Anda di halaman 1dari 10

Pemberontakan

Silungkang
Tahun 1927

Oleh: ARDIANSYAH

Jurusan Ilmu Sejarah


Universitas Andalas

A. Pendahuluan

Pada dasawarsa kedua abad ke-XX di Indonesia tarjadi perubahan peta kekuatan
organisasi pergerakan nasional yang pada gilirannya membawa dampak yang cukup berarti
dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Organisasi pelopor pergerakan nasional Budi Utomo
mengalami stagnasi sebagai akibat sikap "priyayi oriented". Sementara itu SI mengalami
disintegrasi karena semakin tajamnya serangan pihak kiri. Kondisi seperti itu memberi peluang
kepada PKI untuk mengembangkan pengaruhnya di seluruh pelosok Indonesia, sehingga
organisasi ini dapat berkembang menjadi partai politik dengan jumlah massa yang sangat basar.

Akan tetapi setelah berhasil menempatkan diri sebagai partai besar, PKI lupa diri. Pada
tahun 1926-1927 PKI melakukan petualangan, melancarkan pemberontakan terhadap pemerintah
kolonial Belanda. Suatu hal yang cukup menarik dari aksi pemberontakan PKI ini adalah
dijadikannya daerah Silingkang, Sumatera Barat sebagai salah satu pusat gerakan
pemberontakan. Padahal daerah Silungkang dan Sumatera Barat pada umumnya dikenal sebagai
daerah dimana agama Islam berkembang dengan baik. Lebih dari itu penduduk Silungkang
waktu itu kehidupan ekonominya tidaklah sangat memprihatinkan, sebab waktu itu Silungkang
merupakan daerah industri pertenunan, pusat perdagangan dan perkebunan. Karena itu kiranya
menarik untuk dipelajari mengapa daerah Silungkang sempat menjadi basis pengembangan PKI
dan mengapa pemberontakan 1927 di Silungkang sempat meletus.

B. Keadaan Sosial dan Ekonomi Sumatera Barat Pada Awal Abad XX

Untuk dapat memahami latar belakang terjadinya pemberontakan Silungkang 1927, maka
mau tidak mau harus dilihat keadaan masyarakat Sumatera Barat menjelang pemberontakan
meletus. Dalam tulisan ini tinjauan atas masyarakat Sumatera Barat hanya difokuskan pada
aspek sosial dan ekonomi, sebab kedua aspek ini mengalami perubahan yang paling drastis dan
menimbulkan dampak pada aspek-aspek kehidupan lainnya.

1. Gerakan Pembaharuan Islam dan Reaksi Yang Menentangnya

Dipelopori oleh Syaikh Ahmad Taher Jalaludin, Jamil Jambek, Haji Rasul dan Haji
Abdullah Ahmad gerakan pembaharuan Islam dipancarkan kesegala penjuru Sumatera Barat.
Gerakan ini berusaha membebaskan Islam dari pengaruh negatif sinkritisme dan tarekat,
menselaraskan Islam dengan tuntutan dunia modern, sehingga memiliki vitalitas baru. Bertolak
dari cita kosmopolitanisme Islam dan rasionalisme yang terkait pada sinar Islam, mereka
berusaha menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang
ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern (Harun Nasution, 1975 : 10 ).

Golongan Pembaharu juga berusaha untuk mengembalikan ajaran dasar dengan


menghilangkan segala tambahan dalam agama yang datangnya kemudian, dan dengan
melepaskan penganut Islam dari jumud, kebekuan dalam masalah dunia. Mereka
mendengungkan semboyan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadist Nabi (H.A.R.Gibb dan J.H.
Kramers, 1953: 85). Akibat dari dilontarkannya kecaman dan kritikan oleh golongan pembaharu
tersebut, maka muncullah reaksi dari dalam masyarakat Minangkabau. Golongan adat dengan
ditokohi Datuk Sutan Maharajo mendirikan “Sarekat Adat Minangkabau”, suatu benteng
perlawanan kaum adat terhadap gerakan pembaharuan Islam. Secara potensial pertentangan
golongan Pembaharu dengan kaum adat terutama berpangkal pada masalah waris. Kaum adat,
sesuai aturan adat berpendapat bahwa dalam hal seseorang meninggal, harta peninggalannya
diwariskan kepada kemenakannya (Taufik Abdullah, 1972:229). Sedangkan golongan
pembaharu berpendapat Bahwa prioritas utama harta waris harus diberikan kepada anak-anak
kandung, sesuai dengan petunjuk agama.

