Anda di halaman 1dari 78

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sejarah penyebaran agama Islam ke luar jazirah Arab, antara lain
meliputi Afrika, Asia, khususnya Indonesia, diwarnai dengan pendekatan
akomodatif. Dari istilah akomodatif berarti Islam dipertemukan dengan tradisi
budaya yang telah ada (Simuh, 1996: 9). Corak pendekatan akomodatif ini
diwarnai kaum sufi dan gerakan tarekat1, yang ternyata kemudian merebut
hati mayoritas umat Islam (Simuh, 1996: 48), dalam masa-masa kemunduran
politik Islam.2 Ajaran tasawuf dan gerakan tarekatnya sangat digemari umat
Islam, yakni sejak abad XIII M.
Persebaran agama Islam yang sejak abad XIII M makin lama makin cepat
meluas di kepulauan Indonesia, terutama terjadi berkat usaha para penyiar
ajaran sufi.3 Ada satu hal yang mencolok sepanjang sejarah kepulauan ini,
Islamisasi Indonesia mulai ketika tasawuf merupakan corak pemikiran yang
dominan di dunia Islam. Maka, tidak mengherankan jika Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki wajah dan cara menghayati
agama secara beraneka ragam (Bruinessen, 1995: 15).
Secara relatif, tarekat merupakan tahap paling akhir dari perkembangan
tasawuf, tetapi menjelang penghujung abad XIII M, ketika orang Indonesia
mulai berpaling kepada Islam, tarekat justru sedang berada di puncak
kejayaannya. Kata tarekat (secara harfiah berarti jalan) mengacu baik kepada
sistem latihan meditasi maupun amalan yang dihubungkan dengan sederet

1
Beberapa literatur menggunakan kata tarekat dengan thoreqot, thoriqoh, tareqat.
Peneliti menggunakan kata tarekat mengikuti selingkung penulisan beberapa buku. Misalnya,
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis
dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1993); Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah Dengan Referensi Utama Suryalaya (Jakarta: Prenada Media, 2010); Pius
A. Partanto, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arloka, 1994).
2
Hal ini nampak sesudah Bagdad diserbu Mongol dan kemunduran Islam di Spanyol.
3
Para penyiar itu menjadi anggota tarekat yang melarikan diri dari Bagdad ketika kota
itu diserbu Mongol tahun 1258 M.
1
guru sufi dan organisasi yang tumbuh di seputar metode sufi yang khas ini
(Bruinessen, 1995: 15).
Sebagian kalangan muslimin sering mengacuhkan4 keberlangsungan
tasawuf, yang sering diamalkan dalam kerangka organisasi dikenal sebagai
tarekat. Tetapi, sekali lagi tasawuf dan tarekat tidak pernah betul-betul surut
apalagi lenyap. Meski sepanjang sejarahnya sering menghadapi oposisi dan
menjadi sasaran pemurnian yang radikal khususnya sejak pertengahan abad
XIX M dengan bangkitnya gerakan Wahabiyah. Tasawuf dan tarekat bukan
hanya mampu bertahan dan melakukan berbagai macam adaptasi serta
akomodasi, tetapi bahkan berkembang lebih luas (Bruinessen & Howell,
2008: vi).
Perkembangan tasawuf dan tarekat menjadi gejala penyebaran
kebudayaan. Jelas terdapat beragam ekspresi tasawuf dan tarekat dalam
wilayah penyebaran. Keragaman itu bukan hanya disebabkan pemahaman
yang berbeda tentang tasawuf dan tarekat itu sendiri, tetapi juga terkait
dengan lingkungan penyebaran itu sendiri, yang juga bisa berbeda satu sama
lain (Bruinessen & Howell, 2008: vii). Terlepas dari keragaman corak
tasawuf dan tarekat di wilayah penyebaran, yang jelas aspek spiritualisme
Islam ini menyajikan wajah Islam yang lebih inklusif. Dengan demikian
tarekat dan tasawuf, baik secara antropologis dan intelektual punya potensi
besar untuk menjadi arus utama Islam yang lebih acceptable bagi lingkungan
baru (Bruinessen & Howell, 2008: viii).
Demikianlah, tarekat telah menjadi pilihan bagi sebagian kaum muslimin
di Indonesia saat ini. Salah satu tarekat besar di Indonesia adalah Qadiriyah
Naqsyabandiyah. Persaudaraan sufi (tarekat) yang dikenal sebagai Qadiriyah
Naqsyabandiyah barangkali yang tersebar luas dan paling aktif dari semua
kelompok serupa di Indonesia saat ini (Mulyati, 2010: 1).

4
Bahkan ada anggapan bahwa tasawuf sebagai sumber bid’ah yang berpusat pada
pemujaan terhadap syekh tarekat. Karena itu selalu ada kecenderungan oposisi terhadap
tarekat. Lihat dalam Simuh, Sufisme Jawa, hlm. 10.
2
Di Indonesia tarekat yang dikombinasikan ini dikenal sebagai tarekat
Qadiriyah Naqsyabandiyah yang dipelopori oleh seorang Syekh Qadiri,
Ahmad Khatib Sambas di Mekah, pada abad XIX M. Unsur-unsur Qadiri
bergabung dengan unsur-unsur Naqsyabandi pada praktik tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah. Sebagai contoh, selain zikir jahiri (ciri khas zikir Qadiri
dengan suara keras), nama-nama figur dalam silsilah tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah kebanyakan dari garis Qadiriyah. Pengaruh
Naqsyabandiyah, pada sisi lain, mungkin dapat dilihat pada praktik zikir diam
(zikir khafi) dan pengulangannya sepanjang hari. Unsur-unsur lain yang
menyangkut Qadiriyah mungkin dapat dilihat dari terpeliharanya ritual
keagamaan (zikir, khataman dan manakiban) serta pembaiatan. Unsur-unsur
inilah yang telah dipraktikkan bersama dengan unsur-unsur lain dari
Naqsyabandiyah (Mulyati, 2010: 28). Pada tahun 1970-an ada empat pusat
penting tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di pulau Jawa yaitu; Rejoso
(Jombang); Mranggen (dekat Semarang); Suryalaya (Tasikmalaya); dan
Pagentongan (Bogor) (Mulyati, 2010: 49).
Ketertarikan peneliti untuk menulis tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di
Suryalaya bermula ketika peneliti mengikuti short course metodologi
penelitian etnografi kerjasama IAILM Suryalaya dengan Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI yang bertempat di
Suryalaya. Peneliti menetap selama empat minggu di wilayah pondok
pesantren Suryalaya, dan peneliti terkesan oleh pengaruh tarekat yang besar
dalam perjalanan sejarah pondok pesantren Suryalaya. Tak dapat dipungkiri
pondok pesantren Suryalaya mempunyai karakteristik yang sama dengan
pondok pesantren lain di Indonesia, namun masing-masing mempunyai ciri
khas tersendiri. Adapun posisi pondok pesantren Suryalaya yang menjadi
pusat dari suatu tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, menurut hemat peneliti
membuat pesantren ini unik dan menarik untuk dikaji lebih dalam.
Dari uraian di atas, hal yang penting ialah menyangkut sikap orang-orang
dalam sendiri (indigenous), untuk tetap berusaha menjaga tarekat Qadiriyah

3
Naqsyabandiyah di lingkungan pesantren Suryalaya. Upaya mempertahankan
tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dapat dilakukan dengan cara bersistem
didasarkan pada konsep pemahaman budaya tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah tersebut.
Berdasarkan pemahaman budaya, kebudayaan dapat dipertahankan
dengan memperhatikan empat faktor. Pertama, pemahaman budaya itu secara
relatif harus bertahan lama (durable) pada anggota tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah. Kedua, pemahaman budaya tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah itu stabil secara historis (historically stable), tercipta dari
generasi ke generasi (Laksana, 2009: 5). Ketiga, pemahaman budaya itu
secara relatif bersifat tematik yang melandasi kehidupan masyarakat.
Kebudayaan dapat bertahan jika ia diterapkan secara berulang dalam varietas
konteks yang luas. Keempat, pemahaman budaya itu lebih kurang dibagi
bersama secara luas, dihayati secara luas (Laksana, 2009: 6) dalam suatu
kelompok tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah.
Dengan adanya upaya pemahaman budaya, maka tahap selanjutnya
generasi tua melakukan proses pewarisan budaya agar menjadi sebuah
pembudayaan. Dalam hal ini pembudayaan adalah proses yang menyebabkan
individu memperoleh kemampuan dalam kebudayaan kelompok. Persoalan
pembudayaan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah sesungguhnya sangat
berkaitan dengan pelestarian budaya bangsa (Subiyantoro, 1998: 4).
Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 32 UUD 1945 bahwa pemerintah
memajukan kebudayaan nasional Indonesia.5
Pelestarian warisan budaya tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah bukan
merupakan obsesi untuk mengantar kembali anggota tarekat Qadiriyah

5
Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai hasil budi daya rakyat
Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat di daerah-daerah seluruh
Indonesia terhitung sebagai budaya bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah
kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari
kebudayaan asing yang dapat memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi
derajat kemanusian bangsa Indonesia. Lihat dalam UUD’45 Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan Perubahannya (Surabaya: Karya Utama), hlm. 54.
4
Naqsyabandiyah ke koridor sejarah masa lalu, tidak pula untuk menemukan
masa silam, tapi untuk menemukan identitas dirinya. Itu berarti bahwa
budaya tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang dibangun harus mampu
berfungsi sebagai instrumen yang mengakomodasi masa kini dan membuka
pintu masa depan. Sehingga para pembudaya (pewaris) yang handal6 memang
harus ada dalam proses pembudayaan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah.
Pembudayaan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dimaksudkan agar
generasi muda dapat memahami, mengapresiasi potensi daerah dan
lingkungan sekitar, serta dalam proses pembudayaan dirinya tidak kehilangan
identitas diri di tengah-tengah arus informasi dan pengaruh global.
Diharapkan generasi muda memiliki bekal pengetahuan, keterampilan dan
perilaku dengan wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan
kebutuhan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di daerahnya
(Depdiknas, 2005: 3).
Dengan demikian, diperlukan tugas untuk mewariskan pemahaman
tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah agar bisa terus terjaga kelestariannya dan
tidak hilang seiring perkembangan zaman. Pada intinya, upaya pembudayaan
ini menuju satu titik, yaitu tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah sebagai milik
bersama anggota masyarakatnya yang patut dipertahankan.
Tak dapat dipungkiri tulisan tentang tarekat di Indonesia pada periode
sebelum kemerdekaan 1945 didominasi oleh ilmuwan Belanda seperti Snouck
Hurgronje,7 dan Drewes yang sedikitnya menulis sembilan belas buku tentang
tasawuf di Indonesia. Meski ilmuwan Belanda sudah berkurang pada masa
setelah ini, namun masih tetap berpengaruh. Sebagai contoh karya Martin van
Bruinessen tentang tarekat Naqsyabandiyah merupakan studi bahasa
Indonesia yang pertama mengkaji tarekat tertentu (Mulyati, 2010: 5), dan

6
Yang dimaksud dengan handal disini adalah para pembudaya yang memahami secara
mendalam seluk beluk tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, yaitu wakil talqin yang dipercaya
oleh mursyid.
7
Snouck Hurgronje, Mecca in the Later Part of the 19th Century (1889); the Acehnese 2
Vols (1893-1894).
5
peneliti menggunakannya sebagai titik awal sebuah riset tentang tarekat
tertentu, yaitu riset tentang tarekat Qadiriyah Nasyabandiyah.
Beberapa penelitian tentang tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dengan
berbagai aspek di pondok pesantren Suryalaya, diteliti oleh antara lain;
Dudung Abdurrahman,8 Ahmad Sodli,9 Sandi Fuadhi,10 dan Ajid Tohir.11
Secara umum kajian mereka tentang sejarah dan perkembangan serta
pengajaran tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, sejarah dan pendidikan Islam
di pondok pesantren Suryalaya, dan pondok Inabah. Penelitian terakhir adalah
karya Sri Mulyati tentang peran edukasi tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di
Suryalaya. Jadi ruang kosong yang akan diisi oleh penelitian ini adalah to
describe proses pembudayaan zikir tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah.

B. Masalah Penelitian
Berangkat dari latar belakang di atas, maka pokok permasalahan adalah
mengungkap proses pembudayaan zikir tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di
pondok pesantren Suryalaya, kemudian dijabarkan dalam bentuk pertanyaan:
1. Bagaimana sejarah kemunculan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di
Suryalaya?
2. Bagaimana pembudayaan zikir tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di
Suryalaya?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengungkap sejarah kemunculan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di


Suryalaya.

8
“Gerakan Sosial Politik Kaum Tarekat di Priangan Abad XX”, Laporan Penelitian
(Yogyakarta: PPS UIN SUKA, 2009).
9
“Lembaga Pengobatan Inabah Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah: Studi Kasus Inabah
VI Kelurahan Sukahaji Kecamatan Ciparay Bandung”, (Semarang: BPAK, 1994).
10
“Terapi Zikir untuk Mengatasi Gangguan Mental Psikosomatik: Studi Kasus di
Pondok Remaja Inabah Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat”, Skripsi (Yogyakarta: UIN
SUKA, 2006).
11
Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme
Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Pulau Jawa (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002).
6
2. Menguraikan proses pembudayaan zikir tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah di Suryalaya.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis:
a. Memberikan sumbangan penjelasan konsep pembudayaan, yang kiranya
dapat digunakan sebagai alat analisis dalam menelaah proses
pembudayaan suatu budaya pada masyarakat muslim dalam rangka
mempertahankan budaya;
b. Uraian tentang pembudayaan zikir tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah
dapat memberikan gambaran bagi pembudayaan Islam dan budaya lokal.
2. Manfaat praktis: diharapkan penelitian pembudayaan tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah dapat menyediakan pengetahuan berbasis riset bagi para
praktisi studi Islam dan peneliti untuk memahami tentang salah satu
tarekat besar di Suryalaya dan saat ini masih dibudayakan.

E. Kajian Pustaka
Penelitian tentang tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah telah banyak
dilakukan akhir-akhir ini. Untuk mempermudah penelitian ini, maka peneliti
akan memetakan sumber pustaka yang dapat dijadikan rujukan berdasarkan
paradigma yang digunakan dalam sumber pustaka tersebut.
Pertama, kajian tentang tarekat secara umum dan tarekat tertentu diawali
karya Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia: Survei
Historis, Geografis dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1994). Kajian ini
menggambarkan tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia dengan menggunakan
perspektif sejarah dan pendekatan geografis serta sosiologis. Selanjutnya
Martin van Bruinessen berkolaborasi dengan Julia D. Howell (ed), Urban
Sufism yang mendeskripsikan fenomena ketertarikan manusia modern pada
gaya ‘kehidupan’ sufi. Ketika akan mengkaji tentang tarekat yang ada di
pulau Jawa, maka karya Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam

7
ke Mistik Jawa, Cet. II (Yogyakarta: Bentang, 1996), patut diperhitungkan
untuk melihat model tarekat yang ada di Jawa. Buku ini menggunakan
pendekatan sejarah.
Kedua, kajian tentang tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dengan berbagai
aspek di pondok pesantren Suryalaya, antara lain karya Sri Mulyati, Peran
Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah: Dengan Referensi Utama
Suryalaya (Jakarta: Prenada Media, 2010). Penelitian ini merupakan karya
yang cukup mendalam tentang peran pendidikan Qadiriyah Naqsyabandiyah
di Suryalaya. Penelitian karya ini menggunakan perspektif historis.
Selanjutnya karya yang menyoroti kiprah Qadiriyah Naqsyabandiyah
dalam bidang sosial politik antara lain tulisan, Dudung Abdurrahman,
“Gerakan Sosial Politik Kaum Tarekat di Priangan Abad XX” (Yogyakarta:
PPS UIN SUKA, 2009). Pendekatan yang digunakan historis. Demikian juga
karya Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan
Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Pulau Jawa,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2002).
Sedangkan kajian tentang kiprah Qadiriyah Naqsyabandiyah dan
pesantren Suryalaya dalam penyembuhan kecanduan narkoba antara lain
karya, Ahmad Sodli, “Lembaga Pengobatan Inabah Tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah: Studi Kasus Inabah VI Kelurahan Sukahaji Kecamatan
Ciparay Bandung” (Semarang: BPAK, 1994); dan Sandi Fuadhi, “Terapi
Zikir untuk Mengatasi Gangguan Mental Psikosomatik: Studi Kasus di
Pondok Remaja Inabah Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat” (Yogyakarta:
Ushuludin UIN SUKA, 2006).
Ketiga, karya penelitian dalam wilayah yang mendukung kelestarian suatu
budaya (pembudayaan) dan sumber pustaka yang dapat dijadikan sebagai
rujukan antara lain, Hans J. Daeng dalam disertasi, “Usaha Enkulturasi Gereja
Katolik di Manggarai dan Ngada, Flores”, dengan topik penelitiannya pada
upaya enkulturasi Gereja Katolik di Flores terhadap kebudayaan lokal, pada
tahun 1989. Daeng menggunakan teori ritus peralihannya Van Gennep, teori

8
akulturasi Kroeber. Daeng menggambarkan pertemuan budaya lokal dengan
agama Katolik.
Kajian tentang enkulturasi juga dibahas oleh Slamet Subiyantoro dalam
tesisnya, “Proses dan Pola Enkulturasi Seni Ukir di Dukuh Taraman, Desa
Mantingan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.” Fokus kajiannya adalah tentang
proses dan pola enkulturasi seni ukir terhadap berbagai sarana yang terkait
satu sama lain dalam kerangka kebudayaan. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa proses enkulturasi didasari motif ekonomi dan kesadaran sosial.
Penelitian bersifat deskriptif dan analisis dengan menggunakan pendekatan
antropologi budaya.
Ada dua model penelitian tentang enkulturasi yang menggunakan
pendekatan sejarah, yaitu Singgih Tri Sulistiyono, dkk, dalam penelitiannya
yang berjudul “Model Sosialisasi dan Enkulturasi Nilai-nilai Kebaharian
Untuk Memperkuat Integrasi Indonesia Sebagai Negara Maritim Melalui
Pengajaran Sejarah dan Budaya Maritim Nusantara di Sekolah Dasar”. Dia
mengkaji kemungkinan pemanfaatan sejarah dan budaya maritim sebagai
wahana sosialisasi dan enkulturasi nilai-nilai kebaharian untuk memperkuat
integrasi nasional, sebagai landasan terjadinya proses menjadi Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah.
Hampir senada dengan penelitian sejarah di atas adalah karya Rochiati
Wiriatmaja, “Peranan Pengajaran Sejarah Nasional Indonesia Dalam
Pembentukan Identitas Nasional: Upaya Peraihan Nilai-nilai Integralistik
Dalam Proses Sosialisasi dan Enkulturasi Berbangsa di Kalangan Siswa
SMAK I BPK Penabur di Bandung”, dalam Jurnal Media Komunikasi Profesi
Masyarakat Sejarawan Indonesia, No.3, Jakarta: MSI dan Gramedia, 1993.
Fokus kajian pada proses sosialisasi dan enkulturasi berbangsa melalui
Pengajaran Sejarah Nasional Indonesia. Dengan menggunakan inkuiri
naturalistik, dapatlah dikemukakan secara umum hasil penelitian tersebut
yang menunjukkan potensi dan kelemahan yang terdapat dalam pengajaran
Sejarah Nasional Indonesia. Potensi yang ditampilkan ialah dibutuhkannya

9
pengajaran Sejarah Nasional sebagai alat pewarisan nilai-nilai yang dianggap
perlu oleh masyarakat bangsa Indonesia.
Keempat, karya yang dijadikan model dalam paradigma difusi ditulis
Rogers Everett, Diffusion of Innovasions (New York: Free Press, 2003).
Karya ini secara komprehensif mengurai tentang difusi kebudayaan, jadi buku
ini dijadikan model dalam mencari teori yang bisa dipinjam sebagai alat
analisis dalam penelitian perjalanan sejarah kemunculan tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah ke wilayah Suryalaya.
Semua karya penelitian tersebut, sesuai dengan judulnya masing-masing,
lebih terfokus pada kajian historis keberadaan tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah, mengetahui nilai-nilai dan makna-makna Qadiriyah
Naqsyabandiyah, kontribusi tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dalam
kegiatan sosial politik, sejarah dan pendidikan Islam di pondok pesantren
Suryalaya, dan pondok Inabah.
Karya-karya tersebut akan menjadi sumber informasi berharga mengenai
realitas dan proses pembudayaan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Setelah
mempelajari karya-karya di atas, maka peneliti dapat menguraikan bahwa hal
yang membedakan dengan karya sebelumnya adalah terletak pada fokus
penelitian. Dalam hal ini fokus penelitian yang akan peneliti kaji adalah
upaya pembudayaan zikir tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah.
Demikian pula paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah
historisisme dengan pendekatan difusionisme. Pendekatan difusionisme ini
mencoba untuk menggambarkan sejarah kemunculan tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah yang disebarkan oleh Ahmad Khatib Sambas sampai ke
wilayah Suryalaya. Kenyataannya saat ini tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah
berkembang cukup pesat dan dipertahankan bahkan dibudayakan.

