa yang berbakat musik, maupun yang


13

tidak harus mempelajari musik. Praktik musik yang diberikan

antara lain, paduan suara, dan untuk yang memilih praktik

instrumen dapat mempelajari piano klasik, orgel, biola, suling

(recorder) maupun alat tiup dan perkusi dalam Drum Band. Di

Seminari ini juga diberikan pelajaran, baik teori maupun praktik

lagu-lagu Gregorian yang dinyanyikan dalam bahasa Latin.

Banyak lagu Barat yang diindonesiakan oleh pastor-pastor

Belanda seperti yang dibuat pastor Sars. Lagu-lagu Abad

Pertengahan dan Renaissance sangat lazim diajarkan di Seminari

apalagi yang berhubungan dengan lagu-lagu Misa. Banyak mantan

seminaris dari Seminari Kakaskasen menjadi pelatih Koor di luar

Seminari. Lagu-lagu yang sangat digemari oleh umat Katolik di

Keuskupan Manado adalah lagu dengan syair bahasa Latin.

Selain pastor Sars, juga terkenal beberapa pastor Belanda

yang ahli dalam bidang Musik seperti, pastor van der Wouw,

Gerrad Janssen, serta pastor Mon Ruiter. Pastor Mon Ruiter selain

musikus juga seorang pelukis yang ulung. Pastor van der Wouw

telah membuat terjemahan lagu-lagu yang berbahasa Latin dan

Belanda ke dalam bahasa Minahasa dan Indonesia, seperti contoh

lagu-lagu untuk Bunda Maria. Pastor van der Wouw adalah

pemain orgel yang sangat bagus dan juga arranger yang hebat,

walaupun kadang-kadang agak konservatif. Seperti contoh, ia

tidak mau menggunakan akor 7 (dominan septim) dalam

aransemen atau iringan yang dibuatnya.

Pastor Janssen juga adalah seorang musikolog dan pedagog

musik yang luar biasa. Selain itu ia juga seorang klasikus dan

Doktor dalam bahasa Latin. Ia juga memiliki keterampilan bermain


14

orgel dan piano yang hebat. Ia juga seorang ahli mengaransemen.

Bahkan, banyak dari kelompok-kelompok paduan suara yang ada

di daerah, termasuk pemerintah propinsi Sulawesi Utara meminta

bantuan beliau untuk membuat aransemen dari berbagai lagu

termasuk lagu daerah Minahasa. Pada masa pastor Janssen dan

Mon Ruiter ini yakni, sekitar akhir tahun 1970-an, Seminari

Kakaskasen sempat memiliki Koor anak pria yang bagus.

Di Seminari pengenalan musik Barat bukan hanya dalam

bentuk pelajaran di kelas oleh guru-guru seperti disebutkan di


atas, tetapi juga sering dalam bentuk pertemuan, pemutaran film

dan konser yang dilakukan oleh para artis klasik handal dari

Eropa, khususnya dari Belanda. Para musikus itu, baik sebagai

instrumentalis tunggal juga sebagai pemain dalam ansambel.

Kedatangan musikus ini, atas inisiatif dan undangan pastor

Janssen. Pastor Janssen memiliki hubungan yang sangat baik

dengan para pemusik terkenal di Belanda. Hal ini dibuat, karena

di Seminari sendiri banyak murid yang belajar instrumen seperti

piano, organ, blokflute, biola, gitar, drum band, serta menyanyi

dalam paduan suara.

Dengan adanya pertunjukan dari para musikus luar,

semakin bersemangatlah para siswa Seminari mempelajari musik

Barat. Keberadaan para musikus Barat di Seminari banyak

memberikan pengaruh bagi perkembangan dan penyebaran musik

Barat di Minahasa, bahkan Sulawesi Utara, karena banyak eks

Seminaris yang telah menerima pelajaran musik Barat di

Seminari, menjadi pelatih musik di luar Seminari.


