Anda di halaman 1dari 7

TUGAS INDIVIDU SEJARAH ISLAM ASIA TENGGARA

LAPORAN BACAAN BUKU DELIAR NOER


DOSEN PENGAMPU: Drs. DARDIRI HUSNI, MA

DISUSUN OLEH:

YULPA NUR ARSY


11715201413
PMT 3C

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

PEKANBARU

2018
Laporan Bacaan Buku Gerakan Moderen Islam Indonesia (1900-1942) oleh DELIAR NOER

Setelah saya telaah buku Deliar Noer tentang Gerakan Modern Islam di Indonesia, banyak
pengetahuan baru yang saya dapat. Deliar Noer begitu luas memaparkan sejarah pergerakan di
Indonesia, seperti berawal dari zaman kolinial hingga menjelang kemerdekaan. Tidak terlalu
mudah bagi seseorang untuk memahami sejarah di Indonesia yang sangat panjang bahkan rumit
ini. akan tetapi dengan semangat yang luar biasa Deliar Noer dapat menjelaskan sejarah
Persyarekatan Islam, asal usul dan pertumbuhan gerakan modern Islam di ungkapkan dengan
padat dalam karyanya.

Buku ini membicarakan tentang pergerakan Islam di Indonesia antara tahun 1900-1942
yang ditulis oleh Deliar Noer. Dimana bukuberasal dari disertasi penulis untuk program doktor
pada Univertsitas Cornell di Ithaca, N.Y. Perkembangan masyarakat, pemikiran dan gerakan
kecuali yang bersifat formal, tidaklah muncul atau berhenti pada satu patokan tahun, melainkan
biasanya mengandung proses awal atau akhir yang menyebar dalam waktu yang relative panjang.
Tahun 1942 adalah tahun pergantian penguasa di Indonesia, dari tangan Belanda ke tangan
Jepang.

Gerakan moderen islam di Indonesia seperti yang dibicarakan oleh buku ini, tidaklah
mulai tahun 1911 dengan berdirinya Sarikat Dagang Islam, atau tahun 1912 dengan berdirinyas
Muhammadiah, atau tahun 1906 dengan terbitnya majalah AL-Iman (di Singapura), atau tahun
1911 dengan terbitnya majalahAl-Munir di Padang, atau tahun 1909 dengan dibangunya sekolah
Adabiah di kota tersebut, atau tahun 1905 dengan berdirinya sekolah Jamiat Khair (Djami’at
Chair) di Jakarta. Tahun inilah tahun – tahun resmi berdirinya organisasi, sekolah atau terbitnya
majalah yang bersangkutan. Namun pemikiran, gerakan permulaan, entah berupa ajakan entah
berupa anjuran, baik dari perorangan atau kelompok masyarakat umumnya lebih dahulu dari
tahun – tahun di atas.

Pada pergantian abad ini orang-orang Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak
mungkin berkompetensi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak Kolonialisme
Belanda, dan mereka mulai menyadari diperlukan adanya suatu perubahan.

Dalam buku ini dimulai pada Bab I dan Bab II yang membicarakan pengenalan dan
pertumbuhan pemikiran dan kegiatan pembaharuan Islam yang umumnya dapat dibagi menjadi
dua bagian besar, yaitu gerakan pendidikan dan sosial di satu pihak dan gerakan politik di pihak
lain. Bagian pertama akan meliputi asal-usul dan pertumbuhan gerakan itu di Minangkabau dan
dikalangan masyarakat Arab,seperti yang diluncurkanoleh Perserikatan Ulama, Muhamadiyah
dan Persatuan Islam.

Gerakan moderen Islam dimulai dari daerah-daerah, karena peranan daerah sendiri
dianggap sangat penting dalam penyebaran cita-cita pembaruan ke daerah-daerah lain.Dalam
pembahasan ini dimulai dari:
1. Daerah Minangkabau

Seorang pelopor dalam gerakan pembaharuan di Minangkabau adalah Syaikh


Ahmad Khatib, yang telah menyebarkan atas pikiran-pikirannya dari Makkah. Mengenai
masalah di Minangkabau Syaikh Ahmad Khatib menentang dan menolak kebiasaan-
kebiasaan seperti berjalannya tarekat Naqsabandiyah dan menentang peraturan adat yaitu hak
waris. Kedua masalah ini juga terus menerus ditentang oleh para pembaharu. Di antaranya
yaitu Syaikh Muhammad Taher Jalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul
Karim Amrullahdan Haji Abdullah Ahmad.