F. Kerangka Teori
Sebagai landasan teori, beberapa kata kunci yang terkait dengan penelitian
ini akan diuraikan untuk memaparkan kajian secara lebih mendalam. Adapun

10
kata kunci yang penting dalam penelitian ini adalah, pembudayaan, tarekat
Qadiriyah Naqsyabandiyah dan zikir.
1. Pembudayaan
Setelah menelusur beberapa literatur tentang pembudayaan, maka peneliti
menggunakan istilah pembudayaan yang pada dasarnya sama dengan
enkulturasi.12 Dengan demikian enkulturasi menjadi salah satu kerangka
teoritis untuk melakukan pembacaaan secara kritis terhadap upaya
pembudayaan zikir tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di pondok pesantren
Suryalaya. Dalam antropologi budaya, konsep enkulturasi banyak
dikemukakan oleh para peneliti. Mengacu pada Haviland, enkulturasi
merupakan proses penerusan kebudayaan dari generasi satu ke generasi yang
lain (Haviland, 1988: 338). Dengan demikian enkulturasi13 dapat diartikan
sebagai usaha masuk dalam suatu budaya, meresapi suatu kebudayaan
sehingga membudaya. Dapatlah disepadankan dengan pemberdayaan ke arah
positif (Endraswara, 2006: 100), misalkan dalam hal ini membudayakan zikir
tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah.
Sedangkan, Daeng dan Slamet Subiyantoro mengacu dari Herskovits,
mengungkapkan enkulturasi adalah cara membudayakan, mengajarkan,
meneruskan pengetahuan-pengetahuan, keterampilan-keterampilan, nilai-nilai
dari generasi tua ke generasi muda yang berlangsung dalam waktu tidak
terbatas (Subiyantoro, 1998: 12). Poole mengungkapkan bahwa enkulturasi
merupakan proses seseorang memperoleh pemahaman, orientasi dan
kemampuan dalam menerima dunia ideasional yang mendasari kebudayaannya
sendiri (Poole, 1994: 833).
Terkait dengan hal ini, maka kebudayaan merupakan warisan sosial yang
dilalui secara training (Shomad, 2006: 63). Training yang dimaksud adalah

12
Peneliti merujuk pada karya-karya antara lain: Fortes yang diuraikan oleh
Koentjaraningrat, Slamet Subiyantoro, Wiriatmadja, Sulistiyono, Ali Sodiqin, Endraswara,
dll.
13
Akibat dari adanya kontak dan belajar budaya, maka akan terjadi beberapa hal, dimana
salah satunya adalah enkulturasi. Lihat dalam Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian
Kebudayaan (Yogyakarta: UGM Press, 2006), hlm. 99.
11
enkulturasi yaitu proses penelusuran kebudayaan dari generasi satu ke
generasi yang lain, yang berbeda-beda antara suatu masyarakat dengan
masyarakat lainnya (Shomad, 2006: 64).
Dari beberapa pendapat tentang konsep enkulturasi, peneliti mengacu
pada pendapat Poole, Haviland dan Herskovits. Kemudian penulis ramu
konsep ketiga ahli tersebut. Jadi konsep enkulturasi dalam penulisan ini
adalah proses penerusan budaya dari generasi tua ke generasi muda.
Enkulturasi terkait dengan proses individu belajar budaya. Dalam hal ini
terjadi proses penyerapan unsur-unsur kebudayaan oleh individu, kemudian
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk memperjelas kajian pembudayaan zikir tarekat Qadiriyah
Naqsyabadiyah, maka peneliti meminjam meminjam kerangka yang diuraikan
oleh Fortes. Pada proses pembudayaan ini diuraikan unsur-unsur14 dan proses
enkulturasi yang dilakukan dengan beberapa tahapan (Koentjaraningrat,
1990: 231). Untuk melakukan proses enkulturasi maka pembudaya selaku
pembimbing melakukan pendekatan instruksi dan persuasi. Sedangkan
anggota tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah menerimanya melalui tahapan:
inisiasi, imitasi dan enkulturasi.
2. Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah
Ketika membicarakan tarekat Qadiriyah Nasyabandiyah, maka untuk
mempermudah pemahaman perlu diuraikan definisinya satu persatu yaitu
tentang tarekat, tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Karena masing-masing
kata kunci tersebut mempunyai andil dalam pemaknaan dan sebagai landasan
teori.
2.1. Tarekat
Tarekat secara bahasa diartikan sebagai jalan; metode; cara yang teratur;
jalan untuk mencapai kesempurnaan jiwa dan pencerahan (Partanto, 1994:
740). Kata Tarekat di ambil dari bahasa Arab, yaitu dari kata benda thoriqoh

14
Unsur-unsur budaya yang akan diuraikan di sini adalah elemen dalam tarekat
Qadiriyah Naqsyabandiyah yang akan difokuskan pada zikir dan talqin.
12
yang secara etimologis berarti jalan, metode atau tata cara. Adapun tarekat
dalam terminologis (pengertian) ulama sufi; mengutip dari definisi tarekat
menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi al-Naqsyabandi,
dalam kitab Tanwir al- Qulub-nya: ”Tarekat adalah beramal dengan syariat;
menjauhkan diri dari semua larangan syariat lahir dan batin; melaksanakan
semua perintah Allah SWT semampunya; meninggalkan semua larangan-Nya
baik yang haram, makruh atau mubah yang sia-sia; melaksanakan semua
ibadah fardhu dan sunah; yang semuanya ini di bawah arahan, naungan dan
bimbingan seorang guru/ syekh/mursyid yang arif dan telah mencapai
maqamnya (www.peperonity.com, 2012: 1).
Sedangkan beberapa pengertian tarekat menurut para ahli diantaranya,
Harun Nasution, mengatakan: Tarikat berasal dari kata tariqah (jalan) yaitu
jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam tujuan untuk berada sedekat
mungkin dengan Tuhan. Tarekat kemudian mengandung arti organisasi
(tarikat), tiap tarikat mempunyai Syekh, upacara ritual dan bentuk zikir
sendiri. Hamka, mengatakan: Maka diantara makhluk dan khalik itu ada
perjalanan hidup yang harus kita tempuh, inilah yang kita katakan tarekat.
Sedangkan J. Spencer Trimingham, mengemukakan: Tarekat ialah suatu
metode praktis untuk menuntun seorang murid secara berencana dengan jalan
pikiran, perasaan, dan tindakan, terkendali terus menerus kepada suatu
rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqomat) untuk dapat merasakan hakikat
yang sebenarnya (Saefullah, 2012: 2).
2.2. Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah
Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah merupakan persaudaraan antara
tarekat Qadiriyah dengan tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah ini barangkali yang tersebar luas dan paling aktif di
Indonesia saat ini. Ketika membicarakan tentang tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah maka perlu diuraikan secara singkat tentang kedua tarekat
tersebut.

13
Kita awali dengan menyoroti tarekat Naqsyabandiyah didirikan oleh
Syekh Baha al-Din al-Naqsyabandi al-Bukhari (w. 1389 M). Informasi yang
didapat Mulyati tentang tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia dari Lombard
berdasar pernyataan L.W.C. van den Berg (w. 1927), bahwa ia secara
kebetulan menemukan aktivitas Naqsyabandiyah di Aceh dan Bogor, ketika
sedang belangsung kegiatan zikir. Lombard juga menggambarkan datangnya
Naqsyabandiyah di Medan dan Riau (Mulyati, 2010: 24).
Sedangkan tarekat Qadiriyah, mula-mula didirikan oleh Syekh Abdul
Qadir al-Jilani (w. 1166 M). Dalam bukunya Mulyati mengamini pendapat
Trimingham, bahwa tarekat Qadiriyah sudah menjadi salah satu tarekat yang
paling besar di dunia Islam dengan berjuta-juta pengikut di Yaman, Turki,
Syria, Mesir, India dan Afrika. Tidak diketahui persisnya bagaimana
Qadiriyah datang ke Indonesia, tetapi yang kita ketahui adalah Hamzah
Fansuri dari Barus Sumatera Utara adalah pengikut tarekat Qadiriyah, dan
sebagai orang yang terkenal, beliau mempunyai murid yang banyak
jumlahnya.
Selanjutnya di Indonesia cabang Qadiriyah yang paling aktif adalah yang
menggabungkan diri dengan Naqsyabandiyah. Di Indonesia dan negara-
negara sekitarnya tarekat yang dikombinasikan ini dikenal dengan TQN, yang
didirikan pada abad ke-19 oleh seorang Syekh Qadiri, Ahmad Khatib Sambas
di Mekah. Unsur-unsur Qadiri bergabung dengan unsur-unsur Naqsyabandi
pada praktik TQN. Sebagai contoh, selain zikir jahir (ciri khas zikir
Qadiriyah dengan suara keras), nama-nama figur dalam silsilah TQN
kebanyakan dari garis Qadiriyah (Mulyati, 2010: 27). Pengaruh
Naqsyabandiyah pada sisi lain, mungkin dapat dilihat pada praktik zikir diam
(zikir khafi) dan pengulangannya sepanjang hari. Unsur-unsur lain yang
menyangkut Qadiriyah dalam TQN mungkin dapat dilihat dari terpeliharanya
ritual keagamaan (khataman dan manakiban) dan pembaiatan. Unsur-unsur
inilah yang telah dipraktikkan bersama dengan unsur-unsur lain dari
Naqsyabandiyah (Mulyati, 2010: 28).

14
3. Zikir
Zikir dari bahasa Arab akar kata dh-k-r, yang berarti mengingat atau
menyebut. Istilah zikir sendiri pada umumnya diterjemahkan sebagai
mengingat. Dua sumber pokok Islam, al-Quran dan Hadits, sering
menyebutkannya bersamaan dengan kata doa (permohonan kepada Tuhan);
kedua terminologi adalah jenis doa yang bersifat sukarela, berbeda dengan
salat lima waktu yang diwajibkan kepada semua muslim (Mulyati, 2010:
105). Zikir merupakan salah satu elemen dari tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah.
Kata zikir dalam berbagai bentuknya dapat ditemukan dalam al-Quran
sebanyak 280 kali. Kata tersebut pada mulanya digunakan oleh pengguna
bahasa Arab dalam arti sinonim lupa. Ada juga sebagian ahli yang
berpendapat bahwa kata zikir pada mulanya berarti mengucapkan dengan
lidah atau menyebut sesuatu. Makna tersebut akhirnya berkembang menjadi
mengingat (Jirhanudin, 2007: 174).
Tujuan ‘ingatan’ adalah Tuhan. Al-Quran menggunakan istilah dzikrullah,
ingat kepada Tuhan, 26 kali dalam bentuk nominal, dan ada 15 kali yang
benar-benar memerintahkan ingat kepada Tuhan, seperti dalam peringatan
jika kita ingin Tuhan ingat kepada kita, kita harus mengikuti perintah Ilahi
untuk ingat kepada-Nya: “Ingatlah Aku, maka aku akan ingat kamu” (2: 152).
Literatur hadits juga mengandung zikir yang sangat banyak (Mulyati, 2010:
104).
Zikir juga ditemukan dalam ilmu disiplin lain, seperti dalam literatur sufi.
Misalnya Ibnu Athaillah (w. 1309) menulis tentang zikir dalam kitab Miftah
al Falah wa Mishbah al Arwah: ”Zikir adalah pembebasan dari kelalaian dan
ketidakingatan melalui kehadiran hati yang terus menerus dengan Tuhan.”
Diantara perbuatan kebajikan adalah zikir (Mulyati, 2010: 108). Secara umum
zikir dipahami sebagai pendekatan pribadi dan bersifat batiniah. Oleh karena
itu, para sufi menganggap ajaran Islam mengarah dan bertujuan agar manusia
selalu mengingat Tuhan dalam batin mereka.

15
Sumber-sumber Qadiriyah tidak memuat informasi eksplisit mengenai
zikir, akan tetapi Imam Sanusi menunjukkan bagaimana zikir Qadiriyah
dilakukan: “Zikir bersuara (zikir dzahir) dilakukan dalam sebuah lingkaran
diiringi dengan pengurangan makanan secara berangsur dan menjauh dari
keramaian manusia. Permulaan zikir harus dimulai dengan doa kemuliaan
Tuhan. Dengan itu nafas akan tertekan dan tersucikan, dan kelonggaran
dengan doa jalal adalah cara paling cepat untuk melepaskan diri seseorang
dari kelalaian (Mulyati, 2010: 107).
Ada kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi sebelum pelaksanaan
zikir. Dalam Sirr al-Asrar (kitab pedoman Qadariyah) dijelaskan bahwa zikir
yang sempurna harus dilakukan ketika seseorang dalam keadaan suci, yaitu
setelah wudhu. Arahan yang tepat dan suara yang kuat juga diperlukan untuk
menghasilkan sinar zikir di dalam hati orang yang berzikir (Mulyati, 2010:
108).
Sumbet-sumber Naqsyabandi juga membicarakan tentang jenis zikir.
Amin al-Kurdi sebagai contoh menjelaskan ada dua jenis zikir: zikir qalbi dan
zikir lisani. Keduanya mempunyai acuan kepada al-Quran dan Sunnah Nabi.
Zikir berhubungan erat dengan konsep muraqabah Naqsyabandi. Istilah
muraqabah berasal dari salah satu nama Tuhan al-Raqib (Maha melihat) yang
disebutkan dalam al-Quran (4: 1) dan (30: 52).
Pencari kebenaran tidak hanya ingat bahwa Tuhan melihat dirinya tiap
saat, tapi juga harus menjaga hatinya dari pikiran buruk dan gangguan. Al-
Ghazali mendefinisikan al-Raqib sebagai Maha Mengetahui dan Dzat
Pelindung dan muraqabah hanya layak dilakukan jika obyeknya adalah
Tuhan dan hati manusia itu sendiri. Manusia menyadari bahwa Tuhan
mengamati tiap gerakannya, dan menyadari pula bahwa tidak hanya setan saja
yang mampu membuatnya tersesat tetapi jiwanya (nafsu) juga (Mulyati,
2010: 109).
Hubungan muraqabah dengan zikir tidak secara tegas dinyatakan dalam
sumber-sumber Qadiriyah. Di dalam Sirr al-Asrar, kitab yang identik dengan

16
pendiri tarekat, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dipaparkan adanya hubungan itu
secara tersirat, tetapi tidak dibahas panjang lebar (Mulyati, 2010: 107).