15

Dengan sering hadirnya para seniman Barat dan juga

pelajaran musik Barat di Seminari, sistem-sistem musik Barat

semakin mempengaruhi olahan-olahan musik yang ada,

khususnya dalam aransemen-aransemen paduan suara. Sebagai

contoh, penggunaan sistem harmoni, semuanya sudah

menggunakan sistem akur triad (diatonic). Ritme-ritme dan melodi

yang dibuat sudah banyak mengarah ke gaya dan pola musik

Barat. Tangga nada-tangga nada etnik jarang, dan bahkan tidak

terdengar lagi kecuali tangga nada 3 (mi), 4 (fa), 5 (sol), 6 (la), 7 (si),

i (do tinggi), 2 (re tinggi) dan 3 (mi tinggi), yang dalam

harmonisasinya pun sudah digarap dengan sistem harmoni musik

konvensional Barat. Hal ini dapat dilihat dan didengar dalam seni

Maengket (seni yang merupakan gabungan antara menyanyi,

menari dan sastera) Demikian juga halnya terjadi dengan teknik

vokal dalam menyanyi. Cara menyanyi dengan teknik glotich

semakin tidak digunakan, bahkan dianggap teknik yang kurang

baik.

Selain di Seminari, dr. Oman juga telah berjasa

memperkenalkan musik Barat ke orang Minahasa, melalui

kegiatan menari, dalam hal ini Reydans (Tarian tradisional

Belanda sekitar tahun 1800-an), atau sering disebut oleh orang

Manado Tari Jajar. Tarian ini diajarkan kepada para siswa di

asrama Walterus Tomohon sekitar tahun 1930-an. Ketika menari,

para penari harus menyanyi, dan nyanyian-nyanyiannya adalah

lagu-lagu Belanda. Hanya, dalam praktiknya para siswa

menyanyikannya dengan gaya musik etnik Mianahasa. Nyanyian-

nyanyian seperti dalam tarian ini digunakan juga dalam tarian


16

ibu-ibu yang tergabung dalam ikatan WKRI yakni, Wanita Katolik

Republik Indonesia, hanya syairnya sering diubah sesuai

kebutuhan ibu-ibu tersebut. Tarian ibu-ibu tersebut namanya Tari

Selendang Biru, karena dalam menari para penari mengenakan

kostum kebaya putih dengan rok berwarna biru dengan selendang

biru dipundaknya. Warna biru melambangkan Bunda Maria.

Dalam kedua tarian ini biasanya dipimpin oleh seorang pemimpin

yang disebut Kapel, dan dalam komandonya, pemimpin tersebut

menggunakan suling semafor (suling Pramuka) (Perry Rumengan,


2009:119).

Sebenarnya sejak sekitar awal tahun 1900-an sifat kolonial

dalam misi agama yang dibawa orang Belanda telah semakin

berkurang. Bahkan untuk penginjil-penginjil tertentu, baik dalam

kalangan Protestan maupun Katolik sifat itu sudah hilang sama

sekali. Sebagai bukti sekolah-sekolah didirikan di mana-mana dan

semakin banyak orang pribumi disekolahkan tanpa memilih dari

kalangan mana orang tersebut berasal. Demikian juga rumah-

rumah sakit mulai didirikan.

Para penginjil merasa, bahwa orang Minahasa adalah

sesama, bahkan sebagai saudara mereka sendiri, dan bukannya

budak atau orang yang memiliki harkat dan martabat lebih

rendah. Mereka harus dibantu melalui peningkatan martabat dan

kualitas hidupnya. Apalagi di kalangan Gereja Katolik, dengan

adanya hasil Konsili Vatikan ke II (1962), yang menelorkan

dokumen penting, di mana di dalamnya dideklarasikan, bahwa

kebudayaan adalah rahmat Allah. Oleh karena itu, gereja sangat

dan harus menghargai setiap kebudayaan yang ada. Tentunya,


17

gereja juga menghargai keberadaan setiap manusia, karena

manusia adalah ciptaan Tuhan. Demikian orang pribumi adalah

sesama dan bukan sebagai budak atau musuh.