Betapapun dengan munculnya gejala kekotaan pada awal abad ke-20 konflik tersebut
baik potensial maupun nyata cenderung berkurang, akan tetapi kecemburuan di antara
merekareka bukan begitu saja lenyap karenanya (Danille Lerner, 1978: 45). Sebabnya tidak lain
adalah karena adanya sikap Belanda yang cenderung membela kepentingan kaum adat.
Perlawanan yang lebih sengit terhadap gerakan pembaharuan Islam datang dari kalangan Islam
Tradisionil. Mereka ini tak segan-segan menuduh golongan Pembaharu sebagai zindik, telah
sesat, menyesatkan dan kafir. Kebanyakan ulama-ulama yang masih teguh memegang teguh
pendirian lama ini merasa tersinggung karena tarekatnya diganggu. Disamping itu mereka juga
mempertentangkan masalah-masalah lain, seperti masalah usali, taqlin, ru’yat, kekeramatan ,
ijtihat dan taklid.

Pertentangan ini makin lama makin menjadi-jadi sehingga pada gilirannya memecah
masyarakat beragama, Minangkabau menjadi dua, yaitu yang menjadi pendukung paham
pembaharu yang kemudian disebut "Kaum Muda" dan penentangnya yang disebut "Kaum Tua".
(Hamka, 1951:41). Suatu hal yang semakin mempertajam perselisihan di antara mereka adalah
seringnya pihak Belanda mendukung Kaum Tua. Oleh karenanya Kaum Muda semakin
membenci Kaum Tua, sekaligus anti Belanda. Sementara itu, di kalangan pembaharuan Islam
khususnya dan masyarakat Minangkabau umumnya, pada waktu itu juga terjadi proses
pemasukan paham kebangsaan Barat. Ini pada gilirannya menambah kacaunya keadaan
masyarakat Minangkabau waktu itu. Sebab dengan semakin kuatnya pengaruh organisasi Barat,
kharisma pribadi ulama dalam kehidupan sosial politik menjadi merosot.

2. Penetrasi Ekonomi Uang dan Akibat-Akibatnya

Kehidupan ekonomi masyarakat Minangkabau sebagian besar tergantung pada usaha


bercocok tanam dan merupakan petani subsistensi (Rifai Abu,1982’ 983:13). Sebegaimana
diketehui perilaku ekonomi yang khas dari masyarakat subsistensi seperti itu adalah ia sekaligus
merupakan suatu unit produksi dan konsumsi, sehingga uang bukan merupakan kebutuhan yang
urgen. Akan tetapi keadaan yang demikian itu akhirnya berubah, sejalan dengan kebijaksanaan
politik kolonial Belanda di Indonesia. Pada awal abad ke-20 Belanda memperkenalkan sistem
ekonomi uang, melalui peraturan pajak yang dikeluarkan pada tahun 1908. Peraturan pajak itu
menghapus berbagai macam bentuk kerja paksa dan menggantikannya dengan berjenis-jenis
pajak yang harus dibayar dengan uang (schrieke,1960: 111-113).

Sistim ekonomi uang yang diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial Belanda tersebut
dalam waktu singkat berkembang sangat pesat. Satu hal yang menyebabkannya adalah terjadinya
revolusi pertanian di Minangkabau pada sekitar tahun 1920-an. Pada waktu itu orang-orang
Minangkabau yang semula bekerja sebegai petani penghasil padi beralih menjadi petani tanaman
ekspor, terutama kopi (Rusli Amran, 1985 : 86). Dengan jalan mengambil alih kebun-kebun
tanaman ekspor yang ditinggalkan Belanda (setelah tanam paksa dihapus) petani-petani
Minangkabau berlomba-lomba meningkatkan produksi dan memperluas areal penanaman
tanaman perdagangan, seperti kopi, karet dan kopra. Perubahan panting yang terjadi dalam
revolusi pertanian tersebut adalah transformasi yang nyata dari pola ladang ke kebun-kebun yang
mantap. Karenanya bisalah dipahami jika kemudian produksi padi Sumatera Barat turun dengan
drastis dan sebaliknya produksi tanaman perdagangan meningkat dengan tajam (lihat, D.H.
Burger, 1970: 101, Clifford, 1983: 56). Nampaklah disini bahwa petani Minangkabau yang dulu
sebagai petani subsistensi yang tidak begitu menghiraukan uang, sekarang berubah menjadi
petani pedagang pengejar keuntungan yang terjerat uang.

