Anda di halaman 1dari 38

ASAL USUL DAN PERKEMBANAGAN TAREKAT NAQSHABANDI

DI INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Pendekatan Studi Kalam, Filsafat, Dan Tasawuf

Dosen Pengampu:

Drs. Abdul Muthalib, M.A, Ph.D.

Disusun oleh:

Multi Saridewi (21220331000025)


Ade Syanti Widiyanti (21220331000007)
Ikrima Maida (21230331000001)
M. Balya Abul Abbas (21230331000005)
Fajar Afwan (21230331000010)

PROGRAM MAGISTER AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023 M / 1445 H
ASAL USUL DAN PERKEMBANAGAN TAREKAT NAQSHABANDI
DI INDONESIA
Oleh Martin van Bruinessen (Leiden/Jakarta)
Sejak pertengahan tahun 1988-an, laporan-laporan administratif Hindia Belanda tiba-
tiba mulai menyebutkan Tarekat Naqshabandiyyah, mula-mula di Jawa Tengah dan Jawa Barat,
dan kemudian di Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Kesadaran resmi yang tiba-tiba akan
keberadaan tarekat ini tidak berarti bahwa tarekat ini baru saja mendapatkan pengikut yang
lebih besar. Faktanya, laporan yang sama menyebutkan bahwa kemunculan pertama kali tarekat
ini sudah ada sejak tahun 1850-an. Namun, laporan-laporan tersebut menunjukkan adanya
peningkatan dramatis pengaruh Naqsyabandi di awal tahun 1880-an, di beberapa daerah yang
disertai dengan harapan-harapan mesianis.1

Para Naqsyabandi Indonesia yang baru ini berasal dari berbagai cabang tarekat, tetapi
semuanya berbaiat kepada para syaikh di Mekkah. Khālidiyyah, yang diwakili oleh dua syaikh
yang sangat ambisius di Mekkah yang bersaing untuk mendapatkan murid Indonesia terbanyak,
mencatat pertumbuhan jumlah murid yang paling besar. Mazharīyyah mencatat pertumbuhan
yang tidak terlalu spektakuler namun tetap solid. Terakhir adalah Qādiriyyah wa
Naqsyabandiyyah, yang mungkin bisa dianggap sebagai sebuah tarekat tersendiri, yang
menggabungkan teknik-teknik dari Qādiriyyah (terutama dhikr kerasnya) dan tarekat
Naqsyabandiyyah (latihan pernafasan, dhikr lata'if, lirih). Sumber-sumber Belanda biasanya
gagal untuk membuat perbedaan di antara ketiganya. Secara kasarnya, dua cabang pertama
mencari - dan menemukan - pengikut mereka terutama di kalangan elit pribumi, menembus
masyarakat dari atas ke bawah, sementara yang terakhir dalam orientasinya secara keseluruhan
lebih populer.2

Pertumbuhan pesat berbagai cabang Naqshbandiyyah di Indonesia merupakan bagian


dari gejolak sosial yang lebih luas dan lebih umum, baik yang bersifat internal maupun
eksternal. Ini adalah masa-masa meningkatnya eksploitasi kolonial. Monopoli pemerintah atas
ekspor telah dihapuskan pada tahun 1877, membuka Hindia Belanda untuk modal swasta. Di
pulau Jawa, sistem tanam paksa untuk tanaman komersial tidak segera dihapuskan, tetapi harga
yang dibayarkan untuk tanaman tersebut jatuh pada awal tahun 1880-an, dan selain itu
beberapa pajak baru diperkenalkan, menyebabkan banyak ketidakpuasan. Di sebagian besar

1
Van Bruinessen. Martin, "The Origins and Development of the Naqshbandi Order in Indonesia", (Leiden: Der
Islam 67, 1990). hlm 150
2
Ibid, hlm 150

2
pulau-pulau terluar, Belanda baru saja mulai membangun pendudukan yang efektif, memicu
keresahan, pemberontakan spontan, dan dalam satu kasus, Aceh, terjadi perlawanan bersenjata
yang berkepanjangan. Kapal-kapal uap dan terusan Suez (yang mengubah rute pelayaran),
selain itu, telah sangat meningkatkan komunikasi dengan seluruh dunia Islam. Jumlah orang
Indonesia yang menunaikan ibadah haji meningkat, dan banyak di antara mereka yang menetap
di Arab untuk mempelajari hal-hal yang berbau Islam, di antaranya adalah sufisme. Mereka
juga menjadi sadar akan perkembangan di bagian lain dunia Muslim, yakni faktor yang paling
utama adalah ekspansi imperialisme Eropa dan respon politik dan intelektual yang diprovokasi:
jihad, mahdiisme, dan yang terakhir, reformisme Islam. Beberapa haji yang kembali menentang
keras kekuasaan Belanda dan menyerukan pembangkangan, sementara yang lain mengajarkan
latihan-latihan mistik yang telah mereka pelajari; dua kategori tersebut sebagian tumpang
tindih.3

Para haji tidak terlalu disukai oleh pemerintah Hindia Belanda, dan di banyak tempat,
mereka mengajarkan tarekat (kebanyakan dari tiga cabang Naqshabandiyyah yang disebutkan
di atas) yang menimbulkan kecurigaan. Kecurigaan ini tampaknya dibenarkan ketika pada
tahun 1888 terjadi pemberontakan petani berskala besar di Banten (di ujung barat Jawa), dan
diketahui bahwa Qādiriyyah dan Naqsyabandiyyah terlibat di dalamnya. Bukan berarti para
guru tarekat ini memainkan peran utama dalam pemberontakan tersebut; hanya saja secara
kebetulan banyak dari para peserta pemberontakan adalah pengikut tarekat ini, dan kesetiaan
bersama diperkuat oleh ikatan yang menghubungkan mereka sebagai saudara dalam tarekat ini.
Lima belas tahun kemudian, seorang guru agama, yang berafiliasi dengan Qādiriyyah dan
Naqsyabandiyyah, memimpin pemberontakan para petani miskin melawan elit lokal dan
pemerintahan Belanda di kabupaten Sidoarjo, dekat Surabaya, Jawa Timur.4

Salah jika menafsirkan aktivisme ini hanya sebagai respon langsung terhadap
kolonialisme, karena aktivisme ini bahkan muncul di tempat di mana kolonialisme modern
belum tiba. Pada tahun 1891, masyarakat Muslim Sasak di Lombok melakukan pemberontakan
terhadap orang-orang Bali yang telah lama menduduki pulau tersebut. Pemimpin utama
pemberontakan ini adalah seorang guru Naqshbandi, dan banyak tokoh Sasak yang menjadi
muridnya. Pemberontakan ini, yang berlangsung selama bertahun-tahun, memberikan

3
Ibid, hlm 151
4
Ibid, hlm 151

3
kesempatan kepada Belanda untuk campur tangan dan mengambil alih kekuasaan dari orang
Bali.5

Tanggapan tidak langsung terhadap kolonialisme juga dapat dilihat di wilayah lain di
Nusantara. Di antara orang-orang Minangkabau di Sumatera Barat, pengikut Naqshbandiyyah
(dalam hal ini Khālidiyah) terlibat dalam perdebatan sengit selama akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20 dengan pengikut tarekat Shaṭāriyyahh yang lebih tradisional dan sinkretis. Konflik
ini pada gilirannya mendorong terjadinya transformasi sosial dan ekonomi. Transformasi ini
mengarah pada pemberontakan "komunis" pada tahun 1926, di mana kita menemukan
beberapa Naqshbandi secara tidak langsung terlibat, meskipun pada saat itu sebagian besar
Naqshbandi telah terdesak ke dalam kubu konservatif oleh para reformis agama yang lebih
radikal.6

Selama hampir tiga dekade, dimulai pada tahun 1885, Naqsyabandiyyah Indonesia
terdokumentasi dengan baik. Keterlibatannya yang nyata dalam kasus-kasus kerusuhan di atas
membuatnya mendapat perhatian resmi. Meskipun demikian, banyak pejabat Hindia Belanda
yakin akan ketidakbersalahan politiknya; terutama ketika tarekat ini mengakar di kalangan
aristokrasi lokal, tarekat ini sama sekali tidak menimbulkan ancaman bagi tatanan kolonial.
Pada dekade kedua abad ini, organisasi-organisasi politik modern pertama, dengan berbagai
corak nasionalisme, muncul. Tarekat kehilangan perannya sebagai penyalur ketidakpuasan
sosial dan ekonomi - sejauh yang pernah dilakukannya - kepada badan-badan yang lebih tepat
ini, dan ketertarikan resmi terhadapnya juga menurun. Tidak mungkin untuk menilai apakah
penyebutan Naqshabandiyyah yang lebih sedikit di tahun-tahun berikutnya berarti bahwa
keanggotaannya benar-benar menurun. Namun yang pasti, penaklukan Makkah oleh Ibn Sa'ud
pada tahun 1924 memberikan pukulan telak bagi tarekat ini. Makkah telah menjadi pusat
Naqshbandiyyah Indonesia yang sebenarnya. Setiap generasi baru mencari inisiasi di Makkah;
seorang syaikh dengan ijazah dari seorang guru Makkah lebih dihormati daripada mereka yang
hanya memiliki ijazah Indonesia. Larangan Ibn Sa'ud tersebut telah menghapus pusat ini, dan
memaksa Naqshbandiyyah Indonesia untuk menjadi mandiri dan melanggengkan diri sendiri,
yang mengakibatkan perubahan dalam struktur organisasi serta, sampai batas tertentu, adaptasi
doktrin dan praktik secara bertahap.7

5
Ibid, hlm 151
6
Ibid, hlm 152
7
Ibid, hlm 152

4
Sejarah Naqsyabandiyyah Indonesia terbagi dengan rapi ke dalam beberapa periode
yang berbeda, di mana peristiwa-peristiwa yang disebutkan di atas berada di tengah-tengahnya.
Pada saat kedatangan pertama kali pengaruh Khalidi pada tahun 1850-an, Naqshbandiyyah
telah dikenal dan dipraktekkan di kalangan kecil selama hampir dua abad. Periode pertama ini
tidak terdokumentasikan dengan baik; kita harus bergantung pada sejumlah kecil sumber-
sumber asli, yang akan dianalisa di bawah ini. Penaklukan Makkah oleh Saudi dan penindasan
terhadap tarekat di sana menandai dimulainya periode ketiga. Setelah hubungan dengan pusat
asing terputus, sebuah proses pengindonesiaan Naqsyabandiyyah secara bertahap dimulai.8

Sejak awal, kemunculan organisasi politik yang lebih terbuka telah mengurangi daya
tarik ṭuruq bagi mereka yang tidak puas. Secara keseluruhan, periode ketiga ini merupakan
periode kemunduran yang bertahap, meskipun kemundurannya tidak merata.
Naqsyabandiyyah mengalami beberapa kali gelombang ekspansi, di tangan para syaikh yang
cakap, meskipun tidak kontroversial, dan kemudian disusul dengan kontraksi. Pada tahun-
tahun belakangan ini, tarekat ini tampaknya mengalami pertumbuhan sekali lagi, seperti
kebanyakan tarekat lainnya, yang tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Indonesia yang
berhasil mendepolitisasi Islam.9

A. Akar Arab dari Naqshabandiyyah Indonesia

Sumber-sumber mengenai Naqshbandiyyah di Indonesia sebelum kemunculan


Khālidiyyah sangat langka. Kita memiliki beberapa risalah yang meringkas ajaran
Naqshbandiyah, dan tarekat ini disebutkan secara sepintas dalam beberapa teks Indonesia yang
bersifat non-agama. Kamus biografi, kumpulan risalah, hagiografi atau sejarah tarekat ini, yang
merupakan sumber utama kami di tempatlain, tidak ada. Oleh karena itu, pengetahuan kita
tentang dua abad pertama ordo ini di Indonesia masih sangat terpisah-pisah.10

Orang Indonesia pertama yang meninggalkan beberapa catatan tentang tarekat ini
adalah Syaikh Yusuf dari Makassar (sekitar 1626-1699), yang menerima baiat Naqsyabandi di
Yaman pada akhir tahun 1640-an, ketika beliau sedang dalam perjalanan menuju Makkah.
Naskah-naskah awal lainnya merujuk pada guru-guru Naqshbandi di Makkah dan Madinah.
Sementara Shaṭṭāriyyah, yang masuk ke Indonesia sekitar waktu yang sama dan melalui jalur
yang sama dengan para peziarah yang kembali, segera menjadi kuat di Sumatra dan Jawa dan

8
Ibid, hlm 152
9
Ibid, hlm 153
10
Ibid, hlm 153

5
terus berkembang dari pusat-pusat sekunder di pulau-pulau ini, Naqshbandiyyah tampaknya
lebih bergantung pada pusat-pusat di Arab. Hanya satu risalah yang menyebutkan khalifah yang
ditunjuk oleh seorang syaikh Naqshbandi Indonesia; tampaknya sebagian besar Naqshbandi
Indonesia dibaiat ke dalam tarekat ini selama mereka tinggal di Kota Suci, dan terus
mempraktikkannya secara pribadi setelah mereka kembali, mungkin mengajar sejumlah kecil
murid tetapi tidak membangun jalur yang langgeng. Hingga pertengahan abad ke-19,
Naqshbandiyyah Indonesia tidak lebih dari sekadar perpanjangan tangan dari cabang-cabang
Arab kontemporer.11