G. Metode Penelitian

1. Sumber data
Penelitian ini mendasarkan diri pada dua jenis sumber, yaitu sumber
primer dan sekunder. Sumber yang pertama adalah sumber yang disampaikan
oleh saksi baik berupa dokumen-dokumen atau arsip-arsip maupun ingatan-
ingatan pelaku sejarah (socifact). Dokumen dalam jenis ini misalnya, Buku
karya Abah Anom, buku-buku atau artikel yang berisi tentang pondok
pesantren Suryalaya. Kemudian, untuk mengetahui proses pembudayaan zikir
di Suryalaya, maka akan dimanfaatkan juga karya penelitian tentang
Suryalaya dengan berbagai aspeknya. Informasi primer bisa didapatkan juga
dari ingatan para wakil talqin dan anggota tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah.
Pembacaan terhadap karya-karya tersebut akan dilakukan secara kritis
mengingat kepentingan individu yang mungkin ada di dalamnya. Untuk
mengimbangi dan memahaminya secara lebih komprehensif, wawancara
mendalam kepada tokoh-tokoh yang lain akan dilakukan.
Untuk mengetahui keadaan kondisi sosial pondok pesantren Suryalaya,
maka beberapa tulisan seperti beberapa karya Aboh Anom, dan buku-buku
tentang tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, akan dipergunakan sebagai
sumber literatur. Sedangkan sumber sekunder adalah sumber-sumber yang
mendukung kelengkapan literatur penelitian, ataupun orang-orang yang
mengetahui tentang kegiatan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Suryalaya.
2. Pemilihan Lokasi Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan di pondok pesantren Suryalaya. Peneliti
memilih lokasi ini karena: pertama, pondok pesantren ini sebagai salah satu
pusat tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, membuat pesantren ini unik
sehingga peneliti ingin mengenal pesantren ini lebih jauh. Kedua, setelah
peneliti menetap di pondok pesantren Suryalaya selama empat minggu,
17
peneliti terkesan oleh pengaruh tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang
demikian besar dalam perjalanan sejarah pondok pesantren Suryalaya.
Pengamatan awal peneliti, tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dipertahankan
dan dibudayakan.
Ketiga, penelitian tentang tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dan pondok
pesantren Suryalaya telah banyak dilakukan. Hal ini sangat membantu
peneliti dalam melakukan penelusuran literatur. Dengan demikian peneliti
akan mencari ruang kosong untuk penelitian lebih lanjut. Dan keempat,
pertimbangan akses yang lebih mudah dalam memperoleh informasi di
pondok pesantren Suryalaya memperkuat pemilihan lokasi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggali data terkait dengan pelaku pembudayaan zikir
tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (baik pembudaya ataupun penerima
budaya). Dalam hal ini, adanya upaya untuk menggambarkan bagaimana
perilaku wakil talqin dan anggota TQN yang berkaitan dengan apa yang
dilakukan (cultural behaviour), dan apa yang diketahui (cultural knowledge)
(Haliq, 2010: 404) terkait dengan zikir tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah.
Penelitian ini dilakukan pada kondisi alamiah (Sugiyono, 2007: 15)
bersama dengan anggota tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di masjid pondok
pesantren Suryalaya. Peneliti berusaha untuk melebur (Kaelan, 2010: 74),
dengan anggota tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, berbekal sedikit
pemahaman bahasa Sunda sebagai bahasa ibu mereka. Dengan demikian,
tineliti (meminjam istilah Prof. Heddy) secara sukarela dapat memberikan
informasi yang diperlukan oleh peneliti. Dengan demikian penelitian ini
berusaha menggambarkan dan memahami (Haliq, 2010: 404), proses
pembudayaan zikir tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Maka diperlukan data
kualitatif untuk mendapatkan kualitas penelitian yang sesuai.
Jadi dalam penelitian ini diperlukan penggunaan beragam metode
pengumpulan data (trianggulasi). Pada tahap awal peneliti melakukan
pengamatan dan observasi di pondok pesantren Suryalaya, dengan selalu
18
membuat field notes sesegera mungkin. Setelah menentukan tema penelitian,
maka peneliti memutuskan untuk tinggal di Suryalaya beberapa minggu.
Dokumentasi-dokumentasi baik berupa arsip-arsip, buku-buku dan sumber-
sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan pondok pesantren Suryalaya
merupakan data-data yang tersimpan diperlukan.
Data-data ini akan ditelusuri baik yang berada di perpustakaan-
perpustakaan pribadi para pengurus atau para alumni, juga yang ada di
perpustakaan-perpustakaan milik pemerintah, seperti perpustakaan pondok
pesantren Suryalaya, perpustakaan di Yogyakarta. Demikian juga
dokumentasi peneliti terhadap aktivitas zikir tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah di masjid Nurul Asror dan sekitar pondok pesantren
Suryalaya.
Peneliti juga menggunakan metode wawancara. Penetapan informan
kunci berdasarkan seleksi kriteria (creation based selection) yang
dimaksudkan, agar mendapatkan data sesuai dengan model penelitian ini.
Wawancara mendalam (in-depth interview) dilakukan terhadap para wakil
talqin dan anggota tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Dalam melakukan
wawancara ini, peneliti memanfaatkan alat perekam agar keterangan dari
informan dapat ditampung secara lebih utuh dan lengkap. Supaya proses
wawancara terarah kepada topik penelitian, maka digunakan daftar
pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman wawancara.
Untuk menjaga validitas data, maka penulis menggunakan cara triangulasi
yaitu menggali informasi dengan mengajukan satu persoalan kepada beberapa
informan, hingga sampai pada titik jenuh (Kaelan, 2010: 178). Dengan
wawancara, peneliti sangat terbantu untuk memahami sumber-sumber tertulis
yang ada. Hasil wawancara ini kemudian ditranskripsikan ke dalam bentuk
tulisan untuk kemudian dikelompokkan, dipahami, ditafsirkan dan
disimpulkan.

19
Untuk dapat memahami sudut pandang15 anggota tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah berkaitan dengan pembudayaan zikir tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah, peneliti juga berusaha melihat dan mengalami sendiri
interaksi antar anggota tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Suryalaya.
Peneliti berusaha mengikuti kegiatan-kegiatan dalam melakukan ritual
tersebut. Dengan demikian, peneliti berusaha mengamati dan mengikuti
setiap tahapan dalam pelaksanaan ritual tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di
Suryalaya. Metode pengumpulan data yang beragam sangat membantu dalam
mengumpulkan data yang kaya dan temuan-temuan komprehensif sehingga
tingkat keterpercayaan informasi dan hasil dari penelitian ini semakin tinggi
(Raihani, 2010: 4).

4. Teknik Analisis Data


Setelah semua data tentang tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah terkumpul,
selanjutnya ditulis dalam bentuk laporan yang terperinci. Laporan di lapangan
diolah menjadi bahan mentah, direduksi, dirangkum, disusun lebih sistematis
sehingga lebih mudah dikendalikan. Selanjutnya dilakukan display data.
Untuk melihat gambaran keseluruhan atau bagian tertentu dari penelitian,
diusahakan membuat berbagai macam pengklasifikasian sistematisasi
(Kaelan, 2010: 119). Berangkat dari langkah-langkah analisis data kualitatif
yang sistematis akan sangat membantu dalam proses mengambil kesimpulan
dan verifikasi yang tepat.
Untuk memperoleh makna yang lebih tepat, data yang terkumpul terlebih
dahulu diinterpretasi dengan menggunakan analisis deskriptif, analisis
komparatif, analisis sintetis dan induksi analitik. Dengan analisis deskriptif
dimaksudkan untuk mendeskripsikan data secara kritis, sistematis, faktual dan
akurat. Sementara dengan analisis komparatif dimaksudkan untuk
memperbandingkan antara satu data dan data lainnya. Sedangkan analisis
sintetis dimaksudkan untuk merangkaikan data-data agar dapat diperoleh

15
Pendekatan emik digunakan karena akan menjadikan peneliti sebagai bagian dari
kebudayaan yang diteliti. Lihat Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian, hlm. 36.
20
kesimpulan-kesimpulan yang seobyektif mungkin. Begitu juga dengan
induksi analitik untuk menggambarkan data dan untuk menguji teori
sekaligus. Langkah terakhir adalah melaporkan hasil-hasil penelitian dalam
bentuk tulisan yang baik.

H. Sistematika Pembahasan
Penulisan ini dirancang menjadi lima bab. Bab pertama, pendahuluan
yang antara lain terdiri dari latar belakang gambaran tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah di pondok pesantren Suryalaya dengan menguraikan
beberapa penelitian tentang tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah sebagai
pijakan penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk dapat mengetahui ruang
kosong penelitian lebih lanjut. Selanjutnya secara sistematis diuraikan pokok
permasalahan penelitian, tujuan penelitian, kajian pustaka, kerangka teori,
metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab dua, menggambarkan tentang setting pondok pesantren Suryalaya
dan suatu bahasan historis. Pada bab tiga, uraian tentang sejarah kemunculan
tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di pondok pesantren Suryalaya.
Bab empat, menitikberatkan pada muatan empiris penelitian di lapangan
yaitu proses berlangsungnya pembudayaan zikir tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah. Pada bab lima, yang merupakan penutup, peneliti
memberikan kesimpulan sekaligus ulasan contribution to knowledge bagi
Islamic studies. Terakhir saran-saran dan rekomendasi.

21
BAB II
PONDOK PESANTREN SURYALAYA: SELAYANG PANDANG

A. Lokasi dan Letak Pondok Pesantren Suryalaya


Pondok pesantren Suryalaya terletak di desa Tanjungkerta Kecamatan
Pagerageung. Adapun secara lengkap alamat pondok pesantren Suryalaya,
Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya,
Provinsi Jawa Barat 46158. Telepon: 0265 – 455828, 455801. Untuk lebih
jelasnya akan digambarkan denah lokasi pondok pesantren Suryalaya.

Denah lokasi Pondok Pesantren Suryalaya (Sumber www.suryalaya.org)

Kompleks pondok pesantren Suryalaya terletak di sebuah lembah yang


sangat indah, diapit oleh dua pegunungan, gunung Cakrabuana dan gunung
Sawal. Di belakangnya mengalir sungai Citanduy, batas teritorial yang alami
antara kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya. Letak pesantren merupakan
wilayah yang subur dan sejuk udaranya. Selama bertahun-tahun menjadi
pusat wilayah yang dikuasai oleh pergerakan DI/TII, pinpinan Kartosuwiryo,
yang menjadi tempat berlindung pada tahun 1950-an.

22
Letak pondok pesantren Suryalaya memang strategis, meskipun berada di
pegunungan dan hulu sungai, Kampung Godebag dekat dengan jalan tembus
Ciawi - Panumbangan - Panjalu, serta Kawali - Kuningan - Cirebon.
Pesantren ini terletak 9,5 kilometer dari jalan utama Bandung - Tasikmalaya,
sekitar 30 kilometer, sehingga akses menuju ke pesantren terbilang mudah.
Apalagi kondisi jalan yang menghubungkan satu desa ke desa lain sudah
terbuka, memberikan pengaruh besar terhadap kelancaran komunikasi.
Jarak pesantren ini dengan wilayah kota Tasikmalaya tidak terlalu jauh.
Arus transportasi antar kecamatan telah dilengkapi dengan angkutan umum,
sehingga apabila ingin bepergian ke kota atau ke daerah kecamatan lain dapat
terjangkau dengan mudah. Dari terminal Indihiang Tasikmalaya, dapat
ditempuh dengan transportasi umum dengan pemberhentian di dua tempat
yaitu Panumbangan atau Warudoyong. Dari dua tempat tersebut, akses
sampai ke lokasi pondok pesantren dapat menggunakan transportasi umum
dengan harga yang cukup terjangkau.
Hal yang semakin mempermudah akses ke pesantren ini adalah nama
besar pesantren yang hampir semua warga masyarakat sekitar mengetahuinya.
Dengan demikian jika ketika ditanya lokasi pesantren ini, ataupun rute
menuju pesantren ini, maka masyarakat akan dengan mudah untuk
memberikan informasinya. Jadi bagi pendatang baru untuk mencapai ke
pesantren ini tidak mengalami kesulitan. Hal ini pun dialami oleh peneliti
ketika pertama kali mendatangi pesantren ini. Peneliti dapat dengan mudah
menjangkau lokasi pesantren, meski belum tahu sama sekali. Berbekal
informasi yang ada, disertai selalu mengajukan pertanyaan pada warga ketika
dalam perjalanan, maka sampailah peneliti ke lokasi pesantren ini.
Pada saat memasuki kompleks pondok pesantren Suryalaya, terdapat
pintu gerbang di depan yang bertuliskan “Pondok Pesantren Suryalaya”,
disertai dengan tanggal berdirinya pesantren ini. Di sebelah kanan dan kiri
jalan terdapat kios-kios berjualan buku-buku agama dan buku tentang
pesantren. Selanjutnya di sisi kiri jalan terdapat gedung sekolah yang

23
berdekatan dengan kantor Yayasan Serba Bakti pondok pesantren Suryalaya
dan asrama putra. adapun asrama putri terletak di bagian belakang rumah kiai.
Perjalanan berlanjut ke arah masjid Nurul Asrar, yang di sekililingnya
terdapat deretan bangunan, yaitu sebuah rumah dan kantor. Ada pula sebuah
ruangan yang digunakan sebagai dapur umum, di mana ketika ada kegiatan
manakib, aktivitas di dalam dapur ini meningkat. Selanjutnya dapat dilihat
puncak menara masjid dihiasi dengan tulisan lafadz Allah, yang diterangi
oleh lampu, dan pada malam hari bersinar menyala di tengah-tengah lembah
yang gelap. Lafadz Allah dilihat sebagai lambang cahaya kesucian di hati
manusia yang merupakan intisari pengajaran di pesantren tersebut (Mulyati,
2010: 209).
Di tempat terpisah (di bagian wilayah atas), terdapat sebuah kampus
Institut Aagama Islam Latifah Mubarokiyah. Selain terdapat ruang kelas,
terdapat juga aula serba guna yang dapat digunakan untuk konferensi,
pertemuan-pertemuan, pameran atau bahkan untuk aktivitas olahraga.
Terdapat sebuah perpustakaan dan juga masjid di dalam kompleks kampus
ini. Dan di jalan raya menuju pesantren terdapat bangunan megah SMK
disertai dengan praktik unit usahanya.

B. Sejarah Pondok Pesantren Suryalaya


Keberadaan pesantren yang ada di desa Tanjungkerta tidak terlepas dari
perjalanan Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad yang akrab
dipanggil Abah Sepuh yang memprakarsai penyelenggaraan pengajian sekitar
tahun 1890. Prakarsa ini sebagai peletakan pondasi bagi pendidikan dan
dakwah Islam yang bernuansa ihsan (TQN) di Priangan Timur (TQN: 6).
Pertama-tama pengajian disampaikan di kampung Tundagan secara
informal dan diikuti oleh jamaah yang belum banyak, sehingga partisipasi
masyarakat belum ramai dan kurang berkembang. Mungkin karena Tundagan
kurang strategis dan sarana transportasi sulit atau karena adanya kecurigaan
masyarakat dan aparat setempat terhadap apa yang diajarkan Abah Sepuh.

24
Menghadapi hal ini, maka Abah Sepuh dan keluarga pindah ke Rancameong
Bandung. Beliau tinggal di rumah salah seorang ikhwan TQN (TQN: 6).
Selanjutnya, untuk meneruskan perjuangannya, Abah Sepuh pindah ke
Kampung Cisero. Namun karena kondisinya hampir sama, pada tahun 1901,
di usia 65 tahun, beliau memutuskan pengajian itu pindah lagi ke kampung
Godebag yang terletak di tepi sungai Citanduy bagian hulu. Dahulu kampung
ini termasuk wilayah Desa Tarikolot yang waktu itu merupakan wilayah
administratif Kabupaten Sumedang. Pada tahun 1905, di kampung inilah baru
didirikan sebuah pondok pesantren Suryalaya. Pondok pesantren ini
merupakan lembaga pendidikan Islam sebagai sarana dan tempat mengaji,
mengkaji, dan menyebarkan ajaran Islam dengan berbagai dimensinya,
khususnya TQN (TQN: 6).
Pada masa perintisannya pondok pesantren ini banyak mengalami
hambatan dan rintangan, baik dari pemerintah kolonial Belanda maupun dari
masyarakat sekitar. Juga lingkungan alam yang cukup menyulitkan. Namun
Alhamdullilah, dengan izin Allah SWT dan juga atas restu dari guru beliau,
Syaikh Tolhah bin Talabudin dari Kalisapu Cirebon semua itu dapat dilalui
dengan selamat. Hingga pada tanggal 7 Rajab 1323 H atau 5 September 1905
M, Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad dapat mendirikan sebuah
pesantren walaupun dengan modal awal sebuah mesjid yang terletak di
kampung Godebag, desa Tanjungkerta.
Pondok pesantren Suryalaya itu sendiri diambil dari istilah Sunda yaitu
surya berarti matahari, laya berarti tempat terbit, jadi Suryalaya mengandung
arti “tempat matahari terbit”. Pada awalnya, Syekh Abdullah Mubarok bin
Nur Muhammad sempat bimbang, akan tetapi guru beliau Syekh Tolhah bin
Talabudin memberikan motivasi dan dorongan juga bimbingan khusus
kepadanya, bahkan beliau pernah tinggal beberapa hari sebagai wujud restu
dan dukungannya. Pada tahun 1908 atau tiga tahun setelah berdirinya pondok
pesantren Suryalaya, Abah Sepuh mendapatkan khirqoh (legitimasi

25
penguatan sebagai guru mursyid) dari Syekh Tolhah bin Talabudin
(www.suryalaya.org, 2012: 1).
Modal pertama pondok pesantren Suryalaya berupa sebuah masjid yang
dijadikan tempat mengaji dan mengajarkan TQN, dibangun atas restu Syekh
Tolhah. Cikal bakal pesantren ini diberi nama “Patapan Suryalaya
Kajembaran Rahmaniyah”16 yang kemudian dikenal dengan Suryalaya.
Masjid itu diresmikan pada tanggal 7 Rajab 1323 H/ 5 September 1905 M.
Tanggal tersebut kemudian dijadikan hari jadi (milad) pondok pesantren
Suryalaya (TQN: 6). Meskipun nama Godebag terkait dengan banyak
peristiwa penting sehingga bagi banyak sebagian orang memberi kesan yang
mendalam, namun nama Suryalaya lebih populer.

Pondok Pesantren Suryalaya dan Masjid Jami Nurul Asror Tempo Dulu
yang merupakan modal pertama dari Pondok Pesantren Suryalaya sebagai
pusat kegiatan TQN

16
Patapan Suryalaya Kajembaran Rahmaniyah diambil dari kata: patapan memiliki arti
tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga
ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Tapa berarti
menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat
bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup
digunakan oleh seorang saja. http://tinulad.wordpress.com, akses 16-10-2012. Suryalaya
merupakan nama dari pondok pesantren ini yang berasal dari kata surya berarti matahari dan
laya berarti tempat terbit. Kata kajembaran berarti keluasan. Rahmaniyah berarti kasih
sayang. Kalimat ini dapat dilihat pada pintu gerbang masuk masjid Nurul Asror.