Akan tetapi perubahan kearah sistim ekonomi baru ini ternyata membawa dampak yang
lues dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau. Dengan sistim ekomomi uang mereka
dengan mudah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, lepas dari ikatan tanah, lepas pula dari
ketergantungan ninik mamak. Hal ini pada gilirannya semakin memperkuat sikap hidup
individualisme. Perkembangan ini mengarah pada perpecahan klan atau suku (Kompas, 17
Agustus 1978: 4,6). Pada sisi lain, kebutuhan akan uang menggoda ninik mamak yang memiliki
wewenang tertinggi atas harta pusaka, untuk menggadaikan tanah-tanah pusaka tanpa
memperhatikan syarat-syarat tertentu yang telah diatur oleh hukum adat ( Lihat, Muchtar
Naim,1968: 85-86). Akibatnya ninik mamak yang dulunya sebagai prime inter pares, cenderung
berkembang menjadi penguasa keluarga yang otoriter.

C. Awal Penyebaran Komunisme di Sumatera Barat Dan Perkembangannya


1. Masuknya Komunisme Di Sumatera Barat

Dalam situasi Sumatera Barat yang pehuh pertentangan, Haji Datuk Batuah membawa
dan, menyebarkan paham komunis diaerah tersebut. Pada tahun 1923 ia menanamkan ajaran
komunis di kalangan pelajar-pelajar dan guru-guru muda Sumatera Thawalib Padang Panjang.
Sumatera Thawalib adalah suatu lembaga pendidikan yang dimiliki oleh kalangan pembaharu
Islam di Sumatera Barat, dimana haji Batuah merupakan salah seorang pengajarnya. Berawal
dari Sumatera Thawalib Padang Panjang, paham komunis akhirnya menyebar ke berbagai daerah
Sumatera Barat dibawa oleh para lulusan sekolah tersebut ke daerah asalnya. Penyebaran ini
terutama dilakukan di kalangan petani.

Masyarakat setempat ajaran komunis ini disebut "ilmu kominih" (Schrieke, 1960: 155).
Ilmu ini menggabungkan ajaran Islam dengan ide anti penjajahan Belanda, anti imperialisme-anti
kapitalisme dan ajaran Marxis. Pada akhir tahun 1923 Datuk Batuah, bersama-sama dengan
Nazar Zaenuddin mendirikan pusat Komunikasi Islam di Padang panjang. Dalam waktu yang
hampir bersamaan Datuk Batuah menerbitkan harian "Pemandangan Islam" dan dan Nazar
Zaenuddin menerbitkan “Djago-Djago”. Lembaga Pusat Komunikasi Islam dan kedua harian
tersebut digunakan sebagai media penyiaran paham komunis.