Pada abad ke-17dan ke-18, terdapat tiga cabang utama Naqshbandiyyah di jazirah Arab.
Salah satunya didirikan di sana oleh khalīfah Baqī Bi'illāh, Taj ad-Dīn Zakariyā (wafat
1052/1642), yang meninggalkan India ketika saingannya, Ahmad Sirhindi, menggantikan guru
mereka di pondok pusat Delhi. Di Makkah, seorang mistikus terkenal, Ahmad bin Ibrahim bin
'Allan, menjadi muridnya dan kemudian menjadi khalifahnya. Taj ad-Dīn mengangkat dua
khalifah lainnya di Yaman, Aḥmad 'Ujail dan Muḥammad 'Abd al-Baqi. Yang terakhir ini
menjadi pembimbing Syaikh Yusuf; khalifah Makkah, Aḥmad bin Ibrāhīm bin 'Allān, disebut
dalam setidaknya satu naskah Naqshbandi Indonesia. Tidak seperti Ahmad Sirhindi dan
Naqsyabandiyyah-Mujaddidiyyah yang berasal darinya, Taj ad-Dīn dan para penggantinya
tetap teguh berkomitmen pada wahdat al-wujūd, yang mana doktrin ini terbukti sangat cocok
untuk orang Indonesia. Mujadidiyyah, sejak abad pertengahan, juga terwakili di Makkah. Salah
satu khalifah Sirhindi, Adam Banuri, karena alasan politik, terpaksa meninggalkan India
menuju Makkah pada tahun 1643, dan mulai menyebarkan pesan gurunya di sana. Kemudian,
pada tahun 1656, putra dan penerus Sirhindi, Muḥammad Ma'sūm, menunaikan ibadah haji dan
mengangkat dua khalifah di Mekkah, Aḥmad Jarullāh Jūryāni "Yakdast" dan 'Abd al-Hayy, dan
meninggalkan putranya, Miyan. Dia juga mengangkat dua khalifah di Yaman, 'Alī al-Yamanī
dan 'Umar al-Yamanī ash-Shāfi'i.12

Garis ketiga dari afiliasi Naqshbandi diwakili pada pertengahan abad ke tujuh belas
oleh Ibrāhīm bin Ḥasan al-Kurānī (wafat 1101/1689), seorang ulama di Madinah. Ini
tampaknya merupakan garis Naqshbandi paling awal di jazirah Arab, yang dibawa ke sana oleh
Aḥmad Ash-Shinnāwī dari India (wafat 1619), guru dari pendahulu Ibrahim dan instrukturnya,
Aḥmad Qushāshī. Ketiga guru ini mengajarkan Naqshbandiyyah dalam kombinasi dengan
sejumlah tarekat lain, termasuk Shaṭṭāriyyah dan Chishtiyyah, dan mereka sangat berkomitmen

11
Ibid, hlm 153
12
Ibid, hlm 154

6
pada ajaran-ajaran Ibn al-’Arabī. Tarekat ini tampaknya merupakan cabang Naqshabandiyyah
yang paling terindonesiakan. Keberpihakan Ibrāhīm al-Kurānī pada dhikr yang keras (jahri),
yang dikombinasikan dengan musik (sama'), kontras dengan pengekangan yang biasanya
diasosiasikan dengan tarekat ini. Akan tetapi, sikap zuhd dari Naqshbandiyyah pada masa-masa
belakangan ini mungkin sebagian besar merupakan hasil dari pengaruh Sirhindi, dan akan salah
jika kita menganggapnya sebagai ciri umum dari Naqshbandiyyah itu sendiri. Kelompok di
sekitar Ibrāhīm al-Kurānī tentu saja bukan satu-satunya Naqshbandi yang mempraktekkan
sama' dan ddhikr jahri. Pada tahun-tahun berikutnya kita menemukan Naqshbandi dari
berbagai afiliasi yang terkait dengan sekolah al-Kurani. Studi Voll bahkan menempatkan
Ibrāhīm al-Kurānī sebagai pusat ortodoksi kontemporer, dan menunjukkan bahwa para
revivalis abad ke-18, seperti Muḥammad 'Abd al-Wahhāb dan Shah Wali Allah, merupakan
keturunan intelektualnya secara langsung. Namun, saya menduga bahwa Voll membaca lebih
banyak reformisme ke dalam materinya daripada yang sebenarnya dengan memproyeksikan
sikap-sikap Mujaddidi akhir abad ke-18/awal abad ke-19 ke dalam kelompok al-Kurani yang
sebagian besar bukan Mujaddidi. Aḥmad al-Qushāshī dan Ibrāhīm al-Kurānī terlibat dalam
sebuah polemik yang terkenal (dan persaingan politik?) dengan Mijaddidiyah mengenai
beberapa gagasan Ibn al-’Arabī; di bawah putra dan penerus Ibrahim, Abu 't-Tahir Muhammad,
bagaimanapun juga, konflik ini kehilangan ujungnya yang tajam. Abu at-Tahir juga menjadi
pembimbing spiritual seorang syaikh yang awalnya berafiliasi dengan garis Taj ad-Dīn,
Muhammad 'Abd al-Baqi, putra Zain. Namun, ketiga cabang tersebut tampaknya tetap
mempertahankan eksistensi mereka yang terpisah, satu di samping yang lain, hingga mereka
diserap ke dalam Khālidiyyah dan Mazharīyyah yang lebih dinamis.13

B. Pengikut Naqshbandi Indonesia pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas

Tidak jarang bagi orang Indonesia yang melakukan ibadah haji ke Mekah untuk tinggal
di Arab selama beberapa tahun, belajar berbagai ilmu pengetahuan Islam dengan ulama
terkenal di Mekah dan Madinah, atau bahkan Damaskus. Perjalanan haji sendiri sudah panjang
dan melelahkan, dan mereka yang cukup termotivasi untuk melakukannya biasanya tertarik
untuk memperoleh beberapa ilmu pengetahuan "dari sumbernya", bahkan jika hanya demi
prestise yang diberikan ijaza Arab kepada mereka kembali di tanah air. Kami tidak memiliki
indikasi yang jelas tentang jumlah jamaah haji Indonesia pada abad ketujuh belas, tetapi
sumber-sumber lokal dan Belanda cukup sering merujuk kepada mereka sehingga dapat

13
Ibid, hlm 155-156

7
disimpulkan bahwa setiap tahunnya ada lebih dari sekadar segelintir orang. Kesultanan Aceh
(Sumatera Utara) dan Banten (Jawa Barat) adalah pusat perdagangan yang berkembang pesat,
yang armadanya berlayar melalui jalur laut sejauh ke barat Surat di Gujarat, kadang-kadang
bahkan lebih jauh, dan mereka secara rutin dikunjungi oleh pedagang Arab dari Hadhramaut.
Oleh karena itu, ada infrastruktur yang handal yang mendukung haji. Sikap masyarakat juga
mendukung: ketika putra mahkota Banten berangkat haji pada tahun 1674, hal ini mendapat
sambutan yang luas.14

Sesuai dengan kecenderungan kuat Islam Indonesia yang bersifat mistis-magis, dari
berbagai ilmu pengetahuan Islam yang diajarkan di Arab, para siswa Indonesia pada periode
ini menunjukkan preferensi yang kuat untuk taaawwuf. Minat dalam fiqh tumbuh sejak abad
kedelapan belas, tetapi bahkan pada saat itu minat dalam taaawwuf dan waḥdat al-wujūd —
metafisika—masih mendominasi19). Yang signifikan, semua afiliasi Naqshbandi (sebelum
Khalidiyya) terhubung dengan dua cabang non-Mujaddidi di Arab. Penolakan waḥdat al-wujūd
oleh Mujaddidiyya mungkin membuatnya tidak menarik bagi para siswa Indonesia pada
periode itu. Popularitas Khalidiyya yang kemudian tidak menghasilkan minat yang tertunda
dalam Ahmad Sirhindi; dia hanya lebih dari sekadar nama dalam buku-buku sejarah, dan
Maktubat-nya tidak dikenal. Guru yang paling populer di kalangan orang Indonesia adalah
Ibrāhīm al-Kurānī, tetapi kebanyakan dari mereka belajar bersamanya dalam tarekat
Shattariyya daripada Naqshbandiyya. Yang pertama tampaknya lebih Cocok dengan
spiritualitas Indonesia; sebagian besar Naqshbandi Indonesia awal sepertinya juga
mempraktikkan Shattariyya.15

Yusuf Makassar, yang disebutkan di atas sebagai Naqshbandi Indonesia pertama yang
dikenal, berasal dari kerajaan Muslim kecil Goa di Sulawesi Selatan, dan memiliki hubungan
keluarga dengan keluarga penguasa di sana. Pada tahun 1644, di usia yang masih sangat muda,
ia berangkat ke barat untuk menuntut ilmu dan menunaikan ibadah haji. Di Acheh, yang saat
itu merupakan pusat utama pembelajaran Islam di Nusantara, ia menerima pembaiatan
pertamanya dalam sebuah Tarekat, Qādiriyyah. Setibanya di Yaman, ia mempelajari
Naqshabandiyyah dengan Muhammad 'Abd al-Baqi, khalifah Taj ad-Dīn. Kemudian, di
Madinah, ia juga belajar dengan Ibrāhīm al-Kurānī, tetapi ia menyebutkan yang terakhir ini
hanya sebagai seorang Shattari. Ia melakukan perjalanan hingga ke Damaskus, di mana ia

14
Ibid, hlm 156
15
Ibid, hlm 157

8
dibaiat menjadi anggota Khalwatiyyah. Ia menghabiskan seperempat abad di Arab dan
mengklaim telah mempelajari berbagai Tarekat lainnya.16

Pada tahun 1672, kita mendapati dia kembali ke Indonesia; bukan di kampung
halamannya, Goa, yang pada tahun 1669 ditaklukkan Belanda dalam persekutuannya dengan
kerajaan Bugis Bone. tetapi di Banten, yang masih mempertahankan kemerdekaan yang
membanggakan di bawah kepemimpinan Sultan Ageng yang kuat. Yusuf segera menjadi salah
satu orang yang paling berkuasa di Banten, menantu sultan dan salah satu orang kepercayaan
terdekatnya, diadakan dalam “penghormatan takhayul” (seperti yang ditulis dalam sebuah
laporan Belanda) oleh penduduknya, dan menikmati kesetiaan yang tak tergoyahkan dari
sejumlah besar orang Makassar dan Bugis yang mengabdi kepada Banten sebagai pelaut dan
tentara. Putra mahkota, yang pada awalnya adalah murid Yusuf, kemudian mulai membenci
kekuasaan dan pengaruhnya yang besar. Kehadiran Yusuf sangat berkontribusi pada reputasi
Banten sebagai pusat pembelajaran Islam, menarik murid-murid dari berbagai tempat di
Nusantara. Dia mungkin juga berkontribusi pada sikap sultan yang sangat anti-Belanda,
meskipun hal ini tentu saja merupakan reaksi terhadap gangguan militer dan komersial VOC.
Bagi VOC, yang bermarkas di Batavia (sekarang Jakarta), Banten merupakan saingan yang
terlalu penting secara komersial dan politis untuk ditoleransi. Konflik antara harga mahkota
dan ayahnya, yang memuncak pada tahun 1882, memberikan VOC dalih yang diinginkan untuk
campur tangan secara militer, untuk mendukung harga mahkota. Selama hampir dua tahun,
sang shaikh secara pribadi memimpin kelompok yang terdiri dari ribuan pengikutnya di seluruh
Jawa Barat, bertempur dan diburu oleh pasukan Belanda yang lebih unggul. Akhirnya, ia
ditawan dan dikirim ke pengasingan ke Ceylon dan kemudian ke Tanjung Harapan, di mana ia
meninggal pada tahun 1699. Pengikutnya yang berasal dari Bugis dan Makasar diizinkan
kembali ke Sulawesi Selatan. Beberapa tahun kemudian, tulang-belulang Yusuf dibawa
kembali dari Tanjung Harapan ke Sulawesi Selatan dan dimakamkan kembali di Lakiung;
kedua makamnya masih dihormati oleh penduduk setempat.17

Karier Yusuf sekali lagi membuktikan bahwa kesalehan mistik tidak menghalangi
militansi politik. Popularitasnya, di Sulawesi Selatan dan di Banten serta di antara masyarakat
Melayu di tanah pengasingannya, adalah sebagai seorang sufi, bukan pejuang. Ia terutama
mengajarkan Khalwatiyyah (yang mana ia mendapatkan gelar kehormatan at-Tāj al-Khalwātī),
tetapi varian Tarekat ini dengan bebas meminjam teknik dari Tarekat lain yang telah ia pelajari,

16
Ibid, hlm 157
17
Ibid, hlm 158

9
seperti dhikr qalbī Naqshabandiyyah dan caranya yang khusus untuk "menarik" dhikr tawḥīd
di sepanjang jalan melalui tubuh. Khalwatiyyah-Yusuf (demikian sebutannya untuk
membedakannya dengan cabang Tarekat yang muncul kemudian, Khalwatiyyah-Samman)
ditemukan dan masih memiliki pengikut terutama di kalangan bangsawan Bugis dan Makassar
di Sulawesi Selatan. Sepertinya Tarekat ini tidak menemukan pijakan yang pasti di tempat lain
di Nusantara. Beberapa surat dan risalah pendek, di mana Yusuf meletakkan ajaran-ajarannya,
masih ada. Dalam beberapa di antaranya, ia merujuk kepada Naqshbandiyyah, menceritakan
anekdot atau mengutip perkataan para syaikh besar Tarekat ini atau menjelaskan teknik dhikr
dan nafas. Satu risalah yang dinisbatkan kepadanya secara eksklusif membahas
Naqshbandiyyah dan menunjukkan bahwa sang shaikh sebenarnya juga mengajarkan Tarekat
ini. Sebuah indikasi, meskipun lemah, tentang kehadiran Naqshbandi di Sulawesi Selatan,
setengah abad setelah kematian Yusuf, diberikan oleh sebuah naskah yang tampaknya berasal
dari wilayah itu, yang berisi risalah Naqshbandi bersama dengan risalah-risalah mistik magis
lainnya. Risalah ini berisi instruksi tentang dhikr, tawajjuh dan muraqabah, rabita bi 'sh-shaikh,
dan delapan prinsip dari 'Abd al-Khaliq Ghujdawani (tetapi tidak termasuk tiga prinsip
tambahan dari Bahā’ ad-Dīn. Kitab ini diakhiri dengan silsilah dari Taj ad-Dīn Zakariyā ke atas,
yang menunjukkan bahwa kitab ini berasal dari lingkaran Mekah dari para pengikut Zakariyā.
Jilid yang sama juga berisi risalah Shattari, yang menegaskan lagi bahwa Naqshbandiyyah
umumnya dipraktekkan dalam kombinasi dengan Shaṭṭāriyyah.18

