Anda di halaman 1dari 4

ARAH BARU PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

Ormas Islam di Indonesia


Merujuk kepada akar sejarah munculnya organisasi-organisasi
Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kondisi rakyat
Indonesia secara umum di kala itu dan secara khusus umat Islam.
Telah jamak diketahui, bahwa Pemerintah Hindia Belanda membatasi
penyebaran pendidikan Belanda berkualitas kepada warga pribumi.
Hanya sejumlah kecil dari rakyat pribumi yang dapat mengenyam
pendidikan Belanda, terutama mereka yang berasal dari keluarga
priyai atau terhormat. Demikian halnya dengan kemampuan berbahasa
Belanda, sangat minim dikuasai oleh pribumi, padahal penguasaan
bahasa Belanda waktu itu menjadi salah satu tolok ukur terbukanya
gudang peradaban dan pengetahuan Barat.1
Di sisi lain, Pemerintah Hindia Belanda juga mengkhawatirkan
menguatnya jaringan-jaringan tarekat yang ada di Indonesia, karena
dapat saja para pengikut fanatik gerakan ini akan dipergunakan oleh
elit-elit keagamaan untuk memberontak atau menolak kebijakan
Pemerintah.2 Dalam hal ini pula, Aqib Suminto mencatat, bahwa
sejumlah kebijakan pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah
Hindia Belanda terhadap gerakan Islam—bahkan terhadap lembaga
pendidikan Islam dan para guru—sangat kentara di akhir-akhir
abad XIX.
Dibandingkan dengan Negara-negara jajahan yang lain, gerakan
nasional Indonesia dapat dikatakan lebih lambat perkembangannya.
Hal ini disebabkan oleh karena pemerintahan kolonial Belanda
memberlakukan politik perpecahan di antara wilayah Nusantara,
sehingga tidak memunculkan semangat nasionalisme, kurangnya
jaringan antar wilayah, walaupun para pribumi memiliki satu musuh
bersama. Baru pada akhir abad XIX para penduduk pribumi mulai

1
Tentang kemampuan bahasa Belanda ini disampaikan oleh R.A. Kartini, seorang
perempuan ningrat yang merasa memiliki perhatian kepada mereka yang berkedudukan
lebih rendah. Ungkapan ini dikutip dari R.E. Elson, The Idea of Indonesia, terjemahan
Zia Anshor, (Jakarta: Serambi, 2008), h. 12.
2
Menurut catatan Aqib Suminto, pemberontakan tarekat-tarekat ini betul-betul
terjadi, setidaknya di Sukabumi dan Cianjur pada 1885, Cilegon 1888, dan di Garut pada
1919.Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1986), cet. II, h. 64.

14
BAGIAN II
PERKEMBANGAN ORMAS ISLAM DI INDONESIA

menyadari keberadaan mereka sebagai sebuah bangsa.3


Dalam kondisi demikian, gerakan nasional dan/atau Islam
di awal abad XX di Nusantara diuntungkan dengan perubahan
kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang mulai fokus pada
peningkatan kesehteraan rakyat pribumi, dikenal dengan politik
etis. Politik etis inilah yang memberikan dampak yang besar pada
Hindia Belanda di masa selanjutnya, yaitu dengan munculnya elit-
elit baru berpendidikan modern, selain dari perkembangan ekonomi
dan perubahan sosial-budaya.4 Nantinya, elit-elit baru ini pula yang
kemudian mendorong terbentuknya cikal bakal perkumpulan dan
organisasi modern di Indonesia.
Identitas baru masyarakat pribumi juga mulai muncul dengan
berkembangnya terbitan-terbitan dan media cetak baru. Media-media
cetak ini pula yang kemudian menyebarluaskan gairah dan keinginan
untuk mengubah keadaan, selanjutnya memberikan wawasan-wawasan
baru bagi elit Indonesia. Sejumlah terbitan, seperti Bintang Hindia,5
Retno Dhoemillah dan Pewarta Prijaji merupakan contoh media-media
cetak sudah dapat diakses di awal abad XX,6 walaupun masih sangat
terbatas di kalangan priyai atau elit-elit masyarakat saja.
Dengan keterbatasan penguasan bahasa asing, terutama Belanda,
serta minimnya penduduk yang mengenyam pendidikan di awal
abad XX, tidak memungkinkan bagi pribumi, terutama umat Islam,
untuk berkenalan dengan gerakan-gerakan modern. Apalagi, pada
kenyataannya, tidak sedikit umat Islam yang menolak pendidikan
formal ala Belanda dan mempertahankan pendidikan informal di
pesantren, surau ataupun di masjid-masjid.7 Untuk itu, terdapat