Sekitar tahun-tahun ini (1960-an) dalam ibadat Gereja

Katolik sudah terdengar lagu-lagu dengan gaya musik etnik atau

musik rakyat Minahasa. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan

Parto berikut ini.

Aside from introducing staff notation in Catholic teachers


schools and seminaries, the Catholic church, since about the
1960s, has accepted different styles of local folk tunes of the
archipelago as musical accompaniment during the Mass and
other church services (Suhadjo Parto, dalam Santos gen. ed.,
1995:72).

Namun, satu prinsip yang masih tetap dipegang oleh kalangan

penginjil adalah, bahwa kegiatan foso adalah kegiatan kafir dan

belum beradab, serta melanggar iman. Kegiatan foso harus

disingkirkan, kendati dalam kegiatan foso tersebut banyak sekali

nilai tradisional termasuk elemen musik etnik, yang dapat

ditemukan.

Kondisi bermusik di gereja sesudah Konsili Vatikan ke II

sudah mulai berubah, dalam arti melodi-melodi musik vokal etnik

mulai diterima lagi. Namun, garapan nyanyiannya masih banyak

menggunakan cara Barat. Di masa-masa inilah terjadi asimilasi

musik di Minahasa, di mana dalam sistem penggarapan musik

digunakan sistem musik konvensional Barat, akan tetapi dalam


18

pengekspresiannya para penyanyi masih menggunakan gaya

musik etnik Minahasa.

Pada akhir-akhir ini, banyak penyajian dalam peribadatan

gereja Katolik sudah lebih condong dibawakan secara etnik.

Paradigma penginjilan pun berubah. Kini gereja mewartakan

penginjilannya melalui atau dengan menggunakan cara dan

budaya setempat. Gereja merasa, bahwa cara ini sangat efektif,

sebab umat setempat tidak lagi merasa Tuhan adalah sesuatu

yang asing, tetapi sungguh-sungguh hadir dan memahami


kehidupan mereka. Cara ini lebih dikenal dengan Teologi

Kontekstual, dan mengenai musiknya, dalam gereja Katolik lebih

dikenal dengan program Inkulturasi dan kontekstualisasi musik

dalam liturgi.

Adapun, elemen-elemen musik Barat yang telah

diperkenalkan Belanda ke Minahasa antara lain, melodi, harmoni,

instrumen, genre, teknik menyanyi, dan tekstur. Dalam hal gaya,

walaupun musik yang ditata sudah menggunakan sistem

Konvensional Barat, akan tetapi para penyanyi tradisi masih

membawakannya dengan gaya mereka sendiri.

Proses perubahan terjadi begitu cepat, karena ditunjang

oleh kondisi, kesempatan atau peluang, kekuasaan dan

kebutuhan, serta rasa ingin tahu dan ingin berkembang yang

begitu kuat. Secara konkret, berikut akan ditunjukan beberapa

alasan mengapa pengaruh musik Barat dapat berlangsung di

Minahasa di masa pendudukan Belanda dengan cukup mudah.