Terdapat bukti independen bahwa sekitar masa Yusuf, Naqshabandiyyah mulai dikenal
dan sangat dihormati di Banten. Dalam Hikayat Hasanuddin, sebuah biografi yang sangat
dimitoskan tentang pendiri dinasti Muslim Banten yang terkenal, Hasanuddin (wafat tahun
1570), yang ditulis beberapa waktu sebelum tahun 1725, sang tokoh utama menemani ayahnya,
seorang wali dan penguasa Cirebon yang terkenal, Sunan Gunung Jati, ke Mekah dan Madinah,
dan di kota yang disebut terakhir ini, ia diajari dhikr, wirid, dan teknik-teknik lain dari Tarekat
Naqshabandiyyah. Hikayat ini tampaknya sangat bergantung pada kronik sebelumnya, Sajarah
Banten, yang selesai ditulis pada tahun 1662-3; kronik ini menyebutkan perjalanan ke Mekkah
tetapi tidak menyebutkan pembaiatan ke dalam Naqshabandiyyah. Oleh karena itu, antara
tahun 1662 dan 1725, Naqshabandiyyah menjadi sangat dihormati di Banten sehingga
Hasanuddin, untuk kemuliaannya yang lebih besar, secara anumerta dikaitkan dengan
Naqshabandiyyah. Tidak ada alasan kuat untuk mengasumsikan bahwa hal ini disebabkan oleh
Shaikh Yusuf saja. Cukup banyak orang Banten yang melakukan ziarah pada seperempat

18
Ibid, hlm 159

10
terakhir abad ke-17. Hikayat ini, mungkin tidak sengaja, membiarkan inisiasi terjadi di
Madinah, kota tempat Ibrāhīm al-Kurānī dan putranya, Muhammad Abu ‘t-Tahir, mengajar.
Dua manuskrip Melayu memberikan konfirmasi lebih lanjut tentang keberadaan
Naqshabandiyyah di Banten pada periode ini. Naskah-naskah tersebut merujuk kepada Shaikh
Banten 'Abdallah b. 'Abd al-Qahhar, yang mengajarkan Naqshabandiyyah dan Shaṭāriyyah,
dan yang menunjuk khalifah Naqshbandi untuk Kabupaten di Bogor dan Cianjur (keduanya di
Jawa Barat). Shaikh ‘Abdallah menerima pembaiatan Naqshbandi dari Muhammad Abu 't-
Tahir (yang menggantikan ayahnya pada tahun 1101/1689, dan wafat pada tahun 1145/1733),
dan Shaṭṭāriyyah melalui garis tiga penerus al-Qushashi. Ia adalah satu- satunya Naqshbandi
Indonesia (pra-Khalidi) yang kita ketahui telah diangkat sebagai khalifah dan dengan demikian
mengabadikan Tarekat ini.19

beberapa indikasi kehadiran Naqshbandi, biasanya dalam kombinasi dengan


Shaṭāriyyah, di luar Banten. Naskah istana Jawa, Serat Centhini (dalam bentuknya yang
sekarang, berasal dari awal abad ke-19) memiliki tokoh utamanya, Among raga, yang
melantunkan syair-syair Naqshbandiyyah dan Shaṭṭāriyyah setelah melakukan sembahyang.
Oleh karena itu, pengarang (atau lebih tepatnya penyadur) Centhini dari Jawa Tengah pasti
mengetahui bahwa kedua ṭuruq ini dipraktekkan bersama-sama di kalangan tertentu (di pantai
utara Jawa Tengah.20

Koleksi manuskrip KITLV di Leiden berisi sebuah naskah pendek berbahasa Melayu
yang membahas tentang " ṭarīq as-sadāt ash-shaṭṭārīyah wa 'n-naqshbandīyah”, yang
menjelaskan efek-efek ajaib dari berbagai formula dhikr dan menguraikan ide-ide kosmologis
yang sederhana dari tradisi wahdat al-wujūd. Nama- nama beberapa guru yang disebutkan oleh
penulis mengindikasikan bahwa naskah ini berasal dari Acheh; tanggalnya tidak pasti, tetapi
katalog memperkirakannya pada akhir abad ke-19. Hal ini menunjukkan dengan kuat bahwa
kombinasi Naqshabandiyyah dan Shaṭṭāriyyah pernah juga dipraktikkan di Sumatra bagian
utara. Akhir abad ke-19 tampaknya, bagaimanapun juga, merupakan tanggal yang agak
terlambat; di tempat lain di Nusantara, cabang-cabang Naqshbandiyyah yang lebih tua pada
saat itu telah digantikan oleh Khālidiyyah yang gencar melakukan dakwah (dan, di beberapa
tempat, oleh Mazharīyyah).21

19
Ibid, hlm 160
20
Ibid, hlm 160
21
Ibid, hlm 160

11
Ada satu naskah Melayu lain dari Sumatra yang tampaknya berasal dari cabang
Naqshabandiyyah yang lebih tua, yaitu Lubāb al-Kifāya karya Jamāl ad-Dīn dari Pasai (dalam
bahasa Aceh). Satu-satunya salinan yang masih ada dibuat pada tahun 1859, tetapi teks ini
tampaknya berasal dari masa yang jauh lebih awal; van Ronkel, dengan alasan yang lemah,
bahkan menetapkan tanggal pada paruh pertama abad ketujuh belas). Sebagian besar dari teks
ini membahas tentang fiqh, tetapi ditaburi dengan nasihat-nasihat untuk melaksanakan ibadah-
ibadah Naqshabandiyyah, doa-doa sunnah, wird dan dhikr. Hanya ada dua nama orang suci
Naqshbandi yang disebutkan, dan ini tidak banyak membantu kita untuk menempatkan teks ini
dalam sejarah Tarekat: Ahmad Khwajakani dan Hafit Kashgari alias Shaikh Muhammad Faris.
Nama-nama ini, yang tampaknya telah dirubah, tampaknya merujuk pada dua orang
Khwajagan, masyayikh dari Asia Tengah dari Tarekat ini. Ini mengakhiri bukti-bukti yang
tersedia mengenai Naqshabandiyyah di Indonesia sebelum pertengahan abad kesembilan belas.
Tarekat ini tampaknya paling kuat berdiri di Banten, sejak akhir abad ketujuh belas atau, paling
lambat, sejak awal abad kedelapan belas, dan dari sana bercabang-cabang ke arah Bogor dan
Cianjur, dan mungkin ke arah Jawa Tengah. Di Sulawesi Selatan, pada abad ke- 18, dan di
Aceh mungkin agak lebih belakangan, setidaknya ada beberapa orang yang mempraktikkan
Naqshabandiyyah secara pribadi. Dalam semua kasus ini, Naqshbandiyyah tampaknya telah
digabungkan dengan Shaṭṭāriyyah.22

C. Serangan Khālidiyyah pertama ke Nusantara

Naqshabandiyyah untuk pertama kalinya menjadi kekuatan sosial-keagamaan di


Nusantara dengan kembalinya Shaikh Isma’il Minangkabawi dari Mekkah pada awal tahun
1850-an. Isma’il berasal dari Simabur di Sumatera Barat, dan menghabiskan sebagian besar
paruh pertama abad ke-19 untuk belajar dan mengajar di Mekkah. Pelajarannya tidak hanya
mencakup tasawuf, tetapi juga berbagai ilmu pengetahuan Islam; biasanya, karyanya yang
paling terkenal, Kifāyat al-Ghulām (dalam bahasa Melayu), yang masih dicetak ulang secara
teratur, adalah buku teks sederhana tentang poin-poin dasar kepercayaan dan kewajiban-
kewajiban kanonik, la memperoleh reputasi sebagai guru besar di kalangan orang Indonesia
yang tinggal di Mekkah. Pada saat Snouck Hurgronje tinggal di Mekah (1885), ia masih diingat
dengan baik di sana, sebagai pribadi yang bergejolak, "agak terpelajar dan sangat fanatik"
(Snouck Hurgronje 1889, 355). Tidak jelas bagaimana kita harus menafsirkan kata "fanatik" di
sini, tetapi kemungkinan merujuk pada kepatuhan yang ketat terhadap syariah dan sikap anti-

22
Ibid, hlm 161

12
Kristen, yaitu sikap anti-Eropa dan terutama sikap anti-kolonial. Abdullah menginformasikan
kepada kita bahwa selama masa tinggal Isma’il di Riau, kewajiban bagi perempuan untuk
mengenakan cadar diperkenalkan; ini juga merupakan periode ketika para penguasa Riau
berjuang mati-matian untuk mempertahankan kemerdekaan vis-a-vis Belanda.23

Ismā ‘īl dibaiat ke dalam Naqshabandiyyah oleh khālifah Makkah Maulānā Khālid’s

‘Abdallāh Arzīnjānī, dan segera menjadi seorang khalifah dengan sendirinya- sangat cepat, jika
klaim Abdullah bahwa salah satu muridnya wafat di tahun 1242/1826-7 benar. Murid ini,
Ḥusain bin Aḥmad ad-Dawsarī al-Baṣrī, seorang Arab yang berasal dari Basrah di Irak selatan,
menulis sebuah risalah yang berisi ajaran- ajaran gurunya, yang merupakan salah satu sumber
langsung yang langka tentang Isma ‘il. Hanya sedikit dari murid-muridnya yang meninggalkan
jejak tertulis atau bahkan diketahui namanya, namun jika dilihat dari reputasi Isma ‘il, banyak
atau bahkan sebagian besar orang Indonesia yang berkunjung ke Mekah pasti pernah belajar
dengannya.24

Pada saat Ismā‘īl melakukan perjalanan ke timur, ia pasti telah mengajar Naqshban-

diyya-Khalidiyya di Mekkah selama bertahun-tahun dan telah mencapai tingkat ketenaran yang
tinggi. Setibanya di Singapura, pelabuhan pertama yang disinggahi oleh para haji yang pulang,
ia diundang untuk menjadi tamu Temenggung Ibrahim, yang merupakan penguasa pribumi
tertinggi di sana. Ini adalah pertemuan langsung pertama Ismā ‘īl dengan kemajuan pesat

kolonialisme dan kemunduran politik Islam. Pada tahun 1824, ketika Ismā ‘īl berada di Mekkah,

Inggris dan Belanda telah menandatangani perjanjian yang membagi negara bagian Johor yang
merupakan wilayah Melayu-Bugis. Bagian daratan dan Singapura selanjutnya menjadi bagian
dari wilayah pengaruh Inggris, sementara bagian kepulauan (kepulauan Riau) menjadi
keresidenan yang memiliki pemerintahan sendiri di Hindia Belanda. Riau diperintah oleh
dinasti kembar, sultan-sultan Melayu dengan "raja-raja muda" Bugis (Yang Dipertuan Muda),
yang merupakan pemegang kekuasaan sebenarnya. Yang terakhir ini secara khusus berusaha
untuk mengimbangi hilangnya kemerdekaan ini dengan dukungan liberal terhadap
pembelajaran Islam dan dengan "upaya yang disengaja... untuk menarik para guru yang
memiliki reputasi di dunia Muslim.25

23
Ibid, hlm 161
24
Ibid, hlm 162
25
Ibid, hlm 162

13
Ismā‘īl menjadikan Singapura sebagai tempat singgah sementara dan mulai mengajar

Tarekat di sana, tetapi juga menyatakan keinginannya untuk mengunjungi Riau. Yang
Dipertuan Muda, Raja Ali, mengirim perahunya sendiri untuk membawa sang shaikh ke pulau
kecil Penyengat yang merupakan kediaman keluarga kedua Riau. Raja Ali sendiri dan semua
kerabatnya menjadi murid Shaikh Ismā‘īl dan selanjutnya dua kali seminggu mempraktikkan

dhikr Naqsyabandi bersama-sama. Adik Raja Ali, Raja Abdullah, kemudian diangkat menjadi
khalifah Ismā ‘īl di pulau tersebut. Shaikh Ismā ‘īl kembali ke Singapura tetapi beberapa kali

mengunjungi Riau; ia menikahi putri seorang pembesar di sana, yang memberinya seorang
putra. Dari Singapura, Ismā ‘īl juga melakukan perjalanan ke utara, pernah melakukan

perjalanan hingga ke negara bagian Melayu utara, Kedah. Pengaruhnya di sana juga masih ada;
salah satu dari dua manuskrip risalahnya yang sejauh ini diketahui diperoleh di Penang pada
tahun 1880-an). Namun, ia tampaknya tidak pernah kembali ke kampung halamannya di
Sumatra Barat, dan lebih memilih untuk menjauhi daerah-daerah yang berada di bawah
kekuasaan Belanda. Setelah beberapa tahun, ia kembali ke Mekkah, di mana ia menghabiskan
sisa hidupnya.26