3
Andrian Vickers, A History of Modern Indonesia, (Cambridge: Cambridge University
Press, 2005), h. 73.
4
Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah
Indonesia, (Jakarta: Mizan, 2012), h. 225 – 226.
5
Bintang Hindia pertama kali terbit pada 1902 di Belanda. Jurnal dipimpin oleh
Abdul Rivai, seseorang yang berasal dari Minangkabau, sarjana keluaran sekolah Dokter-
Jawa yang kemudian bernama STOVIA. M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia
Since c. 1200, (UK: Palgrave, 2001), cet. III, h. 354.
6
R.E. Elson, The Idea of Indonesia, h. 12.
7
Fakta ini setidaknya dapat diketahui dari keberanian Ahmad Dahlan untuk

15
ARAH BARU PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

saluran lain yang juga berperan signifikan dalam memunculkan elit


dan gerakan baru di kalangan pribumi Muslim saat itu. Saluran ini
adalah para santri atau pelajar Islam yang mengenyam pendidikan
di Timur Tengah, terutama Arab Saudi dan Mesir, dan bersentuhan
dengan gerakan-gerakan nasionalisme di sejumlah negara Muslim
lain, seperti Mesir.8
Berkaitan dengan dunia media cetak, saluran Islam Indonesia
dan Timur Tengah ini juga diperkuat dengan sejumlah terbitan
buletin atau majalah yang diproduksi para pembaru Timut Tengah,
seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha.9 Menurut catatan Haji Abdul Karim Malik Abdullah atau
yang populer dengan nama Hamka, sebaran terbitan-terbitan ini,
seperti majalah ‘Urwah al-Wutsqâ dan Al-Manâr, tidak hanya di
Jawa, namun juga di Sumatera dan kawasan Asia Tenggara lainnya,
seperti Singapura.10
Di Singapura, dan akhirnya tersebar di kawasan Sumatera,
terbitan-terbitan ini bahkan diterjemahkan ke bahasa Melayu dan
dicetak ulang dalam majalah Al-Imam oleh Syeikh Taher Jalaluddin,
seorang Muslim asal Minangkabau, bersama-sama dengan tuan
Syeikh Muhammad Al-Kalali, seorang keturunan Arab. Al-Imam
diterbitkan selama 2 tahun, yaitu selama 1906 sampai 1908.11

mendirikan sistem pendidikan formal pertama bagi pribumi, selain juga memodernisasi
sistem pendidikan Islam.
8
Untuk kajian ini lihat, Martin van Bruinissen, Kitab Kuning, Pesantren dan
Tarekat, (Yogyakarta: Gading Publishing, 2012), edisi revisi.
9
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dikenal sebagai
para pemikir Islam pembaru di Timur Tengah di zaman modern. Pemikirannya banyak
menginspirasi pembaruan yang terjadi di belahan dunia. Untuk kajian tentang ketiga
tokoh ini, lihat, Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798-1939, (UK:
Cambridge University Press, 1983); Lihat pula, Charles C. Adams, Islam and Modernism
in Egypt: A Study of Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh, (New
York: Russell &Russell, 1968), cetak ulang; Lihat pula tentang modernisasi Islam awal
ini dan pengaruhnya terhadap penyebaran pembaruan Islam di dunia, termasuk pula di
kawasan Asia Tenggara, dalam Charles Kurzman, ed., Modernist Islam: A Source Book,
(London: Oxford University Press, 2002).
10
Hal ini disampaikan oleh Hamka tatkala menerima gelar Doktor Honoris Causa
dari Universitas Al-Azhar Mesir pada tanggal 21 Januari 1958. Lihat, Hamka, Sejarah
Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam Indonesia, (Jakarta: Tintamas, tth).
11
Tidak semua isi majalah Al-Imam adalah terjemahan dari dua ‘Urwatul Wutsqa