Asal-Usul Gerakan moderen Islam muncul jauh sebelum dibentuknya Sarekat


Dagang Islam pada tahun 1911 atau Muhammadiyah pada tahun 1912. Kemunculannya
dimulai dengan gerakan permulaan seperti berupa ajakan dan anjuran baik dari perorangan
atau kelompok masyarakat. Gerakan pembaruan di Minangkabau memang mempunyai suatu
sifat tersendiri yang pada umumnya diwarnai oleh sifat politik. Banyak diantara
pemimpinnya dibuang oleh pemerintah Belanda. Seorang diantara pemimpin pembaru itu
adalah Haji Rasul yang tidak pernah bergabung pada organisasi manapun juga, tapi malah
dituduh oleh pemerintah Belanda sebagai seseorang yang mengganggu ketertiban dan
ketentraman.

2. Masyarakat Arab

Orang-orang Arab mempunyai hubungan baik dengan masyarakat Indonesia


dikarenakan adanya kesamaan dalam beragama dan juga ibu-ibunya berasal dari Indonesia.
Hubungan mereka kebanyakan dengan penduduk di desa sebagai pedagang. Masyarakat
Arab di Indonesia dibagi menjadi dua golongan yaitu sayid dan bukan sayid. Suatu langkah
pertama yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan mereka adalah dengan melalui bidang
pendidikan.

Ketidak senangan terhadap Belanda menyebabkan mereka untuk tidak


menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah Belanda, selain itu juga sekolah-sekolah ini
tidak mencukupi untuk memenuhi keperluan pendidikan penduduk pada umumnya. Oleh
sebab itu didirikanlah sebuah organisasi Al-Jam’iyat al-Khairiyah, yang dikenal Jamiat Khair
di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Organisasi ini terbuka untuk setiap muslim, tetapi
mayoritas anggotanya adalah orang Arab.

Sekolah dasar Jamiat Khair didirikan tahun 1905. Sekolah ini mengundang guru-guru
dari daerah lain, dan dari luar negeri seperti Al-Hasjimi, ia datang ke Indonesia
memperkenalkan gerakan kepanduan dan juga olahraga dalam lingkungan Jamiat Khair.
Organisasi ini dimulai dengan bentuk moderen dalam masyarakat Islam.

Pembaharuan dalam lingkungan masyarakat Arab kemudian dilanjutkan oleh Al-


Irsyad yang didirikan oleh kebanyakan pedagang. Perpecahan dari golongan Sayid selama
masa jajahan sepertinya tidak pulih kembali. Kebencian dari pendiri Al-Irsyad terhadap
Sayid digambarkan dengan kebijakan bahwa seorang Sayid tidak boleh menduduki
pengurus.

3. Persyarikatan Ulama

Suatu gerakan pembaharu di Majalengka, Jawa Barat yang kemudian berkembang


menjadi Persyarikatan Ulama, dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif Haji Abulhalim yang
lahir di Ciberelang Majalengka. Seperti organisasi-organisasi lain, sejak awal berdirinya juga
menyelenggarakan tabligh sekitar tahun 1930 menerbitkan majalah dan brosur sebagai
media penyebaran cita-citanya dan organisasi ini berteguh pada madzhab Syafi’i.

4. Muhammadiyah

Organisasi yang didirikan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta oleh KH.
Ahmad Dahlan atas saran-saran muridnya dan dan beberapa anggota Budi Utomo untuk
mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen. Organisasi ini mempunyai
maksud untuk menyebarkan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Daerah operasinya
diperluas setelah tahun 1917. Sekitar tahun 1920 perluasan Muhammadiyah ke luar
Yogyakarta. Kekurangan sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda di Indonesia
merupakan salah satu motivasi untuk mendirikan organisasi. Organisasi-organisasi Islam di
Yogyakarta ditantang pula oleh kehadiran missi Kristen dalam lingkungannya. Pihak
Muhammadiyah berusaha untuk menghentikan perkembangan hasil missi ini dengan
mencontoh cara-cara kegiatan mereka. Maka dilancarkanlah pekerjaan-pekerjaan social dan
gerakan kapanduan.