26
Masjid Jami Nurul Asror saat ini. Disinilah pusat kegiatan TQN
Suryalaya berlangsung sampai sekarang

Masa awal perjalanan pondok pesantren Suryalaya sebagai lembaga


pendidikan Islam dengan ciri khusus pengajian, pengamalan dan
pengembangan TQN tidak berjalan mulus begitu saja, karena ada
kesalahpahaman masyarakat, ditambah kebijakan pemerintah kolonial
Belanda yang kurang mendukung perkembangan tarekat pada umumnya.
Pemerintah kolonial Belanda melihat dan mencatat bahwa kiai tarekat,
termasuk santri dan pesantrennya sebagai provokator dan penyulut
tumbuhnya kekacauan, seperti Perang Banten (1658-1682), Perang Padri
(1821-1838), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1903),
Pemberontakan Cilegon, Banten (1888) dan Pemberontakan Kedondong,
Cirebon (1893). Atas bukti-bukti tersebut, maka pemerintah Belanda
memandang tarekat sebagai musuh besar yang sangat ditakuti dan harus
dikikis habis (TQN: 7).
Seiring perjalanan waktu, pondok pesantren Suryalaya semakin
berkembang dan mendapat pengakuan serta simpati dari masyarakat, sarana
pendidikan pun semakin bertambah, begitu pula jumlah pengikut/murid yang
biasa disebut ikhwan. Dukungan dan pengakuan dari ulama, tokoh
27
masyarakat dan pimpinan daerah semakin menguat. Hingga keberadaan
pondok pesantren Suryalaya dengan tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah-nya
mulai diakui dan dibutuhkan.
Untuk kelancaran tugas Abah Sepuh dalam penyebaran tarekat Qadiriyah
Naqsabandiyah dibantu oleh sembilan orang wakil talqin, dan beliau
meninggalkan wasiat untuk dijadikan pegangan dan jalinan kesatuan dan
persatuan para murid atau ikhwan, yaitu tanbih. Syekh Abdullah Mubarok bin
Nur Muhammad berpulang ke Rahmattullah pada tahun 1956 di usia yang ke
120 tahun. Kepemimpinan dan kemursyidannya dilimpahkan kepada putranya
yang kelima, yaitu KH. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin yang akrab
dipanggil dengan sebutan Abah Anom. Pada masa awal kepemimpinan Abah
Anom juga banyak mengalami kendala yang cukup mengganggu, di
antaranya pemberontakan DI/TII. Pada masa itu pondok pesantren Suryalaya
sering mendapat gangguan dan serangan, terhitung lebih dari 48 kali serangan
yang dilakukan DI/TII. Juga pada masa pemberontakan PKI tahun 1965,
Abah Anom banyak membantu pemerintah untuk menyadarkan kembali
mantan anggota PKI, kembali ke jalan yang benar menurut agama Islam dan
negara (www.suryalaya.org, 2012: 2).
Perkembangan pondok pesantren Suryalaya semakin pesat dan maju,
dengan membaiknya situasi keamanan pasca pemberontakan DI/TII membuat
masyarakat yang ingin belajar tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah semakin
banyak dan mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia. Juga dengan
penyebaran yang dilakukan oleh para wakil talqin dan para mubaligh, usaha
ini berfungsi juga untuk melestarikan ajaran yang tertuang dalam asas tujuan
tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah dan Tanbih. Dari tahun ke tahun pondok
pesantren Suryalaya semakin berkembang. Sesuai dengan tuntutan zaman,
maka pada tanggal 11 maret 1961 atas prakarsa H. Sewaka (Alm) mantan
Gubernur Jawa Barat (1947-1952) dan mantan Menteri Pertahanan Republik
Indonesia Iwa Kusuma Sumantri (1952-1953), dibentuklah Yayasan Serba
Bakti Pondok Pesantren Suryalaya (YSBPPS). Yayasan ini dibentuk dengan

28
tujuan untuk membantu tugas Abah Anom dalam penyebaran tarekat
Qadiriyah Naqsabandiyah dan dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa
Setelah itu pondok pesantren Suryalaya semakin dikenal ke seluruh
pelosok Indonesia, bahkan sampai ke Singapura, Malaysia, Brunai
Darussalam dan Thailand, menyusul Australia, negara-negara di Eropa dan
Amerika. Dengan demikian ajaran tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah pun
semakin luas perkembangannya, untuk itu Abah Anom dibantu oleh para
wakil talqin yang tersebar hampir di seluruh Indonesia, dan juga wakil talqin
yang berada di luar negeri seperti yang disebutkan di atas. Pada masa
kepemimpinan Abah Anom, pondok pesantren Suryalaya berperan aktif
dalam kegiatan keagamaan, sosial, pendidikan, pertanian, kesehatan,
lingkungan hidup, dan kenegaraan. Hal ini terbukti dari penghargaan yang
diperoleh baik dari presiden, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bahkan
dari dunia internasional atas prestasi dan jasa-jasanya. Dengan demikian
keberadaan pondok pesantren Suryalaya semakin kuat dan dibutuhkan oleh
segenap umat manusia (www.suryalaya.org, 2012: 3).

C. Kiprah Pondok Pesantren Suryalaya


Pondok pesantren Suryalaya pada perkembangan selanjutnya
menawarkan pendidikan, baik formal maupun informal. Pendidikan
formal mulai dari taman kanak-kanak hingga pada tingkat perguruan
tinggi, sedangkan pendidikan nonformal menggapai keluar dan membuat
kelompok tertentu seperti murid-murid potensial yang ada sekarang ini
(Mulyati, 2010: 229).
- Pendidikan Formal
Peran pendidikan formal pesantren dimulai tahun 1957 dengan
dibukanya Madrasah Diniyah Awwaliyah (Sekolah Dasar Agama). Untuk
memperluas jaringan pendidikan, maka sekitar tahun 60-an didirikanlah
Yayasan Serba Bakti. Langkah pertama yayasan, pada tahun 1963
mendirikan SMIP (Sekolah Menengah Islam Pertama). Pada tahun yang

29
sama didirikan pula Perguruan Tinggi Dakwah Islam, program yang
diluncurkan oleh Letjen Sudirman (Bapak Basofi, mantan Gubernur Jawa
Timur) dan oleh Drs. Sholahuddin Sanusi, mantan rektor IAIN Sunan
Gunung Djati. Pada tahun 1967 dengan keputusan dewan formal dibentuk
Madrasah Tsanawiyah dan Pendidikan Guru Agama (Mulyati, 2010: 230).
Untuk melengkapi sistem Sekolah Menengah Islam, selanjutnya
didirikan Sekolah Menengah Pertama (1970) yang sekarang dikenal
dengan SLTP Islam Serba Bakti, dan Sekolah Menengah Umum (SMU) di
tahun 1994 (sekarang disebut SMU Serba Bakti). Institusi lain yang
didirikan adalah Taman Kanak-kanak pada tahun 1978 (Mulyati, 2010:
230).
Desakan yang tercipta dan didorong oleh lulusan sekolah madrasah
tingkat pertama memunculkan Madrasah Aliyah (MA) tahun 1980, yang
disusul dengan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) tahun 1994.
Selanjutnya Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM), yang
didirikan tahun 1986, menyediakan pendidikan tinggi yang ditawarkan
pesantren ini (Mulyati, 2010: 230). Salah satu pendiri Institut Agama
Islam Latifah Mubarokiyah adalah pensiunan ABRI, Dr. Yoga Soegama.
Pada tanggal 5 September 1999, sebuah sekolah tinggi baru didirikan
diberi nama Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Latifah Mubarokiyah
(STIELM), yang menawarkan pendidikan tinggi di bidang ekonomi.
Disamping itu, ada juga pengajian tradisional yang dihadiri oleh siswa
dari berbagai level institusi pendidikan yang ada di pondok pesantren
Suryalaya, baik yang menetap atau tidak. Pengajian terdiri dari enam
tingkatan dan satu kelas khusus untuk pemula (mutaqaddimin). Karena itu
pilihan bagi seseorang yang ingin mendapatkan pendidikan di pondok
pesantren Suryalaya sangat bervariasi (Mulyati, 2010: 231).
Ada tiga macam sistem pendidikan yang ditawarkan: 1. sistem
madrasah diniyah meliputi: MDA, MTs, MA, MAK dengan kurikulum
yang berisi sebagian besar topik ilmu pengetahuan agama; 2. sistem

30
madrasah; madrasah menengah yang ada hanya SMIP, para siswa
berkonsentrasi pada pendidikan agama dan ilmu pengetahuan umum yang
berimbang; 3. sistem sekolah umum yang meliputi: SMP, SMU dengan
sebagian kurikulum umum disertai jumlah tertentu pengetahuan ilmu
agama (Mulyati, 2010: 231). Setelah tingkatan-tingkatan tersebut
seseorang dapat melanjutkan pada tingkat yang lebih tinggi, seperti di
IAILM atau STIELM.
- Pendidikan Nonformal
Adapun pendidikan nonformal pondok pesantren Suryalaya pada tahun
1965, memutuskan untuk bekerjasama dengan Jawatan Rohani Islam
KODAM VI Siliwangi dan mempelopori pengajaran agama Islam kepada
mantan anggota Parta Komunis Indonesia. Sejak tahun 1971 pondok
pesantren Suryalaya berkontribusi untuk merehabilitasi pecandu narkotika
dan kenakalan remaja melalui metode tarekat, untuk tujuan ini tahun 1980
dibangun sebuah fasilitas terpisah (Mulyati, 2010: 232). Lokasinya
berada di desa Cibereum, Ciamis (15 kilometer dari pesantren Suryalaya),
kemudian diberi nama Pondok Inabah.
Program dakwa pesantren sangat erat kaitannya dengan usaha dan
peran edukasi pondok pesantren. Tanggung jawab di tingkat paling rendah
dipercayakan kepada mubaligh yang memberikan pengajaran agama dan
praktik keagamaan kepada masyarakat di desa dan kota. Di atas mereka
adalah wakil talqin, representasi dari sang mursyid. Mereka mempunyai
kuasa untuk melaksanakan inisiasi atas nama mursyid. Para mubaligh dan
wakil talqin mempunyai pertemuan rutin dengan mursyid. Mereka
dikenalkan dan dilatih menggunakan teknik pendekatan dan teknik
dakwah baru (Mulyati, 2010: 232).
Kedudukan tertinggi di struktur ini adalah mursyid, tanggung jawab
utamanya adalah sebagai mursyid tarekat dan mengembangkan jaringan
dakwah yang luas dengan diarahkan kepada potensi pengikut TQN
sekarang. Pergantian kepemimpinan mursyid didahului oleh suatu upacara

31
dimana ketika sebuah khirqa (jubah kesufian) dianugerahkan oleh
mursyid TQN sebelumnya. Tugas mursyid penerus adalah memastikan
kelanjutan ajaran dan praktik TQN, agar memungkinkan ikhwan menjadi
semakin dekat kepada Allah (Mulyati, 2010: 233).
Dalam melaksanakan tugasnya mursyid dibantu oleh sejumlah wakill
talqin dan pengurus yang lain. Tugas yang penting adalah ketika pengurus
yayasan dipercayakan untuk membantu mursyid dalam urusan
administrasi dan manajemen dari semua aktivitas formal pondok
pesantren Suryalaya. Sekarang ini ada sekitar 46 cabang yayasan di
seluruh negeri. Masing-masing cabang bertanggungjawab atas aktivitas
mereka sendiri dengan tetap memelihara hubungan rohani yang kuat
(Mulyati, 2010: 233).
Dan juga terdapat para dosen dan guru di berbagi institusi bidang
pendidikan yang merupakan faktor penting untuk usaha dakwah. Tentu
saja, tujuan terakhir dari keseluruhan sistem adalah memandu ikhwan
TQN dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka yang tidak hanya sebagai
seorang murid tapi juga sebagai seorang muslim.

32
BAB III
SEJARAH KEMUNCULAN TAREKAT QADIRIYAH
NAQSYABANDIYAH DI PONDOK PESANTREN SURYALAYA

A. Pendiri Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah


Sebagai gambaran awal, gabungan tarekat Qadiriyah dengan
Naqsyabandiyah telah dipraktikkan oleh beberapa syekh terkenal,
diantaranya Ibrahim al-Kurani dan pendahulu serta penerus-penerusnya
mengamalkan kedua tarekat itu bersama-sama dengan tarekat Syattariyah.
Di Kurdistan Selatan, cabang Haurami dari tarekat Khalidiyah telah lebih
seabad menggabungkan zikir diam Naqsyabandiyah dengan zikir keras
Qadiriyah dalam satu pertemuan yang tidak terpisah. Tetapi tarekat
Qadiriyah Naqsyabandiyah yang ada di Indonesia, merupakan unsur-unsur
pilihan dari Qadiriyah juga Naqsyabandiyah yang telah dipadukan
menjadi sesuatu yang baru (Bruinessen, 1993: 89).
Melacak akar sejarahnya, maka pendiri tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah yang sampai ke Indonesia adalah Ahmad Khatib Sambas.
Beliau dilahirkan pada tahun 1217 H/ 1802 M di Sambas, Kalimantan
Barat. Nama lengkapnya adalah Syekh Muhammad Khatib ibn Abd. al-
Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. Beliau berasal dari Kampung Dagang, versi
lain mengatakan berasal dari Kampung Asam Sambas (Solihin, 2005:
314).
Setelah menyelesaikan pedidikan agama tingkat dasar di kota asalnya,
beliau pergi ke Mekah pada usia sembilan belas tahun dan menetap di
sana selama seperempat kedua abad kesembilan belas, sampai wafatnya
pada tahun 1289 H/ 1872 M. bidang studi yang dipelajari mencakup
berbagai ilmu pengetahuan Islam, termasuk tasawuf, yang pencapaian
spiritualnya menjadikan dirinya terhormat dan berpengaruh di seluruh
Indonesia (Mulyati, 2010: 36). Selama berada di Mekah ini banyak
pelajar Indonesia yang belajar kepadanya.

33
Popularitas Ahmad Khatib Sambas lebih diakui di bidang tarekat,
sedang dalam bidang-bidang keilmuan lain kurang diketahui.namun dalam
catatan Syekh Ahmad ibn Muhammad Zayn ibn Mustafa al-Fatani, yang
dikutip oleh Solihin mengatakan bahwa beliau adalah seorang ulama
besar yang hafal al-Quran, mengetahui hadits, fikih dan lainnya. 17
Mengenai kekeramatannya banyak dikisahkan para muridnya, seperti
yang dikutip oleh Solihin dalam bukunya. Diantaranya, ketika beliau
masih berumur kira-kira di bawah lima tahun, di suatu malam penghujung
bulan Ramadhan, Ahmad Khatib menemani pamannya pergi berwudhu
untuk mengerjakan salat tahajud. Pamannya membuka songkok putih dari
kepalanya dan meletakkan di ujung kayu yang terletak di pemandian.
Ketika pamannya sedang tertunduk mengambil air wudhu, tiba-tiba
Ahmad Khatib Sambas melihat songkok putih pamannya melayang di
udara, dan pohon-pohon bertumbangan seakan bersujud. Melihat kejadian
itu Ahmad Khatib Sambas terkejut dan menjerit. Pamannya yang wara’
itu paham bahwa saat itu terjadi peristiwa laylat al-qadr. Pamannya
berdoa agar keponakannya dijadikan Allah sebagai wali-Nya. Sejak itu
tabiat Ahmad Khatib Sambas banyak menampakkan keistimewaan,
sebagaimana layaknya seorang wali.
Ketika Ahmad Khatib Sambas meningkat dewasa, ia pergi ke Mekah.
Suatu hari ia pergi ke masjid al-Haram di sekitar halaqah ulama-ulama
besar bangsa Arab yang sedang mengajar. Ulama-ulama itu menyuruhnya
pergi meninggalkan halaqah mereka, karena menurut mereka ia tidak
akan sanggup mengikuti pelajaran tersebut. Peristiwa tersebut diketahui
oleh Syekh Dawud ibn Abdullah al-Fatani, menurut firasatnya Ahmad
Khatib Sambas, akan menjadi orang besar di kemudian hari. Beliau pun
memanggil pemuda yang sedang bersedih itu, dibawanya tinggal di
rumahnya dan diberikan pendidikan secara intensif (Solihin, 2005: 316).

17
Hal senada juga diungkapkan oleh Hurgronje, bahwa Ahmad Khatib Sambas
merupakan ulama yang handal di dalam tiap-tiap cabang pengetahuan Islam, namun di
Indonesia ia lebih dikenal sebagai pendiri tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah.
34
Dari sini diketahui, ternyata otak Ahmad Khatib Sambas memang luar
biasa. Semestinya ilmu yang dipelajarinya menghabiskan waktu tiga
puluh tahun, namun dapat diselesaikannya dalam waktu tiga tahun. Dalam
pandangan Syekh Dawud al-Fatani, bahwa muridnya itu telah layak
mempelajari ilmu-ilmu kesufian. Maka Syekh Dawud merekomendasikan
Ahmad Khatib Sambas untuk mengambil bai’at kepada Syekh Syams al-
Din.
Adapaun silsilah tarekat 18 yang dianut Ahmad Khatib Sambas,
kesemua tarekat ilmunya dimulai dari Allah dengan melalui Malaikat
Jibril sampai kepada Muhammad lalu seterusnya:
Muhammad S.A.W
Ali ibn Abi Talib
Husain bin Ali
Imam Ali Zayn al-Abidin
Imam Muhammad al-Baqir
Imam Ja’far al-Sadiq
Syekh Musa al-Kazim
Syekh Abi al-Hasan Ali ibn Musa al-Rida
Ma’ruf al-Karkhi
Syekh Sari al-Saqati
Syekh al-Taifah al-Sifiyah Abu al-Qasim al-Junayd al-Baghdadi
Syekh Abu Bakar al-Syibli
Syekh Abdul Wahid al-Tamimi
Abdul Faraj al-Tartusi
Syekh Abi hasan Ali al-Hakari
Syekh Abu Said Mahzumi
Sultan Awliya al-Qutb Ghauts Syekh Abdul Qadir al-Jaylani

18
Berdasarkan alur silsilah tarekat Ahmad Khatib Sambas yang diuraikan Martin van
Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografi dan Sosiologis
(Bandung: Mizan, 1993), hlm. 90-91; dan Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Indonesia
(Jakarta: Rajagrafindo, 2005), hlm. 316.
35
Syekh Abdul Aziz
Muhammad Hatak
Syekh Syamsuddin
Syekh Hisyam al-Din
Syekh Yahya
Syekh Abu bakar
Syekh Abdul al-Rahim
Syekh Usman
Syekh Abdul Fattah
Syekh Muhammad Murad
Syekh Syams al-Din
Ahmad Khatib Sambas
Syams al-Din, mursyidnya di tarekat Qadiriyah, adalah satu-satunya
guru yang disebut oleh Ahmad Khatib Sambas. Dari seluruh murid Syekh
Syams al-Din, Ahmad Khatib Sambas mendapat derajat yang tinggi,
sehingga ketika gurunya meninggal tempatnya digantikan oleh Ahmad
Khatib Sambas. Sejak itu Ahmad Khatib Sambas telah dilantik menjadi
Syekh Mursyid Kamil al-Mukammil dalam lingkungan tarekat Qadiriyah
dan Naqsyabandiyah (Solihin, 2005: 318).
Menurut Naquib al-Attas, yang dikutip dalam buku Mulyati, bahwa
Ahmad Khatib Sambas adalah seorang syekh dari dua tarekat, tarekat
Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Namun dia tidak mengajarkan kedua
tarekat tersebut secara terpisah tetapi agaknya mengkombinasikan
keduanya, sehingga tarekat kombinasinya dapat dilihat sebagai sebuah
tarekat yang baru, berbeda dari kedua tarekat asalnya.
Sebagai seorang mursyid Ahmad Khatib Sambas, sebenarnya memiliki
otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang
dipimpinnya. Karena dalam tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan
untuk menetapkan bagi seorang mursyid. Karena pada masanya telah jelas
ada pusat penyebaran tarekat Naqsyabandiyah di Mekah maupun