2. Usaha-usaha Perluasan

Pada pagi 11 Nopember 1923 Datuk Batuah dan Nazar Zaenuddin ditangkap pemerintah
kolonial Belanda. Segera setelah itu pusat propaganda komunis berpindah ke Padang (Schreike,
1960: 60). Pucuk kepemimpinan PKI Sumatera Barat kemudian di ambil alih oleh Sutan Said
Ali. Pada waktu itu kegiatan orang-orang komunis di seluruh nusantara menunjukkan
peningkatan yang pesat. Hal ini karena pada akhir tahun 1923 Darsono, seorang tokoh, komunis
kembali di Hindia Belanda dari Moskow atas perintah komintern untuk mendampingi Semaun,
Alimin dan Muso. Suatu hal yang menyebabkan pesatnya perkembangan komunis di Sumatera
Barat adalah dileburnya Sarekat Rakyat Sumatera Barat ke dalam PKI. Sarekat Rakyat ini
semula bernama Sarekat Islam Merah, suatu organisasi pecahan Sarekat Islam yang berorientesi
kepada paham komunis, dimana di Sumetera Barat mempunyai anggota yang cukup banyak
(Kahin, 1952: 70).
Dengan dileburnya Sarekat Rakyat ke dalam PKI, maka jumlah anggota inti PKI
Sumatera Barat meningkat berlipat ganda. Jika pada tanggal 1 Juni 1924 semua anggota inti PKI
Sumatera Barat tercatat hanya berjumlah 158 Orang, maka pada tanggal 31 Desember 1924 telah
menjadi 600 orang, tiga bulan kemudian menjadi 884 orang. Daerah-daearah yang tercatat
sebagai basis PKI adalah: Kota Lawas, pariaman, Sawah Lunto, Tikalah, padang dan
Silungkang.

D. Resolusi prambanan 1925 Dan Peristiwa Silungkang 1927

1. Resolusi prambanan 1925

Mulai tahun 1925 tampaknya PKI telah jatuh ke tangan orang-orang yang berdarah
panas. PKI mulai menghubungkan diri dengan orang-orang yang dipandang rendah dalam
masyarakat dan kumpulan teroris yang selalu dijumpai di pinggiran masyarakat Indonesia waktu
itu (Arnold C. Bracham, 1970 : 22). Sementara itu Hoskow memproses arah yang ditempuh oleh
PKI, tetapi tidak berhasil (Ruth T.McVey,1965 : 158). Bahkan pada bulan Juni 1925, Alimin
secara terbuka menganjurkan suatu revolusi. Semenjak itu rupanya pengawasan partai berada di
tangan komunis sayap kiri. Sejalan dengan itu, pada bulan Desember 1925 di prambanan,
Yogyakarta diadakan pertemuan partai yang dipimpin oleh Alimin. Pertemuan ini dihadiri oleh
tokoh-tokoh PKI, diantaranya Budi Sucipto, Aliarcham, Sugono, Surat Hardjo, Martojo, jatim,
Sukirno, Suwarno, Kusno dan lain-lainnya. Sedang Said Ali, pemimpin PKI cabang Sumatera
Barat pada pertemuan ini hadir mewakili seluruh Sumatera ( H. J. Benda, dan Ruth T.MaVey,
1960: 115).

Adapun hasil pokok dari pertemuan ini adalah bahwa PKI akan mengadakan
pemberontakan pada bulan Juli 1926, dengan terlebih dulu diawali dengan aksi-aksi pemogokan
yang akan diorganisir PKI. Sehubungan dengan keputusan Prambanan tersebut pemimpin-
pemimpin PKI Sumatera Barat menempuh langkah-langkah guna mempersiapkan
pemberontakan, yang meliputi :

a) Sejalan dangan Surat Edaran Komite Pusat PKI No.221 maka PKI cabang Sumatera
Barat berusaha mengumpulkan senjata. Surat Edaran tersebut berisi perintah kepada
cabang Padang supaya mengumpulkan uang derma yang dimaksudkan untuk membeli
persenjataan yang akan digunakan untuk melakukan aksi pemberontakan.
b) Mengadakan aksi-aksi ilegal. Ini terutama dilakukan dalam bentuk membangun sel- sel
PKI di derah-daerah pertanian dalam rangka memperkuat semangat perlawanan. Dalam
perkembangannya, organisasi-organisasi ilegal ini mempunyai pengaruh cukup basar di
Sumatera Barat, terutama Sarekat Jin yang bergerak di Padang dan Pariaman (Ruth T.Mc
Vey, 1965: 194 ).

c) Memperkuat propaganda di kalangan buruh-buruh tani yang bekerja di perkebunan-


perkebunan.

Tetapi gelagat akan terjadinya pemberontakan di Sumatera Barat, terlebih dulu tercium
Pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda segera bertindak
melakukan penangkapan-penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin PKI Sumatera Barat.
Berturut-turut Said Ali, Idrus, Sarun, Yusup Gelar Radjo Kacik, Datuk Bagindo Ratu dan Haji
Baharuddin pada akhir tahun 1926, kemudian ditangkap dan dijebloskan ke penjara dengan
tuduhan hendak memberontak (Abdul Muluk Nasution, 1981: 91).