Ajarannya tidak luput dari tantangan selama ia tinggal di Singapura. Seorang


cendekiawan Arab Hadrami yang juga tinggal di Singapura saat itu, Salim bin Samir,
mengkritik keras Ismā ‘īl dan menulis sebuah risalah di mana ia berpendapat bahwa Tarekat

yang diajarkan oleh lsma ‘il bertentangan dengan ortodoksi Islam. Menurut seorang pemikir
anti-Naqshbandi di kemudian hari, pertentangan ini merupakan (salah satu) alasan kembalinya
Ismā‘īlke Mekkah. Kepergian Ismā‘īl tidak berarti akhir dari Naqshabandiyyah di Riau. Raja

Ali digantikan sebagai Yang Dipertuan Muda oleh saudaranya, Raja Abdullah, yang merupakan
khalifah Shaikh Isma ‘il. Setelah kematiannya, pada tahun 1858, ia digantikan oleh Raja
Muhammad Yusuf, yang mengunjungi Mekkah dan mencari inisiasi ke dalam
Naqshabandiyyah dengan Shaikh Muḥammad Salih az-Zawawī (yang kemudian
menghabiskan sebagian besar tahun-tahun terakhirnya di Riau), Abdullah dan Muhammad
Yusuf adalah orang terakhir yang memegang posisi Yang Dipertuan Muda dan
mempertahankan independensi politik. Mereka menggabungkan kepemimpinan politik mereka
dengan kepemimpinan Tarekat, dan memimpin para bangsawan dalam pertemuan dhikr dua

26
Ibid, hlm 162

14
kali seminggu di istana. Setelah kematian Muhammad Yusuf, posisi tersebut dihapuskan oleh
Belanda, dan Riau sepenuhnya dimasukkan ke dalam Hindia Belanda. Setelah kehilangan
patronase yang tinggi, Tarekat ini hampir menghilang di Riau.27

Kurang lebih bersamaan dengan kegiatan Shaikh Ismā‘īl di Singapura,

Naqshabandiyyah (mungkin cabang Khālidiyyah) juga mulai menyebar di Jawa Tengah dan
Jawa Barat. Akan tetapi, data yang tepat sangat langka. Van den Berg menulis pada tahun 1883
bahwa pihak berwenang di Yogyakarta ingat bahwa "pengabdian [Naqshbandi] yang sama telah
dikhotbahkan pada tahun-tahun 1855, 1858, 1861, dan 1866, dan setiap kali telah memberikan
kesempatan untuk melakukan penyimpangan...”. Di daerah Cianjur, Jawa Barat, juga,
Naqshbandiyyah telah aktif sejak tahun 1850-an, seperti yang dilaporkan pada tahun 1885. Ini
bukanlah cabang Naqshbandiyyah sebelumnya yang didirikan di sana oleh khalīfah Shaikh
'Abdallah b. 'Abd al-Qahhar dari Banten, melainkan Khālidiyyah. Afiliasi ini dilaporkan
dengan Isma’il Minangkabawi.28

Satu-satunya tempat lain di Nusantara di mana Naqshbandiyyah-Khālidiyyah


tampaknya telah mendapatkan pijakan awal ini adalah Sumatera Barat. Tanggal yang tepat
untuk kemunculan pertama kali di sana tidak dapat dipastikan, tetapi kemungkinan besar di
sini pengaruh Shaikh Isma’il sangat besar. Banyak orang Minangkabau yang mengunjungi
Mekkah dan pasti telah belajar dengan para alim besar mereka di sana. Shaikh Naqshbandi
pertama di Sumatera Barat sendiri yang namanya kita ketahui dengan pasti adalah Shaikh Jalal
Ad-Din dari Cangking, yang berkembang pada tahun 1860-an, dan yang pasti merupakan
seorang pendakwah yang sangat aktif dan sukses. Pada tahun 1869, seorang residen Belanda
yang jeli memperkirakan bahwa seperdelapan dari seluruh penduduk dataran tinggi Sumatera
Barat telah bergabung dengan Naqshbandiyyah.29

Pada masa Shaikh Jalal Ad-Din, persaingan dengan pusat Shaṭāriyyah utama di Ulakan
mulai memecah belah sebagian besar masyarakat Minangkabau menjadi penganut agama
Ulakan" dan pengikut agama Cangking" yang lebih murni. Sebagian besar studi tentang sejarah
Sumatera Barat merujuk pada konflik antara Tarekat Naqshabandiyyah dan Shaṭāriyyah, tetapi
beberapa penulis memproyeksikannya lebih jauh ke dalam sejarah dari yang seharusnya.
Naqshabandiyyah, partai para haji, mewakili pihak reformis dalam konfrontasi ini, menyerang

27
Ibid, hlm 163
28
Ibid, hlm 163
29
Ibid, hlm 164

15
praktik-praktik sinkretis yang terkait dengan Tarekat saingannya. Hal ini segera diambil alih
oleh para reformis yang lebih radikal, yang mengutuk praktek- praktek Naqshbandi sebagai
bid'ah, dan memaksa Naqshabandiyyah untuk menyelaraskan diri dengan para "konservatif".30

Satu-satunya tempat lain di nusantara dimana Naqshbandiyya-Khalidiyya yang


tampaknya sudah mendapatkan pijakan awal ini adalah Sumatera Barat. Tanggal pasti
kemunculannya yang pertama di sana tidak dapat ditentukan, tetapi kemungkinan besar
pengaruh Syaikh lsma'il tampak besar di sini. Banyak orang Minangkabau yang mengunjungi
Mekkah dan pasti pernah belajar kepada alim besarnya di sana. Syaikh Naqshbandi pertama di
Sumatera Barat sendiri yang namanya kita kenal pasti adalah Syaikh Jalal Ad-Din dari
Cangking, yang berkembang pada tahun 1860-an, dan tentunya merupakan seorang dai yang
luar biasa aktif dan sukses. Pada tahun 1869, seorang penduduk Belanda yang taat
memperkirakan bahwa seperdelapan dari seluruh penduduk dataran tinggi Sumatera Barat telah
bergabung dengan Naqshbandiyya.31

Pada masa Syekh Jalal Ad-Din, persaingan dengan pusat utama Shattari di Ulakan mulai
memecah sebagian besar masyarakat Minangkabau menjadi kelompok konservatif yang
menganut "agama Ulakan" dan kelompok yang lebih murni pengikut "agama Cangking". ".
Sebagian besar penelitian mengenai sejarah Sumatera Barat mengacu pada konflik antara
Tarekat Naqshbandiyyah dan Tarekat Shaṭāriyyah, namun beberapa penulis memproyeksikan
konflik ini lebih jauh ke dalam sejarah daripada yang tampaknya benar. Naqshbandiyyah, partai
haji, mewakili pihak reformis dalam konfrontasi ini. menyerang praktik-praktik sinkretis yang
diasosiasikan dengan Tarekat saingannya, dan segera diambil alih oleh kaum reformis yang
lebih radikal, yang mengecam praktik-praktik Naqshbandi sebagai tindakan yang tidak pantas.
bid'ah juga, dan memaksa Naqshbandiyya melakukan penyesuaian kembali dengan
“konservatif”.32

D. Kebangkitan pada tahun 1880-an: koneksi dengan Mekah

Karena fasilitas pelayaran yang lebih baik – dan mungkin juga karena terbukanya
masyarakat tradisional akibat kolonialisme – jumlah jamaah haji Indonesia yang mengunjungi
Mekah dan Madinah terus meningkat, dan jumlah penduduk Indonesia (dalam bahasa Arab
semuanya dikelompokkan menjadi satu)"Jawi"). menjadi bagian penting dari populasi Mekah.

30
Ibid, hlm 164
31
Ibid, hlm 164
32
Ibid, hlm 164

16
Tepatnya pada awal ekspansi Naqshbandi yang paling cepat (dan paling mencolok) di
Indonesia, pada tahun 1885, Snouck Hurgronje menetap di Mekah untuk mempelajari mata
pelajaran Belanda ini dan kegiatan mereka di sana. Jilid kedua bukunya tentang Mekah memuat
banyak informasi berbeda Tarekat, guru dan pengaruhnya. Sejauh ini, syekh yang paling
populer pada saat itu adalah Sulaiman Efendi zawiya terletak di Jabal Abū Qubais dan oleh
karena itu orang Jawi sering disebut Syekh Jabal atau Syekh Jabal Qubais, dan saingannya
Khalil Pasha. Keduanya adalah anggota Khalidliyya, dan keduanya tampaknya lebih tertarik
pada kuantitas daripada kualitas (terutama orang Indonesia) siswa, yang menyebabkan konflik
di antara mereka. Snouck Hurgronje memandang buruk keduanya, dan membandingkannya
dengan syekh Naqshbandi ketiga, yang sangat ia hormati, Muhammad Salih az-Zawawi. Yang
terakhir ini berasal dari keluarga Arab yang sangat terpelajar, dan merupakan "seorang yang
berakal sehat, seorang ulama yang saleh dan seorang ahli mistik yang telah mendalami rahasia
Tarekat. Berbeda dengan dua syekh lainnya, dia tidak akan menginisiasi siapa pun ke dalam
Tarekat kecuali dia telah memperoleh tingkat pembelajaran yang memadai. Snouck
menyebutkan syekh Naqshbandi keempat, Khalil Efendi, namun tampaknya tidak mengetahui
lebih dari namanya.33

Tidak sulit menelusuri afiliasi keempat syekh Naqshbandi ini dengan menggunakan
silsilah Indonesia yang dirangkum dalam tabel berikut. Khalil yang disebutkan terakhir pastilah
Khalil Hilmi, khalifah dari Muhammad Jan al-Makki, yang pernah belajar dengan syekh India
Abu Sa'id al-Ahmadi (khalifah dari 'Abdallah Dihlawi) dan putranya Ahmad Sa'id. Miliknya
khalifah Muhammad Haqqi an-Nazili mempunyai beberapa murid Melayu, dan menulis sebuah
karya magis-mistis yang masih dibaca di wilayah nusantara bagian utara (yang berbahasa
Melayu).34

Keluarga Zawawi meninggalkan jejak yang lebih dalam di Indonesia. Garis yang
didirikan oleh mereka menamakan dirinya Naqshbandiyya-Mazhariyya atau Ahmaddiyya.
Yang terakhir Tuan Muda dari Riau adalah murid Muhammad Salih, dan Sultan Pontianak di
Kalimantan Barat (yang berkebangsaan Arab keturunannya sendiri) mengatur agar semua
rakyatnya di Mekah berada di bawah pengawasan Zawawi. milik Muhammad Shalih khalifah
'Abd al-'Azim al-Manduri, seorang penduduk lama Mekkah yang banyak santri Madura,
dengan tegas mendirikan Tarekat di kampung halamannya, Madura. Pada tahun 1970an
menyebar dari Madura ke berbagai pulau lainnya. Pelajar Indonesia lainnya yang cukup

33
Ibid, hlm 165
34
Ibid, hlm 165

17
berpengaruh adalah Isma'il Jabal (disebut demikian setelah ia tinggal di Jabal Hindi di Mekah),
penduduk asli Pontianak yang mengajar banyak orang Indonesia. Muhammad Salih
menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di Riau, sebagai tamu Tuan Muda, Muhammad Yusuf.
Pada tahun 1895 'Abdallah az-Zawawi juga mengunjungi Singapura, Pontianak, Kutai
(Kalimantan Timur) dan Riau, dan diterima dengan penghargaan tertinggi. Percetakan yang
baru didirikan di Riau pada tahun yang sama mencetak terjemahan bahasa Melayu dari risalah
oleh 'Abdallah dan kemudian oleh Muhammad Salih.35

Maulana Khalid telah menunjuk dua orang khalifah ke Hijaz: 'Abdallah al-Arzinjani ke
Mekah dan Khalid al·Kurdi al-Madani ke Madinah. Tidak ada tanda-tanda bahwa yang terakhir
atau keturunan rohaninya memiliki murid-murid Indonesia, tapi mungkin hal ini disebabkan
oleh kebingungan dengan Maulana Khalid sendiri. Syekh 'Abdallah dan penggantinya
Sulaiman al-Qirimi (yaitu, asal Krimea) memang mempunyai murid Indonesia, namun tak
sebanding dengan jumlah besar yang digagas Sulaiman Zuhdi, Syekh Jabal Qubais. Beberapa
silsila Indonesia menyisipkan di antara kedua Sulaiman itu seorang lsma'il al-Barusi, yang

35
Ibid, hlm 167

18
kemungkinan adalah orang Indonesia. khalifah Sulaiman al-Qirimi, membantu kedua Sulaiman
dalam berurusan dengan orang Indonesia.36

Khalil Hamdi Pasha pertama kali mempelajarinya dalam Tarekat zawiya ayahnya, Yahya
ad Daghistani, dan melanjutkan studinya setelah ayahnya meninggal di Mekkah bersama guru
Yahya, 'Abdallah Efendi, yang akhirnya mengangkatnya khalifah. Khalil berasal dari keluarga
amir dari Daghistan, dan gelar Pasha diperoleh dari karir sebelumnya di pemerintahan Ottoman.
Kredensial ini membantunya menjalin hubungan baik dengan gubernur Hijaz, 'Usman Pasha,
dan dengan Syafi'i (yang sangat berorientasi pada pemerintah). mufti dari Mekah, Ahmad b.
Zaini Dahlan yang terbukti sangat berguna dalam konfliknya dengan Sulaiman az-Zuhdi.37