36
Madinah, maka sangat dimungkinkan ia mendapatkan bai’at dari tarekat
tersebut. Kemudian menggabungkan kedua inti ajaran tarekat Qadiriyah
dan Naqsyabandiyah, dan mengajarkannya kepada murid-muridnya
khususnya yang berasal dari Indonesia (Solihin, 2005: 321).
Penggabungan kedua tarekat tersebut dimungkinkan karena
pertimbangan logis dan strategis, bahwa kedua tarekat tersebut memiliki
inti ajaran yang saling melengkapi terutama jenis zikir dan metodenya. Di
samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama
menekankan pentingnya syariat dan menentang paham Wahdat al-Wujud.
Dengan penggabungan keduanya diharapkan para muridnya akan
mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih
mudah, efektif dan efisien (Solihin, 2005: 321).
Syekh Ahmad Khatib Sambas mengikuti prosedur dari afirmasi dan
negasi yaitu tidak ada Tuhan kecuali Allah (zikir al-nafy wa al-itsbat),
seperti dipraktikkan oleh tarekat Qadiriyah. Dia memperkenalkan
perubahan sedikit dari praktik normal Qadiriyah, sebagai tambahan dia
mengadopsi konsep lathaif Naqsyabandiyah. Pengaruh lain dari
Naqsyabandiyah adalah praktik visualisasi (rabitha), sebelum dan ketika
zikir sedang dilakukan. Zikir Naqsyabandiyah umumnya dilakukan
dengan diam, sedangkan zikir Qadiriyah umumnya diucapkan dengan
suara keras, dan Syekh Sambas mengajarkan kedua jenis zikir tersebut
(Mulyati, 2010: 39).
Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah menjadi sarana dalam penyebaran
Islam di seluruh Indonesia dan dunia Melayu di paruh kedua abad ke-
Sembilan belas. Kunci dari penyebaran ini adalah karya Syekh Sambas,
Fath al-Arifin yang menjadi salah satu karya populer dan paling utama
untuk praktik sufi di dunia Melayu. Fath al-Arifin menjelaskan unsur-
unsur dasar doktrin sufi sebagai janji kesetiaan (bai’at), mengingat Tuhan
(zikir), kewaspadaan perenungan (muraqaba) dan rantai spiritual (silsilah)
tarekat Qadririyah Naqsyabandiyah. Sebagai tarekat kombinasi, diperoleh

37
teknik spiritual utamanya dari kedua tarekat yaitu tarekat Qadiriyah dan
Naqsyabandiyah (Mulyati, 2010: 39).
Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, bersama-sama dengan tarekat
Naqsyabandiyah Khalidiyah adalah diantara tarekat yang paling progresif
di Indonesia pada akhir abad ke-Sembilan belas dan awal abad kedua
puluh. Kedua tarekat ini meluas dengan cepat, dan banyak dari khalifah-
khalifah mereka menyertakan diri dalam isu politik lokal. Sesungguhnya
tarekat Qadriyah Naqsyabandiyah dan anggotanya telah menyebar di
seluruh negara-negara Asia tenggara, terutama Malaysia, Brunai
Darussalam dan Singapura. Tarekat itu tidak terlalu terkenal di tempat
lain kecuali di Indonesia. Namun tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah
sepertinya lebih tersebar luas dengan anggota yang tidak hanya di
Indonesia tetapi juga di Asia tengah, beberapa negara Timur Tengah
seperti Libanon dan Syria, dan sebagian Afrika Barat dan Afrika Utara,
bahkan Eropa dan Amerika Utara (Mulyati, 2010: 41).
Latar belakang pendidikan Syekh Sambas sangat luas. Keahlian yang
luas ini mungkin menyebabkan dia menggunakan pendekatan menyeluruh
untuk memahami tarekat dan terutama pada keputusannya untuk
mendirikan TQN (Mulyati, 2010: 42). Beliau berperan besar bagi
tersebarnya tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah di Indonesia, yang
merupakan penggabungan dua tarekat yang dilakukannya di Mekah tahun
1857 M. di Mekah beliau menjadi guru sebagian besar ulama Indonesia
modern dan mendapatkan ijazah. Sekembalinya ke Indonesia, para murid
Ahmad Khatib Sambas itu memimpin tarekat dan mengajarkannya
sehingga tarekat ini tersebar di seluruh Indonesia (Solihin, 2005: 320).
Dalam kitab Fath al-Arifin tarekat ini merupakan univikasi dua tarekat
tersebut. Kitab ini berisi sebuah ringkasan baiat, amalan/ritual, zikir
(termasuk zikir lathaif), teknik spiritual kedua tarekat yaitu Qadiriyah dan
Naqsyabandiyah, duapuluh macam meditasi, juga silsilah dari dua tarekat,
walau lebih lengkap dari garis Qadiriyah (Mulyati, 2010: 126).

38
Ahmad Khatib Sambas tidak menulis sebuah kitab pun, tetapi murid-
muridnya yang setia merekam ajaran-ajarannya dalam risalah pendek
berbahasa Melayu, yang dengan gamblang menjelaskan teknik-teknik dari
tarekat ini. Salah satunya Fath al-Arifin dianggap oleh semua khalifah di
masa itu sebagai karya yang paling dapat dipertanggungjawabkan
mengenai tarekat. Fath al-Arifin memberikan perhatian yang sama kepada
unsur-unsur Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, tetapi dalam pengamalannya
di Indonesia, unsur-unsur Qadiriyah tampaknya lebih dominan. Dominasi
yang serupa tampak pula dalam silsilah (Bruinessen, 1993: 90).
Adapun penamaan tarekat ini rupanya tidak terlepas dari sikap tawadu
(rendah hati) dan ta’zim (penghormatan) Syekh Ahmad Khatib Sambas
kepada kedua pendiri tarekat tersebut. Beliau tidak menisbatkan nama
tarekat itu kepada namanya. Sebagai seorang pendiri tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah, Ahmad Khatib Sambas dipandang sebagai orang yang
telah memformulasikan pokok-pokok ajaran tarekat ini. Setidaknya ada
empat ajaran pokok dalam tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang telah
dikembangkan Ahmad Khatib Sambas, yaitu: tentang kesempurnaan suluk
(perjalanan rohani sufi), adab (etika) para murid, zikir dan muraqabah/
kontemplasi (Solihin, 2005: 322).

B. Murid-murid Ahmad Khatib Sambas


Murid-murid Syekh Ahmad Khatib Sambas cukup banyak, beberapa
dari mereka berasal dari Indonesia umumnya berasal dari pulau Jawa dan
Madura. Kemudian setelah kembali dari Mekah, mereka kemudian
mengajarkan TQN di daerah asalnya, bahkan beberapa orang diantaranya
oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas diangkat sebagai wakilnya yang
pertama.
Fleksibilitas dari pengajaran-pengajaran Qadiriyah memungkinkan
bagi seorang Syekh untuk memodifikasi ajarannya, dan mungkin itulah
yang memotivasi Syekh Ahmad Khatib Sambas yang sudah dikenal

39
sebagai mursyid Qadiri, untuk mendirikan tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah. Tentu saja bukan hal aneh dalam tradisi sufi untuk
memodifikasi sebuah tarekat, contohnya ada 29 tarekat yang merupakan
cabang Qadiriyah (Mulyati, 2010: 43).
Diantara murid-muridnya yang paling berpengaruh, untuk di pulau
Jawa yaitu, Syekh Abdul Karim dari Banten (Desa Tanara Kecamatan
Pontang kabupaten Serang), Syekh Tolhah dari Cirebon (Desa Kalisapu
Kecamatan Cirebon Utara Kabupaten Cirebon), dan Syekh Holil dari
Bangkalan Madura (Sunardjo, YSB: 14).
Ketiga tokoh TQN ini berhasil lolos dari pengawasan aparat keamanan
pemerintah Belanda ketika kembali ke tanah airnya. Syekh Abdul Karim
dari Banten tidak terlalu lama tinggal di tempat asalnya karena kemudian
pergi lagi ke Mekah dan lama bermukim hingga akhir hayatnya. Tidak
demikian halnya bagi Syekh Tolhah dan Syekh Holil (Sunardjo, YSB:
14).
Diantara ketiganya yang paling senior adalah Syekh Abdul Karim,
lahir pada tahun 1840, dibesarkan di daerah Lempuyang Tamara, Jawa
Barat, daerah yang sama dengan seorang alim yaitu Nawawi al-Bantani.
Abdul Karim pergi ke Mekah ketika masih muda, mengabdi di rumah
Syekh Sambas dan mencapai reputasinya sebagai ulama tasawuf. Pada
tahun 1872, beliau kembali ke rumahnya di Lempuyang dan menetap
sekitar tiga tahun. Pada tahun 1876, beliau pergi lagi ke Mekah dan
kemudian melaksanakan tugasnya sebagai pengganti Syekh Sambas
(Mulyati, 2010: 43).
Khutbah Abdul Karim mempunyai pengaruh yang kuat bagi warga
Banten. Baginya zikir harus menjadi fokus revitalisasi iman. Di banyak
tempat, baik masjid atau mushola zikir mulai banyak dilakukan.
Masyarakat percaya bahwa beliau adalah seorang wali Allah yang telah
diwarisi kemuliaan (barakat) tertentu dan mempunyai karamat (Mulyati,
2010: 44).

40
Murid Syekh Abdul Karim cukup banyak, sekalipun pemerintah
kolonial Belanda sangat ketat melakukan pengawasan terhadap gerakan
tarekat di Banten. Diantara muridnya yang menonjol dan kemudian
menjadi khalifah TQN di wilayah Banten adalah KH Asnawi asal
Caringin, Kabupaten Pandeglang, Banten. KH Asnawi mempunyai banyak
murid di wilayah Banten, diantaranya yang terkenal adalah putranya Kiai
Khodim yang membuka pesantren di Menes Pandeglang dan Kiai Abdul
Latif di Cibeber, Cilegon, Serang. Sedangkan di wilayah Bogor yang
diberi kedudukan wakil talqin adalah Kiai Falak dari pesantren
Pagentongan (Sunardjo, 1995: 14).
Perkembangan TQN di Banten kurang lancar dan menghadapi banyak
rintangan dari aparat keamanan Belanda maupun dari pejabat pemerintah
di wilayah Banten, terlebih lagi setelah terjadinya pemberontakan Cilegon
tahun 1888. Pemimpin pemberontakan adalah KH Marzuki sesepuh TQN
di Cilegon, menantu Syekh Asnawi yang juga santri Syekh Abdul Karim.
Sejak pemberontakan Cilegon ini, aparat keamanan pemerintah kolonial
Belanda melakukan pengawasan sangat ketat terhadap semua gerak-gerik
penganut TQN di Banten. Pemerintah kolonial Belanda memandang TQN
lebih berbahaya daripada tarekat yang lainnya (Sunardjo, 1995: 15).
Murid Syekh Sambas yang lainnya adalah Kiai Ahmad Habullah bin
Muhammad dari Madura. Melalui dia garis TQN di Rejoso berkembang
kemudian hari.
Sedangkan murid utama yang lainnya adalah Syekh Tolhah yang
merupakan pengembang TQN di wilayah Cirebon. Perbedaan antara
ketiga murid utama Syekh Sambas hanya sedikit sekali. Syekh Abdul
Karim lebih senior dan ditetapkan sebagai pengganti kedudukan Ahmad
Khatib Sambas di Mekah, setelah beliau wafat tahun 1878 (Sunardjo,
1995: 15). Syekh Tolhah dan Syekh Holil sempat melakukan baiat lagi
kepada Syekh Abdul Karim.

41
Sebagai khalifah TQN di wilayah Cirebon, Jawa Barat bagian Timur
(di Jawa Barat bagian Barat khalifahnya adalah Syekh Asnawi), Syekh
Tolhah berusaha keras agar TQN dapat berkembang dengan lancar
(Sunardjo, 1995: 16). Dia ditetapkan sebagai khalifah TQN di wilayah
Cirebon pada tahun 1876. Karena situasi yang kurang menguntungkan
Syekh Tolhah meminta izin kepada ayahnyau untuk membuka pesantren
di tempat lain yang lebih aman dari incaran aparat keamanan Belanda
yang mulai mengetahui identitasnya sebagai tokoh TQN yang baru
kembali dari Mekah. Setelah melakukan penelitian cukup lama, maka
ditetapkan lokasi pesantren di Kampung Begong (Sunardjo, 1995: 18). Di
tempat inilah Syekh Tolhah membangun pesantren TQN untuk wilayah
Cirebon pada tahun 1897.
Namun ketika Syekh Tolhah sedang mengunjungi kembali Mekah,
kampung Begong tempat pesantren itu berdiri dilanda banjir besar. Hal ini
membuat keluarga dan para santri mengungsi ke kampung dekat balai
desa Kalisapu. Setelah pulang dari Mekah, di tempat baru inilah Syekh
Tolhah mendirikan masjid (Sunardjo, 1995: 20). Karena Kalisapu sudah
tidak kondusif lagi, maka Syekh Tolhah memutuskan untuk sementara
waktu memindahkan aktivitas pengajaran TQN ke Trusmi, tetapi di
Kalisapu tetap ada pengajaran TQN hanya kegiatannya dikurangi
(Sunardjo, 1995: 21).
Sejak didirikan pesantren di Begong hingga Trusmi cukup banyak kiai
dan pejabat serta santri berguru kepada Syekh Tolhah. Dari sekian banyak
muridnya ada seorang yang menonjol yaitu Abdullah Mubarok bin Nur
Muhammad yang kemudian dikenal sebagai Abah Sepuh atau kiai/ajengan
Godebag. Beliau yang paling lama belajar kepada Syekh Tolhah. Semula
Syekh Tolhah sudah menunjuk calon penggantinya yaitu putra sulungnya
Kiai Malawi, tapi ia memohon untuk tidak menjadi khalifah TQN
(Sunardjo, 1995: 22).

42
Maka, Syekh Tolhah kemudian menetapkan penggantinya kepada
muridnya sebagai khalifah/mursyid TQN yaitu Abdullah Mubarok bin
Nur Muhammad yang kemudian dikenal sebagai Abah Sepuh dari
Tasikmalaya. Abah Sepuh untuk beberapa tahun berada di Trusmi
maupun di Kalisapu membantu Syekh Tolhah. Karena situasi semakin
memburuk bagi keberadaan dan perkembangan TQN di Cirebon, maka
Syekh Tolhah memerintahkan kepada Syekh Abdullah Mubarok untuk
membuka pesantren di Tasikmalaya dan mengembangkan TQN untuk
wilayah Jawa Barat sebelah Timur dengan pusatnya di Suryalaya,
Tasikmalaya (Sunardjo, 1995: 23).

C. Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Suryalaya


Kemunculan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Suryalaya tidak
bisa dilepaskan dari tokoh Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad
atau yang lebih akrab disapa dengan panggilan Abah Sepuh yang
merupakan pendiri Pondok Pesantren Suryalaya sekaligus mursyid tarekat
tersebut. Sebelum ia mendirikan pesantren Suryalaya, ia biasa berdakwah
dari segi-segi syariat saja. Sejak permulaan 1890-an ia berguru tarekat
kepada Syekh Tolhah Cirebon. Hubungan guru-murid antara Syekh
Tolhah dengan Abdullah Mubarok mempengaruhi kedudukannya bagi
peningkatan wibawa pesantern Suryalaya. Bahkan ia memperoleh
perhatian khusus dari sang guru, dengan menyempatkan berkunjung ke
Suryalaya pada tahun 1907, guna melihat langsung rencana
pengembangan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di wilayah tersebut.
Kemudian pada tahun 1908 Abdullah Mubarok memperoleh bai’at dari
guru Tolhah sebagai badal TQN untuk berwenang mengajarkan tarekat.
Semenjak itu pondok pesantren Suryalaya sebagai pusat perguruan tarekat
(Abdurrahman, 2012: 6).
Guna memperkokoh kedudukan sebagai mursyid, Abah Sepuh pernah
melakukan tabarruk (memohon berkah) kepada Syekh Abdul Karim

43
Banten di Mekah sewaktu ia menunaikan ibadah haji. Tabarruk dalam
tradisi tarekat memang salah satu langkah yang sering ditempuh seorang
sufi untuk memperkokoh kedudukannya. Setelah kepada Syekh Abdul
Karim Banten, ia pun berkunjung kepada ulama terkenal Kiai Holil (w.
1923) di Bangkalan, Madura. Kemudian Abah Sepuh, mengajarkan
kepada muridnya bahwa tarekat sebagai jalan kepada Tuhan yang harus
ditempuh berdasarkan keseimbangan antara aspek syariat dan aspek
hakikat. Meski demikian kesenangan duniawi tidaklah harus menjadi
penghalang sesorang untuk zikrullah (Abdurrahman, 2012: 7). TQN
Suryalaya berkembang dalam pola hubungan langsung antara dirinya
dengan segenap murid. Namun upaya pengembangan tarekat ini di luar
pesantren Suryalaya berlangsung atas peranan wakil talqin.
Pada tahap selanjutnya Abah Sepuh mulai mempercayai putranya yang
kelima yaitu yang akrab dipanggil Abah Anom menjadi wakil talqin pada
usia yang relatif muda (24 tahun). Dengan demikian Abah Anom telah
diperbolehkan mengajarkan terkat ataupun sesekali menggantikan peran
ayahnya selaku mursyid. Peranannya dalam pendidikan santri semakin
banyak, karena usia Abah Sepuh yang semakin tua. Kepemimpinan
semakin jelas berada di pundaknya sejak tahun 1950, tatkala Abah Sepuh
meninggalkan Suryalaya ke kota Tasikmalaya bersama muridnya yang
setia H. Sobari (Abdurrahman, 2012: 9).
Pada masa awal kepemimpinannya, Abah Anom mempertahankan
pondok pesantren Suryalaya sebagai pusat pengembangan tarekat dengan
sikap yang akomodatif dengan pemerintah, sebagaimana diwasiatkan oleh
orang tuanya, “agar segenap murid tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah
senantiasa menaati perintah agama maupun negara” (Abdurrahman, 2012:
10).
Abah Anom melanjutkan estafet TQN dari ayahnya, namun demikian
beliau tidak melakukan pembaruan terhadap substansi ajaran tarekat

44
kecuali memperjelas lewat karya-karya19 yang disusun sebagai panduan
bagi penganut TQN Suryalaya. Secara khusus ia telah berusaha
memberikan keterangan terhadap ajaran Abah Sepuh maupun ilmu tarekat
yang diinformasikan pencetusnya, Syekh Ahmad Khatib Sambas
(Abdurrahman, 2012: 10).
Komunitas TQN setelah kemerdekaan nampak mulai menunjukkan
efektivitasnya melalui gerakan pembinaan jaringan ikhwan yang tersebar
dalam wilayah pengaruh mursyid (sub komunitas) di pedesaan maupun
perkotaan. Semenjak awal periode 1960-an, setelah wilayah Priangan
Timur mulai pulih kembali, Abah Anom bertambah leluasa
mengembangkan tarekatnya serta mulai mendapat dukungan dari
kalangan elite politik (Abdurrahman, 2012: 11). TQN Suryalaya yang
dikembangkan Abah Anom tampak telah bisa memenuhi kebutuhan orang
banyak, sehingga komunitas-komunitas ikhwan dan pengaruh tarekat ini
bertambah luas.
TQN Suryalaya mulai terbuka bagi pengunjung yang ingin berprestasi
dalam ritus-ritus yang diselenggarakannya; tarekat ini memberikan
kesempatan yang luas kepada kaum wanita untuk mengambil bagian
dalam upacara-upacara pada tempat yang sama dengan kaum pria; dan
kehidupan sosial para penganut terjalin dalam ikatan ikhwan memperoleh
pembinaan intensif dari pimpinan pusat tarekat ini (Abdurrahman, 2012:
12). Sebagai contoh dalam kegiatan ritual manakib jumlah pesertanya
semakin banyak, terdiri dari berbagai kalangan, petani, militer, pedagang,
masyarakat umum dan penduduk lokal.