(1) Orang Minahasa tradisional memiliki: daya adaptatif dan

kemampuan meniru yang sangat tinggi. Sebagai contoh,


19

nyanyian yang merupakan tiruan suara burung (Perry

Rumengan, 2009:110, 170-172). Contoh lain dalam tarian

tradisi, mereka menggunakan kostum batik dari Jawa,

memakai baju berenda dari Barat, atau jas dengan topi

seperti penari Eropa. Mereka juga menggunakan musik

Barat untuk iringan tarian mereka. Bahkan tidak sedikit

dari mereka sudah berperilaku seperti orang Belanda; rasa

ingin tahu tentang sesuatu yang baru dan menarik dan

ingin mengikutinya, sekalipun harus meninggalkan tradisi


yang dimilikinya; ingin berkembang dan maju, sebagai

contoh mereka mau mempelajari bahasa di luar bahasa

mereka, seperti bahasa Melayu dan juga bahasa Belanda

(Hetty Palm, 1961:7); mau menerima bantuan dari pihak

manapun asalkan dapat mengangkat dan memajukan

martabat mereka, seperti contoh ketika menghadapi

Portugis, mereka meminta bantuan Belanda; terbuka

menghadapi hal-hal yang datang dari luar, seperti contoh

mereka memiliki pedoman yakni, kita semua bersaudara.

Saat pertemuan pertama dengan orang luar, mereka merasa

orang luar tersebut sebagai saudara dan bukan sebagai

orang asing. Sifat ini masih ada hingga kini; memiliki tradisi

menyanyi dan suka akan nyanyian, di mana kondisi ini

menjadi modal yang sangat kuat untuk mau belajar

nyanyian dan juga cara menyanyi, yang berasal dari

manapun (Perry Rumengan, 2010:220-239).

(2) Kedatangan bangsa Belanda, tepat waktu. Sebagai contoh,

ketika terjadi wabah penyakit di sebagian besar daerah di


20

Minahasa, orang Belanda membuktikan kebenaran

pemikiran mereka, bahwa tidak semua penyakit harus

disembuhkan melalui pratik mistik (Mawikere dalam

Mamengko ed., 2002:150-151). Mereka membantu dengan

cara yang lebih logis dan berhasil, yakni dengan

memberikan vaksin. Dari sinilah masyarakat Minahasa

mulai menaruh kepercayaan kepada orang Belanda.

(3) Kehadiran bangsa Belanda dibutuhkan oleh masyarakat

Minahasa. Sebagai contoh, ketika masyarakat Minahasa


berada dalam keadaan yang lemah menghadapi Portugis

dan Spanyol, mereka memanggil Belanda yang ada di

Ternate untuk membantu. Pada kesempatan itu Belanda

mulai menanamkan pengaruhnya. Bukan tidak mungkin

Belanda tidak mengharapkan sesuatu atas jasanya ini,

minimal sebagai balas budi dari masyarakat pribumi

(Tangkilisan dalam Mamengko ed., 2002:177-178).

(4) Kehadiran bangsa Belanda (khususnya misi agama) juga

dibutuhkan untuk memenuhi kehausan masyarakat akan

siraman rohani.

(5) Kebutuhan juga muncul ketika masyarakat menginginkan

satu kemajuan. Sebagai contoh, masyarakat Minahasa

tradisional dengan penuh semangat mau mempelajari

bahasa Melayu maupun bahasa Belanda. Mereka berpikir,

bahwa mengetahui bahasa dapat menambah pengetahuan,

membuka cakrawala baru dalam berpikir, serta dapat

meningkatkan peradaban dan kesejahteraan (Watuseke,

1980:158).
21

(6) Situasi yang kondusif juga cukup mempengaruhi terjadinya

perkembangan dan perubahan. Sebagai contoh, terdapat

saat-saat yang menyenangkan, di mana masyarakat

Minahasa dan bangsa luar bergaul, menari dan bernyanyi

bersama, serta bercengkerama dengan penuh

persahabatan, dan menjadi seperti keluarga. Bahkan,

sebagian telah kawin mengawin satu sama lain. Sebagai

bukti, saat ini di Minahasa dapat ditemukan sejumlah

keluarga, yang bernama famili seperti, Ham, Janssen, van


Hemmert, dll. Pada saat itulah masyarakat Minahasa

tradisional menerima dan mempelajari elemen-elemen

musik vokal luar yang dirasa enak dan menyentuh hati.

Mereka mempelajarinya dengan penuh rasa gembira dan

menerimanya dengan senang hati dan tanpa paksaan.