Sulaiman, sebagai pasca-nishin 'Abdallah Efendi, tak ayal merasa kesal dengan
kehadiran syekh Khalidi saingannya di kota yang sama. Keduanya menuduh satu sama lain
menyimpang dari ajaran ordo yang benar. Konflik ini memuncak karena terbitnya pamflet
Sulaiman yang mengecam Khalil dan ayahnya Yahya sebagai koruptor negara. Tarekat, yang
mendorong "tarian, gerakan tubuh yang keras dan keeksentrikan serupa sebagai sarana latihan
spiritual yang lebih tinggi atau sebagai ekspresi pengalaman mistik. Khalil Pasha. memobilisasi
teman-temannya: the mufti dikeluarkan fatwa mengutuk pamflet itu sebagai fitnah, dan delapan
belas lainnya guru dari haram menandatanganinya. Gubernur kemudian memerintahkan semua
salinannya untuk dimusnahkan dan Sulaiman dipenjarakan sampai dia bersedia mematuhi
perintah yang memalukan itu dengan mengirimkan surat kepada murid-muridnya di Indonesia
untuk menarik kembali tuduhannya dan menyatakan Khalil dan dirinya sudah seperti saudara
lagi. Empat orang Indonesia khalifah Khalil Pasha mengirim surat, melaporkan fatwa dan
rekonsiliasi Sulaiman dan Khalil, kepada penguasa Melayu di Deli dan Langkat di pantai timur
Sumatera, yang berafiliasi dengan Sulaiman az Zuhdi. Tujuan mereka jelas adalah untuk
menciptakan suasana yang lebih mendukung dakwah yang dilakukan oleh Khalil Hamdi
khalifah, namun tampaknya keberhasilannya hanya sedikit atau bahkan tidak sama sekali.
Semua Khalidi hadir di Indonesia. yang saya tahu menelusuri silsilahnya Melalui Sulaiman
Zuhdi, garis-garis yang diusung Khalil Hamdi seakan punah semua. Selain pantai timur
Sumatera, Sulaiman punya banyak sekali khalifah di Sumatera Barat dan Tengah, serta di Jawa
Tengah dan Barat. Banyak peziarah yang kembali pada tahun 1880an dan 1890an membawa
salinan koleksi risalah oleh Sulaiman yang masih digunakan di berbagai penjuru nusantara.38

36
Ibid, hlm 157
37
Ibid, hlm 157
38
Ibid, hlm 158

19
Syekh Naqshbandi berpengaruh lainnya, yang menghabiskan satu dekade di Madinah
pada akhir abad ke-19, sebelum menetap di Kairo, adalah Muhammad Amin al-Kurdi (w. 1914).
Afiliasinya adalah dengan cabang Tarekat Kurdi (yaitu Hauraman), dan dia merupakan
generasi ketiga setelah Maulana Khalid. Sekitar pergantian abad, sebagian besar Naqshbandi
Minangkabau adalah murid Sulaiman az-Zuhdi atau Muhammad Amin atau keduanya. milik
Muhammad Amin Tanwir al-qulub (yang memuat petunjuk jelas tentang amalan Naqshbandi)
dan karyanya Kitab al-Mawāhib (hagiografi syaikh Naqshbandi) yang pernah dan terkenal di
Indonesia; yang pertama berulang kali dicetak ulang di sana. Namun, karya Naqshbandi yang
paling sering dipelajari masyarakat Indonesia pada sekitar pergantian abad, selain karya
Sulaiman az-Zuhdi majmūʿa Jāmiʿ al-uṣūl fī 'l-awliyā' oleh Khaidi Ahmad Diya' ad-Din
Gumushkhanawi dari Turki.39

Sepeninggal Sulaiman, ia digantikan oleh putranya 'Ali Ridha, yang kembali mengangkat
banyak khalifah Indonesia, khususnya di Sumatera Barat dan seluruh Jawa. Pada bagian yang
samazawiya di Jabal Abū Qubais setidaknya ada satu lainnya khalifah Sulaiman az-Zuhdi,
Shaikh 'Uthman Fauzi, yang terjadi pada beberapa silsilah sumatera. Sebuah laporan Belanda
anonim dari tahun 1915 menyebutkan tiga syekh Naqshbandi yang kemudian memiliki banyak
pengikut di kalangan masyarakat Indonesia: 'Utsman Efendi, 'Ali Efendi dan Khalid Efendi.
Dua orang pertama jelas adalah orang-orang Jabal Abu Qubais; Saya belum dapat
mengidentifikasi yang ketiga.40

Selain ketiga cabang Naqshbandiyya tersebut, ada satu cabang lagi Tarekat yang menarik
banyak murid Indonesia, Naqshbandiyya Qadiriyya. Pendirinya adalah Ahmad Khatib dari
Sambas. (kesultanan Melayu di Kalimantan Barat), yang meninggal di Mekah pada atau sekitar
tahun 1878. Qadiriyya wa Naqshbandiyya sebenarnya adalah satu kesatuan yang terpisah.
Tarekat, menggabungkan Qadiriyya dengan unsur-unsur dari Naqshbandiyya. Buku teks
dasarnya adalah (Melayu) Fatḥ al-'Ārifīn, yang berisi ajaran dasar Ahmad Khatib yang ditulis
oleh seorang murid. Ini secara ringkas menggambarkan bai'a, pengabdian, itu dhikr (termasuk
dhikr lata'if) dan teknik spiritual lainnya dari kedua ordo, dan dua puluh meditasi tambahan
(muraqabah). Itu hanya menyebutkan satu silsila saja, yang pastinya Qadiri, meskipun tidak
ada satupun nama antara 'Abd al-Qadir dan Ahmad Khatib yang dapat dikenali. Oleh karena
itu, masih belum jelas cabang Naqshbandiyya mana yang berafiliasi dengan Ahmad Khatib,

39
Ibid, hlm 168
40
Ibid, hlm 169

20
dan apakah ia memiliki guru Naqshbandi terpisah atau mempelajari keduanya ṭuruq dengan
guru yang sama, Syams ad-Din tertentu.41

Syaikh Ahmad Khatib memiliki banyak murid Indonesia dan diangkat khalifah ke
berbagai penjuru nusantara, dari sumatera hingga lombok. Salah satunya, 'Abd al-Karim dari
Banten, salah satu ulama paling terpelajar dan dihormati di kalangan ulama Jawi' yang tinggal
di Mekah, menggantikannya sebagai kepala nominal dewan. Di bawah pengaruh 'Abd al-Karim,
Tarekat itu menjadi sangat populer di Banten, terutama di kalangan penduduk desa miskin. Hal
ini mendorongnya untuk berperan sebagai jaringan komunikasi dan koordinasi ketika
pemberontakan petani besar-besaran pecah di Banten pada tahun 1888. Di tempat lain di
Indonesia, Qadiriyya wa Naqshbandiyya tampaknya telah menemukan (dan mungkin juga
secara tegas mencari) pengikutnya di antara para pengikutnya. kelas populer - tidak seperti
kelompok Naqshbandiyya, yang cenderung melakukan dakwah di kalangan elit terlebih
dahulu.42

Selama Syaikh ‘. Abd a.I-Karim masih hidup, tatanannya tetap terpusat; dia secara umum
diakui sebagai kepala titulernya. Tak satu pun penerusnya mencapai tingkat pengakuan yang
sama, dan ordo tersebut terpecah menjadi cabang-cabang terpisah. Penting lainnya khalifah
Ahmad Khatib adalah Syaikh Tolha di Cirebon dan Kyai Ahmad Hasbullah b. Muhammad,
penduduk Mekah. Pusat-pusat utama saat ini Tarekat berasal dari ketiga hal tersebut khalifah;
Selain itu, masih banyak cabang lokal yang kurang penting.43

E. Ekspansi di Indonesia: secara geografis dan sosial

Syaikh seperti Sulaiman az-Zuhdi, Ahmad Khatib dari Sambas dan 'Abd al-Karim dari
Banten tidak diragukan lagi adalah tokoh-tokoh yang kuat dan memiliki karisma. Berkontribusi
pada popularitas ketertiban dan kesetiaan yang kuat dari murid-murid mereka. Namun mereka
tidak akan mampu memberikan pengaruh sebesar itu jika jumlah peziarah tidak meningkat
secara drastis pada paruh kedua abad kesembilan belas. Sekitar tahun 1850, sekitar dua ribu
orang Indonesia secara resmi mendaftar haji setiap tahunnya; sekitar tahun 1880, konsulat
Belanda di Jeddah menghitung rata-rata lebih dari enam ribu peziarah per tahun. Banyak dari
para haji ini (ratusan atau setidaknya puluhan orang yang datang setiap tahunnya, sama seperti
di masa lalu, tetap berada di Mekah selama beberapa waktu untuk melanjutkan studi agama,

41
Ibid, hlm 169
42
Ibid, hlm 169
43
Ibid, hlm 170

21
yang kurang lebih serius. Di antara mata pelajaran yang dipelajari, adalah Tarekat (khususnya
Naqshbandiyya dan Qadiriyya wa Naqshbandiyya.) mempunyai tempat yang menonjol.
Mungkin ini salah satu penyebabnya, seperti yang dikomentari Snouck Hurgronje dengan nada
mencemooh, karena banyak yang lebih suka membaca wirid Dan dhikr daripada mempelajari
teks-teks yang sulit. Hal ini juga pasti bahwa praktik mistik dan kebaktian dari Tarekat sesuai
dengan kecenderungan spiritual banyak orang Indonesia. Dan nilai simbolis dari pintu masuk
ke Tarekat tidak boleh diremehkan.44

Haji mewakili, bagi orang Indonesia yang melaksanakannya, ritus yang lain Tarekat:
status mereka dalam masyarakat berubah, namun masyarakat juga mengharapkan perubahan
perilaku yang signifikan dari mereka. Keduanya diungkapkan dengan berbagai simbol yang
mengasosiasikannya dengan Arab: mereka yang memiliki nama non-Arab akan mengubahnya
menjadi nama Islami, banyak yang akan menumbuhkan janggut, semuanya akan
mempengaruhi pakaian dan sorban putih "Arab". Di banyak tempat, para haji dan orang-orang
yang berada di bawah pengaruh mereka akan melakukan perubahan-perubahan kecil dalam
ritual sesuai dengan praktik-praktik Arab (dan mungkin lebih Islami) (misalnya, dalam
penentuan akhir puasa), dan mengubahnya menjadi perbedaan besar dengan "tradisionalis".
Dan selama beberapa dekade, Tarekat, khususnya Naqshbandiyyah, juga menjadi salah satu
simbol Mekah. Itu ṭuruq berkembang pada akhir abad ke-19, dan sangat mencolok di Mekah.
Hingga aliran reformis yang lebih besar memperoleh pengaruh di Mekah, keanggotaan
Naqshbandiyya, dengan ijazah dari seorang ustad Mekkah, mempunyai cap keaslian Islam.
Apalagi pintu masuk ke dalam Tarekat, dengan pernyataan resmi pertobatannya (menyesali),
sumpah (bai'a) dan devosi baru, memperkuat ritus Tarekat aspek haji.45

Bagian dari Nusantara yang mengirim jumlah terbesar peziarah ke Mekah adalah Jawa
Barat (suku Sunda), Jawa Tengah dan Timur (Jawa dan Madura), Sumatera Barat (terutama
Minangkabau) dan Kalimantan Tenggara (Banjar). Ini juga, tidak mengherankan, daerah-
daerah di mana Naqshabandiyyahh menunjukkan pertumbuhan yang paling luar biasa dengan
pengecualian wilayah terakhir. Sumatera Barat disebutkan di atas sebagai wilayah dengan
kepadatan Naqsabandiyyah tertinggi; aktivitas di Jawa Barat dan di sepanjang pantai utara
Jawa Tengah.46

44
Ibid, hlm 170
45
Ibid, hlm 170
46
Ibid, hlm 171

22
Seorang Abd al-Qādir dari Semarang (di pantai utara), yang ditunjuk sebagai khalifah
oleh Sulaiman az-Zuhdi pada tahun 1878-9, dengan cepat mendapatkan banyak pengikut di
wilayah asalnya - terutama di kalangan kelas bawah. Pada tahun 1883, ia memiliki dua puluh
delapan deputi (wakil) di berbagai tempat di pantai utara. Dia juga mengirim utusan ke kota
pengadilan Yogyakarta (di pedalaman Jawa Tengah), yang segera diusir oleh aristokrasi,
dengan dukungan Belanda. Naqshabandiyyahh sangat tidak dipercaya di sana karena khotbah-
khotbah para propagandis tarekat sebelumnya, pada tahun 1850-an dan 1860-an, telah
menemukan respon yang besar di kalangan orang miskin dan dilaporkan menyebabkan
gangguan). Pengikut 'Abd al-Qadir yang berkembang pesat (dan mungkin keluhan aristokrasi
Yogyakarta) begitu mengkhawatirkan Belanda sehingga mereka menangkap syekh dan
mengirimnya ke pengasingan ke salah satu pulau terluar). Garis keturunan 'Abd al-Qadir
tampaknya punah saat ini. Khalifah lain dari Sulaiman az-Zuhdi di wilayah yang sama lebih
beruntung. Muhammad Hadi dari Girikusumo (dekat Semarang) adalah orang Iese yang
mencolok tetapi juga menunjuk banyak khalifa. Salah satu putranya, Mansur, belajar fiqih di
pesantren Jainearen yang disponsori pengadilan di Solo, pusat pengadilan Jawa lainnya, dan
kepercayaan ini memberi tarekat jembatan di sana. Mansur mendirikan pesantren sendiri di
dekat Solo, di mana ia mengajarkan tarekat kepada ribuan orang dan menunjuk beberapa
khalifah penting. Keturunan spiritual Muhammad Hadi'e membentuk jaringan di seluruh Jawa
Tengah; Jumlah total murid mereka harus lebih dari seratus ribu). Jaringan serupa menyebar
dari kabupaten Banyumas di barat daya Jawa Tengah (di mana Muhammad Ilyas dari Sulta raja
adalah propagandis utama), dan ada beberapa jaringan lokal di seluruh Jawa.47