19
Karya-karya tersebut antara lain: Tanbih (peringatan), yaitu rekaman atas pesan-pesan
Abah Sepuh kepada segenap murid TQN yang disusun tahun 1956; Uqud Juman (panduan
Umum), disusun tahun 1960 berisi sistematika zikir baik untuk ritual harian atau mingguan;
Miftahus Shudur (Kunci Pembuka Dada), memuat kriteria praktik zikir; Tadjudz zakir fi
Manaqib as-Syekh Abdul Qadir, terjemahan kitab manakib karya Muhammad Sadiq al-qadir;
Akhlaqul Karimah Berdasarkan Mudaawamatu Zikrullah; Inabah yaitu buku panduan ibadah
dan zikir bagi santri inabah dalam proses penyembuhan jiwa akibat ketergantungan narkoba.
45
Bersamaan dengan itu gerakan TQN Suryalaya juga mengalami
perubahan pada segi-segi keorganisasian dan struktur kelembagaan. Mulai
tahun 1961 kelembagaan TQN dan pesantren Suryalaya diperluas ruang
lingkup kegiatannya melalui usaha “Yayasan Serba Bakti Pondok
Pesantren Suryalaya” (YSBPPS). Tujuan yayasan ini adalah untuk
menghimpun seluruh potensi ikhwan dalam melaksanakan misi pondok
pesantren Suryalaya, memajukan pengembangan dakwah Islam,
pendidikan dan pengajaran dan kegiatan sosial lainnya (Abdurrahman,
2012: 13).
Berdasarkan tujuan yayasan tersebut, struktur keorganisasian YSBPPS
tetap berada di bawah pondok pesantren Suryalaya, sehingga kedudukan
mursyid yang kemudian disebut sesepuh menempati hirarki yang paling
tinggi dan berperan sebagai pengayom serta pemimpin bagi yayasan.
Dengan begitu struktur kepemimpinan yang paling terkait dengan mursyid
adalah wakil talqin, dan hubungan struktural fungsional antara mursyid
dengan ikhwan atau masyarakat pada umumnya adalah melalui “Urusan
Dalam Pesantren” yang berkedudukan di rumah mursyid.
Karena itu kepengurusan yayasan di tingkat pusat berkantor di
pesantren, sedangkan perwakilannya dibuka hampir di seluruh kota
kabupaten di Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan kota-kota
lain di luar pulau Jawa. Perwakilan yayasan ini dibuka sejalan dengan
wilayah penyebaran penganut TQN Suryalaya. Pengelola perwakilan
yayasan di tingkat wilayah YSBPPS dilakukan oleh para tokoh ikhwan
dan para muballigh, sedangkan para wakil talqin berperan sebagai
sesepuh yayasan terutama dalam pembinaan ajaran dan ritual tarekat
(Abdurrahman, 2012: 14).

D. Mengenal Mursyid Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Suryalaya


Di Suryalaya, pengajaran Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah
dikembangkan oleh dua figur, Abah Sepuh sekaligus pendiri pondok

46
pesantren Suryalaya; dan penerusnya adalah Abah Anom yang notabene
adalah putra kelimanya. Maka tidak heran jika keduanya juga dikenal
sebagai mursyid tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Untuk memperjelas
pemahaman tentang pembudayaan zikir tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah, maka pada bab ini akan diuraikan profil kedua mursyid
tersebut.
1. Abah Sepuh
Abah Sepuh merupakan panggilan populer dari Syekh Abdullah
Mubarok bin Nur Muhammad. Lahir pada tahun 1836 M, di desa
Cicalung, Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten
Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Kampung kelahiran beliau letaknya
sekitar 3 kilometer dari pondok pesantren Suryalaya yang ada sekarang
ini. Nur Muhammad ayahanda Abah Sepuh, dikenal dengan panggilan
Eyang Upas, karena pada tahun 1836 beliau menjadi Upas, yang pada itu
umumnya menjadi kebanggaan dan idaman setiap pemuda (Solihin, 2005:
214).
Abah Sepuh mempelajari ilmu syariah dan ilmu-ilmu penunjang
lainnya di tanah air juga di Mekah. Pendidikan formal agama Abah Sepuh
dimulai di pesantren Sukamiskin yang terletak di daerah Bandung.
Demikianlah, pengembaraannya dalam mencari ilmu terus berlanjut
sampai mendirikan pondok pesantren di Kampung Tundagan dan
kemudian di kampung Godebag dengan menamakan pondok pesantren
Suryalaya sekarang ini, yang menyebabkan hampir nama Godebag tidak
kedengaran lagi, karena nama Suryalaya lebih terkenal dalam ingatan
masyarakat umum (Solihin, 2005: 214).

47
Foto Abah Sepuh diletakkan di dalam masjid dekat pintu masuk

Dalam sejarah hidupnya, Abah Sepuh menerima ilmu pengetahuan


dasar Islam pertamanya dari orang tuanya sendiri. Dia mempelajari
bacaan al-Quran, salat, fikih yang sangat dasar, serta tauhid di rumah. Dia
kemudian dikirim ke sebuah pesantren di Sukamiskin, Bandung, dimana
ia mempelajari fikih, tauhid dan ilmu alat (gramatika bahasa Arab).
Seperti Kiai Hasyim Asy’ari, ia melanjutkan pendidikannya di sebuah
pesantren di Bangkalan, Madura, Jawa Timur, di bawah kepemimpinan
Kiai Holil (Solihin, 2005: 215).
Sebelum pergi ke Cirebon, Abdullah Mubarok bersama-sama dengan
teman dekatnya sering berziarah ke Pamijahan (50 km ke arah Selatan
dari kota Tasikmalaya), di tempat itu dimakamkan Syekh Abdul Muhyi
seorang sufi dan guru tarekat pada akhir abad ke-18. Pada suatu malam
ketika sedang berada di Pamijahan untuk kesekian kalinya Abdullah
Mubarok mendapat petunjuk dalam mimpinya bahwa di Cirebon ada
seorang ulama yang akan menjadi guru mursyidnya (Sunardjo, 1995: 25).
Selang beberapa waktu, Abdullah Mubarok memutuskan untuk
berangkat ke Cirebon untuk mencari guru mursyid yang dimaksud. Tidak
mudah mencarinya, terlebih wilayah Cirebon yang cukup luas dan
48
alamatnya belum diketahui. Akhirnya setelah berhari-hari ke seluruh
pesantren di Cirebon dapatlah diketemukan tokoh tersebut yang tidak l ain
adalah Syekh Tolhah yang bertempat tinggal di semak-semak payau di
tepi laut dekat muara sungai Kalisapu yaitu di Begong (Sunardjo, 1995:
25).
Kemudian beliau masuk ke pesantren Kalisapu, Cirebon, sebuah
daerah di pesisir timur laut Jawa Barat. Di pesantren Kalisapu inilah
beliau belajar kepada seorang ulama dan Syekh terkemuka dari tarekat
Qadiriyah Naqsyabandiyah yang bernama Syekh Tolhah (Solihin, 2005:
215), sesuai dengan mimpinya ketika di pamijahan.
Syekh Tolhah ini merupakan seorang khalifah dari Syekh Ahmad
Khatib Sambas, pendiri tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Karena
tertarik dengan sufisme, maka Abah Sepuh menjadikan pesantren
Kalisapu sebagai perhentian terakhir dalam pengembaraannya. Syekh
Tolhah kemudian mempercayakan Abah Sepuh sepenuhnya sehingga
kemudian diangkat menjadi wakilnya (khalifah) dalam membimbing umat
atau mentalkinkan untuk menjadi penganut tarekat Qadiriyah
Naqsyabadiyah (Solihin, 2005: 216).
Pada tahun 1908 beliau ditetapkan sebagai khalifah tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah oleh Syekh Tolhah Cirebon. Upacara inagurasi syekh
baru yang dikenal dengan pemberian khirqa (jubah sufi) dilakukan di
rumah Syekh Tolhah di desa Trusmi Cirebon (Solihin, 2005: 216). Pada
saat sebelumnya beliau telah dibai’at ketika belajar di Mekah oleh Syekh
Abdul Karim Banten (Mulyati, 2010: 200).
Satu tahun sebelum Abah Sepuh menjadi seorang Syekh tarekat
Qadiriyah Naqsyabandiyah, pada tahun 1907 Syekh Tolhah berkujung ke
Suryalaya untuk mengevaluasi perkembangan tarekat ini. Beliau
mengamati bahwa di Suryalaya TQN lebih maju dibanding di Kalisapu.
Inilah mungkin alasan mengap Syekh Tolhah mengangkat Abah Sepuh

49
sebagai mursyid TQN. Perkembangan Suryalaya sebagai pusat pengajaran
TQN terus berjalan hingga sekarang ini (Solihin, 2005: 216).
Adapun sedikit gambaran tentang aktivitas/ritual tarekat yang
dijalankan Abah Sepuh sehari-hari meliputi wirid, rawatib dan salat sunat
lainnya, diantaranya:
- Melakukan salat sunat rawatib, meliputi 2 sampai 4 rakaat sebelum dan
sesudah salat Isya; 2 sampai 4 rakaat sebelum dan sesudah salat
Maghrib; 2 sampai 4 rakaat sebelum salat Ashar; 2 sampi 4 rakaat
sebelum dan sesudah salat Dzuhur; 2 sampai 4 rakaat sebelum salat
Shubuh (Didah, 1986: 57);
- Sesudah matahari naik sepenggalah kira-kira pukul 06.00, salat sunat
Isyraq, Isti’adah dan Istikharah;
- Dari matahari naik kira-kira pukul 07.00, salat sunat Dhuha yang
waktunya sampai pukul 11.00 sebanyak delapan rakaat;
- Salat sunat Tasbih dilakukan di malam hari
- Salat yang merupakan salat penutup diteruskan dengan wirid zikir
sebanyak-banyaknya dilanjutkan dengan membaca Robbana zholamna
anfusana wa illam taghfir lanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minal
khoosirin. Taubatnya Nabi Adam sampai fajar;
- Sesudah salat Maghrib dilakukan zikir sekurang-kurangnya 165 kali,
dilanjutkan dengan khataman dan wirid-wirid lainnya sampai tiba waktu
Isya (Didah, 1986: 58);
- Qiyamul Lail/Salat Malam Hari meliputi: a. salat Tahiyatul Masjid dan
Syukrul Wudhu sebelum kering air wudhu, b. salat Hajat yang lebih
baik dilakukan malam hari, c. salat Taubat gunanya untuk mensucikan
dosa yang telah diperbuat, d. salat Tahajud;
- 40 malam mandi 40 kali, 40 malam tidak tidur, 40 hari berpuasa, 40 hari
tidak makan nasi (niis), 40 hari tidak makan garam, dan lain-lain
(Didah, 1986: 59).

50
Sedangkan nama Abah Sepuh mulai melekat pada dirinya tahun 1952,
ketika beliau berusia 116 tahun. Ketika itu putra kelimanya, Abah Anom
telah disiapkan untuk menggantikannya sebagai mursyid TQN. Dan
semenjak itu pengikut TQN memanggilnya Abah Sepuh (ayah tua) dan
Abah Anom (ayah muda). Abah Sepuh mempunyai sejumlah nama dan
sebutan lain, seprti Ajengan Godebag, Kiai Godebag, Syekh Mubarok.
Karena alasan kesehatan dan keamanan, Abah sepuh dipindahkan ke
Tasikmalaya, menghabiskan sisa hidupnya di rumah muridnya (Mulyati,
2010: 207).
Dalam catatan akhir riwayat Abah Sepuh, pada tanggal 25 Januari
1956, beliau meniggal dunia dalam keadaan tenang, di usia 120 tahun,
dilepas oleh seluruh anak, cucu, keluarga dan pengikutnya dengan
kerelaan dan keharuan. Jenazahnya dimakamkan di pondok pesantren
Suryalaya dan banyak diziarahi orang yang berkunjung ke Suryalaya
(Solihin, 2005: 217).
Semasa hidupnya Abah Sepuh mempunyai beberapa istri, tetapi
pernikahannya dilakukan satu persatu. Dengan istri pertamanya,
Jubaedah, Tasikmalaya, dianugerahi seorang anak, Siti Sufiah. Dengan
istri ketiga, Siti Juhriah, Ciawi dianugerahi delapan anak: Siti Sukanah,
Muhammad Malik, A. Mahmud Abdullah, H. Sa’adah, Abah Anom, Nur
Wasi’ah, Didah Rosidah dan Siti Sumayah Juhriyah. Dengan istri
kelimanya, Ibu Enok mendapatkan seorang anak Noor Anom Mubarok.
Sebagai pembanding, Abah Sepuh tidak dianugerahi anak dari istri
keduanya, ibu Mulki Tasikmalaya, maupun dengan istri keempat, istri
keenam dan ketujuh (Mulyati, 2010: 208).
2. Abah Anom
Nama dari Abah Anom adalah K.H. A. Shohibul Wafa Tajul Arifin.
Sebutan Abah Anom merupakan sebutan orang Sunda yang artinya ayah
muda/Kiai Muda, nama yang diberikan ketika beliau masih muda dan
sudah menjadi kiai. Abah Anom lahir pada 1 januari 1915 di Suryalaya,

51
putra kelima dari Abah Sepuh dengan Hj. Juhriyah, sepuluh tahun setelah
pendirian pesantren Suryalaya. Nama lain dari Abah Anom adalah
Mumun Zakarmudji/H. Shohib (Mulyati, 2010: 212). Abah Anom dengan
tinggi 169 cm, menikah dua kali. Pertama dengan Hj. Euis Siti Ru’yanah,
kemudian dengan Masri Sofiah.

Foto Abah Anom diletakkan dalam masjid dekat pintu masuk

Pendidikan formal Abah Anom diawali dengan masuk Sekolah Dasar


di Ciamis (1923-1929), kemudian melanjutkan sekolah menengah di
Ciawi Tasikmalaya (1929-1931). Pada umur 18 tahun, beliau telah diberi
wewenang Abah Sepuh untuk memberikan talqin. Ia kemudian belajar
agama Islam di pesantren yang berbeda-beda di Jawa Barat seperti di
Cicariang (Cianjur), pesantren Gentur dan Jambudia, pesantren
Cireungas, Cimalati (Sukabumi) dimana beliau memperoleh ilmu hikmat
dan tarekat. Abah Anom juga berlatih ritual rohani (riyadloh) di bawah
bimbingan ayahnya. Beliau juga sering mengunjungi (ziarah) makam
orang-orang suci (awliya) ketika belajar di pesantren Kaliwungu (Kendal,
Jawa Tengah). Kemudian beliau pergi ke Bangkalan, ditemani kakaknya

52
H. A. Dahlan dan wakil talqin Abah Sepuh, K.H. Faqih (Mulyati, 2010:
213).
Pada tahun 1938 Abah Anom pergi ke Mekah ditemani oleh
keponakannya Simri Hasanudin dan menetap di sana selama 7 bulan
untuk belajar tasawuf dan tarekat dengan Syekh Romly Garut, seorang
wakil talqin Abah Sepuh yang bertempat tinggal di Jabal Qubaish dekat
Mekah. Syekh Romly ini sering mengadakan diskusi tentang sufisme,
terutama buku Sirr al-Asrar dan Ghaniyyah al-Thalibin karya Syekh
Abdul Qadir al-Jilani (tarekat Qadiriyah), dan Abah Anom sering
mengikuti diskusi-diskusi ini (Solihin, 2005: 219).
Ketika kembali ke tanah air pada tahun 1939, ia membantu ayahnya
dengan mengajar di pesantren Suryalaya dan membantu juga peperangan
untuk memperjuangkan kemerdekaan (1945-1949). Di tahun 1953, ia
ditetapkan untuk memimpin pesantren Suryalaya dan bertindak sebagai
wakil talqin Abah Sepuh (Mulyati, 2010: 213).
Kepemimpinan Abah Anom di pesantren Suryalaya sejak tahun 1956
merupakan suatu proses yang panjang. Beliau telah dipersiapkan oleh
ayahnya selama bertahun-tahun untuk tugas ini. Pada saat ditetapkan
sebagai pemimpin Suryalaya, keamanan menjadi perhatian utama ketika
Suryalaya termasuk kelompok yang berseberangan dengan DI/TII (Darul
Islam/Tentatra Indonesia Islam yang dipimpin Kartosuwiryo (Mulyati,
2010: 214).
Abah Anom mempunyai pandangan yang jelas dan pasti terhadap
peran tarekat dari perspektif sosial. Beliau memiliki pemahaman yang
luas menyangkut peran TQN; hubungan antara masyarakat, agama, status,
ilmu kalam, fikih dan tasawuf (Mulyati, 2010: 217). Menurutnya, taat
kepada ajaran Islam itu tanpa harus mengindahkan keadaan kita atau
orang lain. Karena itu, tidak heran jika pondok pesantren Suryalaya telah
mendukung pemerintah Indonesia yang ada sejak dahulu. Pesantren
Suryalaya terus-menerus mengingatkan santrinya untuk mencintai negara

53
dan bangsa. Pandangan ini ditegakkan sebagai contoh, tiap 16 Agustus,
manakala pesantren melaksanakan tahlilan dan doa khusus atas
kemerdekaan yang telah diraih (Mulyati, 2010: 222).
Di bawah kepemimpinan Abah Anom, pesantren Suryalaya mengalami
perkembangan yang signifikan, dengan perbaikan kapasitas pendidikan
formal, yang sekarang ini terdiri dari berbagai jenjang pendidikan, dari
taman kanak-kanak hingga perguruan tinnggi. Sebagai seorang anak
syekh kharismatik, Abah Anom telah mewarisi kharisma ayahnya. Di
samping memelihara dan mengembangkan warisan itu, Abah Anom
adalah pakar dalam tiga bidang cabang keilmuan Islam yang penting:
tauhid (teologi Islam), fikih (hukum Islam), dan tasawuf (Solihin, 2005:
220).
Abah Anom dan pesantren Suryalaya yang memiliki ciri khas
tersendiri, menjadikan pesantren ini menarik untuk dikaji oleh banyak
orang, baik atas nama pribadi ataupun lembaga. Para pengkaji tasawuf
begitu akrab mengenal pesantren Suryalaya sebagai penyebar TQN
(Solihin, 2005: 221). Karena gerakan tarekat pimpinan Abah Anom
meliputi daerah yang sangat luas, maka diangkatlah wakil-wakil setempat
yang disebut badal (pengganti) atau khalifah untuk melayani muridnya
dari berbagai kota.