2. Peristiwa Silungkang 1 Januari 1927

Sekalipun para pemimpin PKI Sumatera Barat telah banyak yang ditangkap dan
dipenjarakan, akan tetapi pada akhirnya pemberontakan tetap meletus juga. Pemberontakan
tersebut pecah sekitar pukul 00.00 dinihari tanggal satu Januari 1927 (H.J.Benda and Ruth T. Mc
Vey, 1960 : 175). Beberapa hari sebelum pecahnya pemberontakan, yakni pada tanggal 20
Desember 1926 telah dilengsungkan rapat di Silungkang, yang dihadiri oleh pemimpin-
pemimpin PKI anak cabang Padang Panjang, Sawah Lunto, Batu Sangkar dan Silungkang. Rapat
tersebut diprakarsai oleh Alimin, sekertaris anak cabang Silungkang yang aktif mengadakan
kontak dengan Pusat Komite di Batavia dan menghasilkan beberapa keputusan, diantaranya :

a) PKI Sumatera Barat harus mengambil peran secara aktif dari serentetan pemberontakan
PKI di Jawa yang telah meletus pada tanggal 12 Nopember 1926 (Lihat Roestam Effendi,
1950: 19). Disepakati bahwa pemberontakan akan dilaksanakan tanggal 1 Janusri 1927.

b) Dibentuk Komite pemberontakan yang diketuai oleh Tayyib Ongah den Alimin sebagai
sekertaris.
c) Rumuat dan pontoh, mereka ini adalah anggota kesatuan tentara Hindia Belanda yang
secara rahasia menyeberang ke pihak komunis, diangkat sebagai komandan barisan dan
pengatur strategi penyerangan.

Selanjutnya pada tanggal 31 Desember 1926 pagi hari diadakan rapat komando,yang
berhasil mengeluarkan beberapa perintah, yaitu:

a) Barisan penyerangan dibagi dua, pertama merupakan barisan inti yang terdiri dari
anggota-anggota militer Sawah Lunto yang memihak komunis, dipimpin oleh Rumuat
dan Pontoh. Kedua, adalah barisan penunjang terdiri dari orang-orang kampung dan
terbagi atas lima kesatuan (Tarakat Tarutung-Tarung, Muara Kalaban, Tanjung Ampulu,
Padang Sibusuk dan Silungkang).

b) Sasaran penyerangan adalah pemukiman orang-orang Belanda di Sawah Lunto dan di


komplek tambang batu bara Umbilin (Abdul Muluk Nasution, 1981: 95-96).

Namun sekitar jam 20.00 tanggal 31 Desember 926, Rumuat dan kawan- kawannya
berhasil dibekuk oleh kesatuan militer Belanda. Ini berarti kekuatan inti kaum pemberontak telah
patah. Betapapun begitu, perlawanan tidak menjadi kendor karenanya. Kurang lebih pukul 00,.00
dini hari tanggal 1 Januari 1927 Kantor polisi Muara Kalaban dibom oleh kesatuan Muara
Kalaban yang dipimpin oleh Karim Maroko dan Muluk Chaniago. Serangan ini dibalas dengan
tembakan beruntung dari pihak polisi setempat yang akhirnya berhasil mencerai-berai Kesatuan
Muara Kalaban.

Mendengar suara bom dan tembakan-tembakan dari Muara Kalaban, barisan Taratak-
Tarutung-Tarung yang dipimpin oleh Abdul Muluk Nasution yang sudah hampir tiba di Sawah
Lunto menjadi panik. Mereka akhirnya dengan mudah dapat dipaksa menyerah oleh polisi
Belanda yang sedang berjaga. Di Tanjung Ampulu, pada tanggal 1 Januari 1927 terjadi aksi
pembakaran rumah- rumah milik para pegawai pemerintah Bolonial Belanda dan kaki tangannya.
Di Padang Siberuk para pemberontak membunuh kepala nagari dan beberapa orang penduduk
setempat yang dianggap sebagai kaki tangan Belanda.