5. Persatuan Islam

Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920. Ketika
orang-orang Islam didaerah lain telah lebih dulu maju dalam berusaha untuk mengadakan
pembaharuan dalam agama. Selain pendidikan Islam, Persis juga mendirikan sebuah
pesantren.

6. Sarekat Islam 1911-1942

Asal usul dan pertumbuhan gerakan politik di kalangan Muslimin di Indonesia dapat
dikatakan identik dengan asal usul dan pertumbuhan Sarekat Islam terutama pada dua puluh
tahun pertama sejak didirikan. Perkembangan sarekat Islam dapat dibagi dalam 4 bagian:
periode pertama, dari 1911 – 1916 yang memberi corak dan bentuk bagi partai tersebut;
kedua, dari 1916 – 1921 yang dapat dikatakan merupakan periode puncak; ketiga, dari 1921
– 1927, periode konsolidasi.

Dalam periode ini partai tersebut bersaing keras dengan golongan Komunis, di
samping juga mengalami tekanan yang dilancarkan oleh pemerintah Belanda. Dan keempat,
dari 1927 – 1942, yang memperlihatkan usaha partai untuk tetap mempetahankan
eksistensinya di forum politik Indonesia. Didirikan di Solo pada tanggal 11 November 1912
tumbuh atas organisasi yang bernama Sarekat Dadang Islam.Tujuan didirikannya adalah
untuk membangun kebangsaan.

Pertumbuhan dan perkembangan gerakan Islam di Indonesia mengalami berbagai macam


kesukaran dan hambatan. Sebagian hambatan berasal dari pihak Belanda dan sebagian lain dari
pihak masyarakat Indonesia sendiri. Dari pihak Belanda ,sikap Belanda terhadap Islam di
Indonesia tidak tetap. Di satu pihak Islam dilihat sebagai agama, dan katanya pemerintah netral
terhadap ini. Tetapi sebaliknya, pemerintah Belanda pun mengambil sikap diskriminatif dengan
memberi kelonggaran kepada kalangan missionaris Kristen lebih banyak, termasuk bantuan uang.
Pemerintah juga melarang banyak kegiatan missionaris Islam didaerah animisme, sedangkan
missionaris kristen leluasa masuk.

Salah satu cara yang dipergunakan oleh pihak Belanda untuk mengawasi Islam di
Indonesia, terutama di Jawa, ialah peraturan yang dikeluarkan dalam tahun 1905 tentang
pendidikan agama Islam. Peraturan ini mengharuskan adanya izin tertulis dari bupati atau pejabat
yang sama kedudukannya tentang pendidikan agama Islam. Izin ini mengemukakan secara
terperinci sifat dari pendidikan itu. Guru agama yang bersangkutan harus membuat daftar dari
murid-muridnya menurut bentuk tertentu yang harus dikirimkan secara periodik kepada kepala
daerah bersangkutan.

Bupati atau pejabat yang sama kedudukannya hendaklah mengawasi dan mengecek apakah
guru agama tersebut bertindak sesuai dengan izin yang diberikan. Peraturan ini mudah dijalankan
bagi sekolah yang memiliki organisasi yang baik, tetapi tidak demikian halnya dengan pesantren
yang tidak memiliki administrasi seperti ini, tidak mencatat nama dari seluruh santri mereka
ataupun staf pengajar mereka. Banyak dari para guru agama itu tidak dapat membaca dan menulis
huruf latin.