Di antara orang Sunda Jawa Barat., Khalidiyya Naqshabandiyyahh. menyebar dengan


cepat juga, terutama di kabupaten Bogor dan Cianjur yang disebutkan sebelumnya. Jumlah
pengikut tampaknya telah membengkak besar di sini setelah letusan dramatis Krakatau pada
tahun 1883, yang pertarungan harapan chiliastic yang kuat di seluruh Jawa Barat. Lebih jauh
ke timur, di pulau Madura, itu adalah Naqshabandiyyahh. Mazhariyya yang, dari tahun 1890-
an, memperoleh banyak pengikut, karena khalifah Muhammad Salih al-Zawawi 'Abd al-'Azim
al-Manduri, yang di Mekah memprakarsai banyak rekan Madura dan menunjuk beberapa
khalifah di pulau itu.48

Snouck Hurgronje memperhatikan bahwa hampir semua orang Sumatra tinggal di Mekah.
pada tahun 1880-an mengikuti tarekat, baik Naqshabandiyyahh atau Qadiriyah. (artinya dengan

47
Ibid, hlm 171
48
Ibid, hlm 172

23
yang terakhir 'Abd aI-Karim Banten Qadiriyya wa Naqshabandiyyah). Ekspansi
Naqshabandiyyahh yang cepat. di antara Minangkabau Sumatera Barat telah dirujuk pada
bagian sebelumnya. Pertumbuhan ini dipertahankan pada masa Sulaiman az-Zuhdi dan
putranya 'Ali Rida., yang keduanya memiliki banyak khalifah di wilayah ini). Khalifah
Sulaiman yang paling luar biasa di Sumatra, bagaimanapun, bukanlah Minangkabau tetapi
seorang Melayu dari pantai timur, 'Abd al-Wahhab Rokan. Syaikh Abd al-Wahhāb pastilah
salah satu Naqshbandi paling produktif yang pernah ada; dia hidup hampir satu abad (atau
bahkan 115 tahun, menurut legenda keluarga), menikahi setidaknya dua puluh tujuh istri,
melahirkan empat puluh tiga anak, dan menunjuk seratus dua puluh khalifa, kebanyakan dari
mereka di Sumatra. tetapi juga delapan di daratan Malaya). Salah satu khalifah ini adalah sultan
Langkat (dekat Medan), yang yurisdiksinya syekh mendirikan pesantrennya dan sebuah desa
yang dihuni oleh keturunannya, Babussalaam. Ini masih merupakan salah satu pusat utama,
mungkin yang terbesar, dari Naqshabandiyyahh Indonesia.49

Sultan Langkat bukan satu-satunya penguasa pribumi yang bergabung dengan


Naqshabandiyyahh. Sultan Deli (di wilayah yang sama dekat Medan) juga seorang murid
meskipun bukan khalifa. Sultan Pontianak (Kalimantan Barat) dan Yang Dipertuan Muda Riau
adalah murid Muhammad Sa.lih al-Zawawi, dan putra yang terakhir 'Abdallah
menginstruksikan sultan Kutai di Kalimantan Timur. Di tempat lain juga, propagandis
Naqshbandi menunjukkan preferensi yang jelas untuk dakwah di kalangan elit Syekh
Minangkabau, Tuanku Syekh Lebuh, menikah dengan keluarga pangeran Minangkabau dan
mendapatkan banyak pengikut di kalangan bangsawan). Di Cianjur (Jawa Barat), hampir
seluruh aristokrasi bergabung dengan Naqshabandiyye). Di tempat lain di Jawa., Naqshbandi
Asal-usul dan Perkembangan Tarekat Naqshbandi di Indonesia.50

Guru-guru mengikuti kebijakan yang sama untuk menghindari masalah dengan Belanda:
pada awalnya sebanyak mungkin anggota elit tradisional dan elit baru pegawai pemerintah
direkrut ke dalam ordo, bersama dengan istri dan kerabat lainnya. Setelah ini bergabung, ordo
itu aman dan juga menarik bagi orang-orang dari strata yang agak rendah juga Partisipasi elit
secara efektif melindungi kegiatan ordo dari pandangan Belanda, karena Belanda sangat
bergantung pada elit ini untuk informasi mereka.51

49
Ibid, hlm 172
50
Ibid, hlm 173
51
Ibid, hlm 173

24
F. Polemik

Naqshabandiyyahh yang menyebar dari pusat Mekah di atas Nusantara sampai batas
tertentu dapat dilihat sebagai gerakan reformasi agama. Khalidiyya dan khususnya Mazhariyya
yang diajarkan oleh al-Zawawi lebih berpikiran syariah daripada kebanyakan ṭuruq
sebelumnya yang ada di Indonesia, dan menentang doktrin wahdal al-wujud, yang, antara lain,
dianut oleh tarekat Shattariyya dan Khalwatiyya yang populer, dan yang di Indonesia dengan
mudah berasimilasi dengan keyakinan mistik monistik pra-Islam. Aspek reformisme ini paling
baik didokumentasikan di Sumatera Barat, di mana Naqshabandiyyah bertentangan secara
terbuka dengan Shattariyya dan aspek-aspek tertentu dari adat istiadat setempat. Terdapat
sedikit bukti mengenai konflik serupa di Jawa, namun jelas bahwa perkembangan tarekat di
sana juga disertai dengan kepatuhan yang lebih ketat terhadap kewajiban-kewajiban kanonik,
yang oleh Belanda dianggap sebagai peningkatan kehadiran di masjid-masjid, dan disebut
sebagai “fanatisme”.52

Namun, pada pergantian abad, arus reformis yang lebih radikal memperoleh pengaruh di
Mekah dan karenanya di Indonesia, dan Naqshabandiyyahh sendiri menjadi objek kritik
reformis. Para kritikus sebelumnya, seperti Salim ibn Samir dan Sayyid Usman, tidak
menyerang tarekat seperti itu tetapi mencela syekh berpengaruh sebagai "guru palsu". Kaum
reformis baru mengutuk doktrin dan praktik Naqshabandiyyahh yang paling sentral sebagai
bid'ah dan syirik. Serangan besar datang dari salah satu penduduk ulama Minangkabau di
Mekah, Ahmad Khatib, yang terutama dikenal karena kritik kerasnya terhadap adat matrilineal
dari kelompok etnisnya sendiri. Pada tahun 1906-1908 ia menulis tiga traktat menentang
Naqshabandiyyahh, yang membentuk bahan sumber untuk semua polemik anti-Naqshbandi
berikutnya). Satu demi satu ddhikr lata'if, suluic atau khalwat, khatm-i khwajagan, dan rabita
bi' shaikhi, menunjukkan bahwa mereka telah diperkenalkan oleh para mistikus kemudian, dan
karena itu tanpa besis dalam prectice Nabi dan Komision. Menambahkan devosi semacam itu
pada e.ccount sendiri, ia berpendapat, tunggangan untuk penolakan perintah-perintah ilahi dan
karena itu merupakan bentuk bid'a yang sangat tercela.53

Serangan Ahmad Khatib segera dijawab dengan traktat permintaan maaf oleh Syekh
Minangkabau Naqshbandi Muhammad Sa'd b. Tanta' dari Mungka dan murid Ahmad Khatib
sendiri, Khatib 'Ali (Muhammad 'Ali b. 'Abd al-Muttalib). Perdebatan berlanjut, paling kuat di

52
Ibid, hlam 173
53
Ibid, hlm 174

25
kalangan Minangkabau tetapi dengan impek di seluruh Nusantara. Sekitar waktu yang sama
pengaruh reformis Al-Azhar mulai menyebar di Indonesia Dan dengan itu penolakan yang
bahkan lebih umum terhadap tarekat dan gagasan wasila. Tarekat dipaksa menjadi defensif,
dan dalam banyak kasus menjadi ailiance dengan kekuatan tradisi yang pada awalnya
ditentangnya. Proses ini adalah usia terbaik didokumentasikan untuk Sumatera Barat, di mana
Naqshabandiyyahh adalah (dan masih) paling kuat ditanamkan. Tetapi di Jawa juga, organisasi-
organisasi reformis seperti al-Irahad (didirikan pada tahun 1913) dan Muhammadiyah (1912),
sangat di bawah pengaruh ide-ide Muhammad 'Abduh, dengan tegas menentang ṭuruq). Oleh
karena itu, guru-guru ṭuruq berkumpul, dan mengambil bagian aktif dalam organisasi Muslim
"tradisionalis" yang didirikan sebagai tanggapan terhadap reformisme, Nahdlatul Ulama yang
berbasis di Jawa (1926) dan terutama PERTI yang berbasis di Minangkabau (1928). Islam
Indonesia menjadi sangat terpolarisasi menjadi blok "modernis" dan "tradisionalis", ṭuruq
dianggap yang paling "ekstrem" di antara yang terakhir.54

Naqshabandiyyahh mulai kehilangan pengaruh sejak pergantian abad, karena


kebangkitan reformisme modern. Fectors lain juga berkontribusi pada penurunan ṭuruq
Sementara tarekat untuk beberapa waktu juga menjadi kendaraan ketidakpuasan dengan
pemerintahan kolonial Belanda, asosiasi nasionalis pertama, yang didirikan pada tahun 191-an,
menawarkan bentuk organisasi yang lebih tepat kepada yang tidak puas. Di berbagai bagian
Nusantara, perjuangan sengit untuk pengaruh terjadi antara (Qadiriyya wa Naqshabandiyyah
dan organisasi massa pertama Sarelcat lslam, dengan keanggotaan yang tumpang tindih; dalam
semua kasus tarekat shaikha akhirnya kalah dari organisator politik yang lebih profesional).
Faktor eksternal yang sangat penting adalah penaklukan Mekah oleh lbn Sa 'ud pada tahun
1924, dan akibatnya larangan perintah di sana. Zawiya pusat di Jabal Abū Qubais dihancurkan,
dan semua pengikut Naqshbandi meninggalkan kota. Naqshabandiyyahh Indonesia sejak saat
itu harus melakukannya tanpa dorongan dari luar negeri.55

G. Khālidiyah Naqshabandiyyahh Indonesia setelah 1925

Kemunduran Naqshabandiyyahh yang telah terjadi selama dekade pertama abad ini sama
sekali bukan proses yang seragam dan berkelanjutan. Ada beberapa pembalikan, dan
kemunduran di beberapa front dikompensasi oleh kemajuan di tempatlain, sangat tergantung
pada konjungtur politik. Selama enam puluh tahun terakhir, tarekat menyebar ke banyak daerah

54
Ibid, hlm 174
55
Ibid, hlm 175

26
di mana sebelumnya hampir tidak ada. Kemunduran Naqshabandiyyahh yang telah terjadi
selama dekade pertama abad ini sama sekali bukan proses yang seragam dan berkelanjutan.
Ada beberapa pembalikan, dan kemunduran di beberapa front dikompensasi oleh kemajuan di
tempatlain, sangat tergantung pada konjungtur politik. Selama enam puluh tahun terakhir,
tarekat menyebar ke banyak daerah di mana ia hekspansi paling spektakuler dikaitkan dengan
kegiatan satu orang, guru Minangkabau Shaikh Jalaluddin dari Bukittinggi.56

Shaikh Jalaluddin, seorang khalifah dari Shaikh 'Ali Ridha dari Jabal Abu Qubais,
menjadi terkenal secara nasional pada 1950-an sebagai pemimpin sebuah partai politik kecil,
Partai Politik Thariqat Islam (PPTI). Dalam buku-buku dan pamflet-pamfletnya yang
kemudian, ia mengklaim bahwa PPTI telah didirikan pada awal tahun 1920; inisial kemudian
berdiri untuk PerBatuan Pembela Thariqat Islam (Persatuan Pembela Tarekat Islam). Tanggal
itu mungkin membingungkan; Syekh awalnya adalah anggota PERTI (Peraatuan Tarbiyah
Islam, Asosiasi Pendidikan Islam), di mana ulama tradisional Sumatera Barat yang lebih
tercerahkan bersatu pada tahun 1928 untuk melawan pengaruh reformis Muhammadiyah.
Nama PPTI pertama kali terdengar setelah Syaikh Jalaluddin dan beberapa pengikutnya pergi,
PERTI karena konflik. Banyak Naqshbandi lainnya, kebetulan, tetap tinggal di PERTI. Syekh
membentuk PPTI-nya menjadi partai politik pada tahun-tahun pertama perjuangan
kemerdekaan (pada tahun 1945, menurut klaimnya sendiri). Pada 1950-an dan awal 1960-an,
semakin banyak syekh Naqshbandi bergabung dengan PPTI; beberapa kemudian mengklaim
bahwa mereka merasa terpaksa melakukannya karena hubungan dekat Shaikh Jalaluddin
dengan presiden Sukarno, yang ia eksploitasi dengan cerdik. PPTI selamat dari kejatuhan
Sukarno; pada tahun 1968 menjadi organisasi anggota asosiasi "kelompok fungsional" yang
disponsori militer Golkar, dan terus berkembang di bawah perlindungan yang kuat. Pada tahun
1973, tiga tahun sebelum kematiannya, Syekh mengklaim keanggotaan tidak kurang dari tiga
juta.57