Di Silungkang, markas besar kaum pemberontak, terjadi pembunuhan- pembunuhan


terhadap opsir-opsir Belanda dan beberapa orang guru agama serta tukang emas yang dianggap
telah bekerja sama dengan Belanda. Di samping itu terjadi aksi pengrusakan terhadap rumah-
rumah milik orang-orang Belanda dan antek-anteknya. Para pelaku pemberontakan tersebut
sesungguhnya tidak lebih dari kaum buruh tani yang jatuh miskin, para pedagang yang bangkrut,
para buruh perkebuhan dan kaum brocorah. Hanya sedikit di dalamnya terdapat kelompok
masyarakat lain, diantaranya guru-guru agama dari golongan muda yang telah terpengaruh
paham komunisme (W.F.Wretheheim, 1950 : 146).

E. Penutup

Proses sejarah Sumatera Barat pada awal abad ke-20 ditandai oleh dua hal, yaitu
semakin berkembangnya paham pembaharu Islam dan terjadinya perubahan kehidupan
ekonomi masyarakat dari sistim ekonomi hasil bumi menjadi sistim ekonomi uang.

Akibat sosial yang ditimbulkan oleh kedua hal tersebut di atas adalah semakin kuatnya
individualisme dan melemahnya komunalisme. Terjadinya proses individualisasi yang juga
disangatkan oleh munculnya gejala kekotaan pada awal abad ke-20 membawa konsekwesi
kurang berfungsinya adat dan agama Islam sebagai pengikat sosial. Ini semua pada gilirannya
menggoncangkan kehidupan masyarakat Minangkabau, dengan ditandai terjadinya gejolak,
kegelisahan serta ketidak tentuan dalam kehidupan beragama, sosial, ekonomi dan politik.
Keadaan demikian tumbuh disaat hakekat hubungan kolonial bersifat subordinatif semakin
disadari. Kesadaran demikian muncul sebagai akibat semakin tertekannya masyarakat
Minangkabau olen kewajiban membayar bermacam macam pajak dalam bentuk uang dan
bentuk-bentuk penindasan lainnya.

Dalam keadaan masyarakat Minangkabau yang demikian itu, tampillah PKI dengan
tawaran program anti kolonialisme dan imperialisme. Tampak disini apa yang dibutuhkan olen
masyarakat Minangkabau pada waktu itu (yakni aksi-aksi nyata untuk memberontak terhadap
siapa saja yang dipandang musuh, utamanya pemerintah kolonial Belanda) diberikan dengan
begitu gamblang dan menggiurkan oleh PKI. Itulah sebabnya, mengapa ketika PKI mengobarkan
api pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda mereka sambut dengan tanpa banyak
perhitungan. Dari kondisi dan kecenderungan-kecenderungan itulah peristiwa Silungkang, yang
biasa juga disebut pemberontakan komunis, meletus tanggal 1 Januari 1927.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik,1987, Islam dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Abu, Rifai (Ed), 1982’ 1983, Sistim Ekonomi Tradisional Sebagai Perwujudan Tanggapan Aktif
Manusia Terhadap Lingkungan Daerah Sumatera Barat, Jakarta: Dep P&K.

Amran, Rusli, 1985, Sumatera Barat Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan.

Anderson, B.R. O’G, andj. Siegal (Ed.), 1972, Culture and Politics in Indonesia, Ithaca, Cornel
University pres.

Benda, H.J, and Ruth T.McVey, 1960, The Communism Uprisings Of 1926-1927 in Indonesia,
Key Ducuments, Ithaca: Cornell University Press.

Effendi, Roestam, 1950, Trotskesme, Djakarta: Patriot.

Gibb, H.A.R., and J.H., Kramers, 1953, Shorter Enciclopedia Of Islam, Ithaca: Cornell
University Frees.

Hamka,1951, Kenang-kenangan Hidup, Djakarta: Gapura.

Kahin, George McT., 1952, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca: Cornell University
Press.

McVey, Ruth T., 1965, The Rise of Indonesia Communism, Ithaca: Cornell University

Anda mungkin juga menyukai