Dalam kondisi inilah terjadi pembauran dan asimilasi

unsur-unsur teknis antara musik vokal etnik Minahasa dan

musik vokal Barat (Remy Sylado, 2003:2-26, 109).


22

Daftar Pustaka

Adam, L. Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa. Jakarta: Bhatara,


1976

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara.


Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1980

Kunst, Jaap. Indonesian Music and Dance, Traditional Music and Its Interaction
with The West. Amsterdam: Royal Tropical Institute/Tropenmuseum
University of Amsterdam/Ethnomusicology Centre Jaap Kunst, 1994

Mamengko, Roy E., ed. Etnik Minahasa, dalam Akselerasi Perubahan, Telaah
Historis Teologis Antropologis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002

Mawikere, Ferry. Minahasa dan Kolonianisme, dalam Mamengko, ed., Etnik


Minahasa, dalam Akselerasi Perubahan, Telaah Historis Teologis
Antropologis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.

Paasen, J van, msc., ed., Sejarah Gereja Katolik Indonesia. Jakarta: Bagian
Dokumentasi Penerangan Kantor Waligereja Indonesia, 1974.

______________. Sejarah Gereja Katolik di Indonesia, Wilayah Keuskupan Manado


1563-1610. Jakarta: Dokumentasi-Penerangan Kantor Wali Gereja
Indonesia, 1990

Palm, Hetty. Ancient Art of the Minahasa. T. p., 1961.

Pantouw, Bertha. Minahasa Sebelum Tahun 1829 dan Beberapa Perubahan


dalamnya, Kurun Waktu 1824-1846 dalam Roy E. Mamengko, ed., Etnik
Minahasa, dalam Akselerasi Perubahan, Telaah Historis Teologis
Antropologis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002

Parto, Suhardjo. Indonesia dalam Ramon P. Santos, gen. ed., The Music of
Asean. Philippines: ASEAN Committee on Culture and Information, 1995.

Rumengan, Perry. Musik Vokal Etnik Minahasa: Teori, Gramatika, Estetika.


Jakarta: Panitia Pelaksana Kongres Kebudayaan Minahasa, 2009.

____________. Hubungan Fungsional: Struktur Musikal-Aspek Ekstramusikal


Musik Vokal Etnik Minahasa. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Institut
Seni Indonesia Yogyakarta, 2010.

Santos, Ramon P., gen. ed. The Music of Asean. Philippines: ASEAN Committee
on Culture and Information, 1995
23

Stigter, M. MSC., Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Manado. dalam


J. van Paasen, ed., Sejarah Gereja Katolik Indonesia. Jakarta: Bagian
Dokumentasi Penerangan Kantor Waligereja Indonesia, 1974.

Tangkilisan, Yuda B. Petisi 31 Maret 1877 dalam Mamengko, ed., Roy E.


Mamengko, ed. Etnik Minahasa, dalam Akselerasi Perubahan, Telaah
Historis Teologis Antropologis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.
Tilaar, Kikala. Kerajaan Allah Datanglah. Jakarta: t. p., 1980

Watuseke, F. S. Sejarah Minahasa. Manado: t. p., 1968

___________. Adat Istiadat Daerah Minahasa dalam Departemen Pendidikan


dan Kebudayaan, Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1980.

Penulis:
Dr. Perry Rumengan, M.Sn.
Musikolog/Etnomusikolog
Dosen Musik Universitas Negeri Manado, di Tondano,
Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Alamat Rumah:
Perumahan Puri Alfa Mas Blok G no. 3
Desa Winangun Atas, Kecamatan Pineleng
Minahasa, Sulawesi Utara.

Alamat surat.
Sekolah Musik Septim Music Centre
Jl. Wolter Mongisidi no. 9 Bahu
Manado Sulawesi Utara.

Telp. Rumah : 0431 824685


Hand Phone : 081340134469
085823212525

Anda mungkin juga menyukai