Demikianlah pengawasan yang secara terus menerus itu dianggap oleh para guru agama
membatasi kemerdekaan mereka tetapi peraturan ini secara berangsur-angsur berubah setelah
berdirinya Sarekat Islam yang mengadakan kongres Al-Islam pada tahun 1926 yang menolak cara
pengawasan dan menganggap bahwa pemberitahuan secara periodik tentang kurikulum, guru-
guru dan murid-murid sebagai beban berat, terutama bagi masyarakat madrasah dan lembaga
pendidikan Islam lain yang tidak mempunyai biaya untuk menyelenggarakan administrasi
sekolah dengan baik.

Tentang peraturan yang khusus ini, Sarekat Islam sendiri tidak mengemukakan
pendapatnya sampai tahun 1922 melalui kongres Al- Islam. Pada tahun 1917 partai ini telah
memberikan perhatian pada persoalan pendidikan pada umumnya dan menuntut kepada
pemerintah agar mencabut peraturan-peraturan yang dapat menghambat penyebaran Islam.

Reaksi yang dihadapi oleh kalangan pembaharu dalam masyarakat Indonesia datan dari dua
pihak: yaitu dari kalangan tradisi yang merasa berkeyakinan bahwa mereka juga mendasar
kegiatannya pada Islam dan kalangan bangsa sendiri yang walaupun pada umumnya beragama
Islam namun banyak mengambil sikap netral terhadap agama sampai kepada sikap tidak peduli
terhadap agama. Golongan tradisi tidak pula senantiasa berdiam diri dan bersikap statis. Mereka
pun mengadakan perubahan dalam kalangan mereka, pada mulanya dengan mengorganisasi diri
dalam Nahdatul Ulama (1926) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1929) dan juga dengan
mengadakan perubahan lain.

Mereka mengadakan peerubahan dalam sekolah yang mereka dirikan dengan


memperkenalkan sistem kelas disertai kurikulum. Mereka mencontoh cara-cara kalangan modern
dalam berpropaganda, seperti mengadakan Tabligh, mereka juga menerbitkan majalahdan brosur.
Dalam tahun 1935 Perti malah memperkuat pendapat terdahulu di kalangan modern Islam bahwa
harta pendapatan harus tunduk pada hukum faraidh.

Bila perubahan-perubahan ini telah masuk ke kalangan tradisi, tidaklah lama kalangan,
tradisi dan modern itu. Kedua pihak memang tetap dalam pendirian masing-masing dalam
beberapa masalah agama, tetapi mereka pun mulai menyadari bahwa dasar ajaran mereka, seperti
dibakukan dalam rukun Islam dan rukun Iman, adalahsama.

Kedua pihak mulai menyadari bahwa perbedaan mereka terletak dalam soal furu’,
sedangkan dalam hal pokok, usul, mereka sepaham. Oleh sebab itu sekitar tahun 1935 mereka
mualai berseru pada perlunya persatuan, dengan mengemukakan perlunya toleransi, serta tekanan
bahwa mereka tergolong sama sesaudara. Banyak diantara mereka mengadakan perjalanan
propaganda bersama untuk kepentingan Islam dan sebagai cermin dari pendekatan bersatu yang
dilakukan. Dalam waktu itu telah pula terdapat pengakuan bersama bahwa Islam meliputi agama
maupun soal-soal masyarakat, termasuk politik.

Hal ini jelas kelihatan setelah MIAI (Majelis Islam A’alaa Indonesia) terbentuk di Surabaya
pada tanggal 21 September tahun 1937 , atas inisiatif Kiyai Haji Mas Mansur dari
Muhammadiyah , Kiyai Haji Muhammad Dahlan dan Kiyai Wahab Hasbullah dari Nahdatul
Ulama, serta W. Wondoawiseno dari Sarekat Islam. Adalah suatu federasi yang didukung baik
oleh kalangan modern maupun oleh kalangan tradisi. Jumlah anggotanya pun bertambah, yang
awalnya dari tujuh pada tahun 1937 menjadi duapuluh satu pada tahun 1941. Tetapi, tentang
persatuan bukanlah masalah yang mudah bagi MIAI ini. Hal ini muncul dengan adanya dua hal
kejadian, pertama tentang Nahdlatul Ulama, tetapi ini dapat diatasi, kedua tentang Ahmadiyah
Lahore yang tetap berada diluar federasi.