Syaikh Jalaluddin lebih dari sekedar organisator dan politisi yang pandai. Dia adalah
seorang penulis yang sangat produktif, menerbitkan lebih dari seratus buklet dan brosur), yang
sejauh ini merupakan korpus paling signifikan dari literatur Naqshbandi yang diproduksi di
Indonesia. Rahaaw Mutwra-nya mungkin berisi deskripsi paling lengkap dan eksplisit tentang
dzikr Naqshbandi dan ritual lainnya dalam bahasa apa pun), dan Pertahanan at-Thariqat an-
Naqshabandiyyah-nya adalah salah satu permintaan maaf yang paling kuat dari tarekat ageinst

56
Ibid, hlm 175
57
Ibid, hlm 175

27
serangan oleh Ahmad Khatib dan reformis lainnyac 115). Syaikh Jalaluddin tidak hanya
mengorganisir syaikh lain di bawah panji organisasinya, ia juga menunjuk banyak khalifah,
yang ia kirim ke bagian lain Nusantara. Mereka menyebarkan Naqshabandiyyahh ke Sulawesi
Selatan (Sulawesi), Kalimantan Selatan (Kalimantan), dan ke kabupaten Jawa dan Sumatra di
mana sebelumnya belum ada. Pengaruh Syaikh juga menyebar melampaui perbatasan
Indonesia ke Malaysia). Reputasinya menarik Naqshbandi dari seluruh negeri, termasuk syekh
dari afiliasilain, ke kediamannya untuk melakukan khalwat di bawah bimbingannya. Tulisan-
tulisannya membentuk bahan sumber utama untuk beberapa karya serius kemudian tentang
tarekat.58

Namun, tidak semua orang menerima ajaran Syaikh Jalalddin sebagai representasi yang
tepat dari Naqshabandiyyahh. Penafsirannya yang tidak konvensional terhadap ayat-ayat
Alquran tertentu menjadi usang dengan beberapa rekannya. Asumsinya, apalagi, tentang gelar
Doktor (dan kemudian bahkan Profesor), dan owal terbaik liberalnya dari ijaza dan gelar yang
sama untuk khalifah yang dilatih haif mendapat banyak kritik Pada tahun 1954, tiga puluh
empat syekh Naqshbandi dan khalifah di Sumatera Barat., Di bawah naungan PERTI,
mengeluarkan fatwa ageinst tulisan-tulisan Jalaluddin, yang berisi, dalam pandangan mereka,
banyak kesalahan dan distrik, hadits palsu, dan inovasi dalam teknik tarekat). Sepertinya fatwa
itu. terinspirasi tidak hanya oleh keprihatinan atas eksentrisitas Syaikh Jalaluddin yang tak
terbantahkan tetapi juga oleh persaingan yang lebih duniawi, yang sebelumnya menyebabkan
putusnya Syekh dengan PERTI. Bintang Syaikh Jalaluddin meningkat pesat, dan fatwa itu sama
sekali tidak efektif dalam menghalangi pendakiannya. Banyak khalifah dari mereka yang
mengutuknya kemudian bergabung dengan PPTI-nya.59

Salah satu inovasi yang dikritik menyangkut bai'a, yang dikembangkan menjadi ritual
inisiasi yang rumit. Setelah ritual wudhu malam dan tauba, deklarasi pertobatan atas dosa masa
lalu, murid ditutupi kain kafan dan ditidurkan di sisi kanannya, menghadap kiblat. Dalam
tidurnya ia harus memiliki salah satu dari dua puluh satu jenis mimpi tertentu (bertemu Nabi,
dll), di mana sebuah rahasia terungkap. Jika dia tidak dapat mengingat mimpi seperti itu,
prosedur diulang pada malam berikutnya, dan mungkin lagi, sampai mimpi terjadi. Jika murid
dapat menceritakan mimpi, ia memiliki, setelah shalat subuh, tawajjuh pertamanya dengan
syaikh. Memegang salah satu ujung tali atau kain kafan, sementara sha.ikh memegang ujung

58
Ibid, hlm 176
59
Ibid, hlm 176

28
lainnya, ia membacakan sumpah resmi kesetiaan kepada syekh. Dia kemudian menerima
instruksi formal pertamanya (talqin) dan untuk pertama kalinya melakukan dhikr qalbi.60

Ritual inisiasi ini, lengkap dengan kematian simbolis dan penguburan, keadaan
menengah (mimpi) dan kelahiran kembali, mungkin merupakan salah satu indikasi pertama
dari Indonesia. - nisasi Khalidiyya Naqshabandiyyahh. Tak satu pun dari unsur-unsurnya secara
khusus Indonesia - pada kenyataannya, semua dapat ditemukan dalam tradisi Naqshbandi,
meskipun tidak digabungkan dengan cara yang sama. Dalam bentuknya yang sekarang, bai'ah
lebih mengingatkan pada ritual inisiasi pra-Islam, maka dalam bentuk yang lebih sederhana
dibutuhkan di tempalain. Keberhasilan Syaikh Jalaluddin dalam menyebarkan tarekat ke
daerah-daerah baru mungkin sebagian disebabkan oleh attreksi yang ditawarkan oleh ritual
simbolis yang kaya ini.61

H. Mazhariyya setelah tahun 1925

Seorang syaikh Naqshabandi lain yang berhasil menyebarkan Tarekat (aliran atau jalan
spiritual) ke wilayah baru adalah Sayyid Muhsin ‘Ali al-Hinduan. Beliau adalah salah satu
anggota komunitas Arab Indonesia yang bergabung dengan Tarekat lokal. Sayyid Muhsin
berasal dari pulau Madura, dan dia diinisiasi kedalam Naqshabandiyyah Mazhariyya oleh salah
satu syaikh Madura, yaitu Sham ad-Din.62 Dengan kata lain, Sayyid Muhsin 'Ali al-Hinduan
adalah seorang anggota komunitas Arab Indonesia yang memperluas pengaruh dan ajaran dari
Tarekat (aliran spiritual) ke wilayah baru, dan beliau memulai perjalanan spiritual ini setelah
bergabung dengan Tarekat lokal. Beliau berasal dari pulau Madura dan menerima inisiasi ke
dalam Naqshabandiyyah Mazhariyya dari salah satu syaikh Madura, yaitu Sham ad-Din.63

Meskipun Muhammad salih dan ‘Abdullah Zawawi memiliki murid diberbagai


kepulauan, namun hanya di Madura sajalah Tarekat Mazhariyya berhasil berkembang dengan
pesat. Di Madura, dan beberapa komunitas Madura yang besar yang berada di Indonesia (Jawa
Timur Jakarta dan juga Kalimantan Barat), Tarekat ini menjadi Tarekat yang sangat
berpengaruh, syaikh-syaikhnya atau tokoh-tokohnya memiliki pengaruh kharismatik yang
tidak tertandingi di tempatlain. Selama beberapa dekade terakhir, Adanya kepemimpinan
kolektif dari Tarekat yang dipimpin oleh empat syaikh; setelah kematian salah satu dari mereka,
tiga yang masih hidup memilih salah satu khalifa lain untuk menjadi anggota keempat.

60
Ibid, hlm 176
61
Ibid, hlm 177
62
Ibid, hlm 177
63
Ibid, hlm 177

29
Keempatnya secara bergantian mengunjungi komunitas Madura besar yang ada di Kalimantan
Barat, dan murid-muridnya yang ada disana memberikan penghormatan yang sama kepada
mereka semua, tanpa memandang siapa yang telah meneria bai’a mereka.64

Sayyid Muhsin 'Ali, setelah belajar dengan tiga syaikh di Madura, diangkat menjadi
khalifa oleh syaikh ketiga. Setelah itu, ia diakui sebagai salah satu syaikh terkemuka dan
dengan cepat meningkatkan jumlah pengikutnya di kalangan penduduk Madura. Yang menarik
adalah bahwa ia tidak hanya membatasi upayanya pada orang Madura, tetapi juga berusaha
mendirikan kelompok pengikut di antara kelompok etnislain. Pada akhir tahun 1960-an,
sekelompok pertama pengikutnya dibentuk di Sulawesi Selatan, yang kemudian berkembang
menjadi jaringan cabang dengan sekitar seribu anggota aktif di provinsi tersebut. Selanjutnya,
beberapa cabang juga didirikan di Kalimantan Selatan.65

Ambisi Sayyid Muhsin 'Ali menyebabkan konflik dengan shaikh lainnya, yang semakin
memburuk karena beberapa keunikan dalam ajarannya. Dia menolak untuk mengajarkan dhikr
lata'if kepada semua murid kecuali yang paling maju, dan melarang mereka mengikuti guru-
guru lain, karena dia menganggap tidak ada shaikh lain yang cukup berpengetahuan. Konflik
ini tidak merugikannya; selama hidupnya, karismanya membuatnya bersinar di atas semua
shaikh lainnya. Pendapat rendahnya terhadap orang lain juga mencegahnya untuk mengangkat
seorang khalifa; dia memerintahkan murid- muridnya untuk menjalani rabita hanya dengan
dirinya sendiri, bahkan setelah kematiannya. Beberapa muridnya masih membentuk komunitas
terpisah, mengklaim kontak dengan dia melalui mimpi; namun, sebagian besar telah memilih
salah satu shaikh Madura sebagai guru spiritual baru mereka. Sayyid Muhsin 'Ali tidak
meninggalkan warisan yang banyak; dia menulis beberapa singkat, tetapi ini tidak memiliki
minat khusus.66

I. Pengaruh Naqhsabandi yang tersebar luas

Selain dari ekspansi Naqshbandiyya sebagai sebuah Tarekat, penting juga untuk
memberikan perhatian kepada keberadaan ajaran dan praktik yang berasal dari Naqshbandiyya
atau guru-guru Naqshbandi namun tidak terkait dengan Tarekat terorganisir. Salah satu indikasi
dari hal ini adalah penggunaan luas karya Tanwīr al-Qulūb karya Muhammad Amin al-Kurdi,
yang dapat ditemukan di seluruh Nusantara dan dipelajari di beberapa madrasah yang tidak

64
Ibid, hlm 177
65
Ibid, hlm 177
66
Ibid, hlm 178

30
mengajarkan dhikr (dhikr). Bukan hanya bagian pertama yang membahas fiqh yang dipelajari,
tetapi juga bagian kedua digunakan sebagai buku teks tentang tasawwuf (mystisisme Islam)
dan sumber pengetahuan umum tentang Tarekat. Bahkan, karya ini digunakan oleh pengikut
ṭuruq (jalan-jalan spiritual) lainnya. Di berbagai bagian Sulawesi Selatan, ulama tradisional
mengajarkan kepada murid-murid mereka aurad (dhikr-dhikr) yang terkait dengan
Naqshbandiyya, dan terkadang juga dhikr qalbi (dhikr hati); ini telah menjadi bagian integral
dari ibadah yang ortodoks, dipraktikkan secara pribadi tanpa organisasi atau kepemimpinan
apa pun. Di Indonesia, terutama di Jawa, terdapat berbagai aliran mistik non-Islam, yang
dikenal dengan sebutan aliran kebatinan atau aliran kepercayaan67

Meskipun beberapa dari mereka tidak diakui sebagai Muslim, banyak di antara mereka
menunjukkan pengaruh Islam yang kuat dalam terminologi, keyakinan, dan praktik-praktik.
Hal ini mungkin disebabkan oleh ajaran sufi yang telah meresap ke dalam budaya Jawa baik di
kalangan masyarakat umum maupun kalangan elit. Pada masa lalu, terutama aliran Shattariyya
telah meninggalkan jejaknya dalam budaya Jawa, dan dalam waktu yang lebih baru, pengaruh
dari aliran Naqshbandiyya dengan praktik ddhikr diam dan latihan-latihan mirip meditasi
tampaknya memiliki dampak yang signifikan68.

Pendiri salah satu aliran kepercayaan terbesar, yang dikenal secara internasional
sebagai Subud, pada awalnya memiliki keterkaitan yang samar-samar dengan seorang guru
Naqshbandi. Namun, pengaruh ini tidak hanya berjalan satu arah. Ada beberapa syaikh
Indonesia yang secara nominal mengikuti Tarekat Naqshbandi, tetapi ajaran dan praktik
"magis" mereka sebenarnya sangat sinkretis.