16
BAGIAN II
PERKEMBANGAN ORMAS ISLAM DI INDONESIA

Setelah Al-Imam berhenti terbit, Abdullah Ahmad memulai majalah


bulanannya di Padang dengan judul Al-Munir, yang diterbitkan pada
periode 1910 – 1915.12 Di Jawa Tengah, pada 1915, Haji Misbach
mulai menerbitkan koran bulanan Medan Moeslimin dan dilanjutkan
dengan penerbitan Islam Bergerak.13
Pengaruh dua majalah ini juga cukup kuat di pulau Jawa dan
menjadi cikal bakal modernisasi gerakan Islam di pulau tersebut.
Orang pertama yang disinggung oleh Hamka dalam pidatonya
berkaitan dengan pengaruh Al-Afghani, Abduh dan Rasyid Ridha
adalah Syaikh Ahmad Surkati al-Sudani, seorang peranakan Sudan
dan lama berdiam di Madinah, Arab Saudi.14 Sebelum kedatangannya,
sejumlah orang di Jawa telah berlangganan majalah Urwah al-Wutsqâ
yang diselundupkan dari pelabuhan Tuban dan majalah Al-Manar dari
Rasyid Ridha. Karena kedua majalah ini pula, Ahmad Surkati diundang
oleh masyarakat Arab Hadramaut yang telah ada di Indonesia dan
akhirnya mendirikan perkumpulan Al-Irsyad pada 1915.
Mulai dari sekelompok Arab Indonesia ini gagasan-gagasan
pembaru Islam Timur Tengah mulai menyebar.15 Tidak hanya
sampai di situ, pada perkembangan selanjutnya, Ahmad Surkati
juga memberikan pengaruh yang kuat dalam pemikiran politik
Muhammad Natsir, di samping dari Agus Salim, tatkala Natsir
menjadi ketua Jong Islamic Bond atau Perkumpulan Pemuda Islam.16

atau Al-Manar, tapi haluan pemikiran Islam yang dianut oleh Al-Imam seturut dengan
kedua majalah yang terbit di Timur Tengah ini. Hamka, Sejarah Perkembangan Pemurnian
Ajaran Islam Indonesia, h. 8; lihat pula tentang Majalah ini dalam Charles Kurzman,
ed., Modernist Islam: A Source Book, h. 339.
12
R. Michael Feener, Muslim Legal Thought in Modern Indonesia, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2007), h. 11.
13
R. Michael Feener, Muslim Legal Thought in Modern Indonesia, h. 12
14
Menurut catatan Charles Kurzman, Ahmad Surkati hidup dalam medio 1872
– 1943. Kurzman memasukkan Ahmad Surkati sebagai salah satu kelompok modernis
yang ada di Asia Tenggara pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Charles Kurzman,
ed., Modernist Islam: A Source Book, h. 349.
15
Hamka, Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam Indonesia, h. 16 – 17.
16
Ilzamudin Ma’mur, Abul A’la al-Mawdudi and Mohammad Natsir’s Views on
Statehood: A Comparative Study, (Tesis pada Institute of Islamic Studies, Universitas
McGill, Montreal, 1995), h. 32. Tesis tidak dipublikasikan.

17

Anda mungkin juga menyukai