MIAI tidak dapat membatasi diri semata-mata pada masalah agama. Situasi politik
Indonesia dan tuntutan yang kian bertambah dari pergerakan kemerdekaan pada umumnya,
terutama untuk mendirikan parlemen Indonesia dan akhirnya kemerdekaan, menyebabkan
federasi ini mengeluarkan pendapat dan pernyataan yang bersifat politik. Secara tidak langsung,
golongan tradisi, sekurang-kurangnya yang bergabung dengan MIAI harus juga memikirkan
masalah-masalah ini. Maka sekitar tahun 1940 perluasan pengertian tentang Islam dari bidang
agama ke bidang sosial dan politik telah sama-sama dijumpai, baik pada kalangan modern
maupun tradisi. Mereka pun bersama-sama mengadakan tuntutan dan kegiatan politik.

Dari bab-bab yang ada pada buku ini dapat disimpulkan bahwa gerakan pembaharuan Islam
di Indonesia merupakan suatu proses yang tidak akan berakhir. Gerakan pembaharuan Islam
mulai berakar pada pergantian abad yang lalu. Berkembang dari masa ke masa dalam waktu
empat puluh tahun, pada tahun 1940 gerakan Islam telah pasti berada di Indonesia.

Gerakan-gerakan ini berasal dari kelompok-kelompok kecil yang mulanya terpisah satu
sama lain. Gerakan ini juga sering mendapatkan kesulitan seperti; pertikaian antar kelompok atau
golongan, antara pribadi, dan dalam soal ajaran dan ideologi. Namun pada akhirnya gerakan-
gerakan ini mampu berdiri kokoh dalam pergerakan nasional.

Suatu hal yang menyebabkan perpisahan antara partai Islam dengan partai-partai yang
netral agama sekitar tahun 1930 ialah pendapat partai yang akhir ini tentang Islam umumnya.
PPPKI yang dipimpi oleh Sukarno dan kawan-kawannya mengumandangkan persatuan terlepas
dan tidak perduli dengan terhadap prinsip lain.

Terhadap sifat kebangsaan yang seperti ini Salim dari Sarekat Islam memberikan
peringatan kepada rakyat agar hati-hati dan sadar diri. Menurut Salim, dalam mencintai tanah air
hendaklah seorang menempatkan cita rohaniahnya diatas tujuan kebendaannya.

Kiranya buku ini sangat penting untuk dibaca khususnya bagi mahasiswa, disamping untuk
memperkuat pengetahuan tentang sejarah Islam di Indonesia, juga sebagai media untuk
memperkokoh pemikiran-pemikiran tokoh pergerakan pada masa itu, karena tidak menutup
kemungkinan bagi mahasiswa yang notabene-nya sebagai generasi penerus bangsa sudah menjadi
kewajiban untuk menjaga dan memperkuat pergerakan Islam.

Merujuk pada sebuah hadis yang mengatakan bahwa manusia tempat salah dan lupa,
begitupun dengan karyanya Deliar Noer (Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942)
mempunyai kelemahan dan kelebihan. Diantara kelebihannya, deliar Noer sangat peka dan rinci
menjelaskan tahun-tahun bersejarah, sehingga pembaca dapat memahami sejarah pergerakan
dengan mudah. Selain itu karyanya disajikan dengan jelas dan layak dipakai sebagai rujukan dan
referensi.

Disamping kelebihan dalam karyanya, buku Gerakan Modern Islam di Indonesia juga tidak
luput dari kelemahan-kelemahan, seperti terdapat bahasa-bahasa yang sulit dipahami, sehingga
kerap menyebabkan pembaca bingung dan sulit memahami isi buku. Kemudian deliar Noer juga
hampir tidak bisa menilai pemikir Islam golongan tradisional yang pada waktu itu di kritik habis-
habisan oleh golongan modern. Namun pada hakikatnya kelemahan-kelemahan ini dapat di
maklumi karena buku ini akan lebih layak di apresiasi saat kita membaca sebagai media untuk
mengetahui fondasi-fondasi pergerakan modern yang berlangsung pada awal abad ke-20.

Anda mungkin juga menyukai