Tarekat Naqshbandiyya telah tumbuh kuat di Indonesia dan telah menjadi bagian dari
kekuatan yang berkontribusi pada islamisasi progresif budaya dan masyarakat Indonesia.
Dampaknya melampaui lingkaran pengikut yang terorganisir. Namun, di beberapa tempat,
Tarekat ini telah mengalami "indonesianisasi", sehingga kadang-kadang hampir tidak dikenali
lagi dalam bentuk aslinya.69

67
Ibid, hlm 178
68
Ibid, hlm 179
69
Ibid, hlm 179

31
ANALISIS PENDEKATAN

Dalam artikel yang berjudul the origins and development of the Naqshbandi order in
Indonesia yang ditulis oleh Martin van Bruinessen. Van Bruinessen, menguraikan beberapa
pendekatan dalam menjelaskan Asal Usul Dan Perkembanagan Tarekat Naqshabandi di
Indonesia. Dalam eksplorasi yang mendalam, van Bruinessen menggunakan beragam
pendekatan, termasuk pendekatan Filologi, pendekatan Kritis-Historis, Fenomenologi, Sosial-
Antropologi, dan pendekatan komparatif. Melalui pendekatan-pendekatan ini, kita mendapat
landasan yang kuat untuk memahami Asal Usul Dan Perkembanagan Tarekat Naqshabandi di
Indonesia.
Dibawah ini terdapat beberapa pendekatan-pendekatan beserta kalimat-kalimat yang
memuat dari masing-masing pendekatan dalam tulisan Martin van Bruinessen yang berjudul
the origins and development of the Naqshbandi order in Indonesia. Di antaranya sebagai
berikut:
1. Pendekatan Filologis
• "Hanya satu risalah yang menyebutkan khalifah yang ditunjuk oleh seorang syaikh
Naqshbandi Indonesia; tampaknya sebagian besar Naqshbandi Indonesia dibaiat ke
dalam tarekat ini selama mereka tinggal di Kota Suci, dan terus mempraktikkannya
secara pribadi setelah mereka kembali, mungkin mengajar sejumlah kecil murid tetapi
tidak membangun jalur yang langgeng."
• "Sesuai dengan kecenderungan kuat Islam Indonesia yang bersifat mistis-magis, dari
berbagai ilmu pengetahuan Islam yang diajarkan di Arab, para siswa Indonesia pada
periode ini menunjukkan preferensi yang kuat untuk taaawwuf."
• "Minat dalam fiqh tumbuh sejak abad kedelapan belas, tetapi bahkan pada saat itu
minat dalam taaawwuf dan waḥdat al-wujūd —metafisika—masih mendominasi."
• "Syaikh Jalaluddin lebih dari sekedar organisator dan politisi yang pandai. Dia adalah
seorang penulis yang sangat produktif, menerbitkan lebih dari seratus buklet dan
brosur), yang sejauh ini merupakan korpus paling signifikan dari literatur Naqshbandi
yang diproduksi di Indonesia."
• "Rahaaw Mutwra-nya mungkin berisi deskripsi paling lengkap dan eksplisit tentang
dzikr Naqshbandi dan ritual lainnya dalam bahasa apa pun).
2. Pendekatan Kritis-Historis

32
• "Sejak pertengahan tahun 1988-an, laporan-laporan administratif Hindia Belanda tiba-
tiba mulai menyebutkan Tarekat Naqshabandiyyah, mula-mula di Jawa Tengah dan
Jawa Barat, dan kemudian di Sumatera Barat dan Sumatera Utara."
• "Para Naqsyabandi Indonesia yang baru ini berasal dari berbagai cabang tarekat, tetapi
semuanya berbaiat kepada para syaikh di Mekkah."
• "Pada dekade kedua abad ini, organisasi-organisasi politik modern pertama, dengan
berbagai corak nasionalisme, muncul."
• "Sumber-sumber mengenai Naqshbandiyyah di Indonesia sebelum kemunculan
Khālidiyyah sangat langka."
• "Orang Indonesia pertama yang meninggalkan beberapa catatan tentang tarekat ini
adalah Syaikh Yusuf dari Makassar (sekitar 1626-1699), yang menerima baiat
Naqsyabandi di Yaman pada akhir tahun 1640-an, ketika beliau sedang dalam
perjalanan menuju Makkah."
• "Pada abad ke-17 dan ke-18, terdapat tiga cabang utama Naqshbandiyyah di jazirah
Arab."
• "Tidak jarang bagi orang Indonesia yang melakukan ibadah haji ke Mekah untuk
tinggal di Arab selama beberapa tahun, belajar berbagai ilmu pengetahuan Islam
dengan ulama terkenal di Mekah dan Madinah, atau bahkan Damaskus."
• "Sikap masyarakat juga mendukung: ketika putra mahkota Banten berangkat haji pada
tahun 1674, hal ini mendapat sambutan yang luas."
• "Pada tahun 1672, kita mendapati dia kembali ke Indonesia; bukan di kampung
halamannya, Goa, yang pada tahun 1669 ditaklukkan Belanda dalam persekutuannya
dengan kerajaan Bugis Bone."
• "Naqshabandiyyah untuk pertama kalinya menjadi kekuatan sosial-keagamaan di
Nusantara dengan kembalinya Shaikh Isma’il Minangkabawi dari Mekkah pada awal
tahun 1850-an."
• "Pada saat Snouck Hurgronje tinggal di Mekkah (1885), ia masih diingat dengan baik
di sana, sebagai pribadi yang bergejolak, "agak terpelajar dan sangat fanatik"
• "Tepatnya pada awal ekspansi Naqshbandi yang paling cepat (dan paling mencolok)
di Indonesia, pada tahun 1885, Snouck Hurgronje menetap di Mekah untuk
mempelajari mata pelajaran Belanda ini dan kegiatan mereka di sana."
• "Snouck Hurgronje memandang buruk keduanya, dan membandingkannya dengan
syekh Naqshbandi ketiga, yang sangat ia hormati, Muhammad Salih az-Zawawi."

33
• "Syaikh seperti Sulaiman az-Zuhdi, Ahmad Khatib dari Sambas dan 'Abd al-Karim
dari Banten tidak diragukan lagi adalah tokoh-tokoh yang kuat dan memiliki karisma."
• "Namun mereka tidak akan mampu memberikan pengaruh sebesar itu jika jumlah
peziarah tidak meningkat secara drastis pada paruh kedua abad kesembilan belas."
• "Sekitar tahun 1850, sekitar dua ribu orang Indonesia secara resmi mendaftar haji
setiap tahunnya; sekitar tahun 1880, konsulat Belanda di Jeddah menghitung rata-rata
lebih dari enam ribu peziarah per tahun."
• "Naqshabandiyyahh yang menyebar dari pusat Mekah di atas Nusantara sampai batas
tertentu dapat dilihat sebagai gerakan reformasi agama."
• "Pada pergantian abad, arus reformis yang lebih radikal memperoleh pengaruh di
Mekah dan karenanya di Indonesia, dan Naqshabandiyyahh sendiri menjadi objek
kritik reformis."
• "Proses ini adalah usia terbaik didokumentasikan untuk Sumatera Barat, di mana
Naqshabandiyyahh adalah (dan masih) paling kuat ditanamkan."
• "Kemunduran Naqshabandiyyahh yang telah terjadi selama dekade pertama abad ini
sama sekali bukan proses yang seragam dan berkelanjutan."
• "Pada 1950-an dan awal 1960-an, semakin banyak syekh Naqshbandi bergabung
dengan PPTI; beberapa kemudian mengklaim bahwa mereka merasa terpaksa
melakukannya karena hubungan dekat Shaikh Jalaluddin dengan presiden Sukarno,
yang ia eksploitasi dengan cerdik."
• "Seorang syaikh Naqshabandi lain yang berhasil menyebarkan Tarekat (aliran atau
jalan spiritual) ke wilayah baru adalah Sayyid Muhsin ‘Ali al-Hinduan."
• "Meskipun Muhammad salih dan ‘Abdullah Zawawi memiliki murid diberbagai
kepulauan, namun hanya di Madura sajalah Tarekat Mazhariyya berhasil berkembang
dengan pesat."
• "Selain dari ekspansi Naqshbandiyya sebagai sebuah Tarekat, penting juga untuk
memberikan perhatian kepada keberadaan ajaran dan praktik yang berasal dari
Naqshbandiyya atau guru-guru Naqshbandi namun tidak terkait dengan Tarekat
terorganisir."
• "Pendiri salah satu aliran kepercayaan terbesar, yang dikenal secara internasional
sebagai Subud, pada awalnya memiliki keterkaitan yang samar-samar dengan seorang
guru Naqshbandi."
3. Pendekatan Fenomenologi

34
• "Sesuai dengan kecenderungan kuat Islam Indonesia yang bersifat mistis-magis, dari
berbagai ilmu pengetahuan Islam yang diajarkan di Arab, para siswa Indonesia pada
periode ini menunjukkan preferensi yang kuat untuk taaawwuf."
• "Minat dalam fiqh tumbuh sejak abad kedelapan belas, tetapi bahkan pada saat itu
minat dalam taaawwuf dan waḥdat al-wujūd —metafisika—masih mendominasi."
4. Pendekatan Sosial-Antropologi
• "Di antara orang-orang Minangkabau di Sumatera Barat, pengikut Naqshbandiyyah
(dalam hal ini Khālidiyah) terlibat dalam perdebatan sengit selama akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20 dengan pengikut tarekat Shaṭāriyyahh yang lebih tradisional dan
sinkretis."
• "Tampaknya Shaṭṭāriyyah lebih bergantung pada pusat-pusat di Arab."
• "Kesultanan Aceh (Sumatera Utara) dan Banten (Jawa Barat) adalah pusat
perdagangan yang berkembang pesat, yang armadanya berlayar melalui jalur laut
sejauh ke barat Surat di Gujarat, kadang-kadang bahkan lebih jauh, dan mereka secara
rutin dikunjungi oleh pedagang Arab dari Hadhramaut."
• "Naqshabandiyyah untuk pertama kalinya menjadi kekuatan sosial-keagamaan di
Nusantara dengan kembalinya Shaikh Isma’il Minangkabawi dari Mekkah pada awal
tahun 1850-an."
• - "Pada saat Snouck Hurgronje tinggal di Mekkah (1885), ia masih diingat dengan
baik di sana, sebagai pribadi yang bergejolak, "agak terpelajar dan sangat fanatik""
• "Karena fasilitas pelayaran yang lebih baik – dan mungkin juga karena terbukanya
masyarakat tradisional akibat kolonialisme – jumlah jamaah haji Indonesia yang
mengunjungi Mekah dan Madinah terus meningkat, dan jumlah penduduk Indonesia
(dalam bahasa Arab semuanya dikelompokkan menjadi satu)"Jawi")."
• "Muhammad Salih menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di Riau, sebagai tamu Tuan
Muda, Muhammad Yusuf. Pada tahun 1895 'Abdallah az-Zawawi juga mengunjungi
Singapura, Pontianak, Kutai (Kalimantan Timur) dan Riau, dan diterima dengan
penghargaan tertinggi."
• "Haji mewakili, bagi orang Indonesia yang melaksanakannya, ritus yang lain Tarekat:
status mereka dalam masyarakat berubah, namun masyarakat juga mengharapkan
perubahan perilaku yang signifikan dari mereka."

35
• "Di antara orang Sunda Jawa Barat., Khalidiyya Naqshabandiyyahh. menyebar
dengan cepat juga, terutama di kabupaten Bogor dan Cianjur yang disebutkan
sebelumnya."
• "Khalidiyya dan khususnya Mazhariyya yang diajarkan oleh al-Zawawi lebih
berpikiran syariah daripada kebanyakan ṭuruq sebelumnya yang ada di Indonesia."
• "Serangan besar datang dari salah satu penduduk ulama Minangkabau di Mekah,
Ahmad Khatib, yang terutama dikenal karena kritik kerasnya terhadap adat matrilineal
dari kelompok etnisnya sendiri."
• "Tarekat dipaksa menjadi defensif, dan dalam banyak kasus menjadi ailiance dengan
kekuatan tradisi yang pada awalnya ditentangnya."
• "Syaikh Jalaluddin lebih dari sekedar organisator dan politisi yang pandai."
• "Pengaruh Syaikh juga menyebar melampaui perbatasan Indonesia ke Malaysia)."
• "Ritual inisiasi ini, lengkap dengan kematian simbolis dan penguburan, keadaan
menengah (mimpi) dan kelahiran kembali, mungkin merupakan salah satu indikasi
pertama dari Indonesia-nisasi Khalidiyya Naqshabandiyyahh."
• "Di Madura, dan beberapa komunitas Madura yang besar yang berada di Indonesia
(Jawa Timur Jakarta dan juga Kalimantan Barat), Tarekat ini menjadi Tarekat yang
sangat berpengaruh, syaikh-syaikhnya atau tokoh-tokohnya memiliki pengaruh
kharismatik yang tidak tertandingi di tempatlain."
• "Adanya kepemimpinan kolektif dari Tarekat yang dipimpin oleh empat syaikh;
setelah kematian salah satu dari mereka, tiga yang masih hidup memilih salah satu
khalifa lain untuk menjadi anggota keempat."
• "Di berbagai bagian Sulawesi Selatan, ulama tradisional mengajarkan kepada murid-
murid mereka aurad (dhikr-dhikr) yang terkait dengan Naqshbandiyya, dan terkadang
juga dhikr qalbi (dhikr hati); ini telah menjadi bagian integral dari ibadah yang
ortodoks, dipraktikkan secara pribadi tanpa organisasi atau kepemimpinan apa pun."
• "Tarekat Naqshbandiyya telah tumbuh kuat di Indonesia dan telah menjadi bagian dari
kekuatan yang berkontribusi pada islamisasi progresif budaya dan masyarakat
Indonesia."
5. Pendekatan Komparatif
• "Sejarah Naqsyabandiyyah Indonesia terbagi dengan rapi ke dalam beberapa periode
yang berbeda, di mana peristiwa-peristiwa yang disebutkan di atas berada di tengah-
tengahnya."

36
Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan uraian di atas, Martin van
Bruinessen menyajikan tulisan yang cenderung kepada pendekatan kritis-historis dan sosial-
antropologi, akan tetapi di saat yang sama juga mengandung pendekatan komparatif,
penomenologi, dan filologis. Sehingga ini bisa menjadi landasan penting dalam memahami
Asal-usul dan Perembangan Tarekat Naqshabandi di Indonesia.

37
DAFTAR PUSTAKA

van Bruinessen, Martin. (1990). " The origins and development of the Naqshbandi order in
Indonesia." Leiden: Der Islam 67.

38

Anda mungkin juga menyukai