54
BAB IV
PROSES BERLANGSUNGNYA PEMBUDAYAAN ZIKIR

Dalam mengkaji pembudayaan zikir tarekat Qadiriyah


Naqsyabandiyah yang berlangsung di pondok pesantren Suryalaya, maka
perlu diperhatikan masalah pewarisan budaya dari generasi ke generasi
(yang dimaksud dalam hal ini adalah pembudayaan zikir pada anggota
tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah). Dengan demikian dalam pembahasan
ini akan disajikan tentang proses berlangsungnya pembudayaan zikir
tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang berlangsung di pondok pesantren
Suryalaya, yang meliputi: unsur yang dibudayakan, sarana pembudayaan
dan cara pembudayaan.

A. Unsur Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang Dibudayakan


Secara garis besar komponen dalam TQN sebagaimana tarekat-tarekat
yang lain, dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu tata cara
peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri. Adapun dalam penelitian ini
akan difokuskan pada ritual unsur-unsur yang diwariskan dalam TQN yang
meliputi ajaran-ajaran dasar tasawuf dari sudut pandang praktik TQN
tersebut. Dalam hal ini terdiri dari zikir, talqin/bai’at dan lathaif. Adapun
yang menjadi fokus penelitian proses pembudayaan adalah zikir dengan
melalui talqin/bai’at.
Teknik dasar TQN, seperti kebanyakan tarekat lain adalah zikir, yaitu
berulang-ulang menyebut nama Tuhan atau menyatakan kalimat la ilaha
illallah (tiada Tuhan selain Allah). Tujuan latihan ini adalah untuk mencapai
kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Ada kondisi-
kondisi tertentu yang harus dipenuhi sebelum pelaksanaan zikir. Dalam Sirr
al-Asrar (kitab pedoman Qadiriyah) dijelaskan bahwa zikir yang sempurna
harus dilakukan ketika seseorang dalam keadaan suci, yaitu setelah ritual
pembersihan (wudhu). Arahan yang tepat dan suara yang kuat juga diperlukan

55
untuk menghasilkan sinar zikir di dalam hati orang yang berzikir. Kondisi-
kondisi serupa juga dituntut oleh Ahmad Naqsyabandi, yang membuat tata
krama berzikir.
Dalam praktik dasar ini, tidak dapat dipungkiri praktik Qadiriyah lebih
dominan. Zikir berjamaah yang biasanya dilakukan sesudah salat adalah zikir
keras, juga sama ketika membaca kalimat tauhid sebanyak 165 kali. Zikir
keras ini dapat diikuti, tetapi bukan suatu keharusan dengan zikir diam
Naqsyabandiyah (Bruinessen, 1993: 96).
Selanjutnya yang merupakan suatu ajaran dasar ketika akan menjadi
ikhwan TQN maka dilakukan talqin terlebih dahulu. Talqin adalah sebuah
kata dalam bahasa Arab dari akar kata l-q-n. Bentuk kata kerjanya adalah
laqina yang berarti menginstruksikan20. Talqin juga sering digunakan dengan
kata bai’at, yang berarti pengaturan atau persetujuan, atau suatu janji inisiasi21
untuk setia kepada seorang syekh (Mulyati, 2010: 113).
Ketika penyebaran TQN semakin meluas, maka diperlukan para ulama
yang telah menjadi muridnya dan diangkat sebagai wakil talqin. Fungsi wakil
talqin adalah membantu memberikan talqin zikir kepada orang-orang yang
akan di menjadi ihkwan TQN, atau juga bagi yang memerlukan dan tidak
dapat datang ke pondok pesantren Suryalaya. Disamping itu wakil talqin juga
membantu dan membimbing dalam melaksanakan amaliyah TQN.

B. Sarana Pembudayaan
1. Keluarga
Dalam proses membudayakan zikir tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah
di pondok pesantren Suryalaya, keluarga merupakan tempat pertama
anggota ikhwan mengenal TQN, sebelum mengalami proses pembudayaan
di lembaga sosial lainnya. Di lembaga inilah anak-anak sebagai anggota
keluarga, dibudayakan nilai-nilai agama yang dianggap penting dan

20
Talqin yang dilakukan oleh wakil talqin kepada seseorang ketika akan masuk menjadi
ikhwan TQN.
21
Talqin yang diterima oleh seseorang ketika memutuskan untuk menjadi ikhwan TQN.
56
berlaku bagi kehidupan agama oleh orang tua maupun anggota keluarga
lainnya yang lebih dewasa (Subiyantoro, 1998: 98). Biasanya anak di
sekitar Suryalaya, pertama-tama mengenal TQN dari orang tuanya atau
lingkungan keluarga.
Sebagian besar bentuk keluarga adalah nuclear family dibandingkan
extended family. Sehingga dapat digambarkan, bahwa pola hubungan yang
terjadi adalah interaksi antara anak dengan keluarga inti. Peranan orang
tua seperti ibu, dalam hal pendidikan keluarga sangat besar, walaupun
diantara sebagian ibu bekerja di luar rumah. Gambaran umum lainnya
juga menunjukkan bahwa bapak hampir sebagian besar bekerja di luar
rumah. Bisa dikatakan fungsi ibu sebagai pengasuh di rumah lebih
dominan (Subiyantoro, 1998: 99).
Proses interaksi keluarga secara lengkap, terjadi ketika kedua orangtua
sudah pulang bekerja atau hari libur. Dalam suasana seperti inilah terjalin
interaksi masing-masing anggota, maka berlangsunglah proses interaksi
dalam keluarga. Biasanya, ketika orang tua melakukan kegiatan ibadah,
anak diikutsertakan. Terkait dengan hal ini dalam keluarga ikhwan TQN
pun demikian. Lingkungan keluarga juga tempat melakukan kegiatan
ajaran dasar TQN yang dilakukan sehari-hari.
Maka tidak heran, jika dalam keluarga ihkwan TQN anak sejak dini
mulai mengenal kegiatan TQN. Hal ini dapat peneliti gambarkan, ketika
melakukan wawancara dengan beberapa informan. Mereka sebagian besar
mengatakan bahwa awal mula perkenalan dengan TQN dari orang tua.
Bahkan ketika melakukan proses talqin, biasanya mereka pun ada yang
dianjurkan orang tuanya.
Dengan demikian, keluarga secara tidak langsung mentransmisikan
nilai-nilai TQN, terutama kebiasaan zikir. Keluarga cenderung
menanamkan sikap, nilai maupun pandangan tentang TQN, yang pada
gilirannya akan mempengaruhi serta menentukan anggota individu

57
keluarga, baik dalam hal menili, bersikap, maupun dalam memberikan
tanggapan-tanggapan terhadap keberadaan TQN.
2. Masjid
Peran masjid sebagai rumah ibadah adalah sarana bagi anggota TQN,
sebagai tempat melakukan ritual keagamaan atau sebagai media
mendekatkan diri kepada Allah. Hamper semua agama yang ada
membutuhkan sebuah tempat ibadah kepada Tuhan yang mereka sembah.
Di tempat itulah manusia melakukan rutinitas ibadah, baik secara individu
maupun sacara kelompok (berjamaah). Bagi umat beragama, tempat
ibadah bukan hanya difungsikan untuk ibadah kepada Tuhan semata,
tetapi dapat juga menjadi pusat kegiatan sosial kemasyarakatan yang
tercermin dari kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan (Mandailing,
2012: 188). Oleh karena itu, rumah ibadah bisa menjadi symbol dan
lambang keberagamaan suatu masyarakat. Masjid sebagai tempat
ibadahnya umat Islam memang berfungsi banyak dalam kehidupan
masyarakat dari dulu hingga sekarang.
Demikian pula masjid Nurul Asrar pondok pesantren Suryalaya,
dimana dilakukan segala aktivitas TQN. Selain berfungsi sebagai tempat
salat berjamaah, sebagai tempat belajar al-Quran, juga sebagai kegiatan
TQN. Hal ini bisa dilihat pada aktivitas yang dilakukan di masjid, bisa
diikuti dari Subuh hingga subuh lagi. Peneliti mengikuti segala kegiatan
TQN yang dilakukan di masjid Nurul Asrar. Ada satu hal yang dilakukan
di masjid ini, yaitu setelah salat wajiib, dilanjutkan dengan zikir dan wirid
TQN. Stelah melakukan kegiatan ini, biasanya jia ada seseorang yang
ingin ditalqin, maka akan maju ke dekat mihrab untuk dilakukan proses
Talqin oleh wakil talqin.
Pada suatu hari, peneliti pun memutuskan untuk ditalqin. Hal ini
peneliti lakukan, karena ingin lebih mendalami TQN. Detail setiap proses
talqin peneliti ikuti dan tirukan, disinilah terjadi proses pembudayaan.
Yaitu wakil talqin melakukan instruksi yang diikuti oleh peserta,

58
terjadilah proses inisiasi. Setelah kegiatan talqin di masjid ini selesai,
maka peneliti pun memutuskan untuk menjadi ikhwan TQN. Setiap
aktivitas TQN yang diselenggarakan di masjid Nurul Asrar peneliti ikuti,
hingga nantinya stetlah pulang ke tempat peneliti terjadilah enkulturai,
dimana kegiatan zikir TQN ini telah membudaya. Dengan demikian,
proses pembudayaan zikir TQN berjalan efektif melalui peran yang
dimainkan masjid.
3. Peer Group
Kelompok sebaya (peer group) merupakan salah satu institusi sosial
lainnya yang mempengaruhi pembudayaan. Anak-anak dalam proses
pembudayaan zikir banyak dipengaruhi oleh dua dunia dalam tumbuh dan
berkembangnya, yaitu dunia dewasa dan dunia teman sebayanya. Yang
dimaksud dengan teman sebaya adalah teman sekolah, teman bermain,
teman dalam perkumpulan sosial (Subiyantoro, 1998: 102). Dalam hal ini
akan difokuskan pada teman sebaya di suatu sekolah dan perkumpulan
sosial (anggota TQN). Suasana perkumpulan kelompok sebaya, banyak
dilakukan di sekitar lingkungan mereka tinggal dan di sekolahan.
Dalam proses interaksi, anak saling memberi dan menerima informasi,
sementara yang lain belajar bagaimana memperhatikan dan mendengarkan
teman-temannya melalui perkumpulan itu. Dengan keadaan tidak disadari
anak-anak telah dikembangkan dengan cara bersaing, bekerjasama,
ataupun berselisih diantara mereka. Di dalam kelompok sebaya ini, anak
sering pula mengimitasi kegiatan TQN. Maka peluang anak dalam proses
enkulturasi, mengenai hal-hal yang ditiru, terhadap situasi lingkungan
sosial budaya sekitarnya, melalui interaksi kelompok sebayanya akan
terjadi (Subiyantoro, 1998: 103).
Tidak dapat dipungkiri, anak-anak biasanya banyak berkumpul dengan
kelompoknya. Mereka sangat tergantung dengan kelompoknya,
menyandarkan perbuatan pada dukungan dan persetujuan kelompoknya.
Demikian juga, pada anak-anak yang peneliti amati, ketika melakukan

59
kegiatan TQN di masjid Nurul Asrar. Anak-anak tersebut biasanya akan
bergabung dengan kelompoknya, daripada bergabung dengan orang
tuanya. Demikian juga ketika akan berangkat ke masjid untuk mengikuti
kegiatan TQN, biasanya mereka akan berangkat bersama-sama dan
berombongan. Setelah sampai di masjid mereka pun akan mengambil
tempat tergabung dengan kelompoknya.

C. Cara Pembudayaan
1. Pembudaya
a. Persuasi
Istilah persuasi secara sistematis pertama kali digunakan di Yunani kuno,
dengan menyebutnya retorika. Aristoteles adalah seorang teoris utama di
Yunani kuno, mendefinisikan retorika sebagai pengamatan dalam setiap kasus
tertentu, sarana yang tersedia adalah persuasi (Larson, 2007: 20).
Banyak para ahli yang telah mendefinisikan persuasi, diantaranya Burgon
& Huffner yang dikutip oleh Subiyantoro, yaitu: 1) proses membimbing yang
bertujuan mempengaruhi pemikiran dan pendapat orang lain agar
menyesuaikan pendapat dan keinginan komunikator, 2) proses yang mengajak
atau membujuk orang lain dengan tujuan mengubah sikap, keyakinan dan
pendapat sesuai keinginan komunikator. Pada definisi ini ajakan atau bujukan
adalah tanpa unsur ancaman atau paksaan. Bila kita merujuk kepada definisi
persuasi tersebut maka persuasi tentunya tanpa aspek agresi. Oleh karena itu,
persuasi termasuk dalam pola membimbing yang asertif.
Adapun membimbing yang asertif merupakan kemampuan yang mampu
membimbing secara lugas kepada orang lain namun tidak melukai atau
menyinggung secara verbal maupun non verbal (tidak ada agresi verbal dan
non verbal).
Persuasi adalah proses membimbing diri sendiri atau yang lain terhadap
adopsi ide, sikap, atau tindakan dengan cara rasional dan simbolik (meskipun

60
tidak selalu logis). Maka pembudaya dalam hal ini, melakukan bimbingan
kepada anggota TQN yang baru masuk.
Dakwah atau yang disebut juga sebagai komunikasi persuasif yang
ditandai dengan unsur membujuk, mempengaruhi dan menyakinkan, jika
dilihat dari perspektif Islam dapat dikategorikan pada dakwah Islam. Unsur-
unsur yang terkandung dalam komunikasi persuasif menjadi dasar kegiatan
dakwah karena dakwah secara etimologis berarti mengajak atau menyeru.
Dakwah merupakan bagian dari tugas setiap muslim, dalam beberapa ayat al-
Quran disebutkan bahwa dakwah menuju jalan Allah SWT hukumnya wajib.
Dengan pendekatan persuasi ini ikhwan TQN mulai mengenal dan menerima
ajaran-ajaran TQN.
b. Instruksi
Instruksi yang nantinya dikenal dengan istilah instruksional bisa diartikan
pengajaran, pelajaran atau bahkan perintah. Terkait dengan pembudayaan,
maka instruksi bisa diartikan memberikan pengetahuan atau informasi khusus
dengan maksud melatih berbagai bidang khusus, memberikan pengetahuan,
keterampilan dalam berbagai bidang atau spesialisasi tertentu (Yusuf, 2010:
57).
Jika dikaitkan dengan pembudayaan, maka instruksi pada prinsipnya
merupakan proses belajar yang terjadi akibat tindakan pembudaya dalam
melakukan fungsinya dalam mebimbing pihak penerima budaya sebagai
subyek yang sedang berproses menjadi enkulturasi (kalau boleh saya katakan
to be enculturation).
Instruksi ini berusaha membantu agar penerima budaya mengalami
pembudayaan. Sasaran instruksi yang direncanakan adalah sekelompok
orang, bisa juga individu. Instruksi ini dalam proses pembudayaan masuk
dalam ranah kegiatan informal. Pada sebagian besar kelompok, orang akan
memelihara keanggotaannya karena ia merasakan atau menghargai adanya
tujuan yang diemban oleh kelompoknya.

61
Hal ini merupakan salah satu ciri manusia sebagai makhluk sosial:
berkelompok dan berorganisasi. Berikutnya diantara anggota-anggota
kelompok sosial pada umumnya terjadi saling berbagi sifat dan karakteristik
pribadinya. Pada sebagian kelompok penerima budaya, tiap anggota
kelompok mempunyai andil dalam mengendalikan anggota kelompok
lainnya. Tiap kelompok tidak bisa seenaknya sendiri dalam berperilaku.
Karena sifatnya meneruskan pembudayaan zikir TQN, maka diperlukan
pembudaya yang handal.
2. Penerima Budaya
a. Inisiasi
Inisiasi berasal dari kata bahasa Latin initium yang berarti masuk atau
permulaan, secara harfiah berarti masuk ke dalam. Juga berasal dari kata
bahasa Inggris initiate yang berarti memulai suatu kegiatan. Jadi inisiasi
adalah sebuah perayaan ritus yang menjadi tanda masuk atau diterimanya
seseorang di dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Inisiasi terdapat di
dalam ritus kehidupan di berbagai tempat. Ritual erat hubungannya dengan
proses kehidupan manusia, seperti juga dalam kehidupan beragama. Praktik
inisisasi sebenarnya telah dilakukan oleh banyak kelompok, suku, kelompok
keagamaan dan kelompok mistik (www.wikipedia.com, 2012: 1).
Inisiasi merupakan proses seseorang menjadi anggota. Dalam hal ini
untuk menjadi anggota TQN, maka diperlukan proses inisiasi. Ketika mereka
sudah diiinsiasi, penyebutan bagi seorang anggota TQN menjadi ikhwan.
Inisiasi spiritual atau penasbihan adalah pelantikan atau peresmian seseorang
yang sungguh-sungguh ingin mencari pengetahuan (makrifat) Allah SWT
oleh seorang pembimbing (mursyid, khalifah, syekh). Dalam beberapa
tarekat, inisiasi ini biasa diistilahkan dengan bai’at atau talqin
(www.suryalaya.org, 2012: 3). Upacara pelantikan ini biasanya dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di dalam TQN. Ada sejumlah syarat
yang harus dipenuhi sebelum diinisiasi, sesuai standar operasional prosedur
TQN.

62
Adapun langkah inisiasi tersebut antara lain, seorang calon ikhwan TQN
duduk di hadapan wakil talqin. Proses inisiasi biasanya dilakukan seusai salat
berjamaah. Bagi calon ikhwan TQN yang akan ditalqin, harus dalam keadaan
berwudhu. Setelah siap calon ikhwan TQN akan maju ke dekat mihrab,
dimana wakil talqin telah duduk menunggu. Setelah duduk berhadapan, maka
beberapa calon ikhwan TQN mendengarkan dengan seksama apa yang
diucapkan oleh wakil talqin. Setelah ada instruksi untuk menirukan apa yang
telah disampaikan wakil talqin, maka calon ikhwan pun menirukannya.
Sebagai catatan, apabila calon ikhwan mengerti bahasa Sunda, maka wakil
talqin akan menggunakan bahasa Sunda. Namun jika ada calon ikhwan yang
tidak mengerti bahasa Sunda, maka wakil talqin pun akan memberikan
instruksinya dalam bahasa Indonesia.
Inisiasi ini bertingkat-tingkat. Ada tingkat paling awal yang diinisiasi
sebagai anggota baru tarekat. Inisiasi lainnya dilakukan lebih khusus untuk
murid-murid yang sudah mencapai tingkatan tertentu dan baginya sudah
layak untuk dilantik sebagai mursyid pembantu. Perbedaan antara mursyid
pembantu dan mursyid senior ditentukan oleh tradisi tarekat.
Setelah inisiasi maka murid atau mursyid, berlakulah ketentuan pada dirinya
sendiri dan apa yang harus dijalani. Misalnya, ia harus berani berubah secara
drastis, seperti berani untuk menggunting dosa-dosa langganannya sejak
dahulu, meninggalkan makanan, minuman, dan perbuatan, serta keputusan-
keputusan syubhat, apalagi yang haram. Murid dituntut tegas berani hijrah
dari kondisi batin yang menyatu ke kecenderungan batin yang condong antara
hak dan batil. Laksana menyatunya air dan teh. Bila telah terpisah, akan
berbentuk laiknya pemisahan antara air dan minyak.
Dua kalimat sakral yang baru diucapkan itu memang didasari oleh
jaminan Nabi, "Perbaruilah keimanan kalian dengan bersahadat ulang." Allah
juga menjamin pengampunan dosa secara total (fagfir al-dzunuuba jami'an)
bagi orang yang telah menjalani pertobatan khusus (taubatan na-shuha).
Sebesar apa pun dosa sebelumnya, ia merasa lega dengan inisiasi yang baru

63
saja dilakukannya dengan penuh keterharuan, yang biasanya disertai dengan
linangan air mata.
b. Imitasi
Imitasi merupakan suatu perilaku yang dibentuk atau mencontoh perilaku
lain. Dalam hal ini terjadi proses meniru tindakan-tindakan orang lain yang
seakan-akan sama hasilnya dengan yang ditiru. Selama proses meniru, tejadi
proses psikologis pada diri anak yang belajar tentang ritual praktik zikir TQN,
melalui penyerapan yang secara tersamar dan kemudian tejadi transformasi
nilai melalui proses identifikasi. Dalam hal imitasi terdapat unsur latihan atau
trained yang melibatkan fungsi-fungsi jiwa seperti: proses merasakan, proses
berprakarsa yang mendorong kearah kemampuan (Subiyantoro, 1998: 15),
untuk melakukan zikir TQN.
Imitasi dalam proses enkulturasi ini merupakan suatu tahapan yang sangat
diperlukan. Karena biasanya dalam memahami sesuatu seorang anak akan
menirukan tindakan orang lain. Tindakan yang ditiru itu akan diinteraksikan
dalam kepribadiannya, dengan meniru berkali-kali maka tindakannya menjadi
suatu pola yang mantap dan norma yang mengatur tindakannya dibudayakan.
Seorang anak mula-mula, ia seakan-akan mengimitasi dirinya sendiri.
Kemudian ia mengimitasi orang lain, biasanya dimulai dari keluarga. Lebih
jauh misalnya, cara bertingkah laku dan lain-lain pada mulanya dipelajari
secara imitasi. Demikian pula halnya adat istiadat dan konvensi-konvensi
lainnya, salah satunya sangat dipengaruhi oleh imitasi sehingga karenanya
terbentuklah tradisi-tradisi yang dapat bertahan berabad-abad lamanya
(Gerungan, 2005: 63).
Memang faktor imitasi mempunyai peranan penting yang penting dalam
interaksi sosial, namun imitasi bukanlah satu-satunya faktor yang mendasari
interaksi sosial. Imitasi tidaklah berlangsung dengan sendirinya, sehingga
individu yang satu akan dengan sendirinya mengimitasi individu yang lain,
demikian sebaliknya. Untuk mengadakan imitasi ada faktor psikologis lain

64
yang berperan. Dengan kata lain imitasi tidak berlangsung secara otomatis,
tapi ada faktor lain yang ikut berperan.
Untuk mengimitasi sesuatu perlu adanya sikap menerima, dan sikap
mengagumi terhadap apa yang diimitasi itu karena itu imitasi tidak
berlangsung dengan sendirinya (Walgito, 2003: 59). Dengan cara imitasi,
pandangan dan tingkah laku seseorang mewujudkan sikap-sikap, ide-ide, dan
adat istiadat dari suatu keseluruhan kelompok masyarakat, dan dengan
demikian pula seseorang itu dapat lebih melebarkan dan meluaskan
hubungan-hubungannya dengan orang-orang lain (Gerungan, 2009: 65).
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam melakukan sesuatu hal yang baru akan
selalu terjadi imitasi. Demikian juga bagi ikhwan TQN yang baru bergabung,
secara otomatis akan mengikuti dan meniru kegiatan TQN. Jika diamati
selama proses imitasi terjadi proses psikologis pada diri anak yang
diikutsertakan dalam ritual zikir TQN, melalui penyerapan yang secara
tersamar, kemudian transmisi budaya tersebut. Dari imitasi yang terus
menerus ini akan membuat seorang ikhwan menjadi terbiasa, bahkan jika
sudah menyatu dengan dirinya dikategorikan sebagai enkulturasi penuh.
c. Enkulturasi
Enkulturasi merupakan proses alami dalam mempelajari suatu budaya
tertentu. Pembudaya – penerima budaya yang potensial bervariasi tingkat
enkulturasinya dan pembudaya – penerima budaya yang baik adalah yang
mengetahui secara baik budayanya (Spradley, 2006: 68). Dalam kajian ini
penerima budaya yang baik akan mengetahui budaya mereka dengan begitu
baik tanpa harus memikirkannya. Mereka melakukan berbagai hal secara
otomatis dari tahun ke tahun. Pada saat pertama kali mengenal zikir TQN,
segalanya begitu asing baginya dan penerima budaya bergantung pada
pembudaya untuk membimbingnya.
Sarana dalam pembudayaan dan memantapkan zikir TQN cukup banyak.
Diantaranya yang telah diuraikan pada sub bab di atas, yaitu keluarga, masjid,
peer group. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama kali dikenal

65
oleh seorang anak sejak ia dilahirkan. Dapat dikatakan keluarga merupakan
agen enkulturasi pertama sebelum seorang individu memasuki saranalain
seperti peer group, lingkungan dan lain-lain. Keluarga mempunyai peran
penting dalam pembinaan nilai, norma, adat dan budaya pada anak. Maka
setiap keluarga akan berusaha untuk memelihara dan mebudayakan tradisi
yang dianggap patut dipertahankan, salah satunya zikir dalam TQN.
Melalui sarana seperti tersebut di atas, realitas obyektif itu diinisiai,
imitasi, dan akhirnya menjadi enkulturasi penuh (e.p). Tradisi ritual yang
diteruskan melalui berbagai sarana tersebut merupakan realitas obyektif.
Selanjutnya realitas obyektif melalui proses enkulturasi akan menjadi realitas
subyektif bagi generasi tua yang lebih dulu menerima pembudayaan.
Agar penerima budaya terlibat dalam proses pembudayaan zikir TQN
diperlukan adanya proses pembudayaan yang memfasilitasi pengalaman
mereka untuk mengetahui, mempraktikkan ritual tersebut dan terbiasa berbuat
sesuai dengan aturan ritual yang berlaku (Hakam, 2011: 162), dalam hal ini
ritual zikir TQN. Salah satu cara untuk memperkirakan seberapa dalam
seseorang telah mempelajari suatu suasana budaya adalah dengan
menentukan rentang waktu (lamanya) orang itu dalam situasi budaya itu.
Semakin terenkulturasi secara penuh, maka akan semakin baik penerima
budaya itu dalam melakukan zikir TQN dan aktivitas TQN dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian ikhwan

66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah kemunculan TQN di Suryalaya, tidak dapat dipisahkan dari
keberadaan pondok pesantren Suryalaya yang mempunyai hubungan sejarah
dengan perjalanan Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad yang akrab
dipanggil Abah Sepuh. Hal ini diawali dengan penyelenggaraan pengajian
sekitar tahun 1890. Sebelum ia mendirikan pesantren Suryalaya, ia biasa
berdakwah dari segi-segi syariat saja.
Sejak Abah Sepuh berguru tarekat kepada Syekh Tolhah Cirebon,
hubungan guru-murid mempengaruhi kedudukannya bagi peningkatan
wibawa pesantren Suryalaya. Pondok pesantren ini merupakan lembaga
pendidikan Islam sebagai sarana dan tempat mengaji, mengkaji, dan
menyebarkan ajaran Islam dengan berbagai dimensinya, khususnya TQN.
Kemudian pada tahun 1908 Abdullah Mubarok memperoleh bai’at dari
guru Tolhah sebagai badal TQN untuk berwenang mengajarkan tarekat.
Semenjak itu pondok pesantren Suryalaya sebagai pusat perguruan
tarekat. Di tahun yang sama, beliau ditetapkan sebagai khalifah tarekat
Qadiriyah Naqsyabandiyah oleh Syekh Tolhah Cirebon. Guna
memperkokoh kedudukan sebagai mursyid, Abah Sepuh pernah
melakukan tabarruk (memohon berkah) kepada Syekh Abdul Karim
Banten di Mekah sewaktu ia menunaikan ibadah haji. Tabarruk dalam
tradisi tarekat memang salah satu langkah yang sering ditempuh seorang
sufi untuk memperkokoh kedudukannya. Setelah kepada Syekh Abdul
Karim Banten, ia pun berkunjung kepada ulama terkenal Kiai Holil (w.
1923) di Bangkalan, Madura.
TQN Suryalaya berkembang dalam pola hubungan langsung antara
dirinya dengan segenap murid. Namun upaya pengembangan tarekat ini di
luar pesantren Suryalaya berlangsung atas peranan wakil talqin. Pada
tahap selanjutnya Abah Sepuh mulai mempercayai putranya yang kelima

67
yaitu yang akrab dipanggil Abah Anom menjadi wakil talqin pada usia
yang relatif muda (24 tahun). Dengan demikian Abah Anom telah
diperbolehkan mengajarkan terkat ataupun sesekali menggantikan peran
ayahnya selaku mursyid.
Untuk kelangsungan hidup TQN maka ada upaya pembudayaan yang
dilakukan dalam pesantren ini. Adapun proses pembudayaan yang
dilakukan, sesuai dengan kajian penelitian ini adalah dalam ranah pada
ajaran-ajaran dasar TQN yaitu meliputi unsur-unsur zikir dan talqin.
Sarana yang efektif dalam pembudayaan adalah keluarga, masjid dan peer
group.
Sedangkan proses pembudayaan zikir yang dilakukan oleh pembudaya
(wakil talqin, keluarga) adalah melalui tahapan instruksi (melakukan
talkin/bai’at) dan pendekatan persuasi dalam mengenalkan ajaran-ajaran
dasar TQN. Adapun pihak penerima budaya (ikhwan TQN) melalui
inisiasi (ditalqin/baia’t), kemudian imitasi (meniru) dan enkulturasi
(membudaya). Dimana pada tahap enkulturasi seseorang akan mengetahui
zikir TQN dengan baik tanpa harus memikirkan dalam melakukannya.
Bahkan pada hari-hari yang sibuk, ikhwan TQN akan mengetahui hal-hal
yang harus diantisipasi dalam pelaksanaan zikir TQN. Mereka melakukan
ajaran TQN secara otomatis dari tahun ke tahun.

B. Saran dan Rekomendasi


Dalam melakukan pembudayaan unsur budaya TQN diperlukan
pembudaya yang handal. Kriteria pembudaya handal selain mumpuni di
bidang agama dan TQN, diharapkan juga memiliki pengetahuan umum
yang luas. Hal ini diperlukan pada masa glokalisasi saat ini, dimana
masyarakat pun sudah semakin berkembang seiring kemajuan zaman.

68
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan (ed.). 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan
Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, M. Amin, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan
Multidisipliner. Yogyakarta: Lemlit UIN SUKA.
Abdurrahman, Dudung. 2009. “Gerakan Sosial Politik Kaum Tarekat di Priangan
Abad XX”, Laporan Penelitian, Yogyakarta: PPS UIN SUKA.
Bruinessen, Martin van. 1993. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei
Historis, Geografis dan Sosiologis. Bandung: Mizan.
_______ dan Julia D. Howell (ed.), Urban Sufism, Jakarta: Rajawali Press, 2008.
Budhisantoso, S. 1982. “Kebijaksanaan Pembinaan dan Pengermbangan
Kebudayaan Melalui Kegiatan Enkulturasi”. Analisis Kebudayaan, Vol.
III, No.2. Yogyakarta.
Chaplin, J. P. 2004. Kamus Psikologi Lengkap. Jakarta: RajaGrafindo
Daeng, Hans J. 1989. “Usaha Enkulturasi Gereja Katolik di Manggarai, Ngada
(Flores)”. Disertasi. Yogyakarta: UGM.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
UGM Press.
Everett M, Rogers. 2003. Diffusions of Innovations. New York: Free Press.
Fortes, M, dkk (ed). 1961. .African Political Systems. London: Oxford University
Press.
Fuadhi, Sandi. 2006. “Terapi Zikir Untuk Mengatasi Gangguan Mental
Psikosomatik: Studi Kasus di Pondok Remaja Inabah Suryalaya
Tasikmalaya Jawa Barat. Skripsi. Yogyakarta: UIN SUKA.
Gerungan, W. A. 2009. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Haliq, Fathol. 2010. “Islam Madura: Studi Konflik, Adaptasi, Harmoni Kelas
Menengah Madura Setelah Keruntuhan Orde Baru”. Makalah
dipresentasikan pada acara ACIS X di Banjarmasin.

69
Herskovits, Melville J. 1955. Cultural Anthropology. New York: Alfred A.
Knopf.
Jirhanudin. 2007. Menuju Tasawuf Dinamis. Palangkaraya: Bina Usaha.
Ihromi, T.O. 1996. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor.
Kaelan. 2010. Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdispliner. Yogyakarta:
Paradigma.
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.
_______. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press.
Laksana, I Ketut Darma. 2009. Tabu Bahasa: Salah Satu Cara Memahami
Kebudayaan Bali. Bali: Udayana University Press.
Larson, Charles U. 2007. Persuasion: Reception and Responsibility. Boston:
Wardsworth.
Mandailing, Taufik. 2012. Islam Kampar: Harmoni Islam & Tradisi Lokal.
Yogyakarta: Idea Press.
Mulyati, Sri. 2010. Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah Dengan
Referensi Utama Suryalaya. Jakarta: Kencana.
Partanto, Pius A. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka.
Porter Poole, Fitz John. “Socialization, Enculturation and the Development of
Personality Identity”. Tim Ingold. 1994. Companion Encyclopedia of
Anthropology. London & New York: Routledge.
Raihani. 2010. “Islam dan Kemajemukan Indonesia: Studi Kasus Pesantren dan
Pendidikan Multikultural”. Makalah dipresentasikan pada acara ACIS X di
Banjarmasin.
Saefullah, Asep. 2012. “Tarekat: Sejarah dan Perkembangannya”.
www.asepsaefullah.multiply.com.
Shomad, Abd. “Pendekatan Antropologi” dalam Amin Abdullah, dkk, 2006.
Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multididsipliner. Yogyakarta:
Lemlit UIN Sunan Kalijaga.
Simuh. 1996. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa.
Yogyakarta: Bentang Budaya.

70
Sodiqin, Ali. 2008. Antropologi Al-Quran: Model Dialektika Wahyu dan Budaya.
Yogyakarta: Ruzz Media.
Sodli, Ahmad. 1994. Lembaga Pengobatan Inabah Tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah Suryalaya: Studi kasus Inabah VI Kelurahan Sukahaji
Kecamatan Babakan Ciparay Bandung. Semarang: BPAK.
Solihin. 2005. Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Jakarta: Rajagrafindo.
Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Terjemah Misbah, edisi II,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Subiyantoro, Slamet. 1998. “Proses dan Pola Enkulturasi Seni Ukir di Dukuh
Taraman, Desa Mantingan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah”. Tesis.
Jakarta: PPS UI.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Sunadji, Unang R. H. 1995. Sejarah Pondook Pesantren Suryalaya: Pusat
Pengembangan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah Abad Keduapuluh,
Suryalaya: Yayasan Serba Bakti.
Thohir, Ajid. 2002. Gerakan Politik Kaum tarekat: Telaah Historis Gerakan
Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Pulau
Jawa. Bandung: Pustaka Hidayah.
Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi
Offset.
Wiranata, I Gede. 2011. Antropologi Budaya. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Wirawan, Sarlito. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Wiriatmaja, Rochiati. 1992. “Peranan Pengajaran Sejarah Nasional Indonesia
Dalam Pembentukan Identitas Nasional: Upaya Peraihan Nilai-nilai
Integralistik Dalam Proses Sosialisasi dan Enkulturasi Berbangsa di
Kalangan Siswa SMAK I BPK Penabur di Bandung”. Jurnal Media
Komunikasi Profesi Masyarakat Sejarawan Indonesia, No.3, Jakarta: MSI
dan Gramedia.
www.suryalaya.org. Akses 20-10-2012.

71
LAMPIRAN

Gerbang Pertama Masuk Ke Pondok Pesantren Suryalaya

Salah satu gedung sekolah yang ada di pondok pesantren Suryalaya

72
Kantor pusat Yayasan Serba Bakti pondok pesantren Suryalaya

Asrama Putra pondok pesantren Suryalaya

Gerbang kedua untuk memasuki kompleks pondok pesantren Suryalaya, di


gapura ini tertulis kalimat “Kajembaran Rahmaniyah” yang berarti keluasan
kasih sayang

Tanggal 5 September yang dijadikan hari jadi pondok pesantren suryalaya.


Tarikh ini tertulis di gerbang ketika akan masuk ke masjid
73
Di bagian dalam masjid sebelah kiri terdapat logo pondok pesantren Suryalaya
“Cageur Bageur Lahir Batin” yang artinya Budi Utama-Jasmani Sempurna.

Bedug merupakan benda tradisional yang hampir selalu ada di setiap masjid
Indonesia. Ini merupakan salah satu benda budaya Indonesia yang digunakan
untuk menandai masuknya waktu salat

Asrama Putri Pondok Pesantren Suryalaya yang terletak tidak jauh dari Masjid
Nurul Asror
74
Kantor Baitul Maal Pondok Pesantren Suryalaya

Mihrab (tempat Imam), sekaligus tempat wakil talqin duduk ketika melakukan
talqin kepada anggota baru

Peralatan rebana yang digunakan ketika ada kegiatan pembacaan shalawat

75
Sekumpulan anak laki-laki duduk menggerombol sambil menunggu kegiatan
mengaji dimulai

Pada bagian sudut lain di masjid sekumpulan anak perempuan juga melakukan
aktivitas yang sama dalam menunggu dimulainya kegiatan mengaji

Situasi ketika Anak-anak melakukan persiapan untuk mengaji


76
Pada salah satu bagian depan masjid terdapat jam dinding, yang menurut
beberapa informan bahwa dulu merupakan salah satu ruangan untuk berkhalwat

Pada sudut kanan masjid terdapat balong (kolam). Di sekitar kolam dibangun
rumah/kandang untuk ayam

Sekumpulan ibu-ibu yang mengikuti kegiatan TQN di masjid Nurul Asrar


77
Aktivitas anggota TQN (siswa MTs) setelah melakukan kegiatan zikir, mereka
bersiap kembali ke sekolah

Proses talqin sebagai upaya pembudayaan dalam tarekat Qadiriyah


Naqsyabandiyah yang dalam hal ini unsurnya adalah zikir

Suasana pada saat melakukan zikir dan wirid setelah salat

78

Anda mungkin juga menyukai